Anda di halaman 1dari 10

TINJAUAN TEORI Hiperbilirubinemia

A. Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-
7 mg/dl (Kosim, 2012).
Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dl
(>17mol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin >5mg/dl
(86mol/L) (Etika et al,2006). Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa
pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada
gambaran kadar bilirubin serum total.
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus
ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak
dikendalikan (Mansjoer,2008).

B. Klasifikasi
1. Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologis adalah suatu proses normal yang terlihat pada sekitar 40-50 %
bayi aterm/cukup bulan dan sampai dengan 80 % bayi prematur dalam minggu
pertama kehidupan. Ikterus fisiologis adalah perubahan transisional yang memicu
pembentukan bilirubin secara berlebihan di dalam darah yang menyebabkan bayi
berwarna ikterus atau kuning (Kosim, 2012).
Menurut Ridha (2014) ikterus fisiologis memiliki tanda-tanda, antara lain
sebagai berikut :
a. Warna kuning akan timbul pada hari kedua atau ketiga setelah bayi lahir dan
tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai hari
kesepuluh.
b. Kadar bilirubin indirek tidak lebih dari 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan
dan 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5 mg/dl per hari.
d. Kadar bilirubin direk tidak lebih dari 1 mg/dl.
e. Tidak memiliki hubungan dengan keadaan patologis yang berpotensi menjadi
kern icterus (ensefalopati biliaris adalah suatu kerusakan otak akibat
perlengketan bilirubin indirek pada otak).
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia (Saifuddin, 2009).
Menurut Kosim (2012) ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari ikterus
fisiologis. Keadaan di bawah ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjutnya sebagai
berikut :
a. Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam.
b. Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi.
c. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg/dl pada neonatus kurang bulan dan
12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan.
d. Peningkatan bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam.
e. Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap bayi muntah, letargis,
malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu
yang tidak stabil.
f. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada
bayi kurang bulan.
g. Ikterus yang disertai keadaan antara lain : BBLR, masa gestasi kurang dari 36
minggu, asfiksia, infeksi, dan hipoglikemia.
Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50 % neonatus cukup bulan dan
lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir dapat
merupakan gejala fisiologis atau dapat merupakan hal yang patologis, misalnya pada
inkompatibilitas Rh dan ABO, sepsis, penyumbatan saluran empedu, dan sebagainya
(Saifuddin, 2009).

C. Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat dibagi:
a. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis
yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi
G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake
bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan
di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar
biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
(Hassan et al.2005)

D. Patofisiologi
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin
yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari
heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk
menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam
air (bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma
terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam
tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin dan
menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat(bilirubin
terkonjugasi, direk) (Sacher,2004).
Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke
sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh
bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang
ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi
sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai
senyawa larut air bersama urin(Sacher, 2004).
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada
dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus
bila kadarnya >7mg/dl(Cloherty et al, 2008).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan
hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah
normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan
menyebabkan hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam
darah dan jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini
akan berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut
ikterus atau jaundice(Murray et al,2009).
E. Manifestasi klinis
Bayi baru lahir (neonatus) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira
6mg/dl (Mansjoer at al, 2007). Ikterus sebagai akibat penimbunan bilirubin indirek pada
kulit mempunyai kecenderungan menimbulkan warna kuning muda atau jingga.
Sedangkan ikterus obstruksi (bilirubin direk) memperlihatkan warna kuning-kehijauan
atau kuning kotor. Perbedaan ini hanya dapat ditemukan pada ikterus yang berat (Nelson,
2007).
Gambaran klinis ikterus fisiologis:
a. Tampak pada hari 3,4
b. Bayi tampak sehat (normal)
c. Kadar bilirubin total < 12mg%
d. Menghilang paling lambat 10-14 hari
e. Tak ada faktor resiko
f. Sebab: proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et al,
1994)
Gambaran klinik ikterus patologis:
a. Timbul pada umur <36 jam
b. Cepat berkembang
c. Bisa disertai anemia
d. Menghilang lebih dari 2 minggu
e. Ada faktor resiko
f. Dasar: proses patologis (Sarwono et al, 1994)

F. Komplikasi
Terjadi kern ikterus yaitu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada
otak. Pada kern ikterus, gejala klinis pada permulaan tidak jelas antara lain: bayi tidak
mau menghisap, letargi, mata berputar-putar, gerakan tidak menentu, kejang tonus otot
meninggi, leher kaku dan akhirnya opistotonus. Bayi yang selamat biasanya menderita
gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gangguan pendengaran, paralysis
sebagian otot mata dan dysplasia dentalis.
G. Pemeriksaan Diagnosis
1. Pemeriksaan Fisik
Secara klinis, ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah
beberapa hari. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus
akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan
yang kurang, terutama pada neonatus yang berkulit gelap. Penilaian ikterus akan lebih
sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar (Etika et al, 2006).
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah dan
sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk
ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang
hidung,dada,lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning.
Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel
yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya(Mansjoer et al, 2007).

Derajat Ikterus pada Neonatus menurut Kramer

Sumber:Arif Mansjoer.Kapita Selekta Kedokteran jilid 2,edisi III Media Aesculapius


FK UI.2007:504

Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam diagnosis dan
penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan erat dengan
kemungkinan penyebab ikterus tersebut (Etika et al, 2006).
2. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada neonatus
yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-bayi yang
tergolong resiko tingggi terserang hiperbilirubinemia berat.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan Coombs test, darah lengkap
dan hapusan darah, hitung retikulosit, skrining G6PD dan bilirubin direk. Pemeriksaan
serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya
kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk menentukan pilihan terapi
sinar atau transfusi tukar(Etika et al, 2006).

Penegakan diagnosis ikterus neonatarum berdasarkan waktu kejadiannya:


Waktu Diagnosis banding Anjuran Pemeriksaan
Hari ke-1 Penyakit hemolitik Kadar bilirubin serum berkala Hb, Ht,
Inkompatibilitas darah(Rh,ABO) retikulosit,sediaan hapus darah
Sferositosis. Anemia hemolitik golongan darah ibu/bayi, uji Coomb
nonsferositosis(defisiensi G6PD)
Hari ke-2 s.d Kuning pada bayi prematur Hitung jenis darah lengkap
ke-5 Kuning fisiologik, Sepsis Urin mikroskopik dan biakan urin,
Darah ekstravaskular, Polisitemia Pemeriksaan terhadap infeksi bakteri,
Sferositosis kongenital golongan darah ibu/bayi, uji Coomb
Hari ke-5 s.d Sepsis, Kuning karena ASI Uji fingsi tiroid, Uji tapis enzim
ke-10 Def G6PD, Hipotiroidisme G6PD, Gula dalam urin
Galaktosemia, Obat-obatan Pemeriksaan terhadap sepsis
Hari ke-10 Atresia biliaris, Hepatitis neonatal Urin mikroskopik dan biakan
atau lebih Kista koledokusm, Sepsis(terutama Uji serologi TORCH, Alfa fetoprotein,
infeksi saluran kemih), Stenosis alfa1antitripsin, Kolesistografi, Uji
pilorik Rose-Bengal
Sumber:Levine Ml,Tudehope D.Thearle J.Essentials of Neonatal Medicine
Brookes:Waterloo 1990:165
H. Penatalaksanaan
Pada dasarnya, pengendalian bilirubin adalah seperti berikut:
a. Stimulasi proses konjugasi bilirubin menggunakan fenobarbital. Obat ini kerjanya
lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus
yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai
lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang pada proses metabolisme bilirubin(misalnya
menambahkan glukosa pada hipoglikemi) atau (menambahkan albumin untuk
memperbaiki transportasi bilirubin). Penambahan albumin bisa dilakukan tanpa
hipoalbuminemia. Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi
bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini menyebabkan kadar bilirubin plasma
meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan
albumin. Albumin diberikan dengan dosis tidak melebihi 1g/kgBB, sebelum maupun
sesudah terapi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini
d. Memberi terapi sinar hingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik
dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar (Mansjoer et al,
2007).
Pada umunya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:
1. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek 20 mg/dL
2. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat yaitu 0,3-1mg%/jam
3. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
4. Bayi dengan kadar hemoglobin tali pusat < 14mg% dan uji Coombs direct
positif (Hassan et al, 2005).
f. Menghambat produksi bilirubin. Metalloprotoporfirin merupakan kompetitor
inhibitif terhadap heme oksigenase. Ini masih dalam penelitian dan belum digunakan
secara rutin.
g. Menghambat hemolisis. Immunoglobulin dosis tinggi secara intravena(500-
1000mg/Kg IV>2) sampai 2 hingga 4 jam telah digunakan untuk mengurangi level
bilirubin pada janin dengan penyakit hemolitik isoimun. Mekanismenya belum
diketahui tetapi secara teori immunoglobulin menempati sel Fc reseptor pada sel
retikuloendotel dengan demikian dapat mencegah lisisnya sel darah merah yang
dilapisi oleh antibody (Cloherty et al, 2008).

Terapi sinar pada ikterus bayi baru lahir yang di rawat di rumah sakit.
Dalam perawatan bayi dengan terapi sinar,yang perlu diperhatikan sebagai berikut :
a. Diusahakan bagian tubuh bayi yang terkena sinar dapat seluas mungkin dengan
membuka pakaian bayi.
b. Kedua mata dan kemaluan harus ditutup dengan penutup yang dapat memantulkan
cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel reproduksi bayi.
c. Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang terbaik
untuk mendapatkan energi yang optimal.
d. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 18 jam agar bagian tubuh bayi yang
terkena cahaya dapat menyeluruh.
e. Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
f. Kadar bilirubin bayi diukur sekurang-kurangnya tiap 24 jam.
g. Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan hemolisis.
Daftar Pustaka

Cloherty, J. P., Eichenwald, E. C., Stark A. R., 2008. Neonatal Hyperbilirubinemia in


Manual of Neonatal Care. Philadelphia: Lippincort Williams and Wilkins, pp 181; 194;
202; 204; 210.

Etika, R. et al. (2005). Hiperbilirubinemia pada Neonatus (hyperbilirubinemia in neonate).


http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-js9kh-pkb.pdf. Diakses tanggal 1 november
2010

Hasan, Rusepno. (2005). Ilmu Kesehatan Anak 3. Jakarta: Info Medika.

Kosim, dkk. Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta . 2012

Mansjoer, Arif, dkk, (2008). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

Murray, R. K., Granner, D. K., & Rodwell, V. W. Biokimia harper (27 ed.). Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 2009

Repository. usu. ac. id/ bitstream /123456789/37957/4/Chapter II.pdf

Sacher, Ronald A. dan Richard A. McPherson. 2004. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan
laboratorium edisi 11. Alih bahasa : Brahm U. Pendit dan Dewi Wulandari. EGC :
Jakarta.

Sarwono, Erwin, et al. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/ UPF Ilmu Kesehatan Anak.
Ikterus Neonatorum (Hyperbilirubinemia Neonatorum). Surabaya: RSUD Dr.Soetomo.
pp 169; 173

Sarwono, Prawirohardjo. 2013. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: PT.
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Schwartz, M.William. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC

Surasmi, Asrining, dkk. 2003. Perawatan Bayi Resiko Tinggi. Jakarta: EGC.
Tarigan. (2003). Faktor-faktor yang berhubungan dengan Status Gizi Anak Umur 3-36 bulan
sebelum dan saat Krisis Ekonomi di Jawa Tengah. Buletin Penelitian Kesehatan
Depkes RI. Vol. 31. No.1. hal. 1-12

Anda mungkin juga menyukai