Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

a. LATAR BELAKANG
Ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah
(mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat
kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat
kepadaNya. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan
sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai
ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya
pada syi'ar-syi'ar yang biasa dikenal.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah
(takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir,
tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati).
Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati).
Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan
badan. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia.
Berbicara tentang fiqih ibadah pasti kita tidak akan pernah terlepas dari pendapat 4 imam
besar kaum muslimin yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam SyafiI, dan Imam Hambali. Ke
empat Imam tersebut sering juga dikenal dengan 4 Mahzab.

b. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan ibadah ?
2. Apa sajakah macam-macam ibadah ?
3. Apa tujuan ibadah ?
4. Bagaimana biografi empat mahzab yang terkenal dalam fiqih ibadah?
5. Apa yang menyebabkan terjadinya khilafiyah antar Mahzab?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. IBADAH
1. Pengertian
Menurut bahasa kata ibadah berarti patuh , tunduk. Ubudyah artinya tunduk dan
merendahkan diri. Menurut Alazhari, kata ibadah tidak dapat disebutkan kecuali untuk
kepatuhan kepada Allah.
Dalam istilah syara pengertian ibadah dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
1. Jurjani mengatakan ;
Ibadah ialah perbuatan yang dilakukan oleh mukallaf , tidak menurut hawa nafsunya,
untuk memuliakan Tuhanmu.
2. Menurut ibn katsir :
Himpunan cinta, ketundukan, dan rasa takut yang sempurna.
3. Menurut ibn taimiyah :
Didalam kitabnya al-ubudiyah , memberikan penjelasan yang cukup luas tentang
pengertian ibadah. Pada dasarnya ibadah berarti merendahkan diri (al-dzull). Akan tetapi
, ibadah yang diperintahkan dalam agama itu bukan sekedar ketaatan atau perendahan
diri kepada Allah. Ibadah mengandung pengertian al-dzull dan hubb, dalam tingkatannya
yang paling sempurna patuh kepada seseorang tetapi tidak mencintainya, tidak disebut
ibadah ; cinta tanpa kepatuhanpun bukan ibadah. Jadi cinta atau patuh saja belum cukup
untuk mewujudkan pengertian ibadah. Seseorang belum dapat dikatakan beribadah
kepada Allah kecuali apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya kepada apapundan
memuliakan-Nya lebih dari segala yang lain-Nya bahkan ia harus meyakini tidak ada yang
berhak atas cinta dan kepatuhan yang sempurna kecuali Allah.
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk.
Di dalam syara', ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu.
Definisi itu antara lain adalah :
1. Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para
rasulNya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu tingkatan
tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
3. Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah
Subhannahu wa Ta'ala , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin.
Ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap.
Ibadah (mahdhah) ditujukan untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan Allah,
agar kita memiliki keimanan yang benar, lurus dan kuat, jauh sirik , khurafat, tahayul dan
perdukunan serta agar kehidupan kita terjaga dari berbagai hal yang merusak, menyesatkan,
mencelakakan, dan mendapatkan ketenangan batin/hati.
sesengguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa sirik, dan mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barang siapa yang mempersukutukan
Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar . ( An-Nissa : 48 ).

2. Macam-Macam Ibadah
Manusia diciptakan agar mereka mengenal dan menyembah Allah SWT .

2
Firman Allah SWT :
Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar supaya mereka menyembah-
Ku.(Q.S. Adz-Dzaariyaat : 56).

Allah Subhannahu wa Ta'ala memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan manusia


adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala. Dan Allah
Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang
membutuhkannya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka
menyembahNya sesuai dengan aturan syari'atNya.
Dengan demikian islam telah menjadikan ibadah sebagai perintah pertama yang harus
ditunaikan oleh manusia, hanya diperuntukan bagi Allah Taala saja. Rukun islam dan seluruh
ajarannya yang agung itu sesudah mengucapkan dua kalimat shahadat adalah mendirikan
shalat, puasa ramadhan, membayar zakat, dan berhaji ke baitul haram, kesemuanya itu
merupakan cermin dari macam-macam ibadah yang dilaksanakan dengan niat semata-mata
karena Allah Taala.
Macam-macam ibadah sebagai mana telah di syariatkan dalam islam, antara lain :
1. Ibadah yang dilaksanakan seorang muslim dengan anggota badannya, seperti : shalat
dan puasa. Ibadah ini dikenal dengan sebutan ibadah badaniyah.
2. Ibadah yang dilaksanakan seorang muslim dengan cara mengeluarkan sebagian harta
kekayaannya, seperti : zakat dan sedekah. Ibadah ini dikenal dengan sebutan ibadah
maliah.
3. Ibadah badaniyah dan ibadah maliah secara bersamaan, seperti : haji dan umroh.
4. Ibadah yang tercermin dalam pekerjaan, seperti : shalat, zakat dan haji.
5. Ibadah yang tercermin dalam sikap meninggalkan dan menahan diri, seperti : puasa.

Namun demikian ibadah yang tercermin dalam sikap meninggalkan dan menahan diri
ini bukan sesuatu yang bersifat negative. Dan yang menjadikan sikap demikian mempunyai
nilai ibadah adalah dikarenakan seorang muslim melakukan hal itu atas dasar kehendak dan
pilihannya dengan motif (niat) mendekatkan diri kepada Allah Taala. Maka oleh karenanya
tindakan jasmani dan rohani bersifat positif yang mempunyai nilai positif pula dalam neraca
timbangan amal.
Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah
(mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat
kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat
kepadaNya. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan
sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai
ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada
syi'ar-syi'ar yang biasa dikenal.
Seluruh rangkaian ibadah ritual yang kita lakukan apapun bentuknya , apakah itu
shalat kita yang 5 waktu sehari semalam, puasa kita dibulan suci ramadlan, atau zakat, infaq,
shadaqoh yang kita keluarkan, bahkan ibadah haji yang seumur hidup satu kali itu, didalam
islam, kedudukan ibadah ibadah makhdloh tersebut tidak lebih hanyalah sebagai Alat (media)
yang hendaknya mampu mengantarkan kita kepada tujuan yang sebenarnya, singkatnya,
ibadah itu bukan tujuan, ibadah itu bukan akhir segalanya.

3
3. Tujuan Ibadah
Para ulama kita, para pakar agama yang kompeten dibidangnya merumuskan, minimal
ada 2 tujuan yaitu :
1. Takhliyyah / tazkiyatul qolbi yakni kebersihan hati, maksudnya adalah, Ibadah yang kita
lakukan, shalat, puasa, Haji, dan lain sebagainya. Hendaknya itu semua mampu
membersihkan diri kita dari berbagai macam penyakit hati, mampu mensucikan diri kita
dari kotoran jiwa, dari virus virus qolbu yang sangat berbahaya dalam kehidupan.
diharapkan dengan rajinnya kita shalat maka bersihlah hati kita dari sifat sombong,
dengan seringnya kita puasa maka hilanglah penyakit serakahnya, dengan banyaknya
berzakat / shadaqoh berkuranglah bakhil, kikir dan pelit dalam hati kita.
2. Tahliyyah. tujuan dari pelaksanaan ibadah kita adalah, hiasan Akhlaq dan budi pekerti.
pesan moralnya adalah, Ibadah yang kita lakukan harus mampu menumbuh kembangkan
sikap dan perilaku yang baik dalam kehidupan. semestinya, dengan sering dan rajinnya
kita shalat, maka muncullah ketawadhuan dalam pergaulan, dengan seringnya kita puasa,
maka tumbuhlah sifat pemaaf kita, tambah sayang kepada fakir miskin, dst.

B. Mahzab Dalam Fiqih Ibadah


1. Biografi
a. IMAM ABU HANIFAH (80-150H/699-767M)
Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, adalah Abu Hanifah An-Nukman bin Tsabit
bin Zufi At-Tamimi. Beliau masih mempunyai pertalian hubungan kekeluargaan dengan
Imam Ali bin Abi Thalib salmullhi alaihi. Imam Ali salmullhi alaihi bahkan pernah
berdoa bagi Tsabit, yakni agar Allah memberkahi keturunannya. Tak heran, jika kemudian
dari keturunan Tsabit ini, muncul seorang ulama besar seperd Abu Hanifah.
Dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H/699 M, pada masa pemerintahan Al-Qalid bin
Abdul Malik, Abu Hanifah selanjutnya menghabiskan masa kecil dan tumbuh menjadi
dewasa di sana. Sejak ma-sih kanak-kanak, beliau telah mengkaji dan menghafal Al-
Quran. Beliau dengan tekun senantiasa mengulang-ulang bacaannya, sehingga ayat-ayat
suci tersebut tetap terjaga dengan baik dalam ingatannya, sekaligus menjadikan beliau
lebih mendalami makna yang dikandung ayat-ayat tersebut. Dalam hal memperdalam
pengetahuannya tentang Al-Quran beliau sempat berguru kepada Imam Asin, seorang
ulama terkenal pada masa itu.
Selain memperdalam Al-Quran, beliau juga aktif mempelajari ilmu fiqh. Dalam hal ini
kalangan sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Alihi wa Sallam, diantaranya kepada
Anas bin Malik, Abdullah bin Aufa dan Abu Tufail Amir, dan lain sebagainya. Dari mereka,
beliau juga mendalami ilmu hadis.
Keluarga Abu Hanifah sebenarnya adalah keluarga pedagang. Beliau sendiri sempat
terlibat dalam usaha perdagangan, namun hanya sebentar sebelum beliau memusatkan
perhatian pada soal-soal keilmuaan.
Beliau juga dikenal sebagai orang yang sangat tekun dalam mem-pelajari ilmu. Sebagai
gambaran, beliau pernah belajar fiqh kepada ulama yang paling terpandang pada masa
itu, yakni Humad bin Abu Sulaiman, tidak kurang dari 18 tahun lamanya. Setelah wafat
guru-nya, Imam Hanifah kemudian mulai mengajar di banyak majlis ilmu di Kufah.

4
Sepuluh tahun sepeninggal gurunya, yakni pada tahun 130 H. Imam Abu Hanifah pergi
meninggalkan Kufah menuju Makkah. Beliau tinggal beberapa tahun lamanya di sana,
dan di tempat itu pula beliau bertemu dengan salah seorang murid Abdullah bin Abbas
ra.
Semasa hidupnya, Imam Abu Hanifah dikenal sebagai seorang yang sangat dalam
ilmunya, ahli zuhud, sangat tawadhu, dan sangat teguh memegang ajaran agama. Beliau
tidak tertarik kepada jabatan-jabatan resmi kenegaraan, sehingga beliau pernah menolak
tawaran sebagai hakim (Qadhi) yang ditawarkan oleh Al-Mansur. Konon, karena
penolakannya itu beliau kemudian dipenjarakan hingga akhir hayatnya (150 H/767 M).

b. IMAM MALIK BIN ANAS (93-179H/712-795M)


Imam Malik bin Anas, pendiri mazhab Maliki, dilahirkan di Madinah, pada tahun 93 H.
Beliau berasal dari Kablah Yamniah. Sejak kecil beliau telah rajin menghadiri majlis-majlis
ilmu pengetahuan, seliingga sejak kecil itu pula beliau telah hafal Al-Quran. Tak kurang
dari itu, ibundanya sendiri yang mendorong Imam Malik untuk senantiasa giat menuntut
ilmu. Pada mulanya beliau belajar dari Ribiah, seorang ulama yang sangat terkenal pada
waktu itu. Selain itu, beliau juga memperdalam hadis kepada Ibn Syihab, disamping itu
juga mempelajari ilmu fiqh dari para sahabat. Karena ketekunan dan kecerdasannya,
Imam Malik tumbuh sebagai seorang ulama yang terkemuka, terutama dalam bidang
ilmu hadis dan fiqh. Bukti atas hal itu, adalah ucapan Al-Dahlami ketika dia berkata:
Malik adalah orang yang paling ahli dalam bidang hadis di Madinah, yang paling
mengetahui tentang keputusan-keputusan Umar, yang paling mengerti tentang
pendapat-pendapat Abdullah bin Umar, Aisyah, dan sahabat-sahabat mereka, atas dasar
itulah dia memberi fatwa. Apabila diajukan kepada suatu masalah, dia menjelaskan dan
memberi fatwa. Setelah mencapai tingkat yang tinggi dalam bidang ilmu itulah, Imam
Malik mulai mengajar, karena beliau merasa memiliki kewajiban untuk membagi
pengetahuannya kepada orang lain yang membutuhkan. Meski begitu, beliau dikenal
sangat berhati-hati dalam memberi fatwa. Beliau tak lupa untuk terlebih dahulu meneliti
hadis-hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Alihi wa Sallam, dan bermusyawarah
dengan ulama lain, sebelum kemudian mmberikan fatwa atas suatu masalah.
Diriwayatkan, bahwa beliau mempunyai tujuh puluh orang yang biasa diajak
bermusyawarah untuk mengeluarkan suatu fatwa. Imam Malik dikenal mempunyai daya
ingat yang sangat kuat. Pernah, beliau mendengar tiga puluh satu hadis dari Ibn Syihab
tanpa menulisnya. Dan ketika kepadanya diminta mengulangi seluruh hadis tersebut, tak
satu pun dilupakannya. Imam Malik benar-benar mengasah ketajaman daya ingatannya,
terlebih lagi karena pada masa itu masih belum terdapat suatu kumpulan hadis secara
tertulis. Karenanya karunia tersebut sangat menunjang beliau dalam menuntut ilmu.
Selain itu, beliau dikenal sangat ikhlas di dalam melakukan sesuatu. Sifat inilah kiranya
yang memberi kemudahan kepada beliau di dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Beliau
sendiri pernah berkata: Ilmu itu adalah cahaya; ia akan mudah dicapai dengan hati yang
takwa dan khusyu. Beliau juga menasehatkan untuk menghindari keraguan, ketika
beliau berkata: Sebaik-baik pekerjaan adalah yang jelas. Jika engkau menghadapi dua
hal, dan salah satunya meragukan, maka kerjakanlah yang lebih meyakinkan
menurutmu. Karena sifat ikhlasnya yang besar itulah, maka Imam Malik tampak enggan

5
memberi fatwa yang berhubungan dengan soal hukuman. Seorang muridnya, Ibnu
Wahab, berkata: Saya Mendengar Imam Malik (jika ditanya mengenai hukuman), beliau
berkata: Ini adalah urusan pemerintahan. Iman Syafii sendiri pernah berkata: Ketika
aku tiba di Madinah, aku bertemu dengan Imam Malik. Ketika men-dengar suaraku,
beliau memandang diriku beberapa saat, kemudian bertanya: Siapa namamu? Akupun
menjawab: Muhammad! Dia ber-kata lagi: Wahai Muhammad, bertaqwalah kepada
Allah, jauhilah maksiat karena ia akan membebanimu terus, hari demi hari. Tak pelak,
Imam Malik adalah seorang ulama yang sangat terkemuka, terutama dalam ilmu hadis
dan fiqh. Beliau mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam kedua cabang ilmu tersebut.
Imam Malik bahkan telah menulis kitab Al-Muwaththa, yang merupakan kitab hadis dan
fiqh. Imam Malik meninggal dunia pada usia 86 tahun. Namun demikian, mazhab Maliki
tersebar luas dan dianut dibanyak bagian di seluruh penjuru dunia.

c. IMAM SYAFII(150-204H/769-820M)
Imam Syafii, yang dikenal sebagai pendiri mazhab Syafii adalah: Muhammad bin Idris
Asy-Syafii Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghazzah, pada tahun 150 H, bertepatan
dengan wafatnya Imam Abu Hanifah. Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam
satu keluarga yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri, apalagi malas.
Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari hadis dari ulama-ulama hadis yang banyak
terdapat di Makkah. Pada usianya yang masih kecil, beliau juga telah hafal Al-Quran.
Pada usianya yang ke-20, beliau meninggalkan Makkah mempela-jari ilmu fiqh dari Imam
Malik. Merasa masih harus memperdalam pengetahuannya, beliau kemudian pergi ke
Iraq, sekali lagi mempe-lajari fiqh, dari murid Imam Abu Hanifah yang masih ada. Dalam
perantauannya tersebut, beliau juga sempat mengunjungi Persia, dan beberapa tempat
lain. Setelah wafat Imam Malik (179 H), beliau kemudian pergi ke Yaman, menetap dan
mengajarkan ilmu di sana, bersama Harun Al-Rasyid, yang telah mendengar tentang
kehebatan beliau, kemudian meminta beliau untuk datang ke Baghdad. Imam Syafii
memenuhi undangan tersebut. Sejak saat itu beliau dikenal secara lebih luas, dan banyak
orang belajar kepadanya. Pada waktu itulah mazhab beliau mulai dikenal. Tak lama
setelah itu, Imam Syafii kembali ke Makkah dan mengajar rombongan jamaah haji yang
datang dari berbagai penjuru. Melalui mereka inilah, mazhab Syafii menjadi tersebar
luas ke pen-juru dunia. Pada tahun 198 H, beliau pergi ke negeri Mesir. Beliau mengajar
di masjid Amru bin As. Beliau juga menulis kitab Al-Um, Amali Kubra, kitab Risalah, Ushul
Al-Fiqh, dan memperkenalkan Wauljadid sebagai mazhab baru. Adapun dalam hal
menyusun kitab Ushul Fiqh, imam Syafii dikenal sebagai orang pertama yang
mempelopori penulisan dalam bidang tersebut. Di Mesir inilah akhirnya Imam Syafii
wafat, setelah menyebarkan ilmu dan manfaat kepada banyak orang. Kitab-kitab beliau
hingga kini masih dibaca orang, dan makam beliau di Mesir sampai detik ini masih ramai
di ziarahi orang. Sedang murid-murid beliau yang terkenal, diantaranya adalah:
Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam, Abu Ibrahim bin Ismail bin Yahya Al-Muzani, Abu
Yaqub Yusuf bin Yahya Al-Buwaiti dan lain sebagainya.

6
d. IMAM AHMAD HAMBALI(164-241 H/780-855 M)
Imam Ahmad Hambali adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin
Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H (780
M). Ahmad bin Hambal dibesarkan dalam keadaan yatim oleh ibunya, karena ayahnya
meninggal ketika beliau masih bayi. Sejak kecil beliau telah menunjukkan sifat dan pribadi
yang mulia, sehingga menarik simpati banyak orang. Dan sejak kecil itu pula beliau telah
me-nunjukkan minat yang besar kepada ilmu pengetahuan, kebetulan pada saat itu
Baghdad merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Beliau memulai dengan belajar
menghafal Al-Quran, kemudian belajar bahasa Arab, Hadis, sejarah Nabi dan sejarah
sahabat serta para tabiin. Untuk memperdalam ilmu, beliau pergi ke Basrah untuk
beberapa kali, di sanalah beliau bertemu dengan Imam Syafii. Beliau juga pergi menuntut
ilmu ke Yaman dan Mesir. Di antaranya guru beliau yang lain adalah Yusuf Al-Hasan bin
Ziad, Husyaim, Umair, Ibn Humam dan Ibn Abbas. Imam Ahmad bin Hambal banyak
mempelajari dan meriwayatkan hadis, dan beliau tidak mengambil hadis, kecuali hadis-
hadis yang sudah jelas sahihnya. Oleh karena itu, akhirnya beliau berhasil mengarang
kitab hadis, yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad Hambali. Beliau mulai mengajar
ketika berusia empat puluh tahun. Pada masa pemerintahan Al-Muktasim Khalifah
Abbasiyah be-liau sempat dipenjara, karena sependapat dengan opini yang mengatakan
bahwa Al-Quran adalah makhluk. Beliau dibebaskan pada masa Khalifah Al-Mutawakkil.
Imam Ahmad Hambali wafat di Baghdad pada usia 77 tahun, atau tepatnya pada tahun
241 H (855 M) pada masa pemerintahan Khalifah Al-Wathiq. Sepeninggal beliau, mazhab
Hambali berkembang luas dan menjadi salah satu mazhab yang memiliki banyak penganut

2. Penyebab Khilafiyah Antar Mahzab


a. Perbedaan Makna Lafadz Teks Arab.
Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal) atau
lafadl yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna lafadl memiliki
arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat
kebiasaan, dan lain-lain.
Contohnya, lafadl quru memiliki dua arti; haid oleh Imam Hanafi dan suci oleh Imam
Syafii (Al-Baqarah:228). Atau lafadl perintah (amr) bisa bermakna wajib atau anjuran.
Lafadl nahy; memiliki makna larangan yang haram atau makruh.

2. Perbedaan Riwayat
Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada beberapa,
di antaranya:
Hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai kepada perawi lainya.
Atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada lainnya dengan
jalan perawi yang kuat.
Atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah seorang ahli hadis melihat
satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai jalan itu kuat.
Atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat hadis. Perbedaan ini
berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi sebagai pembawa hadis.

7
Atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah disepakati, namun
kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal dengan hadis itu. Seperti hadis
mursal.
3. Perbedaan Sumber-sumber Pengambilan Hukum
Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan sahabat,
istishab, saddu dzarai dan sebagian ulama tidak mengambil sumber-sumber tersebut.

4. Ijtihad dengan Qiyas

Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas memiliki asal
(masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat memiliki sejumlah syarat dan
langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di
sinilah muncul banyak perbedaan hasil qiyas di samping juga ada kesepakatan antara ulama.

5. Pertentangan (kontradiksi) dan Tarjih antar Dalil-dalil


Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam bab
ini ada yang berpegang dengan takwil, talil, kompromi antara dalil yang bertentangan,
penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil yang bertentangan.
Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara qiyas, atau antar
sunnah baik dalam perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau dalam penetapan-
penetapannya. Perbedaan sunnah juga bisa disebabkan oleh penyifatan tindakan
Rasulullah saw dalam berpolitik atau memberi fatwah.
Dari sini bisa diketahui bahwa ijtihad ulama semoga Allah membalas mereka
dengan balasan kebaikan tidak mungkin semuanya merepresentasikan sebagai syariat
Allah yang turun kepada Rasulullah saw. Meski demikian kita memiliki kewajiban untuk
beramal dengan salah satu dari perbedaan ulama. Yang benar, kebanyakan masalah
ijtihadiah dan pendapat yang bersifat dlanniyah (pretensi) dihormati dan disikapi sama.

Di antara nasehat yang disampaikan oleh Rasulullah saw, kepada para pasukannya baik
dipimpin langsung atau tidak adalah, "

Jika kalian mengepung sebuah benteng, dan mereka ingin memberlakukan hukum Allah,
maka jangan kalian terapkan mereka dengan hukum Allah, namun berlakukan kepada mereka
dengan hukummu, karena engkau tidak tahu, apakah engkau tepat dalam menerapkan
hukum Allah kepada mereka atau tidak, " (HR Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah)

8
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para
rasulNya.
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala yaitu tingkatan
tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling
tinggi.
3. Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah
Subhannahu wa Ta'ala , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang
batin. Ini adalah definisi ibadah yang paling lengkap.
4. Macam-macam ibadah seperti shalat kita yang 5 waktu sehari semalam, puasa kita
dibulan suci ramadlan, atau zakat, infaq, shadaqoh yang kita keluarkan, bahkan ibadah
haji yang seumur hidup satu kali itu, didalam islam, kedudukan ibadah ibadah
makhdloh tersebut tidak lebih hanyalah sebagai Alat (media) yang hendaknya mampu
mengantarkan kita kepada tujuan yang sebenarnya, singkatnya, ibadah itu bukan
tujuan, ibadah itu bukan akhir segalanya.
5. Tujuan ibadah :
a. Takhliyyah / tazkiyatul qolbi yakni kebersihan hati, maksudnya adalah, Ibadah yang
kita lakukan, shalat, puasa, Haji, dan lain sebagainya.
b. Tahliyyah. tujuan dari pelaksanaan ibadah kita adalah, hiasan Akhlaq dan budi
pekerti.
6. Perbedaan ini tidak boleh menjadi pemicu kepada ashobiyah (fanatisme golongan),
permusuhan, perpecahan yang dibenci Allah antara kaum Muslimin yang disebut Al-
Quran sebagai umat bersaudara, yang juga diperintah untuk berpegang teguh dengan
tali Allah.
7. Para sahabat sendiri berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut hukum Allah atau
syariat Allah. Namun mereka menyebut, "Ini adalah pendapatku, jika benar ia berasal
dari Allah jika salah maka ia berasal dari saya dan dari setan, Allah dan Rasul-Nya
darinya (pendapat saya) berlepas diri."

Anda mungkin juga menyukai