Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM PARASITOLOGI

PEMERIKSAAN FESES METODE APUNG

Oleh :

Kelompok 25

Fikry Barran G1A014025

Moh Azwar Ansori G1A014097

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2017
KATA PENGANTAR

Assalaamualaikum Wr. Wb.


Alhamdulillah, segala puji dan syukur kami haturkan ke hadirat Allah
swt. karena atas segala berkahNya kami dapat menyelesaikan laporan praktik
lapangan kami yang berjudul Pemeriksaan Feses pada blok Infectious Diseases
and Tropical Medicine. Laporan ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas
blok Infectious Diseases and Tropical Medicine. Kami mengucapkan terimakasih
kepada dr. Octavia Permata Sari, Pak Wahyu, Bu Wahyu, dan Bu Citra yang
bersedia membimbing kami dari awal hingga akhir praktik lapangan ini. Tak lupa,
kami mengucapkan terimakasih kepada SDN Ciberem dan orangtua siswa yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk membantu prosedur pemeriksaan
feses ini. Kami menyadari masih ada kekurangan pada laporan ini, baik dari segi
substansial maupun redaksional. Oleh karena itu, kami memohon saran dan kritik
agar kami dapat memperbaiki laporan ini menjadi lebih baik ke depannya.
Terimakasih.
Wassalaamualaikum Wr. Wb.

Purwokerto, 22 Oktober 2017

Penyusun
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cacing adalah salah satu parasit yang jumlahnya cukup banyak dan
beragam di Indonesia karena faktor geografis dengan temperatur serta
kelembaban yang cocok untuk perkembangan cacing (Kadarsa, 2005). Cacing
dapat menyebabkan penyakit infeksi atau sering disebut penyakit cacingan.
Penyakit cacingan ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Infeksi cacing ini dapat ditemukan pada berbagai golongan umur,
namun prevalensi tertinggi ditemukan pada anak balita dan usia SD. Penelitian
di beberapa kota besar menunjukkan bahwa kasus infeksi cacing gelasng
(Ascaris lumbricoides) adalah sekitar 24-35% dan cacing cambuk (Trichuris
trichiura) adalah sekitar 65-75%.

Di antara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan


melalui tanah disebut Soil Transmitted Helminths (STH). Cacing yang
terpenting bagi manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Indonesia merupakan salah
satu negara tropis sehingga mempunyai lingkungan yang cocok untuk
perkembangan nematoda usus yang ditularkan melalui tanah (Marlina dan
Junus, 2012).
Pemeriksaan feses dilakukan untuk mengetahui adanya telur cacing
ataupun larva infektif. Salah satu teknik diagnostik yang tepat untuk
mendiagnosis infeksi cacing adalah dengan mengenali stadium parasit yang
ditemukan pada feses karena sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung
tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh karena itu, pemeriksaan
laboratorium dibutuhkan untuk memastikan diagnosis selain dari gejala klinis
(Gandahusada, 2002).
B. Tujuan Praktikum

1. Mengetahui pemeriksaan feses dengan metode apung


2. Mengidentifikasi morfologi stadium cacing parasit
3. Mendiagnosa infeksi cacing parasit dalam tubuh responden

C. Manfaat Praktikum
1. Menambah wawasan tentang pemeriksaan feses metode apung
2. Menambah wawasan tentang morfologi stadium cacing parasit
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ascariasis

1. Pengaruh Infeksi Ascaris lumbricoides


Ascariasis merupakan investasi cacing Ascaris lumbricoides.
Ascaris lumbricoides atau secara umum dikenal sebagai cacing gelang ini
tersebar luas di seluruh dunia, terutama daerah tropis dan subtropis dengan
tingkat kelembapan udara yang tinggi. Cacing Ascaris lumbricoides ini
banyak dijumpai dengan prevalensi global sekitar 25%. Manusia
merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Cacing jantan
berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium dewasa hidup di rongga
usus kecil. Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Gejala
yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan
larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru.
Pada orang yang rentan terjadi pendarahan kecil di dinding alveolus dan
timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam, dan eosinofilia
(Basalamah et al., 2014).
Cacing Ascaris lumbricoides dewasa berbentuk bulat dan besar,
panjangnya dapat mencapai 15 - 30 cm. Sehingga akan menempati ruang
yang luas dalam rongga usus. Anak yang mengandung cacing gelang
dengan jumlah 300 ekor tidak akan merasa lapar; keadaan ini tentunya
akan mengurangi masukan makanan bagi anak. Jumlah cacing yang
banyak sangat berhubungan dengan terjadinya malnutrisi, defisit
pertumbuhan dan gangguan kebugaran fisik, disamping itu massa cacing
itu sendiri dapat menyebabkan obstruksi. Cacing ini dapat hidup dalam
tubuh pasien selama 12-18 bulan. Hidup dalam rongga usus halus manusia
mengambil makanan terutama karbohidrat dan protein, seekor cacing akan
mengambil karbohidrat 0.14 gram per hari dan protein 0.035 gram per
hari. Sel mukosa usus halus (enterosit) mempunyai brush border yang
terdiri dari mikrovili. Didalam mikrovili ini terdapat berbagai macam
enzim pencernaan. Adanya Ascaris lumbricoides dalam usus halus dapat
menyebabkan kelainan mukosa usus, berupa proses peradangan pada
dinding usus, pelebaran dan memendeknya villi, bertambah panjangnya
kripta, menurunnya rasio villus kripta dan infiltrasi sel bulat ke lamina
propria, yang berakibat pada gangguan absorpsi makanan. Sebagian
kelainan ini dapat kembali normal bila cacing dikeluarkan. Efek langsung
yang terukur akibat kelainan mukosa usus halus ialah meningkatnya
nitrogen dalam tinja, steatorhea karena terjadi gangguan absorpsi lemak,
gangguan absorbsi karbohidrat yang diukur dengan xylose test. Akibat
lainnya adalah cacing ini menyebabkan hiperperistaltik sehingga
menimbulkan diare, juga dapat mengakibatkan rasa tidak enak diperut,
kolik akut pada daerah epigastrium dan gangguan selera makan. Keadaan
ini terjadi pada saat proses peradangan pada dinding usus (Siregar, 2006).
Gangguan absorpsi vitamin A dapat terjadi pada anak yang
menderita askariasis. Kekurangan vitamin A dapat menghambat
pertumbuhan sel, termasuk sel tulang, dan dapat mengganggu sel yang
membentuk email serta dentin pada gigi. Namun sampai dimana vitamin A
digunakan dan dihancurkan oleh cacing masih belum jelas, namun dampak
klinis defisiensi vitamin tersebut pada penderita askariasis dapat lebih
berat. Juga didapati bukti penting mengenai efek terbalik askariasis
terhadap vitamin C dalam plasma dan sekresi riboflavin dalam air seni
(Siregar, 2006).

Gambar 1. Cacing dewasa betina A.lumbricoides (CDC, 2013)


2. Morfologi Telur

Terdapat 3 bentuk telur yang mungkin ditemukan di feses penderita,


yakni (Soedarto, 2011):
a. Telur yang dibuahi
Telur ini berbentuk lonjong, berukuran 45-70 mikron x 35-50 mikron.
Telur ini mengandung sel telur (ovum) yang tidak bersegmen. Kedua
kutub telur ini terdapat rongga udara yang tampak sebagai daerah
terang berbentuk bulan sabit. Telur ini akan mengapung dalam larutan
garam jenuh. Telur ini mempunyai 3 lapisan dinding yaitu:
1) Lapisan luar yakni lapisan albuminoid yang permukaannya
bergerigi (mamillation), berwarna coklat karena menyerap zat
warna empedu.
2) Lapisan tengah yakni lapisan kitin yang terdiri dari polisakarida.
3) Lapisan dalam yakni membran vitelin yang tipis tetapi kuat yang
terdiri dari sterol. Lapisan ini meningkatkan daya tahan hidup telur
cacing ini sampai satu tahun di lingkungan sekitarnya.

Gambar 2. Telur matang A.lumbricoides (CDC, 2013)


b. Telur dekortikasi adalah telur yang dibuahi namun kehilangan
lapisan albuminoid. Telur ini akan mengapung dalam larutan
garam jenuh.

Gambar 3. Telur dekortikasi A.lumbricoides (CDC, 2013)


c. Telur yang tidak dibuahi karena di dalam usus penderita hanya
terdapat cacing betina saja, bentuknya lebih lonjong berukuran
80x55 mikron. Pada telur yang tidak dibuahi ini tidak terdapat
rongga udara. Telur ini tenggelam dalam larutan garam jenuh.

Gambar 4. Telur infertil A.lumbricoides (CDC, 2013)


3. Daur Hidup
Cacing dewasa (1) hidup di lumen usus halus. Cacing dewasa
betina mampu memproduksi sekitar 200.000 telur per hari yang
biasanya ikut keluar bersama feses (2). Telur yang infertil bisa
termakan namun tidak infektif. Telur akan menjadi matang (berembrio)
dan infektif dalam setelah 18 hari hingga beberapa minggu (3) apabila
berada di kondisi lingkungan yang menunjang. Kondisi optimal yang
menunjang pematangan telur ini adalah lembab, hangat, dan teduh.
Setelah telur infektif termakan (4), menetas menjadi larva (5),
menginvasi mukosa intestinum, dan terbawa sirkulasi portal, kemudia
mengikuti sirkulasi sistemik ke pulmo (6). Larva matur mencapai
pulmo (10-14 hari), melakukan penetrasi ke dinding alveolus, menuju
bronkiolus, bronkus, trakea. Kemudian menuju ke faring sehingga
menimbulkan rangsangan batuk pada faring. Penderita yang batuk
menyebabkan larva tertelan ke dalam esophagus (7). Larva mencapai
usus halus kemudian berkembang menjadi cacing dewasa (1). Siklus
telur infektif tertelan hingga cacing dewasa betina mampu
menghasilkan telur seperti di atas berlangsung selama 2-3 bulan.
Cacing dewasa dapat hidup selama 1 hingga 2 tahun (CDC, 2013).

Gambar 5. Siklus hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2013)


B. Trichuriasis

Trichuris trichiura atau cacing cambuk merupakan salah satu


nematoda usus yang penting pada manusia, cacing ini hidup di daerah sekum.
Mekanisme pasti bagaimana cacing ini menimbulkan kelainan pada manusia
tidak diketahui, akan tetapi diketahui ada dua proses yang berperan, yaitu
trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma pada dinding usus terjadi karena
cacing ini membenamkan bagian kepalanya pada dinding sekum yang
menyebabkan reaksi anafilaksis lokal yang dimediasi oleh imunoglobulin E
(Ig E), terlihat infiltrasi lokal eosinofil di submukosa usus dan dapat terjadi
edema pada dinding usus. Pada keadaan ini mukosa mudah berdarah. Pada
infeksi berat dapat dijumpai mencret yang mengandung darah dan lendir
(sindrom disentri), menimbulkan intoksikasi sistemik dan anemia. Trichuris
trichiura disamping menggunakan karbohidrat juga akan menyebabkan anak
kehilangan darah, seekor cacing dewasa menghisap 0,005 ml darah per hari.
Dari studi yang dilakukan pada tikus yang terinfeksi Trichuris trichiura
muris, yaitu nematoda yang berhubungan dekat dengan Trichuris trichiura
pada manusia ditemukan juga adanya peran beberapa sitokin seperti
interleukin (IL)-18,22 dan IL- 10. Interleukin 18 memegang peranan penting
untuk terjadinya gangguan saluran cerna yang kronik sedangkan interleukin
10 berperan dalam pemeliharaan fungsi pertahanan kolon (colon barrier),
sehingga bila terjadi defisiensi IL 10, fungsi penghalang (barrier) kolon akan
terganggu dan dapat terjadi diare kronik (sindrom disentri trikuris) (Siregar,
2006).
Efek infeksi Trichuris trichiura dapat menyebabkan menurunnya
insulin like growth faktor (IGF-1) suatu hormon pertumbuhan bersifat
anabolik yang berfungsi pada pertumbuhan skeletal dan hematopoesis.
Plasma IGF-1 meningkat pada masa anak dan mencapai puncaknya pada
pubertas. Hormon ini merupakan marker biokimia yang baik untuk menilai
gangguan pertumbuhan dan menilai gangguan nutrisi pada seorang anak. Dari
suatu penelitian terhadap 14 anak usia sekolah dasar dengan sindrom disentri
trikuris, didapatkan kadar plasma insulin like growth factor (IGF)-1 rendah,
kadar serum tumor nekrosis factor alfa (TNF) meningkat, serum albumin
normal, konsentrasi rerata hemoglobin rendah, sintesis kolagen menurun
(Siregar, 2006).
Secara keseluruhan infeksi Trichuris trichiura dapat menyebabkan
diare kronik berat, serta hilangnya darah dalam jumlah besar, pernah
dilaporkan kadar hemoglobin mencapai 3 gr/dl pada seorang pasien,
menyebabkan plasma IGF-1 menurun, kadar TNF alfa meningkat dan sintesis
kolagen menurun. Disamping itu umur Trichuris trichiura relatif panjang (10
tahun), semua keadaan ini secara tidak langsung akan mengakibatkan
gangguan pertumbuhan pada anak (Siregar, 2006).
Cacing dewasa mernyerupai cabuk sehingga disebut cacing cambuk.
Tiga per-lima bagian anterior tubuh halus seperti benang, pada ujungnya
terdapat kepala (trix = rambut, aura = ekor, chepalus = kepala), esofagus
sempit berdinnding tipis terdiri dari satu lapis sel, tidak memiliki bulbus
esofagus. Bagian anterior yang halus ini akan menacap pada mukosa usus. 2/5
bagian posterior lebih tebal, berisi usus dan perangkat alat kelamin (Setyani,
2008).

Gambar 6 . Morfologi cacing Trichuris trichura jantan dan betina

Telur Trichuris trichura berukuran 50 x 22 mikron, bentunya


seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol, berdinding tebal dan
berisi larva. Kulit bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian
dalamnya jernih (Setyani, 2008).
Gambar 7. Telur Trichuris trichura

Gambar 8. Siklus hidup Trichuris trichura

C. Infeksi Cacing Tambang

1. Pengaruh Infeksi Cacing Tambang

Infeksi cacing tambang pada manusia disebabkan oleh Necator


americanus dan Ancylostoma duodenale. Manusia merupakan tuan rumah
utama infeksi cacing tambang. Cacing dewasa hidup di sepertiga bagian
atas usus halus, melekat pada mukosa usus, dan dapat bertahan selama 7
tahun atau lebih. Cacing tambang menghisap lebih banyak darah bila
dibandingkan dengan Trichuris trichiura. Seekor Ancylostoma duodenale
menghisap 0,16-0,34 ml darah per hari, sedangkan seekor Necator
americanus menghisap 0.03 - 0,05 ml darah per hari. Luka yang
diakibatkan gigitan Ancylostoma duodenale lebih berat dibandingkan
kerusakan yang diakibatkan Necator americanus, selain itu diduga
Ancylostoma duodenale memproduksi zat antikoagulan yang lebih kuat
dibanding Necator americanus. Cacing ini menyebabkan laserasi pada
kapiler villi usus halus dan menyebabkan perdarahan lokal pada usus.
Sebagian dari darah akan ditelan oleh cacing dan sebagian keluar bersama
dengan tinja. Pada infeksi sedang (angka telur pergram tinja lebih dari
5000) kehilangan darah dapat dideteksi dalam tinja rata rata 8 ml per hari,
sehingga menimbulkan gejala anemia dan defisiensi besi (Siregar, 2006).
Gejala klinis yang terjadi tergantung pada derajat infeksi, makin
berat infeksi manifestasi klinis yang terjadi semakin mencolok, berupa,
anoreksia, mual, muntah, diare, kelelahan, sakit kepala, sesak napas,
palpitasi, dispepsia, nyeri disekitar duodenum, jejenum dan ileum. Juga
bisa ditemukan ditemukan protein plasma yang rendah (hipoalbuminemia),
kelainan absorpsi nitrogen dan vitamin B12, tetapi yang tetap paling
menonjol adalah berkurangnya zat besi. Besi dalam tubuh manusia
diperlukan untuk pembelahan sel, berperan dalam proses respirasi sel,
yaitu sebagai kofaktor bagi enzim yang terlibat dalam reaksi oksidasi
reduksi. Di dalam tiap sel, besi bekerjasama dengan rantai protein
pengangkut elektron, yang berperan dalam langkah akhir metabolisme
energi. Besi juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh, kekurangan besi
akan menyebabkan sel darah putih tidak dapat bekerja secara efektif dan
berkurangnya pembentukan limfosit T. Diduga penurunan pembentukan
sel limfosit ini terjadi karena berkurangnya sintesis DNA akibat gangguan
pada enzim reduktase ribonukleotida. Enzim ini membutuhkan zat besi
untuk dapat berfungsi. Sehingga akibat infeksi kronik Cacing tambang
akan dapat menyebabkan gangguan pembentukan sel dan kekebalan tubuh,
gangguan penyembuhan luka. Keadaan ini secara tidak langsung akan
mempengaruhi pertumbuhan anak (Siregar, 2006).

2. Morfologi dan Daur Hidup


Cacing jantan dewasa jantan berukuran 7-11 mm x lebar 0,4 0,5
mm. Caing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut besar yang
melekat pada dinding mukosa usus. Cacing betina N.americanus setiap
harinya mengeluarkan telur 5000-10000 butir, sedangkan A.duodenale
kira-kira 10000-25000 butir. Cacing betina berukuran panjang panjang
kurang lebih 1 cm, sedangkan cacing jantan 0,8 cm. Bentuk badan
N.americanus biasanya menyerupai huruf S, sedangkan A.duodenale
menyerupai huruf C. Kedua cacing ini memiliki rongga mulut yang cukuo
lebar, dimana A.duodenale memiliki 2 pasang gigi sedangkan
N.americanus memiliki lempeng pemotong atau benda kitin. Cacing jantan
mempunyai bursa kopulatriks (Sutanto et al., 2008).

Gambar 9. Telur cacing tambang (Nasution et al., 2013)

Telur cacing tambang besarnya 60 x 40 mikron, berbentuk bujur dan


mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapas sel. Telur
dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-2 hari,
keluarlah larva rabditiform. Larva rabditiform memiliki panjang 250
mikron. Dalam waktu sekitar 3 hari, larva randitiform tumbuh menjadi
larva filariform, yang dapat menembus kulit dan dapat hidup selama 7-8
minggu di tanah. Larva filariform memiliki panjang 600 mikron. Infeksi
pada manusia didapat melalui penetrasi larva filariform yang terdapat di
tanah ke dalam kulit (Sutanto et al., 2008).
Setelah masuk dalam kulit, pertama-tama larva dibawa aliran darah
vena ke jantung bagian kanan dan kemudian ke paru-paru. Larva
menembus alveoli, bermigrasi melalui bronkus ke trakea dan faring,
kemudian tertelan sampai ke usus kecil dan hidup disitu. Mereka melekat
di mukosa, mempergunakan struktur mulut sementara, sebelum struktur
mulut yang permanen terbentuk. Bentuk betina mulai mengeluarkan telur
sekitar 5 bulan setelah infeksi. Jika larva filariform A.duodenale tertelan,
mereka dapat berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus tanpa
melalui siklus paru (Sutanto et al., 2008).

Gambar 10. Gambaran cacing dewasa A.duodenale (kiri) dan


N.americanus (kanan). (Nasution et al., 2013)

D. Penatalaksanaan Soil Transmitted Helminth


Penatalaksanaan STH pada umumnya hampir sama. Pada semua jenis
cacing STH dapat digunakan obat-obatan seperti pirantel pamoat dosis 10
mg/kg/BB/hari diberikan dosis tunggal. Mebendazol 100 mg/kg/BB/hari
selama tiga hari berturut-turut memberikan hasil yang baik.. Albendazol pada
anak diatas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet Albendazol (400 mg) atau 20 ml
suspensi, berupa dosis tunggal dapat menghasilkan hasil yang cukup baik
(Soedarmo et al., 2012).
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan


1. Alat
a. Beaker glass
b. Lidi
c. Saringan teh
d. Pipet tetes
e. Tabung reaksi
f. Object glass
g. Cover glass
h. Mikroskop
2. Bahan
a. NaCl 33%
b. Feses

B. Cara Kerja
1. Feses satu ruas jari dimasukkan ke beaker glass berisi NaCl 33%
2. Aduk homogeny menggunakan lidi
3. Pindah ke beaker glass kosong dengan disaring menggunakan saringan teh
4. Tuang ke dalam 2 tabung reaksi hingga penuh dan dicembungkan
menggunakan pipet tetes
5. Diamkan selama 10 menit dan tabung jangan digoyang
6. Tempelkan 2 cover glass pada masing-masing permukaan cairan di tabung
reaksi dan langsung tempelkan pada 1 object glass di sisi kanan dan kiri
7. Amati menggunakan mikroskop perbesaran lemah
8. Cuci keringkan peralatan dan kembalikan seperti semula
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identitas Responden Anak

Nama Anak : Almaratus Sholihah

Usia : 8 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Kelas : 3 Sekolah Dasar

Alamat : RT 01, RW 03 Desa Ciberem, Kecamatan Sumbang

B. Identitas Responden Orang Tua

1. Nama

Ayah : Muhammad Choirul

Ibu : Sulastri

2. Usia

Ayah : 32 tahun

Ibu : 26 tahun

3. Pendidikan

Ayah : SD

Ibu : SD

4. Pekerjaan

Ayah : Wiraswasta

Ibu : Ibu rumah tangga

C. Deskripsi Lingkungan Rumah

Lingkungan rumah sekitar dari responden tergolong bersih dari


sampah. Rumah responden berlantaikan tanah. Kondisi di dalam rumah juga
rapi. Dinding rumah sudah dicat. Di dalam rumah terdapat plastik untuk
membuang sampah. Di depan rumah sangat rindang karena terdapat tanaman
dan pohon-pohon. Kamar mandi responden telah dilengkapi dengan WC
jongkok.

E. Hasil Pemeriksaan

Di dalam feses responden tidak ditemukan telur parasit.

F. Pembahasan

Kami melakukan pengambilan feses dari responden pada Jumat, 20


Oktober 2017 pagi hari di Kecamatan Sumbang. Setelah itu kami melakukan
pemeriksaan feses responden untuk melihat apakah terdapat parasit dalam
pemeriksaan mikroskopis. Didapatkan hasil bahwa tidak terdapat telur atau
stadium parasit lainnya pada feses. Hal tersebut sesuai dengan gaya hidup
responden yang kami dapatkan, salah satunya karena kebiasaan mencuci
tangan menggunakan sabun sesudah bermain, sebelum atau sesudah makan,
dan juga sehabis BAK atau BAB.
Perilaku cuci tangan pakai sabun merupakan intervensi kesehatan yang
paling murah dan efektif dibandingkan dengan intervensi kesehatan dengan
cara lainnya dalam mengurangi resiko penularan berbagai penyakit contohnya
seperti diare. Tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan
bakteri dan virus pathogen dari tubuh, feses atau sumber lain ke makanan. Oleh
karena itu kebersihan tangan dengan mencuci tangan perlu mendapat prioritas
yang tinggi, walaupun hal tersebut sering disepelekan (Rosidi et al., 2010).
Angka kejadian cacingan akibat transmisi mikroorganisme Ascaris
lumbriocoides dan Trichuris trichiura dapat dikurangi dengan perilaku cuci
tangan menggunakan air dan sabun (Umar, 2008). Air yang digunakan untuk
mencuci tangan diusahakan menggunakan air yang mengalir, seperti yang
tercantum dalam butir perilaku hidup bersih sehat yang dicanangkan
pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Nugraheni, 2012).
Responden yang kami wawancarai juga telah memiliki jamban atau WC
dalam rumahnya. Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan
untuk membuang tinja atau kotoran manusia atau najis bagi suatu keluarga
yang lazim disebut kakus atau WC. Bagi rumah yang belum memiliki jamban,
sudah dipastikan mereka itu memanfaatkan sungai, kebun, kolam, atau tempat
lainnya untuk buang Air Besar (BAB). Dengan masih adanya masyarakat di
suatu wilayah yang BAB sembarangan, maka wilayah tersebut terancam
beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan diantaranya: penyakit
cacingan, kolera, diare, tipus, disentri, polio, hepatitis B dan masih banyak
penyakit lainnya. Selain itu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan pada
sumber air dan bau busuk serta estetika. Semakin besar persentase yang BAB
sembarangan maka ancaman penyakit itu semakin tinggi intensitasnya.
Keadaan ini sama halnya dengan fenomena bom waktu, yang bisa terjadi
ledakan penyakit pada suatu waktu cepat atau lambat. Sebaiknya semua orang
BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian wilayahnya terbebas
dari ancaman penyakit-penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban banyak
penyakit berbasis lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang
memenuhi syarat kesehatan (Pebriani et al., 2013).

Di samping itu, ibu responden yang kami wawancarai bekerja sebagai


ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga merupakan seseorang yang penting dalam
kepemilikan jamban keluarga. Seorang ibu dalam rumah tangga mempunyai
peranan yang besar dalam mengurus rumah tangga, mengasuh, mendidik,
melindungi anak-anaknya dan menjaga kesehatan keluarganya (Pane, 2009).
Responden yang kami wawancarai juga memiliki gaya hidup yang baik
lainnya yaitu tidak pernah makan sayur yang mentah. Namun jajan di sekolah
masih sering dilakukannya. Sayuran merupakan makanan pendamping
makanan pokok yang kaya gizi. Di dalam sayuran terkandung protein, vitamin
dan mineral. Hampir semua jenis vitamin dan mikronutrien (terutama mineral)
yang penting bagi tubuh terdapat di dalam lalapan. Selain vitamin dan mineral,
lalapan memiliki kandungan serat yang tinggi. Penggunaan sayuran mentah
yang langsung dikonsumsi dimungkinkan masih terdapat pencemaran dari bibit
penyakit. Penyebaran cacing usus pada makanan sayuran dapat terjadi antara
lain karena kekurangan pengetahuan pengelolaan dan langkah-langkah
pencegahannya dari petani sampai tingkat konsumen. Secara umum terdapat
dua cara masuknya nematoda usus dalam menginfeksi tubuh manusia, yaitu
melalui mulut dan kulit. Telur-telur tersebut dapat masuk ke dalam tubuh
manusia, diantaranya melalui tidak bersih dalam mencuci, sayuran yang tidak
dimasak sedangkan dari larva nematoda usus dapat dimungkinkan melalui air
yang terkontaminasi. Penularan kepada hospes baru tergantung kepada
tertelannya telur matang yang infektif atau larva, atau menembusnnya larva ke
dalam kulit atau selaput lendir. Seringkali larva di dalam telur ikut tertelan
dengan makanan. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kebersihan
dalam pengolahan dan pemanfaatan sayuran yang dikonsumsi oleh manusia,
seperti cara mencuci sayuran dan teknik mencuci merupakan hal yang perlu
diperhatikan. Penggunaan air mengalir lebih dianjurkan daripada menggunakan
air yang diam (menggenang), seperti air dalam wadah/bak air yang digunakan
untuk mencuci sayuran secara berulang. Hal ini dapat berpengaruh terhadap
resiko pencemaran oleh berbagai jenis bahan pencemar baik organik maupun
anorganik atau pestisida (Nugroho et al., 2010).
Kebanyakan dari anak usia sekolah mempunyai kebiasaan untuk jajan
sehabis waktu sekolah selesai. Sering kali jajanan tersebut dijajakan di pinggir
jalan atau di pinggir saluran pembuangan air dan ditempatkan pada area
terbuka sehingga, memudahkan terjadinya kontak antara pangan yang dijajakan
dengan mikroba. Padahal mikroba adalah salah satu penyebab penyakit diare.
Anak usia sekolah mudah terserang penyakit diare, karena jajanan yang mereka
konsumsi mudah tercemar oleh mikroba. Karena itu penting untuk mengetahui
jumlah cemaran mikroba pada jajanan anak, khususnya penyebab diare.
Bakteri penyebab diare antara lain adalah Escherichia coli. Informasi terhadap
masyarakat terutama untuk para orang tua tentang kebersihan dan keamanan
jajanan yang dikonsumsi oleh anak di sekitar lokasi sekolah menjadi hal
penting untuk dilakukan oleh petugas kesehatan di daerah masing-masing
(Puspitasari, 2013).
Responden yang kami wawancarai memiliki rumah yang cukup bersih
dan rapi. Namun satu hal yang masih kurang adalah dalam hal pengelolaan
sampah. Meskipun keluarga sudah memiliki tempat sampah dalam rumah,
tetapi untuk pembuangan sampah sementara ditempatkan di pekarangan
belakang rumah secara terbuka. Wadah sampah yang baik adalah selalu
tertutup sehingga lalat, anjing, kucing atau tikus bisa dicegah masuk ke
dalamnya, mudah dibersihkan atau dicuci sehingga terpelihara kebersihannya,
dan mudah diambil sampahnya oleh tukang sampah. Kemudian untuk
pengangkutan sampah biasa dilakukan dengan gerobak kecil dari sumber
sampah ke tempat penampungan sementara (TPS) yang biasanya berupa
transfer depo, kontainer atau pool gerobak. Pengangkutan sampah secara
teratur dan berkala akan mencegah menumpuknya sampah di sekitar wadah
(Wahyono, 2001). Hal terkait yang penting adalah tempat pembuangan sampah
yang dimiliki agar selalu tertutup, guna mencegah perkembangbiakan vektor
yang dapat membawa dan menyebarkan telur cacing pada manusia (Kundaian
et al., 2012).
Perumahan merupakan kebutuhan dasar manusia dan juga merupakan
determinan kesehatan masyarakat. Karena itu pengadaan perumahan
merupakan tujuan fundamental yang kompleks dan tersedianya standar
perumahan merupakan isu penting dari kesehatan masyarakat. Perumahan yang
layak untuk tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan sehingga
penghuninya tetap sehat. Perumahan yang sehat tidak lepas dari ketersediaan
prasarana dan sarana yang terkait, seperti penyediaan air bersih, sanitasi
pembuangan sampah, transportasi, dan tersedianya pelayanan sosial (Keman,
2005).
Hasil negatif pada metode apung yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh
sampel atau feses diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing
parasit usus), kurangnya ketelitian praktikan dalam melakukan praktikum,
kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur cacing parasit,
dan pada saat diambil feses cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukan
telur pada feses, kesalahan saat awal pengambilan feses.
V. KESIMPULAN

1. Pada pemeriksaan feses, tidak ditemukan adanya telur atau larva


cacing parasit usus
2. Tidak ditemukan adanya telur ataupun larva cacing parasit usus dapat
menunjukkan bahwa orang tersebut sehat dari infeksi cacing parasit
usus atau terdapat kemungkinan kesalahan dalam proses praktikum
baik saat pengambilan sampel, maupun saat pemeriksaan di
laboratorium.
3. Perumahan yang layak untuk tempat tinggal harus memenuhi syarat
kesehatan sehingga penghuninya tetap sehat. Perumahan yang sehat
tidak lepas dari ketersediaan prasarana dan sarana yang terkait, seperti
penyediaan air bersih, sanitasi pembuangan sampah, transportasi, dan
tersedianya pelayanan sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Basalamah, M.F., V., Pateda, N., Rampengan. 2014. Hubungan Infeksi Soil
Transmitted Helminth dengan Kadar Hemoglobin Anak Sekolah Dasar
GMIM Buha Manado. Jurnal E-Clinic. 2(1): 1-6.
CDC. 2013. CDC - Soil-Transmitted Helminths. Retrieved Agustus, 2015, from
http://www.cdc.gov/parasites/sth/
Gandahusada, S. Ilahude, H. Herry, D. Pribadi, W. 2002. Parasitologi Kedokteran
FK UI. Dalam: Hadidjaja P. Penuntun Laboratorium Parasitology.
Jakarta: FK UI.
Keman, S. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal
Kesehatan Lingkungan. 2(1): 29-42.
Kundaian, F., J.M.L., Umboh, B.J., Kepel. 2012. Hubungan Antara Sanitasi
Lingkungan dengan Infestasi Cacing pada Murid Sekolah Dasar di Desa
Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa. Jurnal Kesmas
Unsrat. 1(1): 21-27.
Marlina, L., Junus. 2012. Hubungan Pendidikan Formal, Pengetahuan Ibu dan
Sosial Ekonomi Terhadap Infeksi Soil Transmitted Helminths pada Anak
Sekolah Dasar di Kecamatan Seluma Timur Kabupaten Seluma
Bengkulu. Jurnal Ekologi Kesehatan. 11(1): 1-7.
Nasution, I.T, Y., Fahrimal, M., Hasan. 2013. Identifikasi Parasit Nematoda
Gastrointestinal Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) di Karantina Batu
Mbelin, Sibolangit Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Medika Veterinaria.
7(2): 67-70.
Nugraheni, D. 2012. Hubungan Kondisi Fasilitas Sanitasi Dasar dan Personal
Hygiene dengan Kejadian Diare di Kecamatan Semarang Utara Kota
Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat FKM Undip. 1(2): 922-933.
Nugroho, C., S.N., Djanah, S.A., Mulasari. 2010. Identifikasi Kontaminasi Telur
Nematoda Usus pada Sayuran Kubis (Brassica Oleracea) Warung Makan
Lesehan Wonosari Gunungkidul Yogyakarta Tahun 2010. Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 4(1): 67-75.
Pane, E. 2009. Pengaruh Perilaku Keluarga terhadap Penggunaan Jamban. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. 3(5): 229-235.
Pebriani, R.A., S., Dharma, E., Naria. 2013. Faktor - Faktor yang Berhubungan
dengan Penggunaan Jamban Keluarga dan Kejadian Diare di Desa
Tualang Sembilar Kecamatan Bambel Kabupaten Aceh Tenggara Tahun
2012. Jurnal Lingkungan dan Kesehatan Kerja. 2(3): 1-5.
Puspitasari, R.L. 2013. Kualitas Jajanan Siswa di Sekolah Dasar. Jurnal Al-Azhar
Indonesia Seri Sains dan Teknologi. 2(1): 52-56.
Rosidi, A., E., Handarsari, M., Mahmudah. 2010. Hubungan Kebiasaan Cuci
Tangan dan Sanitasi Makanan Dengan Kejadian Diare pada Anak SD
Negeri Podo 2 Kecamatan Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Indonesia. 6(1): 76-85.
Setyani, Endang; Dyah Widiastuti. 2008. Trichuris Trichura. Balaba. 7(2) :21-22.

Siregar, C.D. 2006. Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui
Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Pengaruh Infeksi
Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada Pertumbuhan Fisik
Anak Usia Sekolah Dasar. Sari Pediatri. 8(2): 112-117.
Soedarmo, S.S.P. et al., 2012. Penyakit Infeksi Parasit. Dalam: Buku Ajar Infeksi
& Pediatri Tropis edisi kedua. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK
UI.
Soedarto. 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : CV. Sagung Seto.

Sutanto, I., Ismid, IS., Sjarifuddin, PK., Sungkar, S. 2008. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Umar, Z. 2008. Perilaku Cuci Tangan Sebelum Makan dan Kecacingan pada
Murid SD di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional. 2(6): 249-254.
Wahyono, S. 2001. Pengolahan Sampah Organik dan Aspek Sanitasi. Jurnal
Teknologi Lingkungan. 2(2): 113-118.
LAMPIRAN

Gambaran mikroskopis feses responden yang tidak ditemukan telur parasit

Anda mungkin juga menyukai