Anda di halaman 1dari 29

1

MODEL PENGEMBANGAN SENTRA PRODUKSI KOMODITAS


DALAM PERENCANAAN LINGKUNGAN

Disamping untuk mencapai sasaran yang bersifat spesifik untuk


menjawab permasalahan pembangunan di Jawa Timur, kajian Pengembangan
Sentra Produksi juga diarahkan untuk tujuan pembangunan yang lebih
umum, yaitu menjamin terselenggaranya suatu proses pembangunan yang
berlanjut (Sustainable development) . Untuk tujuan tersebut, setidaknya perlu
diperhatikan tiga aspek, yaitu : biofisik/lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Dalam kerangka pemikiran pembangunan yang berkelanjutan, pro-
gram-program pembangunan selain diarahkan untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang besar untuk menjamin peningkatan derajat kesejahteraan
masyarakat, juga diarahkan untuk tidak melupakan dua aspek lainnya. Aspek
biofisik/lingkungan hidup perlu diperhatikan karena selain merupakan
sumberdaya pembangunan juga merupakan faktor penentu tingkat
kesejahteraan manusia. Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi tidak
berarti jika tidak disertai dengan pemeliharaan lingkungan hidup, karena
lingkungan hidup yang tercemar secara langsung atau tidak langsung akan
mengurangi atau bahkan menutupi hasil-hasil pembangunan di bidang
ekonomi. Pemanfaatan sumberdaya alam yang seme na-mena tanpa
memperhatikan kemampuan alam untuk memperbaharui dirinya, juga pada
suatu saat akan menghentikan kegiatan pembangunan itu sendiri karena tidak
tersedia lagi sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan.
Disamping aspek biofisik tadi, aspek sosial yang khususnya berkaitan
dengan sumberdaya manusia merupakan komponen yang penting, kalau
bukan yang terpenting, untuk menjamin terciptanya kesinambungan
pembangunan. Kegiatan pembangunan, dilihat dari aspek ini, seyogyanya
diarahkan untuk menyiapkan masyarakat untuk melaksanakan tahapan
pembangunan berikutnya yang memiliki tantangan yang relatif lebih besar
dibanding dengan tantangan yang dihadapi pada tahapan pada pembangunan
sebelumnya. Dengan siapnya masyarakat untuk melanjutkan proses
pembangunan di wilayahnya masing-masing, maka suatu proyek
pembangunan dapat berjalan secara berkesinambungan, walaupun pengini-
siatif proyek (pemerintah) telah menghentikan bantuannya.
Berdasarkan bahasan di atas, maka ketiga aspek tersebut dijadikan
bahan pertimbangan dalam penyusunan model tagihan untuk mengim-
plementasikan konsepsi Pengembangan Sentra Produksi. Disamping aspek
tersebut, perlu digarisbawahi bahwa strategi Pengembangan Sentra Produksi
memperhatikan pula aspek perencanaan tenaga kerja, karena tanpa kiat yang
mendasar, maka perhatian pemerintah yang besar untuk meningkatkan
produktivitas lahan akan menarik tenaga-tenaga terampil secara berlebihan
2

kesektor pertanian. Hal ini akan menyebabkan tingkat produktivitas perkapita


menurun dan pada gilirannya akan menyebabkan laju pertumbuhan
pendapatan menjadi berkurang. Dengan demikian sasaran strategi
Pengembangan Sentra Produksi tidak tercapai, malah memperkokoh
kemiskinan struktural yang disebabkan oleh produktivitas per kapita pada
sektor pertanian yang relatif rendah dibanding sektor lainnya. Untuk
mengatasi kemungkinan tersebut, maka diperlukan kiat untuk mengalihkan
tenaga kerja yang ada di pedesaan dari kegiatan pertanian ke sektor lainnya,
seperti agro-industri dan agro bisnis. Disinilah letak keterkaitan antara strategi
Pengembangan Sentra Produksi dengan pendekatan sistem agribisnis, yang
selain diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah hasil-hasil pertanian, juga
berfungsi untuk menyerap tenaga kerja yang ada dipedesaan ke sektor non-
pertanian. Beberapa pendekatan dasar (azas) yang diperlukan dalam model
implementasi strategi Pengembangan Sentra Produksi antara lain :
1. Azas Kesesuaian
Pemilihan komoditas tanaman yang akan dikembangkan pada suatu
daerah seyogyanya memperhatikan kesesuian (suitabilitas) komoditas
tanaman tersebut terhadap aspek biofisik, sosial dan ekonomi.

1.1. Kesesuaian Biofisik.


Kesesuaian biofisik meliputi kesesuaian antara kondisi iklim dan lahan
dengan kebutuhan khas dari komoditas tanaman. Setiap komoditas tanaman
membutuhkan seperangkat kebutuhan yang berbeda dengan kebutuhan
tanaman yang lain, dengan kata lain pengembangan komoditas tanaman pada
suatu kawasan seyogyanya didasarkan kepada kesesuaian
tuntutan/kebutuhan tanaman tersebut dengan kondisi iklim dan lahan
kawasan pengembangan. Semakin tinggi tingkat kesesuaian tersebut akan
makin tinggi pula tingkat produkktivitasnya.

1.2. Kesesuaian Ekonomi.


Pengembangan komoditas tanaman seyogyanya memperhatikan aspek
ekonomi. Pengembangan pada suatu lokasi mungkin memberikan keuntungan
ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan jika komoditas tanaman
tersebut dikembangkan pada kawasan yang lain. Dengan kata lain kesesuaian
ekonomi mencakup kajian apakah hasil produksi komoditas tanaman pada
suatu kawasan pengembangan mampu bersaing di pasar lokal, regional
bahkan internasional.

1.3. Kelayakan Sosial.


Kajian kelayakan sosial mencakup kesesuaian antara ketrampilan yang
dibutuhkan untuk pengembangan suatu komoditas tanaman dengan
kemampuan atau ketrampilan rata-rata yang dimiliki oleh masyarakat
3

setempat. Pengembangan komoditas tanaman yang tidak didukung oleh


masyarakat petani selain tidak akan memberikan tingkat produktivitas yang
tinggi, juga akan menjadi enclave pada lokasi pengembangan. Hal ini tidak
sesuai dengan tujuan pembangunan yang berlanjut, karena peranan
masyarakat setempat untuk memelihara dan melanjutkan kegiatan
pengembangan komoditas tanaman tidak dapat diharapkan banyak.

2. Azas Kelestarian
Pendekatan ini dikembangkan dari aspek fisik/lingkungan dari konsep
pembangunan yang berlanjut. Pemilihan lokasi Pengembangan Sentra
Produksi Tanaman seyogyanya memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya
lahan dan lingkungan dari kawasan pengembangan. Beberapa komoditas
tanaman cocok dikembangkan pada suatu kawasan tanpa memberikan
tekanan yang berarti terhadap lingkungan hidup, tetapi sebaliknya mungkin
tidak sesuai dikembangkan pada kawasan lain. Metode-metode dan proses
analisis yang akan digunakan dalam proses alokasi pemanfaatan lahan untuk
kegiatan pertanian setidaknya memcerminkan kedua azas tersebut diatas.

3. KAJIAN YANG DIPERLUKAN

Untuk melakukan alokasi pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian


yang diwujudkan ke dalam peta Pengembangan Sentra Produksi, diperlukan
beberapa kajian, antara lain berupa : (i) pemilihan komoditas tanaman
unggulan, (ii) pemilihan lokasi pengembangan, (iii) identifikasi faktor-
faktor/kegiatan penunjang.

3.1. Pemilihan Komoditas Unggulan.


Komoditas yang akan diprioritaskan pengembangannya dikaji berda-
sarkan beberapa azas/pendekatan dasar yang telah dijelaskan pada bagian
terdahulu, ditambah dengan beberapa pertimbangan lainnya, yaitu :

3.1.1. Kesesuaian Bio-Fisik :


Komoditas yang akan dikembangkan hanyalah komoditas tanaman
yang mampu didukung oleh kondisi iklim dan lahan diwilayah Propinsi Jawa
Timur. Komoditas dimaksud dapat ditemukenali dengan menggunakan analisis
kesesuaian lahan yang direkomendasikan oleh FAO yang beberapa
parameternya telah disesuaikan oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor agar
cocock dengan kondisi Indonesia. Untuk maksud tersebut dibutuhkan data
yang berkaitan dengan kondisi iklim dan fisik/kimiawi dari lahan-lahan
pengembangan komoditas tanaman.

3.1.2. Kesesuaian Ekonomi :


4

Komoditas yang akan dikembangkan dikaji apakah komoditas tanaman


tersebut memiliki prospek pemasaran yang cukup baik, ditingkat lokal,
regional atau internasional, serta apakan komoditas tanaman tersebut dapat
berfungsi sebagai penggerak/ pemacu pengembangan ekonomi wilayah.
Metoda yang dapat digunakan untuk maksud tersebut antara lain
Biaya Sumberdaya Domestik, Analisis Input-Output, Location Quotient, dan
sebagainya.

3.1.3. Kesesuaian sosial :


Pemilihan komoditas tanaman diprioritaskan pada komoditas tanaman
yang telah dikenal masyarakat atau komoditas tanaman baru yang diyakini
dapat dikembangkan oleh masyarakat. Analisis kesesuaian ini antara lain
dapat dilakukan secara deskriptif atau dengan menggunakan metoda analisis
kesesuaian sosio-teknologis.

3.1.4. Kelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan :


Komoditas yang akan dikembangkan tidak merusak atau membebani
lingkungan fisik tempat pengembangannya.

3.1.5. Kewajiban Nasional :


Contoh pertimbangan ini adalah pengembangan komoditas tanaman
padi sebagai kewajiban untuk menyediakan stock pangan nasional.

3.2. Pemilihan Lokasi Pengembangan

Pemilihan lokasi/sentra pengembangan komoditas tanaman unggulan


dilakukan denganbeberapa pertimbangan, antara lain :

3.2.1. Kesesuaian fisik :


Pengembangan komoditas tanaman hanyalah dilakukan pada lokasi-
lokasi yang sesuai menurut hasil analisis kesesuaian lahan FAO yang telah
dijelaskan sebelumnya.

3.2.2. Kesesuaian Ekonomi :


Lokasi pengembangan dipilih berdasarkan keunggulan lokasi yang
dimiliki sehingga mampu menghasilkan komoditas tanaman tertentu yang
memiliki daya saing tinggi di berbagai tingkatan pasar.

3.2.3. Kesesuaian sosial :


Komoditas hanya dikembangkan pada lokasi dimana masyarakat
setempat mampu berpartisipasi nyata. Kemampuan dimaksud antara lain
diukur dengan membandingkan tingkat dan jenis keterampilan yang
5

dibutuhkan untuk pengembangan suatu jenis komoditas tanaman dengan


kemapuan atau keterampilan rata-rata yang dimiliki oleh masyarakat.
Jika ternnyata suatu lokasi, dilihat dari pertimbangan fisik dan
ekonomi, sesuai untuk ditanami dengan komoditas tanaman tertentu, tetapi
ternyata komoditas tanaman tersebut tidak/ belum dikenal oleh masyarakat
setempat, maka perlu ditemukenali pelatihan dan atau penyuluhan yang perlu
diberikan kepada masyarakat setempat agar mereka mampu berperan-serta
dalam budidaya komoditas tanaman tersebut.

3.2.3. Kelestarian Lingkungan Hidup :


Lokasi pengembangan hanya pada tempat-tempat yang tidak rawan
erosi, bukan daerah penyerapan air hujan, atau daerah-daerah kritis lainnya.
Penetapan daerah yang tidak dapat dikembangkan sebagai kawasan budidaya
pertanian dilakukan dengan menggunakan kriteria-kriteria yang ditetapkan
pada Keppres No.32 Tahun 1990.

3.2.4. Keterkaitan dengan Konsepsi Agribisnis :


Pemilihan kawasan pengembangan budidaya pertanian selain men-
gikuti kriteria kesesuaian dan kelesterian yang disebutkan diatas juga
sebaiknya mempertimbangkan lokasi industri yang akan menggunakan hasil
produksinya.

Pada beberapa kasus lokasi industri akan "mendekati" lokasi bahan


baku, tetapi pada kasus lainnya, lokasi industri akan mendekati pasar (dalam
banyak kasus berupa pelabuhan). Untuk memperoleh lokasi yang optimal
maka diperlukan analisis simultan pada saat penentuan lokasi untuk
pengembangan industri dan pengembangan komoditas tanaman. Metoda
optimasi seperti programasi linier, programasi tujuan berganda atau
programasi integer merupakan peralatan analisis yang dapat digunakan untuk
memperoleh lokasi yang optimal untuk pengembangan industri dan
komoditas tanaman pertanian.

3.2.5. Keterkaitan dengan pusat-pusat pelayanan lokal dan


regional.

3.3. Identifikasi Faktor-faktor Penunjang


Faktor penunjang keberhasilan program Pengembangan Sentra
Produksi setidaknya terdiri atas lima yaitu : (i) struktur tata ruang, (ii)
kelembagaan (pemasaran,keuangan, dan lainnya), (iii) dukungan teknologi, (iv)
kualitas sumberdaya manusia, dan (v) sistem informasi.

3.3.1. Struktur Tata Ruang


6

Pengembangan kawasan budidaya pertanian diarahkan untuk


meamanfaatkan seoptimal mungkin kesempatan ekonomi (economic
opportunities) yang dimiliki lahan. Kesempatan ekonomi dimaksud selain
ditentukan oleh faktor-faktor intern yang melekat pada lahan, seperti keterse-
diaan unsur hara, ketebalan lapisan tanahn dan faktor-faktor lainnya, juga
ditentukan oleh faktor ekstern seperti aksesibilitas lokasi. Kawasan yang
secara fisik memiliki semua persyaratan untuk dikembangkan sebagai kawasan
pengembangan budidaya komoditas tanaman tertentu tidak akan
berkembang semestinya jika tidak memiliki tingkat aksesibilitas yang cukup.
Bahkan pada beberapa kasus, pengembangan suatu komoditas tanaman pada
lahan-lahan yang memiliki yang persyaratan fisik/kimiawi yang marginal
tetapi memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi lebih menguntungkan
dibandingkan dengan lahan lainnya yang lebih baik dari segi fisik tetapi
terletak pada lokasi terpencil.
Bahasan di atas memperlihatkan perlunya pengembangan sistem
pelayanan transportasi yang diikuti dengan pengembangan pusat-pusat
pelayanan lokal dan regional. Dalam hal ini struktur kota-kota dan satuan-
satuan pemukiman lainnya yang ada di daerah Sulawesi Selatan perlu di tata
sedemikian rupa sehingga mampu memberikan pelauanan seoptimal mungkin
bagi pemanfaatan lahan pertanian. Penataan dimaksud antara lain berupa
penentuan karakteristik dan derajad pelayanan yang tersedia pada setiap kota
yang seyogyanya disesuaikan dengan kebutuhan pengembangan komoditas
tanaman yang ada di wilayah hinter land kota-kota tersebut.
Metoda analisis yang dapat dipakai untuk maksud penataan tersebut
antara lain :
(a). Kajian kependudukan, berupa proyeksi jumlah penduduk dan sebarannya
pada tiap satuan pemukiman/kota. Informasi ini dibutuhkan untuk
memperkirakan jumlah dan jenis pelayanan sosial ekonomi yag
dibutuhkan.
Kajian seperti ini antara lain dapat dilakukan dengan menggunakan
analisis ambang batas (Threshold Analysis).
(b). Kajian untuk memperkirakan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan sosial
ekonomi yang dibutuhkan untuk melayni kegiatan-kegiatan budidaya
pertanian yang ada. Jumlah dan jenis fasilitas pelayanan dimaksud dapat
diketahui dengan menggu nakan kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh
instansi/departemen teknis yang terkait.
(c). Analisis sistem Hubungan, dilakukan untuk mengetahui kawasan yang
memiliki lokasi strategi yang dapat dikemnbangkan sebagai pusat
pelayanan lokal maupun regional, atau menemu kenali kawasan atau
satuan pemukiman yang kurang begitu terkait dengan wilayah
sekelilingnya.
7

(d). Analisis pola pemukiman, dilakukan untuk mengetahui sampai seberapa


jauh suatu satuan pemukiman mampu berfungsi sebagai pusat pelayanan
baik bagi penduduknya maupun bagi penduduk yang berdiam di
sekitarnya.
(e). Analisis aksesibilitas, untuk mengetahui tingkat aksesibilitas lokasi untuk
menikmati fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terletak pada pusat-
pusat pelayanan.

Perlu ditambahkan bahwa kelima analisis yang disebutkan diatas tidak


dilakukan berurutan, tetapi dalam banyak kasus dilakukan secara interaktif
(berulang). Hal ini antara lain disebabkan oleh peningkatan atau
pengembangan suatu pusat pelayanan baru akan mempengaruhi sistem
hubungan yang ada serta tingkat aksesibilitas lokasi, sehingga analisis yang
berhubungan dengan kedua hal tersebut perlu diulangi kembali. Demikian
pula sebaliknya, peningkatan atau pembuatan jalan baru, akan mempengaruhi
jangkauan fungsi pela yanan dari satuan-satuan pemukiman yang ada.

3.3.2. Kelembagaan
Kelembagaan yang dimaksud disini meliputi baik kelemba gaan formal
yang dibentuk oleh pemerintah maupun kelembagaan non-formal yang
dibentuk dan dikelola oleh masyarakat setempat. Jenis kelembagaan yang
dibutuhkan untuk menunjang program Pengembangan Sentra Produksi antara
lain kelembagaan yang berkaitan dengan proses produksi, pemasaran dan
keuangan.
Lembaga yang berkaitan dengan proses produksi selain berfungsi
untuk membantu masyarakat setempat mengatasi hambatan -hambatan yang
berhubungan dengan kegiatan produksi (mulai dari pemilihan benih sampai
pada kegiatan pasca panen) juga merupakan sarana bagi pemerintah untuk
memasukkan/memperkenalkan ide-ide atau teknologi baru yang berkaitan
dengan usaha-usaha untuk meningkatkan produktifitas pertanian di wilayah
yang ditinjau.
Jenis kelembagaan ini telah dikenal oleh masyarakat Jawa Timur,
misalnya : KUD. Analisis kinerja lembaga jenis ini dilakukan secara deskriptif,
karena belum dikenal adanya metoda analisis kuantitatif yang handal untuk
dipakai mengukur kinerja dimaksud. Lembaga pemasaran diperlukan untuk
mengorganir kegiatan pemasaran hasil-hasil produksi pertanian sehingga
mampu menekan ongkos pemasaran.
Koperasi Unit Desa (KUD) merupakan salah satu contoh lemabaga jenis
ini.Sampai seberapa jauh peranan KUD untuk memasarkan hasil produksi
warganya juga dianalisis secara deskriptif atau dengan menggunakan metoda
pembobotan.
8

Lembaga keuangan bank dan non-bank merupakan salah satu faktor


untuk menunjang program Pengemnbangan Sentra Produksi, karena dalam
banyak kasus kegiatan produksi dan atau pemasaran menjadi terhambat
karena tidak tersedianya dukungan keuangan yang memadai. Dalam banyak
kasus peranan lembaga keua-ngan ini dilakukan pula oleh KUD setempat,
tetapi dengan unjuk kerja yang relkatif rendah akibat ketiadaan modal. Perlu
dikembangkan model kerja sama antara bank-bank pemerintah ( seperti BRI
dan utamanya Bank Pembangunan Daerah) dengan KUD atau lembaga
keuangan lainnya yang ada dipedesaan.
Bentuk kelembagaan lain yang perlu didorong pengembang annya
adalah lembaga yang menghimpun petani-petani yang mengem bangkan
komoditas tanaman yang sama pada suatu kawasan pengem bangan.
Keberadaan kelembagaan semacam ini akan memungkinkan pemakaian
sarana produksi (seperti traktor,atau lainnya) secara patungan (saring) antar
sesama anggota, pengadaan sarana produksi dengan cara leasing dengan
lembaga-lembaga keuangan non-bank, dan sebagainya.

3.3.3. Teknologi
Peranan teknologi merupakan salah satu faktor penentu untuk
menaikkan tingkat produktifitas, bahkan daya saaing unbtuk komo-ditas
tanaman Teknologi tepat guna perlu dikaji pada perguruan tinggi dan balai-
balai penelitian pertanian yang ada di daerah Jawa Timur. Untuk
meningkatkan daya guna penelitian pada instansi BAPPEDA Tingkat I bersama-
sama dengan lembaga-lembaga penelitian pada instansi yang
disebutkandiatas perlu menyusun suatu blue print kegiatan penelitian,
meliputi penentuan jenis penelitian apa yang diperlukan, instansi mana yang
melakukan, jumlah dan sumber dana yang diperlukan, dan sebagainya.
Implementasi dari teknologi tepat guna yang berhasil dikem bangkan
dimasyarakatkan melalui sistem kelembagaan yang ada di pedsesaan dan atau
memanfaatkan program-program pengabdian masyarakat yang dilakukan,
jumlah dan Perguruan Tinggi, seperti KKN dan kegiatan pengabdian lainnya.

3.3.4. Kualitas Sumberdaya Manusia


Merupakan inti pemecahan maslah, karena kualitas sumber daya
manusia, yang dalam prakteknya berupa tingkat ketrampilan dan penge-
tahuan, menentukan kualitas hasil produksi dan tingkat produktivitas. Kualitas
sumberdaya manusia dapat ditingkatkan dengan pengembangan pendidikan
formal maupun non-formal serta pusat-pusat pelatihan pada kawasan-
kawasan pengembangan pertanian.
Dalam hal ini pengembangan pusat-pusat dimaksud sedapat mungkin
dihindari terakumulasi pada satu atau beberapa kota saja, seperti yang terjadi
pada saat ini. Pendidikan formal berupasekolah kejuruan pertanian umumnya
9

hanya terdapat di Jawa Timur. Hal ini selain menyulitkan praktikum siswa, juga
menimbulkan hambatan bagi transfer ketrampilan dan pengetahuan siswa ke
masyarakat umum dan juga menghambat umpan balik dari masyarakat yang
diperlukan untuk peningkatan materi pendidikan/pelatihan.
Peningkatan ketrampilan masyaraakat juga dapat dilakukan dengan
memanfaatkan sistem kelambagaan yang sudah ada, dan memanfaatkan
program pengabdian masyarakat yang diselengga rakan secara periodik oleh
Perguruan Tinggi, seperti KKN, dan kegiatan sejenis lainnya.
Faktor ini banyak berkaitan dengan usaha-usaha pengalihan teknologi
yang disebutkan pada butir c diatas kepada masyarakat pedesaan, untuk
meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan mereka.

3.3.5. Sistem Informasi


Diperlukan adanya jaringan informasi yang mampu menjang kau para
petani di pedesaan. Sistem ini salain dibutuhkan sebagai media untuk
pengalihan ilmu dan teknologi/ketrampilan kepada masyarakat, juga berfungsi
untuk memberikan informasi pasar kepada para petani, cuaca serta hal-hal
lain yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
peningkatan kualitas dan produktivitas kegiatan pertanian. Disamping itu,
keberadaan sistem informasi diperlukan bagi para perencana/pemerintah
untuk meman tau sampai seberapa jauh suatu kebijakan memberikan hasil.
Sistem informasi yang handal memungkinkan pengambil kebijakan untuk
segera mengoreksi kebijakan yang keliru atau kurang tepat dan meningkatkan
intensitas kebijakan yang ternyata berhasil guna.
Sistem informasi dimaksud minimal mampu memberikan informasi
kepada pengambil keputusan misalnya berupa sampai seberapa jauh
kontribusi program-program yang dijabarkan dari strategi Pengembangan
Sentra Produksi terhadap peningkatan PDRB.

4. METODOLOGI

Untuk mengimplementasikan konsepsi Pengembangan Sentra Produk-


si, maka perlu dilakukan beberapa program yang dibedakan menurut : (i)
program yang diarahkan untuk menyusun/mewujudkan Peta Pengembangan
Sentra Produksi setiap tingkatan administrasi pemerintahan, dan (ii) proram
untuk mengisi Peta Pengembangan Sentra Produksi yang dihasilkan oleh
program yang disebutkan pertama.
Idealnya program jenis kedua dilaksanakan hanya setelah program
jenis pertama selesai. Tetapi mengingat waktu penyelesaian program pertama
cukup panjang, maka pelaksanaan kedua jenis program dilakukan secara
simultan.
10

4.1. Penyusunan Peta Pengembangan Sentra Produksi


Peta Pengembangan Sentra Produksi disusun menurut bebe rapa
jenjang yaitu : Tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan,dan tingkat Desa. Pada
tingkat Propinsi Peta Pengembangan Sentra Produksi hanya berfungsi sebagai
arahan lokasi saja, sedangkan peta Pengembangan Sentra Produksi pada
tingkat Desa merupakan peta kerja. Jika peta Pengembangan Sentra Produksi
pada tingkat Desa belum tersedia, fungsinya digantikan oleh peta
Pengembangan Sentra Produksi tingkat Kecamatan. Jika yang terakhir ini juga
belum tersedia, maka fungsinya digantikan oleh Pengembangan Sentra
Produksi tingkat Kabupaten.
Deskripsi dari setiap jenis peta dapat dilihat pada Sub Bab berikutnya.
Proyek yang diperlukan untuk penyusunan peta Pengembangan Sentra
Produksi dimaksud, terdiri atas tiga tahapan, yaitu :
(a). Identifikasi komoditas tanaman unggulan, dilakukan berdasarkan data
yang diperoleh pada tingkat Kabupaten.
(b). Alokasi kawasan Pengembangan komoditas tanaman unggulan, dilakukan
mulai dari tingkat Propinsi sampai tingkat Desa.
(c). Penyusunan/penentuan jenjang hirarki kota-kota dan hubungan nya satu
dengan lainnya sebagai rencana penunjang bagi keberhasilan program
Pengembangan Sentra Produksi.
Pada tingkat propinsi rencana ini sebenarnya tidak lain adalah Rencana
Struktur Tata Ruang Propinsi (RSTRP), pada tingkat Kabupaten merupakan
bagian dari Rencana Umum Tata Ruang (RUTR), pada tingkat Kecamatan kira-
kira setara dengan sebagian dari Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dan pada
tingkat Desa kira-kira setara dengan bagian struktur Tata Ruang dari Rencana
Ruang (RTR).
.
4.2. Program Untuk Mengisi Peta Pengembangan Sentra
Produksi
Kelompok program ini diarahkan untuk "mengisi" Peta Pengembangan
Sentra Produksi, dan dibedakan menjadi 4 jenis program, yaitu :

(a). Program penunjang proses/kegiatan produksi.


Program ini meliputi semua proyek yang berkaitan langsung dengan
kegiatan produksi, mulai dari pengadaan bibit sampai kegiatan pasca
panen, misalnya proyek pengadaan bibit unggul, pemberantasan hama
dan sebagainya.
(b). Program Penunjang Kegiatan Pemasaran
Meliputi semua kegiatan yang mendukung kegiatan pemasaran hasil-hasil
produksi komoditas tanaman.
(c). Program Peningkatan Daya Saing Komoditas
11

Meliputi program-program untuk meningkatkan kinerja pema-saran dan


produktivitas komoditas tanaman, misalnya berupa penerapan teknologi
baru, peningkatan kemampuan kelemba gaan yang ada (Keuangan,
Koperasi, dan sebagainya), peningkatan kualitas sumberdaya manusia
(Pendidikan dan Penyuluhan), dan sebagainya.
(d). Program Peningkatan Struktur Tata Ruang
Meliputi program-program pengembangan struktur tata ruang yang
menunjang secara langsung atau tidak langsung ketiga jenis program yang
disebutkan pertama. Proyek-proyek yang termasuk dalam program ini
antara lain berupa peningkatan jalan desa, pengembanga pusat-pusat
pelatihan dan fasilitas pelayanan sosial ekonomi di kota-kota, dan
sebagainya.
Untuk memudahkan kegiatan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
proyek dalam lingkup program-program yang disebutkan diatas, maka setiap
proyek diidentifikasi dengan nama program yang melingkupinya, sasaran
(yang dapat diukur), deskripsi singkat, biaya, sumber dana, lokasi (desa),
pelaksana, dan sebagainya.
Lokasi proyek seyogyanya bersifat unik, artinya setiap proyek hanya
boleh terdapat pada satu desa saja. Jika suatu proyek dilakukan pada dua desa
atau lebih, maka proyek tersebut sebaiknya dipecah menurut jumlah desa
tempat proyek dilaksanakan. Penyebutan lokasi dengan istilah tersebar seperti
yang sering dijumpai dalam praktek harus dihindari semaksimal mungkin,
karena hal ini akan menyulitkan proses evaluasi dan pemantauan.

4.3. Pemetaan Sentra Produksi Komoditas

4.3.1. Pemetaan
Hasil analisis yang dilakukan dirangkum dan ditayangkan pada suatu
peta yang disebut Peta Pengembangan Sentra Produksi yang memuat
kawasan-kawasan pengembangan yang diprioritaskan bagi komoditas
tanaman tertentu.
Peta dimaksud dibuat berjenjang, mulai dari Peta Pengem bangan
Sentra Produksi tingkat Propinsi, Tingkat Kabupaten, Keca matan dan Tingkat
Desa. Tingkat kedalaman analisis yang diperlu kan untuk setiap peta
tersebut juga berbeda. Makin rendah jenjangnya makin detail data yang
dibutuhkan dan makin dalam pula analisis yang dilakukan. Produk rencana
dan kedalaman analisis yang dibutuhkan untuk menyusun setiap produk
rencana tersebut adalah sebagai berikut .

4.3.1.1. Tingkat Propinsi


Alokasi penggunaan lahan dibedakan menurut kawasan lindung,
kawasan hutan produksi dan kawasan budidaya pertanian.
12

1.a. Kawasan Lindung


Kawasan lindung dirinci menurut kawasan resapan air dan kawasan
hutan lindung. Kawasan resapan air merupakan kawasan yang memiliki curah
hujan tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk
geomorfologi yang yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran.
Sedangkan kawasan hutan lindung ditentukan berdasarkan kriteria yang telah
disepakati Tim Tata Ruang Nasional, yang merupakan hasil kombinasi dari
kriteria-kriteria yang dikembangkan oleh departemen teknis yang memiliki
kaitan dengan usaha-usaha pemanfaatan lahan. Kriteria dimaksud adalah :
(1). Memiliki index lokasi > 175
Indek lokasi suatu kawasan dihitung berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian No.837/Kpts/Um/11/1980, yang mengevaluasi suatu kawasan
berdasarkan pertimbangan tiga aspek, yaitu : curah hujan, kepekaan jenis
tanah terhadap erosi,dan kemiringan lereng.
(2). Kawasan yang terletak pada ketinggian > 2000 m di atas permukaan laut.
(3). Kawasan yang memiliki jenis tanah yang sangat peka terhadap erosi
(regosol, litosol, organosol, dan renzina) dan memiliki kemiringan lereng
rata-rata > 15 %.
(4). Kawasan yang memiliki kemiringan lereng rata-rata >45 %.
(5). Kawasan yang untuk keperluan khusus yang ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan sebagai hutan lindung.

1.b. Kawasan Hutan Produksi


Kawasan hutan produksi dirinci menurut : kawasan hutan produksi
terbatas, kawasan hutan produksi tetap dan kawasan hutan produksi konversi.
Kriteria ketiga jenis hutan produksi tersebut ditetapkan berdasarkan SK
Menteri Pertanian No.683/Kpts/Um/1981 dan No.837/Kpts/ Um/11/1980
sebagai berikut :
(1). Kawasan hutan produksi terbatas adalah kawasan hutan yang memiliki
indeks lokasi antara 125-174 dan berada diluar hutan suaka alam, hutan
wisata dan hutan konversi lainnya.

(2). Kawasan hutan produksi tetap adalah : kawasan yang memiliki index
lokasi > 174 dan berada diluar hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan
konversi lainnya.
(3). Kawasan hutan produksi konversi adalah : kawasan yang memiliki index
lokasi < 124 dan berada di luar hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan
produksi tetap, hutan produksi terbatas dan hutan konversi lainnya.

1.c. Kawasan Budidaya Pertanian


Alokasi pengembangan kawasan budidaya pertanian didasarkan pada
hasil analisis kemampuan lahan yang menggunakan Peta Tanah Tinjaudengan
13

tingkat ketelitian 1:250.000, dan informasi lainnya yang lebih detail (misalnya
peta-peta kesesuaian lahan yang memiliki ketelitian yang lebih tinggi).
Kawasan pengembangan budidaya pertanian dirinci secara makro,
yaitu menurut :
(1). Kawasan pengembangan padi
(2). Pengembangan kawasan palawija dan tanaman pangan
(3). Kawasan pengembangan hortikultura
(4). Kawasan pengembangan padang rumput
(5). Kawasan pengembangan tanaman perkebunan/industri
(6). Kawasan pengembangan perikanan darat : tambak dan danau.
(7). Kawasan pengembangan perikanan laut.
Sasaran produksi ditetapkan menurut sub sektor, yaitu sub sektor padi,
tanaman pangan,perkebunan,perikanan darat dan laut, dan peternakan.
Rencana konsevasi sumberdaya air, dikaitkan dengan keberadaan hutan
lindung, pada setiap DAS perlu disusun pula.

4.3.1.2. Tingkat Kabupaten


Rincian alokasi pemanfaatan lahan serupa dengan rincian pada tingkat
propinsi, yaitu menurut kawasan lindung, kawasan hutan produksi dan
kawasan budidaya pertanian, tetapi dengan tingkat ketelitian yang lebih
tinggi, yaitu pada skala peta 1.50.000 sampai 1.100.000.Kawasan lindung
dirinci lebih lanjut sehingga meliputi : kawasan hutan lindung, kawasan
resapan air, kawasan suaka alam dan cagar budaya, serta kawasan rawan
bencana.
Kawasan suaka alam dan cagar budaya terdiri atas (i) kawasan suaka
alam, (ii) pantai berhutan bakau, (iii) kawasan suaka alam laut dan perairan
lainnya, (iv) taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, dan (v)
kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. Kriteria setiap jenis kawasan
lindung diatas dapat dilihat pada lampiran berikutnya.
Alokasi kawasan budidaya pertanian dievaluasi dengan metoda
kesesuaian Lahan FAO sampai tingkat kelas, dan dirinci menurut jenis
komoditas tanaman unggulan, dengan ketelitian peta 1.50.000 sampai
1.100.000. Analisis ketersediaan air dilakukan untuk tingkat sub-DAS, hanya
meliputi air permukaan, tetapi jika data ketersediaan air tanah tersedia,
sebaiknya ikut dievaluasi pula.
Sasaran produksi ditetapkan per komoditas tanaman unggulan yang
dikembangkan pada Kabupaten yang bersangkutan dan tingkat produktivitas
setiap unit lahan seyogyanya telah ditetapkan pula.

4.3.1.3. Tingkat Kecamatan


14

Selain jenis kawasan lindung yang dipetakan pada tingkat Kabupaten,


maka pada peta Pengembangan Sentra Produksi di tingkat Kecamat ikut dirinci
pula kawasan perlindungan setempat, yaitu meliputi sempadan pantai,
sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk dan kawasan sekitar mata
air, ditambah dengan kawasan bergambut. Kriteria lokasi dari setiap kawasan
perlindungan setempat dapat dilihat pada lampiran berikutnya. Alokasi
kawasan budidaya pertanian dievaluasi dengan metoda kesesuaian lahan FAO
sampai tingkat sub-kelas, dan ketelitian peta Pengembangan Sentra Produksi
yang dihasilkan adalah 1:10.000 sampai 1:30.000.

4.3.1.4. Tingkat Desa


Alokasi kawasan budidaya pertanian dievaluasi dengan metoda
kesesuaian lahan FAO sampai tingkat unit, dan ketelitian Peta Pengembangan
Sentra Produksi yang dihasilkan adalah 1 : 5.000 sampai 1 : 10.000. Kawasan
lindung dirinci sesuai dengan rincian pada peta tingkat kecamatan tetapi
dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi. Tingkat produktivitas setiap unit
lahan sudah diperhitungkan, sehingga jumlah produksi dapat diperkirakan
untuk setiap tahun.

4.3.2. Evaluasi Lahan


(a). Prinsip Dasar
Mempelajari karakteristik sumber daya lahan baik dilapangan maupun
di laboratorium. Hasil akhirnya disajikan dalam bentuk peta sumber daya
lahan. Akan tetapi peta ini belum bersifat aplikatif terhadap kemampuan
sumber daya lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Untuk itu perlu diikuti
dengan tahapan berikutnya,yaitu evaluasi sumber daya lahan.
Evaluasi sumber daya lahan bertujuan untuk memprediksi kesesuaian
suatu penggunaan lahan yang berupa komoditi tertentu, pada suatu satuan
lahan tertentu yang berada didaerah penelitian. Evaluasi sumber daya lahan
yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti "Kerangka-kerja Evaluasi Lahan
FAO, 1976". Prinsip utama yang diterapkan adalah pemaduan (matching)
antara kualitas sumber daya lahan dan persyaratan tumbuh bagi tanaman
tertentu.

(b). Struktur Evaluasi Sumberdaya Lahan untuk


Pertanian
Dalam evaluasi sumberdaya lahan ini digunakan tiga kategori-
kesesuaian, yaitu : (i) Kesesuaian lahan kategori Order, (ii)Kesesuaian lahan
kategori Kelas, dan (iii) Kesesuaian lahankategori Sub- kelas. Kesesuaian lahan
pada kategori order dibedakan atas :

(1). Order S :
15

Lahan sesuai untuk digunakan bagi suatu usaha tani tertentu secara
berkesinambungan, tanpa atau dengan sedikit resiko kerusakan terhadap
sumber daya lahannya. Keuntungan yang diharapkan dari penggunaan
lahan ini akan memberikan nilai tambah bagi masukan yang diberikan.

(2). Order N :
Lahan tidak sesuai untuk suatu penggunaan tertentu karena mempunyai
faktor pembatas sedemikian rupa, sehingga mencegah suatu penggunaan
secara berkesinambungan.
Kesesuaian lahan pada kategori kelas merupakan pembagian lebih
lanjut dari masing-masing order kesesuaian, yaitu dengan memberi nomor
urut dibelakang simbol order. Nomor urut ini menunjukkan tingkatan kelas
yang menurun dalam satu order. Jumlah kelas dalam order tidak terbatas,
tetpai dalam studi ini hanya ditentukan 3 kelas untuk order S dan 1 kelas
untuk order N, yaitu:
(1). Kelas S1 :
Sangat sesuai (highly suitable), merupakan lahan yang tidak mempunyai
batas yang berat untuk suatu penggunaan yang berkesinambungan, atau
hanya mempunyai faktor pembatas yang tidak berarti dan tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap produksi serta tidak akan
menaikkan masukan dari yang umum diberikan.
(2). Kelas S1.5 :
Sesuai (suitable), merupakan lahan yang mempunyai pembatas ringan
untuk suatu penggunaan yang berkesinambungan. Pembatas ini sedikit
mengurangi produktivitas. Dengan sedikit masukan, produktivitas dan
keuntungan dapat ditingkatkan.
(3). Kelas S2 :
Cukup sesuai (moderately suitable), merupakan lahan yang mempunyai
beberapa pembatas agak berat untuk suatu penggunaan yang lestari.
Pembatas akan mengurangi produk tifitas dan keuntungan, serta
menghendaki peningkatan masukan dari yang umum diberikan pada
lahan yang bersangkutan.
(4). Kelas S3 :
Hampir sesuai (marginally suitable), merupakan lahan yang mempunyai
beberapa faktor pembatas yang sangat berat untuk suatu penggunaan
secara berkesinambungan. Pembatas akan mengurangi produktifitas
atau keuntungan sehingga perlu peningkatan masukan yang dibutuhkan.
(5). Kelas N :
Tidak sesuai (not suitable), merupakan lahan yang faktor pembatas
sangat serius serta sukar untuk diperbaiki. Jika digunakan untuk suatu
usahatani, secara ekonomis tidak menguntungkan karena lebih banyak
resiko kerusakan atau kerugian yang akan terjadi.
16

Kesesuaian lahan pada tingkat Sub-kelas mencerminkan jenis pembatas


atau macam perbaikan yang diperlukan dalam satu kelas. Adapun
simbol-simbol sub-kelas yang digunakan dalam studi ini antara lain :
s : Pembatas pada daerah perakaran, berupa kedalaman efektif kurang,
sebaran besar butir yang tergolong agak kasar sampai sangat kasar,
retensi air rendah dan berbatu.
n: Kesuburan tanah, yaitu tingkat kesuburan sangat rendah susah untuk
diatasi.
a : Reaksi tanah, yaitu reaksi tanah sangat masam dan sulit diatasi.
x : Salinitas dan alkalinitas, yaitu kandungan garam yang tinggi dan
mempengaruhi tanaman.
d : Kelas drainase alami, yaitu berupa kelebihan air yang disebabkan oleh
muka air tanah tinggi, permeabilitas lambat atau aliran permukaan
yang lambat, atau kombinasi dari ketiganya.
f : Banjir, terutama yang harus diperhatikan adalah frekuensi, lama,
dalam, kecepatan air serta kemungkinan masuknya air laut.
e : Erosi, ketahan, tingkat kerusakan dan besarnya persentase lereng.
t : relief, persentase kemiringan dan atau mikro relief.
r : Tipe hujan, jumlah curah hujan per tahun serta distribusinya karena
berpengaruh terhadap pemeliharaan tanaman.

5. DISAIN DAN PEMODELAN

5.1. Konsep Teori dan Pendekatan


Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pengelolaan sumberdaya
lahan secara lestari ternyata sangat beragam dan rumit. Dengan demikian
upaya pemecahannya memerlukan suatu pende katan sistemik yang bersifat
komprehenseif, sibernetik, dan efektif (Mize dan Cock, 1968). Pendekatan ini
dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang rumit secara bertahap,
berurutan dan mempunyai sistematika logika yang jelas. Pendekatan sistemik
ini bertumpu pada model dan pemodelan sebagai upaya untuk
menyederhanakan perilaku sistem yang dipelajari. Langkah-langkah
prosedural analisis sistem untuk memecahkan masalah penelitian dilukiskan
dalam Gambar 1.

(a). Analisis Kebutuhan


Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengidentifikasikan kebutuhan-
kebutuhan yang terkait dalam upaya pengelolaan lahan dan sekaligus
menyusun prioritas kepentingannya. Dalam kajian seperti ini dapat dike-
mukakan tiga kebutuhan pokok yang terkait dalam pengelolaan sumberdaya
lahan di suatu wilayah, yaitu (i) produksi pertanian yang mampu menyediakan
pendapatan bagi segenap petani penguasa lahan, (ii) tersedianya kesempatan
17

kerja yang mampu menyediakan pendapatan bagi para buruh tani, (iii)
terkendalinya erosi dan limpasan permukaan di seluruh lahan desa sehingga
tidak mengancam kelestarian sumberdaya lahan dan bangunan serbaguna
seperti Bendungan Karangkates

.
.
.
.
.
.
.

, Analisis Kebutuhan

, Formulasi Permasalahan

, Identifikasi Sistem

, Pemodelan Sistem

, Validasi Model

, Eksperimentasi

, Pemantauan

Gambar 1. Rangkaian langkah-langkah kegiatan penelitian

(b). Formulasi Permasalahan


Upaya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di atas menghadapi berbagai
kendala sumberdaya dan kendala fungsional. Hal ini mengakibatkan
munculnya berbagai masalah. Pada dasarnya masalah-masalah ini dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu (i) masalah produksi
18

pertanian, (ii) masalah erosi dan limpasan permukaan, dan (iii) masalah alokasi
sumberdaya. Masalah produksi pertanian dapat dijabarkan menjadi beberapa
hal, yaitu (i) kemampuan (capability) dan kesesuaian (suitability) sumberdaya
lahan, (ii) neraca lengas lahan potensial, (iii) sumberdaya genetik (varietas-
varietas unggul), dan (iv) sarana produksi. Masalah erosi dan limpasan
permukaan dapat dirinci menjadi dua , yaitu (i) kendala tanah dan (ii) kendala
iklim. Sedangkan masalah alokasi mempunyai dua aspek penting, yaitu (i)
alokasi masukan komersial termasuk tenagakerja dan teknologi, dan (ii)
alokasi sumberdaya lahan secara spasial.

(c). Identifikasi Sistem


Identifikasi sistem pada hakekatnya dimaksudkan un-tuk menentukan
batasan sistem dan ruang lingkup penelaahan sistem yang sedang dipelajari.
Dalam kajian seperti ini batasan sistem ialah wilayah tertentu, sepereti
Propinsi Jawa Timur, atau DAS Brantas berdasarkan kriteria Sub Balai
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (Sub BRLKT) Brantas. Sedangkan
ruang lingkup penelaahan ialah perencanaan dan pengelolaan sumberdaya
lahan. Dalam hal pengelolaan lahan pertanian, maka produktivitasnya sangat
ditentukan oleh jenis agroteknologi yang digunakan oleh petani. Hingga
batas-batas tertentu produktivitas lahan ini dapat dikendalikan oleh manusia.

(d). Pemodelan Sistem


Pemodelan sistem dalam penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan
model-model kuantitatif yang dapat digunakan untuk menerangkan perilaku
subsistem-subsistem yang dipelajari. Sebagian dari model ini diambil dari
pustaka-pustaka ilmiah yang telah teruji keterandalannya. Pengintegrasian
model-model ini dilakukan berdasarkan sistematika logis untuk memecahkan
masalah yang dihadapi. Tiga kelompok model yang digunakan dalam kajian
sepereti ini a.l. ialah (i) model evaluasi sumberdaya lahan, dan sumberdaya
manusia, (ii) model neraca lengas, erosi dan limpasan permukaan, dan (iii)
model alokasi sumberdaya (Soemarno, 1991a).

(e). Validasi Model dan Eksperimentasi


Proses pengujian model dilakukan dengan menggunakan informasi
dasar yang berupa hasil pemetaan dan klasifikasi tanah, data hidrologi, data
agroekologi, dan data usahatani. Karakteristik agroekologi merupakan
masukan bagi submodel evaluasi lahan. Dengan bantuan program komputer
(LECS) dapat dicari jenis-jenis tanaman yang sesuai. Jenis tanaman ini
digunakan sebagai dasar menentukan pola pergiliran tanaman sepanjang
tahun yang layak air berdasarkan kepada neraca air lahan dan neraca air
tanaman. Jenis tanaman yang sesuai ini juga digunakan sebagai dasar untuk
19

menentukan jenis usahatani yang akan dianalisis dengan submodel fungsi


produksi.
Sebagian dari karakteristik lahan digabungkan dengan data hidrologi
menjadi masukan bagi submodel erosi. Hasil dari submodel ini adalah dugaan
erosi potensial selama setahun. Hasil dugaan erosi ini digunakan untuk
mengevaluasi alternatif pola pergiliran tanaman sepanjang tahun yang layak
air dan sesuai dengan kondisi lahan.
Alternatif pola pergiliran tanaman yang aman ditinjau dari segi erosi
merupakan masukan bagi model fungsi produksi dan I/O usahatani. Analisis
dalam kedua model ini dilakukan dengan menggunakan data primer dari
masing-masing jenis usahatani. Hasil analisis ini adalah besarnya penerimaan ,
kebutuhan tenagakerja dan R/C-rasio dari setiap usahatani, serta alokasi
sarana produksi yang diperlukannya. Pemilihan pola pergiliran tanaman
dilakukan berdasarkan besarnya R/C-rasio ini. Dari hasil analisis dan simulasi
seperti yang dikemukakan di atas diharapkan dapat diperoleh alternatif-
alternatif pola pergiliran tanaman sepanjang tahun dengan perkiraan nilai
erosi, produktivitas, dan alokasi optimal sumberdaya (faktor produksi). Hasil-
hasil perhitungan ini digunakan sebagai koefisien-koefisien dalam model
alokasi sumberdaya bersasaran ganda untuk mendapatkan alokasi optimal
penggunaan sumberdaya lahan (Soemarno, 1991). Diagram alir deskriptif dari
model analisis yang akan digunakan disajikan dalam Gambar 2.

5.2. Data yang Dikumpulkan

(1). Data Sosial Ekonomi


Data sosial ekonomi dikumpulkan untuk merumuskan model fungsi
produksi dan fungsi keuntungan dari masing- masing jenis usahatani . Data
sekunder yang dikumpulkan meliputi: (i) jumlah dan kepadatan penduduk di
setiap desa, (ii) rataan laju perkembangan penduduk, (iii) mata pencaharian
penduduk, (iv) luas dan hasil komoditas pertanian, (v) harga komoditas
pertanian dan sarana produksi pertanian di tingkat petani.

.
.
.
.
.
.

Mulai
20

Persiapan dan Masukan Data:


Biofisik, Sosial-ekonomi, Demografi

Interpretasi Foto Udara


Analisis geomorfologi bentang lahan

Evaluasi Erosi dan Hidrologi


Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi Pola Pergiliran Tanaman dan Usahatani
Evaluasi Alternatif Agroteknologi
Alokasi Sumberdaya

Pola Penggunaan Lahan dan Sistem Pertanian


yang Optimal

Selesai

Gambar 2. Diagram Alir Deskriptif Perencanaan dan Pengembangan Sentra


Produksi Komoditas di Jawa Timur.

Data primer dikumpulkan dengaan cara memilih secara sengaja


delapan desa contoh yang menjadi pusat usahatani komoditas tertentu,
kemudian dari setiap desa ini dipilih secara acak petani-petani contoh.
Wawancara dengan petani contoh dilakukan dengan menggunakan daftar
pertanyaan yang telah disusun sebelumnya.

(2). Data Agroekologi dan Hidrologi


Data-data ini semuanya dikumpulkan untuk merumuskan model erosi ,
neraca air, dan evaluasi lahan. Data agro-klimat serta hasil pemetaan dan
survei tanah diambil dari Proyek Kali Brantas dan Instansi-Instansi yang terkait.

5.3. Model yang Digunakan


Beberapa model yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah:
21

(1). Model Evaluasi Lahan Pertanian


(2). Model Erosi dan Hidrologi (erosi, limpasan permukaan,neraca air)
(3). Model Usahatani (R/C-ratio )
(4). Model alokasi sumberdaya (Linear Goals Programming),
Penggunaannya dalam proses analisis dapat dijelaskan berikut ini.
Analisis dalam model evaluasi lahan menggunakan data tanah dan agroklimat
dari suatu unit lahan yang dipadukan dengan syarat tumbuh tanaman.
Hasilnya adalah jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk satuan lahan tertentu
Jenis- jenis tanaman ini dipakai untuk menyusun alternatif pola pergiliran
tanaman sepanjang tahun yang layak air. Jenis pola tanam ini dievaluasi
dengan analisis usahatani, analisis fungsi produksi dan fungsi keuntungan.
Setiap alternatif pola tanam tersebut di atas dievaluasi nilai rataan tertimbang
faktor-C yang selanjutnya digunakan dalam model erosi Analisis dalam model
erosi ini juga memerlukan data tanah, topografi, dan data hujan di suatu
satuan lahan. Hasilnya adalah dugaan erosi (kehilangan tanah) potensial
selama setahun . Keterkaitan antara berbagai model ini dapat dilukiskan
dalam Gambar 3.

5.3.1. Model Kesesuaian Lahan


Dalam penelitian ini kesesuaian lahan bagi tanaman pertanian
dianalisis dengan program LECS. Cara ini dikembangkan oleh Pusat Penelitian
Tanah, Bogor. Prosedur kuantifikasi untuk evaluasi kesuburan tanah
mengikuti metode Catalan (1990).

5.3.2. Model Erosi


Model erosi yang digunakan adalah model erosi yang dikembangkan
oleh Wischmeier dan Smith (1960, 1978) yang dikenal dengan istilah The
Universal Soil Loss Equation atau Persamaan Umum Kehilangan Tanah
(Arsyad, 1989). Formulanya adalah:
A = R.K.L.S.C.P

A = besarnya erosi yang diprakirakan akan terjadi dari suatu tanah dalam ton
per hektar per tahun,
R = faktor curah hujan dan aliran permukaan, adalah in-deks erosi hujan yang
menyatakan kekuatan erosi (erosivitas) hujan,
K = faktor erodibilitas tanah, adalah laju erosi tanah per satuan indeks erosi
hujan yang diukur pada petak baku yaitu petak percobaan yang
panjangnya 22 m pada kecuraman lereng 9% yang bersih dan tidak
ditanami,

.
.
22

Dekripsi satuan bentuk lahan; deskripsi profil tanah, analisis


contoh tanah, air, dan agroklimat

Modul tanah

Modul syarat tumbuh tanaman


Modul Iklim

Jenis tanaman yang sesuai secara agroekologi

Modul erosi: Pendugaan erosi (spot assessment)

Modul Neraca Lengas:


Evaluasi neraca lengas lahan, defisit lengas dalam setahun, dan
menduga "ketahanan tanaman"

Modul Pola tanam ; Usahatani ; Alokasi Lahan

Output: Alternatif komoditas

Gambar 3. Bagan keterkaitan antar model analisis.

L = faktor panjang lereng adalah nisbah erosi dari tanah dengan panjang
lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan panjang
lereng 22 m di bawah kondisi yang identik,
S = faktor kecuraman lereng adalah nisbah besarnya erosi dari tanah dengan
kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan
kecu-raman lereng 9%, di bawah kondisi yang identik,
C = faktor penutup tanah dan pengelolaan vegetasi, adalah nisbah besarnya
erosi dari suatu areal dengan penutup tanah dan pengelolaan tertentu
terhadap besarnya erosi dari suatu areal yang identik yang diolah tanpa
penutup tanah. Faktor C juga sering disebut sebagai faktor pengelolaan
tanaman,
23

P = faktor tindakan-tindakan konservasi tanah khusus, ada lah nisbah besarnya


erosi dari tanah yang mendapat perlakuan konservasi tanah khusus
terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah lurus menurut arah
lereng. Tindakan-tindakan konservasi khusus adalah pengolahan tanah
dan penanaman menurut kontur, penanaman dalam strip, dan terras.
Kehilangan tanah maksimal yang masih ditoleransikan berda-sarkan
pertimbangan genesis tanah diduga dengan teknik Hamer (1982):
TSL = (ESD x SDF)/T

TSL : kehilangan tanah maksimal yang ditoleransi, mm/th


ESD : kedalaman efektif tanah, mm,
T : masa guna tanah, 100 tahun,
SDF : Faktor kedalaman tanah, 0 - 1.0

(a). Erosivitas hujan


Pendugaan faktor erosivitas hujan dilakukan dengan menggunakan
model yang dikembangkan oleh Bols (1978) sebagai berikut:
EI30= kCH . kHH . kCHM
R = (EI30)
kCH = 6.119 (0.1. CH1.211)
kHH = HH-0.474
kCHM = (0.1 CHM0.526)
R : faktor erosivitas hujan setahun,
kCH : koefisien jumlah curah hujan,
kHH : koefisien hari hujan,
kCHM: koefisien hujan maksimal dalam 24 jam,
CH : jumlah curah hujan, cm;
HH : hari hujan,
CHM : curah hujan maksimal dalam 24 jam, cm.

(b). Faktor Erodibilitas Tanah


Faktor erodibilitas tanah dicari sebagai berikut :
K = 0.02M1.14.10-4(12-%BO)+0.0325(B-2)+0.025(C-3)
M = (%DB)(100-%LT)
K : erodibilitas tanah,
BO : kadar bahan organik tanah, %C,
DB : persentase fraksi debu, %,
LT : persentase fraksi liat, %.
24

Data yang diperlukan adalah: (i) kandungan debu, (ii) kandungan liat,
(iii) kandungan bahan organik, (iv) perme- abilitas tanah, dan (v) struktur
tanah.

(c). Faktor Topografi (LS)


Faktor topografi diperkirakan dengan menggunakan rumus-rumus
berikut ini:
LS = 10.5 (0.0138+0.00965s+0.00138s2) l : panjang lereng, m,
s : kecuraman lereng, %
LS = (L/22.1)m (65.41 Sin2@ +4.56 Sin @ + 0.065)
m = 0.5 untuk kecuraman lereng lebih 5% hingga 20%,
m = 0.4 untuk kecuraman lereng 3 - 5 %,
m = 0.3 untuk kecuraman lereng 0 - 3 %.
Untuk kecuraman lereng antara 20% hingga 100% berlaku rumus:
LS = (L/22.1)m C(Cos @)1.503 (0.5(Sin @)1.249+(Sin@)2.249)
C = 34.7046
@ = sudut kemiringan, derajat

(d). Faktor Tanaman (C) dan Pengelolaan Lahan (P)


Faktor pengelolaan tanaman (C) tunggal diambil dari pustaka yang ada
atau dari hasil-hasil penelitian sebelumnya di Wilayah Jawa Timur.
Perhitungan faktor-C untuk pola tanam sepanjang tahun di suatu lokasi
tertentu dihitung dengan menggunakan rumus empiris (Soemarno, 1988)

(e). Perkiraan Kehilangan Tanah Potensial


Perkiraan kehilangan tanah potensial dicari dengan rumus berikut ini:
KTpot = K. R . LS
KTpot= dugaan kehilangan tanah potensial pada satuan lahan selama
setahun, K = faktor erodibilitas tanah, R = faktor erosivitas hujan, LS = faktor
topografi di lokasi pengamatan.

5.3.3. Model Fungsi Produksi


Model fungsi produksi ini secara umum adalah:

Yi = f (X1, X2, .........., Xn , D)

Yi : produksi tanaman ke i, kg/musim


X1 : luas lahan yang ditanami, ha,
X2 : jumlah bibit / benih yang digunakan,
25

Xn : faktor sarana produksi yang ke n,


D : peubah sandi (dummy variable)
Dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi Cobb- Douglas (Heady
dan Dillon, 1964) yang rumusan matematikanya adalah:
Yi = a Xijb. eijD.u,
Yi : produksi tanaman ke i,
a : intersep, konstante,
b : koefisien regre si,
Xi : peubah bebas, sarana produksi,
D : peubah sandi,
e : eksponensial,

5.3.4. Model FECS


Model ini tersusun atas empat model evaluasi, yaitu (i) model neraca
lengas lahan (Thornthwaite dan Mather, 1955, 1957), (ii) model evaluasi
agroteknologi, (iii) model input-output usahatani. Pada lokasi-lokasi yang
mempunyai data dan informasi klimatologis yang memadai akan digunakan
metode Penman untuk menduga evapotranspirasi potensial.

A. Model neraca lengas lahan


Data yang diperlukan untuk menyusun neraca lengas ini adalah (i)
curah hujan, (ii) evapotranspirasi potensial, dan (iii) kandungan air tanah pada
kondisi kapasitas la-pang (pF = 2.54) dan titik layu permanen (pF = 4.2) (Nasir,
1986).
Asumsi yang digunakan ialah (i) lahan datar tertutup vegetasi yang
secara umum evapotranspirasinya dapat diwa-kili oleh evapotranspirasi
rumput, (ii) lahan kering tanpa masukan air dari luar selain air hujan, (iii)
penggunaan air mempunyai urutan: evapo transpirasi aktual atau potensial
baku, perubahan kandungan air tanah, limpasan permukaan dan drainase, (iv)
tanah terdiri atas acuan butiran yang homogen sehingga kandungan air tanah
pada kapasitas lapang dapat dianggap mewakili seluruh lapisan dan hamparan
tanah. Model-model yang digunakan adalah:

(a). Model ETP dari Thornthwaite


ETP = 1.6 (10 T/I)a
i = (T/5)1.514 ; I = i
a = 6.75x10-9 I3-771x10-7 I2+0.01792 I+0.49239
ETPterkoreksi = ETP x N
26

T adalah rataan suhu udara bulanan (oC), N adalah faktor panjang hari
untuk setiap bulan di lokasi analisis.

(b). Model CH-ETP : curah hujan bulanan dikurangi evapotranspirasi


potensial bulanan.

(c). Model APWL (Accumulated Potential of Water Loss)


Hasil nilai negatif pada model (b) diakumulasikan bulan demi bulan
sebagai nilai APWL.

(d). Model Kapasitas Lapang (KL) dengan kedalaman tinjau tertentu.


Nilai KL dalam satuan mm air.

(e). Model Kandungan Air Tanah (KAT)


Nilai KAT pada bulan dimana terjadi APWL diisi menurut tabel
komputasi atau dihitung dengan rumus:
KAT = KL x kAPWL
k = P0 + (P1/KL)
P0 = 1.000412351; P1 = -1.073807306
Pengisian KAT dimulai dari bulan pertama terjadinya APWL. KAT bulan
pertama dimana CH-ETP bernilai positif diisi dengan rumus: KAT = KATterakhir
+ CH-ETP

(f). Model perubahan kandungan air tanah bulanan


Perubahan KAT suatu bulan adalah KAT bulan tersebut dikurangi KAT
bulan sebelumnya. Nilai positif menyatakan penambahan kandungan air
tanah, penambahan ini berhenti kalau kandungan air tanah sama dengan
kapasitas lapangan.

(h). Model Evapotranspirasi Aktual


Kalau CH < ETP, maka berlaku hubungan:
ETA = CH + | KAT|
Kalau CH > ETP, maka berlaku hubungan:
ETA = ETP

(i). Model Defisit Air Tanah (D) : D = ETP - ETA


(j). Model Surplus Air (S) : S = CH - ETP - KAT

B. Model Evaluasi Agroteknologis


27

Model ini dikembangkan dari hasil-hasil evaluasi model erosi, model


LECS, dan model neraca lengas lahan. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk
mencari alternatif pola pergiliran tanaman dengan teknik konservasi tanahnya
yang aman erosi dan layak ekonomis pada suatu satuan analisis lahan.
Alternatif pola pergiliran tanaman yang digunakan adalah alternatif yang
tahan kekeringan berdasarkan neraca lengas lahan. Sedang alternatif
tindakan konservasi tanah meliputi terras bangku yang berkualitas sedang dan
baik. Model yang digunakan adalah:
CPmaks = TSL/RKLS
CPmaks = nilai maksimum dari faktor pengelolaan tanah dan tanaman
di suatu satuan analisis lahan; TSL = toleransi erosi; RKLS = kehilangan tanah
potensial pada suatu satuan analisis lahan tertentu.
Satuan analisis yang dimaksudkan dalam bagian ini ialah (i) satuan
lereng, untuk keperluan pendugaan kehilangan tanah dengan menggunakan
model USLE, dan (ii) sa-tuan analisis lahan (selanjutnya disebut satuan
analisis), untuk analisis alternatif agro teknologi.

(a). Pemetaan satuan lereng


Pengertian lereng dalam hal ini sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
model USLE. Dalam setiap satuan lereng diidenti fikasikan beberapa
karakteristik penting (i) batas satuan lereng, (ii) panjang lereng, (iii) kemiringan
lereng rataan, (iv) luas, (v) jenis tanah, dan (vi) hujan (curah hujan bulanan,
hari hujan, dan hujan maksimum dalam 24 jam).

.
(b). Satuan analisis lahan
Satuan analisis ini disusun berdasarkan tiga kriteria utama, yaitu (i)
jenis tanah, (ii) kemiringan lahan, dan (iii) tipe agroklimat (Soemarno, 1988)

(c). Rangkaian analisis agroteknologi


Agroteknologi yang dimaksudkan dalam bagian ini terdiri atas dua
komponen, yaitu pola pergiliran tanaman sepanjang tahun dan teknik
konservasi terras bangku disain baku kualitas sedang dan baik. Analisis
dilakukan pada beberapa sistem lahan.
Urutan proses analisis adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi kondisi agroklimat dan indeks erosivitas hujan bulanan
2. Penyusunan Peta Tanah berdasarkan hasil survei tanah yang pernah
dilakukan ,
3. Penyusunan Peta Satuan Lereng ,
4. Deskripsi satuan-satuan lereng yang ada ,
28

5. Evaluasi dugaan kehilangan tanah potensial dan in-deks bahaya erosi serta
faktor-CP maksimum untuk setiap satuan lereng ,
6. Penyusunan Peta Penggunaan Lahan Aktual ,
7. Penyusunan Peta Satuan Analisis Lahan ,
8. Beberapa alternatif agroteknologi untuk lahan sawah dan tegalan
Penentuan panjangnya periode pertumbuhan potensial (length of
growing period = LGP) dilakukan berdasarkan perbe daan antara hujan
dengan evapotranspirasi potensial (Wood dan Dent, 1983).

C. Model input-output usahatani


Model input-output usahatani digunakan untuk mengevaluasi R/C ratio
usahatani setiap musim tanam dan R/C ratio pola pergiliran tanaman selama
setahun, menghitung besarnya penerimaan kotor usahatani dan kebutuhan
tenagakerja dalam usahatani (Soemarno, 1992). Sedangkan fungsi produksi
untuk mengevaluasi alokasi optimal sarana produksi.

Interpretasi Peta bentuk Peta tanah


foto udara dan lahan
peta topografi

Peta kemampuan dan


kesesuaian lahan

Peta penggunaan Peta arahan


lahan aktual penggunaan lahan

Hasil analisis alokasi


lahan optimal

Peta sentra produksi komoditas

Gambar 4. Langkah-langkah prosedural pemetaan alokasi lahan yang


optimal.
29

Anda mungkin juga menyukai