Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

SYOK HIPOVOLEMIK

Pembimbing:
Dr. Nurgani Aribinuko, Sp.An KIC

Penyusun:
Aya Sophia (105103003400)
Elit Slamet Ibrahim (105103003407)
Sakinah Ginna R (105103003434)

SMF ANESTESI
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI
JAKARTA
16
2008
BAB I
PENDAHULUAN

Syok merupakan kegagalan sirkulasi tepi menyeluruh yang mengakibatkan hipotensi


jaringan. Kematian karena syok terjadi bila kejadian ini menyebabkan gangguan nutrisi dan
metabolisme sel. Terapi syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik dan menghilangkan
faktor penyebab. Ditandai oleh perfusi jaringan yang tidak adekuat.
Klasifikasi syok menurut etiologi :
1. Syok hipovolemik: dehidrasi, kehilangan darah, luka bakar.
2. Syok distributif: kehilangan tonus vascular (anafilaktik, septik, syok toksik).
3. Syok kardiogenik: kegagalan pompa jantung.
4. Syok obstruktif: hambatan terhadap sirkulasi oleh obstruksi instrinsik atau ekstrinsik.
Emboli paru, robekan aneurisma dan tamponade perikard.

Syok hemoragik adalah syok hipovolemik yang disebabkan kehilangan darah yang
banyak akibat perdarahan. Perdarahan yang terjadi dapat terbuka atau tersembunyi dalam
organ tubuh. Syok hipovolemik yang akan dibahas dalam makalah ini adalah syok
hipovolemik hemoragik perioperatif, yaitu syok yang terjadi preoperatig, intraoperatif,
ataupun postoperatif.
Pasien yang kehilangan darah akan mengalami masa hipotensi sampai akhirnya
pemberian infus cairan tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien tersebut. Hal ini disebut
sebagai syok ireversibel. Sebagian klinisi percaya bahwa pasien syok dapat diresusitasi
dengan pemberian cairan, koreksi hipotermia dan pemberian obat inotropik. Tapi tetap saja
masih banyak pasien yang meninggal tidak hanya karena efek akut dari syok ireversibel tapi
juga dari efek syok berat yang lama.
Penatalaksanaan pasien syok tidak hanya pada awal saja karena sebenarnya banyak
pasien yang tetap mengalami kegagalan sirkulasi setelah perdarahan berat ditangani. Hal ini
terjadi karena koagulopati dan hipotermia berat. Pada pasien dengan perdarahan kecil namun
terus menerus dapat terjadi asidosis dan hipotermia. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
yang baik mengenai bagaimana penanganan syok hemorargik perioperatif. Langkah-langkah
apa saja yang perlu dilakukan, bagaimana langkah selanjutnya, dan kapan transfusi darah
diperlukan

17
Pada makalah ini dibahas mengenai evaluasi dan penatalaksanaan awal kehilangan
darah akut. Penatalaksanaan syok hemoragik yang akan dibahas meliputi penangana awal,
pemberian resusitasi cairan, transfusi darah, dan penghentian perdarahan yang masih
berlangsung.

18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Cairan Tubuh dan Kehilangan Darah


Terdapat cairan sedikitnya setengah dari berat badan pada orang dewasa yang sehat. Volume
total cairan (dalam liter) sebanding dengan 60% berat badan (dalam kilogram) pada pria, dan
50% pada wanita. Jumlah cairan dan perkiraan volume darah berdasarkan berat badan
ditunjukkan pada tabel 1.1

Tabel 1. Cairan Tubuh dan Volume Darah


Cairan Pria Wanita
Total cairan tubuh 600 mL/kg 500 mL/kg
Whole blood 66 mL/kg 60 mL/kg
Plasma 40 mL/kg 36 mL/kg
Eritrosit 26 mL/kg 24 mL/kg

Respons Kompensasi
Hilangnya darah memicu respons kompensasi tertentu yang membantu untuk
mempertahankan volume darah dan perfusi jaringan. Respons yang paling awal meliputi
perpindahan cairan interstisial ke dalam kapiler. Pengisian transkapiler ini dapat
menggantikan sekitar 15% dari volume darah, namun hal ini menyebabkan terjadinya
kekurangan cairan interstisial.
Kehilangan darah yang akut juga memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
oleh ginjal, untuk mempertahankan kadar natrium. Natrium yang dipertahankan berdistribusi
dalam cairan ekstraseluler. Karena cairan interstisial menyusun sekitar 2/3 cairan ekstraseluler,
natrium yang dipertahankan akan membantu menggantikan kekurangan cairan interstisial
yang diakibatkan oleh pengisian transkapiler. Kemampuan natrium untuk menggantikan
kekurangan cairan interstisial, bukan volume darah interstisial, merupakan alasan bahwa
cairan kristaloid yang mengandung natrium klorida (cairan salin) lebih disukai sebagai cairan
resusitasi untuk perdarahan akut.
Dalam beberapa jam setelah onset perdarahan, sumsum tulang mulai meningkatkan
produksi sel darah merah. Respons ini terbentuk secara perlahan-lahan, dan penggantian
sepenuhnya eritrosit yang hilang dapat dicapai dalam 2 bulan.

19
Respons kompensasi ini dapat mempertahankan volume darah yang adekuat pada
kasus perdarahan sedang (misalnya kehilangan < 15% volume darah). Saat darah yang hilang
melebihi 15% volume darah, umumnya diperlukan penggantian volume darah.

Perdarahan Progresif
Perdarahan Kelas I (kehilangan 0-15%)
1. Bila tidak ada komplikasi, hanya terlihat takikardia minimal.
2. Biasanya tidak ada perubahan dalam TD, tekanan nadi, atau frekuensi napas.
3. Keterlambatan pengisian kembali kapiler lebih dari 3 detik sebanding dengan
kehilangan volume 10%.

Perdarahan kelas II (kehilangan 15-30%)


1. Gejala klinik mencakup takikardia ( >100 detak permenit), takipnea, penurunan
tekanan nadi, kulit dingin dan lembab, pengisian kapiler terlambat dan sedikit cemas.
2. Penurunan tekanan nadi adalah hasil dari peningkatan kadar katekolamin yang
menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah tepi yang disusul dengan
peningkatan TD diastolik.

Perdarahan Kelas III (kehilangan 30-40%)


1. Pada titik ini, biasanya pasien sudah takipnea dan takikardia mencolok, TO sistolik
turun, oliguria, perubahan status mental bermakna, misal bingung atau gaduh gelisah.

2. Pada pasien tanpa cedera lain atau tanpa kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah
terkecil dari kehilangan darah yang selalu menyebabkan penurunan TD sistolik.
3. Sebagian besar dari pasien ini membutuhkan transfusi darah, namun keputusan
memberikan darah harus didasarkan atas respons awal terhadap pemberian cairan.

Perdarahan Kelas IV (kehilangan >40%)


1. Gejala-gejala mencakup: takikardia dan penurunan TD sistolik mencolok, tekanan
nadi mengecil (atau tekanan diastofik tidak terukur), jumlah urin sedikit atau tidak
ada, status mental depresi (atau kehilangan kesadaran), kulit dingin dan pucat.
2. Jumlah perdarahan ini mengancam jiwa.
3. Pada pasien trauma, perdarahan biasanya dianggap sebagai penyebab syok. Walaupun
demikian, ini harus dibedakan dari sebab-sebab syok lainnya, antara lain:tamponade

20
jantung ( bunyi jantung halus, vena leher distensi), tension pneumothorax (deviasi
trakea, bunyi napas berkurang pada satu sisi), dan trauma medulla spinalis (kulit
hangat, takikardia tidak sebesar yang diduga, defisit neurologis).

II.2 Evaluasi Klinis


Evaluasi klinis pada pasien-pasien yang mengalami perdarahan bertujuan untuk menentukan
seberapa besar kekurangan volume darah dan pengaruhnya terhadap aliran sirkulasi dan
fungsi organ.1,3,4

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


Anamnesis pada pasien dengan syok hemoragik dilakukan untuk mengetahui sebab dan
jumlah darah yang keluar akibat terjadinya perdarahan seperti mekanisme trauma, lama
perdarahan, dan kelainan yang terdapat pada pasien. Selain itu, perlu ditanyakan penanganan
pre rumah sakit terutama pemberian cairan, perubahan tanda vital, dan lama penanganan yang
diberikan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi:
1. Kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan
a. Sumber perdarahan biasanya terlihat
b. Aliran darah kulit kepala banyak dan dapat menghasilkan perdarahan yang signifikan
c. Perdarahan intrakranial terutama pada usia muda
2. Dada
a. Perdarahan rongga toraks dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik
b. Hemotoraks dapat meliputi distres pernapasan, penurunan bunyi napas, dan perkusi
pekak
c. Tension hemothorax
3. Abdomen
a. Perlukaan terhadap hati atau limpa adalah penyebab umum syok perdarahan. Ruptur
spontan aneurisma aorta abdominal dapat juga menyebabkan perdarahan
intraabdominal berat dan syok
b. Darah dapat mengiritasi rongga peritoneal dan dapat menimbulkan nyeri tekan dan
peritonitis
c. Distensi abdominal progresif pada syok perdarahan menjadi temuan pada perdarahan
intraabdominal
4. Pelvis
21
a. Fraktur dapat menyebabkan perdarahan masif
b. Ekimosis pada panggul belakang dapat mengindikasikan perdarahan retroperitoneal
5. Ekstremitas
a. Perdarahan ekstremitas dapat terlihat atau tersembunyi
b. Fraktur femur dapat menyebabkan kehilangan darah signifikan
6. Sistem Saraf
a. Agitasi dapat dilihat pada tahap awal syok perdarahan
b. Penurunan kesadaran dapat timbul apabila terjadi hipoperfusi serebral

Tanda Vital
Takikardi (denyut nadi > 90 kali per menit) sering diasumsikan sebagai hal yang umum
ditemukan pada pasien hipovolemik, namun pada posisi terlentang tidak dtemukan takikardi
pada mayoritas pasien dengan perdarahan sedang hingga berat. Kenyataannya, dapat lebih
sering ditemukan bradikardi pada perdarahan akut. Hipotensi (tekanan darah sistolik < 90
mmHg) pada posisi terlentang juga merupakan penanda perdarahan akut yang tidak sensitif.
Hipotensi umumnya timbul pada hipovolemia tahap lanjut, saat kehilangan darah melebihi
30% dari volume darah total. Metode yang digunakan untuk mengukur tekanan darah
merupakan pertimbangan yang penting pada pasien yang mengalami perdarahan, karena pada
tahap aliran rendah, pengukuran noninvasif sering memberikan nilai rendah yang palsu.
Untuk mendapatkan hasil yang sebenarnya, direkomendasikan pemeriksaan intraarterial
langsung untuk memonitor tekanan darah pada pasien yang mengalami perdarahan.

Hematokrit
Penggunaan hematokrit (dan konsentrasi hemoglobin dalam darah) untuk menentukan
luasnya perdarahan akut cukup sering dilakukan meskipun tidak pada tempatnya. Perubahan
kadar hematokrit tidak terlalu berkorelasi dengan kurangnya volume darah dan eritrosit pada
perdarahan akut. Perdarahan akut meliputi kehilangan whole blood, dengan penurunan yang
proporsional pada volume plasma dan eritrosit. Akibatnya, hematokrit tidak akan berubah
secara signifikan pada periode awal setelah darah hilang. Bila resusitasi volume tidak
dilakukan, pada akhirnya hematokrit akan menurun karena hipovolemia mengaktivasi sistem
renin-angiotensin-aldosteron, sehingga memicu ginjal untuk mempertahankan natrium dan air
dan menambah volume plasma. Proses ini dimulai pada 8 hingga 12 jam setelah perdarahan
akut dan diperlukan beberapa hari untuk benar-benar terbentuk.
22
II.3 Penatalaksanaan Syok Hemorargik
Penatalaksanaan pasien dengan syok hemoragik adalah resusitasi cairan. Selain itu dicari
sumber perdarahan dan dilakukan usaha menghentikan perdarahan yang terjadi. Seperti
halnya resusitasi kasus lain, jalan napas dan pernapasan (airway dan breathing) tetap
diperhatikan.2,5 Kombinasi dari syok dan gagal napas mengakibatkan mortalitas yang sangat
tinggi. Dengan demikian setiap pasien syok harus diberikan oksigen tinggi menggunakan
masker. Bila pernapasan tidak adekuat, intubasi secepatnya dilakukan.
Perdarahan luar yang terlihat segera dikontrol dengan penekanan lokal. Bila usaha
resusitasi menunjukkan kemungkinan perdarahan intraabdominal atau perdarahan intratorakal
yang sedang berlangsung. Pemeriksaan yang rumit seminimal mungkin dilakukan dan usaha
operasi definitif secepatnya dilakukan.

II.4 Dasar Resusitasi Cairan


Keberhasilan dalam penanganan pasien dengan hipovolemi ditentukan oleh penggantian
cairan dengan cepat, di mana angka kematian akibat syok hipovolemik secara langsung
berhubungan dengan derajat dan durasi hipoperfusi organ. Di bawah ini dibahas mengenai
resusitasi cairan dan hal-hal yang berhubungan.4

Kanulasi Vena
Hal yang perlu dipikirkan dalam resusitasi cairan adalah akses pemberian cairan. Pada pasien
dengan trauma multipel berat syok hemoragik, akses vena diperlukan untuk mengembalikan
cairan yang hilang. Faktor yang mempengaruhi akses vena adalah letak anatomis vena,
beratnya cedera pada tubuh serta kemampuan dan pengalaman dokter yang menolong. Akses
vena tidak boleh diberikan pada ekstremitas yang terluka. Jika terdapat cedera pada tubuh
dibawah difragma, akses vena setidaknya pada vena yang berhulu pada vena kave superior.
Pada pasien dengan trauma dada dan abdomen, akses vena diberikan pada satu vena di atas
dan satu vena di bawah diafragma. Kateter yang digunakan sebaiknya yang pendek dengan
diameter yang besar. Terdapat kecenderungan untuk melakukan kanulasi vena sentral untuk
resusitasi karena vena yang lebih besar memungkinkan jumlah cairan masuk lebih banyak.
Walaupun begitu laju volume infus tidak bergantung pada besar vena melainkan pada panjang
kateter vena. Kateter yang digunakan pada kanulasi vena sentral panjangnya bisa mencapai
15-20 cm sementara kateter vena perifer hanya 5 cm saja. Dengan begitu untuk resusitasi

23
cairan pada hipovolemi, kanulasi vena perifer pendek lebih dipilih dibanding kanulasi vena
sentral yang panjang.
Diameter kateter yang besar akan menghasilkan laju yang lebih cepat. Laju yang
sangat cepat dapat dicapai dengan penggunaan kateter introducer. Panjang kateter ini adalah
12,5-15 cm dengan diameter 2,7-3 mm. Kateter introducer umumnya digunakan pada
pemasangan kateter vena sentral tapi alat ini dapat digunakan bila diinginkan laju infus yang
cepat. Dengan gaya gravitasi, laju cairan viskositas rendah bebas sel lewat kateter ini
mencapai 15 ml/detik, sedikit lebih rendah dari kateter vena biasa dengan diameter 3 mm
yaitu 18 ml/detik.
Menurut acuan dari ATLS, pada kasus syok hemoragik, akses vena yang disarankan
adalah dua infus vena dengan diameter besar. Pilihan pertama adalah infus perifer seperti
vena pergelangan tangan dan punggung tangan, pada fosa antekubiti dan vena savena. Tempat
lain yang jarang dipilih adalah vena femoralis dan jugularis. Vena subklavia dan jugular
interna sebaiknya tidak secara rutin diberikan pada syok hipovolemik. Komplikasinya tinggi
dan keberhasilannya rendah karena vena sering kolaps. Akses cairan melalui vena perifer
dapat menjadi sulit pada pasien syok hipovolemik dengan vena yang sudah kolaps, edema,
kegemukan, jaringan parut, riwayat penggunaan obat intravena dan luka bakar. Pada keadaan
tertentu akses vena sentral dengan kateter diameter besar dapat dicoba pada vena femoral
secara perkutan atau vena seksi. Akses vena subklavia menyediakan akses cepat dan aman di
tangan ahli. Komplikasi tersering adalah pneumotoraks. Pneumotoraks terjadi pada paru kiri
karena secara anatomis pleura pada paru kiri lebih tinggi. Komplikasi lainnya seperti
perforasi vena atau arteri atau emboli udara vena. Pada pasien trauma, akses vena jugular
jarang digunakan karena kecurigaan trauma servikal.

Aliran Cairan Resusitasi


Terdapat tiga jenis cairan resusitasi, yaitu:
1. Cairan yang mengandung sel darah merah (whole blood dan konsentrat eritrosit/
packed cells)
2. Cairan yang mengandung molekul-molekul besar yang kemampuan terbatas untuk
keluar dari pembuluh darah (cairan koloid)
3. Cairan yang hanya mengandung elektrolit (natrium dan klorida) dan molekul-molekul
kecil yang dapat keluar masuk pembuluh darah secara bebas (cairan kristaloid)
Laju aliran ketiga jenis cairan resusitasi ini bergantung pada viskositasnya. Cairan yang
mengandung sel darah merah adalah satu-satunya cairan resusitasi yang memiliki viskositas
24
lebih tinggi dari air. Viskositas yang tinggi ini adalah akibat dari kepadatan eritrosit atau
hematokrit. Dengan demikian laju aliran whole blood lebih rendah dari air dan albumin 5%
sementara aliran packed RBCs adalah yang paling lambat. Aliran yang lambat ini dapat
ditingkatkan dengan pemberian tekanan pada kolf darah menggunakan manset. Dapat juga
ditambahkan cairan garam faal pada infus yang dapat menurunkan viskositas darah.
Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pernyataan bahwa laju aliran koloid lebih rendah
dibanding laju aliran cairan kristaloid atau air. Viskositas adalah fungsi dari densitas sel
sehingga laju aliran cairan tanpa sel sama dengan laju aliran air.

II.5 Strategi Resusitasi


Resusitasi yang dilakukan dalam mengatasi syok hemorargik terdrir atas dua tahap yaitu
resusitasi dini (early resuscitation) dan resusitasi lambat (late resuscitation).6 Pembagian
kedua tahapan ini dikarenakan adanya suatu siklus yang menyebabkan resusitasi tidak dapat
dilakukan hanya di awal saja. Ketika terjadi syok hemorargik dan dilakukan resusitasi cairan,
akan terjadi dilusi dari sel darah merah yang akan mengurangi pengantaran oksigen. Hal
tersebut akan menyebabkan hipotermia dan koagulopati. Selain itu, cairan tubuh yang
meningkat akan meningkatkan tekanan darah, dan karena adanya efek reversal dari
vasokonstriksi pembuluh darah akan menyebabkan perdarahan yang semakin banyak
sehingga membutuhkan lebih banyak cairan resusitasi. Pada akhirnya, siklus kenaikan
tekanan darah dalam waktu singkat, perdarahan yang makin banyak, dan kembali ke
hipotensi akan terjadi terus menerus bila resusitasi tidak dilakukan dalam dua tahap.
Resusitasi dini dilakukan ketika perdarahan aktif masih berlangsung pada pasien.
Resusitasi lambat dilakukan setelah seluruh perdarahan dapat dikontrol. Karena dilakukan
pada kondisi yang berbeda, maka tujuan dari kedua resusitasi ini berbeda.
Tujuan dari resusitasi dini adalah:6
- Mempertahankan tekanan darah sistolik pada level 80-100 mmHg.
- Mempertahankan hematokrit 25-30%.
- Mempertahankan PT dan PTT pada kisaran normal.
- Mempertahankan trombosit > 50.000.
- Mempertahankan kalsium terionisasi serum dalam batas normal.
- Mempertahankan suhu > 35C.
- Mempertahankan fungsi oksimetri denyut.
- Mencegah peningkatan serum laktat.

25
- Mencegah perburukan asidosis.
Setelah perdarahan terkontrol, resusitasi akan memasuki fase selanjutnya yaitu fase lambat.
Tujuan dari resusitasi fase lambat adalah: 6
- Mempertahankan tekanan darah sistolik di atas 100 mmHg.
- Memperahankan hematokrit di atas batas transfusi individu.
- Normalisasi status koagulasi.
- Normalisasi keseimbangan elektrolit.
- Normalisasi temperatur tubuh.
- Mengembalikan output urin ke batas normal.
- Maksimalisasi curah jantung dengan metode invasif maupun non invasif.
- Memperbaiki asidosis sistemik.
- Menurunkan laktat ke batas normal.
Pada saat resusitasi fase lambat ini dilakukan, pemberian cairan tetap dilakukan sampai
diyakini sudah terjadi perfusi sistemik yang adekuat.
Tujuan utama penggantian cairan pada kehilangan darah akut adalah mempertahankan
ambilan oksigen (VO2) oleh jaringan dan mempertahankan kelangsungan metabolisme
aerobik.4 Cairan pengganti logikanya sesuai dengan cairan yang keluar atau yang mendekati.
Kontroversi masih terjadi seputar penggunaan cairan kristaloid maupun koloid sebagai
pengembang plasma. Pendukung koloid berpendapat bahwa resusitasi menggunakan koloid
lebih cepat dan aman bagi paru-paru. Sementara pengguna kristaloid berpendapat bahwa
kristaloid lebih tepat menangani syok karena menggantikan cairan intravaskular dan
ekstravaskular (karena pada syok terjadi pengecilan volume cairan ekstraselular). Kristaloid
lebih murah walaupun dibutuhkan volume yang lebih besar (dibutuhkan 2-4 kali cairan
kristaloid agar efek resusitasinya sama dengan koloid). Cairan koloid memiliki efek alergi
lebih sedikit. Walaupun begitu tidak terdapat bukti yang mengharuskan seseorang
menggunakan salah satu cairan. Penggunaan kedua cairan bersama-sama sering digunakan
dalam klinis sehari-hari.
Kehilangan darah akut mempengaruhi dua komponen yaitu curah jantung dan konsentrasi
hemoglobin dalam darah. Dengan begitu resusitasi mencakup bagaimana cara meningkatkan
curah jantung dan mengoreksi kekurangan hemoglobin.

Meningkatkan Curah Jantung

26
Konsekuensi dari curah jantung yang menurun jauh lebih membahayakan dari konsekuensi
anemia, jadi prioritas pertama dalam penatalaksanaan pasien dengan perdarahan adalah
meningkatkan curah jantung.
Cairan resusitasi dan curah jantung
Kemampuan setiap jenis cairan untuk meningkatkan curah jantung dinilai dengan mengukur
dan membandingkan infus whole blood (1 unit = 450 ml), packed cells (2 unit = 500 ml),
dextran-40 (500 ml). Didapatkan efek infus ketiga cairan ini selama satu jam dalam
meningkatkan curah jantung adalah sama. Sedangkan kemampuan cairan Ringer laktat (1 L)
adalah dua kali cairan lainnya. Bila dibandingkan volume per volume maka cairan koloid
adalah yang paling efektif. Koloid dua kali lebih efektif dibanding whole blood, enam kali
lebih efektif dari packed cells dan delapan kali lebih efektif dibanding cairan kristaloid (RL).
Kemampuan darah yang terbatas untuk meningkatkan curah jantung adalah karena efek
viskositas darah. Jika peningkatan curah jantung adalah prioritas pertama dalam
penatalaksanaan perdarahan akut maka darah bukanlah cairan yang dipilih sebagai terapi
awal resusitasi cairan.
Cairan koloid dan kristaloid
Kedua jenis cairan ini memiliki viskositas mendekati air karena keduanya tidak mengandung
sel. Perbedaan keduanya adalah pada distribusi volume cairannya. Cairan kristaloid tersusun
atas natrium yang terdistribusi merata pada cairan ekstraselular. Plasma darah mewakili 20%
cairan ekstraselular sehingga cairan kristaloid yang mengisi pembuluh darah hanya 20%
cairan yang masuk. Delapan puluh persen sisanya akan keluar ke cairan interstisial. Cairan
koloid di lain pihak akan menambah volume plasma karena molekul koloid yang besar tidak
dengan mudah keluar pembuluh darah. Sekitar 75 atau 80% cairan infus koloid akan tetap
berada di ruang vaskular dan menambah volume plasma paling tidak pada jam-jam awal
infus. Peningkatan curah jantung adalah efek dari peningkatan preload (peningkatan volume
darah) dan efek penurunan afterload (efek dilusi dari viskositas darah). Berikut poin penting
dalam resusitasi cairan:
Cairan koloid lebih efektif dari whole blood, packed cells dan cairan kristaloid untuk
meningkatkan curah jantung
Konsentrat eritrosit relatif tidak efektif untuk meningkatkan curah jantung sehingga
sebaiknya tidak digunakan sendirian pada resusitasi
Cairan koloid menambah volume plasma sementara cairan kristaloid menambah
volume interstisial

27
Untuk mendapatkan efek yang sama pada curah jantung, volume infus cairan
kristaloid setidaknya tiga kali lebih banyak dari volume infus cairan koloid

Memperkirakan volume cairan total


Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Memperkirakan jumlah volume darah normal. Caranya adalah dengan menghitung berat
badan dikali 66 ml (laki-laki) atau 60 ml (perempuan).
Memperkirakan jumlah darah yang keluar. Kelas I bila kehilangan darah < 15% volume
darah, kelas II bila kehilangan darah 15-30% volume darah, kelas III bila kehilangan
darah 30-40% dan kelas IV bila kehilangan darah lebih dari 40% volume darah.
Menghitung defisit volume dengan mengkalikan volume darah normal dikali %
kehilangan darah
Menghitung jumlah cairan untuk masing-masing jenis cairan yang dibutuhkan dengan
anggapan bahwa peningkatan volume darah adalah 100% volume infus whole blood, 50-
75% volume infus cairan koloid dan 20-25% volume infus cairan kristaloid. Volume
resusitasi setiap cairan dihitung dari defisit volume dibagi persen retensi cairan. Sebagai
contoh jika defisit volume 2 L dan cairan resusitasi yang digunakan adalah koloid (50-
75% tertahan di intra vaskular) maka volume resusitasi adalah 2/0,75 = 3 L hingga 2/0,5 =
4 L cairan koloid.
Tabel 4. Estimasi Volume Resusitasi
Tahapan Determinasi Jumlah Volume
1. Estimasi volume darah normal (BV) BV = 66mL/kg ()
= 60 mL/kg ()
2. Estimasi % volume darah yang hilang Kelas I: < 15%
Kelas II: 15-30%
Kelas III: 30-40%
Kelas IV: > 40%
3. Kalkulasi defisit volume (VD) VD = BV x % BV yang hilang
4. Determinasi volume resusitasi (RV) RV = VD x 1 (koloid)
= VD x 3 (kristaloid)
Setelah volume penggantian total dihitung, kecepatan penggantian cairan dihitung
berdasarkan kondisi klinis pasien.

Pemantauan Resusitasi

28
Selama resusitasi perlu dipantau laju jantung, tekanan darah, frekuensi napas, urin yang
keluar, status mental dan suhu tubuh. Vena sentral dapat digunakan untuk memantau preload
pada ventrikel kanan. Pemeriksaan laboratorium rutin termasuk diantaranya gas darah,
elektrolit dan keseimbangan asam basa, fungsi hati dan ginjal, gula darah, hematologi dan
koagulasi rutin. Kadar laktat cukup sering digunakan untuk mengetahui efektivitas dukungan
kardiovaskular.

II.6. Transfusi Darah


Tujuan dasar pemberian transfusi darah adalah oksigenasi jairngan tubuh. Dengan
meningkatkan nilai Hb maka kapasitas pengangkutan oksigen ikut meningkat. Keadaan itu
menjamin suplai oksigen ke jaringan yang mengalami hipoksia.

Rekomendasi transfusi sel darah merah9


1. Transfusi sel darah merah hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb <7g/dl, terutama
pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimtomatik dan/atau
penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah
dapat diterima. (Rekomendasi A)
2. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan
hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium.
(Rekomendasi C)
3. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb 10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu,
misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transpor oksigen lebih tinggi
(contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung iskemik berat).
(Rekomendasi A)
4. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb 11 g/dl;
bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dl (seperti pada anemia
bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang
membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi transfusi adalah Hb 13
g/dl. (Rekomendasi C)

Rekomendasi transfusi trombosit9


1. Mengatasi perdarahan pada pasien dengan trombositopenia bila hitung trombosit
<50.000/l, bila terdapat perdarahan mikrovaskular difus batasnya menjadi

29
<100.000/l. Pada kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada penatalaksanaan
masing-masing. (Rekomendasi C)
2. Profilaksis dilakukan bila hitung trombosit <50.000/lpada pasien yang akan
menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif.
(Rekomendasi C)
3. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang mengalami perdarahan. (Rekomendasi
C)

Rekomendasi transfusi plasma beku segar (fresh frozen plasma)9


1. Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibisi koagulasi baik yang
didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi.
(Rekomendasi C)
2. Netralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat perdarahan yang
mengancam nyawa. (Rekomendasi C)
3. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfuse
masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati.
(Rekomendasi C)

Rekomendasi transfusi kriopresipitat9


1. Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani prosedur
invasif dan terapi pada pasien yang mengalami perdarahan. (Rekomendasi C)
2. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan
atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani
operasi. (Rekomendasi C)

Algoritma Transfusi Darah Perioperatif10


1. Evaluasi preoperatif
Evaluasi preoperatif menilai riwayat kesehatan/penyakit sebelumnya, melakukan
pemeriksaan fisik dan menanyakan faktor risiko pasien, misalnya penyakit kardiorespirasi
atau koagulopati. Pada koagulopati, pemakaian warfarin, clopidogrel, dan aspirin dapat
mempengaruhi komponen darah transfusi. Selain itu, evalusai preoperatif juga perlu
menilai adanya penyakit darah kongenital atau didapat, penggunaan vitamin atau
suplemen herbal yang dapat mengganggu koagulasi, serta pemakaian obat seperti

30
aprotinin yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Pasien perlu diberi tahu (informed
consent) terhadap segala risiko atau komplikasi yang timbul akibat reaksi transfusi.
a. Anamnesis
Mengkaji riwayat kesehatan/penyakit pasien
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Kondisi pasien
b. Tes laboratorium
Hb atau Ht
Profil koagulasi
2. Persiapan preoperatif
a. Langkah-langkah untuk mencegah perdarahan
Menghentikan antikoagulasi
Menunda operasi sampai efek obat yang sebelumnya diminum (warfarin,
clopidrogel, aspirin) menurun
b. Mencegah/mengurangi jumlah darah transfusi allogenik
Obat untuk mencegah anemia perioperatif (eritropoietin dan vitamin K)
Mempersiapkan darah autolog
Obat untuk merangsang koagulasi dan meminimalkan perdarahan (aprotinin, -
asam aminokaproat, asam traneksamat)
3. Intervensi intraoperatif dan postoperatif
a. Transfusi sel darah merah
Memantau perfusi dan oksigenasi (tekanan darah, frekuensi nadi, suhu, dan
saturasi oksigen). Echokardiografi bila memungkinkan.
Memantau indikasi transfusi (apakah ada iskemia jantung, Hb, Ht, profil
koagulasi)
Transfusi dilakukan bila Hb <6 g/dl. Tidak diberikan bila Hb masih >10 g/dl. Bila
Hb antara 6-10 g/dl, menentukan perlu tidaknya transfusi adalah dengan melihat
apakah ada organ iskemia, potensi perdarahan berlanjut, status volume
intravaskular pasien, dan faktor risiko komplikasi terhadap oksigenasi inadekuat.
Transfusi eritrosit allogenik
Transfusi darah autolog
b. Tatalaksana koagulopati

31
Menilai lapangan pembedahan dan monitoring laboratorium terhadap tanda
koagulopati. Lapangan pembedahan perlu dinilai bersamaan antara dokter bedah dan
anestesiologis, apakah terjadi perdarahan mikrovaskular yang masif. Penilaian
perdarahan masif perlu juga dinilai dari darah suction, spons, dan drainase.
Laboratorium: trombosit, PT dan APTT. Tes lain adalah kadar fibrinogen, fungsi
trombosit, tromboelastogram, D-dimer, dan thrombin time.
Transfusi trombosit
Transfusi trombosit jarang diindikasikan bila trombosit >100 x 10 9/l dan baru
diberikan bila <50 x 109/l. Indikasi lain adalah bila didapatkan disfungsi
trombosit. Pada kasus trombositopenia yang terjadi karena dekstruksi trombosit
seperti heparin-induced thrombocytopenia, idiopathic thrombocytopenic purpura,
thrombotic thrombocytopenic purpura, transfusi trombosit profilaksis tidak
efektif.
Transfusi FFP
Bila mungkin, uji koagulasi (PT dan APTT) dilakukan sebelum memberikan FFP.
Transfusi FFP tidak diberikan bila PT dan APTT normal serta tidak diindikasikan
untuk meningkatkan volume plasma. Indikasi FFP adalah (1) perdarahan
mikrovaskular masif (koagulopati) dengan PT >1,5 kali, INR >2 kali, atau APTT
>2 kali dari normal; (2) perdarahan mikrovaskular masif akibat sekunder dari
defisiensi faktor koagulasi atau ketika PT/APTT tidak dapat diperiksa pada saat
itu; (3) penghentian tiba-tiba terapi warfarin; (4) diketahuinya faktor koagulasi
yang mengalami defisiensi tetapi komponen transfusi tersebut tidak tersedia; (5)
resistensi heparin (defisiensi antitrombin III) pada pasien yang memerlukan
heparin.
Transfusi kriopresipitat
Sebelum memberikan kriopresipitat, kadar fibrinogen perlu diperiksa. Transfusi
kriopresipitat jarang diindikasikan bila kadar fibrinogen >150 mg/dl. Indikasi (1)
kadar fibrinogen <80-100 mg/dl dengan perdarahan mikrovaskular masif, (2)
defisiensi fibrinogen kongenital. Satu unit kriopresipitat mengandung 150-250 mg
fibrinogen. Satu unit FFP mengandung 2-4 mg fibrinogen/ml. Oleh karena itu,
satu unit FFP memberikan jumlah fibrinogen yang sama dengan 2 unit
kriopresipitat.

32
Obat untuk mengurangi perdarahan masif (desmopresin, atau hemostatik topikal
seperti lem fibrin, gel trombin)

33
BAB III
ILUSTRASI KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. Sukinem
Usia : 41 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Kesehatan RT 003/ 06 Pamulang Tangerang Banten
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga negara : Indonesia
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Nomor RM : 00604745
Masuk IGD RSF : 08 Novemer 2008 pukul 03.30

II. Riwayat Pemeriksaan Rawat Darurat


Anamnesis
Keluhan Utama:
Rujujukan bidan perdarahan pervaginam sejak 2,5 jam SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:


Perdarahan pervaginam 1 kain merah segar sejak 2,5 jam SMRS, mules (-), nyeri
(+), air (-), USG (-), ANC di bidan.

Riwayat Haid:
Menarche : 16 tahun Siklus: 28 hari

Riwayat Perkawinan:
Kawin : 1 kali Usia perkawinan : 19 tahun

Riwayat Penyakit Dahulu


PEB anak ke-10

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keterangan
34
Pemeriksaan Fisik
Umum
Keadaan umum : buruk
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 80/50 mmHg
Nadi : 120 X/menit, regular
Pernapasan : 22 X/menit

Status generalis
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Jantung : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : membuncit sesuai kehamilan
Ekstremitas : akral dingin +/+

Status ginekologi
TFU : 28 cm
His : kontraksi tertarik
DJJ :-
Inspeksi : tampak perdarahan pervaginam
VT : porsio kaku belakang, teraba 2 cm, diameter 1 cm, selaput (+), kepala H1
USG : H26 mgg, IUFD, solusio plasenta

Daftar Masalah
Syok hipovolemik e.c. HAP e.c. solusio plasenta pada G11P10A0H26mgg
IUFD
Belum inpartu

Rencana Terapi
Pemeriksaan DPL, GDS, BT, CT, AGD, elektrolit
DPL hemostasis
Cross match
Observasi tanda vital/ 15 menit
Observasi perdarahan pervaginam
Resusitasi cairan: pasang IV line (3 line)

35
Pasang FC monitoring cairan
Transfusi PRC sampai Hb 10 g/dL
Transfusi FFP 10 kantung
Evaluasi/ terminasi pedarahan: histerektomi

Hasil Laboratorium
08 November 2008 (4: 41: 12 am)

36
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
- Hemoglobin - 11.7-15.5 g/dl
4.2
- Hematokrit - 33 45 %
- Leukosit 14 - 5-10 ribu/ul
- Trombosit 17.7 - 150-440 ribu/ul
- Eritrosit - 3.8-5.2 juta/ul
VER/HER/KHER/RDW 231
- VER 19.7 - 80-100 fl
- HER - 26-34 pg
- AHER - 32-36 gr/dL
- RDW 71.6 - 11.5-14.5 %
- Masa perdarahan 21.6 - 1.0 3.0 menit
- Masa pembekuan - 2.0 6.0 menit
Hemostasis 29.8
- APTT 16.4 - 29.0 40.2 detik
- PT - 10.4 12.6 detik
- Fibrinogen >10 - 200 400 mg/ml
- D-dimer 10 - < 200 mg/ml
Kimia klinik
Fungsi hati
- SGOT 152 - 0-34 Ul
- SGPT - 0-40 U/l
98
- Protein total - 6-8 g/dl
- Albumin 93 - 3,40 4,86 g/dl
- Globulin >800 - 2,50 3,00 g.dl
Fungsi ginjal
- Ureum darah - 20 40 mg/dl
- Creatinin - 0,6 1,5 mg/dl
Diabetes
Glukosa sewaktu 28
- Glukosa darah sewaktu 18 - 70 140
Gas darah
4.16
- pH - 4,8 7,4
- PCO2 2.02 - 35 45
- PO2 2.13 - 75 100
- Suhu -

- FIO2 -

- BP 18 -

- HCO3 - 24 - 28
O2 Sturasi 0.6 75 - 100
- -

- BE - -2,5 2,5
- Total CO2 - 19.0 24.0 mmol
Elektrolit
- Na 104 - 135-147 mmol/l
- K - 3.1-5.1
- Cl - 95-108 mmol/l
- Urin 7.465 - <1
- Protein urin 25.4 - Negative
- Berat jenis - 1.003-1.030
186.4
- Bilirubin - Negative
- Keton 37 - Negative
- Nitrit - Negative
21
- pH - 4.8 7.4
- Lekosit 750 mmHg - Negative 37
- Darah/ Hb 18 - Negative
- Glukosa - Negative
Warna 99.4 Kuning
- -
III. Riwayat Masuk OK CITO
Pasien diantar dari IGD RSUP Fatmawati ke OK CITO pada jam 06.10 masih
dalam keadaan syok dan terpasang PRC, pernapasan dibantu dengan nasal kanul.

Pemeriksaan Fisik
Umum
Keadaan umum : buruk
Kesadaran : apatis
Tekanan darah : 79/46 mmHg
Nadi : 113 X/menit, reguler
Pernapasan : 18 X/menit

Status generalis
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Jantung : bunyi jantung I-II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen : membuncit sesuai kehamilan
Ekstremitas : akral dingin +/+
.
Daftar Masalah
Syok hipovolemik e.c. HAP e.c. solusio plasenta pada G11P10A0H26mgg
IUFD
Pasien dikategoikan ke dalam ASA 3E dengan syok hipovolemik

38
Rencana terapi
Atasi syok dengan resusitasi cairan
Tentukan jenis anestesi yang sesuai
SC dengan histerektomi
Post op rawat di ICU

Resusitasi cairan pre operatif


Untuk mengembalikan kehilangan cairan pada pasien perlu dilakukan pemberian
cairan dengan cepat. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbanyak akses vena,
menggunakan ukuran jarum yang lebih besar, dan menggunakan kanul vena yang
lebih pendek, akses vena terpasang 3 line di tangan kanan, tangan kiri, dan kaki
kanan.

Pemberian cairan kristaloid: Ringer Laktat 500 cc dengan cara diguyur selama 10
menit.Pemberian cairan koloid: PRC 200 cc dan gelofusin 250 cc selama 10 menit.
Setelah resusitasi selama 10 menit tekanan darah meningkat dari 79/46 mmHg
95/50 mmHg. Produksi urin sedikit sekali. Untuk membantu meningkatkan tekanan
darah pasien diberi ephedrine 30 mg IV.

Tindakan anestesi dan monitoring intraoperatif


Setelah resusitasi cairan dan ada peningkatan tekanan darah diuputuskan untuk
dilakukan regional anesthesia dengan menggunakan Marcain 20 mg dengan
pemnatauan. Akan tetapi pasca pemberian marcain tekanan darah OS menurun
kembali sehingga dilakukan general anesthesia, induksi dengan ketamin, relaksasi
dengan esmeron, kemudian dipasang ETT kingking no. 7,5, cuff (+), guedel (+) untuk
oksigenisasi yang lebih adekuat, maintenance dengan isoflurane.

Selain itu, untuk mencegah hilangnya cairan lebih lanjut, juga diperlukan penghentian
perdarahan. Pemberian cairan pada pasien dapat berupa kristaloid atau koloid. Pada
pasien, digunakan cairan Ringer Laktat, Asering dan Gelofusin.

Jumlah cairan yang diberikan dihitung dengan lebih dulu menentukan jumlah volume
darah pasien. Hal ini bisa didapat dengan mengalikan 70 (berat badan pasien) dengan
60 (perkiraan jumlah darah wanita per kilogram), sehingga didapatkan 4200 ml.
Kemudian, ditentukan jumlah darah yang hilang. Pada pasien ini, diperkirakan jumlah
39
darah yang hilang sekitar 36 persen. Jadi, dalam mililiter jumlah darah yang hilang
adalah 1500 ml. Dengan demikian, jumlah cairan kristaloid yang diberikan
seharusnya tiga kali volume darah yang hilang yaitu 4500 ml. Sedangkan koloid yang
diberikan sebanyak satu kali volume darah yang hilang yaitu 1500 ml. Pada pasien
ini, diberikan 2800 ml kristaloid, 500 ml koloid, 600 ml PRC, dan FFP 1000 ml.

Untuk menghentikan perdarahan, pada pasien dilakukan SC (histerektomi).


Kehilangan darah yang diperbolehkan dalam operasi adalah 20% dari perkiraan
jumlah darah yaitu 840 ml. Jumlah ini masih ditambah lagi dengan urin yang
dikeluarkan selama operasi sebesar 500 ml. Perdarahan yang terjadi selama operasi
1500 ml.

Pada pasien ini, diberikan transfusi darah berupa PRC. Pemberian darah dilakukan
untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen, terutama ke daerah yang
mengalami hipoksia. Pada pasien ini, transfusi didasarkan atas kadar hemoglobin
yang sebesar 4.2 g/dl. Transfusi yang dilakukan menggunakan PRC daripada whole
blood mengingat sifatnya yang lebih aman.

Setelah dilakukan resusitasi cairan dengan baik, makan keadaan hemodinamik pasien
cukup stabil, dilihat dari perubahan tekanan darah, nadi, saturasi oksigen dan produksi
urin.

Keadaan post operasi


Tekanan darah : 105/57 mmHg
Nadi : 75 X/menit, reguler
Sianosis : (+)
Refleks : (-)/(-)
Muntah : (-)
Diagnosis post op : PEB, DIC, hipoalbumin
Pasien diantar ke ICU

40
41

Anda mungkin juga menyukai