Anda di halaman 1dari 7

Bahaya Skip Challenge, Aksi 'Penantang' Kematian

Gloria Safira Taylor, CNN Indonesia


Jumat, 10/03/2017 15:26 WIB

ilustrasi: Skip challange dianggap sebagai permainan berbahaya yang mematikan.


(Thinkstock/Stockbyte)
Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah puas bermain mannequin challenge, kini
remaja digegerkan dengan adanya permainan skip challenge. Namun berbeda
dengan permainan bak patung, skip challenge yang dikenal juga dengan pass out
challenge ini sangatlah berbahaya untuk kesehatan.
'Permainan' ini menjadi berbahaya karena mereka diharuskan menghambat jalur
pernapasannya dengan sengaja.

"(Dengan permainan tersebut) Anak dibuat tidak bagus jalan pernapasannya.


Segala hal yang membuat orang jatuh pada kondisi kekurangan oksigen itu
berbahaya," ujar dr Nastiti Kaswandani dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI di Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (10/3).
Saat dada ditekan dengan kuat, pembuluh darah besar akan tertekan dan
menghambat aliran darah beroksigen ke otak. Hal ini akan menyebabkan orang
akan kejang dan pingsan.
Terhambatnya oksigen ke otak ini disebut sebagai hypoxic-anoxic brain injury
(HAI). Selain menyebabkan masalah seketika (sesak napas dan lainnya), aksi ini
juga menyebabkan efek jangka panjang untuk tubuh. Aksi ini akan menyebabkan
kematian sel tubuh, masalah penglihatan, kerusakan fungsi motorik tubuh.
Kejang, sesak napas, dan lainnya hanyalah efek kejang karena kekurangan oksigen
dalam waktu singkat dan bisa 'diterima' tubuh. Namun Nastiti mengatakan, jika
tubuh terlalu lama tak mendapat asupan oksigen, maka sel tubuh mulai rusak.
Kematian sel bisa terjadi setelah beberapa menit kekurangan oksigen dan
menyebabkan berbagai masalah tubuh. Misalnya, kerusakan dan kematian sel di
area mata akan mengganggu penglihatan, sedangkan kematian sel motorik akan
menyebabkan gangguan fungsi motorik.
Gangguan pada fungsi motorik ini akan sangat berbahaya bagi pelaku. Pasalnya
gangguan motorik ini akan menyebabkan cedera serius pada si
penerima tantangan karena mereka tidak bisa mengontrol tangan dan kaki untuk
menghindari benda-benda saat mereka jatuh pingsan. Hal ini yang menyebabkan
mereka punya banyak luka biasa maupun serius di berbagai anggota tubuh.
Hal yang lebih berbahaya akan terjadi jika sel otak dan sel tubuh lain yang tidak
bisa diperbaiki ikut rusak. Beberapa masalahnya antara lain gejala stroke sampai
gangguan kecerdasan. Hal ini juga bisa berujung pada kematian.
"Kalau masih dalam waktu sebentar sehabis pingsan mungkin akan sadar lagi.
Sama saja jika kita menahan napas untuk menyelam. Yang sulit itu jika
kebablasan," tuturnya.
Nastiti mengatakan, dalam kondisi normal, manusia bisa menahan napas rata-rata
sekitar 90 detik sampai maksimal empat menit.
Nastiti mengatakan, tidak ada keuntungan bagi yang melakukan skip challenge.
Terkait hal ini, dikatakannya, perlu ada peran serta orang tua dan guru di sekolah
untuk lebih waspada pada permainan modern yang populer di media sosial.
"Fenomena media sosial berpengaruh, skip challenge tidak ada keuntungannya
sama sekali. Orang tua dan guru harus ikuti situasi berkembang kalau dia tidak
ikuti media sosial susah juga," ucapnya.

Atasi Skip Challenge, Kemenkes Imbau Peran Penting Sekolah


Christina Andhika Setyanti, CNN Indonesia
Jumat, 10/03/2017 16:14 WIB
ilustrasi: Kemenkes mengingatkan perlunya peran UKS dan orang tua terhadap
ancaman skip challenge(Thinkstock/RyanKing999)
Jakarta, CNN Indonesia -- Maraknya aneka 'permainan' penantang kematian
seperti skip challenge menyebabkan timbulnya keprihatinan dari Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) RI. Direktur Kesehatan Keluarga Kemenkes RI, dr Eni
Gustina menegaskan bahwa tantangan ini adalah aksi yang berbahaya.

Aksi yang marak di kalangan remaja sekolah ini harus mendapat banyak perhatian
dari pihak sekolah, khususnya Unit Kesehatan Sekolah (UKS).
"Kami baru tahu soal ini, dan akan kami sosialisasikan untuk UKS. Kebetulan
kami mau ada pelatihan petugas UKS di Jakarta dan perlu dijelaskan ke anak
bahwa otak itu sangat penting," kata Eni, dikutip dari detik Health.
Bukan cuma pendekatan dan penjelasan dari sekolah tapi orang tua juga harus
punya pendekatan tersendiri untuk berkomunikasi dengan anak. Orang tua harus
bisa berkomunikasi baik dengan anak.
Pasalnya, biasanya orang tua cenderung lepas kendali atas anak remajanya. Banyak
orang tua yang merasa anaknya sudah cukup umur untuk bisa berpikir soal hal baik
dan buruk sendiri. Selain itu kesibukan orang tua juga sering membuat mereka
minim pengetahuan tentang aktvitas anaknya.
"Paling penting itu komunikasi dengan anak. Jangan hanya tanya soal PR, tapi
tanya juga tentang apa yang sudah dilakukan hari ini, biarkan dia cerita, jadi ada
keterbukaan dan tidak merasa dilepas," tutur Eni.
Bukan Tren Baru, Skip Challenge Sudah Muncul Sejak 1995
Christina Andhika Setyanti, CNN Indonesia
Jumat, 10/03/2017 13:43 WIB
ilustrasi: Skip challenge dilakukan dengan cara menekan dada sekeras-kerasnya
untuk menghentikan pernapasan.(Thinkstock/Tharakorn)
Jakarta, CNN Indonesia -- Skip Challenge sekarang ini tengah jadi tren remaja di
dunia maya. Mereka menyebut 'permainan' ini sebagai space monkey, the pass out
challenge, atau choking game.
'Permainan' viral ini dilakukan dengan 'mencekik' sampai tak sadarkan diri.
Ironisnya, dalam banyak kasus akan berakhir dengan kematian.
Pada intinya, tantangan ini dilakukan dengan menekan dada dan menghambat
pernapasan. Terhambatnya pernapasan ini membuat si pelaku kehabisan napas dan
akhirnya kejang serta pingsan seketika.
Terhambatnya oksigen ke otak ini disebut sebagai hypoxic-anoxic brain injury
(HAI). Selain menyebabkan masalah seketika (sesak napas dan lainnya), aksi ini
juga menyebabkan efek jangka panjang untuk tubuh. Aksi ini akan menyebabkan
kematian sel tubuh, masalah penglihatan, kerusakan fungsi motorik tubuh.
Dokter Anak, Dr Michael McKenna mengatakan aksi ini akan mengubah denyut
jantung secara drastis.
"Mereka mencoba mengondisikan saraf vagus yang mengontrol detak jantung
memberikan sinyal untuk memperlambat detak jantung. Ini akan menyebabkan
denyut jantung berhenti beberapa detik dan membuat Anda pingsan," katanya
dikutip dari Fox59.
"Setiap kali Anda mengacau asupan oksigen ke otak, Anda akan menempatkan diri
pada kondisi bahaya dan risiko ekstrem. Bisa jadi risiko kematian atau risiko
kerusakan otak."

Mengutip Dailydot, sama seperti tantangan populer lainnya, tantangan ini


diharapkan bisa menyebabkan euforia tinggi dan ketenaran di internet.
Tantangan pass-out ini adalah tren berbahaya terbaru yang jadi viral. Hanya dalam
beberapa bulan terakhir, ada banyak tantangan yang viral di media sosial misalnya
swatting, NekNominate, hot water challenge, sampai fire challange.
Di fire challenge, remaja berisiko mengalami luka bakar parah di bagian tertentu
yang mereka atur.
Gilanya, motivasi di balik permainan ini adalah untuk yang bisa menjadi yang
tergila dan terunik. Orang yang paling berani mungkin bisa mendapatkan ketenaran
di dunia maya dan dunia nyata.
Hanya saja sebenarnya, skip challenge ini bukanlah tren baru. Sebuah laporan
menyebutkan bahwa permainan mencekik atau skip challenge sudah ada sejak
1995.
Di Indonesia, permainan ini baru populer beberapa waktu belakangan dan
dilakukan oleh siswa sekolah. Permainan berbahaya ini bisa menyebabkan sesak
napas, patah tulang rusuk, kejang, pingsan, bahkan sampai meninggal dunia.
Mengutip No Bullying, studi yang dilakukan oleh Oregon Health Authority dan
CDC di 2012, permainan menantang maut ini diperkirakan mulai pada tahun 1995-
2007. Dan direntang tahun ini sekitar 82 orang anak dengan usia 6-19 tahun
meninggal dunia.
"Yang paling menyeramkan adalah banyak orang tak tahu soal bahayanya. Jangan
lihat media sosial karena itu sangat menakutkan dan mereka sadar. Sangat penting
untuk membuat orang sadar apa yang terjadi jadi mereka tak melakukan dan bisa
menasihati anak-anaknya," kata McKenna.

'Luka-luka' Tubuh Akibat Skip Challenge


Fajrian, CNN Indonesia

- See more at: http://mediaindonesia.com/news/read/96091/ahli-sebut-skip-


challenge-bisa-rusak-organ-tubuh/2017-03-12#sthash.qEMsp0jh.dpuf
AHLI penyakit dalam dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Ari F
Syam mengatakan aksi skip challenge yang sedang heboh di kalangan remaja bisa
menyebabkan kekurangan oksigen atau hipoksia.
"Saya hanya mengingatkan bahwa skip challenge yang akhirnya mengakibatkan
hipoksia tidak saja berdampak pada organ otak dan syaraf tetapi bisa berdampak
pula pada organ-organ lain seperti organ lambung dan pencernaan," ujar Ari di
Jakarta, Minggu (12/3).
Hipoksia merupakan suatu keadaan kekurangan oksigen yang bisa menyebabkan
permasalahan kesehatan karena akan berpengaruh pada organ-organ tubuh kita. Ari
mengatakan hipoksia bisa terjadi karena kadar oksigen yang kurang dari udara.
"Di dalam tubuh kita sebenarnya keseimbangan oksigen dijaga oleh sistem
kardiovaskuler dan sistem pernapasan. Oleh karena itu, kondisi hipoksia juga dapat
terjadi jika kita mengalami kerusakan pada sistem jantung dan pembuluh darah dan
sistem pernapasan," terangnya.
Proses penekanan pada dada sendiri, lanjut dia, bisa menyebabkan trauma pada
dada sampai patahnya tulang iga. Kondisi patah tulang juga bisa menembus paru
sehingga terjadi kebocoran paru. Hipoksia akan menyebabkan gangguan pada
berbagai organ mulai dari otak, jantung, paru, lambung dan pencernaan, hati,
ginjal, dan organ lainnya.
"Karena hipoksia menyebabkan organ-organ tersebut kekurangan oksigen.
Penelitian doktor saya membuktikan bahwa kondisi hipoksia menyebabkan
terjadinya perlukaan pada lambung berupa terjadinya ulkus. Secara klinis bisa
terjadi nyeri pada ulu hati bahkan muntah darah pada pasien yang mengalami
hipoksia akut," papar dia.
Memang, setelah tekanan pada dada dilepas aliran oksigen akan kembali normal,
namun bisa saja sudah terjadi gangguan pada organ walau masih ringan. Namun,
pada seseorang yang sudah ada kelainan jantung misal kelainan jantung bawaan
atau pasien yang sudah ada gangguan paru bisa saja tekanan pada dada sesaat
tersebut bisa menyebabkan komplikasi yang fatal.
Aksi skip challenge memang menjadi viral di media sosial setelah dilakukan
sejumlah remaja. Sayangnya, mereka tidak memerhatikan bahayanya tantangan
tersebut. (OL-3)

Peneliti dan praktisi neurosains, dr. Wawan Mulyawan, menjelaskan beberapa


bahaya yang bisa terjadi akibat melakukan tantangan ini:
Akibat menahan napas, disertai tekanan pada dada, semua organ tubuh dalam
ancaman kekurangan oksigen akut. Organ paling rentan terhadap kekurangan
oksigen adalah otak karena organ ini sangat membutuhkan oksigen. Inilah yang
menyebabkan pelaku skip challenge pingsan sesaat dan bisa disertai kejang-kejang
karena otak mengalami cedera akut akibat kekurangan oksigen.
Kerusakan pada otak bisa diakibatkan kekurangan oksigen (hipoksia) yang
gejalanya ringan, sedang, hingga berat.
Pada kerusakan otak akibat hipoksia ringan, gejala yang muncul biasanya hanya
pusing, rasa berputar, pandangan agak kabur, denyut jantung/nadi meningkat,
napas makin cepat, tekanan darah meningkat, atau kepala seperti terasa melayang
atau malah terasa sangat berat. Juga dapat terjadi berkurangnya fungsi indera
perasa/sensorik, dan berkurangnya pendengaran. Demikian juga bisa terjadi
perubahan proses-proses mental seperti gangguan intelektual/memori dan
munculnya tingkah laku aneh seperti euforia (rasa senang berlebihan)--bisa jadi ini
yang dikejar pelaku skip challenge. Selain itu, kemampuan kordinasi psikomotor
juga akan berkurang.
Pada umumnya, kerusakan ringan pada otak ini karena hanya sedikit sel otak yang
rusak atau terganggu, biasanya bisa pulih kembali tanpa ada gejala yang tersisa. Ini
misalnya jika dilakukan oleh orang yang menahan napas selama 30 detik hingga 2
menit pada orang biasa (bukan penyelam alam atau yang sudah terlatih). Namun
jika menahan napas lebih lama lagi, misalnya 4-6 menit, bisa terjadi gejala
kekurangan oksigen tingkat sedang.
Gejala yang muncul akibat kekurangan oksigen tingkat sedang yang menyebabkan
kerusakan otak tingkat sedang, misalnya kulit kebiruan (sianosis), kejang-kejang
hingga hilang kesadaran (Loss of Consciousness/LOC). Di tingkat ini risiko
kerusakan cukup besar, karena gejalanya bisa tidak pulih lagi. Dari periode kejang-
kejang dan tidak sadar/pingsan sangat mudah berlanjut menjadi henti napas, yang
jika tidak ditolong oleh tenaga medis/paramedis terlatih akan berlanjut kepada
kematian.
Kemudian, pada kekurangan oksigen tingkat berat akan terjadi gejala kerusakan
otak yang berat, misalnya karena menahan napas lebih lama lagi dari 6 menit (pada
umumnya), akan ada sangat banyak sel otak yang mati. Pada orang yang tidak
mendapat suplai oksigen sekitar 10 menit, bisa berujung pada risiko henti napas,
henti jantung, dan ujungnya kematian. Pada kerusakan otak tingkat berat ini, sudah
tidak bisa tertolong lagi. Jika pun bisa ditolong oleh tenaga terlatih dan alat bantu
napas seperti ventilator, biasanya sudah terjadi mati batang otak (brain death), dan
bersifat tidak bisa dipulihkan.

Alasan Remaja Tergila-gila Skip Challenge


Christina Andhika Setyanti, CNN Indonesia
Jumat, 10/03/2017 20:05 WIB
ilustrasi: Skip challange dianggap sebagai permainan berbahaya yang mematikan.
(Thinkstock/Jupiterimages)
Jakarta, CNN Indonesia -- Berbagai challenge atau tantangan unik banyak
tersebar di dunia maya. Anak-anak muda yang mengaku kekinian pun tak sedikit
yang menirunya, sekalipun aksi tersebut tergolong berbahaya.
Tak dimungkiri, remaja memang masih punya adrenalin tinggi dan semangat yang
menggebu.
Kebanyakan remaja memang menilai skip challenge adalah tantangan bagi mereka.
dr Nastiti Kaswandani dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI
mengungkapkan bahwa sebenarnya, merasa tertantang untuk melakukan sesuatu di
usia remaja adalah hal wajar.
"Dalam psikologi remaja, mereka ingin dianggap memiliki keberanian dan hebat,"
katanya.
Mengutip No Bullying, ada alasan lain mengapa anak-anak dan remaja suka
bermain tantangan yang tergolong berbahaya.
Tantangan viral di dunia maya tersebut menyebabkan remaja dianggap keren dan
populer ketika terlibat melakukannya. Tantangan tersebut dianggap bisa
memberikan popularitas tersendiri untuk mereka.
Skip challenge dilakukan dengan menekan dada dan menghambat laju pernapasan.
Aksi ini bisa jadi tindakan berani atau bisa juga dianggap sebagai sebuah cara
konyol untuk melepaskan rasa 'penasaran,' bahkan stres.
Salah satu alasan paling aneh mengapa mereka merasa tertantang dan ketagihan
melakukan tantangan 'gila' itu adalah adanya anggapan tantangan sebagai upaya
legal untuk bisa mendapat kepuasan dan kesenangan. Efek yang dihasilkan,
dianggap sama dengan efek dari mengonsumsi obat-obatan terlarang ilegal.
Peserta tantangan percaya bahwa ini adalah langkah aman dan alternatif 'yang lebih
baik' dibanding memakai obat-obatan terlarang. Mereka yakin tak ada kerusakan
apapun yang terjadi dalam tubuh mereka.
Anak-anak dan remaja percaya bahwa tantangan ini digunakan untuk menekan
emosi. Selain itu mereka juga beranggapan bahwa hal ini memberikan sebuah
pelarian dari realitas yang mereka hadapi sehari-hari.
Peserta melakukan berbagai tantangan berbahaya ini ketagihan efek 'high' yang
mereka dapatkan sebagai hasil dari uji adrenalin yang mereka dapatkan.
Namun sebenarnya, tindakan ini sangatlah berbahaya. Efek 'high' dan pembakaran
adrenalin yang terasa ini justru berbahaya. Saat oksigen terhambat, sel-sel otak dan
bagian tubuh lainnya akan mulai rusak. hal ini menyebabkan kejang dan bahkan
kematian

Anda mungkin juga menyukai