APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2015 (disingkat APBN
2015) adalah rencana keuangan pemerintahan negara Republik Indonesia yang disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk tahun 2015. RUU ABPN 2015 disampaikan
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 15
Agustus 2014 dan disetujui oleh DPR pada tanggal 29 September 2014. APBN 2015
kemudian disahkan olehPresiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 14
Oktober 2014 melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 Tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Pada tanggal 19 Januari 2015 Pemerintah yang diwakili oleh Menteri
Keuangan Bambang Brodjonegoro menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja
Negara Perubahan (RAPBN-P) ke DPR. RAPBN-P tersebut kemudian disetujui secara
aklamasi pada sidang paripurna DPR-RI tanggal 13 Februari 2015.
Pendapatan Negara
Dalam R-APBN 2015, pendapatan negara mencapai Rp1.762,29 triliun. Dari jumlah
itu, penerimaan perpajakan mencapai Rp1.370,82 triliun, atau sebesar 77,79 persen dari
total pendapatan negara. Sedangkan sisanya disumbang oleh penerimaan negara bukan
pajak (PNBP) sebesar Rp388,04 triliun, atau sebesar 22,02 persen dari total pendapatan
negara.
Jika kita lihat tren sejak tahun 2006, dapat disimpulkan bahwa pendapatan negara
semakin bergantung kepada penerimaan perpajakan. Pada tahun 2006, peran penerimaan
perpajakan terhadap pendapatan negara baru sebesar 64,14 persen, tapi tahun 2015
meningkat menjadi 77,79 persen.
Peningkatan ini merupakan sinyal positif karena berarti anggaran negara
menjadi less dependent terhadap PNBP yang salah satunya adalah penerimaan sumber daya
alam. Pendapatan negara yang didominasi penerimaan perpajakan berarti aktivitas ekonomi
berjalan dengan baik di negara tersebut. Selain itu, pendapatan negara tidak rentan terhadap
gejolak harga komoditas sumber daya alam.
Namun demikian, penerimaan perpajakan seharusnya masih bisa ditingkatkan lagi.
Dalam R-APBN 2015, penerimaan perpajakan sebesar 12,24 persen terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB). Tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Padahal target ideal rasio
perpajakan adalah 16 persen PDB. Jika target 16 persen tercapai, seharusnya penerimaan
perpajakan tahun 2015 bisa ditambah Rp 421 triliun lagi. Artinya, masih ada Rp 421 triliun
yang, meminjam istilah Prabowo, bocor.
Belanja Negara
Belanja negara dalam R-APBN 2015 mencapai Rp2.019,87 triliun. Dari jumlah
tersebut, Rp1.379,88 triliun diantaranya merupakan belanja pemerintah pusat (BPP), atau
sebesar 68,32 persen dari belanja negara. Sedangkan Rp 639,99 triliun lainnya merupakan
transfer ke daerah, atau sebesar 31,68 persen dari belanja negara.
Dari uraian di atas terlihat bahwa transfer ke daerah menyedot anggaran yang sangat
besar, mencapai hampir sepertiga total APBN. Dengan anggaran sebesar itu, diharapkan
pemerintah daerah sanggup memajukan daerahnya. Namun, kenyataannya masih jauh dari
harapan. Hal ini terjadi karena pemerintah daerah terlalu boros dalam belanja pegawai.
Menurut Kementerian Keuangan, pada tahun 2012 rata-rata 40-50 persen dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) habis hanya untuk aparatur daerah,
padahal idealnya dibawah 30 persen.
Bahkan ada pemerintah daerah yang menghabiskan 80 persen anggaran hanya untuk
pegawai. Memakai istilah orang membangun rumah, biaya tukang lebih besar dari biaya
bahan bangunan. Akibatnya belanja pemerintah tidak maksimal mendorong perekonomian
di daerah.
Selain transfer ke daerah, pos dalam R-APBN 2015 yang nilainya juga fantastis
adalah subsidi. Nilai subsidi dalam R-APBN 2015 mencapai Rp433,51 triliun atau sebesar
21,46 persen dari belanja negara. Jadi, total transfer ke daerah dan subsidi mencapai Rp
1.073,51 triliun atau 53,15 persen dari belanja negara. Separuh lebih APBN sudah terkunci
untuk daerah dan subsidi.
Ditambah lagi belanja pegawai sebesar Rp 263,9 triliun (13,07 persen dari belanja
negara), anggaran pendidikan sebesar Rp 404 triliun (20 persen dari belanja negara), dan
pembayaran cicilan bunga utang sebesar Rp 154 triliun (7,62 persen dari belanja negara).
Artinya, 93,84 persen belanja negara sudah terkunci. Ruang fiskal yang tersedia bagi
program-program pemerintahan baru sangat sempit.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015 yang akan menjadi acuan bagi satu
tahun pertama pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla, akhirnya disahkan dalam rapat
paripurna DPR setelah tertunda selama beberapa hari.
Dalam APBN 2015, ditargetkan defisit anggaran 2,21% dari PDB, yang
menyebabkan terbatasnya ruang fiskal bagi presiden terpilih Joko Widodo untuk
merealisasikan program unggulannya, seperti kartu Indonesia sehat dan pintar.
Pengamat politik LIPI, Syamsudin Haris, menilai di masa-masa terakhir sidang
DPR, Koalisi Merah Putih tampaknya berupaya menghalangi pemerintahan Jokowi,
melalui UU Pilkada, UU Undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD MD3, serta juga
Anggaran Negara.
Dalam APBN 2015, subdisi energi juga masih besar RP 344,7 trilliun atau 17% dari
total anggaran. Dalam kesempatan sebelumnya Jokowi menyebutkan akan menaikkan
harga BBM untuk mengurangi subsidi yang bisa dialihkan ke sektor lain.
Peluang
Dengan semakin banyaknya populasi kendaraan bermotor (roda dua dan roda
empat). Tingkat kemacetan dijalan raya yang semakin meningkat. Menyebabkan konsumsi
bahan bakar minyak semakin tinggi, Sehingga pemerintah harus memberikan subsidi untuk
menekan harga bahan bakar minyak tersebut. Agar supaya harga bahan bakar minyak stabil
dan terjangkau oleh masyarakat luas. Namun demikian pemerintah tidak dapat terus
menerus memberikan subsidi mengenai potensi ekposur kenaikan harga BBM bersubsidi
terhadap sektor riel, Banyak hal yang menyebabkan itu semua, diantaranya harga minyak
dunia yang berubah, pendapatan perkapita yang meningkat dan kebijakan-kebijakan lain
yang diambil pemerintah. Kenaikan harga BBM juga sangat berpengaruh terhadap
kebutuhan pokok. Seperti harga sembako yang naik karena ongkos transportasi juga ikut
naik, dan harga-harga kebutuhan lainnya juga naik. Berikut perubahan harga BBM dari
waktu ke waktu sejak tahun 1980 :
Pemerintah juga sempat menurunkan harga BBM sebanyak 7 kali. Pertama ketika
tahun 1986, Pemerintahan Soeharto menurunkan solar sebesar 17,4%. Kedua, ketika krisis
moneter tahun 1998, aksi demonstrasi mahasiswa menuntut Presiden Soeharto mencabut
Keppres 69 Tahun 1998 tentang kenaikan BBM, dan lalu menerbitkan Keppres 78 Tahun
1998 untuk menurunkan kembali bensin dan solar masing-masing 16,7% dan 8,3%.
Kebijakan serupa dilakukan oleh Presiden Megawati menurunkan harga solar dari Rp
1.890.- kembali menjadi Rp 1.650.- di tahun 2003. Dan di masa Pemerintahan SBY, harga
bensin kembali diturunkan Rp 500 di awal Desember 2008 setelah kenaikan Rp 1.500 di
akhir Mei 2008 dan menurunkannya kembali sebanyak 2 kali, masing-masing Rp 500 pada
tahun 2009 sebelum digelarnya Pemilu pemilihan Presiden secara langsung oleh
rakyat. Sebelumnya, pemerintahan SBY-JK telah menaikkan harga BBM dengan sangat
fantastis pada 1 Oktober 2005 yaitu dari Rp 2.400 menjadi Rp 4.500 serta solar dari Rp
2.100 menjadi Rp 4.300. Pada tahun 2013 di isukan kembali bahwa pemerintah akan
kembali menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis premium dan solar.
Kenaikan ini, hanya akan berlaku bagi mobil jenis pribadi dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000
hingga Rp 6.500 per liter.
Menilik masa lalu, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM sebenarnya
bukanlah hal yang baru.Bahkan jika dilihat dari data yang ada, menaikkan harga BBM
sudah dilakukan sejak zaman Presiden Soekarno.Di masa kepemimpinan Soekarno
sedikitnya telah terjadi 12 kali kenaikan harga BBM. Kementerian ESDM menunjukkan
dimasa kepemimpinan Soekarno sedikitnya telah terjadi 12 kali kenaikan harga BBM,
mesti tak ada angka pasti berapa kenaikan dan kapan kenaikan itu, namun dokumen pada
Biro Perancang Negara tahun 1965. Menyebutkan jika kenaikan BBM dimasa itu untuk
membantu pemerintah dalam membangun sektor pendidikan, kesehatan dan perumahan. Di
era Orde Baru, atau saat Soeharto memimpin, kenaikan harga BBM juga beberapa kali
terjadi. Catatan Kementerian ESDM menujukkan sedikitnya terjadi 18 kali kenaikan harga
BBM di era ini. Kenaikan BBM juga pernah sekali dilakukan pada masa kepemimpinan BJ
Habibie. Abdurahman Wahid atau Gus Dur juga pernah sekali menaikkan harga BBM.
Sedangkan di era Megawati, tercapai 2 kali terjadi kenaikan dan 7 kali penyesuaian harga.
Dan kini, di dua periode memimpin Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono tecatat telah
melakukan empat kali kenaikan harga.
Jokowi jadi presiden paling cepat menaikkan harga BBM setelah dilantik.
Presiden Jokowi mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi jenis premium
dan solar yang berlaku mulai Selasa (18/11/2014), pukul 00.00 WIB. Kini
premium yang sebelumnya seharga Rp 6.500 naik menjadi Rp 8.500/liter.
Sedangkan solar menjadi Rp 7.500 dari harga sebelumnya Rp 5.500/liter.
Dalam situasi ekonomi masyarakat yang sulit, kenaikan BBM bisa kontraproduktif.
Kenaikan harga BBM akan menimbulkan kemarahan masyarakat, sehingga ketidakstabilan
dimasyarakat akan meluas. Kenaikan BBM ini merupakan tindakan pemerintah yang
beresiko tinggi. Kenaikan harga BBM tidak hanya menimbulkan dampak negatif saja,
tetapi kenaikan harga BBM juga menimbulkan dampak positif.
A. Dampak Positif dari Kenaikan Harga BBM
4. Pengangguran Bertambah
Kenaikan harga BBM bersubsidi akan membuat biaya produksi usaha bertambah.
Hal ini menimbulkan pengusaha mengurangi beban usaha salah satunya dengan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK).
PHK tentunya akan menimbulkan angka pengangguran meningkat. Rencana
pembatasan konsumsi BBM yakni sebesar 0,7 liter per motor per hari dan 3 liter per mobil
per hari akan membuat kondisi semakin parah.
Rencana ini akan membuat gerak ekonomi terganggu. Pengangguran akan
bertambah. Jika pemerintah ingin menurunkan beban subsidi sebaiknya menggunakan cara
konversi BBM ke Bahan Bakar Gas (BBG). Pemerintah sebaiknya konsentrasi pada
pengembangan infrastruktur gas yang mana komoditas ini masih melimpah di bumi
Indonesia.
5. Inflasi
Inflasi akan terjadi jika harga BBM mengalami kenaikan. Inflasi yang terjadi karena
meningkatnya biaya produksi suatu barang atau jasa.
https://www.selasar.com/ekonomi/rapbn-2015-tak-ada-ruang-bagi-pemerintahan-baru
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2014/09/140929_apbn2015
HASIL DISKUSI