Anda di halaman 1dari 101

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Komponen Penginderaan Jauh....................................... 10


Gambar 2.2 Karakteristik respon spektal vegetasi hijau....................12
Gambar 2.3 Kerangka penelitian....................................................... 33
Gambar 3.1 Diagram alir metode penelitian...................................... 51
Gambar 4.1 Peta Lokasi Penelitian.................................................... 58
Gambar 5.1 Peta Sampel Lapangan Citra Resolusi Tinggi................62
Gambar 5.2 Titik kontrol (GCP) pada koreksi geometrik................. 71
Gambar 5.3Pertampalan vektor sebelum dan
sesudah Koreksi Geometrik........................................... 72
Gambar 5.4 Histogram citra daerah kajian untuk komposit
warna 432....................................................................... 77
Gambar 5.5 Kenampakan citra satelit ALOS AVNIR-2
komposit 432................................................................. 78
Gambar 5.6 Peta Satuan Pemetaan Kerapatan Vegetasi.................... 81
Gambar 5.7 Pembuatan ROI dari blok kerapatan vegetasi................ 83
Gambar 5.8 Grafik hubungan antara RVI dengan kerapatan
vegetasi.......................................................................... 85
Gambar 5.9 Grafik hubungan antara NDVI dengan kerapatan
vegetasi.......................................................................... 86
Gambar 5.10 Grafik hubungan antara TVI dengan kerapatan
vegetasi........................................................................... 86
Gambar 5.11 Grafik hubungan antara MSAVI dengan kerapatan
vegetasi.......................................................................... 87
Gambar 5.12 Peta Kerapatan Kanopi Hutan Interpretasi Hibrida..... 91

xi

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Produk Data Standar ANVIR-2........................................ 15
Tabel 2.2 Kelebihan dan kekurangan metode interpretasi visual
dan digital...........................................................................25
Tabel 2.3 Perbandingan dengan penelitian sebelumnya dan
penelitian yang akan dilakukan......................................... 35
Tabel 3.1 Tingkat hubungan koefisien korelasi................................ 47
Tabel 3.2 Kelas kerapatan vegetasi................................................... 48
Tabel 3.3 Uji akurasi pemetaan habitat bentik...................................49
Tebel 5.1 Hasil identifikasi kerapatan vegetasi di lapangan.............. 63
Tabel 5.2 Titik GCP pada koeksi geometrik...................................... 70
Tabel 5.3 Nilai gain dan offset pada citra ALOS AVNIR-2.............. 73
Tabel 5.4 Citra hasil transformasi dan perbandingan nilai
spektralnya....................................................................... 76
Tabel 5.5 Pengenalan Objek Hasil interpretasi Visual
untuk Satuan Pemetaan..................................................... 80
Tabel 5.6 Nilai rata-rata piksel blok kerapatan vegetasi
pada Transformasi Indeks Vegetasi
(RVI, NDVI, TVI dan MSAVI) ....................................... 84
Tabel 5.7 Korelasi nilai rata-rata tiap saluran dengan nilai
kerapatan.......................................................................... 87
Tabel 5.8 Formula kerapatan vegetasi............................................... 89
Tabel 5.9 Luas kerapatan vegetasi hasil interpretasi hibrida............. 90
Tabel 5.10 Uji akurasi interpretasi hibrida....................................... 92

xii

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai rata-rata satuan pemetaan kerapatan kanopi
vegetasi pada citra NDVI............................................ 101
Lampiran 2. Header Citra Satelit ALOS AVNIR-2........................... 104
Lampiran 3. Peta Kerapatan Kanopi Vegetasi Interpretasi Citra resolusi
Tinggi........................................................................... 107
Lampiran 4. Citra RVI....................................................................... 108
Lampiran 5. Citra NDVI.................................................................... 109
Lampiran 6. Citra TVI....................................................................... 110
Lampiran 7. Citra MSAVI................................................................ 111
Lampiran 8. Peta Inversi Regresi......................................................112

xiii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk
perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk
radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan
bumi (Lindgren, 1985 dalam Sutanto 1986). Hasil dari rekaman tersebut
berupa data penginderaan jauh yang dalam penerapannya disebut citra
penginderaan jauh. Ada dua macam citra yang dihasilkan dari produk
penginderaan jauh, citra foto dan citra nonfoto (satelit). Citra foto dihasilkan
dari pemotretan foto udara dengan sensor berupa kamera. Sensor tersebut di
pasang pada wahana seperti pesawat terbang, balon udara, atau bahkan
pesawat tanpa awak (remote control). Adapun citra nonfoto adalah citra
yang dihasilkan dari pemotretan dengan satelit sebagai wahananya.
Citra hasil rekaman sensor penginderaan jauh memuat berbagai
macam informasi objek di permukaan bumi. Untuk dapat dimanfaatkan
secara optimal, maka citra ini harus diterjemahkan dalam bentuk informasi
tentatif objek. Setiap objek di permukaan bumi memiliki nilai reflektansi
yang berbeda-beda. Interaksi gelombang elektromagnetik dengan objek di
permukaan bumi inilah yang nantinya dijadikan dasar pengenalan objek.
Tahap awal pengenalan citra inilah yang disebut dengan interpretasi citra.
Estes dan Simonette (1975 dalam Sutanto, 1986) mengatakan bahwa
interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra
dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya
objek tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan unsur-unsur pengenal objek
ataupun gejala yang terekam pada citra. Unsur-unsur inilah yang dinamakan
unsur interpretasi. Ada 9 jenis unsur interpretasi, rona atau warna, ukuran,
bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs dan asosiasi (Estes et al., 1983
dalam Sutanto 1986). Tidak mutlak ke 9 unsur interpretasi tersebut
digunakan secara serentak untuk menginterpretasi objek. Melaui latihan
1

menginterpretasi citra baik di laboratrium maupun observasi lapangan


secara langsung akan dapat dikenali unsur-unsur interpretasi apa saja yang
paling berperan dalam identifikasi objek di permukaan bumi. Unsur
interpretasi yang paling berperan inilah yang kemudian disebut kunci
interpretasi. Menurut (Sabins, 1997), kunci interpretasi adalah karakteristik
atau kombinasi karakteristik (dalam hal ini diwakili oleh unsur-unsur
interpretasi) yang memungkinkan suatu objek pada citra dapat dikenali.
Interpretasi citra pada dasarnya terdiri dari dua proses, yakni proses
perumusan identitas objek dan elemen yang dideteksi pada citra dan proses
untuk menemukan arti pentingnya objek dan elemen tersebut (Lo, dalam
Sutanto 1986). Hasil dari proses inilah yang kemudian dikelompokkan
berdasarkan homogenitasnya, jadi dapat dikatakan bahwa proses interpretasi
pada

dasarnya

adalah

mengelompokkan

karakteristik/fenomena

di

permukaan bumi berdasarkan kemiripan/homogenitasnya membentuk suatu


pola tertentu.
Menurut Sutanto (1986) interpretasi citra penginderaan jauh dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi secara visual atau manual dan
interpretasi secara digital. Manual dengan memanfaatkan penginderaan
melalui citra sedangkan interpretasi digital dilakukan dengan mendasarkan
pada informasi spektralnya.

Proses interpretasi yang untuk selanjutnya

dilakukan klasifikasi adalah elemen yang sangat penting dalam menentukan


sukses tidaknya proses pemetaan. Banyak metode klasifikasi yang masih
digunakan hingga saat ini, terutama untuk klasifikasi digital. Beberapa
metode klasifikasi digital yang umum digunakan antara lain klasifikasi
multispektral, jaringan saraf tiruan, logika samar, klasifikasi berorientasi
obyek.
Sejauh ini hanya dikenal dua proses interpretasi, yakni manual dan
digital. Masing-masing dari interpretasi tersebut pastilah memiliki kelebihan
dan

kekurangannya.

mengoptimalkan

Dalam

kelebihannya

rangka
maka

mereduksi

kekurangan

dikembangkanlah

satu

dan
teknik

interpretasi dengan menggabungan baik interpretasi digital maupun


interpretasi manual untuk mengidentifikasi objek tertentu di permukaan
2

bumi. Teknik interpretasi inilah yang kemudian disebut dengan interpretasi


hibrida. Adapun interpretasi hibrida menurut Suharyadi (2010) adalah
teknik yang mengkombinasikan antara interpretasi visual untuk delineasi
objek, dan menggunakan prinsip-prinsip pola pengenalan spektral secara
digital untuk identifikasi objeknya.
Penggunaan berbagai metode interpretasi baik visual maupun digital
sebenarnya sama-sama untuk mempermudah dalam pengenalan objek di
permukaan bumi. Namun bagaimana kemudian metode tersebut nantinya
dapat diterima dan dimanfaatkan untuk analisis keruangan. Hal ini erat
kaitannya dengan kualitas data spasial yang dihasilkan. menurut Guptill dan
Morrison (1995) dalam Danoedoro (2012) kualitas data spasial adalah suatu
keadaan data yang harus diinformasikan keada pengguna data tersebut agar
mereka dapat memanfaatkannya secara proporsional; dan juga kepada para
praktisi atau peneliti yang dalam pekerjaannya menghasilkan keluaran
berupa peta atau citra agar mencantumkan informasi tentang keadaan data
yang dihasilkan sehingga data dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya.
Banyak aspek yang mempengaruhi kualitas data spasial, antara lain
lineage/riwayat

data,

akurasi

posisi,

akurasi

atribut,

kelengkapan,

konsistensi logis, akurasi semantik, dan informasi temporal (Guptil dan


Morrison, 1995 dalam Danoedoro 2012). Kualitas data yang dibicarakan
pada penelitian kali ini adalah kualitas data hubungannya dengan akurasi
semantik, yakni akurasi pada isi informasi tematik peta. Akurasi ini
menggambarkan tingkat kebenaran dari peta yang dihasilkan. Semakin
tinggi akurasinya, semakin baik data/peta yang dihasilkan.
Produk penginderaan jauh yang disebut citra penginderaan jauh saat
ini sudah banyak dimanfaatkan untuk kajian penutup dan atau penggunaan
lahan, tata ruang wilayah, hingga studi kebencanaan. Masing-masing citra
penginderaan jauh memiliki tingkat kedetilalan informasi yang disadap, hal
ini erat kaitannya dengan resolusi. Ada empat resolusi yakni resolusi
spasial, resolusi spektral, resolusi radiometeri, dan resolusi temporal
(Sutanto, 1986). Menurut Swain dan Davis (1978) resolusi adalah
kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi

secara spasial (keruangan) berdekatan atau secara spektral (sinar)


mempunyai kemiripan. Resolusi spasial merupakan petunjuk kualitas
sensor, semakin kecil objek yang dapat direkam olehnya, semakin detil
informasinya.

Resolusi

spektral

adalah

kemapuan

sensor

dalam

membedakan objek berdasarkan pantulan spektral dari objek itu sendiri.


Resolusi temporal terkait dengan waktu, yakni kemampuan sensor untuk
merekam ulang daerah yang sama. Sedangkan resolusi radiometri adalah
kemampuan sensor dalam mencatat respons spektral objek.
Konsep resolusi berkaiatan erat dengan kualitas data spasial dalam
penginderaan jauh. Tidak semua data dapat digunakan begitu saja,
tergantung tujuan penggunaannya, dan output yang dihasilkan. . Citra-citra
skala kecil dengan resolusi yang kecil, NOAA misalnya digunakan untuk
analisis hingga tingkat regional dengan cakupan wilayah yang luas.
Sedangkan Landsat atau ASTER tingkat kedetilannya hanya terbatas pada
skala menengah begitu pula dengan ALOS. Lain halnya dengan IKONOS
atau QuickBird, citra ini dapat mencapai tingkat kedetilan tinggi karena
memiliki resolusi spasial yang tinggi pula. Kaitannya dengan hal tersebut,
maka penelitian yang dilakukan di sebagian Kabupaten Gunungkidul ini
menggunakan citra satelit resolusi menengah ALOS untuk kajian kerapatan
vegetasi sehingga output yang dihasilkan nanti dapat sesuai dengan apa
yang diharapkan. Variasi panjang gelombang yang dimiliki oleh citra ALOS
dengan sensor AVNIR-2 inilah yang dijadikan dasar dalam pengenalan
objek vegetasi di permukaan bumi. Dari sekian banyak metode interpretasi
vegetasi, transformasi indeks vegetasi masih dipercaya sebagai metode yang
memiliki keakuratan yang baik untuk pengenalan vegetasi di permukaan
bumi.
Pemetaan kerapatan vegetasi untuk penelitian kali ini dilakukan di
Kabupaten Gunungkidul dengan objek kajian berupa hutan. Berdasarkan
data dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IX daerah Istimewa
Yogyakarta tahun 2008 menyebutkan bahwa Kabupaten Gunungkidul
menduduki peringkat tertinggi di Yogyakarta atas wilayah hutannya dengan
total luasnya mencapai 14.859,50 Ha. Kondisi ini tentunya membutuhkan

manajemen hutan yang baik agar tetap menjadi hutan yang lestari. Ada
banyak parameter yang dapat diangkat guna optimalisasi potensi hutan, dan
salah satunya adalah kerapatan tegakan. Sebagaimana disebutkan oleh Davis
dan Johson (1986) dalam Sahid (2005) bahwa dua macam kegunaan
pengukuran tegakan hutan yaitu pertama untuk menunjukkan tegakan dalam
model yang digunakan untuk menaksir jumlah pertumbuhan dan hasil di
masa yang akan datang, dan kedua untuk memutuskan prestasi tegakan jika
dibandingkan dengan kriteria-kriteria tujuan pengelolaan. Hutan dalam
penelitian kali ini merujuk pada hutan jenis tegakan. Menurut UndangUndang Kehutanan No. 41 tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan tegakan menurut Howard
(1991) adalah suatu agregasi pohon yang cukup seragam komposisinya yang
dapat dibedakan dari tanaman di dekatnya. Berdasarkan dari rumusan
tegakan yang dikemukakan oleh Howard (1991) tersebut, maka proses
pemetaan vegetasi dapat diidentifikasi memalui perbedaan tekstur tegakan
pada citra penginderaan jauh.

1.2 Rumusan Masalah


Managemen pengelolaan hutan yang baik akan selalu membutuhkan
informasi mengenai pertumbuhan hutan yang dikelola baik dari sisi kualitas
maupun kuantitasnya. Informasi ini dapat diperoleh melalui pengamatan
secara berkala, namun hal ini tidak dapat diterapkan pada daerah yang luas
mengingat keterbatasan sumber daya yang ada. Oleh karena itu pendekatan
melalui penginderaan jauh sangat tepat diterapkan untuk kajian kehutanan.
Ilmu penginderaan jauh dalam analisis keruangan mutlak diperlukan,
termasuk dalam hal pengelolaan hutan. Berbagai metode interpretasi hingga
saat inipun berkembang kian pesat seiring dengan perkembangan teknologi
yang mengikutinya. Salah satu metode interpretasi yang kian berkembang
saat ini adalah metode interpretasi hibrida. Prinsip dari interpretasi hibrida

adalah dengan menggabungkan dua metode interpretasi untuk mendapatkan


hasil yang lebih baik. Purwadi (2001) mengatakan bahwa metode yang
sering digunakan untuk interpretasi hibrida adalah dengan menggabungan
antara klasifikasi terselia (klasifikasi terkontrol) dan tak terselia (klasifikasi
tak terkontrol). Klasifikasi terselia, operator, analisis, atau pengguna
bertindak sebagai pengontrol kriteria klasifikasi seperti halnya pada
klasifikasi manual. Sebaliknya, klasifikasi tak terselia merupakan metode
klasifikasi yang sepenuhnya diputuskan secara otomatis oleh komputer
tanpa ada campur tangan manusia.
Seiring dengan perkembangannya, interpretasi hibrida dapat pula
dilakukan dengan menggabungkan antara interpretasi digital dan interpretasi
visual seperti yang dilakukan oleh Suharyadi (2010) dengan hasil yang
dapat dipercaya. Tingkat kepercayaan dari interpretasi hibrida ini cukup
tinggi yakni di atas 80%. Hal inilah yang membuat interpretasi hibida
menjadi salah satu metode interpretasi yang mulai banyak digunakan dalam
penelitian penginderaan jauh untuk analisis objeknya.
Aplikasi penginderaan jauh dalam perkembangannya banyak
menggunakan respon spektral untuk identifikasi objek tertentu di
permukaan bumi. Salah satu metode yang memanfaatkan respon spektral
dalam identifikasi objek yakni transformasi cira. Transformasi citra yang
dilakukan adalah dengan membuat selisih dari beberapa saluran. Untuk
kajian vegetasi, ada beberapa teknik transformasi yang umum digunakan,
antara lain Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI), Transformed Vegetation Index (TVI), dan Modified Soil
Adjusted Vegetation Index (MSAVI). Teknik transformasi tersebut samasama memanfaatkan respon spektral yang diberikan dengan memanipulasi
beberapa saluran guna menonjolkan objek vegetasi. Meskipun transformasi
indeks vegetasi yang disebutkan di atas sama-sama memanfaatkan saluran
merah dan inframerah dekat, namun antar satu dengan yang lain
menghasilkan julat indeks vegetasi yang berbeda karena menggunakan
algoritma yang berbeda pula. Untuk itu, perlu adanya suatu penelitian yang

mengkaitkan antara indeks vegetasi yang digunakan dengan akurasi yang


diharapkan.
Berawal dari asumsi bahwa setiap objek di permukaan bumi
memiliki pola spektral yang berbeda-beda, maka keberadaan vegetasi di
permukaan bumi pun dapat dideteksi dari citra penginderaan jauh. Salah
satu aplikasi dari penginderaan jauh untuk analisis vegetasi adalah dengan
melihat

tingkat

kerapatan

kanopinya.

Tingkat

kerapatan

konopi

menggambarkan seberapa rapat tutupan tajuk dari vegetasi pada suatu


wilayah (bukan jumlah vegetasi). Apabila dilihat melalui citra penginderaan
jauh maupun foto udara tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi memperkecil
kemungkinan terlihatnya objek tanah ataupun objek lain di bawahnya.
Dengan demikian, semakin banyak tutupan vegetasi, semakin banyak pula
nilai piksel murni vegetasi yang tergambarkan dalam analisis citra.
Merujuk pada permasalahan di atas, maka penggunaan metode
interpretasi hibrida untuk meningkatkan hasil akurasi penelitian yang
berkaitan dengan identifikasi kerapatan vegetasi di permukaan bumi
menjadi salah satu solusi dalam mempermudah interpretasi. Interpretasi
hibrida dalam penelitian kali ini dilakukan dengan menggabungkan antara
interpretasi manual/visual dan interpretasi digital. Interpretasi visual dengan
menggunakan citra satelit resolusi tinggi, sedangkan interpretasi digital
dengan menggunakan beberapa indeks vegetasi. Hasil dari teknik
interpretasi visual digunakan sebagai masukan dalam analisis piksel dari
setiap indeks vegetasi yang digunakan, harapannya agar hasil yang didapat
lebih akurat untuk kajian kerapatan kanopi vegetasi. Berdasarkan uraian di
atas,

maka

muncul

pertanyaan

penelitian

yang

melatarbelakangi

pelaksanaan penelitian ini, yaitu :


1. Apakah tehnik interpretasi hibrida antara data berbasis visual dan
digital mampu

memberikan akurasi yang baik untuk pemetaan

kerapatan kanopi vegetasi?


2. Bagaimana kondisi kerapatan kanopi tegakan hutan di sebagian
Kabupaten Gunungkidul?

3. Transformasi indeks vegetasi apa yang paling baik digunakan untuk


kajian kerapatan kanopi vegetasi dengan metode hibrida?
Mengacu pada permasalahan penelitian di atas, maka peneliti
melakukan penelitian dengan judul: Kajian Akurasi Interpretasi Hibrida
Menggunakan Empat Indeks Vegetasi untuk Pemetaan Kerapatan Kanopi di
Kawasan Hutan Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta.

1.3 Tujuan Penelitian


1. Interpretasi

hibrida

untuk

mengoptimalkan

kelebihan

dan

meminimalisasi kekurangan yang ada pada metode interpretasi visual


maupun digital.
2. Memetakan kerapatan kanopi di kawaan hutan sebagian Kabupaten
Gunungkidul.
3. Mengkaji korelasi empat transformasi indeks vegetasi dengan data
kerapatan kanopi vegetasi untuk mendapatkan formula hibrida terbaik.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Pengaplikasian dan pengembangan ilmu dan teknologi penginderaan jauh
untuk pemetaan kerapatan vegetasi menggunakan citra satelit resolusi
menengah.
2. Sebagai bahan masukan bagi pemegang kebijakan daerah setempat
terkait pembuatan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kabupaten
Gunungkidul khususnya yang berkaitan dengan kehutanan.

BAB II
TELAAH PUSTAKA

2.1 Batasan dan Pengertian Penginderaan Jauh


Penginderaan jauh dewasa ini mengalami perkembangan yang sangat
pesat, mulai dari sistem perekaman hingga data yang dihasilkan.
Kemampuannya dalam merepresentasikan permukaan bumi mulai dari skala
kecil hingga skala besar menjadikan ilmu penginderaan jauh sebagai salah
satu alat analisis dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. Lillesand dan Kiefer
(1999) mendefenisikan penginderaan jauh sebagai ilmu dan seni untuk
memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan
menganalisis menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek,
daerah, atau gejala yang dikaji. Untuk itu penginderaan jauh sederhananya
dapat diartikan sebagai pengambilan atau pengukuran data / informasi
mengenai sifat dari sebuah fenomena, obyek atau benda dengan
menggunakan sebuah alat perekam tanpa berhubungan langsung dengan
objek kajian.
Penginderaan jauh mampu menghasilkan data spasial (keruangan)
yang susunan geometrinya mendekati keadaan sebenarnya dari permukaan
bumi dalam jumlah banyak dan waktu yang cepat. Keadaan ini
membutuhkan suatu sisitem pengolahan dan penanganan data yang tepat
agar dapat dimanfaatkan secara maksimal. Terkait dengan hal tersebut,
beberapa komponen utama yang mendasari penginderaan jauh antara lain
sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga elektromagnetik dengan objek,
sensor dan wahana, pengolahan data, dan pengguna. Komponen-komponen
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Komponen Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994)

Pemanfaatan penginderaan jauh baik dilihat dari jumlah penggunaan


maupun frekuensinya selama enam dasawarsa terakhir ini meningkat tajam
(Sutanto, 1986). Hal ini dilandasi oleh beberapa faktor, antar lain :
1. Citra dapat menggambarkan obyek, daerah, dan gejala di
permukaan bumi dengan ujud dan letak obyek yang mirip di
permukaan bumi, lengkap dalam menggambarkan kenampakan
permukaan bumi, meliputi daerah yang luas dan permanen;
2. Dari jenis citra tertentu dapat ditimbulkan gambaran tiga
dimensional apabila pengamatannya dilakukan dengan alat yang
disebut stereoskop;
3. Karakteristik objek yang tampak dapat diwujidkan dalam bentuk
citra sehingga dapat dimungkinkan pengenalan objeknya;
4. Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit
dijelajahi secara terrestrial;
5. Merupakan satu-satunya cara untuk pemetaan daerah bencana;
6. Citra merupakan alat yang baik untuk memantau (monitoring)
perubahan penggunaan lahan.
Kemampuan penginderaan jauh dalam mengumpulkan informasi di
permukaan bumi tidak diragukan lagi. Seperti yang diungkapkan pula oleh
Purbowaseso (1996), penginderaan jauh diaplikasikan guna mengumpulkan
informasi yang diperlukan untuk mengartikan berbagai macam komponen
lingkungan kita yang lebih baik.
10

2.2 Karakteristik Pantulan Spektral Vegetasi dan Hubungannya


dengan Penginderaan Jauh
Respon spektral objek yang terbaca oleh sensor penginderaan jauh
berkaitan dengan sifat energi elektromagnetik objek. Besarnya energi
elektromagnetik yang yang terpancar dari setiap objek di permukaan bumi
yang kemudian ditangkap oleh sensor penginderaan jauh tergantung dari
sifat fisik maupun otik objek itu sendiri. Menurut Myers (1983), parameter
yang mempengaruhi pantulan kanopi vegetasi antara lain.
1. Sifat transmisi dedaunan.
2. Jumlah dan susunan keruangan daun.
3. Karakteristik aspek vegetasi yang meliputi aspek batang, tangkai,
dan dahan.
4. Karakteristik latar belakang vegetasi tumbuh.
5. Sudut azimuth, sudut pandang dan sudut zenith matahari.
Tiga objek utama yang dapat di kenali secara langsung melalui citra
penginderaan jauh adalah vegetasi, tanah, dan air. Ke tiga objek ini jika
dilihat dari kurva pantulan spektralnya memiliki perbedaan kurva yang
cukup signufikan sehingga mudah dalam identifikasinya. Dari ketiga objek
tersebut, vegetasi paling banyak memiliki variasi pantulan spektralnya yakni
tinggi pada saluran hijau, rendah pada saluran biru dan merah, dan sangat
tinggi pada saluran inframerah dekat. Berikut grafik kurva pantulan spektral
khusus untuk vegetasi (Gambar 2.2)

11

Gambar 2.2 Karakteristik respon spektal vegetasi hijau


(Hoffer dalam Swain Davis 1978)
Secara umum informasi vegetasi dapat diperoleh pada wilayah
spektral antara 0,4 m 2,6 m dengan karakteristik sebagai berikut (Swain
Davis, 1978):
1. Gelombang tampak (0,4 m 0,7 m) ; pigmentasi mendominasi
respon spektral pada wilayah ini.
2. Inframerah dekat (0,8 m 1,2 m) ; pantulan gelombang pada
panjang gelombang ini tampak meningkat secara jelas karena daun
hijau menyerap sangat sedikit energi pada wilayah ini.
3. Inframerah tengah (1,3 m 2,6 m) ; air menyerap energi dengan
kuat khususnya pada panjang gelombang ini. Semakin berkurang
tingkat kelembaban pada daun, pantulan yang terjadi justru semakin
tnggi.

Ketiga aspek tersebut di atas menjadi ciri khas pengenalan objek


vegetasi di permukaan bumi melalui pendekatan panjang gelombang.
Sedangkan tinggi rendahnya pantulan vegetasi pada berbagai panjang
gelombang dipengaruhi oleh struktur internal daun, pigmen warna (klorofil),

12

dan kandungan air. Serapan yang tinggi pada saluran merah dan biru inilah
yang membuat mata manusia menagkap warna hijau pada daun sehat karena
saluran hujau memiliki daya serap rendah. Lain halnya dengan daun yang
layu atau tidak sehat. Kandungan klorofil yang sedikit, otomatis
mengakibatkan serapan tenaga pun berkurang sehingga dengan sendirinya
pantulan saluran merah justru akan bertambah. Kondisi inilah yang
mengakibatkan daun yang tidak sehat berwarna pucat kekuningan. Untuk
saluran inframerah dekat kurva pantulan akan sangat tinggi untuk daun
sehat. Hal ini sebagai akibat dari berkurangnya serapan energy dan
bertambahnya pantulan yang justru didominasi oleh kandungan air. Karena
daun hijau memiliki kandungan air yang tinggi maka pantulan pada saluran
inframerah dekat inipun sangat dominan, bahkan lebih tinggi dari saluran
hijau. Dengan demikian daun sehat memiliki pantulan tinggi pada saluran
hijau dan sangat tinggi pada saluran inframerah dekat.
Sebagaimana disebutkan bahwa tiga objek yang dapat secara langsung
dikenali melalui penginderaan jauh adalah vegetasi, tanah, dan air. Ketiga
objek ini memberikan variasi kurva pantulan yang berbeda namun samasama kuat pada kisaran panjang gelombang 0,7m 1,3m. Seiring dengan
perkembangan ilmu penginderaan jauh, maka saat ini telah dikembangan
berbagai teknik untuk mempermudah pengenalan objek di permukaan bumi
termasuk vegetasi. Terdapat beberapa macam cara untuk menonjolkan aspek
vegatasi yakni dengan transformasi digital, diantaranya penisbahan saluran,
pengurangan saluran, dan indeks vegetasi. Transformasi ini dapat
dikelompokkan

menjadi

dua,

yaitu

(a)

transformasi

yang

dapat

mempertajam informasi tertentu, namun sekaligus menghilangkan atau


menekan informasi yang lain; (b) transformasi yang meringkas informasi
dengan cara mengurangi dimensionalitas data (Danoedoro, 2012). Dari
ketiga transformasi digital untuk vegetasi tersebut, indeks vegetasilah yang
sering digunakan dalam berbagai penelitian. Danoedoro, 2012 menyebutkan
bahwa indeks vegetasi mampu menonjolkan aspek kerapatan vegetasi
ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomasaa,
Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil dan sebagainya.

13

2.3 Sistem Satelit ALOS


ALOS (Advanced Land Observing Satellite) merupakan satelit buatan
Jepang yang berhasil diluncurkan pada 24 Januari 2006 dengan pesawat
peluncur roket H-IIA dari lokasi peluncuran Tanegashima Space Jepang
bagian selatan (JAXA, 2006). Misi utama satelit ini selain untuk
pengamatan daratan adalah untuk memberikan kontribusi terhadap aplikasi
kartografi.
Pergerakan satelit ALOS yang sinkron matahari ini berada pada
ketinggian 691,65 km di atas ekuator, dengan inklinasi 98,16 dan resolusi
temporal 46 hari. Dengan massa kurang lebih 4000 kg, satelit ALOS hanya
dirancang untuk dapat beroperasi selama 3-5 tahun pada orbitnya.
Satelit ALOS dilengkapi dengan 4 kelebihan untuk misi pemetaan,
yakni 1) menghasilkan DEM (Digital Elevation Model) dengan akurasi
ketinggian 3-5 m dalam resolusi 2,5 m; 2) menghasilkan pemetaan tanpa
titik control tanah, atau yang biasa disebut GCP (Ground Control Point); 3)
mampu menghasilkan daerah pemetaan yang luas, dengan lebar liputan
hingga 70 m; 4) dan memiliki kapasaitas penanganan data yang besar.
Kelebihan-kelebihan di atas tersebut didukung dengan kemampuan
satelit ALOS sendiri yang dilengkapi dengan 3 sensor sekaligus, terdiri dari
2 sensor optik yakni PRISM (Panchromatic Remote Sensing Instrument for
Stereo Mapping) dan sensor AVNIR-2 (Advence Visible and Near Infrared
Radimeter type-2), dan sebuah sensor gelombang mikro yakni PALSAR
(Phased Array type L-Band Syntetic Aperture Radar).
Sensor PRISM membawa kamera pankromatik dengan resolusi spasial
2,5m pada nadir. Sensor ini terdiri dari 3 buah sistem optik, forward; nadir
dan backward yang masing-masing sistem optik membawa 3 cermin dan
beberapa detector CCD. Sensor yang bergerak dengan metode pushbroom
ini memiliki kemampuan pengarah sensor melintang jejak satelit kurang leih
1,5 sehingga mampu mencakup area dengan lebar 70 km untuk nadir dan
35 km untuk forward dan backward.
AVNIR-2 merupakan bentuk sempurna dari generasi sebelumnya,
yakni AVNIR yang semula menghasilkan resolusi spasial 16 meter menjadi

14

10 meter. Citra yang dihasilkan dari perekaman oleh sensor AVNIR-2


terdiri dari 4 band, 3 band pada saluran tampak antara lain saluran biru (0,45
m 0,52 m), saluran hijau (0,52 m 0,60 m), merah (0,63 m 0,69
m) dan 1 band

inframerah dekat (0,76 m 0,89 m). Karena

keunggulannya inilah maka citra hasil perekaman AVNIR-2 diibaratkan


sebagai QuickBird atau WorldView-2-nya DigitalGlobe.
Kemudian sensor ALOS yang terakhir adalah PALSAR. Sensor ini
merupakan sensor radar yang memiliki resosusi spasial 10 meter hingga 100
meter. Bergerak pada kisaran frekuensi 1,27 GHz dan merupakan misi
lanjutan dari Synthetic Aperture Radar (SAR) dalam bentuk yang lebih
sempurna dari apa yang sudah dipasanga pada satelit JERS-1 (Japanase
Earth Resources Satellite-1). Kelebihan dari sensor ini adalah dapat
menembus awan dan hujan, dengan kata lain terbebas dari gangguan cuaca.
Penelitian kali ini memanfaatkan citra satelit ALOS dengan sensor
AVNIR-2 yang sangat mendikung untuk kajian vegetasi di permukaan
bumi. Berikut produk data standar AVNIR-2 yang disajikan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1 Produk Data Standar ANVIR-2
Level

Defenisi
Susunan data digital yang belum dipadatkan yang dilengkapi dengan
koefisienkalibrasi radiometrik dan koefisien koreksi geometrik. Data
dengan pengambilan miring-maju, tegak dan miring-mundur

IA

disimpan dalam masing-masing file tersendiri

IB1

Data yang sudah dikalibrasi secara radiometrik pada masukan sensor

1B2

Data yang sudah dikoreksi geometrik secara sistematis

2.4 Citra Satelit ALOS AVNIR-2 Hubungannya dengan Interpretasi


Vegetasi di Indonesia
Citra satelit ALOS merupakan salah satu satelit sumberdaya alam
yang banyak dimanfaatkan untuk kajian di darat, perairan, maupun
atmosfer. Dengan sensor AVNIR-2nya yang memiliki resolusi spasial
mencapai 10 meter, citra ini mampu menyajikan kenampakan di permukaan
bumi secara jelas dengan saluran multispektralnya yang terdiri dari 4 band

15

(visible dan Inframerah). Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi


penginderaan jauh saat ini, pemanfaatan citra satelit ALOS AVNIR-2 sudah
mulai berkembang sebagai alat analisis dalam bidang kehutanan kerana
kemampuan resolusinya spasialnya yang tinggi tersebut.
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kawasan hutan
tropis terbaik dunia tentunya membutuhkan suatu kebijakan tersendiri dalam
hal pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Seperti yang tertulis dalam PP
No.24 tentang perlindungan hutan dalam pasal 1 menyebutkan bahwa
Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi
kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh
perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit,
serta mempertahankan dan menjaga hakhak negara, masyarakat dan
perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat
yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Dengan keunggulannya
tersebut citra satelit ALOS AVNIR-2 dapat menjadi salah satu sarana untuk
managemen hutan di Indonesia.
Sebaimana kita ketahui bahwa setiap objek di permukaan bumi
memiliki karakteristik pantulan spektral yang berbeda-beda, begitupun
vegetasi. Secara umum pantulan spektral vegetasi akan tinggi pada panjang
gelombang 0,7m 1,3m. Karena ALOS AVNIR-2 memiliki julat panjang
gelombang yang diperlukan untuk identifikasi vegetasi maka banyak
penelitian memanfaatkan citra ini untuk kajian vegetasi. Seperti yang
dilakukan oleh Anisa Pambudi dkk yang menggunakan citra ALOS
AVNIR-2 untuk meneliti keberadaan stok karbon hutan

di sebagian

Kabupaten Kutai Barat. Variasi panjang gelombang yang dimiliki citra


ALOS AVNIR-2 inilah yang memungkinkan dapat dilakukan berbagai
macam penelitian dengan menurunkan informasi

baik secara langsung

maupun tidak langsung.


Proses pengenalan dan pemetaan objek dipermukaan bumi
khususnya yang berkaitan dengan kerapatan vegetasi hutan pada penelitian
kali ini tentunya membutuhkan citra dengan resolusi spasial yang baik. Citra
ALOS AVNIR-2 menjadi salah satu pilihan dalam melakukan hal tersebut.

16

Berdasarkan citra satelit ALOS AVNIR-2 saluran hujau (0,52-0.60 m) dan


inframerah dekat (0,76-0.89 m) dapat diturunkan informasi kerapatan
vegetasi. Baik secara visual maupun dengan memanfaatkan keunggulan tiap
saluran ALOS ANVIR-2 tersebut.
Tiap-tiap saluran citra satelit peka terhadap respons spektral objek
pada julat panjang gelombang tertentu. Hal inilah yang menyebabkan nilai
piksel pada berbagai saluran spektral sebagai cerminan tanggapan spektral
dari objek pun bervariasi. Adanya variasi tanggapan spektral yang terdapat
pada citra multispektral ALOS AVNIR-2 inilah yang menjadi salah satu
kelebihannya.

2.5 Interpretasi Citra


2.5.1 Interpretasi Visual
Data penginderaan jauh yang disebut dengan citra penginderaan jauh
adalah hasil dari interaksi antara tenaga elektromagnetik dengan objek di
permukaan bumi. Untuk dapat menyadap informasi tertentu dari citra ada
tiga tahap, yakni deteksi, identifikasi dan menilai arti pentingnya obyek. Ke
tiga tahap tesebut termasuk dalam proses interpretasi (Sutanto, 1986).
Menurut Sutanto, 1986 interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji
foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan
menilai arti pentingnya obyek tersebut. Ada sembilan unsur interpretsi
seperti yang dikemukakan oleh Sutanto (1986), meliputi rona/warna,
bentuk, ukuran, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. Berikut
penjelasannya.
1. Rona dan warna
Adalah tingkat kegelapan/kecerahan objek pada citra, dengan demikian rona
merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya. Sedangkan warna
adalah wujud yang tampak pada mata, menunjukkan tingkat kegelapan yang
beragam. Mata kita menangkap warna hijau merah ataupun biru karena
pantulan dari objek yang diamati. Pada citra penginderaan jauh khususnya
untuk identifikasi kerapatan vegetasi rona dan warna ini sangat penting

17

karena dapat menunjukkan tingkat kerapatan kanopinya. Semakin gelap


warna akan semakin rapat vegetasi.

2. Bentuk
Merupakan variabel kualitatif yang memberikan kerangka suatu objek.
Dalam konteks ini bentuk dapat berupa bentuk yang tampak dari luar
(umum). Misalnya dalam hal ini bentuk sungai akan berbeda dengan bentuk
jalan. Bentuk gunung akan berbeda dengan bentuk lembah, dan sebagainya.
3. Ukuran
Merupakan atribut objek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume.
Ukuran objek di permukaan bumi berbeda-beda dan hal ini dapat diamati
melalui citra penginderaan jauh. Ukuran juga berkaitan dengan skala,
semakin detil skala semakin besar dan jelas objek yang diamati. Ukuran
gedung bertingkat otomatis akan berbeda dengan pabrik. Ukuran vegetasi
tegakan akan berbeda denfan vegetasi berupa semak belukar.
4. Tekstur
Biasa dinyatakan dalam wujud kasar, halus, ataupun bercak-bercak. Tekstur
ini merupakan gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan rona.
Tekstur dari sawah berbeda dengan tekstur dari tegalan pada citra
penginderaan jauh.
5. Pola
Merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek buatan manusia dan
beberapa objek alamiah yang membentuk susunan keruangan. Mengerucut
pada suatu susunan, misalnya pola teratur pada pemukiman mewah dan pola
tidak teratur pada pemukiman liar.
6. Bayangan
Objek atau gejala yang terletak di daerah bayangan umumnya tidak tampak
sama sekali ayau tampak samar-samar. Namun demikian, bayangan
merupakan faktor penting untuk mengamati objek-objek yang tersembunyi.
Biasanya unsur interpretasi bayangan digunakan untuk mengamati objek
yang tinggi. Vegetasi yang tinggi cenderung akan membentuk bayangan
ketimbang vegetasi yang lebih rendah.

18

7. Situs
Merupakan hasil pengamatan dari hubungan antar objekdi lingkungan
sekitarnya atau letak suatu objek terhadap objek lain. Penting dalam
identifikasi objek vegetasi, karena jenis vegetasi tertentu berada pada lokasi
tertentu.
8. Asosiasi
Keterkaitan antara objek satu dengan yang lain, berdasarkan asosiasi ini
apabila telah dikenali suatu objek tertentu maka dapat dijadikan petunjuk
bagi pengenalan objek yang lain. Sebagai contoh sawah irigasi pasti
berasosiasi dengan sungai atau dekat dengan sumber mata air karena
digunakan sebagai pengairan sawah tersebut.
Namun demikian tidak serta merta ke sembilan unsur interpretasi
tersebut digunakan secara serentak dalam identifikasi objek di permukaan
bumi. Ada unsur-unsur interpretasi yang kadang tidak perlu digunakan
ketika sudah teridentifikasi. Semakin banyak unsur interpretasi yang
dikenali maka semakin mengerucut pada satu informasi objek tertentu.
Selain ke sembilan unsur interpretasi tersebut di atas, sebenarnya tingkat
keberhasilan interpretasi bersifat subjektif, artinya tergantung pada si
penafsir. Menurut Lillesand et al (2007) keberhasilan interpretasi tergantung
pada pengetahuan dan pengalaman penafsir, sifat objek yang dikaji, dan
kulitas citra yang digunakan.

2.5.2 Pre-prosesing Citra


Citra hasil rekaman dari sensor penginderaan jauh tidak ada yang
sempurna. Kondisi atmosfer saat perekaman, efek gerakan sensor, dan
konfigurasai permukaan bumi mengakibatkan citra hasil rekaman sensor
tersebut banyak mengalami kesalahan. Kesalahan inilah yang selanjutnya
perlu dikoreksi agar dapat mendukung kegiatan pemetaan dan kajian
kewilayahan lainnya. Beberapa parameter kualitas citra yang sring
digunakan oleh para praktisi antara lain (Danoedoro, 2012); (a) tutupan

19

awan dan gangguan kabut, (b) korelasi antar saluran, (c) kesalahan
geometri, dan (d) kesalahan radiometri.
Proses perbaikan kualitas citra agar menghasilkan citra yang siap
pakai untuk aplikasi tertentu disebut restorasi citra yang dalam
penerapannya proses ini sering disebut dengan tahap pre-prosesing citra
karena dilakukan sebelum melakukan pengolahan citra lebih lanjut. Pada
penelirtian kali ini dilakukan dua tahap pre-prosesing citra antara lain
koreksi radiometri dan geometri citra.
2.5.2.1

Koreksi Geometri
Koreksi geometri adalah perbaikan kemencengan, rotasi, dan

perspektif citra akibat bentuk permukaan bumi yang melengkung,


ketidakstabilan satelit, maupun karena arah pengamatan yang tidak tegak
lurus permukaan bumi (sudut sensor tidak nol atau tidak ke arah nadir)
hingga citra memiliki orientasi, proyeksi, dan anotasi sesuai dengan yang
ada pada peta. Menurut Danoedoro, 1996 koreksi geometri adalah
penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa sehingga pada citra
digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran obyek di permukaan
bumi yang terekam sensor. Koreksi geometri ini dapat dilakukan dengan
dua cara pertama dengan menggunakan data dari wahana (model geometri
orbital) dan pengetahuan mengenai distorsi internal, kedua dengan
transformasi berdasarkan GCP (Ground Control Points) (Mather 2004,
dalam Danoedoro 2012).
Pada dasarnya setiap metode koreksi geometri citra baik bersumber
dari wahana maupun transformasi GCP sama-sama membutuhkan titik
kontrol lapangan atau GCP. GCP adalah suatu lokasi pada permukaan bumi
yang dapat diidentifikasi pada citra dan sekaligus dikenali posisinya pada
peta (Jansen, 2005). Untuk itu hal pertama yang harus dilakukan dalam
koreksi geometri adalah menentukan titik kontrol (GCPs = Ground Control
Points). Titik kontrol ini berupa obyek yang terlihat pada citra sekaligus
terlihat pada peta rujukan yang digunakan dalam koreksi geometri. Titik
kontrol tersebut dapat berupa persimpangan antara sungai dengan jalan

20

ataupun persimpangan jalan, dan beberapa obyek lain yang tampak dengan
jelas pada citra maupun pada peta rujukan.
Sebaran titik GCP yang digunakan dalam koreksi geometri bersifat
subjektif, dapat berbeda-beda setiap orang. Namun pada dasarnya nilai GCP
ini tetap terkontrol dengan adanya RMSE (Root Mean Square Error).
RMSE digunakan untuk mengukur distorsi. Menurut Jansen (2005) RMSE
yang diperbolehkan adalah <0,5. Semakin kecil RMSE semakin tinggi
tingkat kedetilan peta.
2.5.2.2

Koreksi Radiometri
Koreksi radiometri ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel agar

sesuai dengan yang seharusnya dengan mempertimbangkan faktor gangguan


atmosfer sebagai sumber kesalahan utama. Efek atmosfer menyebabkan
nilai pantulan obyek di permukaan bumi yang terekam oleh sensor menjadi
bukan merupakan nilai aslinya. Nilai pantulan menjadi lebih besar oleh
karena adanya hamburan atau lebih kecil karena proses serapan. Metodemetode sederhana yang sering digunakan untuk menghilangkan efek
atmosfer antara lain metode pergeseran histogram (histogram adjustment),
metode regresi, dan metode kalibrasi bayangan.
Mather (2004) dalam Danoedoro (2012), menyatakan bahwa ada
lima faktor yang berpengaruh terhada sinyal yang diterima oleh objek (dan
dicatat) oleh detektor pada sensor, yaitu :
1. Pantulan atau reflektansi objek,
2. Bentuk dan besaran interaksi atmosfer,
3. Kemiringan arah hadap lereng (aspect) tempat objek berada,
relatif terhadap azimuth matahari,
4. Sudut pandang sensor,
5. Sudut kemiringan matahari.
Koreksi radiometri pada penelitian kali ini dilakukan sampai tahap
kalibrasi sensor (at sensor radiance). Setiap sensor dan detektor memiliki
kemampuan untuk mendeteksi nilai radiansi minimum dan maksimum

21

objek. Nilai tersebut dinyatakan dalam gain dan offset. Berikut hubungan
antara nilai piksel, gain, dan offset.
L = Offset + Gain *(BV).......................................... (1)
Dimana Gain = L(maks) - L(min) / BV(maks).................... (2)
2.5.3 Pengolahan Citra Digital
Data penginderaan jauh yang disebut citra, tidak begitu saja dapat
digunakan tanpa adanya proses pengolahan terlebih dahulu. Untuk
menurunkan

informasi

dari

citra

penginderaan

jauh

agar

dapat

dimanfaaatkan untuk berbagai keperluan saat ini telah banyak perangkat


lunak yang memberikan fasilitas pengolah citra baik untuk analisi citra,
analisis tambahan ataupun analisis berbasis SIG.
Salah satu cara untuk menurunkan informasi tertentu pada citra satelit
yakni dengan teknik klasifikasi. Ada dua macam teknik klasifikasi dalam
penginderaan jauh, klasifikasi digital atau klasifikasi multispektral dan
klasifikasi manual atau visual. Klasifikasi multispektral atau digital
merupakan suatu algoritma yang dirancang untuk menurunkan informasi
tematik dengan cara mengelompokkan fenomena berdasarkan kriteria
tertentu, dan biasanya kriteria yang digunakan yakni nilai spektral atau nilai
kecerahan pada beberapa saluran sekaligus. Sedang klasifikasi manual
mengandalkan pada unsur-unsur interpretasi. Pada penelitian kali ini, teknik
klasifikasi yang digunakan untuk menurunkan informasi berupa kerapatan
vegetasi selain menggunkan teknik interpretasi manual adalah klasifiaksi
digital yakni dengan transformasi indeks vegetasi.
Pada dasarnya ada beberapa macam cara untuk menentukan nilai
indeks vegetasi yakni dengan membandingkan beberapa saluran (citra rasio,
normaslisasi, dan transformasi), dengan membuat selisihnya (diferent
vegetation index), dan tasseled cap. Namun yang digunakan dalam
penelitian kali ini metode yang digunakan adalah dengan membandingakan
beberapa saluran pada citra satelit ALOS AVNIR-2 menggunakan beberapa
tranformasi indeks vegetasi. Beberapa metode trasnsformasi indeks vegetasi
yang umum digunakan antara lain transformasi NDVI (Normalized

22

Different Vegetation

Index), RVI (Ratio

Vegetation Index), TVI

(Transformation Vegetation Index), dan MSAVI (Modified Soil Adjusted


Vegetation Index).
2.5.3.1 Indeks Vegetasi
Indeks vegetasi merupakan hasil informasi nilai spektral dari
beberapa saluran untuk menonjolkan nilai spektral vegetasi. Dengan
demikian indeks vegetasi mampu dijadikan sebagai dasar dalam analisis
tingkat kerapatan vegetasi masupun analisis lain yang berhubungan dengan
aspek

vegetasi.

Donoedoro

(1996)

menuliskan

beberapa

bentuk

trasnsformasi indeks vegetasi, antara lain sebagai berikut.


Ratio Vegetation Indeks (RVI), merupakan salah satu indeks vegetasi
yang paling sederhana. Memiliki formula sebagai berikut.
RVI =NIR/red .

(3)

Normalized Difference vegetation Index (NDVI), merupakan


kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan
citra. Saluran yang digunakan dalam transformasi NDVI ini adalah
saluran merah dan inframerah dekat. Saluran merah dengan julat
panjang gelombang antara 0,4-0,7m akan memberikan serapan
maksimal pada cahaya yang datang akibat dari adanya klorofil pada
proses fotosintesis. Sedangkan saluran inframerah dekat (0,7-1,2
m) justru memberkan pantulan yang tinggi sebagai akibat adanya
jaringan mesophyll daun. Formula NDVI yang dikembangkan oleh
Meijerink et al. (1994) sebagai berikut:
NDVI = (NIR-red) / (NIR+red)........... (4)
Transformed Vegetation Index (TVI), adalah transformasi yang
dikembangkan untuk menghindari hasil negative pada NDVI.
Formulanya adalah sebagai berikut.
TVI ={(NIR-Red) / (NIR+Red)} + 0,5.. (5)
Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI), merupakan suatu
transformasi indeks vegetasi yang dikembangkan dari trasnsformasi
NDVI untuk meminimalkan pengaruh pantulan nilai tanah pada
NDVI, dengan formula sebagai berikut.
23

MSAVI = (2 (NIR) + 1 - (2(NIR)+8(NIR-Red))/2.... (6)

2.6

Interpretasi Hibrida
Klasifikasi objek di permukaan bumi selain dengan interpretasi

visual dan digital, dapat pula dilakukan dengan menggabungkan dua metode
tersebut sekaligus yang dinamakan dengan interpretasi hibrida. Metode
interpretasi hibrida yang dilakukan oleh Lo and Choi (2004) adalah dengan
menggabungakan klasifikasi terselia dan tak terselia. Menurutnya, metode
tersebut dapat meningkatkan hasil akurasi. Berbeda dengan Lo dan Choi,
Suharyadi (2010) melakukan penelitian menggunakan interpretasi hibrida
untuk densifikasi bangunan di kota Yogyakarta dengan mengkombinasikan
antara interpretasi visual dan interpretasi digital. Hasilnya ternyata
memberikan tingkat ketelitian hingga 84,31 %.
Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharyadi (2010),
penelitian

yang

dilakukan

di

Kabupaten

Gunungkidul

ini

mengkombinasikan antara interpretasi visual dan digital namun untuk


identifikasi kerapatan vegetasi. Mengingat interpretasi visual dan digital
sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, diharapkan
dengan

menggabungkan

kedua

metode

interpretasi

tersebut

dapat

meningkatkan tingkat akurasi hasil baik dilihat dari sisi kualitas maupun
kuantitas citra tersebut. Berikut ini perbandingan antara metode interpretasi
visual dan digital (tabel 2.2).

24

Tabel 2.2 Kelebihan dan kekurangan metode interpretasi visual dan digital
Metode
Interpretasi

interpretasi
visual

Kelebihan

Kekurangan

1. Lebih optimal, karena selain rona


atau warna juga
mempertimbangkan unsur
interpretasi lainnya, seperti tekstur,
bentuk, ukuran, asosiasi dsb.
2. Hasil interpretasi lebih mudah
digunakan untuk analisis lebih
lanjut, seperti pemodelan spasial.
3. Tidak terlalu terpengaruh
gangguan/kerusakan pada citra
sepanjang tidak terlalu parah,
seperti kabut awan atau stripping
(kerusakan berupa garis-garis pada
citra).

1. konsistensi rendah,
jangankan orang yang
berbeda, satu orang
yang sama ketika
melakukan
interpretasi dua kali
pada citra yang sama
hasilnya bisa berbeda.
2. Kurang efisien jika
dihadapakan pada
wilayah yang luas.
3. Kualitatif dan
subyektif, sangat
tergantung
kemampuan dan
pengalaman
interpreter.

1. Kuntitatif dan lebih objektif,


karena didasarkan pada analisis
data numerik (nilai piksel)
menggunakan algoritma statistik.
2. Efisien dihadapkan pada daerah
yang luas. Hanya perlu menunjuk
wilayah-wilayah tertentu sebagai
sampel, bahkan pada metode
klasifikasi tak terselia tidak perlu
menunjuk sampel sama sekali.

1. Kurang optimal
karena hanya
mempertimbangkan
rona dan warna,
sehingga apabila ada
objek yang berbeda
tetapi mempunyai
rona atau warna akan
terklasifikasikan
menjadi satu kelas.
2. Hasil klasifikasi
umumnya sulit
digunakan untuk
analisis lebih lanjut
seperti pemodelan
spasial, hal ini
dikarenakan jumlah
poligon yang terlalu
banyak.
3. Memerlukan kondisi
citra yang benarbenar bebas dari
gangguan kabut,
awan, dsb.

interpretasi
digital

Sumber : Samruni, 2009 dalam Gunawan, 2010


Tanpa mengurangi tingkat kepercayaan dari interpretasi hibrida
seperti yang telah disebut di atas, penelitian kali ini mencoba menerapkan

25

teknik interpretasi hibrida dengan menggabungkan antara interpretasi visual


dan digital. Interpretasi visual dengan citra resolusi tinggi sedangkan
interpretasi digital mengggunakan beberapa transformasi indeks vegetasi
pada citra satelit ALOS AVNIR-2.
Selama ini metode interpretasi hibrida yang dilakukan oleh beberapa
peneliti telah banyak diterapkan untuk kajian daerah perkotaan. Penelitian
kali ini mencoba menerapkan metode interpretasi hibrida dengan
menggabungkan antara interpretasi citra penginderaan jauh resolusi tinggi
secara visual dengan interpretasi digital menggunakan beberapa indeks
vegetasi untuk kajian kerapatan hutan di Kabupaten Gunungkidul yang
notabene Kabupaten tersebut masih didominasi oleh tutupan lahan berupa
hutan. Salah satu penelitian yang juga menggunakan metode interpretasi
hibrida untuk kajian kanopi vegetasi pernah dilakukan oleh Gunawan (2009)
di Kabupaten Kulonprogo dengan hasil yang memuaskan. Untuk itu
penelitian kali ini mencoba melakukan apa yang sudah dilakukan oleh
peneliti sebelumnya dengan memasukkan unsur interpretasi citra resolusi
tinggi kemudian menganalisis hasilnya.

2.7

Akurasi Interpretasi
Berbicara akurasi berarti berbicara tentang kualitas data spasial.

Seberapa layak data spasial yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai bahan
masukan dalam analisis keruangan. Akurasi menjadi sangat penting karena
menggambarkan tingkat kebenaran dari peta yang dihasilkan selain aspek
kualitas data spasial lainnya, yakni presisi, metadata, skala dan standar.
Aspek kulaitas data spasial baik akurasi, persisi, metadata, skala dan
standar menjadi sangat penting dalam analisis data penginderaan jauh.
Namun pada penelitian kali ini kualitas data spasial yang menjadi sorotan
adalah tentang akurasi semantik, yakni akurasi pada isi informasi tematik
yang dihasilkan pada peta.
Akurasi semantik dari peta yang dihasilkan dapat diterima oleh
pengguna jika mencaai ambang batas nilai akurasi keseluruhan, yakni 85%.

26

Hal ini senada dengan pernyataan Campbell (2002) dalam Suharyadi (2010),
bahwa standar minimum bagi penutup/penggunaan lahan berbasis
penginderaan jauh mempunyai ambang batas nilai akurasi keseluruhan
sebesar 85%. Harapannya dalam penelitian kali ini, tingkat akurasi yang
dihasilkan bisa lebih baik dari standar tersebut mengingat metode
interpretasi yang digunakanpun merupakan kombinasi dari metode
interpretasi visual dan digital.

2.8

Kajian Vegetasi
Vegetasi erat kaitannya dengan lingkungan. Hal ini tidak terlepas

dari bagaimana vegetasi tersebut sangat mempengruhi berbagai aspek di


permukaan bumi. Kehutanan berhubungan dengan vegetasi, ruang terbuka
hijau berbicara tentang vegetasi, hingga pertanian pun sangat dekat dengan
apa yang namanya vegetasi. Vegetasi dalam bahasan kali ini tidak hanya
dipandang sebagai individu, namun merupakan kumpulan tanaman yang
homogen yang meliputi wilayah tertentu di permukaan bumi.
Penelitian kali ini tidak memfokuskan pada tipe vegetasi, melainkan
liputan vegetasi khususnya kerapatan hutan. Bagaimana kondisi kerapatan
liputan vegetasi hutan

di daerah kajian. Hal ini penting dilakukan

mengingat kondisi hutan di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun


ke tahun. Bahkan menurut data dari FWI & GFW (2001) dalam Sahid
(2005) laju kerusakan hutan pada tahun 1990-an tidak kurang dari dua juta
hektar per tahun atau dua kali lebih cepat dibandingkan laju kerusakan hutan
pada tahun 1980-an. Jika kondisi ini tetap dibiarkan maka tidak heran bila
Indonesia yang dikenal karena hutan tropisnya yang kaya sekarang bisa jadi
dikemudian hari hanya tinggal sejarah.
Salah satu jalan untuk meminimalisasi kerusakan hutan yang terus
meluas dari tahun ke tahun ini adalah dengan melakukan survei,
pengukuran, dan pemetaan hutan. Dengan begitu bisa dilihat bagaimana
status kawasan hutan, potensi, serta sebaran sumberdaya hutan sehingga
pengelolaan hutan akan semakin optimal.

27

2.9

Penelitian Sebelumnya
Y. Hirose dkk melakukan penelitian yang berkaitan dengan

pemetaan vegetasi dengan menggunakan metode hybrid pada tahun 2003 .


Metode hybrid yang dimaksud disini adalah metode interpretasi citra dengan
mengggabungan antara hasil analisa klasifikasi secara segmen based dan
image based melalui pendekatan nilai piksel dengan metode maksimum
likelihood. Adanya gangguan yang muncul ketika menggunakan metode
klasifikasi maksimum likelihood seperti kenampakan objek yang sangat
kecil justru menjadi kunci penting dalam penggunaan metode ini. Gangguan
tersebut dijadikan dasar dalam penggabungan antara klasifikasi berbasis
objek dengan klasifikasi berbasis piksel (maksimum likelihood).
Penelitan lain yang dilakukan oleh A. Rahman As-Syukur dan I.W.
Sandi Adnyana tahun 2009 juga mengkaji tentang vegetasi, bagaimana
kaitan antara indeks vegetasi yakni NDVI, SAVI dan MSAVI dengan
persentasi vegetasi. Hasilnya transformasi NDVI dan MSAVI memiliki
akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan SAVI.
Lo dan Choi dalam penelitiannya yang berjudul Pemanfaatan Citra
Satelit landsat ETM+ untuk Pemetaan Penutup/Penggunaan Lahan di Kota
Metropolitan

Atlanta

Negara

Bagian

Georgia

Amerika

Serikat

menggunakan pendekatan hibrida dalam interpretasi objek kajian. Metode


interpretasi hibrida yang digunakan yakni dengan menggabungkan antara
pendekatan supervised dan unsupervised dari data citra satelit Landsat
ETM+. Hasil yang didapat menyebutkan bahwa pendekatan hibrida
mempunyai akurasi keseluruhan 91,50 persen.
Penelitian lain yang menggunakan metode hibrida dilakukan pula
oleh Suharyadi tahun 2010. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, kali ini
Suharyadi menggabungkan antara interpretasi visual citra satelit resolusi
tinggi dengan interpretasi digital citra satelit resolusi menengah untuk kajian
densifikasi bangunan di daerah perkotaan Yogyakarta. Prinsip dari metode
hibrida

yang

dilakukan

mengkombinasikan

antara

oleh

Suharyadi

kelebihan-kelebihan

ini
yang

adalah

dengan

dimiliki

oleh

interpretasi visual dan interpretasi digital. Interpretasi visual unggul dalam

28

hal kedetilan objek namun tingkat konsistensi interpretasi rendah sedangkan


interpretasi digital mampu mengenali objek secara homogen namun kurang
untuk objek yang heterogen dengan tingkat konsisitensi tinggi. Hasil dari
penelitian yang dilakukan oleh beliau menyebutkan bahwa metode hybrid
ini memiliki tingkat akurasi ketelitian pemetaan sebesar 84,31 persen.
Penggunaan metode hibrida untuk kajian kerapatan kanopi vegetasi
pernah dilakukan oleh Endra Gunawan tahun 2010 yakni dengan interpretasi
secara visual untuk membedakan variable fotomorfik dan interpretasi digital
menggunakan beberapa transformasi indeks vegetasi, antara lain NDVI,
SAVI dan MSAVI. Dalam penelitian ini Endra lebih menekankan pada
analisis nilai spektral dari citra yang digunakan (ASTER) dengan tingkat
kerapatan vegetasi.
Penelitian lain yang menggunakan trasnformasi indeks vegetasi juga
dilakukan oleh Candra Djati Kartika pada tahun 2010 di Kabupaten Malang
Selatan. Penelitian yang mengkaji tentang lahan kritis ini memanfaatkan
transformasi indeks vegetasi yakni FCD, NDVI, RVI, DVI dan MSAVI
sebagai salah satu masukan dalam pembuatan peta liputan lahan yang juga
menjadi salah satu parameter dalam penentuan lahan kritis. Dari hasil
klasifikasi liputan lahan hasil ekstraksi citra Landsat ETM+ dengan
beberapa metode trasnformasi indeks vegetasi tersebut di atas selanjutnya di
uji tingkat akurasinya berdasarkan hasil uji lapangan.
Mengacu pada penelitian-penelitian tersebut di atas terutama yang
berkaitan dengan metode hibrida dan trasnsformasi indeks vegetasi, maka
penelitian yang akan dilakukan oleh Monica Mayda Pratiwi (2012) mencoba
menerapkan metode hibrida yang dilakukan oleh Suharyadi (2010) untuk
pemetaan kerapatan tegakan hutan di Kabupaten Gunungkidul. Penelitian
ini menggunakan citra satelit resolusi tinggi untuk menentukan kelas
kerapatan vegetasi dan citra satelit resolusi menengah untuk ekstraksi data
mengenai indeks vegetasinya. Kunci interpretasi hibrida untuk menentukan
tingkat kerapatan vegetasi diperoleh setelah dilakukan analisi korelasi antara
hasil transformasi indeks vegetasi dengan nilai kerapatan hasil lapangan.

29

Perbedaan maupun persamaan penelitian kali ini dengan penelitian


sebelumnya dapat dilihat pada tabel 1.2.

2.10

Kerangka Pemikiran
Citra satelit penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan oleh

banyak kalangan harus diinterpretasi terlebih dahulu. Ada banyak metode


yang digunakan untuk menurunkan informasi dari citra penginderaan jauh
yang pada dasarnya sama-sama digunakan untuk mempermudah identifikasi
dan analisis objek tertentu di permukaan bumi. Tingkat kepercayaan dari
setiap metode interpretasi sangat penting, untuk itu diperlukan suatu
informasi yang dapat dijadikan dasar pembuatan peta agar siap pakai.
Informasi bantu ini berupa data lapangan.
Sensor penginderaan jauh merekam informasi objek di permukaan
bumi dengan menerjemahkannya dalam bentuk piksel. Karena setiap objek
memiliki karakteristik spektral yang berbeda, maka nilai piksel yang terbaca
pun berbeda. Dasar inilah yang dijadikan sebagai patokan dalam melakukan
pembedaan antar objek di permukaan bumi terutama untuk analisis
penginderaan jauh digital. Salah satu objek di permukaan bumi yang dapat
secara langsung disadap melalui citra penginderaan jauh adalah vegetasi.
Kajian mengenai vegetasi belakangan ini menjadi lebih sering dilakukan
mengingat perkembangan fisik wilayah yang begitu cepat memberikan
dampak buruk bagi keberadaan vegetasi. Biar bagaimanapun vegetasi
memberikan pengaruh besar bagi kemakmuran masyarakat, jika ternyata
keberadaan vegetasi dari tahun ke tahun cenderung berkurang maka akan
berdampak negatif bagi masyrakat itu sendiri.
Perkembangan ilmu dan teknologi penginderaan jauh menjadi alat
yang sangat efektif dalam menyajikan fenomena vegetasi di permukaan
bumi. Kemampuannya dalam memberikan informasi secara cepat sangat
sesuai digunakan untuk analisis sebaran vegetasi ataupun yang berkaitan
dengan informasi vegetasi lainnya seperti informasi kerapatan tegakan
hutan.

30

Citra satelit ALOS AVNIR-2 merupakan salah produk dari satelit


penginderaan jauh ALOS yang menggunakan saluran biru (0,42-0.5 m),
saluran hijau (0,52-0,6 m), merah (0,61-0,64 m) dan inframerah dekat
(0,76-0,89 m). Sehingga citra satelit dengan sensor ANIR-2 ini tergolong
ke dalam citra multispektral. Melihat pada julat panjang gelombang yang
disajikan oleh citra ALOS AVNIR-2 ini maka sangat dimungkinkan untuk
melakukan kajian mengenai vegetasi, karena vegetasi itu sendiri sangat peka
terhadap saluran inframerah dekat. Terlebih dengan keunggulan ALOS
AVNIR-2 yang memiliki resolusi spasial 10 meter, maka untuk kajian
vegetasi tentu saja hasilnya akan lebih baik.
Transformasi indeks vegetasi adalah salah satu metode yang dapat
diterapkan pada citra satelit ALOS AVNIR-2 untuk menonjolkan objek
vegetasi serta mengetahui persebarannya. Ini merupakan teknik manipulasi
citra yang menggunakan beberapa saluran sekaligus dalam teknik
analisisnya. Transformasi indeks vegetasi menghasilkan nilai kecerahan
yang mempresentasikan objek vegetasi, semakin tinggi nilai kecerahannya
maka semakin banyak pula tutupan kanopi vegetasinya. Untuk mendapatkan
nilai kecerahan ini ada beberapa transformasi indeks vegetasi yang
digunakan antara lain Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI), Transformed Vegetation Index (TVI), dan
Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI).
Lain halnya dengan citra satelit Google Earth. Citra ini tergolong ke
dalam citra satelit resolusi tinggi setara dengan citra satelit QuickBird.
Kualitas spasial dari gambar yang dihasilkan inilah yang menyebabkan citra
resolusi tinggi banyak dimanfaatkan dalam kajian keruangan termasuk
vegetasi. Melalui citra satelit ini, objek vegetasi dapat terlihat dengan jelas
baik sebaran maupun kerapatannya.
Keunggulan-keunggulan yang dimiliki oleh citra satetit seperti yang
tersebut di atas, melalui analisis citra penginderaan jauh dapat
dikombinasikan untuk mendapatkan hasil akhir yang maksimal, khususnya
kajian tentang vegetasi. Analisis piksel vegetasi dilakukan menggunakan
metode transformasi citra pada citra ALOS AVNIR-2 sedangkan untuk

31

mengetahui kerapatan vegetasi menggunakan analisis visual citra yang


bersumber dari

Google Earth. Metode

tersebut

dirancang untuk

mendapatkan hasil akurasi yang baik, sama halnya dengan metode


interpretasi hibrida. Interpretasi hibrida yang dilakukan pada penelitian kali
ini yakni dengan mengkombinasikan antara interpretasi visual dan digital
dengan maksud mendapatkan hasil akurasi pemetaan yang lebih baik.
Teknik interpretasi dengan menggunakan metode transformasi citra
menghasilkan

nilai

kecerahan

indeks

vegetasi,

sedangkan

untuk

memaksimalkan hasil analisis kerapatan vegetasi digunakanlah teknik


interpretasi citra resolusi tinggi. Hasil dari interpretasi visual citra resolusi
tinggi adalah tingkat kerapatan vegetasi. Dari sini kemudian diambil contoh
sampel guna dicocokkan dengan hasil transformasi indeks vegetasi sebagai
dasar penyusunan algoritma untuk mempermudah klasifikasi kerapatan
vegetasi. Algoritma untuk kerapatan vegetasi yang didapat dari proses
interpretasi hibrida tersebut kemudian dijadikan sebagai dasar dalam
pembuatan peta kerapatan vegetasi.

32

Managemen Pengelolaan
Hutan yang Buruk
Perkembangan Ilmu dan
Teknologi Penginderaan Jauh

Pemetaan Kerapatan vegetasi

Citra Satelit Penginderaan Jauh


ALOS AVNIR-2

Interpretasi Citra

Interpretasi Digital

NDVI

RVI

Interpretasi Manual

TVI

MSAVI

Citra Satelit Resolusi Tinggi

Interpretasi Hibrida

Analisis Korelasi

Klasifikasi Kerapatan Kanopi


Vegetasi dengan Korelasi Terbaik

Peta Kerapataan Kanopi Vegetasi

Gambar 2.3 Karangka pemikiran


33

Sejalan dengan perkembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan


Teknologi) maka berdampak pula pada perkembangan model dan metode
penelitian. Guna menghindari adanya overlap antar satu peneliti dengan
peneliti yang lain, di bawah ini disajikan tabel 2.3 yang menggambarkan
perbandingan penelitian yang sudah dilaksanakan dan penelitian yang adan
dilaksanakan.

34

Tabel 2.3 Perbandingan dengan penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan dilakukan

No.
1.

Nama Peneliti
Lo dan Choi,
2004

Judul Penelitian
Pemanfaatan Citra
Satelit Landsat
ETM+ untuk
Pemetaan Penutup
Lahan/Penggunaan
Lahan
Interpretasi Hibrida
Citra Satelit Resolusi
Spasial Menegah
untuk Kajian
Densifikasi
Bangunan Daerah
Perkotaan di Daerah
Perkotaan
Yogyakarta

Lokasi Penelitian
Kota Metropolitan
Atlanta, Negara
Bagian Georgia,
Amerika Serikat

Sumber Data
Citra Satelit
Lansat ETM+
Data Lapangan

Tujuan
Memetakan
penutup/penggunaan lahan
dengan menggunakan
pendekatan hybrid

Metode
Metode hibrida
dengan
pendekatan
supervised dan
unsupervised

Hasil
Peta penutup lahan
dan penggunaan
lahan

2.

Suharyadi, 2010

Kota Yogyakarta

Citra Landsat
TM tahun 1994,
1996, 1998,
citra Landsat
ETM+ tahun
2001, 2003, dan
citra Aster
tahun 2006

Pendekatan
hibrida yakni,
menggunakan
kombinasi
interpretasi visual
untuk deliniasi
bloks bangunan,
dan analisis digital
untuk identifikasi
kepadatan
bangunan

Serial peta
kepadatan
bangunan
menggunakan
pendekatan hibrida
sesuai dengan tahun
perekaman

Endra Gunawan,
2010

Penggunaan Metode
Hybrid untuk
Identifikasi dan
Klasifikasi Kerapatan
Kanopi di Kabupaten
Kulonprogo

Sebagian Kabupaten
Kulonprogo
Yogyakarta

Citra Satelit
ASTER tahun
perekaman
2006
Peta RBI
Data Lapangan

1.Transformasi
indeks vegetasi
2. Analisis
korelasi

1. Peta kerapatan
kanopi di sebagian
daerah Kulonprogo
2. Tabel hubungan
antara nilai spektral
dengan kerapatan
kanopi

A. Rahman
AsSyukur dan

Analisis Indeks
Vegetasi

Denpasar Bali

Citra ALOS
AVNIR-2 tahun

1. Mengembangkan teknik
interpretasi hibrida untuk
menyadap informasi
kepadatan bangunan dari
citra satelit resolusi spasial
menengah di daerah
perkotaan Yogyakarta.
2. Pemetaan kepadatan
bangunan daerah perkotaan
Yogyakarta secara temporal
3. Mengkaji karakteristik
densifikasi bangunan di
daerah perkotaan Yogyakarta
1. Menggabungakan
kelebihan-kelebiahn yang
ada pada metode interpretasi
manual dan digital
2. Mengetahui hubungan
antara jumlah nilai piksel
murni dari vegetasi dengan
tingkat kerapatan kanopi
daun
3. Menyusun suatu rumusan
statistik berdasarkan nilai
piksel untuk memudahkan
identifikasi dan klasifikasi
tingkat kerapatan kanopi
daun
Evaluasi tata ruang kota
Denpasar berdasarkan peta

3.

4.

Transformasi
NDVI, SAVI, dan

Hubungan indeks
vegetasi dengan

35

I.W. Sandy, 2009

Menggunakan Citra
ALOS AVNIR-2 dan
Sistem Informasi
Geografis untuk
Evaluasi Tata Ruang
Kota Denpasar

perekaman
2006
Peta tata ruang
kota Denpasar

persebaran vegetasi

MSAVI serta
overlay

5.

Candra Sari Djati


Kartika, 2010

Perbandingan Forest
Canopy Density
Model dengan
Beberapa Indeks
Vegetasi Sebagai
Masukan dalam
Penentuan Lahan
Kritis di Kabupaten
Malang Selatan

6.

Y.Hirose,
M.Mori, Y. A.
Kamatsu, dan
Y.Li

7.

Monica Mayda
Pratiwi, 2012

Kabupaten Malang
Selatan

Citra Landsat
ETM+ tahun
2001
Peta RBI
Peta Tematik
klas erosi

Membandingan metode FCD


dengan beberapa indeks
vegetasi untuk mengetahui
liputan lahan sebagai bahan
masukan penentuan lahan
kritis
Pemetaan lahan kritis di
Kabupaten Malang Selatan

Vegetation Cover
Mapping Using
Hybrid Analysis of
IKONOS Data

Sebagian daerah
Altran Sungai
Niyodo Jepang

Citra IKONOS

Pengembangan metode
pemetaan vegetasi untuk
menghasilkan metode survey
yang hemat biaya dan waktu

Kajian Akurasi
Interpretasi Hibrida
Menggunakan Empat
Indeks Vegetasi
untuk Pemetaan
Kerapatan Kanopi di
Kawasan Hutan
Kabupaten
Gunungkidul

Sebagian Kabupaten
Gunungkidul,
Yogyakarta

-Citra ALOS
AVNIR-2 tahun
2009
-Citra resolusi
tinggi (Google
earth)
-Peta RBI

1. Mengetahui tingkat
akurasi interpretasi hibrida
yang ditunjukkan oleh citra
satelit ALOS AVNIR-2
menggunakan beberapa
transformasi indeks vegetasi
untuk identifikasi kerapatan
vegetasi
2. Mengetahui transformasi

FCD, NVDI, RVI,


DVI, MSAVI
untuk liputan
lahan dan overlay
parameter (liputan
lahan, tingkat
erosi, lereng, dan
manajemen lahan)
untuk klasifikasi
lahan kritis
Segmen Based
Peta klasifikasi
Classification
vegetasi dengan
Pixel Based
metode segmen
Classification
based, pixel based
Hybrid (antara
dan hybrid
segmen based dan
objek based
classification)
melalui pixel
based
Metode hibrida
1. Informasi
(menggabungkan
statistik citra
antara interpretasi
hasil korelasi
visual dengan
antar saluran
interpretasi digital
dalam bentuk
beberapa
tabel, diagram,
transformasi
dan peta.
vegetasi citra
2. Tabel uji akurasi
ALOS AVNIR-2)
hasil interpretasi

36

tutupan vegetasi
untuk NDVI, SAVI,
dan MSAVI
Peta sebaran
vegetasi
berdasarkan atas
tutupannya di kota
Denpasar
Peta liputan lahan
kritis di Kabupaten
Malang Selatan

indeks vegetasi yang paling


sesuai diterapkan untuk
pemetaan kerapatan vegetasi
menggunakan teknik
interpretasi hibrida
3. Pemetaan kerapatan
vegetasi di Kabupaten
Gunungkidul

37

hibrida citra
satelit ALOS
ANVIR-2
3. Peta kerapatan
vegetasi hasil
interpretasi
hibrida dengan
akurasi terbaik
skala 1:50.000

2.11 Batasan Operasional


Akurasi : menunjukan kedekatan antara nilai prediksi/model dengan
nilai aktual (real).
Citra : gambaran suatu obyek atau suatu perujudan; suatu image pada
umumnya berupa sebuah peta, gambar, atau foto (Ford, 1979 dalam
Sutanto 1986).
Hutan : suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan
(Undang-undang Kehutanan No.41, 1999).
Indeks Vegetasi : suatu bentuk trasnformasi spektral yang diterapkan
terhadap citra multisaluran untuk menonjolkan aspel kerapatan
vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan misalnya
biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil, dan sebagainya
(Danoedoro, 2012).
Interpretasi : perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan
maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya
objek tersebut (Sutanto, 1986).
Interpretasi hibrida : metode interpretasi citra penginderaan jauh
dengan menggabungan antara interpretasi visual untuk delineasi objek
dan interpretasi digital dengan menggunakan prinsip-prinsip pola
pengenalan spektral secara digital untuk identifikasi objeknya
(Suharyadi, 2010).
Kanopi : kenampakan luar suatu vegetasi yang terdiri dari satu atau
beberapa layer pada suatu area tertentu.
Piksel : data yang mempunyai aspek (ukuran luas yang terwakili) dan
aspek spektral (besarnya nilai pantulan yang tercatat) (Danoedoro,
2012)

38

Resolusi : (disebut juga resolving power = daya pisah) adalah


kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan
informasi yang secara spasial berdekatan atau secara spektral
mempunyai kesamaan (Swain dan Davis, 1978 dalam Danoedoro,
2012)
Transformasi : perubahan atau perpindahan bentuk yang jelas.
Vegetasi : semua spesies tumbuhan yang terdapat dalam suatu wilayah
yang luas yang memperlihatkan pola distribusi ruang dan waktu
(widoretno)

39

BAB III
METODE PENELITIAN
Metode merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada di dalam
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Metode yang digunakan
dalam penelitian kali ini meliputi interpretasi citra penginderaan jauh secara
manual dan digital, kerja lapangan untuk mengecek hasil akurasi interpretasi,
dan interpretasi hibrida. Berikut adalah penjabaran masing-masing metode
tersebut.
3.1 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi :
3.1.1 Bahan Penelitian
1. Citra Sateliti ALOS AVNIR-2 Kabupaten Gunungkidul, 4 saluran
spektral (biru, hijau, merah, inframerah dekat) dengan resolusi
spasial 10 m dan tanggal perekaman 20 Juli 2009.
2. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang mencakup Kecamatan
Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang, Kecamatan
Paliyan, dan Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul skala
1:25.000 tahun 1998.
3. Citra resolusi tinggi untuk interpretasi visual kerapatan vegetasi.
3.1.2 Alat Penelitian
1. Seperangkat komputer yang kompatibel dengan perangkat lunak
yang digunakan.
2. Perangkat lunak yang mendukung penelitian (ENVI 4.5, Arc GIS
9.3).
3. Printer Hp Disket D2466 (untuk mencetak naskah dan peta).
4. GPS (Global Positioning Sistem).
5. Meteran.
6. Kamera digital.

40

7. Software pengolah kata dan data (Ms.Word, Ms.Powerpoint,


Ms.Exel)
8. Tabel lapangan.
3.2 Pemilihan Daerah Penelitian
Penelitian untuk mengetahui kerapatan tegakan hutan ini dilakukan di
Kabupaten Gunungkidul berdasarkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang
dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun
2007. Kurang lebih ada 12 Kecamatan di Kabupaten Gunungkidul yang
termasuk dalam wilayah KPH, namun penelitian kali ini hanya mengambil 5
Kecamatan, Kecamatan Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang,
Kecamatan Paliyan, dan Kecamatan Wonosari. Kecamatan-kecamatan tersebut
merupakan kecamatan dengan kondisi hutan yang masih baik. Selain itu ada
beberapa kecamatan yang khusus dijadikan sebagai kawasan hutan wisata
maupun hutan pendidikan. Kedua kawasan hutan ini memiliki fungsi penting
bagi masyarakat setempat maupun wisatawan. Selain merupakan ekosistem
karst dengan singkapan batuan kapur yang spesifik, kawasan hutan di beberapa
Kecamatan tersebut di atas letaknya juga strategis karena memiliki potensi
ekowisata untuk tujuan penelitian dan pendidikan (arboretum, penangkaran
rusa, pabrik penyulingan minyak kayu putih) serta menjadi obyek wisata yang
prospektif seperti rest area dan camping ground. Terlebih sejak tahun 2004
pemerintah

melalui

Kementrian

Kehutanan

Republik

Indonesia

telah

menetapkan kawasan hutan bunder di Kecamatan Playen sebagai taman hutan


raya. Kondisi ini mendorong peneliti untuk melakukan penelitian di daerah
tersebut untuk melihat bagaimana sebaran vegetasi serta tingkat kerapatan
tegakannya.

41

3.3 Pengumpulan dan Perolehan Data


3.3.1 Pengumpulan Data
Informasi kerapatan vegetasi hasil interpretasi visual citra satelit
resolusi tinggi serta beberapa indeks vegetasi hasil transformasi digital dari
citra satelit ALOS-AVNIR-2.
3.3.2

Perolehan Data

Data diperoleh dari interprteasi visual dan digital serta hasil cek lapangan
untuk melihat tingkat ketelitian dari interpretasi.
3.4 Pengolahan Data
Data penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan oleh banyak kalangan
harus diolah terlebih dahulu. Ada beberapa tahap pengolahan citra yang
dilakukan pada penelitian kali ini antara lain koreksi citra (geometri dan
radiometri), transformasi citra (NDVI, RVI, TVI, MSAVI), interpretasi visual
citra resolusi tinggi dan tahap interpretasi hibrida. Berikut penejelasannya.
3.4.1 Koreksi Citra
3.4.1.1 Koreksi Geometri Citra Satelit Resolusi Tinggi
Koreksi citra pada citra resolusi tinggi ini diperlukan untuk
mendapatkan posisi sesuai dengan keadaan sesungguhnya di lapangan. Citra
perlu dikoreksi karena akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dan
pengambilan sampel pada tahapan interpretasi hibrida. Metode yang dilakukan
dalam koreksi geometri citra ini yakni dengan rektifikasi citra ke peta RBI yang
sudah terkoreksi geometri.
3.4.1.2 Koreksi Geometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2
Selain koreksi geometri yang dilakukan pada citrasatelit resolusi tinggi
yang diperoleh dengan bantuan Google Earth, koreksi geometri juga dilakukan
pada citra ALOS AVNIR-2. Koreksi ini penting dilakukan karena citra ALOS
AVNIR-2 merupakan data utama yang digunakan dalam proses interpretasi
42

citra khususnya dalam menentukan indeks vegetasi. Untuk itu diperlukan


referensi data yang sama sehingga menghasilkan keluaran data yang
berkualitas. Proses koreksi geometri ini mengacu pada Peta Rupa Bumi
Indonesia (RBI), sama halnya seperti apa yang dilakukan pada koreksi
radiometri citra satelit QuickBird.
3.4.1.3 Koreksi Radiometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2
Koreksi radiometri diperlukan untuk meminimalkan kesalahan yang
disebabkan oleh gangguan atmosfer. Citra ALOS AVNIR-2 dengan level
koreksi 1B2 menandakan bahwa citra ini sudah terkoreksi baik geometri
maupun radiometrinya secara sistematis, namun untuk memastikan citra
tersebut telah benar-benar terkoreksi radiometri maka dilakukan pengecekan.
Objek yang tidak memberikan respon spektran sama sekali seharusnya bernilai
nol, jika tidak bernilai 0 maka dilakukan koreksi radiometri dengan
penyesuaian histogram.
Prinsip dari penyesuaian histogram adalah mengembalikan nilai piksel
terendah pada satu liputan citra sehingga bernilai 0. Jika nilai terendah piksel
tidak sama dengan 0, maka nilai tersebut dihitung sebagai bias. Koreksi
radiometri penyesuaian histogram dilakukan dengan mengurangkan seluruh
nilai piksel tersebut dengan nilai bias, sehingga nilai piksel yang memiliki
pantulan terendah kembali ke nilai pantulan aslinya, yakni 0.
Koreksi radiometri pada penelitian kali ini dilakukan sampai tahap
kalibrasi sensor (at sensor radiance). Setiap sensor dan detektor memiliki
kemampuan untuk mendeteksi nilai radiansi minimum dan maksimum objek.
Nilai tersebut dinyatakan dalam gain dan offset. Berikut hubungan antara nilai
piksel, gain, dan offset.
L = Offset + Gain *(BV) ......................................(7)
Dimana Gain = L(maks) - L(min) / BV(maks) ...............(8)

43

3.4.2 Transformasi Indeks Vegetasi


Transformasi indeks vegetasi yang diterapakan pada citra satelit ALOS
AVNIR-2 ini digunakan untuk mengubah nilai piksel agar menghasilkan suatu
nilai yang merepresentasikan dalam menyajikan fenomena yang berkaitan
dengan vegetasi. Teknik trasnformasi indeks vegetasi yang digunakan untuk
menurunkan informasi mengenai kerapatan vegetasi dalam penelitian kali ini,
diantaranya Ratio Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation
Index (NDVI), Transformed Vegetation Index (TVI), dan Modified Soil
Adjusted Vegetation Index (MSAVI). Berikut penjelasnnya.
3.4.2.1 Transformasi RVI (Ratio Vegetation Index)
Transformasi indeks yang pertama adalah RVI (Ratio Vegetation
Index). Transformasi ini juga menghasilkan efek yang sama terhadap
keberadaaan vegetasi. Menggunakan formula sebagi berikut.
RVI = NIR/red............................................. (9)
Penggunaan transformasi RVI dalam peneltian kali ini
dikarenakan daerah kajian memiliki topografi beragam, mulai datar
hingga

bergunung.

Transformasi

RVI

mampu

meminimalisasi

gangguan akibat perbedaan topografi tersebut dengan menggunakan


ratio saluran inframerah dekat dan saluran merah.
3.4.2.2 Transformasi NDVI (Normalized Different Vegetation Index)
Model trasnsformasi ini mengkombinasikan antara teknik
penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Hasil transformasi ini
nantinya menghasilkan nilai indeks vegetasi dengan kisaran -1 samapai
+1 yang mana nilai +1 mempresentasikan objek vegetasi sedangkan -1
bukan vegetasi. Semakin mendekati nilai +1 berarti semakin banyak
objek vegetasi yang terdeteksi dan semakin menjauhi +1 objek vegetasi
semakin berkurang. Formulanaya adalah sebagai berikut.
NDVI = (NIR-red) / (NIR+red).................. (10)

44

Berbagai penelitian yang menggunakan model transformasi ini


menunjukkan hasil yang paling baik ketimbang model transformaasi
lainnya. Misalnya pada penelitian yang dilakukan oleh Gunawan tahun
2010 untuk objek kajian yang sama, yakni kerapatan vegetasi.
Kombinasi antara teknik penisbahan dan teknik pengurangan citra
mamu menonjolkan objek vegetasi khususnya pada daerah dengan
vegetasi yang hampir seragam.
3.4.2.3 Transformasi TVI (Transformed Vegetation Index)
Transformasi ini dikembangkan untuk menghilangkan nilai
negatif pada transformasi NDVI. Salah satu dampak penghilangan
angka negatif ini adalah dapat menstabilkan variasi data NDVI sehingga
dapat memperbaiki data saat dilakukan analisis statistikFormulanya
adalah sebagai berikut.
TVI ={(NIR-Red) / (NIR+Red)} + 0,5............(11)
3.4.2.4 Transformasi MSAVI (Modified Soil Adjusted Vegetation Index)
Berbeda dengan transformasi sebelumnya, model transformasi
ini dikembangkan untuk menekan gangguan latar belakang tanah.
Vegetasi pada daerah kajian memiliki karakteristik yang berbeda
sehingga kemungkinan perbedaan jenis tanah pun sangat besar. Adanya
gangguan yang berupa vaariasi respon spektral tanah saat proses
identifikasi vegetasi inilah yang menjadi latar belakang penggunaan
transformasi ini. Berikut adalah formula yang digunakan.
MSAVI = (2 (NIR) + 1 - (2(NIR)+8(NIR-Red))/2.......(12)
3.4.3 Interpretasi Kerapatan Vegetasi Secara Visual
Interpretasi kerapatan vegetasi dilakukan secara visual menggunakan
citra satelit resolusi tinggi. Karena citra yang yang digunakan memiliki format
digital maka interpretasi ini dilakukan dengan digitasi on screen. Tiap-tiap tipe
kerapatan vegetasi yang berbeda di citra didelineasi, hal ini untuk

45

mempemudah dalam pengambilan sampel di lapangan. Dari kelas satuan


pemetaan kerapatan vegetasi tersebut kemudian diambil blok-blok kecil untuk
selanjutnya dilakukan cek lapangan.

3.5 Penentuan Titik Sampel dan Cek Lapangan


Uji lapangan diperlukan untuk mengontrol hasil interpretasi serta untuk
penyusunan algoritma kerapatan vegetasi. Uji lapangan dilakukan pada setiap
satuan pemetaan kerapatan vegetasi yang dihasilkan dari metode interpretasi
visual. Setiap satuan pemetaan berupa kelas kerapatan vegetasi yang berbeda di
citra dibedakan , kemudian selanjutnya dilakukan cek lapangan. Penentuan
sampel untuk uji lapangan pada penelitian kali ini menggunakan teknik
purposif sampling. Teknik ini dipilih berdasarkan tujuan penelitian, yakni untuk
memperoleh informaasi mengenai kerapatan vegetasi.
Hasil dari cek lapangan satuan pemetaan kerapatan vegetasi hutan
tersebut dijadikan sebagai bahan masukan untuk memperoleh kunci interpretasi
hibrida. Peta hasil re-interpretasi setelah uji lapangan, dianggap mampu
mewakili kondisi sebenarnya di lapangan sehingga dapat menjadi peta referensi
dalam uji keakuratan hasil interpretasi hibrida.

3.6 Analisis Korelasi dan Regresi untuk Menyusun Kunci Interpretasi


Hibrida
Analisis korelasi dan regresi adalah metode yang digunakan untuk
mengukur hubungan antar dua variabel. Korelasi bertindak sebagai pengukur
bentuk hubungan sedangkan regresi adalah pengukur kuat tidaknya hubungan
tersebut. Pada penelitian kali ini variabel yang akan diuji korelasi adalah indeks
vegetasi dan satuan kelas kerapatan tegakan hutan. Analisis korelasi yang
digunakan untuk melihat hubungan antara kedua variabel tersebut adalah
analisis korelasi linear sederhana. Apabila kenaikan variabel yang satu
berbanding lurus dengan kenaikan variabel yang lain maka kedua variabel

46

dikatakan memiliki korelasi positif (+), sebaliknya jika kenaikan variabel


yang satu justru menyebabkan penurunan terhadap variabel yang lain maka
hubungan antara keduanya dinyatakan dengan korelasi negatif (-). Berikut ini
adalah tabel yang digunakan sebagai acuan untuk melihat tingkat hubungan
korelasi antar parameter.

Tabel 3.1 Tingkat hubungan koefisien korelasi


Interval koefisien

Tingkat hubungan

0,00 1,999

Sangat rendah

0,20 0,399

Rendah

0,40 0,599

Sedang

0,60 0,799

Kuat

0,80 1,000

Sangat kuat

Sumber : Munir, (2007)

Masing-masing indeks vegetasi yang mencakup RVI, NDVI, TVI dan


MSAVI dilakukan analisis uji korelasi dengan kelas kerapatan tegakan hutan
hasil lapangan. Saluran yang menghasilkan korelasi paling baik kemudian
dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan kunci interpretasi. Kunci interpretasi
diperoleh melalui bentuk persamaan regrasi yang dihasilkan antara indeks
vegetaasi dan satuan kelas kerapatan hutan. Kunci interpretasi ini selanjutnya
digunakan untuk mempermudah pemetaan kerapatan tegakan hutan di daerah
kajian. Kunci interpretasi ini berupa nilai atau rumusan yang merepresentasikan
kerapatan vegetasi pada masing-masing kelas yang telah ditentukan. Berikut ini
adalah bentuk fungsi persamaan regresi yang digunakan, dimana Y adalah
variabel terikat dan X adalah variabel bebas.
Y = a + bX.......................................... (13)

47

3.7 Interpretasi Hibrida


Ada beberapa tahap yang dilakukan pada proses interpretasi hibrida
antara lain: (a) interpretasi visual untuk menentukan satuan pemetaan kerapatan
hutan sekaligus sebagai acuan pengambilan data di lapangan menggunakan
citra satelit resolusi tinggi; (b) interpretasi digital dengan menggunakan metode
transformasi indeks vegetasi citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2009; (c)
membangun kunci interpretasi hibrida dengan pendekatan analisis parameter
statistik dari dua metode interpretasi tersebut di atas. (d) menerapkan hasil
kunci interpretasi hibrida yang memiliki hasil korelasi terbaik pada citra satelit
ALOS AVNIR-2 tahun 2009 yang sebelumnya telah dilakukan interpretasi
terhadap satuan pemetaan tegakan hutan.
Interpretasi hibrida sesungguhnya terletak pada tahapan (c) dan (d). Cara
menggabungkan dua metode interpretasi yang berbeda ini (visual dan digital)
yakni dengan membuat hubungan parameter statistik pada masing-masing
transformasi indeks vegetasi dengan tingkat kerapatan yang didapat dari hasil
interpretasi visual citra satelit resolusi tinggi yang telah dilakukan cek lapangan.
Algoritma yang di dapat dari analisis parameter statistik tersebut kemudian
dijadikan sebagai kunci interpretasi hibrida dalam klasifikasi kerapatan kanopi
tegakan hutan.
Klasifikasi yang digunakan untuk menentukan kelas kerapatan tegakan
hutan pada interpretasi hibrida mengacu pada klasifikasi Howard (1991), yakni
sebagai berikut (Tabel 3.2).

48

Tabel 3.2 Kelas kerapatan vegetasi


Hutan sangat rapat

> 80 %

Agak lebat/lebat

40 80 %

Terbuka

10 40 %

Hutan jarang

2 10 %

Sedikit/tidak ada pohon

<2%

Sumber : Howard, 1991


3.8 Uji Akurasi Interpretasi
Tipe data pada penelitian kali ini adalah ordinal, artinya data yang
nilainya memiliki tingkatan dan tidak sejajar. Nilai kerapatan yakni sangat
rapat, agak rapat, jarang, terbuka, hingga sedikit merupakan bentuk dari data
ordinal. Metode uji akurasi yang dilakukan pada tipe data jenis ini dalam ilmu
penginderaan jauh lebih dikenal dengan nama tabel confusion matrix. Tabel ini
merupakan tabel matrix yang menghubungkan antara piksel hasil klasifikasi
dan ground truth data yang informasinya dapat diambil dari data lapangan
maupun peta yang sudah diverifikasi. Beberapa informaasi yang dapat diambil
dari erhitungan menggunakan tabel confusion matix antara lain overall
accuracy, producer accuracy, user accuracy, kappa coefficient, dan tau
coefficient.
Terdapat dua metode uji akurasi secara statistik, pertama dengan
mengandalkan data seampel yang diambil sebagai sumber referensi penilaian
akurasi dan uang kedua dengan mengandalkan sumber data yang independen,
yang tidak pernah digunakan dalam pengambilan sampel (Danoedoro, 2012).
Uji akurasi dalam penelitian kali ini dilakukan dengan merujuk pada tehnik uji
akurasi yang kedua, yakni dengan menggunkan data independen sebagai
sumber referensi. Data independen yang dimaksud adalah peta kerapatan
vegetasi citra resolusi tinggi yang telah diverifikasi, sedangkan data yang diuji

49

adalah peta hasil interpretasi hibrida. Metode uji akurasi ini dilakukan dengan
menumangsusunkan setiap poligon referensi dengan poligon hasil interpretasi.
Tabel 3.3 dibawah ini adalah contoh perhitungan uji akurasi dengan confusion
matrix.
Tabel 3.3 Uji akurasi pemetaan habitat bentik
kelas
pasir
terumbu
karang
makro alga
Lamun
Laut
Total
producer
accuracy (%)
error
omission (%)

terumbu
karang

pasir

makro
alga

lamun

laut

total

14

16

1
5
0
0
20

36
5
2
3
48

3
3
0
0
6

4
1
14
0
19

0
0
0
5
5

44
14
16
8
98

70

75

50 73, 68

30

25

50

26,32

user
accuracy
(%)
87,5

error
comission
(%)
12,5

81,82
21,42
87,5
62,5

18,18
78,58
12,5
37,5

100 overall accuracy


0 Kappa

Sumber: Wicaksono, 2011


Overall accuracy (%) =

............................ (14)

Producer Accuracy (%) =

.................... (15)

User Accuracy (%) =

........................... (16)

Keterangan:
Jb
: jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar
Js

: jumlah sampel uji akurasi

Jssb

: jumlah sampel uji akurasi suatu kelas yang terklasifikasi secara benar

Jss

: jumlah sampel uji akurasi pada suatu kelas

Jskt

: jumlah sampel uji akurasi yang terklasifikasi sebagai kelas tersebut

50

73,46
0,6222

Citra Satelit ALOS AVNIR-2


Daerah Gunungkidul

Citra Satelit Resolusi


Tinggi daerah
Gunungkidul

Koreksi Citra

Peta RBI (Rupa Bumi


Indonesia) skala
1:25.000

Koreksi Geometrik

Koreksi
Geometrik

Koreksi Radiometrik
(level 1B)
Citra Terkoreksi
Citra ALOS AVNIR-2 Terkoreksi

Interpretasi Digital (Membandingkan


Antar Saluran)

Interpretasi Visual
Interpretasi Visual

Transformasi Indeks vegetasi

NDVI

RVI

TVI

Blok Sampel Uji


Lapangan

MSAVI

Analisis Piksel Hasil Transformasi


dengan Satuan Kerapatan Kanopi
Hutan Hasil Lapangan

Analisis Korelasi

Kerapatan Kanopi
Vegetasi Hasil
Interpretasi Citra
Resolusi Tinggi
Satuan Pemetaan
Kerapatan Vegetasi

Saluran dengan
Korelasi Terbaik

Kunci
Interpretasi
Hibrida

Reklasifikasi

Peta Kerapatan Tegakan Hutan Hasil


Interpretasi Hibrida skala 1:50.000

51
Gambar 2.1 Diagram Alir Metode Penelitian

BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH

4.1 Letak, Batas, Luas Daerah Penelitian


Daerah kajian dalam penelitian interpretasi hibrida pemetaan kerapatan
kanopi hutan dibatasi berdasarkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Daerah
Istimewa Yogyakarta yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan Republik
Indonesia tahun 2007. Penelitian dilakukan di Batas Daerah Hutan (BDH)
Kabupaten Gunungkidul yang mencakup Resort Pengelolaan Hutan (RPH)
Playen, Paliyan, dan Panggang di beberapa kecamatan antara lain Kecamatan
Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang, Kecamatan Paliyan, dan
Kecamatan Wonosari dengan luas 5888,04 ha yakni sekitar 4% dari total luas
Kabupaten Gunungkidul.
Kabupaten Gunungkidul sendiri terletak di antara 071630 07
1930 LS dan 110 1930 - 110 2530 BT. Gunungkidul merupakan salah
satu dari lima kabupaten di wilayah administrasi Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY) yang wilayahnya paling luas yakni kurang lebih 46% dari luas wilayah
DIY atau sekitar 1.485,36 km2. Ibu kota kabupaten adalah Wonosari yang
terletak sekitar 39 km di sebelah selatan kota Yogyakarta. Kabupaten
Gunungkidul memiliki 18 kecamatan, 144 desa dan 1536 dusun. Berikut ini
adalah batas wilayah Kabupaten Gunungkidul.

Batas wilayah Kabupaten Gunungkidul:


Sebelah Barat

: Kabupaten Bantul dan Sleman (Propinsi DIY)

Sebelah Utara

: Kabupaten Klaten dan Sukoharjo (Propinsi Jawa

Tengah)
Sebelah Timur

: Kabupaten Wonogiri (Propinsi Jawa Tengah)

Sebelah Selatan

: Samudera Hindia

52

Wilayah Kabupaten pada umumnya berbukit dan setengah dari luas


wilayahnya memiliki kemiringan lebih dari 15%. Berdasarkan kondisi
topografinya, wilayah Kabupaten Gunungkidul dibagi ke dalam tiga zone, yaitu
daerah perbukitan di bagian Utara dan sisi Timur yang disebut sebagai Zone
Baturagung, wilayah pegunungan karst di bagian Selatan yang disebut dengan
Zone Gunung Seribu dan daerah yang relatif datar di bagian tengah yang
disebut dengan Zone Ledok Wonosari (Soeharto, 2008). Daerah yang menjadi
fokus kajian kali ini berada pada zona Baturagung yang rata-rata memiliki
kemiringan lebih dari 15%. Zona ini membentang mulai dari arah Barat Laut
Kota Wonosari hingga Utara.

4.2 Hutan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)


Penataan wilayah hutan di DIY telah dimulai sejak jaman penjajahan
Belanda. Kebijakan pemerintah ketika itu mengharuskan adanya pengelolaan
hutan untuk kelestarian lingkungan. Sistem pengelolaan hutan yang ketika itu
bernama Houtvesterij mulai berkembang dari satu saerah ke daerah lain.
Hingga akhirnya satu demi satu hutan di Jawa menganut sistem tersebut
termasuk DIY. Setelah masa penjajahan Belanda selesai, kegiatan penataan
hutan mengalami kemandekan, baru berjalan kembali setelah diakuinya
Kemerdekaan RI sekitar tahun 1950. Dari tahun ketahun sistem pengelolaan
hutan terus diperbaharui, berkembang dan akhirnya terbentuklah Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) di setiap daerah. Menurut P No. 6 tahun 2007 dan P
No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan, dan
Pemanfaatan Hutan Pasal 12 dijabarkan bahwa kegiatan penataan hutan di
wilayah KPH meliputi penataan batas, inventarisasi sumber daya hutan,
pembagian dalam blok atau zona, pembagian petak dan anak petak, dan
pemetaan.
Kabupaten Gunugkidul selain memiliki luas wilayah terbesar di DIY,
juga merupakan satu-satunya Kabupaten dengan luas wilayah hutan paling

53

besar yakni mencapai 13.105,50 ha. Ini artinya, Gunungkidul menduduki


peringkat pertama untuk luas hutan terbesar di DIY. Berdasarkan pengamatan
secara visual dari citra satelit ALOS AVNIR-2 tahun 2007 komposit 321 (true
colour) hutan di Kabupaten Gunungkidul tersebar merata hampir diseluruh
bagian wilayahnya dengan di dominasi oleh tegakan jenis Jati (Tectona
grandis), Akasia (Acasia sp.), Mahoni (Swietenia macrophylla), Kayu Putih
(Eucalyptus globulus) dan Sengon (Albizia falcatana). Namun demikian,
batasan wilayah hutan dalam penelitian kali ini merujuk pada Batas Daerah
Hutan (BDH) yang dikeluarkan oleh Kementrian Kehutanan Republik
Indonesia tahun 2010. BDH tersebut membawahi Resort Pengelolaan Hutan
(RPH). Di DIY terdapat 6 BDH, untuk Kabupaten Gunungkidul sendiri
memiliki 4 BDH antara lain BDH Karangmojo, Playen, Paliyan, dan Panggang.
Sisanya adalah BDH Yogyakarta dan BDH Kulonprogo.

4.3 Karakteristik Hutan di Daerah Kajian


Penelitian ini mengambil beberapa kawasan hutan berdasarkan Batas
Daerah Hutan (BDH) yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan
(BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun 2010, antara lain pada BDH Playen,
BDH Panggang, dan BDH Paliyan. Ketiga BDH tersebut mencakup kawasan
hutan produksi, hutan lindung, dan tanaman hutan raya. Hutan Produksi
mendominasi sebagian BDH Playen dan Paliyan antara lain pada RPH Banaran,
Bunder,

Wonolagi,

Gubugrubuh,

Menggaran,

Kedungwalu,

Kepek,

Karangmojo, dan Menggoro. Hutan lindung terdapat di sebagian BDH


Panggang dan Paliyan tepatnya pada RPH Kedungwalu dan Bibal. Sementara
untuk tanaman hutan raya hanya terdapat pada BDH Playen yang membawahi
kawasan hutan buder dan banaran.
Jenis tanaman pada BDH kajian antara lain Jati, Kayu Putih, Mahoni,
Kleresede (Glirecidea sp.), Sono (Dalbergia latifolia), dan Akasia. Meskipun
jenis tanaman yang mendominasi adalah jenis tanaman hutan produksi namun

54

pada dasarnya tetap mempunyai blok yang berfungsi sebagai blok pemanfaatan
terbatas yang juga berfungsi sebagai zona penyangga. Seperti yang tersebut
dalam aturan penetapan wilayah/blok kesatuan pengelolaan hutan Yogyakarta,
salah satu permasalahan yang dihadapi pengelolaan hutan saat ini adalah
semakin meningkatnya dinamika permasalahan sosial ekonomi. Pertumbuhan
penduduk yang tidak diimbangi dengan tersedianya kebutuhan pangan,
sandang, dan lapangan pekerjaan berdampak meningkatnya jumlah keluarga
miskin dan lonjakan jumlah pengangguran. Apabila kondisi ini terjadi di desadesa sekitar hutan, akan berdampak pada peningkatan interaksi penduduk
dengan sumber daya hutan baik bersifat konstruktif maupun destruktif.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan di
Yogyakarta tahun 2009, jumlah desa hutan dan/atau desa sekitar hutan paling
banyak terdapat di Kabupaten Gunungkidul yakni 13 Kecamatan. Dengan
adanya blok pemanfaatan zona terbatas untuk hutan produksi yang berlokasi di
sekitar desa hutan diharapkan mampu menjadi pelindung bagi hutan itu sendiri
sehingga kelestariannya tetap terjaga.

4.4 Kondisi Fisik Daerah Penelitian


Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu dari 5 Kabupaten di DIY
yang wilayahnya didominasi oleh perbukitan. Berdasarkan dari peta Geologi
yang dikeluarkan oleh BAPEDDA Kabupaten Gunungkidul tahun 2002 lahan
di Kabupaten Gunungkidul mimiliki tingkat kemiringan bervariasi,19%
diantaranya merupakan daerah datar dengan tingkat kemiringan 0-2,
sedangkan daerah dengan tingkat kemiringan antara 15-40 sebesar 39,54%
dan untuk kemiringan lebih dari lebih dari 40 sebesar 15,95%. Sementara jika
dilihat dari topografi, jenis batuan, jenis tanah, ketinggian, dan keadaan
hidrologi/sumber air, wilayah Kabupaten Gunungkidul terbagi menjadi tiga
zona wilayah sebagai berikut:

55

1.

Zona Utara (Zona Baturagung)


Berada pada ketinggian 200 700 mdpal. Zona ini didominasi oleh

penggunaan lahan berupa hutan dengan kondisi lereng yang berbukit-bukit.


Sebagian besar tanahnya adalah latosol dengan dominasi tekstur lempung
hingga berpasir. Tanah jenis ini terbentuk dari batuan gunung api tua yang
telah mengalami pelapukan lebih lanjut dan terendapkan (sedimentasi).
Berwarna merah, coklat sampai kekuning-kuningan. Vegetasi jenis Jati,
Akasia, Mahoni, Kayu Putih, maupun Sengon banyak tumbuh di kawasan
ini. Tumbuhan tersebut di atas sama-sama mampu bertahan dalam kondisi
kering sekalipun, pada tanah lempung berpasir dan dengan iklim yang tegas
antara kemarau dan penghujan. Daerah yang menjadi kajian penelitian ini
paling banyak berada pada Zona Utara melihat persentase hutan dari data
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) tahun 2007 untuk Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) Yogyakarta wilayah Gunungkidul paling tinggi
berada pada Zona Utara. Tidak heran mengapa pada zona ini idenifikasi
keberadaan vegetasi tidak sulit dilakukan. Sebagaimana terlihat pada
halaman lampiran, bagaimana rona piksel yang ditunjukkan oleh salah satu
transformasi indeks vegetasi pada zona utara ini sebagian besar adalah cerah.
Semakin cerah rona nilai piksel artinya semakin banyak tutupan vegetasinya.
2.

Zona Tengah (Ledok/Basin Wonosari)


Zona ini berada pada ketinggian 150 200 mdpal.Dikelilingi oleh

perbukitan, dimana sebelah selatan dibatasi oleh perbukitan karst sedangkan


sebelah utara oleh perbukitan struktural. Tanah pada Ledok Wonosari ini
merupakan hasil pelapukan dan sedimentasi material dari daerah
disekitarnya, sehingga meskipun jenis tanahnya adalah mediteran atau terra
rosa namun lapisan tanahnya tebal dan subur. Penggunaan lahan digunakan
untuk tegalan, pertanian sistem tumpang sari dan pertanian semusim.
Sehingga Ledok Wonosari ini termasuk dalam kawasan yang paling
berkembang, baik dari sisi fisik maupun sosial ekonominya. Wilayah kajian
tidak banyak mengambil pada zona ini melihat kondisi vegetasi yang minim.
56

Rona piksel salah satu transformaasi indeks vegetasi pada halaman lampiran
pun sebagian besar menunjukkan rona gelap karena didominasi oleh lahan
terbangun.
3.

Zona Selatan (Pegunungan Seribu)


Terletak pada ketinggian 0 300 mdpal dengan batuan penyusunnya

berupa batu kapur. Banyak terdapat bentukan lahan kars, berupa kerucut
kars, dome,danau-danau kars hingga sungai bawah tanah. Vegetasi pada
kawasan ini terdiri atas tumbuhan yang tumbuh secara alami dan tumbuhan
yang dibudidayakan untuk kepentingan ekonomi. Tanahnya terdiri atas
endapan batu gamping, berwarna merak kecoklatan hingga coklat kemerahan
yang disebut dengan terra rosa. Tipisnya lapisan tanah (20 100 m) dengan
sifat lempung hingga pasiran, sedikit aliran air permukaan serta
melimpahnya kandungan kalsium menyebabkan hanya tanaman lahan kering
yang mampu bertahan. Kondisi inilah yang menyebabkan wilayah zona
selatan didominasi oleh tanaman jati. Namun penelitian kali ini tidak
mengambil zona selatan sebagai wilayah kajian. Batas daerah kajian yang
digunakan mengacu pada Batas Daerah Hutan (BDH) yang dikeluarkan oleh
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun
2007.
Kaitannya dengan iklim, Kabupaten Gunungkidul termasuk daerah yang
beriklim tropis. Curah hujan rata-rata 1.954,43 mm/tahun dengan jumlah hujan
rerata harian 103 hari/tahun. Bulan basah 7 bulan dan bulan kering 5 bulan.
Wilayah Gunungkidul bagian Utara memiliki curah hujan paling tinggi jika
dibandingkan dengan wilayah tengah dan selatan. Hal inilah yang menjadi salah
satu faktor mengapa hutan cukup berkembang di wilayah utara. Suhu udara
rata-rata harian 27,7 C, suhu minimal 23,2 C, dan suhu masksimum 32,4 C.
Kelembapan nisbi berkisar antara 80% - 85%, tidak terlalu dipengruhi oleh
tinggi tempat melainkan oleh musim. Gambar 3.1 berikut merupakan peta
lokasi penelitian untuk interpretasi hibrida.

57

58

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Pemrosesan Citra Digital Resolusi Tinggi
5.1.1 Koreksi Geometri Citra Resolusi Tinggi
Citra satelit resolusi tinggi yang digunakan dalam penelitian kali ini
diperoleh dengan memanfaatkan data dari Google Earth, untuk itu informasi
yang didapat hanya terbatas pada informasi visualnya. Dengan menggunakan
zoom level 17, kenampakan visual citra yang bersumber dari data Google Earth
setara dengan kenampakan visual yang ada pada citra satelit Quickbird
sehingga untuk identifkasi kerapatan vegetasi dapat dilakukan dengan baik.
Koreksi geometri citra mengacu pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)
skala 1:25.000. Perbedaan resolusi spasial antara keduanya menjadi hambatan
dalam koreksi ini. Namun karena output akhirnya nanti mengacu pada satu
sumber yang sama yakni peta RBI maka untuk koreksi geometri citra resolusi
tinggi ini tetap mengacu pada peta RBI.
Metode yang dilakukan dalam koreksi geometri citra resolusi dari data
citra satelit Google Earth adalah penyamaan koordinat, yakni dengan rektifikasi
citra ke peta. Peta yang digunakan sebagai base map adalah RBI, asumsinya
peta ini sudah memiliki koordinat maupun sistem proyeksi yang benar sehingga
dapat digunakan sebagai acuan untuk koreksi geometri citra. Dalam koreksi
geometri ini, citra hanya dipandang sebagai image sehingga sama sekali tidak
mempertimbangkan posisi piksel, hasilnya pun berupa data yang berbasis
vektor sehingga dalam mentransformasikan titik-titik koordinat peta ke citra
bisa dilakukan tanpa mengalami kesulitan. Yang dibutuhkan dalam koreksi
geometri ini adalah tingkat ketelitian yang tinggi, bagaimana memposisikan
objek di citra agar sama dengan koordinat peta acuan.

59

5.1.2 Interpretasi Visual Citra Resolusi Tinggi


Citra resolusi tinggi pada penelitian kali ini digunakan sebagai data
input dalam interpretasi hibrida. Informasi yang diambil dari citra resolusi
tinggi ini berupa data kerapatan kanopi vegetasi di area hutan pada daerah
kajian. Nilai kerapatan kanopi tersebut diperoleh dari interpretasi visual digitasi
on screen dengan mengandalkan unsur-unsur interpretasi. Unsur interpretasi
yang digunakan sebagai kunci interpretasi dalam mengambil nilai kerapatan
vegetasi antara lain warna/rona, tekstur, bentuk, pola, dan asosiasi. Karena citra
yang digunakan merupakan data yang diperoleh dari Google Earth maka format
citra sudah bukan format asli sehingga hanya bisa digunakan untuk analisis
secara visual.
Interpretasi citra dimulai dengan melakukan pengamatan secara
menyeluruh pada daerah kajian. Kunci interpretasi digunakan untuk
mempermudah dalam penarikan batas antara kerapatan vegetasi satu dengan
yang lain. Kunci interpretasi warna/rona merupakan unsur yang paling
dominan. Semakin hijau semakin rapat. Selain itu ada tekstur, bentuk, pola, dan
asosiasi.

Antara

kunci

interpretasi

satu

dengan

yang

saling

saling

mempengaruhi. Misalnya warna/rona hijau, tekstur kasar, bentuk dan pola


menggerombol serta berasosiasi dengan sungai tergolong dalam vegetasi
tegakan sangat rapat. Jadi interpretasi visual disini hanya bertujuan membagi
darah penelitian menjadi blok-blok kerapatan tertentu tanpa nilai kuantitatif.
Blok kerapatan belum memiliki nilai kerapatan sebelum dilakukan cek
lapangan.
5.1.3 Penentuan Blok Sampel untuk Cek Lapangan
Pengambilan sampel bloks kerapatan vegetasi dilakukan dengan metode
purposive sampling, yaitu sampel ditentukan berdasarkan tujuan penelitian.
Sampel diambil dengan mempertimbangkan kenampakan kerapatan vegetasi
secara visual, cara pengambilan sampel acak namun tetap beraturan. Setiap blok

60

sampel kerapatan diambil beberapa sampel yang selanjutnya dilakukan cek


lapangan.
Jumlah sampel yang ditentukan untuk cek lapangan adalah 30 sampel.
Tersebar merata mulai dari sisi utara hingga selatan pada daerah kajian. Peta di
bawah ini adalah sebaran sampel kerapatan vegetasi pada daerah kajian.
Gambar 5. berikut adalah citra resolusi tinggi yang digunakan untuk interpretasi
visual beserta sebaran titik sampel uji lapangan. Daerah yang dibatasi garis
putih merupakan daerah kajian penelitian. Sedangkan hasil kerapatan aktual di
lapangan untuk setiap sampel disajikan dalam tabel 5.

61

62

Tebel 5.1Hasil identifikasi kerapatan vegetasi di lapangan


No.

Sampel

12.102

Kerapatan
(%)

Foto lapangan

Koordinat

81

X = 438759,2339
Y = 9118303,624

12.105

74

X = 438846,5466
Y = 9118246,077

12.103

80

X = 438884,9112
Y = 9118237,478

12.106

64

X = 438939,8124
Y = 9118330,744

12.104

65

X = 438986,776
Y = 9118222,265

6.23

46

X = 441365,8222
Y = 9117952,895

11.101

77

X = 442253,8772
Y = 9117172,177

63

11.100

48

X = 442931,2119
Y = 9117375,377

5.11

64

X = 444768
Y = 9118060

10

5.12

44

X = 445590
Y = 9117943

11

10.85

80

X = 443338
Y = 9118399

12

10.86

86

X = 443618
Y = 9118431

13

10.87

70

X = 443598
Y = 9118763

14

7.39

71

X = 444019
Y = 9119752

64

15

6.25

X = 445181
Y = 9120166

16

7.37

10

X = 445069
Y = 9120487

17

6.28

12

X = 444588
Y = 9121289

18

8.85

69

X = 443106
Y = 9120951

19

8.86

71

X = 443236
Y = 9120986

65

20

9.57

74

X = 443103
Y = 9121231

21

9.60

70

X = 444187
Y = 9122024

22

9.58

84

X = 444243,7567
Y = 9122149,73

23

9.59

78

X = 443807,0941
Y = 9121947,886

24

6.18

26

X = 445787
Y = 9125367

25

9.62

41

X = 447434
Y = 9127465

66

26

9.61

61

X = 447437
Y = 9127705

27

10.74

47

X = 448589
Y = 9127590

28

10.73

67

X = 448490
Y = 9127797

29

9.71

72

X = 448241
Y = 9128090

30

10.79

81

X = 449973
Y = 9127501

67

5.2 Pemrosesan Citra Satelit ALOS AVNIR-2


5.2.1 Koreksi Geometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2
Citra satelit ALOS AVNIR-2 yang digunakan dalam penelitian kali ini
adalah citra dengan level koreksi 1B2, ini artinya citra tersebut sudah terkoreksi
geometri secara sistematis. Namun tetap harus dilakukan koreksi geometri
kembali, disesuaikan dengan data vektor yang digunakan dalam penelitian ini.
Peta yang digunakan sebagai acuan dalam koreksi geometri citra satelit ALOS
AVNIR-2 sama dengan peta yang digunakan untuk koreksi pada citra resolusi
tinggi, yakni RBI. Penggunaan acuan peta yang sama ini untuk mempermudah
dalam melakukan analisis citra. Metode yang diguanakan yakni image to
image, meskipun yang digunakan sebagai base adalah peta RBI namun dalam
prakteknya peta RBI tersebut tetap terbaca sebagai image bukan sebagai
map.Tahap awal dalam koreksi geometri citra satelit ALOS AVNIR-2 yakni
melakukan pemotongan citra yang mencakup daerah kajian. Luasnya daerah
kajian ditambah pula dengan topografinya yang beragam (bergunung hingga
dataran) menjadi alasan penggunaan algoritma polynomial orde 3.
Titik kontrol point atau GCP tersebar merata di seluruh bagian citra
dengan jumlah 33. Semakin banyak titik GCP asumsinya semakin akurat hasil
koreksi geometri. Objek yang dijadikan sebagai titik kontrol merupakan objek
yang sifarnya relatif tetap seperti bangunan, jalan, dan jembatan. Algoritma
yang digunakan dalam koreksi geometri ini adalah nearest neighbour, dengan
tujuan agar nilai piksel asli tidak berubah.
Keakuratan hasil koreksi geometri dapat dilihat dari RMS errornya,
semakin kecil nilainya akan semakin akurat hasilnya dalam arti semakin
mendekati titik sebenarnya di lapangan. Kendalanya, untuk mendapatkan nilai
RMS errror kecil dibutuhkan objek yang tetap dan terlihat dengan jelas baik
pada citra ALOS AVNIR-2 maupun peta RBI. Sedangkan pada citra maupun
peta tersebut objek yang dimaksud sangat minim dengan persebaran yang tidak
merata. Tabel 5.2 dibawah ini menyajikan sebaran titik GCP disertai RMS

68

errornya dimana rata-rata RMS error yang diperoleh dari 33 GCP sebesar 0,89.
Ini artinya dengan resolusi spasial citra 10 m maka di lapangan citra tersebut
mengalami pergeseran sebesar 8,89 m untuk tiap piksel. Nilai RMS error yang
cukup tinggi ini menunjukkan bahwa hasil koreksi geometrik untuk dearah
kajian tidak sempurna. Padahal nilai yang disarankan oleh Jansen tahun 2005
adalah < 0,5. Hal ini dikarenakan kondisi fisik daerah pemelitian yang sebagian
besar didominasi oleh perbukitan dan pegunungan serta sulitnya menemukan
objek yang tetap meskipun pengambilan titik GCP telah dilakukan berulangulang.

69

Tabel 5.2 Jumlah GCP (Ground Control Point) pada koreksi geometri

Sumber : Koreksi geometri citra satelit ALOS AVNIR-2, 2013

70

a
b
Gambar 5.2(a) Persebaran titik kontrol pada citra ALOS AVNIR-2
5.2(b) Persebaran titik kontrol peta Rupa Bumi Indonesia
(RBI)
Penggunaan

algoritma

polinomial

tidak

hanya

mempengaruhi

perubahan posisi piksel saja, melainkan juga menyebabkan perubahan nilai


spektralnya. Proses resampling digunakan untuk tetap mempertahankan nilai
spektral pada tiap piksel. Metode resampling yang digunakan dalam koreksi ini
adalah nearest neightbour, dengan pertimbangan jenis resampling ini tetap
mempertahankan nilai piksel meskipun posisi piksel berubah.
Perubahan pergeseran citra sebelum dan sesudah koreksi dapat dilihat
pada gambar 5.3 (a) dan 5.3 (b). Dari pertampalan vektor pada citra, terlihat
bahwa terjadi perubahan yang cukup signifikan antara citra sebelum dan
sesudah koreksi. Ini artinya, meskipun kualitas citra berada pada level 1B2
namun belum tentu memiliki posisi sebenarnya terhadap acuan yang digunakan.

71

Gambar 5.3(a) Pertampalan vektor sebelum koreksi geometri citra


5.3(b) Pertampalan vektor sesudak koreksi geometri citra
5.2.2 Koreksi Radiometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2
Koreksi radiometri dilakukan untuk memperbaiki kualitas citra baik
secara visual maupun yang berkaitan dengan nilai pikselnya. Citra ALOS
AVNIR-2 yang digunakan dalam penelitian kali ini memiliki level koreksi 1B2
sehingga sudah terkoreksi geometri dan radiometri secara sistematis. Kualitas
citra yang dimaksud disini berkaitan dengan tujuan penelitian itu sendiri. Untuk
penelitian kali ini kualitas citra tidak hanya berhenti pada informasi dalam citra
sendiri melainkan juga mempertimbangkan faktor-faktor luar yang berpengaruh
terhadap kesalahan informasi citra. Sehingga tahapan koreksi radiometri yang
dilakukan pada penelitian kali ini mencapai tahap kalibrasi sensor (at sensor
radiance).
Nilai kepekaan yang tertangkap sensor pada masing-masing saluran
dinyatakan dalam gain dan offset. Berikut adalah algoritma yang digunakan
beserta hasil koreksinya.
L = Offset + Gain *(BV)................................. (17)
Dimana
Gain = L(maks) - L(min) / BV(maks)....................... (18)

72

Tabel 5.3 Nilai gain dan offset pada citra ALOS AVNIR-2
No.

Saluran

Gain

Offset

Saluran 1

0,5946

0,95

Saluran 2

0,5541

0,84

Saluran 3

0,4730

0,81

Saluran 4

0,6689

-0,00

Sumber: Header cittra ALOS AVNIR-2 tahun 2009

5.2.3 Transformasi Indeks Vegetasi


Perolehan informasi mengenai sebaran vegetasi dilakukan dengan
transformasi indeks vegetasi pada citra satelit ALOS AVNIR-2. Ada 4 jenis
transformasi citra yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi Ratio
Vegetation Index (RVI), Normalized Difference Vegetation Index (NDVI),
Transformed Vegetation Index (TVI), dan Modified Soil Adjusted Vegetation
Index (MSAVI). Pemilihan trasnformasi tersebut didasarkan pada kapasitas
citra satelit ALOS AVNIR-2 yang hanya terdiri dari 4 band yakni saluran biru
(0,45 0,52m), saluran hijau (0,52 0,60m), saluran merah (0,63 0,69m),
dan saluran inframerah dekat (NIR) (0,76 0,89m). Sehingga anadalan pada
model trasnformasi yang diterapkan pada citra satelit ALOS AVNIR-2 ini
hanya pada saluran merah dan inframerah dekat. Penggunaan saluran merah
dan NIR pada sebagaian besar transformasi indeks vegetasi didasarkan pada
nilai tertinggi pantulannya. Vegetasi memberikan pantulan tertinggi pada NIR,
namun karena mata manusia hanya terbatas pada panjang gelombang visibel
maka daun sehat tampak hijau. Sehingga kombinasi dari dua pantulan (merah
dan inframerah dekat) mampu memberikan nilai/indeks kaitannya dengan
keberadaan vegetasi. Nilai indeks ini dapat bervariasi, tidak selalu sama
tergantung dari algoritma transformasi yang digunakan. Berikut hasil dari
masing-masing transformasi tersebut.

73

5.2.3.1 RVI
Transformasi indeks vegetasi paling sederhana yang digunakan dalam
penelitian kali ini adalah RVI (Ratio Vegetation Index). Indeks yang dihasilkan
merupakan rasio dari saluran merah dan inframerah dekat dengan nilai minimal
0,204109, maksimal 4,013212 dan rata-rata 1,409078. Objek vegetasi dari hasil
transformasi ini menunjukkan rona yang cerah, sedangkan non vegetasi
memiliki rona gelap.
Algoritma RVI yang digunakan hanya mengandalkan kemampuan
saluran merah dan inframerah dekat yang memang unggul dalam nenonjolkan
objek vegetasi, sehingga hanya ada dua kemungkinan objek yang dapat
diidentifikasi. Pertama objek vegetasi dan kedua non vegetasi. Semakin besar
nilai indeks yang dihasilkan, semakin cerah ronanya, dan semakin besar pula
kemungkinan keberadaan vegetasi.
5.2.3.2 NDVI
Indeks vegetasi selanjutnya adalah NDVI (Normalized Different
Vegetation Index). Sama seperti RVI, NDVI pun menggunakan saluran merah
dan inframerah dekat namun dengan algoritma yang berbeda. Kisaran nilai
yang dihasilkan antara -1 sampai 1. Dimana -1 non vegetasi dan 1 vegetasi.
Hasil trasnformasi NDVI pada daerah kajian menunjukkan rentang nilai
antara -0.660980 sampai 0.601054. Semakin mendekati 1 rona yang terlihat
pada citra semakin cerah, dan semakin cerah kenampakannya akan
menunjukkan daerah kajian semakin banyak tutupan vegetasi. Pada daerah
penelitian nilai maksimal indeks berada pada 0.601054. Ini artinya, tidak ada
objek yang benar-benar murni vegetasi. Bisa terjadi karena ada pantulan tanah
atau air yang berada diantara vegetasi mengingat resolusi spasial citra ALOS
ANVIR-2 sebesar 10 m yang berarti luasan dipermukaan bumi 100 meter
persegi. Dimana akan sangat sulit menemukan tutupan objek vegetasi yang
secara utuh menutupi permukaan bumi tanpa celah sedikitpun.

74

5.1.3.3 TVI
Transformasi indeks ketiga yang digunakan adalah TVI (Transformed
Vegetation Index). Model transformasi ini dikembangkan untuk menghilangkan
nilai negatif pada transformasi NDVI. Masih menggunakan saluran yang sama,
yakni merah dan inframerah dekat maka dihasilkan nilai indeks dengan
minimal 0.037842, maksimal 1.049311 dan rata-rata 0.799635. Nilai indeks
tersebut merepresentasikan tutupa vegetasi pada daerah kajian. Dimana nilai
indeks kecil memiliki rona gelap yang mengindikasikan tutupan vegetasi sedikit
dan nilai indeks besar memiliki rona cerah yang mengindikasikan tutupan
vegetasi rapat.
5.2.3.4 MSAVI
Terakhir adalah transformasi MSAVI (Modified Soil Adjusted
Vegetation Index). Model transformasi ini memiliki keunggulan mampu
menekan latar belakang tanah meskipun dengan menggunakan tipe saluran
yang sama seperti pada transformasi sebelumnya yakni merah dan inframerah
dekat. Tanah untuk kajian tutupan vegetasi dianggap sebagai gangguan karena
mempengaruhi nilai asli dari pantulan objek vegetasi.
Nilai indeks yang dihasilkan oleh transformasi ini yakni minimal 7.166977 maksimal 1.500336 dan rata-rata 0.450420. Indeks yang dihasilkan
ini tidak memiliki acuan nilai tertentu karena persamaan yang digunakan bukan
merupakan persamaan yang telah dinormalisasi seperti pada transformasi
NDVI. Nilai indeks yang dihasilkan tergantung dari nilai spektral saluran yang
digunakan. Tabel 5.4 di bawah ini menggambarkan perbandingan informasi
spktral masing-masing transformasi yang digunakan.

75

Tabel 5.4 Citra hasil transformasi dan perbandingan nilai spektralnya


No.

informasi spectral

Jenis trasnformasi

maks

Min

rata-rata

st.dev

4,013212

0,204109 1,409078 0,390784

0,601054

-0,66098

1,049131

0,037842 0,779964 0,091889

1,500336

-7,16698

RVI
2

0,14779

0,13916

NDVI
3
TVI
4

0,45042

0,485373

MSAVI

5.2.4 Interpretasi Visual Citra Satelit ALOS ANVIR-2


Interpretasi visual citra satelit ALOS AVNIR-2 bertujuan untuk
menyusun satuan pemetaan kerapatan kanopi hutan dalam interpretasi hibrida.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan ketika melakukan interpretasi visual
selain unsur-unsur interpretasi adalah penyusunan citra komposit. Penyusunan
citra komposit bertujuan untuk menonjolkan objek tertentu sehingga
mempermudah pengenalan suatu objek. Komposit warna memanfaatkan tiga
saluran pada citra, dimana saluran yang digunakan adalah saluran-saluran yang
peka terhadap objek vegetasi. Saluran tersebut antara lain saluran hijau (0,520,6 m), merah (0,61-0,64 m) dan inframerah dekat (0,76-0,89 m) dengan
komposit 432 (inframerah dekat, merah, hijau). Gambar 5.4 di bawah ini adalah

76

grafik histogram citra satelit ALOS AVNIR-2 dengan komposit warna 432
pada daerah penelitian.

Gambar 5.4 Histogram citra daerah kajian untuk komposit warna 432
Grafik berwarna hitam adalah band 4, grafik berwarna merah band 3,
dan grafik berwarna hijau band 2. Masing-masing grafik menggambarkan
pesebaran jumlah nilai piksel pada rentang nilai kecerahan citra antara 0 255.
0 berarti sangat gelap dan 255 sangat cerah. Dari histogram tersebut dapat
dilihat bahwa tidak ada piksel yang benar-benar bernilai 0 maupun 255. Jumlah
piksel terbanyak dari 3 jenis saluran tersebut justru berada pada kisaran nilai
kecerahan 25 75. Ini artinya persentase nilai piksel gelap lebih dominan
daripada nilai piksel cerah. Semakin gelap berarti semakin banyak energi yang
terserap, karena 3 saluran tersebut memiliki pola yang sama dalam
memberikan respon pantulan vegetasi maka semakin gelap citra semakin
banyak persentasi vegetasi pada daerah kajian. Nilai inilah yang dijadikan
pedoman untuk mengetahui distribusi nilai piksel yang menunjukkan
keberadaan objek vegetasi.
Komposit saluran 432 yang digunakan untuk interpretasi visual
menghasilkan kenampakan objek vegetasi yang sangat jelas. Saluran 4
(inframerah dekat) dengan panjang gelombang 0,76-0,89 m peka terhadap
objek vegetasi dan tanah. Saluran 3 (merah) yang memiliki panjang gelombang
0,61-0,64 m peka terhadap pantulan vegetasi, sedangkan saluran 2 yang
77

berada pada kisaran panjang gelombang 0,52-0,60 m merupakan puncak dari


pantulan vegetasi. Kombinasi komposit dari ketiga saluran tersebut di atas
menghasilkan kenampakan citra dengan dominan warna merah adan cyan.
Merah menunjukkan objek vegetasi dan cyan menunjukkan objek tanah.
Interpretasi visual citra satelit ALOS AVNIR-2 dengan komposit 432
sangat membantu dalam indentifikasi objek. Proses pengenalan objek yang
berkaitan dengan vegetasi dilakukan secara fotomorfik, yakni menggunakan
unsur interpretasi citra. Pengenalan objek dilakukan untuk membedakan kelas
kerapatan tegakan hutan daerah kajian berdasarkan unsur interpretasi citra.
Sehingga tidak semua unsur interpretaasi digunakan secara serentak, beberapa
unsur interpretasi yang dijadikan kunci interpretasi antara lain warna/rona,
tekstur, pola, bentuk, dan asosiasi. Secara visual tampilan citra ALOS AVNIR2 dengan resolusi spasial 10m cukup baik untuk membedakan antara vegetasi
lebat hingga jarang. Kenampakan citra ALOS ANVIR-2 dengan komposit 432
dapat dilihat pada Gambar 5.5 berikut.

Gambar 5.5 Kenampakan citra satelit ALOS AVNIR-2 komposit 432


Gambar tersebut di atas merupakan tampilan visual citra daerah kajian
dengan komposit 432. Dominan warna yang terlihat pada citra adalah warna

78

merah dan warna cyan, dimana objek vegetasi berwarna merah dan warna cyan
untuk objek tanah. Delineasi objek dilakukan secara Digitasi on Screen dengan
tanpa meninggalkan kunci interpretasi yang digunakan. Karena daerah kajian
pada penelitian ini berada pada kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh
Kementrian Kehutanan Republik Indonesia tahun 2007, maka asumsinya adalah
kawasan tersebut meskipun pada kenyataanya banyak terdapat blok-blok
nonvegetasi namun tetap dikatagorikan sebagai hutan. Sehingga dalam proses
interpretasi, tidak lagi membagi daerah penelitian menjadi hutan dan nonhutan
melainkan membagi menjadi blok-blok kecil yang menggambarkan perbedaan
tingkat kerapatannya.
Unsur interpretasi warna/rona menjadi aspek yang paling dominan
dalam melakukan interpretasi. Warna merah menunjukkan objek vegetasi,
semakin gelap ronanya mengindikasikan bahwa semakin rapat vegetasi.
Sebaliknya semakin cerah ronanya semakin jarang vegetasi. Delineasi objek
dilakukan dengan membedakan tingkat kecerahan rona yang terlihat.
Selanjutnya ada unsur interpretasi tekstur. Tekstur memudahkan dalam
membedakan objek vegetasi pada tingkat ketinggian yang berbeda. Perbedaan
ketinggian dapat menunjukkan perbedaan kerapatan vegetasi tegakan. Terakhir
adalah pola dan bentuk. Pada daerah kajian sebagian besar bentuk blok-blok
vegetasi tidak beraturan begitupun dengan polanya. Mengerombol pada
beberapa lokasi dan sangat jarang lokasi tertentu. Hal ini tidak lepas dari unsur
interpretasi yakni asosiasi. Vegetasi rapat sebagian besar berasosiasi dengan
sungai-sungai besar. Seperti terlihat pada sisi utara daerah kajian. Sungai Oyo
yang memotong sisi utara daerah kajian menjadi salah satu sumber kehidupan
bagi vegetasi disekitarnya. Tidak heran mengapa Kabupaten Gunungkidul yang
terkenal gersang justru menyiman potensi hutan yang luar biasa. Berikut ini
disajikan Tabel 4.4 mengenai beberapa contoh hasil delineasi objek hutan untuk
setiap kerapatan yang berbeda. Sementara peta satuan pemetaan kerapatan
kanopi daerah penelitin disajikan dalam Gambar 4.6 berikut.

79

Tabel 5.5 Pengenalan Objek Hasil interpretasi Visual untuk Satuan Pemetaan
Nama Objek
Kerapatan 1

Kenampakan pada cita ALOS


AVNIR-2

Ciri pengenalan
-

Warna/rona: merah cerah, merah


kehitaman
Bentuk tidak teratur
Tekstus halus-kasar
Asosiasi sungai

Kerapatan 3

Warna/rona: merah muda, keputihan


Bentuk tidak teratur
Tekstur halus

Kerapatan 4

Warna/rona:
merah
kehitaman, gelap
Bentuk tidak teratur
Tekstur kasar
Asosiasi sungai

pudar,

Warna/rona:
merah
kehitaman,
Bentuk tidak teratur
Tekstur kasar
Asosiasi sungai

gelap,

Kerapatan 2

Warna/rona: cyan, biru muda, merah


pudar
Bentuk tidak teratur
Tekstur halus

Kerapatan 5

Kerapatan 6

Warna/rona: merah pudar, cyan, biru


muda, biru, coklat muda
Bentuk tidak teratur
Tekstur kasar
Aosiasi lahan terbangun

80

81

5.3 Pemetaan Kerapatan Vegetasi dengan Interpretasi Hibrida


5.3.1 Analisis Statistik Nilai Rata-Rata Sampel Blok Vegetasi pada Citra
Hasil Transformasi Indeks Vegetasi
Nilai indeks yang dihasilkan dari beberapa transformasi belum bernilai
apa-apa sebelum dikaitkan dengan data lapangan. Salah satu cara untuk
menghubungan antara nilai indeks dengan data lapangan adalah dengan analisis
statistik. Analisis statistik yang digunakan untuk penyusunan formula
kepadatan bangunan yakni dengan menggunakan nilai rata-rata blok sampel
kerapatan vegetasi. Blok bangunan diperoleh dari hasil interpretasi citra
resolusi tinggi yang telah memiliki nilai kepadatan. Analisis nilai rata-rata blok
kerapatan vegetasi dilakukan pada citra hasil transformasi indeks vegetasi
antara lain RVI, NDVI, TVI, dan MSAVI.
Nilai

rata-rata

indeks

vegetasi

diperoleh

dengan

cara

menumpangsusunkan antara blok sampel vegetasi (dalam bentuk vektor)


dengan masing-masing indeks vegetasi (dalam bentuk raster). Karena yang
digunakan adalah rata-rata nilai piksel maka diambil beberapa piksel di bagian
tengah blok vegetasi dengan membat ROI (Region of Interest). Gambar 5.6
berikut ini adalah contoh pembuatan ROI pada salah satu trasnformasi indeks.

82

Gambar 5.6 Pembuatan ROI dari blok kerapatan vegetasi

Adapun Tabel 5.6 berikut menyajikan hasil tumpang susun antara blok
kerapatan vegetasi pada masing-masing indeks yang digunakan. Untuk melihat
hubungan antara parameter kerapatan dengan indeks vegetasi dilakukanlah
analisis statistik yakni korelasi dan regresi. Nilai kerapatan vegetasi tersebut
dikorelasikan dengan nilai rata-rata transformasi RVI, NDVI, TVI, dan
MSAVI. Hasil korelasi inilah yang menentukan indeks vegetasi apa yang paling
baik digunakan untuk pemetaan kerapatan vegetasi.

83

Tabel 5.6 Nilai rata-rata piksel blok kerapatan vegetasi pada Transformasi
Indeks Vegetasi (RVI, NDVI, TVI dan MSAVI)
Mean
Nilai
No.
No.sampel
kepadatan
RVI
NDVI
TVI
MSAVI
1
80,81910
12.102
2,27517
0,38918 0,94295
1,11802
2
74,1056
12.105
2,07144
0,34839 0,92103
1,03023
3
80,4567
12.103
2,33847
0,39694 0,94673
1,13080
4
64,4096
12.106
1,67066
0,24926 0,86531
0,79236
5
64,8675
12.104
1,58824
0,22488 0,85100
0,72711
6
46,0538
6.23
1,32608
0,13751 0,79786
0,47482
7
77,1232
11.101
2,03903
0,34016 0,91642
1,01032
8
48,0733
11.100
1,13347
0,06195 0,74947
0,23010
9
64,1958
5.11
1,56779
0,22041 0,84866
0,71760
10
44,1485
5.12
1,28781
0,12274 0,78852
0,42794
11
80,0193
10.85
1,82625
0,33872 0,79887
0,78052
12
85,5468
10.86
2,36414
0,40522 0,95140
1,15028
13
70,463
10.87
1,71856
0,25968 0,87087
0,81382
14
71,1551
7.39
1,94951
0,32111 0,90605
0,96806
15
7,0147
6.25
0,81685
0,08970 0,08861
0,09474
16
5,1025
7.37
0,79704 -0,11671 0,61691 -0,54690
17
12,059
6.28
1,10782
0,05025 0,74152
0,18703
18
69,4891
8.85
1,44817
0,17892 0,82303
0,59366
19
70,6839
8.86
1,65648
0,24679 0,86412
0,78762
20
74,3647
9.57
2,03265
0,31568 0,71799
0,85990
21
70,0296
9.60
1,62611
0,20110 0,77520
0,66340
22
83,8225
9.58
2,51687
0,30368 0,83858
0,67055
23
77,9614
9.59
1,91680
0,31404 0,90221
0,95221
24
25,8889
6.18
1,35962
0,15190 0,80730
0,52342
25
30,9053
9.62
1,37546
0,15755 0,81079
0,54029
26
61,0428
9.61
1,72368
0,26531 0,87477
0,83482
27
46,9903
10.74
1,29106
0,10464 0,70376
0,21906
28
67,4126
10.73
1,63750
0,22960 0,85206
0,72148
29
71,7665
9.71
1,88435
0,30552 0,89738
1,03102
30
79,5260
10.79
1,98852
0,33026 0,91113
1,08948
Sumber : Pengolahan statistik citra tiap indeks vegetasi

5.3.1.1 Analisis Korelasi RVI dengan Kerapatan


RVI adalah salah satu model transformasi yang paling sederhana.
Berdasarkan analisis korelasi yang dilakukan antara RVI dengan nilai
kepadatan diperoleh korelasi sebesar

84

0,782. Gambar 4.8

adalah grafik

hubungan antara kerapatan di lapangan dengan transformasi RVI. Sumbu x


mewakili nilai kerapatan di lapangan sedangkan y adalah hasil transformasi
RVI. Nilai koefisien determinasi tersebut mendekati 1, artinya antara RVI
dengan kerapatan memiliki hubungan positif. Semakin besar atau semakin
mendekati 1 maka semkin rapat nilai kerapatan vegetasinya. Grafik hubungan
antara RVI dengan kerapatan dapat dilihat pada gambar 5.7 berikut.

Gambar 5.7 Grafik hubungan antara RVI dengan kerapatan vegetasi


5.3.1.2 Analisis Korelasi NDVI dengan Kerapatan
Selanjutnya adalah NDVI. Indeks vegetasi ini paling umum digunakan
dalam berbagai penelitian yang berkaitan dengan vegetasi. Berdasarkan analisis
korelasi antara kedua parameter tersebut diperoleh korelasi sebesar 0,784. Nilai
koefisien korelasi tersebut paling tinggi jika dibandingkan dengan nilai
koefisien korelasi yang lain. Artinya variabel NDVI memiliki hubungan paling
kuat dengan nilai kerapatan vegetaasi. Nilai ini menunjukkan arah hubungan
positif, semakin tinggi indeks yang dihasilkan maka semakin tinggi pula
kerapatan vegetasinya. Gambar 5.8 menggambarkan hubungan antara NDVI
dan kerapatan. Sama halnya dengan transformasi indeks lain yang digunakan
dalam penelitian kali ini, ada beberapa point penting yang menjadi perhatian
terkait grafik hubungan dua variabel. Antara lain nilai kerapatan yang
tergambar pada sumbu x, nilai indeks pada sumbu y, sebaran sampel, dan garis
linear antara dua variabel terkait.

85

Gambar 5.8 Grafik hubungan antara NDVI dengan kerapatan vegetasi


5.3.1.3 Analisis Korelasi TVI dengan Kerapatan
TVI dikembangkan untuk menghilangkan nilai negatif pada NDVI. Dari
empat indeks vegetasi yang digunakan, TVI memiliki nilai korelasi paling
rendah dengan kerapatan vegetasi. Koefisien korelasi antara TVI dan kerapatan
adalah 0,489. Menurut Munir (2007) nilai tersebut memiliki tingkat hubungan
dengan kategori sedang. Pada Gambar 5.9

terlihat bahwa sebaran sampel

kerapatan untuk nilai TVI memiliki pola menyebar, sehingga garis linear yang
terbentuk kurang sempurna.

Gambar 5.9 Grafik hubungan antara TVI dengan kerapatan vegetasi

86

5.3.1.4 Analisis Korelasi MSAVI dengan Kerapatan


Indeks terakhir yang digunakan untuk analisis kerapatan vegetasi adalah
MSAVI. Dengan melihat pada gambar 5.10 dapat diketahui bahwa koefisien
korelasi yang dihasilkan dari dua variabel tersebut adalah 0,75. Indeks yang
bernilai negatif (-) pada MSAVI menunjukkan tingkat hubungan yang paling
jauh. Semakin jauh letak sampel kerapatan pada rentang indeks yang digunakan
terhadap garis linearnya, menunjukkan sebaran data yang semakin tidak merata.

Gambar 5.10 Grafik hubungan antara MSAVI dengan kerapatan vegetasi

Tabel 5.7 berikut merupakan tabel perbandingan koefisien korelasi yang


dihasilkan melalui analisis statistik nilai kerapatan dengan indeks vegetai yang
digunakan
Tabel 5.7 Korelasi nilai rata-rata tiap saluran dengan kerapatan
Transformasi
R2
No.
indeks
1
RVI
0,782
2
NDVI
0,784
3
TVI
0,489
4
MSAVI
0,750
Sumber: Analisis statistik citra
Nilai r pada tabel 4.7 adalah nilai korelasi dari masing-masing indeks
vegetasi yang digunakan. Koefisien korelasi terendah dihasilkan dari
transformasi TVI, meskipun sebenarnya transformasi TVI dirumuskan untuk
87

menghilangkan nilai negatif pada transformasi NDVI namun pada penelitian


kali ini justru koefisien korelasi dari kedua transformasi tersebut memiliki
selisih yang cukup jauh. Artinya, perubahan nilai indeks dari transformasi TVI
dan NDVI sangat berpengaruh pada perubahan statistiknya. Sedangkan untuk
transformasi RVI, NDVI, dan MSAVI selisih koefisien korelasinya tidak terlalu
jauh. RVI bekerja dengan baik pada topografi yang beragam seperti pada
daerah kajian, MSAVI menekan gangguan latar belakang tanah sedangkan
NDVI merupakan kombinasi yang paling baik untuk identifikasi keberadaan
vegetasi.

Tidak

heran

mengapa

ketiga

jenis

transformaasi

tersebut

menghasilkan koefisien korelasi yang tinggi. Dari tabel tersebut dapat diketahui
bahwa korelasi paling tinggi ternyata pada transformasi NDVI sebesar 0,784.
Artinya, kerapatan vegetasi memiliki hubungan positif dan paling kuat pada
trasnformasi NDVI ketimbang jenis transformasi indeks lainnya. Jadi, untuk
pemetaan kerapatan vegetasi metode hibrida, transformasi yang digunakan
adalah transformasi NDVI dengan rumus fungsinya adalah Y= 0,004x 0,045.
5.3.2 Formula Kerapatan Vegetasi untuk Interpretasi Hibrida
Indeks terpilih yang digunakan untuk penyusunan formula kerapatan
vegetasi adalah indeks yang memiliki koefisien korelasi tertinggi, dan indeks
tersebut adalah NDVI. Dari nilai NDVI inilah kemudian dibagi menjadi 5 kelas
kerapatan vegetasi yakni hutan sangat rapat, agak lebat/lebat, terbuka, jarang,
dan sedikit/tidak ada pohon. Tabel 5.8 merupakan formula kerapatan vegetasi
untuk interpretasi hibrida hasil tumpangsusun antara sampel kerapatan dengan
nilai rata-rata NDVI.
Nilai 0,276; 0,116 hingga -0,037 merupakan rentang nilai transformasi
NDVI yang dihasilkan dari persamaan regresi Y=0,004x 0,045, dengan x
adalah nilai kerapatan vegetasi 2%, 10%, 40%, dan 80%. Setiap perbedaan
kerapatan vegetasi menunjukkan perbedaan kelas kerapatannya.

88

Tabel 5.8 Formula kerapatan vegetasi


No

Kelas

NDVI0,276

Hutan sangat rapat

II

NDVI0,116 AND NDVI0,275

Hutan agak lebat/lebat

III

NDVI(-0,004) AND NDVI0,115

Terbuka

IV

NDVI(-0,038) AND NDVI(-0,004)

Jarang
Sedikit/tidak ada
pohon

Formula kerapatan vegetasi

V
NDVI(-0,037)
Sumber : Pengolahan citra, 2013

Kerapatan vegetasi

Kelas I mewakili hutan sangat rapat dengan nilai indeks lebih besar
sama dengan dari 0,276. Kelas II hutan agak rapat/lebat berada pada rentang
nilai 0,116 sampai 0,275. Kelas III, IV, dan V berdasarkan formula kerapatan
vegetasi mulai terdapat indeks yang bernilai negatif dengan kerapatan berturutturut yakni terbuka, jarang, dan sedikit/tidak ada pohon. Nilai negatif tersebut
sebagai akibat dari adanya objek non vegetasi yang berada di area hutan pada
wilayah kajian, seperti pemukiman, lahan kosong, maupun tubuh air.
5.3.3 Interpretasi Hibrida
Proses interpretasi hibrida dilakukan setelah setiap poligon satuan
pemetaan kerapatan vegetasi memiliki rata-rata nilai pada citra NDVI. Nilai
rata-rata tersebut akan digunakan untuk identifikasi tingkat kerapatan vegetasi
tiap poligon satuan pemetaan. Perolehan nilai rata-rata tiap satuan pemetaan
kerapatan vegetasi yakni dengan cara menumpangsusunkan poligon hasil
interpretasi visual dengan citra NDVI. Proses perhitungan nilai rata-rata
tersebut diperoleh dengan bantuan software pengolah data citra ENVI 4.5.
Setiap poligon yang telah ditumpangsusunkan dengan citra NDVI dilakukan
analisis statistik untuk memperoleh rata-rata nilai indeksnya. Setelah setiap
poligon memperoleh nilai rata-rata pada citra NVDI, maka formula kerapatan
vegetasi sudah bisa diterapkan.

89

Formula hibrida untuk kerapatan vegetasi yang telah diterapkan pada


masing-masing poligon satuan pemetaan otomatis menghasilkan poligonpoligon dengan kelas kerapatan vegetasi tertentu. Hasil dari perhitungan
tersebut dapat dilihat pada lampiran 1.
Kerapatan vegetasi hasil interpretasi hibrida dikelompokkan ke dalam 5
kelas, antara lain hutan sangat lebat, agak lebat, terbuka, jarang, dan sedikit atau
tidak ada sama sekali. Tabel 5.9 berikut merupakan hasil interpretasi hibrida
untuk kerapatan vegetasi disertai luasannya.
Tabel 5.9 Luas kerapatan vegetasi hasil interpretasi hibrida
Persentase

No.

Kelas kerapatan

1.

Hutan sangat rapat

> 80 %

1082,92

2.

Agak lebat/lebat

40 80 %

2541,76

3.

Terbuka

10 40 %

2062,32

4.

Hutan jarang

2 10 %

201,04

5.

Sedikit/tidak ada pohon

<2%

Kerapatan

Luas (ha)

Dari 5 kelas tersebut, ternyata pada kelas sedikit/tidak ada sama sekali
jumlah luasan hutan adalah 0, ini artinya pada daerah kajian jumlah minimal
tegakan hutan diatas 2%. Peta di bawah
hibrida.

90

ini adalah peta hasil interpretasi

91

5.4 Akurasi Interpretasi Hibrida


Uji akurasi interpretasi hibrida dilakukan dengan menumpangsusunkan
peta acuan hasil interpretasi visual resolusi tinggi dengan hasil peta dari
interpretasi hibrida. Peta hasil interpretasi visual citra resolusi tinggi dianggap
mewakili kondisi sebenarnya di lapangan sehingga peta ini dijadikan sebagai
sumber data referensi dalam uji akurasi interpretasi hibrida. Tehnik
tumpangsusun antara kedua peta ini dilakukan secara manual dengan sistem
grid, dan pembanding dilakukan grid demi grid. Ukuran grid yang digunakan
dalam uji akurasi ini 0,5 x 0,5 cm.
Hasil uji akurasi tersebut disajikan dalam tabel confusion matrix antar
grid pada tabel 5.10. Tabel 5.10 tersebut kelas kerapatan diwakilkan dengan
kelas 1, 2, 3, 4, dan 5. Kelas 1 dimulai dengan tingkat kerapatan paling tinggi,
dan seterusnya hingga kelas 5 tingkat kerapatan paling rendah. Kelas 1 (sangat
rapat/rapat), 2 (agak rapar/rapat), 3 (jarang), 4 (terbuka), dan 5 (sedikit/tidak
ada pohon).
Tabel 5.10 Uji akurasi interpretasi hibrida
1

407

39

13

460

88,48

ERROR
COMISSION
(%)
11,52

75

1424

48

1547

92,05

7,95

45

1146

1191

96,22

3,78

10

140

153

91,50

8,50

TOTAL
PRODUCER
ACC (%)
ERROR
COMISSION
(%)

482

1518

1210

141

3351

84,44

93,81

94,71

99,29
OVERALL
ACC (%)

93,02

KERAPATAN RESOLUSI TINGGI


HASIL INTERPRETASI HIBRIDA

KELAS

15,56

6,19

5,29

0,71

TOTAL

USER
ACC (%)

Perhitungan di atas memperlihatkan akurasi, baik akurasi pengguna


(user accuracy), akurasi penghasil (producer accuracy), maupun akurasi secara
keseluruhan (overall accuracy). Akurasi pengguna (user accuracy) pada kelas

92

kerapatan 1 sebesar 88,48 % yang berarti 88,48 % peluang grid yang


terklasifikasi secara tepat sebagai kelas 1 di lapangan. Sedangkan error
comission dari klasifikasi kelas 1 yakni 11,52 % yang artinya grid yang
terklasifikasi sebagai kelas 1 adalah bukan kelas 1 di lapangan. Nilai producer
accuracy pada kelas yang sama (kelas 1) adalah 84,44 %. Nilai ini berarti 84,44
% kelas 1 pada seluruh area riset diklasifikasikan secara benar sebagai kelas 1.
Sisanya merupakan error omission sebesar 15,56 % kelas 1 di lapangan yang
terklasifikasi bukan sebagai kelas tersebut.
Akurasi keseluruhan peta hasil interpretasi hibrida dihitung berdasarkan
jumlah grid yang terklasifikasi secara benar dibagi dengan jumlah seluruh grid
peta referensi. Hasilnya adalah 3117/3351 = 93,02 %. Adapun untuk penelitian
yang sama , seperti yang dilakukan oleh Gunawan tahun 2011 yang mengkaji
kerapatan kanopi hutan di Kabupaten Kulonprogo dengan interpretasi hibrida,
tingkat akurasi yang dihasilkan adalah 90,32 %. Selisih akurasi interpretasi
antara penelitian sebelumnya dengan penelitian ini menunjukkan bahwa hasil
interpretasi hibrida untuk objek yang sama pada daerah yang berbeda masih
lebih baik pada penelitian ini. Berdasarkan ketelitian yang dihasilkan oleh
interpretasi hibrida untuk pemetaan kerapatan tegakan vegetasi tersebut, nilai
akurasi 93,02 % termasuk ke dalam ketelitian tinggi menurut Campbell (2002)
dalam Suharyadi (2010). Artinya, interpretasi hibrida yang merupakan
kombinasi antara interpretasi visual dan digital untuk pemetaan kerapatan
vegetasi daerah kajian hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kajian lebih lanjut,
misalnya untuk analisis di bidang kehutanan.
Peta kerapatan vegetasi daerah kajian dengan metode interpretasi
hibrida di beberapa Kecamatan Kabupaten Gunungkidul setelah dilakukan cek
ketelitian interpretasi dapat dilihat pada Gambar 4.12 di bawah ini.

93

5.5 Karakteristik Kerapatan Vegetasi Daerah Kajian


Interpretasi hibrida kerapatan vegetasi hutan di Kabupaten Gunungkidul
dengan batasan wilayah BDH Playen, Paliyan, dan Panggang di Kecamatan
Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang, Kecamatan Paliyan, dan
Kecamatan Wonosari diklasifikasikan ke dalam lima kelas kerapatan yang
mengacu pada Howard (1991), antara lain hutan sangat rapat, agak rapat/rapat,
terbuka, jarang, dan sedikit/tidak ada pohon. Berdasarkan hasil interpretasi
tersebut dapat diketahui sebaran spasial serta pola kerapatan vegetasi hutan,
dimana sebagian besar daerah kajian ternyata di dominasi oleh hutan agak
lebat/lebat dengan tingkat kerapatan berkisar antara 40 80 %. Sedangkan
untuk kelas kerapatan sedikit/tidak ada pohon dengan persentase kerapatan < 2
% justru tidak ditemukan pada daerah kajian. Ini artinya, minimal persentase
kerapatan hutan adalah 2 %.
Informasi nilai kerapatan disajikan dengan gradasi warna hijau, mulai
dari hijau sangat tua hingga hijau sangat muda. Hijau sangat tua menunjukkan
tingkat kerapatan sangat tinggi, semakin muda warnanya semakin renggang
kerapatannya. Perbedaan kelas kerapatan dengan menggunakan gradasi warna
hijau ini dimaksudkan untuk mempermudah pengenalan kelas kerapatan serta
menggambarkan sebaran pola spasialnya.
Kelas kerapatan sangat rapat/rapat tersebar di sisi utara dan selatan
daerah kajian dengan total luas 1.082,92 hektar. Berdasarkan dari pola
kerapatan kelas tersebut dapat diketahui bahwa aliran sungai sangat
berpengaruh terhadap sebaran vegetasi terutama vegetasi kelas kerapatan tinggi.
Terlihat di sisi utara daerah Kajian, hutan dengan kerapatan vegetasi kelas satu
memiliki pola yang linier mengikuti pola aliran Sungai Oyo. Sebagimana kita
ketahui bahwa sisi utara didominasi oleh bentukan lahan sturuktural dimana
jenis tanah dan batuan sebagian berumur tua dengan material sedimen yang
mendominasi. Kondisi inilah yang menjadikan tanah pada wilayah tersebut
subur. Sementara jenis tamanan pada kelas kerapatan sangat rapat/rapat di

94

dominasi oleh tanaman Jati (Tectona grandis) dan Kayu Putih (Eucalyptus
globulus) yang sebagain besar berada di kawasan hutan Wanagama yang
terletak di sisi utara daerah kajian dengan fungsi sebaagai hutan produksi.
Hasil interpretasi hibrida untuk kelas kerapatan antara 40-80% pada
daerah kajian memiliki luasan paling besar diantara kelas kerapatan lainnya,
yakni sekitar 43,17 % dari keseluruhan luas daerah kajian. Tersebar di sisi utara
dan menggerombol di sisi selatan daerah kajian. Berdasarkan hasil lapangan
menyebutkan bahwa tutupan kanopi vegetasi pada tipe kerapatan agak
lebat/lebat ini adalah hutan campuran, jati (Tectona grandis), kayu putih
(Eucalyptus globulus), mahoni (Swietenia macrophylla), dengan diselingi
semak belukar dan sebagian besar merupakan jenis Tahura (Tanaman Hutan
Rakyat). Sementara untuk kelas kerapatan terbuka antara 10-40 % mendominasi
bagian tengah daerah penelitian dengan 2.062,32 hektar. Sebagian besar tutupan
vegetasi pada tipe kerapatan ini adalah tegalan, kebun campuran, dan semak
belukar. Terdapat beberapa blok pemukiman terutama pada daerah yang berelif
datar, hal inilah yang menyebabkan tingkat kerapatan vegetasi cenderung
rendah. Terakhir adalah kelas kerapatan antara 2-10 % yang tergolong dalam
kelas kerapatan jarang. Presentasi kelas kerapatan ini paling sedikit
dibandingkan dengan tipe kerapatan lainnya, hanya sebesar 3,41 % dari total
keseluruhan daerah kajian. Dengan kondisi kerapatan 2-10%, ini berarti
sebagian besar penutup lahannya berupa lahan tidak bervegetasi atau hanya
berupa rerumputan dengan diselingi beberapa pohon, sehingga tanah akan
memberikan pantulan sangat besar ketimbang vegetasi. Hal ini dapat dilihat
pada citra hasil transformasi NDVI, daerah dengan kerapatan vegetasi rendah
memiliki rona/warna sangat gelap.
Perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan berkurang atau
bertambahnya tutupan kanopi vegetasi pada daerah kajian berdasarkan hasil
analisis citra selain karena jenis tanah maupun aspek fisik lainnya, ada indikasi
disebabkan karena musim dan pola panen/penebangan jenis pohon tertentu,
misalnya jati atau kayu putih. Musim sangat berpengaruh terhadap banyak
95

tidaknya tutupan vegetasi, hal ini disebabkan karena daerah kajian sebagian
besar berupa vegetasi meranggas dimana kharakteristik vegetasi ini akan
menggugurkan daunnya ketika musim kemarau dan bersemi kembali ketika
musim hujan. Kesalahan dalam proses lapangan dapat berakibat fatal, idealnya
lapangan dilakukan pada bulan yang sama dengan perekaman citra atau
minimal pada bulan dengan musim yang sama untuk meminimalisasi
kesalahan.

96

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Interpretasi hibrida antara data berbasis visual dan digital citra satelit
ALOS AVNIR-2 dapat digunakan untuk pemetaan kerapatan kanopi
vegetasi dengan tingkat ketelitian tinggi, yakni 93,02%.
2. Dari beberapa indeks vegetasi yang digunakan antara lain RVI, NDVI,
TVI, dan MSAVI dalam proses interpretasi hibrida, ternyata yang
menunjukkan korelasi paling baik untuk kerapatan kanopi vegetasi
adalah transformasi NDVI dengan koefisien korelasi sebesar 0,784.
3. Kerapatan vegetasi pada daerah kajian didominasi oleh kerapatan agak
lebat/lebat (40-80%) dengan presentase kerapatan sebesar 43,12 % dan
luas 2541,76 ha. Jenis tanaman pada kelas tersebut antara lain , jati
(Tectona grandis), kayu putih (Eucalyptus globulus), mahoni (Swietenia
macrophylla) yang sebagain besar merupakan tipe hutan Tahura
(Tanaman Hutan Rakyat).
6.2 Saran
1. Tingkat akurasi interpretasi hibrida bisa jadi lebih baik lagi jika
memperhatikan waktu perekaman citra dengan waktu pengambilan
sampel di lapangan, semakin mendekati dengan bulan perekaman citra
yang sama akan semakin baik khususnya untuk kawasan hutan
semusim.
2. Indeks vegetasi yang memiliki korelasi hampir sama dengan korelasi
yang dihasilkan oleh NDVI dapat pula digunakan untuk penyusunan
formula kerapatan kanopi vegetasi.
3. Managemen pengelolaan hutan yang baik tentunya membutuhkan
informasi mengenai kualitas dan kuantitas hutan itu sendiri termasuk

97

kondisi kerapatannya, sehingaa penelitian ini dapat dijadikan sebagai


bahan pertimbangan oleh pemerintah agar semakin baik dalam
mengelola hutan.

98

Anda mungkin juga menyukai