Preskas Syok Hipovolemik
Preskas Syok Hipovolemik
SYOK HIPOVOLEMIK
Pembimbing:
Dr. Nurgani Aribinuko, Sp.An KIC
Penyusun:
Aya Sophia (105103003400)
Elit Slamet Ibrahim (105103003407)
Sakinah Ginna R (105103003434)
SMF ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
JAKARTA
16
2008
BAB I
PENDAHULUAN
Syok hemoragik adalah syok hipovolemik yang disebabkan kehilangan darah yang
banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau tersembunyi dalam
organ tubuh. Syok hipovolemik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah syok
hipovolemik hemoragik perioperatif, yaitu syok yang terjadi preoperatig, intraoperatif,
ataupun postoperatif.
Pasien yang kehilangan darah akan mengalami masa hipotensi sampai akhirnya
pemberian infus cairan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Hal ini disebut
sebagai syok ireversibel. Sebagian klinisi percaya bahwa pasien syok dapat diresusitasi
dengan pemberian cairan, koreksi hipotermia dan pemberian obat inotropik. Tapi tetap saja
masih banyak pasien yang meninggal tidak hanya karena efek akut dari syok ireversibel tapi
juga dari efek syok berat yang lama.
Penatalaksanaan pasien syok tidak hanya pada awal saja karena sebenarnya banyak
pasien yang tetap mengalami kegagalan sirkulasi setelah perdarahan berat ditangani. Hal ini
terjadi karena koagulopati dan hipotermia berat. Pada pasien dengan perdarahan kecil namun
terus menerus dapat terjadi asidosis dan hipotermia. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
yang baik mengenai bagaimana penanganan syok hemorargik perioperatif. Langkah-langkah
apa saja yang perlu dilakukan, bagaimana langkah selanjutnya, dan kapan transfusi darah
diperlukan
17
Pada makalah ini dibahas mengenai evaluasi dan penatalaksanaan awal kehilangan
darah akut. Penatalaksanaan syok hemoragik yang akan dibahas meliputi penangana awal,
pemberian resusitasi cairan, transfusi darah, dan penghentian perdarahan yang masih
berlangsung.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Respons Kompensasi
Hilangnya darah memicu respons kompensasi tertentu yang membantu untuk
mempertahankan volume darah dan perfusi jaringan. Respons yang paling awal meliputi
perpindahan cairan interstisial ke dalam kapiler. Pengisian transkapiler ini dapat
menggantikan sekitar 15% dari volume darah, namun hal ini menyebabkan terjadinya
kekurangan cairan interstisial.
Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium. Natrium yang dipertahankan berdistribusi
dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan interstisial menyusun sekitar 2/3 cairan ekstraseluler,
natrium yang dipertahankan akan membantu menggantikan kekurangan cairan interstisial
yang diakibatkan oleh pengisian transkapiler. Kemampuan natrium untuk menggantikan
kekurangan cairan interstisial, bukan volume darah interstisial, merupakan alasan bahwa
cairan kristaloid yang mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai sebagai cairan
resusitasi untuk perdarahan akut.
Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai meningkatkan
produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahan-lahan, dan penggantian
sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2 bulan.
19
Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang adekuat pada
kasus perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume darah). Saat darah yang hilang
melebihi 15% volume darah, umumnya diperlukan penggantian volume darah.
Perdarahan Progresif
Perdarahan Kelas I (kehilangan 0-15%)
1. Bila tidak ada komplikasi, hanya terlihat takikardia minimal.
2. Biasanya tidak ada perubahan dalam TD, tekanan nadi, atau frekuensi napas.
3. Keterlambatan pengisian kembali kapiler lebih dari 3 detik sebanding dengan
kehilangan volume 10%.
2. Pada pasien tanpa cedera lain atau tanpa kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah
terkecil dari kehilangan darah yang selalu menyebabkan penurunan TD sistolik.
3. Sebagian besar dari pasien ini membutuhkan transfusi darah, namun keputusan
memberikan darah harus didasarkan atas respons awal terhadap pemberian cairan.
20
jantung ( bunyi jantung halus, vena leher distensi), tension pneumothorax (deviasi
trakea, bunyi napas berkurang pada satu sisi), dan trauma medulla spinalis (kulit
hangat, takikardia tidak sebesar yang diduga, defisit neurologis).
Tanda Vital
Takikardi (denyut nadi > 90 kali per menit) sering diasumsikan sebagai hal yang umum
ditemukan pada pasien hipovolemik, namun pada posisi terlentang tidak dtemukan takikardi
pada mayoritas pasien dengan perdarahan sedang hingga berat. Kenyataannya, dapat lebih
sering ditemukan bradikardi pada perdarahan akut. Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90
mmHg) pada posisi terlentang juga merupakan penanda perdarahan akut yang tidak sensitif.
Hipotensi umumnya timbul pada hipovolemia tahap lanjut, saat kehilangan darah melebihi
30% dari volume darah total. Metode yang digunakan untuk mengukur tekanan darah
merupakan pertimbangan yang penting pada pasien yang mengalami perdarahan, karena pada
tahap aliran rendah, pengukuran noninvasif sering memberikan nilai rendah yang palsu.
Untuk mendapatkan hasil yang sebenarnya, direkomendasikan pemeriksaan intraarterial
langsung untuk memonitor tekanan darah pada pasien yang mengalami perdarahan.
Hematokrit
Penggunaan hematokrit (dan konsentrasi hemoglobin dalam darah) untuk menentukan
luasnya perdarahan akut cukup sering dilakukan meskipun tidak pada tempatnya. Perubahan
kadar hematokrit tidak terlalu berkorelasi dengan kurangnya volume darah dan eritrosit pada
perdarahan akut. Perdarahan akut meliputi kehilangan whole blood, dengan penurunan yang
proporsional pada volume plasma dan eritrosit. Akibatnya, hematokrit tidak akan berubah
secara signifikan pada periode awal setelah darah hilang. Bila resusitasi volume tidak
dilakukan, pada akhirnya hematokrit akan menurun karena hipovolemia mengaktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron, sehingga memicu ginjal untuk mempertahankan natrium dan air
dan menambah volume plasma. Proses ini dimulai pada 8 hingga 12 jam setelah perdarahan
akut dan diperlukan beberapa hari untuk benar-benar terbentuk.
22
II.3 Penatalaksanaan Syok Hemorargik
Penatalaksanaan pasien dengan syok hemoragik adalah resusitasi cairan. Selain itu dicari
sumber perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan perdarahan yang terjadi. Seperti
halnya resusitasi kasus lain, jalan napas dan pernapasan (airway dan breathing) tetap
diperhatikan.2,5 Kombinasi dari syok dan gagal napas mengakibatkan mortalitas yang sangat
tinggi. Dengan demikian setiap pasien syok harus diberikan oksigen tinggi menggunakan
masker. Bila pernapasan tidak adekuat, intubasi secepatnya dilakukan.
Perdarahan luar yang terlihat segera dikontrol dengan penekanan lokal. Bila usaha
resusitasi menunjukkan kemungkinan perdarahan intraabdominal atau perdarahan intratorakal
yang sedang berlangsung. Pemeriksaan yang rumit seminimal mungkin dilakukan dan usaha
operasi definitif secepatnya dilakukan.
Kanulasi Vena
Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses pemberian cairan. Pada pasien
dengan trauma multipel berat syok hemoragik, akses vena diperlukan untuk mengembalikan
cairan yang hilang. Faktor yang mempengaruhi akses vena adalah letak anatomis vena,
beratnya cedera pada tubuh serta kemampuan dan pengalaman dokter yang menolong. Akses
vena tidak boleh diberikan pada ekstremitas yang terluka. Jika terdapat cedera pada tubuh
dibawah difragma, akses vena setidaknya pada vena yang berhulu pada vena kave superior.
Pada pasien dengan trauma dada dan abdomen, akses vena diberikan pada satu vena di atas
dan satu vena di bawah diafragma. Kateter yang digunakan sebaiknya yang pendek dengan
diameter yang besar. Terdapat kecenderungan untuk melakukan kanulasi vena sentral untuk
resusitasi karena vena yang lebih besar memungkinkan jumlah cairan masuk lebih banyak.
Walaupun begitu laju volume infus tidak bergantung pada besar vena melainkan pada panjang
kateter vena. Kateter yang digunakan pada kanulasi vena sentral panjangnya bisa mencapai
15-20 cm sementara kateter vena perifer hanya 5 cm saja. Dengan begitu untuk resusitasi
23
cairan pada hipovolemi, kanulasi vena perifer pendek lebih dipilih dibanding kanulasi vena
sentral yang panjang.
Diameter kateter yang besar akan menghasilkan laju yang lebih cepat. Laju yang
sangat cepat dapat dicapai dengan penggunaan kateter introducer. Panjang kateter ini adalah
12,5-15 cm dengan diameter 2,7-3 mm. Kateter introducer umumnya digunakan pada
pemasangan kateter vena sentral tapi alat ini dapat digunakan bila diinginkan laju infus yang
cepat. Dengan gaya gravitasi, laju cairan viskositas rendah bebas sel lewat kateter ini
mencapai 15 ml/detik, sedikit lebih rendah dari kateter vena biasa dengan diameter 3 mm
yaitu 18 ml/detik.
Menurut acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena yang disarankan
adalah dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan pertama adalah infus perifer seperti
vena pergelangan tangan dan punggung tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena. Tempat
lain yang jarang dipilih adalah vena femoralis dan jugularis. Vena subklavia dan jugular
interna sebaiknya tidak secara rutin diberikan pada syok hipovolemik. Komplikasinya tinggi
dan keberhasilannya rendah karena vena sering kolaps. Akses cairan melalui vena perifer
dapat menjadi sulit pada pasien syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps, edema,
kegemukan, jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka bakar. Pada keadaan
tertentu akses vena sentral dengan kateter diameter besar dapat dicoba pada vena femoral
secara perkutan atau vena seksi. Akses vena subklavia menyediakan akses cepat dan aman di
tangan ahli. Komplikasi tersering adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada paru kiri
karena secara anatomis pleura pada paru kiri lebih tinggi. Komplikasi lainnya seperti
perforasi vena atau arteri atau emboli udara vena. Pada pasien trauma, akses vena jugular
jarang digunakan karena kecurigaan trauma servikal.
25
- Mencegah perburukan asidosis.
Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase selanjutnya yaitu fase lambat.
Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah: 6
- Mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.
- Memperahankan hematokrit di atas batas transfusi individu.
- Normalisasi status koagulasi.
- Normalisasi keseimbangan elektrolit.
- Normalisasi temperatur tubuh.
- Mengembalikan output urin ke batas normal.
- Maksimalisasi curah jantung dengan metode invasif maupun non invasif.
- Memperbaiki asidosis sistemik.
- Menurunkan laktat ke batas normal.
Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap dilakukan sampai
diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat.
Tujuan utama penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah mempertahankan
ambilan oksigen (VO2) oleh jaringan dan mempertahankan kelangsungan metabolisme
aerobik.4 Cairan pengganti logikanya sesuai dengan cairan yang keluar atau yang mendekati.
Kontroversi masih terjadi seputar penggunaan cairan kristaloid maupun koloid sebagai
pengembang plasma. Pendukung koloid berpendapat bahwa resusitasi menggunakan koloid
lebih cepat dan aman bagi paru-paru. Sementara pengguna kristaloid berpendapat bahwa
kristaloid lebih tepat menangani syok karena menggantikan cairan intravaskular dan
ekstravaskular (karena pada syok terjadi pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid
lebih murah walaupun dibutuhkan volume yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan
kristaloid agar efek resusitasinya sama dengan koloid). Cairan koloid memiliki efek alergi
lebih sedikit. Walaupun begitu tidak terdapat bukti yang mengharuskan seseorang
menggunakan salah satu cairan. Penggunaan kedua cairan bersama-sama sering digunakan
dalam klinis sehari-hari.
Kehilangan darah akut mempengaruhi dua komponen yaitu curah jantung dan konsentrasi
hemoglobin dalam darah. Dengan begitu resusitasi mencakup bagaimana cara meningkatkan
curah jantung dan mengoreksi kekurangan hemoglobin.
26
Konsekuensi dari curah jantung yang menurun jauh lebih membahayakan dari konsekuensi
anemia, jadi prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien dengan perdarahan adalah
meningkatkan curah jantung.
Cairan resusitasi dan curah jantung
Kemampuan setiap jenis cairan untuk meningkatkan curah jantung dinilai dengan mengukur
dan membandingkan infus whole blood (1 unit = 450 ml), packed cells (2 unit = 500 ml),
dextran-40 (500 ml). Didapatkan efek infus ketiga cairan ini selama satu jam dalam
meningkatkan curah jantung adalah sama. Sedangkan kemampuan cairan Ringer laktat (1 L)
adalah dua kali cairan lainnya. Bila dibandingkan volume per volume maka cairan koloid
adalah yang paling efektif. Koloid dua kali lebih efektif dibanding whole blood, enam kali
lebih efektif dari packed cells dan delapan kali lebih efektif dibanding cairan kristaloid (RL).
Kemampuan darah yang terbatas untuk meningkatkan curah jantung adalah karena efek
viskositas darah. Jika peningkatan curah jantung adalah prioritas pertama dalam
penatalaksanaan perdarahan akut maka darah bukanlah cairan yang dipilih sebagai terapi
awal resusitasi cairan.
Cairan koloid dan kristaloid
Kedua jenis cairan ini memiliki viskositas mendekati air karena keduanya tidak mengandung
sel. Perbedaan keduanya adalah pada distribusi volume cairannya. Cairan kristaloid tersusun
atas natrium yang terdistribusi merata pada cairan ekstraselular. Plasma darah mewakili 20%
cairan ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya 20%
cairan yang masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan interstisial. Cairan
koloid di lain pihak akan menambah volume plasma karena molekul koloid yang besar tidak
dengan mudah keluar pembuluh darah. Sekitar 75 atau 80% cairan infus koloid akan tetap
berada di ruang vaskular dan menambah volume plasma paling tidak pada jam-jam awal
infus. Peningkatan curah jantung adalah efek dari peningkatan preload (peningkatan volume
darah) dan efek penurunan afterload (efek dilusi dari viskositas darah). Berikut poin penting
dalam resusitasi cairan:
Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan kristaloid untuk
meningkatkan curah jantung
Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung sehingga
sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi
Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid menambah
volume interstisial
27
Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus cairan
kristaloid setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan koloid
Pemantauan Resusitasi
28
Selama resusitasi perlu dipantau laju jantung, tekanan darah, frekuensi napas, urin yang
keluar, status mental dan suhu tubuh. Vena sentral dapat digunakan untuk memantau preload
pada ventrikel kanan. Pemeriksaan laboratorium rutin termasuk diantaranya gas darah,
elektrolit dan keseimbangan asam basa, fungsi hati dan ginjal, gula darah, hematologi dan
koagulasi rutin. Kadar laktat cukup sering digunakan untuk mengetahui efektivitas dukungan
kardiovaskular.
29
<100.000/l. Pada kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada penatalaksanaan
masing-masing. (Rekomendasi C)
2. Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/lpada pasien yang akan
menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif.
(Rekomendasi C)
3. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan. (Rekomendasi
C)
30
aprotinin yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Pasien perlu diberi tahu (informed
consent) terhadap segala risiko atau komplikasi yang timbul akibat reaksi transfusi.
a. Anamnesis
Mengkaji riwayat kesehatan/penyakit pasien
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Kondisi pasien
b. Tes laboratorium
Hb atau Ht
Profil koagulasi
2. Persiapan preoperatif
a. Langkah-langkah untuk mencegah perdarahan
Menghentikan antikoagulasi
Menunda operasi sampai efek obat yang sebelumnya diminum (warfarin,
clopidrogel, aspirin) menurun
b. Mencegah/mengurangi jumlah darah transfusi allogenik
Obat untuk mencegah anemia perioperatif (eritropoietin dan vitamin K)
Mempersiapkan darah autolog
Obat untuk merangsang koagulasi dan meminimalkan perdarahan (aprotinin, -
asam aminokaproat, asam traneksamat)
3. Intervensi intraoperatif dan postoperatif
a. Transfusi sel darah merah
Memantau perfusi dan oksigenasi (tekanan darah, frekuensi nadi, suhu, dan
saturasi oksigen). Echokardiografi bila memungkinkan.
Memantau indikasi transfusi (apakah ada iskemia jantung, Hb, Ht, profil
koagulasi)
Transfusi dilakukan bila Hb <6 g/dl. Tidak diberikan bila Hb masih >10 g/dl. Bila
Hb antara 6-10 g/dl, menentukan perlu tidaknya transfusi adalah dengan melihat
apakah ada organ iskemia, potensi perdarahan berlanjut, status volume
intravaskular pasien, dan faktor risiko komplikasi terhadap oksigenasi inadekuat.
Transfusi eritrosit allogenik
Transfusi darah autolog
b. Tatalaksana koagulopati
31
Menilai lapangan pembedahan dan monitoring laboratorium terhadap tanda
koagulopati. Lapangan pembedahan perlu dinilai bersamaan antara dokter bedah dan
anestesiologis, apakah terjadi perdarahan mikrovaskular yang masif. Penilaian
perdarahan masif perlu juga dinilai dari darah suction, spons, dan drainase.
Laboratorium: trombosit, PT dan APTT. Tes lain adalah kadar fibrinogen, fungsi
trombosit, tromboelastogram, D-dimer, dan thrombin time.
Transfusi trombosit
Transfusi trombosit jarang diindikasikan bila trombosit >100 x 10 9/l dan baru
diberikan bila <50 x 109/l. Indikasi lain adalah bila didapatkan disfungsi
trombosit. Pada kasus trombositopenia yang terjadi karena dekstruksi trombosit
seperti heparin-induced thrombocytopenia, idiopathic thrombocytopenic purpura,
thrombotic thrombocytopenic purpura, transfusi trombosit profilaksis tidak
efektif.
Transfusi FFP
Bila mungkin, uji koagulasi (PT dan APTT) dilakukan sebelum memberikan FFP.
Transfusi FFP tidak diberikan bila PT dan APTT normal serta tidak diindikasikan
untuk meningkatkan volume plasma. Indikasi FFP adalah (1) perdarahan
mikrovaskular masif (koagulopati) dengan PT >1,5 kali, INR >2 kali, atau APTT
>2 kali dari normal; (2) perdarahan mikrovaskular masif akibat sekunder dari
defisiensi faktor koagulasi atau ketika PT/APTT tidak dapat diperiksa pada saat
itu; (3) penghentian tiba-tiba terapi warfarin; (4) diketahuinya faktor koagulasi
yang mengalami defisiensi tetapi komponen transfusi tersebut tidak tersedia; (5)
resistensi heparin (defisiensi antitrombin III) pada pasien yang memerlukan
heparin.
Transfusi kriopresipitat
Sebelum memberikan kriopresipitat, kadar fibrinogen perlu diperiksa. Transfusi
kriopresipitat jarang diindikasikan bila kadar fibrinogen >150 mg/dl. Indikasi (1)
kadar fibrinogen <80-100 mg/dl dengan perdarahan mikrovaskular masif, (2)
defisiensi fibrinogen kongenital. Satu unit kriopresipitat mengandung 150-250 mg
fibrinogen. Satu unit FFP mengandung 2-4 mg fibrinogen/ml. Oleh karena itu,
satu unit FFP memberikan jumlah fibrinogen yang sama dengan 2 unit
kriopresipitat.
32
Obat untuk mengurangi perdarahan masif (desmopresin, atau hemostatik topikal
seperti lem fibrin, gel trombin)
33
BAB III
ILUSTRASI KASUS
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. Sukinem
Usia : 41 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Kesehatan RT 003/ 06 Pamulang Tangerang Banten
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga negara : Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nomor RM : 00604745
Masuk IGD RSF : 08 Novemer 2008 pukul 03.30
Riwayat Haid:
Menarche : 16 tahun Siklus: 28 hari
Riwayat Perkawinan:
Kawin : 1 kali Usia perkawinan : 19 tahun
Status generalis
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Jantung : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : membuncit sesuai kehamilan
Ekstremitas : akral dingin +/+
Status ginekologi
TFU : 28 cm
His : kontraksi tertarik
DJJ :-
Inspeksi : tampak perdarahan pervaginam
VT : porsio kaku belakang, teraba 2 cm, diameter 1 cm, selaput (+), kepala H1
USG : H26 mgg, IUFD, solusio plasenta
Daftar Masalah
Syok hipovolemik e.c. HAP e.c. solusio plasenta pada G11P10A0H26mgg
IUFD
Belum inpartu
Rencana Terapi
Pemeriksaan DPL, GDS, BT, CT, AGD, elektrolit
DPL hemostasis
Cross match
Observasi tanda vital/ 15 menit
Observasi perdarahan pervaginam
Resusitasi cairan: pasang IV line (3 line)
35
Pasang FC monitoring cairan
Transfusi PRC sampai Hb 10 g/dL
Transfusi FFP 10 kantung
Evaluasi/ terminasi pedarahan: histerektomi
Hasil Laboratorium
08 November 2008 (4: 41: 12 am)
36
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
- Hemoglobin - 11.7-15.5 g/dl
4.2
- Hematokrit - 33 45 %
- Leukosit 14 - 5-10 ribu/ul
- Trombosit 17.7 - 150-440 ribu/ul
- Eritrosit - 3.8-5.2 juta/ul
VER/HER/KHER/RDW 231
- VER 19.7 - 80-100 fl
- HER - 26-34 pg
- AHER - 32-36 gr/dL
- RDW 71.6 - 11.5-14.5 %
- Masa perdarahan 21.6 - 1.0 3.0 menit
- Masa pembekuan - 2.0 6.0 menit
Hemostasis 29.8
- APTT 16.4 - 29.0 40.2 detik
- PT - 10.4 12.6 detik
- Fibrinogen >10 - 200 400 mg/ml
- D-dimer 10 - < 200 mg/ml
Kimia klinik
Fungsi hati
- SGOT 152 - 0-34 Ul
- SGPT - 0-40 U/l
98
- Protein total - 6-8 g/dl
- Albumin 93 - 3,40 4,86 g/dl
- Globulin >800 - 2,50 3,00 g.dl
Fungsi ginjal
- Ureum darah - 20 40 mg/dl
- Creatinin - 0,6 1,5 mg/dl
Diabetes
Glukosa sewaktu 28
- Glukosa darah sewaktu 18 - 70 140
Gas darah
4.16
- pH - 4,8 7,4
- PCO2 2.02 - 35 45
- PO2 2.13 - 75 100
- Suhu -
- FIO2 -
- BP 18 -
- HCO3 - 24 - 28
O2 Sturasi 0.6 75 - 100
- -
- BE - -2,5 2,5
- Total CO2 - 19.0 24.0 mmol
Elektrolit
- Na 104 - 135-147 mmol/l
- K - 3.1-5.1
- Cl - 95-108 mmol/l
- Urin 7.465 - <1
- Protein urin 25.4 - Negative
- Berat jenis - 1.003-1.030
186.4
- Bilirubin - Negative
- Keton 37 - Negative
- Nitrit - Negative
21
- pH - 4.8 7.4
- Lekosit 750 mmHg - Negative 37
- Darah/ Hb 18 - Negative
- Glukosa - Negative
Warna 99.4 Kuning
- -
III. Riwayat Masuk OK CITO
Pasien diantar dari IGD RSUP Fatmawati ke OK CITO pada jam 06.10 masih
dalam keadaan syok dan terpasang PRC, pernapasan dibantu dengan nasal kanul.
Pemeriksaan Fisik
Umum
Keadaan umum : buruk
Kesadaran : apatis
Tekanan darah : 79/46 mmHg
Nadi : 113 X/menit, reguler
Pernapasan : 18 X/menit
Status generalis
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Jantung : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : membuncit sesuai kehamilan
Ekstremitas : akral dingin +/+
.
Daftar Masalah
Syok hipovolemik e.c. HAP e.c. solusio plasenta pada G11P10A0H26mgg
IUFD
Pasien dikategoikan ke dalam ASA 3E dengan syok hipovolemik
38
Rencana terapi
Atasi syok dengan resusitasi cairan
Tentukan jenis anestesi yang sesuai
SC dengan histerektomi
Post op rawat di ICU
Pemberian cairan kristaloid: Ringer Laktat 500 cc dengan cara diguyur selama 10
menit.Pemberian cairan koloid: PRC 200 cc dan gelofusin 250 cc selama 10 menit.
Setelah resusitasi selama 10 menit tekanan darah meningkat dari 79/46 mmHg
95/50 mmHg. Produksi urin sedikit sekali. Untuk membantu meningkatkan tekanan
darah pasien diberi ephedrine 30 mg IV.
Selain itu, untuk mencegah hilangnya cairan lebih lanjut, juga diperlukan penghentian
perdarahan. Pemberian cairan pada pasien dapat berupa kristaloid atau koloid. Pada
pasien, digunakan cairan Ringer Laktat, Asering dan Gelofusin.
Jumlah cairan yang diberikan dihitung dengan lebih dulu menentukan jumlah volume
darah pasien. Hal ini bisa didapat dengan mengalikan 70 (berat badan pasien) dengan
60 (perkiraan jumlah darah wanita per kilogram), sehingga didapatkan 4200 ml.
Kemudian, ditentukan jumlah darah yang hilang. Pada pasien ini, diperkirakan jumlah
39
darah yang hilang sekitar 36 persen. Jadi, dalam mililiter jumlah darah yang hilang
adalah 1500 ml. Dengan demikian, jumlah cairan kristaloid yang diberikan
seharusnya tiga kali volume darah yang hilang yaitu 4500 ml. Sedangkan koloid yang
diberikan sebanyak satu kali volume darah yang hilang yaitu 1500 ml. Pada pasien
ini, diberikan 2800 ml kristaloid, 500 ml koloid, 600 ml PRC, dan FFP 1000 ml.
Pada pasien ini, diberikan transfusi darah berupa PRC. Pemberian darah dilakukan
untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen, terutama ke daerah yang
mengalami hipoksia. Pada pasien ini, transfusi didasarkan atas kadar hemoglobin
yang sebesar 4.2 g/dl. Transfusi yang dilakukan menggunakan PRC daripada whole
blood mengingat sifatnya yang lebih aman.
Setelah dilakukan resusitasi cairan dengan baik, makan keadaan hemodinamik pasien
cukup stabil, dilihat dari perubahan tekanan darah, nadi, saturasi oksigen dan produksi
urin.
40
41