xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Produk Data Standar ANVIR-2........................................ 15
Tabel 2.2 Kelebihan dan kekurangan metode interpretasi visual
dan digital...........................................................................25
Tabel 2.3 Perbandingan dengan penelitian sebelumnya dan
penelitian yang akan dilakukan......................................... 35
Tabel 3.1 Tingkat hubungan koefisien korelasi................................ 47
Tabel 3.2 Kelas kerapatan vegetasi................................................... 48
Tabel 3.3 Uji akurasi pemetaan habitat bentik...................................49
Tebel 5.1 Hasil identifikasi kerapatan vegetasi di lapangan.............. 63
Tabel 5.2 Titik GCP pada koeksi geometrik...................................... 70
Tabel 5.3 Nilai gain dan offset pada citra ALOS AVNIR-2.............. 73
Tabel 5.4 Citra hasil transformasi dan perbandingan nilai
spektralnya....................................................................... 76
Tabel 5.5 Pengenalan Objek Hasil interpretasi Visual
untuk Satuan Pemetaan..................................................... 80
Tabel 5.6 Nilai rata-rata piksel blok kerapatan vegetasi
pada Transformasi Indeks Vegetasi
(RVI, NDVI, TVI dan MSAVI) ....................................... 84
Tabel 5.7 Korelasi nilai rata-rata tiap saluran dengan nilai
kerapatan.......................................................................... 87
Tabel 5.8 Formula kerapatan vegetasi............................................... 89
Tabel 5.9 Luas kerapatan vegetasi hasil interpretasi hibrida............. 90
Tabel 5.10 Uji akurasi interpretasi hibrida....................................... 92
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Nilai rata-rata satuan pemetaan kerapatan kanopi
vegetasi pada citra NDVI............................................ 101
Lampiran 2. Header Citra Satelit ALOS AVNIR-2........................... 104
Lampiran 3. Peta Kerapatan Kanopi Vegetasi Interpretasi Citra resolusi
Tinggi........................................................................... 107
Lampiran 4. Citra RVI....................................................................... 108
Lampiran 5. Citra NDVI.................................................................... 109
Lampiran 6. Citra TVI....................................................................... 110
Lampiran 7. Citra MSAVI................................................................ 111
Lampiran 8. Peta Inversi Regresi......................................................112
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
dasarnya
adalah
mengelompokkan
karakteristik/fenomena
di
kekurangannya.
mengoptimalkan
Dalam
kelebihannya
rangka
maka
mereduksi
kekurangan
dikembangkanlah
satu
dan
teknik
data,
akurasi
posisi,
akurasi
atribut,
kelengkapan,
Resolusi
spektral
adalah
kemapuan
sensor
dalam
manajemen hutan yang baik agar tetap menjadi hutan yang lestari. Ada
banyak parameter yang dapat diangkat guna optimalisasi potensi hutan, dan
salah satunya adalah kerapatan tegakan. Sebagaimana disebutkan oleh Davis
dan Johson (1986) dalam Sahid (2005) bahwa dua macam kegunaan
pengukuran tegakan hutan yaitu pertama untuk menunjukkan tegakan dalam
model yang digunakan untuk menaksir jumlah pertumbuhan dan hasil di
masa yang akan datang, dan kedua untuk memutuskan prestasi tegakan jika
dibandingkan dengan kriteria-kriteria tujuan pengelolaan. Hutan dalam
penelitian kali ini merujuk pada hutan jenis tegakan. Menurut UndangUndang Kehutanan No. 41 tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan tegakan menurut Howard
(1991) adalah suatu agregasi pohon yang cukup seragam komposisinya yang
dapat dibedakan dari tanaman di dekatnya. Berdasarkan dari rumusan
tegakan yang dikemukakan oleh Howard (1991) tersebut, maka proses
pemetaan vegetasi dapat diidentifikasi memalui perbedaan tekstur tegakan
pada citra penginderaan jauh.
tingkat
kerapatan
kanopinya.
Tingkat
kerapatan
konopi
maka
muncul
pertanyaan
penelitian
yang
melatarbelakangi
hibrida
untuk
mengoptimalkan
kelebihan
dan
BAB II
TELAAH PUSTAKA
11
12
dan kandungan air. Serapan yang tinggi pada saluran merah dan biru inilah
yang membuat mata manusia menagkap warna hijau pada daun sehat karena
saluran hujau memiliki daya serap rendah. Lain halnya dengan daun yang
layu atau tidak sehat. Kandungan klorofil yang sedikit, otomatis
mengakibatkan serapan tenaga pun berkurang sehingga dengan sendirinya
pantulan saluran merah justru akan bertambah. Kondisi inilah yang
mengakibatkan daun yang tidak sehat berwarna pucat kekuningan. Untuk
saluran inframerah dekat kurva pantulan akan sangat tinggi untuk daun
sehat. Hal ini sebagai akibat dari berkurangnya serapan energy dan
bertambahnya pantulan yang justru didominasi oleh kandungan air. Karena
daun hijau memiliki kandungan air yang tinggi maka pantulan pada saluran
inframerah dekat inipun sangat dominan, bahkan lebih tinggi dari saluran
hijau. Dengan demikian daun sehat memiliki pantulan tinggi pada saluran
hijau dan sangat tinggi pada saluran inframerah dekat.
Sebagaimana disebutkan bahwa tiga objek yang dapat secara langsung
dikenali melalui penginderaan jauh adalah vegetasi, tanah, dan air. Ketiga
objek ini memberikan variasi kurva pantulan yang berbeda namun samasama kuat pada kisaran panjang gelombang 0,7m 1,3m. Seiring dengan
perkembangan ilmu penginderaan jauh, maka saat ini telah dikembangan
berbagai teknik untuk mempermudah pengenalan objek di permukaan bumi
termasuk vegetasi. Terdapat beberapa macam cara untuk menonjolkan aspek
vegatasi yakni dengan transformasi digital, diantaranya penisbahan saluran,
pengurangan saluran, dan indeks vegetasi. Transformasi ini dapat
dikelompokkan
menjadi
dua,
yaitu
(a)
transformasi
yang
dapat
13
14
Defenisi
Susunan data digital yang belum dipadatkan yang dilengkapi dengan
koefisienkalibrasi radiometrik dan koefisien koreksi geometrik. Data
dengan pengambilan miring-maju, tegak dan miring-mundur
IA
IB1
1B2
15
di sebagian
16
17
2. Bentuk
Merupakan variabel kualitatif yang memberikan kerangka suatu objek.
Dalam konteks ini bentuk dapat berupa bentuk yang tampak dari luar
(umum). Misalnya dalam hal ini bentuk sungai akan berbeda dengan bentuk
jalan. Bentuk gunung akan berbeda dengan bentuk lembah, dan sebagainya.
3. Ukuran
Merupakan atribut objek yang berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume.
Ukuran objek di permukaan bumi berbeda-beda dan hal ini dapat diamati
melalui citra penginderaan jauh. Ukuran juga berkaitan dengan skala,
semakin detil skala semakin besar dan jelas objek yang diamati. Ukuran
gedung bertingkat otomatis akan berbeda dengan pabrik. Ukuran vegetasi
tegakan akan berbeda denfan vegetasi berupa semak belukar.
4. Tekstur
Biasa dinyatakan dalam wujud kasar, halus, ataupun bercak-bercak. Tekstur
ini merupakan gabungan dari bentuk, ukuran, pola, bayangan, dan rona.
Tekstur dari sawah berbeda dengan tekstur dari tegalan pada citra
penginderaan jauh.
5. Pola
Merupakan ciri yang menandai bagi banyak objek buatan manusia dan
beberapa objek alamiah yang membentuk susunan keruangan. Mengerucut
pada suatu susunan, misalnya pola teratur pada pemukiman mewah dan pola
tidak teratur pada pemukiman liar.
6. Bayangan
Objek atau gejala yang terletak di daerah bayangan umumnya tidak tampak
sama sekali ayau tampak samar-samar. Namun demikian, bayangan
merupakan faktor penting untuk mengamati objek-objek yang tersembunyi.
Biasanya unsur interpretasi bayangan digunakan untuk mengamati objek
yang tinggi. Vegetasi yang tinggi cenderung akan membentuk bayangan
ketimbang vegetasi yang lebih rendah.
18
7. Situs
Merupakan hasil pengamatan dari hubungan antar objekdi lingkungan
sekitarnya atau letak suatu objek terhadap objek lain. Penting dalam
identifikasi objek vegetasi, karena jenis vegetasi tertentu berada pada lokasi
tertentu.
8. Asosiasi
Keterkaitan antara objek satu dengan yang lain, berdasarkan asosiasi ini
apabila telah dikenali suatu objek tertentu maka dapat dijadikan petunjuk
bagi pengenalan objek yang lain. Sebagai contoh sawah irigasi pasti
berasosiasi dengan sungai atau dekat dengan sumber mata air karena
digunakan sebagai pengairan sawah tersebut.
Namun demikian tidak serta merta ke sembilan unsur interpretasi
tersebut digunakan secara serentak dalam identifikasi objek di permukaan
bumi. Ada unsur-unsur interpretasi yang kadang tidak perlu digunakan
ketika sudah teridentifikasi. Semakin banyak unsur interpretasi yang
dikenali maka semakin mengerucut pada satu informasi objek tertentu.
Selain ke sembilan unsur interpretasi tersebut di atas, sebenarnya tingkat
keberhasilan interpretasi bersifat subjektif, artinya tergantung pada si
penafsir. Menurut Lillesand et al (2007) keberhasilan interpretasi tergantung
pada pengetahuan dan pengalaman penafsir, sifat objek yang dikaji, dan
kulitas citra yang digunakan.
19
awan dan gangguan kabut, (b) korelasi antar saluran, (c) kesalahan
geometri, dan (d) kesalahan radiometri.
Proses perbaikan kualitas citra agar menghasilkan citra yang siap
pakai untuk aplikasi tertentu disebut restorasi citra yang dalam
penerapannya proses ini sering disebut dengan tahap pre-prosesing citra
karena dilakukan sebelum melakukan pengolahan citra lebih lanjut. Pada
penelirtian kali ini dilakukan dua tahap pre-prosesing citra antara lain
koreksi radiometri dan geometri citra.
2.5.2.1
Koreksi Geometri
Koreksi geometri adalah perbaikan kemencengan, rotasi, dan
20
ataupun persimpangan jalan, dan beberapa obyek lain yang tampak dengan
jelas pada citra maupun pada peta rujukan.
Sebaran titik GCP yang digunakan dalam koreksi geometri bersifat
subjektif, dapat berbeda-beda setiap orang. Namun pada dasarnya nilai GCP
ini tetap terkontrol dengan adanya RMSE (Root Mean Square Error).
RMSE digunakan untuk mengukur distorsi. Menurut Jansen (2005) RMSE
yang diperbolehkan adalah <0,5. Semakin kecil RMSE semakin tinggi
tingkat kedetilan peta.
2.5.2.2
Koreksi Radiometri
Koreksi radiometri ditujukan untuk memperbaiki nilai piksel agar
21
objek. Nilai tersebut dinyatakan dalam gain dan offset. Berikut hubungan
antara nilai piksel, gain, dan offset.
L = Offset + Gain *(BV).......................................... (1)
Dimana Gain = L(maks) - L(min) / BV(maks).................... (2)
2.5.3 Pengolahan Citra Digital
Data penginderaan jauh yang disebut citra, tidak begitu saja dapat
digunakan tanpa adanya proses pengolahan terlebih dahulu. Untuk
menurunkan
informasi
dari
citra
penginderaan
jauh
agar
dapat
22
Different Vegetation
vegetasi.
Donoedoro
(1996)
menuliskan
beberapa
bentuk
(3)
2.6
Interpretasi Hibrida
Klasifikasi objek di permukaan bumi selain dengan interpretasi
visual dan digital, dapat pula dilakukan dengan menggabungkan dua metode
tersebut sekaligus yang dinamakan dengan interpretasi hibrida. Metode
interpretasi hibrida yang dilakukan oleh Lo and Choi (2004) adalah dengan
menggabungakan klasifikasi terselia dan tak terselia. Menurutnya, metode
tersebut dapat meningkatkan hasil akurasi. Berbeda dengan Lo dan Choi,
Suharyadi (2010) melakukan penelitian menggunakan interpretasi hibrida
untuk densifikasi bangunan di kota Yogyakarta dengan mengkombinasikan
antara interpretasi visual dan interpretasi digital. Hasilnya ternyata
memberikan tingkat ketelitian hingga 84,31 %.
Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharyadi (2010),
penelitian
yang
dilakukan
di
Kabupaten
Gunungkidul
ini
menggabungkan
kedua
metode
interpretasi
tersebut
dapat
meningkatkan tingkat akurasi hasil baik dilihat dari sisi kualitas maupun
kuantitas citra tersebut. Berikut ini perbandingan antara metode interpretasi
visual dan digital (tabel 2.2).
24
Tabel 2.2 Kelebihan dan kekurangan metode interpretasi visual dan digital
Metode
Interpretasi
interpretasi
visual
Kelebihan
Kekurangan
1. konsistensi rendah,
jangankan orang yang
berbeda, satu orang
yang sama ketika
melakukan
interpretasi dua kali
pada citra yang sama
hasilnya bisa berbeda.
2. Kurang efisien jika
dihadapakan pada
wilayah yang luas.
3. Kualitatif dan
subyektif, sangat
tergantung
kemampuan dan
pengalaman
interpreter.
1. Kurang optimal
karena hanya
mempertimbangkan
rona dan warna,
sehingga apabila ada
objek yang berbeda
tetapi mempunyai
rona atau warna akan
terklasifikasikan
menjadi satu kelas.
2. Hasil klasifikasi
umumnya sulit
digunakan untuk
analisis lebih lanjut
seperti pemodelan
spasial, hal ini
dikarenakan jumlah
poligon yang terlalu
banyak.
3. Memerlukan kondisi
citra yang benarbenar bebas dari
gangguan kabut,
awan, dsb.
interpretasi
digital
25
2.7
Akurasi Interpretasi
Berbicara akurasi berarti berbicara tentang kualitas data spasial.
Seberapa layak data spasial yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai bahan
masukan dalam analisis keruangan. Akurasi menjadi sangat penting karena
menggambarkan tingkat kebenaran dari peta yang dihasilkan selain aspek
kualitas data spasial lainnya, yakni presisi, metadata, skala dan standar.
Aspek kulaitas data spasial baik akurasi, persisi, metadata, skala dan
standar menjadi sangat penting dalam analisis data penginderaan jauh.
Namun pada penelitian kali ini kualitas data spasial yang menjadi sorotan
adalah tentang akurasi semantik, yakni akurasi pada isi informasi tematik
yang dihasilkan pada peta.
Akurasi semantik dari peta yang dihasilkan dapat diterima oleh
pengguna jika mencaai ambang batas nilai akurasi keseluruhan, yakni 85%.
26
Hal ini senada dengan pernyataan Campbell (2002) dalam Suharyadi (2010),
bahwa standar minimum bagi penutup/penggunaan lahan berbasis
penginderaan jauh mempunyai ambang batas nilai akurasi keseluruhan
sebesar 85%. Harapannya dalam penelitian kali ini, tingkat akurasi yang
dihasilkan bisa lebih baik dari standar tersebut mengingat metode
interpretasi yang digunakanpun merupakan kombinasi dari metode
interpretasi visual dan digital.
2.8
Kajian Vegetasi
Vegetasi erat kaitannya dengan lingkungan. Hal ini tidak terlepas
27
2.9
Penelitian Sebelumnya
Y. Hirose dkk melakukan penelitian yang berkaitan dengan
Atlanta
Negara
Bagian
Georgia
Amerika
Serikat
yang
dilakukan
mengkombinasikan
antara
oleh
Suharyadi
kelebihan-kelebihan
ini
yang
adalah
dengan
dimiliki
oleh
28
29
2.10
Kerangka Pemikiran
Citra satelit penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan oleh
30
31
tersebut
dirancang untuk
nilai
kecerahan
indeks
vegetasi,
sedangkan
untuk
32
Managemen Pengelolaan
Hutan yang Buruk
Perkembangan Ilmu dan
Teknologi Penginderaan Jauh
Interpretasi Citra
Interpretasi Digital
NDVI
RVI
Interpretasi Manual
TVI
MSAVI
Interpretasi Hibrida
Analisis Korelasi
34
Tabel 2.3 Perbandingan dengan penelitian sebelumnya dan penelitian yang akan dilakukan
No.
1.
Nama Peneliti
Lo dan Choi,
2004
Judul Penelitian
Pemanfaatan Citra
Satelit Landsat
ETM+ untuk
Pemetaan Penutup
Lahan/Penggunaan
Lahan
Interpretasi Hibrida
Citra Satelit Resolusi
Spasial Menegah
untuk Kajian
Densifikasi
Bangunan Daerah
Perkotaan di Daerah
Perkotaan
Yogyakarta
Lokasi Penelitian
Kota Metropolitan
Atlanta, Negara
Bagian Georgia,
Amerika Serikat
Sumber Data
Citra Satelit
Lansat ETM+
Data Lapangan
Tujuan
Memetakan
penutup/penggunaan lahan
dengan menggunakan
pendekatan hybrid
Metode
Metode hibrida
dengan
pendekatan
supervised dan
unsupervised
Hasil
Peta penutup lahan
dan penggunaan
lahan
2.
Suharyadi, 2010
Kota Yogyakarta
Citra Landsat
TM tahun 1994,
1996, 1998,
citra Landsat
ETM+ tahun
2001, 2003, dan
citra Aster
tahun 2006
Pendekatan
hibrida yakni,
menggunakan
kombinasi
interpretasi visual
untuk deliniasi
bloks bangunan,
dan analisis digital
untuk identifikasi
kepadatan
bangunan
Serial peta
kepadatan
bangunan
menggunakan
pendekatan hibrida
sesuai dengan tahun
perekaman
Endra Gunawan,
2010
Penggunaan Metode
Hybrid untuk
Identifikasi dan
Klasifikasi Kerapatan
Kanopi di Kabupaten
Kulonprogo
Sebagian Kabupaten
Kulonprogo
Yogyakarta
Citra Satelit
ASTER tahun
perekaman
2006
Peta RBI
Data Lapangan
1.Transformasi
indeks vegetasi
2. Analisis
korelasi
1. Peta kerapatan
kanopi di sebagian
daerah Kulonprogo
2. Tabel hubungan
antara nilai spektral
dengan kerapatan
kanopi
A. Rahman
AsSyukur dan
Analisis Indeks
Vegetasi
Denpasar Bali
Citra ALOS
AVNIR-2 tahun
1. Mengembangkan teknik
interpretasi hibrida untuk
menyadap informasi
kepadatan bangunan dari
citra satelit resolusi spasial
menengah di daerah
perkotaan Yogyakarta.
2. Pemetaan kepadatan
bangunan daerah perkotaan
Yogyakarta secara temporal
3. Mengkaji karakteristik
densifikasi bangunan di
daerah perkotaan Yogyakarta
1. Menggabungakan
kelebihan-kelebiahn yang
ada pada metode interpretasi
manual dan digital
2. Mengetahui hubungan
antara jumlah nilai piksel
murni dari vegetasi dengan
tingkat kerapatan kanopi
daun
3. Menyusun suatu rumusan
statistik berdasarkan nilai
piksel untuk memudahkan
identifikasi dan klasifikasi
tingkat kerapatan kanopi
daun
Evaluasi tata ruang kota
Denpasar berdasarkan peta
3.
4.
Transformasi
NDVI, SAVI, dan
Hubungan indeks
vegetasi dengan
35
Menggunakan Citra
ALOS AVNIR-2 dan
Sistem Informasi
Geografis untuk
Evaluasi Tata Ruang
Kota Denpasar
perekaman
2006
Peta tata ruang
kota Denpasar
persebaran vegetasi
MSAVI serta
overlay
5.
Perbandingan Forest
Canopy Density
Model dengan
Beberapa Indeks
Vegetasi Sebagai
Masukan dalam
Penentuan Lahan
Kritis di Kabupaten
Malang Selatan
6.
Y.Hirose,
M.Mori, Y. A.
Kamatsu, dan
Y.Li
7.
Monica Mayda
Pratiwi, 2012
Kabupaten Malang
Selatan
Citra Landsat
ETM+ tahun
2001
Peta RBI
Peta Tematik
klas erosi
Vegetation Cover
Mapping Using
Hybrid Analysis of
IKONOS Data
Sebagian daerah
Altran Sungai
Niyodo Jepang
Citra IKONOS
Pengembangan metode
pemetaan vegetasi untuk
menghasilkan metode survey
yang hemat biaya dan waktu
Kajian Akurasi
Interpretasi Hibrida
Menggunakan Empat
Indeks Vegetasi
untuk Pemetaan
Kerapatan Kanopi di
Kawasan Hutan
Kabupaten
Gunungkidul
Sebagian Kabupaten
Gunungkidul,
Yogyakarta
-Citra ALOS
AVNIR-2 tahun
2009
-Citra resolusi
tinggi (Google
earth)
-Peta RBI
1. Mengetahui tingkat
akurasi interpretasi hibrida
yang ditunjukkan oleh citra
satelit ALOS AVNIR-2
menggunakan beberapa
transformasi indeks vegetasi
untuk identifikasi kerapatan
vegetasi
2. Mengetahui transformasi
36
tutupan vegetasi
untuk NDVI, SAVI,
dan MSAVI
Peta sebaran
vegetasi
berdasarkan atas
tutupannya di kota
Denpasar
Peta liputan lahan
kritis di Kabupaten
Malang Selatan
37
hibrida citra
satelit ALOS
ANVIR-2
3. Peta kerapatan
vegetasi hasil
interpretasi
hibrida dengan
akurasi terbaik
skala 1:50.000
38
39
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada di dalam
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Metode yang digunakan
dalam penelitian kali ini meliputi interpretasi citra penginderaan jauh secara
manual dan digital, kerja lapangan untuk mengecek hasil akurasi interpretasi,
dan interpretasi hibrida. Berikut adalah penjabaran masing-masing metode
tersebut.
3.1 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian kali ini meliputi :
3.1.1 Bahan Penelitian
1. Citra Sateliti ALOS AVNIR-2 Kabupaten Gunungkidul, 4 saluran
spektral (biru, hijau, merah, inframerah dekat) dengan resolusi
spasial 10 m dan tanggal perekaman 20 Juli 2009.
2. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) yang mencakup Kecamatan
Playen, Kecamatan Patuk, Kecamatan Panggang, Kecamatan
Paliyan, dan Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunungkidul skala
1:25.000 tahun 1998.
3. Citra resolusi tinggi untuk interpretasi visual kerapatan vegetasi.
3.1.2 Alat Penelitian
1. Seperangkat komputer yang kompatibel dengan perangkat lunak
yang digunakan.
2. Perangkat lunak yang mendukung penelitian (ENVI 4.5, Arc GIS
9.3).
3. Printer Hp Disket D2466 (untuk mencetak naskah dan peta).
4. GPS (Global Positioning Sistem).
5. Meteran.
6. Kamera digital.
40
melalui
Kementrian
Kehutanan
Republik
Indonesia
telah
41
Perolehan Data
Data diperoleh dari interprteasi visual dan digital serta hasil cek lapangan
untuk melihat tingkat ketelitian dari interpretasi.
3.4 Pengolahan Data
Data penginderaan jauh untuk dapat dimanfaatkan oleh banyak kalangan
harus diolah terlebih dahulu. Ada beberapa tahap pengolahan citra yang
dilakukan pada penelitian kali ini antara lain koreksi citra (geometri dan
radiometri), transformasi citra (NDVI, RVI, TVI, MSAVI), interpretasi visual
citra resolusi tinggi dan tahap interpretasi hibrida. Berikut penejelasannya.
3.4.1 Koreksi Citra
3.4.1.1 Koreksi Geometri Citra Satelit Resolusi Tinggi
Koreksi citra pada citra resolusi tinggi ini diperlukan untuk
mendapatkan posisi sesuai dengan keadaan sesungguhnya di lapangan. Citra
perlu dikoreksi karena akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dan
pengambilan sampel pada tahapan interpretasi hibrida. Metode yang dilakukan
dalam koreksi geometri citra ini yakni dengan rektifikasi citra ke peta RBI yang
sudah terkoreksi geometri.
3.4.1.2 Koreksi Geometri Citra Satelit ALOS AVNIR-2
Selain koreksi geometri yang dilakukan pada citrasatelit resolusi tinggi
yang diperoleh dengan bantuan Google Earth, koreksi geometri juga dilakukan
pada citra ALOS AVNIR-2. Koreksi ini penting dilakukan karena citra ALOS
AVNIR-2 merupakan data utama yang digunakan dalam proses interpretasi
42
43
bergunung.
Transformasi
RVI
mampu
meminimalisasi
44
45
46
Tingkat hubungan
0,00 1,999
Sangat rendah
0,20 0,399
Rendah
0,40 0,599
Sedang
0,60 0,799
Kuat
0,80 1,000
Sangat kuat
47
48
> 80 %
Agak lebat/lebat
40 80 %
Terbuka
10 40 %
Hutan jarang
2 10 %
<2%
49
adalah peta hasil interpretasi hibrida. Metode uji akurasi ini dilakukan dengan
menumangsusunkan setiap poligon referensi dengan poligon hasil interpretasi.
Tabel 3.3 dibawah ini adalah contoh perhitungan uji akurasi dengan confusion
matrix.
Tabel 3.3 Uji akurasi pemetaan habitat bentik
kelas
pasir
terumbu
karang
makro alga
Lamun
Laut
Total
producer
accuracy (%)
error
omission (%)
terumbu
karang
pasir
makro
alga
lamun
laut
total
14
16
1
5
0
0
20
36
5
2
3
48
3
3
0
0
6
4
1
14
0
19
0
0
0
5
5
44
14
16
8
98
70
75
50 73, 68
30
25
50
26,32
user
accuracy
(%)
87,5
error
comission
(%)
12,5
81,82
21,42
87,5
62,5
18,18
78,58
12,5
37,5
............................ (14)
.................... (15)
........................... (16)
Keterangan:
Jb
: jumlah piksel yang terklasifikasi secara benar
Js
Jssb
: jumlah sampel uji akurasi suatu kelas yang terklasifikasi secara benar
Jss
Jskt
50
73,46
0,6222
Koreksi Citra
Koreksi Geometrik
Koreksi
Geometrik
Koreksi Radiometrik
(level 1B)
Citra Terkoreksi
Citra ALOS AVNIR-2 Terkoreksi
Interpretasi Visual
Interpretasi Visual
NDVI
RVI
TVI
MSAVI
Analisis Korelasi
Kerapatan Kanopi
Vegetasi Hasil
Interpretasi Citra
Resolusi Tinggi
Satuan Pemetaan
Kerapatan Vegetasi
Saluran dengan
Korelasi Terbaik
Kunci
Interpretasi
Hibrida
Reklasifikasi
51
Gambar 2.1 Diagram Alir Metode Penelitian
BAB IV
DESKRIPSI WILAYAH
Sebelah Utara
Tengah)
Sebelah Timur
Sebelah Selatan
: Samudera Hindia
52
53
Wonolagi,
Gubugrubuh,
Menggaran,
Kedungwalu,
Kepek,
54
pada dasarnya tetap mempunyai blok yang berfungsi sebagai blok pemanfaatan
terbatas yang juga berfungsi sebagai zona penyangga. Seperti yang tersebut
dalam aturan penetapan wilayah/blok kesatuan pengelolaan hutan Yogyakarta,
salah satu permasalahan yang dihadapi pengelolaan hutan saat ini adalah
semakin meningkatnya dinamika permasalahan sosial ekonomi. Pertumbuhan
penduduk yang tidak diimbangi dengan tersedianya kebutuhan pangan,
sandang, dan lapangan pekerjaan berdampak meningkatnya jumlah keluarga
miskin dan lonjakan jumlah pengangguran. Apabila kondisi ini terjadi di desadesa sekitar hutan, akan berdampak pada peningkatan interaksi penduduk
dengan sumber daya hutan baik bersifat konstruktif maupun destruktif.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan di
Yogyakarta tahun 2009, jumlah desa hutan dan/atau desa sekitar hutan paling
banyak terdapat di Kabupaten Gunungkidul yakni 13 Kecamatan. Dengan
adanya blok pemanfaatan zona terbatas untuk hutan produksi yang berlokasi di
sekitar desa hutan diharapkan mampu menjadi pelindung bagi hutan itu sendiri
sehingga kelestariannya tetap terjaga.
55
1.
Rona piksel salah satu transformaasi indeks vegetasi pada halaman lampiran
pun sebagian besar menunjukkan rona gelap karena didominasi oleh lahan
terbangun.
3.
berupa batu kapur. Banyak terdapat bentukan lahan kars, berupa kerucut
kars, dome,danau-danau kars hingga sungai bawah tanah. Vegetasi pada
kawasan ini terdiri atas tumbuhan yang tumbuh secara alami dan tumbuhan
yang dibudidayakan untuk kepentingan ekonomi. Tanahnya terdiri atas
endapan batu gamping, berwarna merak kecoklatan hingga coklat kemerahan
yang disebut dengan terra rosa. Tipisnya lapisan tanah (20 100 m) dengan
sifat lempung hingga pasiran, sedikit aliran air permukaan serta
melimpahnya kandungan kalsium menyebabkan hanya tanaman lahan kering
yang mampu bertahan. Kondisi inilah yang menyebabkan wilayah zona
selatan didominasi oleh tanaman jati. Namun penelitian kali ini tidak
mengambil zona selatan sebagai wilayah kajian. Batas daerah kajian yang
digunakan mengacu pada Batas Daerah Hutan (BDH) yang dikeluarkan oleh
Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun
2007.
Kaitannya dengan iklim, Kabupaten Gunungkidul termasuk daerah yang
beriklim tropis. Curah hujan rata-rata 1.954,43 mm/tahun dengan jumlah hujan
rerata harian 103 hari/tahun. Bulan basah 7 bulan dan bulan kering 5 bulan.
Wilayah Gunungkidul bagian Utara memiliki curah hujan paling tinggi jika
dibandingkan dengan wilayah tengah dan selatan. Hal inilah yang menjadi salah
satu faktor mengapa hutan cukup berkembang di wilayah utara. Suhu udara
rata-rata harian 27,7 C, suhu minimal 23,2 C, dan suhu masksimum 32,4 C.
Kelembapan nisbi berkisar antara 80% - 85%, tidak terlalu dipengruhi oleh
tinggi tempat melainkan oleh musim. Gambar 3.1 berikut merupakan peta
lokasi penelitian untuk interpretasi hibrida.
57
58
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Pemrosesan Citra Digital Resolusi Tinggi
5.1.1 Koreksi Geometri Citra Resolusi Tinggi
Citra satelit resolusi tinggi yang digunakan dalam penelitian kali ini
diperoleh dengan memanfaatkan data dari Google Earth, untuk itu informasi
yang didapat hanya terbatas pada informasi visualnya. Dengan menggunakan
zoom level 17, kenampakan visual citra yang bersumber dari data Google Earth
setara dengan kenampakan visual yang ada pada citra satelit Quickbird
sehingga untuk identifkasi kerapatan vegetasi dapat dilakukan dengan baik.
Koreksi geometri citra mengacu pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI)
skala 1:25.000. Perbedaan resolusi spasial antara keduanya menjadi hambatan
dalam koreksi ini. Namun karena output akhirnya nanti mengacu pada satu
sumber yang sama yakni peta RBI maka untuk koreksi geometri citra resolusi
tinggi ini tetap mengacu pada peta RBI.
Metode yang dilakukan dalam koreksi geometri citra resolusi dari data
citra satelit Google Earth adalah penyamaan koordinat, yakni dengan rektifikasi
citra ke peta. Peta yang digunakan sebagai base map adalah RBI, asumsinya
peta ini sudah memiliki koordinat maupun sistem proyeksi yang benar sehingga
dapat digunakan sebagai acuan untuk koreksi geometri citra. Dalam koreksi
geometri ini, citra hanya dipandang sebagai image sehingga sama sekali tidak
mempertimbangkan posisi piksel, hasilnya pun berupa data yang berbasis
vektor sehingga dalam mentransformasikan titik-titik koordinat peta ke citra
bisa dilakukan tanpa mengalami kesulitan. Yang dibutuhkan dalam koreksi
geometri ini adalah tingkat ketelitian yang tinggi, bagaimana memposisikan
objek di citra agar sama dengan koordinat peta acuan.
59
Antara
kunci
interpretasi
satu
dengan
yang
saling
saling
60
61
62
Sampel
12.102
Kerapatan
(%)
Foto lapangan
Koordinat
81
X = 438759,2339
Y = 9118303,624
12.105
74
X = 438846,5466
Y = 9118246,077
12.103
80
X = 438884,9112
Y = 9118237,478
12.106
64
X = 438939,8124
Y = 9118330,744
12.104
65
X = 438986,776
Y = 9118222,265
6.23
46
X = 441365,8222
Y = 9117952,895
11.101
77
X = 442253,8772
Y = 9117172,177
63
11.100
48
X = 442931,2119
Y = 9117375,377
5.11
64
X = 444768
Y = 9118060
10
5.12
44
X = 445590
Y = 9117943
11
10.85
80
X = 443338
Y = 9118399
12
10.86
86
X = 443618
Y = 9118431
13
10.87
70
X = 443598
Y = 9118763
14
7.39
71
X = 444019
Y = 9119752
64
15
6.25
X = 445181
Y = 9120166
16
7.37
10
X = 445069
Y = 9120487
17
6.28
12
X = 444588
Y = 9121289
18
8.85
69
X = 443106
Y = 9120951
19
8.86
71
X = 443236
Y = 9120986
65
20
9.57
74
X = 443103
Y = 9121231
21
9.60
70
X = 444187
Y = 9122024
22
9.58
84
X = 444243,7567
Y = 9122149,73
23
9.59
78
X = 443807,0941
Y = 9121947,886
24
6.18
26
X = 445787
Y = 9125367
25
9.62
41
X = 447434
Y = 9127465
66
26
9.61
61
X = 447437
Y = 9127705
27
10.74
47
X = 448589
Y = 9127590
28
10.73
67
X = 448490
Y = 9127797
29
9.71
72
X = 448241
Y = 9128090
30
10.79
81
X = 449973
Y = 9127501
67
68
errornya dimana rata-rata RMS error yang diperoleh dari 33 GCP sebesar 0,89.
Ini artinya dengan resolusi spasial citra 10 m maka di lapangan citra tersebut
mengalami pergeseran sebesar 8,89 m untuk tiap piksel. Nilai RMS error yang
cukup tinggi ini menunjukkan bahwa hasil koreksi geometrik untuk dearah
kajian tidak sempurna. Padahal nilai yang disarankan oleh Jansen tahun 2005
adalah < 0,5. Hal ini dikarenakan kondisi fisik daerah pemelitian yang sebagian
besar didominasi oleh perbukitan dan pegunungan serta sulitnya menemukan
objek yang tetap meskipun pengambilan titik GCP telah dilakukan berulangulang.
69
Tabel 5.2 Jumlah GCP (Ground Control Point) pada koreksi geometri
70
a
b
Gambar 5.2(a) Persebaran titik kontrol pada citra ALOS AVNIR-2
5.2(b) Persebaran titik kontrol peta Rupa Bumi Indonesia
(RBI)
Penggunaan
algoritma
polinomial
tidak
hanya
mempengaruhi
71
72
Tabel 5.3 Nilai gain dan offset pada citra ALOS AVNIR-2
No.
Saluran
Gain
Offset
Saluran 1
0,5946
0,95
Saluran 2
0,5541
0,84
Saluran 3
0,4730
0,81
Saluran 4
0,6689
-0,00
73
5.2.3.1 RVI
Transformasi indeks vegetasi paling sederhana yang digunakan dalam
penelitian kali ini adalah RVI (Ratio Vegetation Index). Indeks yang dihasilkan
merupakan rasio dari saluran merah dan inframerah dekat dengan nilai minimal
0,204109, maksimal 4,013212 dan rata-rata 1,409078. Objek vegetasi dari hasil
transformasi ini menunjukkan rona yang cerah, sedangkan non vegetasi
memiliki rona gelap.
Algoritma RVI yang digunakan hanya mengandalkan kemampuan
saluran merah dan inframerah dekat yang memang unggul dalam nenonjolkan
objek vegetasi, sehingga hanya ada dua kemungkinan objek yang dapat
diidentifikasi. Pertama objek vegetasi dan kedua non vegetasi. Semakin besar
nilai indeks yang dihasilkan, semakin cerah ronanya, dan semakin besar pula
kemungkinan keberadaan vegetasi.
5.2.3.2 NDVI
Indeks vegetasi selanjutnya adalah NDVI (Normalized Different
Vegetation Index). Sama seperti RVI, NDVI pun menggunakan saluran merah
dan inframerah dekat namun dengan algoritma yang berbeda. Kisaran nilai
yang dihasilkan antara -1 sampai 1. Dimana -1 non vegetasi dan 1 vegetasi.
Hasil trasnformasi NDVI pada daerah kajian menunjukkan rentang nilai
antara -0.660980 sampai 0.601054. Semakin mendekati 1 rona yang terlihat
pada citra semakin cerah, dan semakin cerah kenampakannya akan
menunjukkan daerah kajian semakin banyak tutupan vegetasi. Pada daerah
penelitian nilai maksimal indeks berada pada 0.601054. Ini artinya, tidak ada
objek yang benar-benar murni vegetasi. Bisa terjadi karena ada pantulan tanah
atau air yang berada diantara vegetasi mengingat resolusi spasial citra ALOS
ANVIR-2 sebesar 10 m yang berarti luasan dipermukaan bumi 100 meter
persegi. Dimana akan sangat sulit menemukan tutupan objek vegetasi yang
secara utuh menutupi permukaan bumi tanpa celah sedikitpun.
74
5.1.3.3 TVI
Transformasi indeks ketiga yang digunakan adalah TVI (Transformed
Vegetation Index). Model transformasi ini dikembangkan untuk menghilangkan
nilai negatif pada transformasi NDVI. Masih menggunakan saluran yang sama,
yakni merah dan inframerah dekat maka dihasilkan nilai indeks dengan
minimal 0.037842, maksimal 1.049311 dan rata-rata 0.799635. Nilai indeks
tersebut merepresentasikan tutupa vegetasi pada daerah kajian. Dimana nilai
indeks kecil memiliki rona gelap yang mengindikasikan tutupan vegetasi sedikit
dan nilai indeks besar memiliki rona cerah yang mengindikasikan tutupan
vegetasi rapat.
5.2.3.4 MSAVI
Terakhir adalah transformasi MSAVI (Modified Soil Adjusted
Vegetation Index). Model transformasi ini memiliki keunggulan mampu
menekan latar belakang tanah meskipun dengan menggunakan tipe saluran
yang sama seperti pada transformasi sebelumnya yakni merah dan inframerah
dekat. Tanah untuk kajian tutupan vegetasi dianggap sebagai gangguan karena
mempengaruhi nilai asli dari pantulan objek vegetasi.
Nilai indeks yang dihasilkan oleh transformasi ini yakni minimal 7.166977 maksimal 1.500336 dan rata-rata 0.450420. Indeks yang dihasilkan
ini tidak memiliki acuan nilai tertentu karena persamaan yang digunakan bukan
merupakan persamaan yang telah dinormalisasi seperti pada transformasi
NDVI. Nilai indeks yang dihasilkan tergantung dari nilai spektral saluran yang
digunakan. Tabel 5.4 di bawah ini menggambarkan perbandingan informasi
spktral masing-masing transformasi yang digunakan.
75
informasi spectral
Jenis trasnformasi
maks
Min
rata-rata
st.dev
4,013212
0,601054
-0,66098
1,049131
1,500336
-7,16698
RVI
2
0,14779
0,13916
NDVI
3
TVI
4
0,45042
0,485373
MSAVI
76
grafik histogram citra satelit ALOS AVNIR-2 dengan komposit warna 432
pada daerah penelitian.
Gambar 5.4 Histogram citra daerah kajian untuk komposit warna 432
Grafik berwarna hitam adalah band 4, grafik berwarna merah band 3,
dan grafik berwarna hijau band 2. Masing-masing grafik menggambarkan
pesebaran jumlah nilai piksel pada rentang nilai kecerahan citra antara 0 255.
0 berarti sangat gelap dan 255 sangat cerah. Dari histogram tersebut dapat
dilihat bahwa tidak ada piksel yang benar-benar bernilai 0 maupun 255. Jumlah
piksel terbanyak dari 3 jenis saluran tersebut justru berada pada kisaran nilai
kecerahan 25 75. Ini artinya persentase nilai piksel gelap lebih dominan
daripada nilai piksel cerah. Semakin gelap berarti semakin banyak energi yang
terserap, karena 3 saluran tersebut memiliki pola yang sama dalam
memberikan respon pantulan vegetasi maka semakin gelap citra semakin
banyak persentasi vegetasi pada daerah kajian. Nilai inilah yang dijadikan
pedoman untuk mengetahui distribusi nilai piksel yang menunjukkan
keberadaan objek vegetasi.
Komposit saluran 432 yang digunakan untuk interpretasi visual
menghasilkan kenampakan objek vegetasi yang sangat jelas. Saluran 4
(inframerah dekat) dengan panjang gelombang 0,76-0,89 m peka terhadap
objek vegetasi dan tanah. Saluran 3 (merah) yang memiliki panjang gelombang
0,61-0,64 m peka terhadap pantulan vegetasi, sedangkan saluran 2 yang
77
78
merah dan warna cyan, dimana objek vegetasi berwarna merah dan warna cyan
untuk objek tanah. Delineasi objek dilakukan secara Digitasi on Screen dengan
tanpa meninggalkan kunci interpretasi yang digunakan. Karena daerah kajian
pada penelitian ini berada pada kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh
Kementrian Kehutanan Republik Indonesia tahun 2007, maka asumsinya adalah
kawasan tersebut meskipun pada kenyataanya banyak terdapat blok-blok
nonvegetasi namun tetap dikatagorikan sebagai hutan. Sehingga dalam proses
interpretasi, tidak lagi membagi daerah penelitian menjadi hutan dan nonhutan
melainkan membagi menjadi blok-blok kecil yang menggambarkan perbedaan
tingkat kerapatannya.
Unsur interpretasi warna/rona menjadi aspek yang paling dominan
dalam melakukan interpretasi. Warna merah menunjukkan objek vegetasi,
semakin gelap ronanya mengindikasikan bahwa semakin rapat vegetasi.
Sebaliknya semakin cerah ronanya semakin jarang vegetasi. Delineasi objek
dilakukan dengan membedakan tingkat kecerahan rona yang terlihat.
Selanjutnya ada unsur interpretasi tekstur. Tekstur memudahkan dalam
membedakan objek vegetasi pada tingkat ketinggian yang berbeda. Perbedaan
ketinggian dapat menunjukkan perbedaan kerapatan vegetasi tegakan. Terakhir
adalah pola dan bentuk. Pada daerah kajian sebagian besar bentuk blok-blok
vegetasi tidak beraturan begitupun dengan polanya. Mengerombol pada
beberapa lokasi dan sangat jarang lokasi tertentu. Hal ini tidak lepas dari unsur
interpretasi yakni asosiasi. Vegetasi rapat sebagian besar berasosiasi dengan
sungai-sungai besar. Seperti terlihat pada sisi utara daerah kajian. Sungai Oyo
yang memotong sisi utara daerah kajian menjadi salah satu sumber kehidupan
bagi vegetasi disekitarnya. Tidak heran mengapa Kabupaten Gunungkidul yang
terkenal gersang justru menyiman potensi hutan yang luar biasa. Berikut ini
disajikan Tabel 4.4 mengenai beberapa contoh hasil delineasi objek hutan untuk
setiap kerapatan yang berbeda. Sementara peta satuan pemetaan kerapatan
kanopi daerah penelitin disajikan dalam Gambar 4.6 berikut.
79
Tabel 5.5 Pengenalan Objek Hasil interpretasi Visual untuk Satuan Pemetaan
Nama Objek
Kerapatan 1
Ciri pengenalan
-
Kerapatan 3
Kerapatan 4
Warna/rona:
merah
kehitaman, gelap
Bentuk tidak teratur
Tekstur kasar
Asosiasi sungai
pudar,
Warna/rona:
merah
kehitaman,
Bentuk tidak teratur
Tekstur kasar
Asosiasi sungai
gelap,
Kerapatan 2
Kerapatan 5
Kerapatan 6
80
81
rata-rata
indeks
vegetasi
diperoleh
dengan
cara
82
Adapun Tabel 5.6 berikut menyajikan hasil tumpang susun antara blok
kerapatan vegetasi pada masing-masing indeks yang digunakan. Untuk melihat
hubungan antara parameter kerapatan dengan indeks vegetasi dilakukanlah
analisis statistik yakni korelasi dan regresi. Nilai kerapatan vegetasi tersebut
dikorelasikan dengan nilai rata-rata transformasi RVI, NDVI, TVI, dan
MSAVI. Hasil korelasi inilah yang menentukan indeks vegetasi apa yang paling
baik digunakan untuk pemetaan kerapatan vegetasi.
83
Tabel 5.6 Nilai rata-rata piksel blok kerapatan vegetasi pada Transformasi
Indeks Vegetasi (RVI, NDVI, TVI dan MSAVI)
Mean
Nilai
No.
No.sampel
kepadatan
RVI
NDVI
TVI
MSAVI
1
80,81910
12.102
2,27517
0,38918 0,94295
1,11802
2
74,1056
12.105
2,07144
0,34839 0,92103
1,03023
3
80,4567
12.103
2,33847
0,39694 0,94673
1,13080
4
64,4096
12.106
1,67066
0,24926 0,86531
0,79236
5
64,8675
12.104
1,58824
0,22488 0,85100
0,72711
6
46,0538
6.23
1,32608
0,13751 0,79786
0,47482
7
77,1232
11.101
2,03903
0,34016 0,91642
1,01032
8
48,0733
11.100
1,13347
0,06195 0,74947
0,23010
9
64,1958
5.11
1,56779
0,22041 0,84866
0,71760
10
44,1485
5.12
1,28781
0,12274 0,78852
0,42794
11
80,0193
10.85
1,82625
0,33872 0,79887
0,78052
12
85,5468
10.86
2,36414
0,40522 0,95140
1,15028
13
70,463
10.87
1,71856
0,25968 0,87087
0,81382
14
71,1551
7.39
1,94951
0,32111 0,90605
0,96806
15
7,0147
6.25
0,81685
0,08970 0,08861
0,09474
16
5,1025
7.37
0,79704 -0,11671 0,61691 -0,54690
17
12,059
6.28
1,10782
0,05025 0,74152
0,18703
18
69,4891
8.85
1,44817
0,17892 0,82303
0,59366
19
70,6839
8.86
1,65648
0,24679 0,86412
0,78762
20
74,3647
9.57
2,03265
0,31568 0,71799
0,85990
21
70,0296
9.60
1,62611
0,20110 0,77520
0,66340
22
83,8225
9.58
2,51687
0,30368 0,83858
0,67055
23
77,9614
9.59
1,91680
0,31404 0,90221
0,95221
24
25,8889
6.18
1,35962
0,15190 0,80730
0,52342
25
30,9053
9.62
1,37546
0,15755 0,81079
0,54029
26
61,0428
9.61
1,72368
0,26531 0,87477
0,83482
27
46,9903
10.74
1,29106
0,10464 0,70376
0,21906
28
67,4126
10.73
1,63750
0,22960 0,85206
0,72148
29
71,7665
9.71
1,88435
0,30552 0,89738
1,03102
30
79,5260
10.79
1,98852
0,33026 0,91113
1,08948
Sumber : Pengolahan statistik citra tiap indeks vegetasi
84
adalah grafik
85
kerapatan untuk nilai TVI memiliki pola menyebar, sehingga garis linear yang
terbentuk kurang sempurna.
86
Tidak
heran
mengapa
ketiga
jenis
transformaasi
tersebut
menghasilkan koefisien korelasi yang tinggi. Dari tabel tersebut dapat diketahui
bahwa korelasi paling tinggi ternyata pada transformasi NDVI sebesar 0,784.
Artinya, kerapatan vegetasi memiliki hubungan positif dan paling kuat pada
trasnformasi NDVI ketimbang jenis transformasi indeks lainnya. Jadi, untuk
pemetaan kerapatan vegetasi metode hibrida, transformasi yang digunakan
adalah transformasi NDVI dengan rumus fungsinya adalah Y= 0,004x 0,045.
5.3.2 Formula Kerapatan Vegetasi untuk Interpretasi Hibrida
Indeks terpilih yang digunakan untuk penyusunan formula kerapatan
vegetasi adalah indeks yang memiliki koefisien korelasi tertinggi, dan indeks
tersebut adalah NDVI. Dari nilai NDVI inilah kemudian dibagi menjadi 5 kelas
kerapatan vegetasi yakni hutan sangat rapat, agak lebat/lebat, terbuka, jarang,
dan sedikit/tidak ada pohon. Tabel 5.8 merupakan formula kerapatan vegetasi
untuk interpretasi hibrida hasil tumpangsusun antara sampel kerapatan dengan
nilai rata-rata NDVI.
Nilai 0,276; 0,116 hingga -0,037 merupakan rentang nilai transformasi
NDVI yang dihasilkan dari persamaan regresi Y=0,004x 0,045, dengan x
adalah nilai kerapatan vegetasi 2%, 10%, 40%, dan 80%. Setiap perbedaan
kerapatan vegetasi menunjukkan perbedaan kelas kerapatannya.
88
Kelas
NDVI0,276
II
III
Terbuka
IV
Jarang
Sedikit/tidak ada
pohon
V
NDVI(-0,037)
Sumber : Pengolahan citra, 2013
Kerapatan vegetasi
Kelas I mewakili hutan sangat rapat dengan nilai indeks lebih besar
sama dengan dari 0,276. Kelas II hutan agak rapat/lebat berada pada rentang
nilai 0,116 sampai 0,275. Kelas III, IV, dan V berdasarkan formula kerapatan
vegetasi mulai terdapat indeks yang bernilai negatif dengan kerapatan berturutturut yakni terbuka, jarang, dan sedikit/tidak ada pohon. Nilai negatif tersebut
sebagai akibat dari adanya objek non vegetasi yang berada di area hutan pada
wilayah kajian, seperti pemukiman, lahan kosong, maupun tubuh air.
5.3.3 Interpretasi Hibrida
Proses interpretasi hibrida dilakukan setelah setiap poligon satuan
pemetaan kerapatan vegetasi memiliki rata-rata nilai pada citra NDVI. Nilai
rata-rata tersebut akan digunakan untuk identifikasi tingkat kerapatan vegetasi
tiap poligon satuan pemetaan. Perolehan nilai rata-rata tiap satuan pemetaan
kerapatan vegetasi yakni dengan cara menumpangsusunkan poligon hasil
interpretasi visual dengan citra NDVI. Proses perhitungan nilai rata-rata
tersebut diperoleh dengan bantuan software pengolah data citra ENVI 4.5.
Setiap poligon yang telah ditumpangsusunkan dengan citra NDVI dilakukan
analisis statistik untuk memperoleh rata-rata nilai indeksnya. Setelah setiap
poligon memperoleh nilai rata-rata pada citra NVDI, maka formula kerapatan
vegetasi sudah bisa diterapkan.
89
No.
Kelas kerapatan
1.
> 80 %
1082,92
2.
Agak lebat/lebat
40 80 %
2541,76
3.
Terbuka
10 40 %
2062,32
4.
Hutan jarang
2 10 %
201,04
5.
<2%
Kerapatan
Luas (ha)
Dari 5 kelas tersebut, ternyata pada kelas sedikit/tidak ada sama sekali
jumlah luasan hutan adalah 0, ini artinya pada daerah kajian jumlah minimal
tegakan hutan diatas 2%. Peta di bawah
hibrida.
90
91
407
39
13
460
88,48
ERROR
COMISSION
(%)
11,52
75
1424
48
1547
92,05
7,95
45
1146
1191
96,22
3,78
10
140
153
91,50
8,50
TOTAL
PRODUCER
ACC (%)
ERROR
COMISSION
(%)
482
1518
1210
141
3351
84,44
93,81
94,71
99,29
OVERALL
ACC (%)
93,02
KELAS
15,56
6,19
5,29
0,71
TOTAL
USER
ACC (%)
92
93
94
dominasi oleh tanaman Jati (Tectona grandis) dan Kayu Putih (Eucalyptus
globulus) yang sebagain besar berada di kawasan hutan Wanagama yang
terletak di sisi utara daerah kajian dengan fungsi sebaagai hutan produksi.
Hasil interpretasi hibrida untuk kelas kerapatan antara 40-80% pada
daerah kajian memiliki luasan paling besar diantara kelas kerapatan lainnya,
yakni sekitar 43,17 % dari keseluruhan luas daerah kajian. Tersebar di sisi utara
dan menggerombol di sisi selatan daerah kajian. Berdasarkan hasil lapangan
menyebutkan bahwa tutupan kanopi vegetasi pada tipe kerapatan agak
lebat/lebat ini adalah hutan campuran, jati (Tectona grandis), kayu putih
(Eucalyptus globulus), mahoni (Swietenia macrophylla), dengan diselingi
semak belukar dan sebagian besar merupakan jenis Tahura (Tanaman Hutan
Rakyat). Sementara untuk kelas kerapatan terbuka antara 10-40 % mendominasi
bagian tengah daerah penelitian dengan 2.062,32 hektar. Sebagian besar tutupan
vegetasi pada tipe kerapatan ini adalah tegalan, kebun campuran, dan semak
belukar. Terdapat beberapa blok pemukiman terutama pada daerah yang berelif
datar, hal inilah yang menyebabkan tingkat kerapatan vegetasi cenderung
rendah. Terakhir adalah kelas kerapatan antara 2-10 % yang tergolong dalam
kelas kerapatan jarang. Presentasi kelas kerapatan ini paling sedikit
dibandingkan dengan tipe kerapatan lainnya, hanya sebesar 3,41 % dari total
keseluruhan daerah kajian. Dengan kondisi kerapatan 2-10%, ini berarti
sebagian besar penutup lahannya berupa lahan tidak bervegetasi atau hanya
berupa rerumputan dengan diselingi beberapa pohon, sehingga tanah akan
memberikan pantulan sangat besar ketimbang vegetasi. Hal ini dapat dilihat
pada citra hasil transformasi NDVI, daerah dengan kerapatan vegetasi rendah
memiliki rona/warna sangat gelap.
Perubahan penggunaan lahan yang menyebabkan berkurang atau
bertambahnya tutupan kanopi vegetasi pada daerah kajian berdasarkan hasil
analisis citra selain karena jenis tanah maupun aspek fisik lainnya, ada indikasi
disebabkan karena musim dan pola panen/penebangan jenis pohon tertentu,
misalnya jati atau kayu putih. Musim sangat berpengaruh terhadap banyak
95
tidaknya tutupan vegetasi, hal ini disebabkan karena daerah kajian sebagian
besar berupa vegetasi meranggas dimana kharakteristik vegetasi ini akan
menggugurkan daunnya ketika musim kemarau dan bersemi kembali ketika
musim hujan. Kesalahan dalam proses lapangan dapat berakibat fatal, idealnya
lapangan dilakukan pada bulan yang sama dengan perekaman citra atau
minimal pada bulan dengan musim yang sama untuk meminimalisasi
kesalahan.
96
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Interpretasi hibrida antara data berbasis visual dan digital citra satelit
ALOS AVNIR-2 dapat digunakan untuk pemetaan kerapatan kanopi
vegetasi dengan tingkat ketelitian tinggi, yakni 93,02%.
2. Dari beberapa indeks vegetasi yang digunakan antara lain RVI, NDVI,
TVI, dan MSAVI dalam proses interpretasi hibrida, ternyata yang
menunjukkan korelasi paling baik untuk kerapatan kanopi vegetasi
adalah transformasi NDVI dengan koefisien korelasi sebesar 0,784.
3. Kerapatan vegetasi pada daerah kajian didominasi oleh kerapatan agak
lebat/lebat (40-80%) dengan presentase kerapatan sebesar 43,12 % dan
luas 2541,76 ha. Jenis tanaman pada kelas tersebut antara lain , jati
(Tectona grandis), kayu putih (Eucalyptus globulus), mahoni (Swietenia
macrophylla) yang sebagain besar merupakan tipe hutan Tahura
(Tanaman Hutan Rakyat).
6.2 Saran
1. Tingkat akurasi interpretasi hibrida bisa jadi lebih baik lagi jika
memperhatikan waktu perekaman citra dengan waktu pengambilan
sampel di lapangan, semakin mendekati dengan bulan perekaman citra
yang sama akan semakin baik khususnya untuk kawasan hutan
semusim.
2. Indeks vegetasi yang memiliki korelasi hampir sama dengan korelasi
yang dihasilkan oleh NDVI dapat pula digunakan untuk penyusunan
formula kerapatan kanopi vegetasi.
3. Managemen pengelolaan hutan yang baik tentunya membutuhkan
informasi mengenai kualitas dan kuantitas hutan itu sendiri termasuk
97
98