DEFINISI
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai
adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh.
Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan.( Lamont, David E, DO ;2006 )
ETIOLOGI
Penyebab LES tidak diketahui walaupun penyakit ini sering terjadi pada orang-orang dengan
kecenderungan mengidap penyakit autoimun. Kecenderungan terjadinya LES dapat berhubungan
dengan perubahan gen MCH spesifik dan bagaimana antigen sendiri ditunjukkan dan dikenali. Resiko
meningkat 2550% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya
dengan faktor genetik. Wanita ebih cenderung mengalami LES dibandingkan dengan pria, karena
peran hormon seks. LES dapat dicetuskan oleh stres, sering berkaitan dengan kehamilan atau
menyusui. Pada beberapa orang, pajanan radiasi ultraviolet yang berlebihan dapat mencetuskan
penyakit. Penyakit ini dapat bersifat ringan hingga menyebabkan kematian.
GAMBARAN KLINIS
Polialtralgia ( nyeri sendi) dan arthitis (peradangan sendi)
Demam akibat peradangna kronik
Ruam wajah dalam polamalar (seperti kupu-kupu) di pipi dan hidung.
Lesi dan kebiruan di ujung jari akibat buruknya aliran darah dan hipoksia kronik
Sklerosis (pengencangan atau pengerasan) kulit jari tangan
Luka di selaput lendir mulut atau faring (sariawan)
Lesi berskuama di kepala , leher dan punggung
Edema mata dan kaki mungkin mencerminkan keterlibatan ginjal dan hipertensi
Anemia, kelelahan kronik, infeksi berulangm dan perdarahan sering terjadi karen aserangan
terhadap sel darah merah dan putih serta trombosit
PATOFISIOLOGI
Stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen presenting cells (APCs)
dapat berasal dari luar seperti bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, dan dapat
berasal dari dalam yaitu protein DNA atau RNA. Stimulus ini menyebabkan terjadinya
aktifasi sel B dan sel T. Karena terdapat antibodi antilimfosit T, menyebabkan
terjadinya limfositopenia sel T dan terjadi hiperaktifitas sel B. peningkatan sel B yang
teraktifasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia.
Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ (helper).
CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi
CD8+ (Isenberg and Horsfalli, 1998). Berkurangnya jumlah sel T juga menyebabkan
berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai pada CD8+ juga berkurang
dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya
kedua subset sel T yang disebut double negatif (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan
sekresi autoantibodi (Mok and Lau, 2003). Proses autoantibodi terjadi melalui 3
mekanisme yaitu :
1) Kompleks imun terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan
komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan.
2) Autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak
dalam jaringan, komplemen akan teraktifasi dan terjadi kerusakan jaringan.
3) Autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktifasi komplemen
yang berperan dalam kematian sel (Epstein, 1998).
Mengaktifkan komplemen
Melepaskan enzim protease dan bahan toksik yang berasal dari metabolisme oksigen
dan arginin (oksigen radikal bebas)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Antibodi antinukleus tampak pada sekurang-kurangnya 95% penderita LES, namun dapat terjadi
pada non penderita
Antibodi terhadap DNA untai ganda adalah diagnostik LES
Protein pada urine sebagai tanda kerusakan ginjal
Antibodi antineuron dapat terjadi
PENATALAKSANAAN
1. Secara Umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis.
Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita
tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Bila
penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka
dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi
dan imunosupresan lainnya. Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE.
Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan
mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh.
Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain (Sukmana,2004):
a. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus
mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena
penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi
pengobatan dan emotional stress. Upaya mengurangi kelelahan di samping
pemberian obat ialah: cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah
gaya hidup.
b. Hindari merokok
Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita
perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat
fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan
yang terkandung pada sigaret/rokok.
c. Cuaca
Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya
ada dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan
keluhan artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan
mempengaruhi proses inflamasi.
d. Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik
dapat mempengaruhi sistem imun melalui: penurunan respons mitogen limfosit,
menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural
Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan
trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya
beberapa peneliti sependapat bahwa stress dan trauma fisik sebaiknya dikurangi
atau dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya.
e. Diet
Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang berimbang
dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
minyak ikan (fish oil) yang mengandung eicosapentanoic acid dan
docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-
lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita
dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali
normal.
f. Sinar matahari (sinar ultra violet)
Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari
tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik.
Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga
semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada
waktu-waktu tersebut.
g. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat
LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya.
Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan
menggunakan obat yang mengandung estrogen.
2. Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul. Pada keluhan
yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid
namun tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem
gastrointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, dengan pemeriksaan kreatinin
serum secara berkala. Pemberian kortikosteroid dosis rendah 15 mg, setiap pagi.
Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian besar sunscreen
topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,
benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B atau
steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan triamsinolon
asetonid.
3. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5 mg/kgBB/hari,
sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5
mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB
selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis tinggi,
kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.
Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut :
b. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai bersama
kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
c. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik ringan SLE
d. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi imun.
e. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk mengendalikan
gejala artritis.
f. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort ) atau
triamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
g. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria, seperti
hidroksikolorokuin sulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang membandel.
h. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan mencegah
eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius yang berhubungan
dengan sistem organ yang penting, seperti pleuritis, perikarditis, nefritis lupus,
faskulitis dan gangguan pada SSP. (Kowalak, Welsh, Mayer . 2002).
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik bisa terjadi pada wanita maupun pria,
namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan perbandingan wanita dan
pria 8 : 1.
b. Biasa ditemukan pada ras-ras tertentu seperti Negro, Cina, dan Filiphina.
c. Lebih sering pada usia 20-40 tahun, yaitu pada usia produktif.
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit ini.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas,
anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu, apakah pernah menderita penyakit ginjal
atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya ruam malar-
fotosensitif, ruam diskoid-bintik-bintik eritematosa menimbul, Artralgia/arthritis,
demam, kelelahan, nyeri dada pleuritik, perikarditis, bengkak pada pergelangan
kaki, kejang, ulkus dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. keluhan-keluhan lain yang menyertai.
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan Klorpromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid, dilantin, penisilamin, dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami penyakit yang sama
atau penyakit autoimun yang lain.
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis
B1 ( Breath )
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan otot nafas
tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales, ronchii), nyeri saat inspirasi, produksi
sputum, reaksi alergi . Patut dicurigai terjadi pleuritis atau efusi pleura. .
B2 ( Blood )
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada, suara jantung ( S1,S2,S3), bunyi systolic
click ( ejeksi click pulmonal dan aorta ), bunyi mur-mur. Friction rub perikardium
yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan
vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan
bawah atau sisi lateral tangan
B3 ( Brain )
Mengukur tingkat kesadaran ( efek dari hipoksia ) Glasgow Coma Scale secara
kuantitatif dan respon otak ; compos mentis sampai coma (kualitatif), orientasi klien.
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang
B4 ( Bladder )
Pengukuran urine tampung ( menilai fungsi ginjal ), warna urine (menilai filtrasi
glomelorus),
B5 ( Bowel )
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan., turgor kulit.
Nyeri perut, nyeri tekan, apakah ada hepatomegali, pembesaran limpa.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan proses penyakit.
Nyeri berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan pada penampilan fisik.
Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan kulit, leukopenia, penurunan hemoglobin
Intoleransi aktivitas fisik berhubungan dengan kelemahan atau keletihan akibat anemia.
INTERVENSI
DO:
- Gangguan pada bagian tubuh
- Kerusakan lapisa kulit (dermis)
- Gangguan permukaan kulit
(epidermis)
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2004. LupusEritematosus Hal 246 - 249 Edisi ketiga,
Noer, Sjaifoellah. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3. Jakarta : Balai
penerbit FKUI
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. Jakarta : EGC
Engram, Barbara. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Vol 2. Jakarta: EGC
Oehadian, Amaylia. 2008. Kelainan darah pada lupus eritematosus sistemik. Fakultas
Oleh :
Cicilia Endah Purbawati
1350702091111010
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014