Anda di halaman 1dari 4

PERAN DAN KEDUDUKAN SANKSI ADAT DI

INDONESIA DALAM SUKU BUTON

Hukum mempunyai fungsi dan peranan yang sangat besar dalam


pergaulan hidup masyarakat Gayo. Fungsi dan peranan hukum dapat
dirasakan dari situasi ketertiban, ketentraman, dan tidak terjadinya
ketegangan yang berarti di dalam masyarakat Gayo, karena hukum mengatur,
menentukan hak dan kewajiban, serta melindungi kepentingan individu dan
kepentingan sosial di sana.

Menurut bentuknya hukum terbagi atas hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis. Hukum tertulis yaitu hukum yang dicantumkan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Hukum tidak tertulis yaitu hukum yang
masih hidup dalam keyakinan dan kenyataan di dalam masyarakat, dianut dan
ditaati oleh masyarakat yang bersangkutan. Misalnya hukum kebiasaan dan
hukum adat.

Setiap perbuatan hukum pasti ada akibat hukumnya yang bersifat sanksi.
Sanksi itu dikenakan, apabila menimbulkan kerugian kepada pihak lain.
Kerugian itu bisa bersifat material (benda) atau bukan benda (immaterial).
Demikianlah hal-hal/ perbuatan, yang sering terjadi dalam hubungan
komunikasi, tatanan pergaulan dan kontrak kerja, dalam hubungan sesama
masyarakat, (baik masyarakar adat, maupun masyarakat modern).

Kedudukan Sanksi Adat Buton

Hukum adat dalam pelaksanaan sanksinya, mengacu kepada beberapa


pertimbangan yaitu :

1. Hukum adat, tidak ada pemisahan antara tindakan pidana dan


perdata. Karena itu nilai sanksinya mengacu kepada kaedah/ norma-
norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat .

2. Hukum adat tidak mengenal ada aturan hukum sebelumnya, seperti


hukum positif untuk menjadi acuan hukum yang dilanggar
sebelumnya (KUHP, KUHAP dan Qanun Hukum Jinayat untuk
Hukum Syariat). Delik-delik hukum adat adalah bila terjadi
kegoncangan(reaksi) dalam masyarakat, yang diukur pada
pelanggaran norma/ kaedah yang berlaku dalam masyarakat itu
sehingga masyarakat meraasa terganggu dengannya
3. Penyelesaian sengketa/ gangguan adat, melalui forum musyawarah
yang dipimpin oleh perangkat adat. Keputusannya bukan VONIS
melainkan suatu Putusan/ bischekking dari keputusan musyawarah
dan persetujuan para pihak. Ini merupakan sistem tradisi yang
berlaku dalam kehidupan sepanjang sejarah budaya adat Aceh.
4. Penyelesaian sengketa, hasil (putusan musyawarah/ beschikking
recht) menjadi acuan penetapan materi hukum adat (teori
beslissingenleer/ ajaran keputusan), bukan vonis.

5. Umumnya perkara/ sengketa adat adalah bersifat tindakan pidana


ringan (tipiring), dilihat dari segi hukum positif dan pada umumnya
menyangkut masyarakat banyak yang berekonomi lemah (dhuafa).
Tak mungkin mengikuti proses perkara pada jenjang-jenjang tingkat
peradilan Sistem Peradilan Nasional (biaya besar, lama memperoleh
keadilan hukum dan perkaranya kian menumpuk). Karena itu
Peradilan adat merupakan Peradilan di luar Sistem Peradilan
Nasional yang dapat memberi akses keadilan kepada masyarakat,
secara cepat, sederhana, murah, adil dan rukun damai begi para piha
(Instrumen Lembaga Peradilan Adat di Aceh adalah lembaga
Gampong dan Mukim)
6. Kasus-kasus peradilan adat (murni), sejak awal mengacu pada
prinsip-prinsip damai yang penuh dengan muansa kebatinan
(filosofis, relegius/ magic komunal equilibrium dan immaterial).
Seperti nilai-nilai Islami yang diresepsi oleh masyarakat adat (adat
ngon hukom lagei zat ngon sifeut) Jadilah engkau pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang makruf dan berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh( Q, al Raaf: 199)
7. Hukum Adat memiliki dua unsur,yaitu: pertama unsur
kenyataan bahwa adat itu dalam keadaan yang sama, dan selalu
diindahkan oleh rakyat dan kedua unsur psikologisbahwa
terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimaksud
mempunyai kekuatan hukum. Unsur inilah yang menimbulkan
adanya kewajiban hukum (opinion yuris necessitates ( Surojo W,
1979:8)
8. Adat merupakan bagian dari aspek HAM sesuai dengan hasil
penegasan Konferensi ILO No.169 Tahun 1989 tentang Kelompok
Minoritas dan Masyarakat Hukum di Negara-negara Merdeka. Ada
16 item penting, antara lain Hak minoritas dan masyarakat hukum
adat (rights of minorities and indigenous peoples) dan Hak atas
penegakan hukum yang adil (rights to the vruel ol law)
Peranan Sanksi Adat Suku Buton

Dalam hukum pidana umum (KUHP) beratnya hukuman


umumnya dinyatakan dengan hukuman mati seumur hidup dan atau
puluhan tahun lainnya sesuai dengan tingkat perbuatan kesalahan yang
dilakukan dan diancam dengan ketentuan hukum pidana sebelumnya.
Demikian juga dengan ancaman hukuman pidana uqubat terhadap
pelaku kejahatan syariat (jarimah) yang telah ditentukan ancaman
hukummman sebelumnya (Qanun Hukum Jinayat). Baik Pidana
Umum maupun Pidana Jinayat keduanya sudah ada Kepastian Hukum
(Rechtszekerheids) dan tujuan penerapan hukum adalah untuk
membuat pelaku kejahatan menjadi jera dn malu.

Dalam peradilan adat, sanksi hukuman yang dijatuhkan


tergantung kepada hasil musyawarah para hakim peradilan adat
(Perangkat Gampong/ Tokoh Adat) dan hasil persetujuan para pihak,
betapapun besarnya perbuatan kasus/ sengketa yang dilakukan.

Meskipun demikian kerugian materil dan atau immateril serta


tempat kejadian (TKP) dan standar kedudukan martabat, tetap menjadi
pertimbangan, yang selalu dimusyawarahkan termasuk sanksi denda,
diet, sayam, ganti rugi dan pengusiran dari kampong tempat
tinggalnya. Disamping itu ada tambahan sanksi yang melekat dalam
penyelesaian peradilan adat, adalah acara seremonial Peusijuk,
bersalaman, nasehat dan diakhiri dengan Pembacaan Doa

Peranan pengenakan sanksi pada Peradilan Adat adalah untuk


membuat seseorang itu menjadi JERA dan atau MALU. Itulah
sebabnya untuk menghindari dan atau menghilangkan jera dan rasa
malu dalam penyelesaian kasus sengketa, di peradilan adat dilakukan
persetujuan damai dan melalui acara seremonial peusijuk. Dengan
prosesi acara penyelesaian demikian, para pihak dapat bersalaman dan
saling bermaafan secara ikhlas dan jujur, sehungga kembali kepada
keadaan semula (iquilibrium), harmonis, rukun, damai dan
bermartabat di hadapan keluarga para pihak dan masyarakat umum..
Predikat jera dan malu dalam tatanan pergaulan budaya adat,
sangat berat dan menyakitkan. Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBI)
menjelaskan: Jera adalah tidak mau berbuat lagi (kapok) sedangkan
malu adalah merasa tidak senang / tidak enak hati, hina, rendah
karena berbuat sesuatu yang kurang baik, merasa bersalah dan hilang
rasa kehormatan. Dalam budaya adat Aceh rasa malu itu sangat berat
dan mahal harganya, karena nilainya sejajar dengan kedudukan Iman
dalam keyakinan syariat. Nilai Islami menegaskan: Malu dan Iman
saling mengikat (melekat) keduanya apabila hilang yang satu (malu/
iman) maka hilanglah keduanya (Hadist). Itulah sebabnya maka nilai
MALU sangat tinggi harganya sebagai ukuran harkat dan
martabat kedudukan seseorang dalam keluarga dan kaumnya. Rasa
emosional itu akan dirasakan oleh keluarga/ kaumnya, bila ada
seseorang anggota keluarga tertimpa rasa malu. Inilah sebabnya dalam
tatanan kehidupan masyarakat adat, ada suatu nilai yang dipanuti yaitu
diungkapkan dalam adagium : Dari pada hidup didera malu, lebih
baik mati berkalang tanah . Mungkin hal ini berbeda dengan
masyarakat modern sekarang, yang berada dalam nuansa rasional,
individual dan materialistis. Inilah inti filosofis, yang terkandung
dalam setiap putusan sanksi sengketa peradilan adat, diwujudkan
dalam putusan damai yang harmonis saling bermaafan, rukun
tentram dan bermartabat.

Sanksi-sanksi Hukum Adat Formal:

Yang boleh dilakukan, menurut (Pasal 16 Qanun No.9 Tahun


2008) sbb:

nasehat; teguran; pernyataan maaf; sayam; diyat; denda;


ganti kerugian; dikucilkan oleh masyarakat gampong atau
nama lain; dikeluarkan dari masyarakat gampong atau nama
lain; pencabutan gelar adat; dan bentuk sanksi lainnya

Yang tidak boleh dilakukan:(SKB Gub, Polda dan Ketua MAA,


Des, 2011) sbb:

memandikan dengan air (kotor/ bersih) ; menyakiti anggota


badan (memukul); mengarak; menggunting baju/ celana;
menggunting rambut; melakukan tindakan-tindakan lainnya,
yang mengurangi martabat/ tidak sesuai dengan nilai-nilai
Islami.

Anda mungkin juga menyukai