1 Hepatitis
Issue :
Seorang pasien dokter gigi laki-laki berumur sekitar 40 tahun yang selalu energik, dan
berpenampilan baik datang ke praktek dokter. Dokter gigi tersebut bekerja di sebuah RS di kota
A. tidak sedang mengkonsumsi obat, dan tidak mempunyai riwayat hidup yang relevan. Di ruang
praktek dokter gigi tersebut mencari pertolongan medis, karena dia merasa tidak sehat selama
kira-kira 4 minggu terakhir. Dokter gigi tersebut merasakan demam, gejala yang menyerupai
penyakit flu, sering kelelahan, kehilangan nafsu makan, perut terasa mual, warna kulit putih, dan
mata menjadi berwarna kuning, nyeri di daerah hati.
Secara etiologi, menurut PAPDI (1996), ikterus epidemik (hepatitis) dilaporkan pertama
kali oleh Hipocrates, kemudian banyak laporan tentang epidemi penyakit ini terutama pada saat
perang dunia ke-2. Semakin meningkatnya pengetahuan dibidang kedokteran, klasifikasi dari
virus hepatitis semakin bertambah. Sebagian besar kasus dari hepatitis viral akut disebabkan
oleh salah satu virus hepatitis yaitu Viru Hepatitis A, B, C, D, E dan G.
Menurut Chin J (2006), penyebab hepatitis A adalah karena virus yang disebut juga
sebagai Infectious Hepatitis, Epidemic Hepatitis, Epidemic Jaundice, Catarrhal jaundice,
Hepetitis Tipe A atau HA . Pada wilayah non endemis, gejala hepatitis A pada orang dewasa
biasanya ditandai dengan demam, malaise, anoreksia, nausea dan gangguan abdominal, diikuti
dengan munculnya ikterus dalam beberapa hari. Di sebagain besar negara bekembang, infeksi
virus hepatitsi A terjadi pada masa kanak-kanak umumnya asimtomatis atau dengan gejala sakit
ringan. Infeksi yang terjadi pada usia selanjutnya hanya dapat diketahui dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap fungsi hati. Penyakit ini mempunyai gejala klinis dengan spektrum yang
bervariasi mulai dari ringan yang sembuh dalam 1-2 minggu sampai dengan penyakit dengan
gejala yang berat yang berlangsung sampai beberapa bulan.
Perjalanan penyakit yang berkepanjangan dan kambuh kembali dapat terjadi dan penyakit
berlangsung lebih dari 1 tahun ditemukan pada 15% kasus, tidak ada infeksi kronis pada hepatitis
A. Konvalesens sering berlangsung lebih lama. Pada umumnya, penyakit semakin berat dengan
bertambahnya umur, namun penyembuhan secara sempurna tanpa gejala sisa dapat terjadi.
Kematian kasus dilaporkan terjadi berkisar antara 0.1% 0.3%, meskipun kematian
meningkat menjadi 1.8% pada orang dewasa dengan usia lebih dari 50 tahun, seseorang dengan
penyakit hati kronis apabila terserang hepatitis A akan meningkat risikonya untuk menjadi
hepatitis A fulminan yang fatal. Pada umumnya, hepatitis A dianggap sebagai penyakit dengan
case fatality rate yang relatif rendah.
Masih menurut Chin J (2006), diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antibodi IgM
terhadap virus hepatitis A (IgM anti-HAV) pada serum sebagai pertanda yang bersangkutan
menderita penyakit akut atau penderita ini baru saja sembuh. IgM anti-HAV terdeteksi dalam
waktu 5-10 hari setelah terpajan. Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan meningkatnya titer
antibodi spesifik 4 kali atau lebih dalam pasangan serum, antibodi dapat dideteksi dengan RIA
atau ELISA. (Kit untuk pemeriksaan IgM dan antibodi total dari virus tersedia luas secara
komersial). Apabila pemeriksaan laboratorium tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka
bukti-bukti epidemiologis sudah dapat mendukung diagnosis.
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu masa tunas, fase pra-ikterik, fase ikterik, dan
fase penyembuhan
1. Masa Tunas
Merupakan masa inkubasi virus pertama kali masuk ke dalam tubuh manusia dan
menginfeksi organ hati sehingga terjadi kerusakan sel-sel hati. Masa tunas setiap jenis
virus hepatitis berbeda-beda(Wijayakusuma,p.7,2008).
Masa inkubasi untuk hepatitis A ini sangat beragam antara 10-50 hari(dengan rata-rata 30
hari) yang bergantung pada jumlah molekul virus infektif yang dikonsumsi(Ash-Shiddiq).
2. Fase Pra-ikterik
Merupakan gejala awal yang tampak saat menderita hepatitis. Biasanya, gejala ini hampir
sama dengan penyakit influenza, yaitu penderita merasa cepat lelah, lemah kehilangan
nafsu makan sehingga berat badan menurun, sakit kepala, nyeri persendiaan dan pegal-
pegal, sedikit sensitif terhadap cahaya, mual dan kadang disertai
muntah(Wijayakusuma,p.7,2008).
3. Fase Ikterik
Fase ikterik dapat berlangsung selama 10-14 hari. Kriteria yang terjadi pada fase ikterik
yaitu, urin berwarna kuning pekat seperti air teh. Sklera mata (bagian putih mata) dan
kulit berwarna kuning. Terkadang penderita merasa sakit dan
bengkak(Wijayakusuma,p.8,2008).
4. Fase Penyembuhan
Selama masa penyembuhan, gejala-gejala dan keluhan yang dirasakan kebanyakan
berkurang atau mulai menghilang. Biasanya, penyembuhan hepatitis akut secara
sempurna memerlukan waktu sekitar enam bulan(Wijayakusuma,p.8,2008).
Infeksi nosokomial dikenal juga sebagai Hospital Acquired Infection (HAI), yaitu infeksi
yang didapat di rumah sakit. Istilah nosokomial ini berasal dari bahasa Yunani yaitu
nosokomeion yang berarti rumah sakit (nosos = penyakit, komeo = merawat). Infeksi
nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit (Darmadi,
2010).
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang berkenaan atau berasal dari rumah sakit,
digunakan untuk infeksi yang tidak mengalami masa inkubasi sebelum dirawat di rumah sakit,
tetapi terjadi 72 jam setelah perawatan di rumah sakit. Secara umum, pasien yang masuk rumah
sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 3 x 24 jam, menunjukkan bahwa masa
inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit (Farid, 2011).
Suatu infeksi pada pasien dapat dinyatakan sebagai infeksi nosokomial bila memenuhi
beberapa kriteria: (Farid, 2011)
1. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda klinis infeksi tersebut.
2. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi infeksi
tersebut.
3. Tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 48 jam sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa infeksi sebelumnya.
2.2.2 Epidemiologi
Studi prevalensi yang dilakukan dengan bantuan World Health Organization (WHO)
pada 55 rumah sakit di 14 negara yang mewakili 4 wilayah WHO (Eropa, Mediterania Timur,
Asia Tenggara, dan Pasifik Barat) mendapatkan rerata 8,7% pasien rumah sakit mengalami
infeksi nosokomial. Dari hasil survei tersebut didapatkan frekuensi tertinggi infeksi nosokomial
dilaporkan oleh rumah sakit di wilayah Mediterania Timur dan Asia Tenggara berturut-turut
11,8% dan 10,0%, sedangkan prevalensi di wilayah Eropa dan Pasifik Barat berturut-turut 7,7%
dan 9,0%. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada tahun
2004 menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi nosocomial (Kurniadi,
2013).
Kasus terbanyak infeksi nosokomial terjadi di negara miskin dan negara berkembang
karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama. Penelitian oleh yang dilakukan
pada tahun 1997 memperoleh prevalensi terkecil infeksi nosokomial yang ditemukan pada
beberapa negara di Eropa dan Amerika berkisar kurang dari 1%, sedangkan prevalensi tertinggi
ditemukan pada negara di Asia, Amerika Latin, Afrika bagian Sahara sebesar 40% (Kurniadi,
2013).
Di ruang rawat intensif, infeksi nosokomial lebih sering terjadi dibandingkan dengan di
bangsal rawat biasa. Secara universal di seluruh dunia, 5%-10% pasien memperoleh infeksi
nosokomial, 20%-30% pasien tersebut merupakan pasien yang menjalani perawatan di unit
perawatan intensif (ICU). Penelitian dari berbagai universitas di Amerika Serikat menyebutkan
bahwa pasien ICU mempunyai kekerapan infeksi nosokomial 5-8 kali lebih tinggi. Systematic
review of the literature conducted by WHO menyatakan bahwa prevalensi tertinggi infeksi
nosokomial adalah ICU sebesar 28,2%, surgery sebesar 26,4%, mixed population sebesar 23,6%,
pediatrics sebesar 18,2%, dan other high risk patient sebesar 3,6%. Angka infeksi nosokomial
pada bangsal anak terjadi paling tinggi pada umur kurang dari 1 tahun. Angka infeksi tertinggi
(terutama infeksi sistemik) terjadi di NICU (neonatal intensive care) karena risiko infeksi
bertambah tinggi (misal pada bayi berat badan lahir rendah). Bayi prematur 500-1000 gram jika
mereka hidup mempunyai risiko tinggi untuk infeksi (Kurniadi, 2013).
Gambar 1. Prevalensi Infeksi Nosokomial pada Negara Maju (2010-2015) (Sumber : Kurniadi,
2013)
Terdapat banyak patogen berbeda yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial, yaitu,
bakteri, virus, parasit dan fungi.
1. Bakteri
Dibawah ini adalah patogen infeksi nosokomial yang paling sering dijumpai:
a. Bakteri komensal
Bakteri ini merupakan flora normal yang terdapat di dalam tubuh manusia yang sehat,
dan dapat dikatakan sebagai pelindung tubuh yang cukup signifikan. Bakteri ini berperan
untuk mencegah kolonisasi dari mikroorganisme patogen. Beberapa bakteri komensal dapat
menyebabkan infeksi jika faktor host terganggu. Sebagai contoh, cutaneus coagulase-
negative staphylococci menyebabkan infeksi intravascular line, dan Escherichia coli
merupakan penyebab umum dari infeksi saluran kemih (Soedarto, 2016)
b. Bakteri patogen
Bakteri ini memiliki tingkat virulensi yang tinggi dan dapat menyebabkan infeksi baik
sporadik ataupun epidemik. Beberapa contohnya adalah:
1. Bakteri bentuk batang gram positif, misalnya Clostridium, menyebabkan gangren
(Nguyen QV, 2014)
2. Bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus yang berkolonisasi di kulit dan
hidung baik pada staff rumah sakit maupun pada pasien merupakan penyebab berbagai
penyakit paru, tulang, jantung, dan pembuluh darah. Bakteri ini juga sering resisten
terhadap antibiotika.
3. Bakteri gram negatif (Enterobacteriacae), seperti Klebsiella, Enterobacter, Proteus,
Escherichia coli, dan Serratia marcescen, akan berkolonisasi saat pertahanan tubuh
menurun dan menyebabkan infeksi serius, terutama luka operasi dan infeksi perineum.
4. Organisme gram negatif seperti Pseudomonas spp. Sering terisolasi dalam air dan
tempat yang lembab, dan dapat menginfeksi saluran pencernaan pasien rawat inap.
5. Bakteri lainnya yang merupakan penyebab infeksi di rumah sakit misalnya Legionella
sp. yang merupakan penyebab pneumonia baik sporadik maupun endemik melalui
inhalasi aerosol yang mengandung air yang telah terkontaminasi, misalnya pada AC,
shower, bahkan pada terapi yang menggunakan aerosol
2. Virus
Virus termasuk patogen penyebab infeksi nosokomial, diantaranya virus hepatitis B dan C
dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi. Respiratory syncytial
virus (RSV), rotavirus, dan enterovirus yang ditularkan lewat kontak tangan ke mulut maupun
fecal-oral. Rute penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme lainnya, seperti melalui
traktus gastrointestinal, traktus respiratorius, kulit dan darah. Virus lain yang sering
menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, ebola, influenza virus, herpes simplex
virus, dan varicella-zoster virus.
3. Parasit dan fungi
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia ditularkan dengan mudah terutama pada anak-
anak. Jamur dan parasit lain juga merupakan organisme oportunistik dan dapat menyebabkan
infeksi pada pasien dengan pengobatan antibiotika spektrum luas dan imunosupresi berat.
Pencemaran lingkungan rumah sakit oleh organisme udara seperti Aspergillus spp. yang berasal
dari debu dan tanah terutama selama pembangunan rumah sakit. Sarcoptes scabies juga
merupakan ektoparasit yang telah berulang kali menyebabkan wabah di fasilitas kesehatan
(Soedarto, 2016).
Merupakan infeksi nosokomial yg paling sering terjadi. Sekitar 80% infeksi saluran kemih
ini berhubungan dengan pemasangan kateter. Infeksi saluran kemih jarang menyebabkan
kematian dibandingkan infeksi nosokomial lainnya. Tetapi kadang - kadang dapat menyebabkan
bakterimia dan kematian. Infeksi biasanya ditentukan oleh kriteria secara mikrobiologi. Positif
apabila kultur urin 10 5 mikroorganisme / ml, dengan maksimum dari dua isolat spesies
bakteri. Bakteri dapat berasal dari flora normal saluran cerna , misalnya E. coli ataupun didapat
dari rumah sakit, misalnya Klebsiella multiresisten.
Infeksi nosokomial yang sering terjadi, insiden bervariasi, dari 0,5 sampai 15 %, tergantung
tipe operasi dan penyakit yang mendasarinya. Hal ini merupakan masalah yang signifikan,
karena memberikan dampak pada biaya rumah sakit yang semakin besar, dan bertambah
lamanya masa inap setelah operasi. Kriteria dari infeksi luka infeksi ini yaitu ditemukan
discharge purulen disekitar luka atau insisi dari drain atau sellulitis yang meluas dari luka.
Infeksi biasanya didapat ketika operasi baik secara exogen ( dari udara, dari alat kesehatan,
dokter bedah dan petugas petugas lainnya ), maupun endogen dari mikroorganisme pada kulit
yang diinsisi. Infeksi mikroorganisme bervariasi, tergantung tipe dan lokasi dari operasi dan
antimikroba yang diterima pasien.
Yang paling penting adalah penggunaan ventilator pada pasien di ICU., dimana prevalensi
terjadinya pneumonia sebesar 3% perhari. Merupakan angka kejadian fatal yang tinggi, yang
dihubungkan dengan Ventilator associated Pneumonia. Mikroorganisme berkolonisasi di saluran
pernafasan bagian atas dan bronchus dan menyebabkan infeksi pada paru ( pneumonia ). Sering
merupakan endogen, tetapi dapat juga secara exogen. Diagnosa pneumonia berdasarkan gejala
klinis dan radiologi, sputum purulen serta timbulnya demam. Diketahui sekarang bahwa yang
merupakan faktor resiko adalah tipe dan lamanya penggunaan ventilator, beratnya kondisi pasien
atau ada atau tidaknya penggunaan antibiotik sebelumnya.
4. Bakteremia nosokomial ( BSI )
Prevalensi infeksi nosokomial jenis ini terbilang cukup rendah, yaitu hanya
sekitar 5% dari total infeksi nosokomial, namun kasus kematian akibat infeksi ini
sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 50%. Infeksi ini dibagi menjadi dua kategori
utama:
a. Infeksi pembuluh darah primer (IADP), muncul tanpa adanya tanda infeksi
sebelumnya, dan berbeda dengan organisme yang ditemukan dibagian tubuhnya
yang lain.
b. Infeksi sekunder, muncul sebagai akibat dari infeksi dari organisme yang sama
dari sisi tubuh yang lain. Mortalitas yang terjadi pada infeksi ini terutama
disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotika seperti Staphylococcus
dan Candida. Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat seperti jarum
suntik, kateter urin, dan kateter vena sentral (CVC). Faktor utama penyebab
infeksi ini adalah panjangnya kateter, suhu tubuh saat dilakukannya prosedur
invasif, dan perawatan dari pemasangan kateterInfeksi nosokomial lainnya
Infeksi pada kulit dan jaringan lunak, misalnya luka terbuka ( luka bakar dan
luka akibat berbaring lama )
Sinusitis dan infeksi saluran cerna lainnya, infeksi pada mata dan konjungtiva.
a. Faktor Eksogen
b. Faktor Endogen
1. Sistem imun
Di dalam tubuh manusia, selain adanya bakteri yang patogen oportunis, ada
pula bakteri yang secara mutualistik ikut membantu dalam proses fisiologis tubuh,
dan membantu ketahanan tubuh melawan invasi mikroorganisme patogen serta
menjaga keseimbangan di antara populasi jasad renik komensal pada umumnya,
misalnya seperti yang terdapat di dalam saluran cerna manusia. Namun pada
kenyataannya, pasien di ruang rawat intensif memiliki sistem imun yang lebih
rendah dikarenakan oleh penyakit yang mendasari, asupan gizi yang kurang, serta
2. Umur
Berdasarkan studi yang telah ada, dinyatakan bahwa usia kurang dari 1 tahun dan
lebih dari 40 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena infeksi,
termasuk infeksi nosokomial. Pada anak usia kurang dari 1 tahun sistem imun
belum berkembang secara sempurna, sedangkan pada usia lebih dari 40 tahun
mulai terjadi proses degenerasi sel sehingga sistem imun mulai menurun.
3. Penyakit dasar
Farid. 2011. Infeksi Nosokomial Masalah Serius bagi Pengelola Rumah Sakit. Jakarta
:Rumah Sakit Pelni. Available from:
http://rspelni.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72:-infeksi
nosokomial-masalah-serius-bagi-pengelola-rumah-sakit&catid=44:artikel
kesehatan&Itemid=140.
Nasution, LH. INFEKSI NOSOKOMIAL. Departemen / SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FK Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan.
Rachma, F. and Supriatna, S., 2015. FAKTOR RISIKO INFEKSI NOSOKOMIAL PADA
PASIEN ANAK DI RUANG HCU DAN PICU RSUP DR KARIADI SEMARANG
(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).
Soedarto. 2016. Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. Jalarta: Sagung Seto. Nguyen QV.
Hospital Acquired Infections. Available from:
www.emedicine.medscape.com/article/967022-overview. 2014.
Daftar pustaka :
Dwiastuti D., (2009). Hubungan Antara Faktor Lingkungan Dan Perilaku Dengan
Kejadian Hepatitis A Pada Taruna Akademi Kepolisian Tahun 2008. Semarang: Universitas
Diponegoro