Anda di halaman 1dari 21

2.

1 Hepatitis

Issue :

Seorang pasien dokter gigi laki-laki berumur sekitar 40 tahun yang selalu energik, dan
berpenampilan baik datang ke praktek dokter. Dokter gigi tersebut bekerja di sebuah RS di kota
A. tidak sedang mengkonsumsi obat, dan tidak mempunyai riwayat hidup yang relevan. Di ruang
praktek dokter gigi tersebut mencari pertolongan medis, karena dia merasa tidak sehat selama
kira-kira 4 minggu terakhir. Dokter gigi tersebut merasakan demam, gejala yang menyerupai
penyakit flu, sering kelelahan, kehilangan nafsu makan, perut terasa mual, warna kulit putih, dan
mata menjadi berwarna kuning, nyeri di daerah hati.

2.1.1 Diagnosis Hepatitis A Virus


Untuk menegakan diagnosis HAV diperlukan beberapa pemeriksaan. Pemeriksaan
tersebut antara lain adalah:
A. Pemeriksaan Klinis
Diagnosis klinik ditegakan berdasarkan keluhan seperti demam, kelelahan, malaise,
anorexia, mual dan rasa tidak nyaman pada perut. Beberapa individu dapat mengalami diare.
Ikterus (kulit dan sclera menguning), urin berwarna gelap, dan feses berwarna dempul dapat
ditemukan beberapa hari kemudian. Tingkat beratnya penyakit beraragam, mulai dari
asimtomatik (biasa terjadi pada anak-anak), sakit ringan, hingga sakit yang menyebabkan
hendaya yang bertahan selama seminggu sampai sebulan (Wicaksono, DA dan Gassem, M,
2014).
B. Pemeriksaan Serologik
Adanya IgM anti-HAV dalam serum pasien dianggap sebagai gold standard untuk
diagnosis dari infeksi akut hepatitis A. Virus dan antibody dapat dideteksi dengan metode
komersial RIA, EIA, atau ELISA. Pemeriksaan diatas digunakan untuk mendeteksi IgM anti-
HAV dan total anti-HAV (IgM dan IgG). IgM anti-HAV dapat dideteksi selama fase akut dan 3-
6 bulan setelahnya. Dikarenakan IgG anti-HAV bertahan seumur hidup setelah infeksi akut,
maka apabila seseorang terdeteksi IgG anti- HAV positif tanpa disertai IgM anti-HAV,
mengindikasikan adanya infeksi di masa yang lalu. Pemeriksaan imunitas dari HAV tidak
dipengaruhi oleh pemberian passive dari Immunoglobulin/Vaksinasi, karena dosis profilaksis
terletak dibawah level dosis deteksi (Wicaksono, DA dan Gassem, M, 2014).
B.1 Rapid Test
Deteksi dari antibodi dapat dilakukan melalui rapid test menggunakan metode
immunochromatographic assay, dengan alat diagnosis komersial yang tersedia. Alat diagnosis
ini memiliki 3 garis yang telah dilapisi oleh antibodi, yaitu G (HAV IgG Test Line), M (HAV
IgM Test Line), dan C (Control Line) yang terletak pada permukaan membran. Garis G
dan M berwarna ungu akan timbul pada jendela hasil apabila kadar IgG dan/atau IgM anti-
HAV cukup pada sampel. Dengan menggunakan rapid test dengan metode
immunochromatographic assay didapatkan spesifisitas dalam mendeteksi IgM anti-HAV hingga
tingkat keakuratan 98,0% dengan tingkat sensitivitas hingga 97,6% (Wicaksono, DA dan
Gassem, M, 2014).
C. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis dari hepatitis dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan biokimia dari fungsi liver
(pemeriksaan laboratorium dari: bilirubin urin dan urobilinogen, total dan direct bilirubin serum,
alanine transaminase (ALT) dan aspartate transaminase (AST), alkaline phosphatase (ALP),
prothrombin time (PT), total protein, serum albumin, IgG, IgA, IgM, dan hitung sel darah
lengkap). Apabila tes lab tidak memungkinkan, epidemiologic evidence dapat membantu untuk
menegakan diagnosis (Wicaksono, DA dan Gassem, M, 2014).

2.1.2 Definisi Hepatitis


adalah istilah umum yang berarti radang hati. Hepa berarti kaitan dengan hati,
sementara itis berarti radang (seperti di artritis, dermatitis, dan pankreatitis). Radang hati
hepatitis mempunyai beberapa penyebab, termasuk:
1. Racun dan zat kimia seperti alkohol berlebihan.
2. Penyakit yang menyebabkan sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan sehat dalam
tubuh, yang disebutsebagai penyakit autoimun.
3.Mikroorganisme, termasuk virus.
Ada lima virus yang diketahui mempengaruhi hati dan menyebabkan hepatitis: HAV,
HBV, HCV, virus hepatis delta (HDV, yang hanya menyebabkan masalah pada orang yang
terinfeksi HBV), dan virus hepatitis E (HEV). Tidak ada virus hepatitis F. Virus hepatitis G
(HGV) pada awal diperkirakan dapat menyebabkan kerusakan pada hati, tetapi ternyata diketahui
sebagai virus yang tidak menyebabkan masalah kesehatan, dan virus ini sekarang diberi nama
baru sebagai virus GB-C (GBVC).
HAV, HBV, dan HCV menyerang sel hati atau hepatosit . Sebagai reaksi terhadap infeksi,
sistem kekebalan tubuh memberikan perlawanan dan menyebabkan peradangan hati (hepatitis).
Bila hepatitisnya akut (yang dapat terjadi dengan HAV dan HBV) atau menjadi kronis (yang
dapat terjadi dengan HBV dan HCV) maka dapat bekembang menjadi jaringan parut di hati,
sebuah kondisi yang disebut fibrosis
Hepatitis A adalah bentuk hepatitis yang akut, berarti tidak menyebabkan infeksi kronis.
Sekali kita pernah terkena hepatitis A, kita tidak dapat terinfeksi lagi. Namun, kita masih dapat
tertular dengan virus hepatitis lain. Hepatitis A disebabkan oleh virus hepatitis A (HAV). HAV
sangat jarang menular melalui hubungan darah-ke-darah , HAV menular melalui:
Makanan/ minuman yang tercemar.
Kotoran (tinja) dari seseorang yang terinfeksi masuk ke mulut orang lain.
HAV terutama menular melalui makanan mentah atau tidak cukup dimasak, yang
ditangani atau disiapkan oleh seseorang dengan hepatitis A (walaupun mungkin dia tidak
mengetahui dirinya terinfeksi).
Minum air atau es batu yang tercemar dengan kotoran adalah sumber infeksi lain,
Kerang-kerangan yang tidak cukup dimasak.
HAV dapat menular melalui rimming (hubungan seks oral-anal, atau antara mulut dan
dubur).
2.1.3 Perbedaan Hepatitis A, B, C, D, E
Berikut perbedaan masing-masing jenis hepatitis
A B C D E

Sumber Feces Darah Darah Darah Feces


Penularan
Virus

Jalur Fecal- Percutaneous Percutaneous Percutaneous Fecal-


Transmisi Oral Permucosal Permucosal Permucosal Oral

Infeksi No Yes Yes Yes No


Kronis

Pencegahan Pre/Post Pre/Post Screening Pre/Post Menjamin


Imunisasi Imunisasi darah donor; Imunisasi; keamanan
Pola hidup Pola hidup air
sehat sehat minum
2.1.4 Etiologi HAV

Secara etiologi, menurut PAPDI (1996), ikterus epidemik (hepatitis) dilaporkan pertama
kali oleh Hipocrates, kemudian banyak laporan tentang epidemi penyakit ini terutama pada saat
perang dunia ke-2. Semakin meningkatnya pengetahuan dibidang kedokteran, klasifikasi dari
virus hepatitis semakin bertambah. Sebagian besar kasus dari hepatitis viral akut disebabkan
oleh salah satu virus hepatitis yaitu Viru Hepatitis A, B, C, D, E dan G.

Menurut Chin J (2006), penyebab hepatitis A adalah karena virus yang disebut juga
sebagai Infectious Hepatitis, Epidemic Hepatitis, Epidemic Jaundice, Catarrhal jaundice,
Hepetitis Tipe A atau HA . Pada wilayah non endemis, gejala hepatitis A pada orang dewasa
biasanya ditandai dengan demam, malaise, anoreksia, nausea dan gangguan abdominal, diikuti
dengan munculnya ikterus dalam beberapa hari. Di sebagain besar negara bekembang, infeksi
virus hepatitsi A terjadi pada masa kanak-kanak umumnya asimtomatis atau dengan gejala sakit
ringan. Infeksi yang terjadi pada usia selanjutnya hanya dapat diketahui dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap fungsi hati. Penyakit ini mempunyai gejala klinis dengan spektrum yang
bervariasi mulai dari ringan yang sembuh dalam 1-2 minggu sampai dengan penyakit dengan
gejala yang berat yang berlangsung sampai beberapa bulan.

Perjalanan penyakit yang berkepanjangan dan kambuh kembali dapat terjadi dan penyakit
berlangsung lebih dari 1 tahun ditemukan pada 15% kasus, tidak ada infeksi kronis pada hepatitis
A. Konvalesens sering berlangsung lebih lama. Pada umumnya, penyakit semakin berat dengan
bertambahnya umur, namun penyembuhan secara sempurna tanpa gejala sisa dapat terjadi.

Kematian kasus dilaporkan terjadi berkisar antara 0.1% 0.3%, meskipun kematian
meningkat menjadi 1.8% pada orang dewasa dengan usia lebih dari 50 tahun, seseorang dengan
penyakit hati kronis apabila terserang hepatitis A akan meningkat risikonya untuk menjadi
hepatitis A fulminan yang fatal. Pada umumnya, hepatitis A dianggap sebagai penyakit dengan
case fatality rate yang relatif rendah.

Masih menurut Chin J (2006), diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya antibodi IgM
terhadap virus hepatitis A (IgM anti-HAV) pada serum sebagai pertanda yang bersangkutan
menderita penyakit akut atau penderita ini baru saja sembuh. IgM anti-HAV terdeteksi dalam
waktu 5-10 hari setelah terpajan. Diagnosa juga dapat ditegakkan dengan meningkatnya titer
antibodi spesifik 4 kali atau lebih dalam pasangan serum, antibodi dapat dideteksi dengan RIA
atau ELISA. (Kit untuk pemeriksaan IgM dan antibodi total dari virus tersedia luas secara
komersial). Apabila pemeriksaan laboratorium tidak memungkinkan untuk dilakukan, maka
bukti-bukti epidemiologis sudah dapat mendukung diagnosis.

2.1.5 Tranmisi HAV

Transmisi virus Hepatitis A mencakup beberapa karakteristik yang meliputi:

1. Variasi Musim dan Geografi


Infeksi HAV terjadi secara epidemi pada daerah dengan empat musim (awal musim
semi dan awal musim dingin) dan didaerah tropis (musim hujan). Hepatitis A mempunyai
korelasi dengan tingkat hygiene dan kondisi sanitasi di mana populasi yang bersangkutan
tinggal tinggal sero-prevalensi anti HAV di dunia terdiri dari :
Pola I :
a. Endemisitas sangat tinggi di jumpai pada daerah berkembang kemiskinan.
b. Ciri khas hampir lebih dari 90% anak-anak sudah terinfeksi Hepatitis A saat mereka
berusia 5 tahun.
c. Standar hygiene sanitasi yang sangat buruk.
d. Adanya Overcrowding.
Pola II :
a. Endemisitas tinggi.
b. Infeksi jarang pada anak-anak usia 5 tahun tetapi dijumpai antibodi antivirus Hepatitis
A pada lebih dari 90% anak usia 10 tahun.
c. Angka diatas hanya mewakili sebagian kecil dari jumlah infeksi sebenarnya mengingat
besarnya proforsi infeksi asistomatik pada usia lebih muda dan buruknya sistem
pelayanan.
Pola III :
a. Endemisitas sedang.
b. Angka Kohort bermakna pada anak-anak usia lebih besar dari remaja.
c. Angka prevalensi 90% belum tercapai sampai usia dewasa muda.
d. Ciri lain bila standard hygiene membaik maka angka Morbiditas
e. Hepatitis A meningkat karena sebagian besar infeksi terjadi saat menjelang dewasa.
Pola IV :
a. Endemisitas rendah.
b. Angka insiden yang dialporkan bervariasi antara 5 15 kasus per 100.000 per tahun.
c. Prevalensi antibodi anti HAV mencapai 10% pada usia 15 tahun dan meningkat sampai
70% per usia dewasa.
Pola V :
a. Endemisitas sangat rendah.
b. Angka insidensi kurang dari 5 per 100.000 per tahun.
c. Bila terjadi wabah biasanya hanya terjadi ekslusif pada orang dewasa dan terpapar saat
bepergian ke daerah endemis tinggi.

2. Insiden Menurut Usia


Semua kelompok umur secara umum rawan terhadap infeksi HAV, insiden terbanyak
adalah pada kelompok dewasa dan anak-anak. Pada orang dewasa dan orang tua biasanya
terjadi pada keadaan kesehatan lingkungan yang baik oleh karena memang belum pernah
terpajan virus Hepatitis A sehingga mereka tidak mempunyai antibodi HAV. Oleh
karenanya mereka menjadi rentan terhadap penyakit Hepatitis A. Sedangkan pada anak
anak terjadi pada daerah dengan kehidupan dibawah standar hygiene dan sanitasi yang buruk
dimana lebih dari 75% dari anak dari berbagai benua seperti Asia, Afrika, India dan
Amerika Selatan sudah memiliki antibody anti HAV pada usia 5 tahun. Di Indonesia Di
Irian Jaya di laporkan anak-anak kurang dari 5 tahun hampir semua sudah terkena infeksi
Hepatitis A.

2.1.6 Manifestasi Klinis HAV

Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu masa tunas, fase pra-ikterik, fase ikterik, dan
fase penyembuhan
1. Masa Tunas
Merupakan masa inkubasi virus pertama kali masuk ke dalam tubuh manusia dan
menginfeksi organ hati sehingga terjadi kerusakan sel-sel hati. Masa tunas setiap jenis
virus hepatitis berbeda-beda(Wijayakusuma,p.7,2008).
Masa inkubasi untuk hepatitis A ini sangat beragam antara 10-50 hari(dengan rata-rata 30
hari) yang bergantung pada jumlah molekul virus infektif yang dikonsumsi(Ash-Shiddiq).
2. Fase Pra-ikterik
Merupakan gejala awal yang tampak saat menderita hepatitis. Biasanya, gejala ini hampir
sama dengan penyakit influenza, yaitu penderita merasa cepat lelah, lemah kehilangan
nafsu makan sehingga berat badan menurun, sakit kepala, nyeri persendiaan dan pegal-
pegal, sedikit sensitif terhadap cahaya, mual dan kadang disertai
muntah(Wijayakusuma,p.7,2008).
3. Fase Ikterik
Fase ikterik dapat berlangsung selama 10-14 hari. Kriteria yang terjadi pada fase ikterik
yaitu, urin berwarna kuning pekat seperti air teh. Sklera mata (bagian putih mata) dan
kulit berwarna kuning. Terkadang penderita merasa sakit dan
bengkak(Wijayakusuma,p.8,2008).
4. Fase Penyembuhan
Selama masa penyembuhan, gejala-gejala dan keluhan yang dirasakan kebanyakan
berkurang atau mulai menghilang. Biasanya, penyembuhan hepatitis akut secara
sempurna memerlukan waktu sekitar enam bulan(Wijayakusuma,p.8,2008).

2.2 Infeksi Nosokomial

2.2.1 Definisi Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial dikenal juga sebagai Hospital Acquired Infection (HAI), yaitu infeksi
yang didapat di rumah sakit. Istilah nosokomial ini berasal dari bahasa Yunani yaitu
nosokomeion yang berarti rumah sakit (nosos = penyakit, komeo = merawat). Infeksi
nosokomial dapat diartikan sebagai infeksi yang berasal atau terjadi di rumah sakit (Darmadi,
2010).

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang berkenaan atau berasal dari rumah sakit,
digunakan untuk infeksi yang tidak mengalami masa inkubasi sebelum dirawat di rumah sakit,
tetapi terjadi 72 jam setelah perawatan di rumah sakit. Secara umum, pasien yang masuk rumah
sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 3 x 24 jam, menunjukkan bahwa masa
inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit (Farid, 2011).

Suatu infeksi pada pasien dapat dinyatakan sebagai infeksi nosokomial bila memenuhi
beberapa kriteria: (Farid, 2011)

1. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tanda klinis infeksi tersebut.
2. Pada waktu pasien mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam masa inkubasi infeksi
tersebut.
3. Tanda klinis infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya 48 jam sejak mulai perawatan.
4. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa infeksi sebelumnya.
2.2.2 Epidemiologi

Studi prevalensi yang dilakukan dengan bantuan World Health Organization (WHO)
pada 55 rumah sakit di 14 negara yang mewakili 4 wilayah WHO (Eropa, Mediterania Timur,
Asia Tenggara, dan Pasifik Barat) mendapatkan rerata 8,7% pasien rumah sakit mengalami
infeksi nosokomial. Dari hasil survei tersebut didapatkan frekuensi tertinggi infeksi nosokomial
dilaporkan oleh rumah sakit di wilayah Mediterania Timur dan Asia Tenggara berturut-turut
11,8% dan 10,0%, sedangkan prevalensi di wilayah Eropa dan Pasifik Barat berturut-turut 7,7%
dan 9,0%. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta pada tahun
2004 menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi nosocomial (Kurniadi,
2013).
Kasus terbanyak infeksi nosokomial terjadi di negara miskin dan negara berkembang
karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama. Penelitian oleh yang dilakukan
pada tahun 1997 memperoleh prevalensi terkecil infeksi nosokomial yang ditemukan pada
beberapa negara di Eropa dan Amerika berkisar kurang dari 1%, sedangkan prevalensi tertinggi
ditemukan pada negara di Asia, Amerika Latin, Afrika bagian Sahara sebesar 40% (Kurniadi,
2013).
Di ruang rawat intensif, infeksi nosokomial lebih sering terjadi dibandingkan dengan di
bangsal rawat biasa. Secara universal di seluruh dunia, 5%-10% pasien memperoleh infeksi
nosokomial, 20%-30% pasien tersebut merupakan pasien yang menjalani perawatan di unit
perawatan intensif (ICU). Penelitian dari berbagai universitas di Amerika Serikat menyebutkan
bahwa pasien ICU mempunyai kekerapan infeksi nosokomial 5-8 kali lebih tinggi. Systematic
review of the literature conducted by WHO menyatakan bahwa prevalensi tertinggi infeksi
nosokomial adalah ICU sebesar 28,2%, surgery sebesar 26,4%, mixed population sebesar 23,6%,
pediatrics sebesar 18,2%, dan other high risk patient sebesar 3,6%. Angka infeksi nosokomial
pada bangsal anak terjadi paling tinggi pada umur kurang dari 1 tahun. Angka infeksi tertinggi
(terutama infeksi sistemik) terjadi di NICU (neonatal intensive care) karena risiko infeksi
bertambah tinggi (misal pada bayi berat badan lahir rendah). Bayi prematur 500-1000 gram jika
mereka hidup mempunyai risiko tinggi untuk infeksi (Kurniadi, 2013).
Gambar 1. Prevalensi Infeksi Nosokomial pada Negara Maju (2010-2015) (Sumber : Kurniadi,
2013)

Gambar 2. Prevalensi Infeksi Nosokomial pada Negara Berkembang (2010-2015) (Sumber:


Kurniadi, 2013).

2.2.3 Etiologi Infeksi Nosokomial

Terdapat banyak patogen berbeda yang dapat menyebabkan infeksi nosokomial, yaitu,
bakteri, virus, parasit dan fungi.

1. Bakteri
Dibawah ini adalah patogen infeksi nosokomial yang paling sering dijumpai:
a. Bakteri komensal
Bakteri ini merupakan flora normal yang terdapat di dalam tubuh manusia yang sehat,
dan dapat dikatakan sebagai pelindung tubuh yang cukup signifikan. Bakteri ini berperan
untuk mencegah kolonisasi dari mikroorganisme patogen. Beberapa bakteri komensal dapat
menyebabkan infeksi jika faktor host terganggu. Sebagai contoh, cutaneus coagulase-
negative staphylococci menyebabkan infeksi intravascular line, dan Escherichia coli
merupakan penyebab umum dari infeksi saluran kemih (Soedarto, 2016)
b. Bakteri patogen
Bakteri ini memiliki tingkat virulensi yang tinggi dan dapat menyebabkan infeksi baik
sporadik ataupun epidemik. Beberapa contohnya adalah:
1. Bakteri bentuk batang gram positif, misalnya Clostridium, menyebabkan gangren
(Nguyen QV, 2014)
2. Bakteri gram positif seperti Staphylococcus aureus yang berkolonisasi di kulit dan
hidung baik pada staff rumah sakit maupun pada pasien merupakan penyebab berbagai
penyakit paru, tulang, jantung, dan pembuluh darah. Bakteri ini juga sering resisten
terhadap antibiotika.
3. Bakteri gram negatif (Enterobacteriacae), seperti Klebsiella, Enterobacter, Proteus,
Escherichia coli, dan Serratia marcescen, akan berkolonisasi saat pertahanan tubuh
menurun dan menyebabkan infeksi serius, terutama luka operasi dan infeksi perineum.
4. Organisme gram negatif seperti Pseudomonas spp. Sering terisolasi dalam air dan
tempat yang lembab, dan dapat menginfeksi saluran pencernaan pasien rawat inap.
5. Bakteri lainnya yang merupakan penyebab infeksi di rumah sakit misalnya Legionella
sp. yang merupakan penyebab pneumonia baik sporadik maupun endemik melalui
inhalasi aerosol yang mengandung air yang telah terkontaminasi, misalnya pada AC,
shower, bahkan pada terapi yang menggunakan aerosol
2. Virus
Virus termasuk patogen penyebab infeksi nosokomial, diantaranya virus hepatitis B dan C
dengan media penularan dari transfusi, dialisis, suntikan dan endoskopi. Respiratory syncytial
virus (RSV), rotavirus, dan enterovirus yang ditularkan lewat kontak tangan ke mulut maupun
fecal-oral. Rute penularan untuk virus sama seperti mikroorganisme lainnya, seperti melalui
traktus gastrointestinal, traktus respiratorius, kulit dan darah. Virus lain yang sering
menyebabkan infeksi nosokomial adalah cytomegalovirus, ebola, influenza virus, herpes simplex
virus, dan varicella-zoster virus.
3. Parasit dan fungi
Beberapa parasit seperti Giardia lamblia ditularkan dengan mudah terutama pada anak-
anak. Jamur dan parasit lain juga merupakan organisme oportunistik dan dapat menyebabkan
infeksi pada pasien dengan pengobatan antibiotika spektrum luas dan imunosupresi berat.
Pencemaran lingkungan rumah sakit oleh organisme udara seperti Aspergillus spp. yang berasal
dari debu dan tanah terutama selama pembangunan rumah sakit. Sarcoptes scabies juga
merupakan ektoparasit yang telah berulang kali menyebabkan wabah di fasilitas kesehatan
(Soedarto, 2016).

2.2.4 Klasifikasi Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial dikelompokan berdasarkan tempat distribusinya. Tempat-tempat utama


terjadinya infeksi nosokomial dalam tubuh pasien adalah:

1. Infeksi saluran kemih ( UTI )

Merupakan infeksi nosokomial yg paling sering terjadi. Sekitar 80% infeksi saluran kemih
ini berhubungan dengan pemasangan kateter. Infeksi saluran kemih jarang menyebabkan
kematian dibandingkan infeksi nosokomial lainnya. Tetapi kadang - kadang dapat menyebabkan
bakterimia dan kematian. Infeksi biasanya ditentukan oleh kriteria secara mikrobiologi. Positif
apabila kultur urin 10 5 mikroorganisme / ml, dengan maksimum dari dua isolat spesies
bakteri. Bakteri dapat berasal dari flora normal saluran cerna , misalnya E. coli ataupun didapat
dari rumah sakit, misalnya Klebsiella multiresisten.

2. Infeksi luka operasi / infeksi daerah operasi ( ILO / IDO )

Infeksi nosokomial yang sering terjadi, insiden bervariasi, dari 0,5 sampai 15 %, tergantung
tipe operasi dan penyakit yang mendasarinya. Hal ini merupakan masalah yang signifikan,
karena memberikan dampak pada biaya rumah sakit yang semakin besar, dan bertambah
lamanya masa inap setelah operasi. Kriteria dari infeksi luka infeksi ini yaitu ditemukan
discharge purulen disekitar luka atau insisi dari drain atau sellulitis yang meluas dari luka.
Infeksi biasanya didapat ketika operasi baik secara exogen ( dari udara, dari alat kesehatan,
dokter bedah dan petugas petugas lainnya ), maupun endogen dari mikroorganisme pada kulit
yang diinsisi. Infeksi mikroorganisme bervariasi, tergantung tipe dan lokasi dari operasi dan
antimikroba yang diterima pasien.

3. Pneumonia nosokomial ( VAP )

Yang paling penting adalah penggunaan ventilator pada pasien di ICU., dimana prevalensi
terjadinya pneumonia sebesar 3% perhari. Merupakan angka kejadian fatal yang tinggi, yang
dihubungkan dengan Ventilator associated Pneumonia. Mikroorganisme berkolonisasi di saluran
pernafasan bagian atas dan bronchus dan menyebabkan infeksi pada paru ( pneumonia ). Sering
merupakan endogen, tetapi dapat juga secara exogen. Diagnosa pneumonia berdasarkan gejala
klinis dan radiologi, sputum purulen serta timbulnya demam. Diketahui sekarang bahwa yang
merupakan faktor resiko adalah tipe dan lamanya penggunaan ventilator, beratnya kondisi pasien
atau ada atau tidaknya penggunaan antibiotik sebelumnya.
4. Bakteremia nosokomial ( BSI )

Prevalensi infeksi nosokomial jenis ini terbilang cukup rendah, yaitu hanya
sekitar 5% dari total infeksi nosokomial, namun kasus kematian akibat infeksi ini
sangat tinggi hingga mencapai lebih dari 50%. Infeksi ini dibagi menjadi dua kategori
utama:

a. Infeksi pembuluh darah primer (IADP), muncul tanpa adanya tanda infeksi
sebelumnya, dan berbeda dengan organisme yang ditemukan dibagian tubuhnya
yang lain.

b. Infeksi sekunder, muncul sebagai akibat dari infeksi dari organisme yang sama
dari sisi tubuh yang lain. Mortalitas yang terjadi pada infeksi ini terutama
disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotika seperti Staphylococcus
dan Candida. Infeksi dapat muncul di tempat masuknya alat-alat seperti jarum
suntik, kateter urin, dan kateter vena sentral (CVC). Faktor utama penyebab
infeksi ini adalah panjangnya kateter, suhu tubuh saat dilakukannya prosedur
invasif, dan perawatan dari pemasangan kateterInfeksi nosokomial lainnya

5. Infeksi nosokomial lainnya

Merupakan infeksi nosokomial yang ke empat tersering. Sebagai contoh, misalnya:

Infeksi pada kulit dan jaringan lunak, misalnya luka terbuka ( luka bakar dan
luka akibat berbaring lama )

Gastroenteritis merupakan infeksi nosokomial tersering pada anak anak, dimana


penyebabnya terbanyak adalah rotavirus. Untuk penyebab tersering
gastroenteritis pada orang dewasa adalah Clostridium difficile, sering terdapat
pada negara berkembang.

Sinusitis dan infeksi saluran cerna lainnya, infeksi pada mata dan konjungtiva.

Endometritis dan infeksi lainnya dari organ reproduksi setelah melahirkan.


2.2.5 Faktor yang Mempengaruhi Infeksi Nosokomial

a. Faktor Eksogen

1. Lama rawat inap


Diantara beberapa faktor risiko yang telah disebutkan diatas, lamanya waktu
rawat inap merupakan faktor yang paling mempengaruhi terjadinya infeksi
nosokomial. Disebutkan bahwa terdapat hubungan linear antara lama perawatan
dan insiden infeksi nosokomial di ruang rawat intensif. Panjangnya waktu
perawatan di rumah sakit memungkinkan terjadinya kolonisasi bakteri baik dari
luar pasien (eksogen), maupun oleh bakteri dari dalam diri pasien yang
bersangkutan (endogen) (Rachma and Supriatna, 2015).
2. Lama pemakaian antibiotika
Di ruang rawat intensif, dimana penggunaan antibiotika lebih sering dan
dalam dosis tinggi dibandingkan dengan area lainnya di rumah sakit, resistensi
antibiotika menjamin eksistensi beberapa patogen yang mengakibatkan infeksi
nosokomial. Meningkatnya resistensi bakteri dapat meningkatkan angka mortalitas
terutama terhadap pasien yang immunocompromised. Penggunaan antibiotika
spektrum luas di ruang rawat intensif lebih sering dibandingkan ruangan lain, hal
ini menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya resistensi
antibiotika (Rachma and Supriatna, 2015).
Studi mengatakan bahwa pemberian antibiotika yang tidak adekuat
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya resistensi antibiotika.
Penggunaan antibiotika yang terus-menerus ini meningkatkan multiplikasi dan
penyebaran strain yang resisten. Penyebab utamanya karena:
Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol.
Dosis antibiotika yang tidak optimal.
Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat.
Kesalahan diagnosa (Rachma and Supriatna, 2015).
3. Intervensi diagnostik
Beberapa prosedur diagnostik yang bersifat invasif seperti kateter urin, kateter
vena sentral (CVC), dan endotracheal-tube (ET) biasa dilakukan di ruang rawat
intensif. Tindakan tersebut berpengaruh pada kejadian infeksi nosokomial melalui:
a. Central Venous Cathether (CVC)
Kateter vena sentral atau CVC pada pasien rawat inap mutlak diperlukan
untuk mensuplai beberapa bahan penting untuk tubuh, diantaranya: cairan
intra vena, obat-obatan serta produk darah, nutrisi parental yang
berkepanjangan, kemoterapi, dan hemodialisis. Namun, kateter vena sentral
ini memiliki beberapa komplikasi berupa gangguan mekanis, fisis, dan
kimiawi. Komplikasi tersebut dapat berupa:
Ekstravasasi infiltrat: cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi
kanula.
Penyumbatan: infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa dapat
dideteksi adanya gangguan lain.
Flebitis: terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang
vena.
Trombosis: terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena yang
menghambat aliran infus.
Septikemia: bila kuman menyebar hematogen dari kanul.
Supurasi: bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul
(Rachma and Supriatna, 2015).
b. Kateter urin
Penggunaan kateter urin kateter urin yang lama dan tidak diganti-ganti erat
kaitannya dengan terjadinya infeksi nosokomial di saluran kemih. Sangat sulit
untuk dapat mencegah penyebaran mikroorganisme sepanjang uretra yang melekat
dengan permukaan kateter. Kebanyakan pasien akan terinfeksi setelah 1-2 minggu
pemasangan kateter. Penyebab paling utama adalah kontaminasi tangan atau
sarung tangan ketika pemasangan dilakukan, atau air yang digunakan untuk
membesarkan balon kateter. Dapat juga karena sterilisasi yang gagal dan teknik
septik dan aseptik yang kurang baik (Rachma and Supriatna, 2015).
c. Endtracheal tube (ET)
Komplikasi paling umum yang terjadi pada pasien dengan Endotracheal
intubation jangka panjang adalah pneumonia nosokomial. Penggunaan biomaterial
sebagai life-support dan monitoring pasien kritis sangat esensial, tapi
penggunaannya dapat meningkatkan risiko infeksi nosokomial. Berbagai macam
plastik digunakan pada alat yang mendukung life-support dan monitoring.
Polyvinylchlorida (PVC) yang merupakan bahan dari Endotracheal tube adalah
salah satu bahan yang paling mudah untuk terjadi adhesi bakteri (Rachma and
Supriatna, 2015).
4. Kebijakan rumah sakit
Kebijakan rumah sakit merupakan hal yang tidak kalah penting dalam
penyebaran infeksi nosokomial. Kebijakan ini mengikat para klinisi kesehatan
dengan aturan-aturan tertentu sebelum melakukan intervensi medis kepada pasien
yang tentunya harus dipatuhi. Salah satu contoh yang paling penting adalah
perilaku cuci tangan karena tangan merupakan sumber utama penularan infeksi
nosokomial. Perilaku mencuci tangan pada para klinisi kesehatan yang kurang
adekuat akan memindahkan organisme organisme bakteri patogen secara
langsung kepada pasien yang akan menyebabkan infeksi nosokomial (Rachma and
Supriatna, 2015).
5. Peralatan medis
Peralatan medis yang dimaksud adalah alat yang digunakan melakukan
tindakan keperawatan, misalnya jarum, kateter, kasa, instrument, dan sebagainya.
Bila peralatan medis tidak dikelola kebersihan dan kesterilannya maka akan
menyebabkan infeksi nosokomial. Penelitian pada tahun 1999 menyimpulkan
bahwa terdapat lebih dari 50% suntikan yang dilakukan di negara berkembang
tidaklah aman (contohnya jarum, tabung atau keduanya yang dipakai berulang-
ulang) dan banyaknya suntikan yang tidak penting (misalnya penyuntikan
antibiotika) (Rachma and Supriatna, 2015).
6. Lingkungan
Lingkungan rumah sakit yang tidak bersih juga dapat menyebabkan infeksi
nosokomial, sebab mikroorganisme penyebab infeksi dapat tumbuh dan
berkembang pada lingkungan yang kotor dan lembab. Toilet rumah sakit juga
harus dijaga, terutama pada unit perawatan pasien diare untuk mencegah
terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan toilet harus selalu bersih dan diberi
disinfektan. Pengaturan udara yang baik mutlak diperlukan dalam fasilitas
kesehatan. Jika sekiranya tidak memungkinkan, usahakan adanya pemakaian
penyaring udara, terutama bagi penderita dengan status imun yang rendah atau
bagi penderita yang dapat menyebarkan penyakit melalui udara. Kamar dengan
pengaturan udara yang baik akan lebih banyak menurunkan resiko terjadinya
penularan infeksi (Rachma and Supriatna, 2015).
7. Hidangan rumah sakit
Makanan atau minuman yang disajikan kepada penderita bisa jadi telah
terkontaminasi mikroorganisme patogen. Jika hal ini terjadi, akan menyebabkan
infeksi terutama pada saluran pencernaan yang sedang mengalami iritasi (Rachma
and Supriatna, 2015).
8. Penderita lain
Keberadaan penderita lain dalam satu kamar atau ruangan atau bangsal
perawatan dapat merupakan sumber penularan (Rachma and Supriatna, 2015).
9. Pengunjung
Pengunjung dapat menyebarkan infeksi yang didapat dari luar ke dalam
lingkungan rumah sakit, atau sebaliknya, yang dapat ditularkan dari dalam rumah
sakit ke luar rumah sakit (Rachma and Supriatna, 2015).
10. Ulkus Dekubitus
Ulkus dekubitus atau luka tekan adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir
yang disebabkan karena adanya kompresi jaringan lunak diatas tulang menonjol
(body prominence) dan adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu yang lama.
Kompresi jaringan tersebut akan menyebabkan gangguan suplai darah pada daerah
yang tertekan. Apabila ini berlangsung lama, maka dapat menyebabkan
insufisiensi aliran darah, anoksia atau iskemi jaringan dan akhirnya dapat
mengakibatkan kematian sel. Kerusakan struktur anatomis dan fungsi kulit normal
ini tidak sembuh dengan urutan dan waktu biasa (Rachma and Supriatna, 2015).

b. Faktor Endogen

1. Sistem imun

Di dalam tubuh manusia, selain adanya bakteri yang patogen oportunis, ada

pula bakteri yang secara mutualistik ikut membantu dalam proses fisiologis tubuh,
dan membantu ketahanan tubuh melawan invasi mikroorganisme patogen serta
menjaga keseimbangan di antara populasi jasad renik komensal pada umumnya,
misalnya seperti yang terdapat di dalam saluran cerna manusia. Namun pada
kenyataannya, pasien di ruang rawat intensif memiliki sistem imun yang lebih
rendah dikarenakan oleh penyakit yang mendasari, asupan gizi yang kurang, serta

adanya tindakan invasif yang dilakukan pada pasien tersebut.

2. Umur

Anak-anak sangat rentan terhadap infeksi, baik endogen maupun eksogen.

Berdasarkan studi yang telah ada, dinyatakan bahwa usia kurang dari 1 tahun dan
lebih dari 40 tahun memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena infeksi,
termasuk infeksi nosokomial. Pada anak usia kurang dari 1 tahun sistem imun
belum berkembang secara sempurna, sedangkan pada usia lebih dari 40 tahun
mulai terjadi proses degenerasi sel sehingga sistem imun mulai menurun.

3. Penyakit dasar

Pasien dengan penyakit dasar tertentu yang bersifat imunosupresan, seperti


penyakit kronis, tumor maligna, leukemia, diabetes melitus, gagal ginjal dan AIDS
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena infeksi nosokomial karena sistem
imun yang menurun sebagai akibat dari penyakit atau terapi yang dijalaninya
menurunkan jumlah sel fagosit. Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi
rendah seperti leukimia dan pengguna obat immunosupresan juga perlu diisolasi
agar terhindar dari infeksi. Ruang isolasi ini harus selalu tertutup dengan ventilasi
udara selalu menuju keluar. Sebaiknya satu pasien berada dalam satu ruang isolasi,
tetapi bila sedang terjadi kejadian luar biasa dan penderita melebihi kapasitas,
beberapa pasien dalam satu ruangan tidaklah apa-apa selama mereka menderita
penyakit yang sama.
DAFTAR PUSTAKA

Darmadi. 2010. Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendaliannya. Salemba Ilmu:


Jakarta.

Farid. 2011. Infeksi Nosokomial Masalah Serius bagi Pengelola Rumah Sakit. Jakarta
:Rumah Sakit Pelni. Available from:
http://rspelni.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72:-infeksi
nosokomial-masalah-serius-bagi-pengelola-rumah-sakit&catid=44:artikel
kesehatan&Itemid=140.

Kurniadi, H. 2013. Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di RS Mitra Keluarga. Jakarta.


Jakarta : Rumah Sakit Mitra Keluarga. Available from :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08PencegahanInfeksiMitra082.pdf/08Pencega
anInfeksiMitra082.html.

Nasution, LH. INFEKSI NOSOKOMIAL. Departemen / SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin FK Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan.

Rachma, F. and Supriatna, S., 2015. FAKTOR RISIKO INFEKSI NOSOKOMIAL PADA
PASIEN ANAK DI RUANG HCU DAN PICU RSUP DR KARIADI SEMARANG
(Doctoral dissertation, Faculty of Medicine).

Soedarto. 2016. Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. Jalarta: Sagung Seto. Nguyen QV.
Hospital Acquired Infections. Available from:
www.emedicine.medscape.com/article/967022-overview. 2014.

Daftar pustaka :

Dwiastuti D., (2009). Hubungan Antara Faktor Lingkungan Dan Perilaku Dengan
Kejadian Hepatitis A Pada Taruna Akademi Kepolisian Tahun 2008. Semarang: Universitas
Diponegoro

Wicaksono, Dhaneswara Adhytama and Gassem, M Hussein. 2014. Angka Kejadian


Infeksi Hepatitis A Virus Pada Pasien dengan Leptospirosis. Undergraduate thesis, Faculty of
Medicine Diponegoro University.
Ash-shiddiq, B. Hepatitits Masa Inkubasi Hepatitis A. Diakses pada 19 oktober 2017
(http://hepatitis.autoimuncare.com/masa-inkubasi-hepatitis-a/)
Diambil dari PowerpointPresentation Virus II 2015 oleh Prof. Dr. Tuti Kusumaningsih,
drg., M.Kes, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai