Anda di halaman 1dari 4

TUGAS MATA KULIAH

PENGINDERAAN JAUH UNTUK ATMOSFER

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah yang Dibimbing Oleh:


Bapak Prof. Dr. Hartono, DEA, DESS

OLEH

LAODE MUHAMAD IRSAN


16/402676/PGE/01263
PROGRAM STUDI S2 PENGINDERAAN JAUH

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASONAL


UNIVERSITAS GAJAH MADA
FAKULTAS GEOGRAFI
YOGYAKARTA
2017
A. JUDUL
ANALISIS SPASIAL DAN TEMPORAL DATA LIGHTING DETECTOR TAHUN
2009-2015 DI STASIUN GEOFISIKA SANGLAH DENPASAR

B. PENDAHULUAN
Pelaksanaan tahun data di lingkungan BMKG bertujuan untuk membangun
komitmen bersama dalam meningkatkan kuantitas data meteorologi, klimatologi,
dan geofisika yang cepat, tepat, akurat, cangkupan yang luas, dan mudah
dipahami. Meningkatnya ketersediaan data petir merupakan bagian dari indikator
kegiatan peningkatan kuantitas dan kualitas data pada tahun data 2016.
Pengamatan Lightning Detector di stasiun geofisika Sanglah Denpasar sudah
dilakukan sejak 8 agustus 2008.
Monitoring petir sangat penting karena setiap tahunnya selalu memakan
korban jiwa di Bali. Sambaran petir jenis Cloud to Ground (CG) merupakan
sambaran petir yang berdampak lansung pada kehidupan manuasia. Pola waktu
kejadian sambaran dan pemetaan sambaran petir sangat dibutuhkan untuk
mengetahui daerah yang rawan terhadap sambaran petir. Untuk itu, perlu
dilakukan analisis antara beberapa kejadian meteorologi dan kejadian sambaran
petir.

C. METODE
Data yang digunakan adalah data rekaman petir jenis CG+ dan CG- yang
tercatat di Stasiun Geofisika Denpasar, peta rupa bumi, dan kontur topogafi
wilayah Bali. Data yang digunakan untuk analisis secara spasial adalah data citra
satelit MTSAT dan NOAA. Untuk analisis temporal digunakan data indeks Nino 3,4
dari informasi BMKG.

Pengolahan data menggunakan Lightning Data Pocessing dengan


mengubah ekstensi idc ke format kml. Selanjutnya, dilakukan konversi data petir
harian format kml menjadi xlsx, dan disimpan dengan format csv (comma
delimited). Proses pemetaan selanjutnya dilakukan dengan metode kriging serta
membandingkan kejadian-kejadian petir selama rentang waktu tahun 2009-2015
dengan fenomoena El-Nino dan La-Nina.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pemetaan sambaran petir bulanan dari tahun 2009-2015
menunjukan bahwa daerah rawan petir terjadi pada daerah pegunungan dan
daerah yang berbatasan dengan laut serta pareiran selatan bali. Awan
Cumulonimbus di wilayan pegunungan dan konveksi udara berpengaruh pada
pembentukan awan Cumulonimbus di perairan. Kondisi topografi sangat
mempengaruhi kerawanan sambaran petir jenis CG karena perbukitan dapat
mengangkat uap air yang cukup banyak dan menjadi awan konvektif. Kerapan
petir cenderung konstan pada ketinggian 100-700 mdpl dan terjadi peningkatan
pada ketinggian 700-1200 mdpl.
Bersarkan data citra satelit MTSAT dan NOAA kejadian sambaran petir
jenis CG+ pada fenomena Mesoscale Convective System (MCS) menunjukan
sebaran yang sesuai dengan keberadaan statiform.

(a) (b)
Gambar 1. (a) Overlay CG+ degan citra MTSAT, (b) Ole Overlay CG+ degan citra MTSAT dalam
mendeteksi Mesoscale Convective System (MCS)

Dari garifk rata-rata sambaran petir harian menunjukan pola satu puncak
dengan jumlah dengan jumlah sambaran petir tertinggi terjadi pada sore hari. Pada
musim penghujan grafik sambaran petir membentuk pola semidiurnal, sedangkan
pada musim kemarau menujukan pola acak. Variasi grafik sambaran petir turut
dipengaruhi oleh fenomena atmosfer global yaitu El-Nino dan La Nina. Pada saat
indeks Nino negatif mengindikasikan terjadi fenomena La-Nina tahun 2010 dengan
curah hujan tinggi maka teradi peningkatan sambaran petir. Kemudian pada tahun
2015 terjadi fenomena El-Nino kuat yang mengakibatkan menurunya petumbuhan
awan konvektif di wilayah Bali yang beriplikasi pada menurunya sambaran petir.

E. KOMENTAR DAN TANGGAPAN TENTANG METODE


1. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kriging yang
mengestimasi nilai dari sebuah titik atau blok sebagai kombinasi linier dari
nilai. Tetapi metode ini memiliki beberapa kelemahan yaitu hasil nalisis
cenderung kurang bervariasi dan kurang baik digunakan pada skala lokal.
2. Data citra yang digunakan adalah MTSAT dan NOAA menampilkan
fenomena dalam skala global dan memiliki resolusi spasial kasar sehingga
memiliki generalisasi yang tinggi jika digunakan pada wilayah yang sempit.
3. Citra MODIS bisa menjadi alternatif yang baik untuk malakukan analisis
petir secara spasial.
4. Stasiun pengamatan petir harus letakan pada lokasi-lokasi yang strategis
pada beberapa wilayah untuk meningkatkan jumlah data yang akan
dianalisis sehingga memiliki akurasi data yang tinggi.
5. Tampilan layout hasil masih kurang dari segi aspek kartografis, sehingga
para pembaca agak kusulitan dalam membaca peta yang ada.

Referensi:
Pratama I. P. D., dan Pande K. G. A, 2016, Analisis Spasial dan Temporal Data
Lightning Deterctor tahun 2009-2015 di Stasiun Geofisika Sanglah
Denpasar, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika.

Anda mungkin juga menyukai