Anda di halaman 1dari 28

A.

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KHRONIK (PPOK)

1. Definisi :
PPOK adalah penyakit paru obstruksi khronik yang ditandai oleh uji arus ekspirasi
abnormal (perlambatan) dan tidak mengalami perubahan dalam observasi selama
beberapa bulan dan terdiri dari emfisema paru, bronchitis khronik dan penyakit
saluran nafas perifer.

2. Patofisiologi :
Terjadinya tahanan pada saluran nafas karena sempit akibat secret (pada bronchitis
khronik) dan penurunan elastisitas paru (pada emfisema dengan akibat resistensi
saluran nafas meningkat. Peningkatan resistensi ini akan menyebabkan gangguan
ventilasi dan difusi sehingga PAO2 menurun, PACO2 meningkat, kapiler paru
spasme dan resistensi pembuluh darah meningkat, terjadi hipertensi pulmonal dan
berlanjut dengan kor pulmonale.

3. Etiologi :
Iritasi kronik pada saluran nafas seperti rokok (bronchitis khronik, polusi debu dan
defisiensi alpha 1 antitripsin (emfisema).

4. Gejala klinik :
Batuk kronik dengan dahak (pada bronchitis kronik keadaan ini terjasi setiap hari
selama 3 bulan da;lam 1 tahun pada sedikitnya 2 tahun berturut-turut, sesak nafas
terutama melakukan aktifitas, perjalanan penyakit kronik dan progresif selama hayat,
sehingga makin lama keluhan bertambah berat.

5. Pemeriksaan fisik :
Ditemukan tanda hiperflasi paru berupa toraks emfisematikus, peningkatan kerja otot
pernafasan, perkusi hipersonor, batas paru hati menurun, batas jantung mengecil,
suara nafas vesikuler melemah, dapat disertai bising mengi dan ronkhi kering.

6. Laboratorium :
Rutin adanya peningkatan kadar Hb dan jumlah eritrosit (Polisitemia sekunder).
Khusus : Defisiensi kadar alpha 1 antitripsin (congenital).

7. Pemeriksaan Penunjang :
Foto toraks PA dan lateral terdapat hiperlusensi regional dan gambaran
bronkhovaskuler kasar, gambaran jantung mengecil. Diafragma datar dan tenting
(overinflasi).
Uji faal paru sangat berguna dan terdapat penurunan volume ekspirasi paksa satu
detik (VEP1) dan penurunan rasio VEP1 / KVP. Kelainan ini biasanya menetap
(irreversible), EKG sering ditemukan adanya pulmonal dan RV strain. Laboratorium
darah untuk menentukan adanya polisitemia sekunder.
8. Diagnosis :
Berdasarkan gejala klinik yang menyokong, padukan dengan pemeriksaan fisik, foto
toraks dan uji faal paru.

9. Komplikasi :
Pneumotoraks, Infeksi sekunder (eksaserbasi akut), Kor pulmonale, kelelahan otot
pernafasan.

10. Penatalaksanaan / Terapi :


Motivasi dan pendidikan meliputi : Penyakit tidak dapat sembuh, iritasi khronik
seperti rorok, debu dihindarkan.
Mobilisasi dahak dengan mukolitik dan ekspektoransia.
Mengatasi spasme bronkhus dengan obat-obat bronkodilator seperti aminofilin,
agonis beta 2 kalau perlu diberikan steroid.
Steroid digunakan prednison 30 mg/hari selama 2 4 minggu, bila tidak ada respons
dihentikan.
Mengobati infeksi sekunder dengan antibiotika seperti amoksisilin, kotrimoksazol,
erittromisin. Bila ada komplikasi seperti pneumotoraks, pasang WSD, Kor pulmonale
berikan diuretika flurosemid tablet atau suntikan.
Kemoterapi sangat membantu terutama abdominal breathing dan terapi inhalasi
untuk mobilisasi dan mengencerkan dahak.
Terapi oksigen jangka panjang bila PO2 lebih kecil dari 60 mmHg setelah
pengobatan adekwat. Memberikan oksigen dosis rendah 1 2 L/menit sangat
dianjurkan.

11. Follow up :
Selama perawatan perlu diperhatikan perbaikan faal paru dengan pengobatan melalui
uji faal paru, in take cairan dan kalori, cegah infeksi nosokomial.
Setelah keluar rumah sakit berikan oksigen dosis rendah secara kontinu terutama
setelah aktifitas dan fisioterapi.

Indikasi rawat inap :


Bila mengalami eksaserbasi akut gagal nafas akut, kor pulmonale, komplikasi dan
adanya penyakit penyerta.
B. ASMA BRONKIALE

1. Definisi :
Penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi
menyebabkan saluran nafas cendrung untuk menyempit yang dapat sembuh spontan
atau dengan pengobatan dan adanya hiperreaktifitas bronkus terhadap berbagai
rangsangan.

2. Patofisiologi :
Terjadinya penyempitan saluran nafas disebabkan hiperreaktifitas bronkhus karena
rangsangan berbagai faktor pencetus dan aggrevator. Hiperreaktifitas bronkhus ini
terjadi akibat peradangan saluran nafas sehingga menebal, mukosa edema, lumennya
terisi sel-sel inflamasi yang lepas terutama mastosit dan eosinofil dan hipersekresi
mukus sehingga lumen saluran nafas menyempit kadang-kadang dapat menyempit
total yang berakhir dengan kematian.

3. Etiologi :
Etiologi asma adalah inflamasi saluran nafas akibat proses IgE mediated/non IgE
mediated menyebabkan bronkhus menjadi hiperreaktif. Faktor : predisposisi genetik,
pencetus dan aggrevator menyebabkan terjadinya serangan asma bronkhial.

4. Gejala Klinis :
Sesak nafas disertai nafas berbunyi secara akut maupun secara berkala merupakan
keluhan utama terjadinya serangan asma. Serangan asma lebih sering terjadi malam
hari. Faktor pencetus dan aggrevator sangat berperan dalam terjadinya serangan asma.
Faktor pencetus seperti infeksi, allergen inhalasi/makanan, olahraga, polusi udara,
iritan seperti asap rokok, bau-bauan, obat-obatan dan emosi. Faktor aggrevator seperti
rhinitis, sinusitis dan refluks asam lambung. Pemeriksaan fisik : nafas cepat dan
dangkal, gelisah, fase ekspirasi memanjang, bising mengi difus pada kedua lapangan
paru.

5. Laboratorium :
Rutin : berupa hitung jenis eosinofil meningkat.
Khusus : tes kulit (Prick test), kadar IgE spesifik meningkat.

6. Pemeriksaan penunjang :
Uji faal paru ditemukan obstruksi yang reversibel setelah pengobatan menggunakan
spirometri atau peak flow meter. Uji provokasi bronkhial untuk mengukur
hiperreaktifitas bronkhus dengan inhalasi methakolin atau histamin dengan dosis yang
makin tinggi, atau melalui latihan jasmani.
7. Diagnosis :
Gejala klinik yang khas dan perubahan uji faal paru setelah pengobatan dengan
bronkhodilator.
Diagnosis banding :
- Sindroma Loeffler (periksa juga telor cacing dalam tinja)
o Sindroma obstruktif pasca Tb paru
o Asma kardiale
- Dengan bronkhodilator terjadi peningkatan FEVI >20 %
- Dengan uji provokasi bronkhial terjadi penurunan FEVI < 20%

8. Komplikasi :
Serangan asma berat dan menimbulkan kematian. Asma kronik persisten dapat
menyebabkan Penyakit Paru Obstruktif kronik (PPOK) dan penyakit jantung paru
(Kor Pulmonale), bila tidak dikelola secara dini dan adekuat.

9. Penatalaksanaan/terapi serangan asma (akut) :


a. Oksigen 4-5 liter/menit.
b. Berikan nebulizer beta 2 agonis seperti Salbutamol atau Fenoterol 2,5 mg tiap 20
menit maksimal sebanyak 3 kali.
c. Steroid bila belum dapat diatasi. Hidrokortison 4 x 200 mg IV atau
Deksametasone 4 x 10 mg atau Prednisolon 40 mg/hari dalam dosis terbagi.
d. Bila serangan akut dapat diatasi, ganti obat secara oral.
e. Suntikan Aminofilin (240 mg/10 ml). Bila telah mendapat Aminofilin dalam 12
jam sebelum serangan, berikan dosis awal 2-3 mg/kg BB IV perlahan-lahan,
teruskan dengan dosis pemeliharaan 0,5-1mg/kg BB/jam dalam cairan dektrose
5%. Bila belum mendapat Aminofilin berikan dosis awal 5-6 mg/kg BB
(maksimal 240 mg) secara IV perlahan-lahan, teruskan dengan dosis pemeliharaan
0,5-1 mg/kg BB/jam.
f. Perbaikan hidrasi melalui cairan fisiologis IV 2-3 liter/24 jam
g. Antibiotika bila ada infeksi sekunder.
Skema Penatalaksanaan serangan asma eksaserbasi (akut).

Penilaian awal :
Riwayat sebelumnya, pemeriksaan fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu pernafasan, frekuensi nafas,
HR, APE atau FEV1, saturasi O2, analisis gas darah pada pasien berat dan pemeriksaan lain jika
diperlukan).
Pengobatan awal :
Inhalasi 2 agonis kerja singkat, biasanya secara nebulasi, 1 dosis tiap 20 menit selama 1 jam.
Oksigen 4-6 l/ menit untuk mencapai saturasi O2 90% (95% untuk anak-anak).
Kortikosteroid sistemik jika tidak ada respon segera atau jika pasien sedang mendapat steroid per oral
atau jika serangan asmanya berat.
Sedatif merupakan kontraindikasi pada penanganan serangan akut/eksaserbasi.

Ulangi penilaian: tanda-tanda fisik, APE, saturasi O2, pemeriksaan lain


bila diperlukan

Episode serangan sedang Episode serangan berat


APE 60-80% perkirakan atau nilai APE < 60% perkiraan/ nilai terbaik
terbaik. Pemeriksaan fisik: gejala berat saat istirahat,
Pemeriksaan fisik: asma sedang, otot retraksi dinding dada.
bantu pernafasan Riwayat: pasien risiko tinggi
Inhalasi 2 agonis tiap 60 menit. Tak ada perbaikan setelah pengobatan awal
Pertimbangkan kortikosteroid Inhalasi 2 agonis tiap jam atau kontinu dengan
Teruskan pengobatan 1-3 jam, atau tanpa inhalasi antikolinergik.
sepanjang ada perbaikan Oksigen.
Kortikosteroid sistemik
Pertimbangkan 2 agonis S.C., I.M., atau I.V.

Respon baik: Respon tidak sempurna Respon buruk dalam 1 jam


- Respon menetap 60 menit dalam 1-2 jam: - Riwayat pasien risiko
setelah terapi terakhir.
- Pemeriksaan fisik normal. - Riwayat: pasien risiko tinggi.
- APE > 70%. - PF: gejala ringan-sedang. tinggi
- Tidak ada distress. - APE > 50% tapi <70%.
- Saturasi O2 > 90% (95% pd - Saturasi O2 tidak membaik
Dirawat di RS:
- PF: gejala berat,
anak-anak)
Dipulangkan: - inhalasi 2 agonis + inhalasi
- Teruskan pengobatan dengan antikolinergik mengantuk
inhalasi 2 agonis - Kortikosteroid sistemik
- Pertimbangkan kortikosteroid - Oksigen
peroral. - Pertimbangkan aminofilin I.V. dan bingung.
- Pendidikan pasien : minum - Pantau APE, saturasi O2, nadi,
obat secara teratur, tinjau teofilin
rencana kerja, follow up ketat. - APE < 30%
Membaik Tidak
mmem - PCO2 > 45 mmHg
baikm
Dipulangkan: embai
k Rawat di ICU:- PO2 < 60 mmHg
Jika APE > 70% & bertahan dng
pengobatan peroral/ inhalasi selama Jika tidak ada perbaikan dalam waktu
minimal 60 menit 6-12 jam Rawat di ICU:

- Inhalasi 2 agonis +

inhalasi

antikolinergik
1. Follow up :
Selama perawatan perlu diperhatikan perbaikan secara klinik dan uji faal paru dengan
spirometri atau peak flow meter. Cari faktor pencetus terjadinya serangan akut asma.
Setelah keluar rumah sakit perlu dihindari faktor pencetus dan obat pemeliharaan hanya
diberikan pada penderita dengan asma persisten.
2. Indikasi rawat inap :
Bila penderita mengalami serangan asma akut berat (status asmatikus).
3. Pengobatan pemeliharaan (di Poliklinik/rawat jalan).
Berdasarkan berat/ringannya derajat asma (sesuai dengan WHO/GINA (Global Inisiative
For Asma) 1998. Untuk di praktek pribadi atau klinik yang tidak tersedia spirometri/Peak
Flow Meter, dapat dipakai quesioner Asma Control Test untuk monitor keberhasilan
penatalaksanaan.
Diutamakan steroid inhalasi untuk pencegahan jangka panjang controller dan 2 agonis
inhalasi sebagai penghilang sesak (reliever)

A. Klasifikasi derajat berat/ringan asma. (dipoliklinik atau diluar serangan)

Klasifikasi Gejala klinis Gejala malam APE


Derajat 1 < 1 kali/minggu 2 kali sebulan 80% perkiraan
Intermiten Asimptomatik variabilitas < 20%
APE normal diantara
serangan
Derajat 2 1 kali/minggu tapi < 1 kali/hari > 2 kali sebulan 80% perkiraan
Persisten variabilitas 20 - 30
ringan %
Derajat 3 Setiap hari > 1 kali/minggu >60%-<80%
Persisten Menggunakan 2 agonis perkiraan
sedang setiap hari Variabilitas > 30%
Serangan mempengaruhi
aktifitas
Derajat 4 Terus menerus Sering 60% perkiraan
Persisten Aktivitas fisik terbatas Variabilitas > 30%
berat
B. Pengobatan

Klasifikasi Pencegahan Jangka Panjang Penghilang Serangan


Derajat I Tidak dibutuhkan Bronkodilator kerja singkat:
Intermiten 2 agonis inhalasi sesuai
dengan kebutuhan untuk
mengatasi gejala, tapi < 1 x/
minggu
Intensitas pengobatan
tergantung dari beratnya
serangan.
Inhalasi 2 agonis atau
kromoglikat sebelum olah
raga atau terpapar alergen.
Derajat II Inhalasi kortikosteroid 200-500 mcg, Bronkodilator kerja singkat:
Persisten kromoglikat, nedocromil atau teofilin 2 agonis inhalasi sesuai
Ringan lepas lambat, dengan kebutuhan untuk
Jika diperlukan, dosis kortikosteroid mengatasi gejala, tidak
inhalasi dapat ditingkatkan sampai 800 melebihi 3-4 kali per hari.
g, atau digabungkan dengan
bronkodilator kerja lama, (khususnya
untuk gejala malam): baik inhalasi 2
agonis kerja lama, teofilin lepas
lambat, atau 2 agonis kerja lama
tablet atau sirup.
Pemberian anti-leukotrin dapat
dipertimbangkan.
Derajat III Inhalasi kortikosteroid 500 - 800 Bronkodilator kerja singkat:
Persisten mcg, 2 agonis inhalasi sesuai
Sedang Bronkodilator kerja lama, khususnya dengan kebutuhan untuk
untuk gejala malam: inhalasi 2 agonis meng-atasi gejala, tidak
kerja lama, teofilin lepas lambat, atau melebihi 3-4 kali per hari.
2 agonis kerja lama tablet atau sirup.
Dapat ditambahkan anti-leukotrin,
khususnya asma yang sensitiv
terhadap aspirin dan sebagai
pencegahan pada asma yang
dicetuskan oleh latihan.
Derajat IV Inhalasi kortikosteroid 800 - 2000 Bronkodilator kerja singkat:
Persisten mcg, 2 agonis inhalasi sesuai
Bronkodilator kerja lama: inhalasi 2 dengan kebutuhan untuk
Berat agonis kerja lama, teofilin lepas mengatasi gejala.
lambat, dan atau 2 agonis kerja lama
tablet atau sirup,
Kortikosteroid kerja lama tablet atau
sirup.
C. HIPERTENSI

1. Definisi :
Meningkatnya tekanan darah secara tetap di atas normal (>140/90 mmHg)

2. Pembagian :
Menurut etiologi
a. Primer (essensial) 90%
b. Sekunder : renal/renovaskuler, feokromositoma, hiperaldosteronisme, pil
KB, dll
Pre Hipertensi
Tekanan sistolik 120-139 mmHg atau
Tekanan diastolik 80- 89 mmHg
Hipertensi Stage I
Tekanan sistolik 140 mmHg atau
Tekanan diastolik 90 mmHg
Hipertensi Stage 2
Tekanan sistolik 160 mmHg atau
Tekanan diastolik 100 mmHg

3. Patofisiologi :
Pada hipertensi essensial/primer, berbagai-hagai faktor mengakibatkan
meningkatnya tahanan pembuluh darah periiar (artiole), ini sekuncup jantung,
volume cairan intra-vaskuler.

Gejala-gejala ;

Anemnesis
Sering tidak ada keluhan, tetapi bila ada biasanya berupa rasa sakit pada kepala
bagian belakang pada pagi hari
Riwayat tekanan darah tinggi dalam keluarga

4. Diagnosis
Tekanan darah >140/90 mmHg pada 3 kali pengukuran dalam Interval waklu 1-2
minggu atau 2 hari berturut-turut apabila penderita dirawat

5. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:


Laboratoriurn :
- darah/urine rutin
- kimia darah
Ureum, kreatinine
BSN / BSPP
Profil lipid
Asam urat
Na +, K+
RO foto : Thorax PA
ECG
Funduscopi mata
Ekokardiografi kalau perlu
USG ginjal/saluran kemih

6. Beberapa bentuk klinik


Hipertensi krisis
Hipertensi ensefalopati
Hipertensi meligna
Hipertensi dengan dekompensasio kordis

7. Komplikasi
CVD (Cerebro Vascular Disease) .
HHD (Hypertensive Heart Disease)
PJK (Penyakit Jantung Koroner)

8. Pengobatan
a. Non Farmakologik
Diet rendah garam
Menurunkan BB
Menghindari stress ,
b. Farmakolagik
Diuretik atau B blocker, a Blocker, ACEI, Ca-antagonis, ARB
Kombinasi dari diuretik & salah satu pilihan
Kombinasi dari diuretik & 2 pilihan obat lain
Pada krisis hipertensi dipilih abat yang bekerja cepat dengan menggunakan
obat-obat injeksi
D. DEMAM TIFOID

PENGERTIAN
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman
Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi

DIAGNOSIS
Anamnesis : demam naik secara bertangga pada minggu pertama lalu demam
menetap (kontinyu) atau remiten pada minggu kedua. Demam terutama sore / malam
hari, sakit kepala, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare.
Pemeriksaan Fisis : febris, kesadaran berkabut, bradikardia relatif (peningkatan suhu
1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8x/menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), hepatomegali,splenomegali, nyeri
abdomen, roseolae (jarang pada orang Indonesia).
Laboratorium : dapat ditemukan lekopeni, lekositosis, atau lekosit normal,
aneosinofilia, limfopenia, peningkatan Led, anemia ringan, trombositopenia,
gangguan fungsi hati. Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji
Widal >4 kali lipat setelah satu minggu memastikan diagnosis. Kultur darah negatif
tidak menyingkirkan diagnosis. Uji Widal tunggal dengan titerantibodi O 1/320 atau
H 1/640 disertai gambaran klinis khas menyokong diagnosis.

Hepatitis Tifosa
Bila memenuhi 3 atau lebih kriteria Khosla (1990) : hepatomegali, ikterik, kelainan
laboratorium (antara lain : bilirubin >30,6 umol/l, peningkatan SGOT/SGPT, penurunan
indeks PT), kelainan histopatologi.

Tifoid Karier
Ditemukannya kuman Salmonella typhi dalam biakan feses atau urin pada seseorang
tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseornag setelah 1 tahun pasca-demam tifoid.

DIAGNOSIS BANDING
Infeksi virus, malaria

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah parifer lengkap, tes fungsi hati, serologi, kultur darah (biakan empedu)

TERAPI
Nonfarmakologis : tirah baring, makanan lunak randah serat
Farmakologis :
Simtomatis
Antimikroba :
Pilihan utama : Kloramfenikol 4 x 500mg sampai dengan 7 hari bebas demam.
Alternatif lain :
Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan
kloramfenikol)
Kotrimoksazol 2 x 2 tablet selama 2 minggu
Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2 minggu
Sepalosporin generasi III ; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc selama jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula
diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon2 x 1 gram
Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV) :
Norfloksasin 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari

Pada kasus toksik tifoid (demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa
kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal
langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram
dan deksametason 3 x 5 mg.
Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi,
renjatan septik.
Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami
renjatan septik dengan dosis 3 x 5 mg
Kasus tifoid karier
Tanpa kolelitiasis pilihan rejimen terapi selama 3 bulan :
- Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari
- Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mg/kgBB/hari
- Kotrimoksazol 2 x 2 tablet/hari
Dengan kolelitiasis kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari atau
kolesistektomi + salah satu rejimen berikut :
- Siprofloksasin 2 x 750 mg/hari
- Norfloksasin 2 x 400 mg/hari
Dengan infeksi Schistosoma haematobium pada taksus urinarius eradiksi
Schistosoma haematobium :
Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2 minggu
Setelah eradiksi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier sepertidi atas

Perhatian : Pada kehamilan fluorokuinolon dan kotrimaksazol tidak boleh digunakan.


Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester III. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada
trimester I. Obat yang dianjurkan golongan beta laktam : ampisilin, amoksisilin, dan
sefalosporin generasi III (sefriakson)
KOMPLIKASI
Intestinal : perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis.

Ekstra-intestinal : kardiovaskular (kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis,


tromboflebitis), hematologik (anemia hemolitik, trombositopenia, KID), paru
(pneumonia, empiema, pleuritis), hepatobilier (hepatitis, kolesistitis), ginjal
(glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis,
spondilitis, artritis), neuropsikiatrik (toksik tifoid)

PROGNOSIS
Baik. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/tidak adekuat atau ada komplikasi berat,
prognosis meragukan / buruk
E. DIARE

PENGERTIAN
Diare menurut WHO adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dari
biasanya atau lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi lembek atau cair dan bersifat
mendadak datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu.
Ada dua bentuk diare akut yaitu tipe disenteriform dan choleriform. Tipe disenteriform
biasanya disebabkan oleh Shigella sp, sedangkan tipe choleriform disebabkan oleh
Vibrio cholera.

DIAGNOSIS
Anamnesis : BAB encer, mual, muntah, dengan atau tanpa demam dan nyeri
perut, rasa haus, bibir kering
Pemeriksaan fisik : keadaan umum, tanda-tanda dehidrasi seperti rasa haus, mata
cekung, ubun-ubun besar cekung (pada anak), bibir kering, turgor perut kurang,
air mata kurang, asidosis metabolik (pernapasan Kussmaul).
Laboratorium : darah perifer lengkap, ureum, creatinin, elektrolit (Na, K dan Cl),
analisa gas darah, Imunoassay (toksin bakteri, antigen virus dan antigen protozoa)
dan feses lengkap serta biakan dan resistensi feses.

Penyebab Diare Akut :


1. diet yang tidak sesuai
2. obat-obatan laksatif
3. keracunan makanan dalam 6 24 jam terakhir
4. infeksi saluran cerna
5. alergi

TERAPI
1. Rehidrasi sebagai pengobatan utama, tergantung pada :
Jenis cairan yang digunakan
Jumlah cairan yang diberikan
Jalan masuk atau cara pemberian cairan

2. Memberikan terapi simtomatik


Koreksi gangguan asam basa
Antimikroba hanya diberikan bila disebabkan oleh infeksi Vibrio cholera
tetrasiklin dosis 50 mg/kgBB dibagi dalam 4 dosis selama 3 hari. Bila
disebabkan oleh Shigella diberikan kotimoksazol 2 x 960 mg/hari selama
3 hari.
Obat spasmolitik tidak dianjurkan pada diare yang disebabkan infeksi
F. DIABETES MELITUS

Pengertian
Suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia akibat defek pada :
1. Kerja insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan produksi glukosa hepatik)
dan perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pankreas
3. Atau keduanya

Klasifikasi DM
I. DM tipe 1 (destruksi sel B, umumnya diikuti defisiensi insulin absolut)
immune-mediated
idiopatik
II. DM tipe 2 (bervariasi mulai dari yang : predominan resistensi insulin dengan
defisiensi insulin relatif predominan defek sekretik dengan resistensi insulin)
III. Tipe spesifik lain :
Defek genetik pada fungsi sel B
Defek genetik pada kerja insulin
Penyakit eksokrin pankreas
Endokrinopati
Diinduksi obat atau zat kimia
Infeksi
Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM
Sindrom genetik lain yang kadang berkaitan dengan DM
IV. DM gestasional

Diagnosis
Terdiri dari :
Diagnosis DM
Diagnosis komplikasi DM
Diagnosis penyakit penyerta
Pemantauan pengendalian DM

Anamnesis :
Keluhan khas (gejala klasik) DM
Poliuria
Polidipsia
Polifagia
Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

Keluhan tidak khas DM


Lemah
Kesemutan
Gatal
Mata kabur
Disfungsi ereksi
Pruritus vulva

Faktor risiko DM tipe 2


Usia > 45 tahun
Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m2, disertai dengan faktor risiko:
- kebiasaan tidak aktif
- turunan pertama dari orang tua dengan DM
- riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 g atau riwayat DM
gestasional
- hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
- kolesterol HDL < 35 mg/dl atau trigliserida > 250 mg/dl
- menderita polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin
- riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
- riwayat penyakit kardiovaskuler

Anamnesis komplikasi DM (lihat komplikasi)


Pemeriksaan fisik lengkap, termasuk:
TB, BB, TD, lingkar pinggang
Tanda neuropati
Mata (visus, lensa mata dan retina)
Gigi mulut
Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit dan kuku

Kriteria diagnostik DM
1. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl (11,1
mmol/l) atau
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa (plasma vena) > 126 mg/dl (7,0
mmol/l) atau
3. Kadar glukosa darah plasma > 200 mg/dl (11,1 mmol/l)pada 2 jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung hasil yang didapat.

TGT : glukosa darah plasma 2 jam sesudah beban 140-199 mg/dl (7,8 11,0
mmol/l)
GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl (5,6-6,9 mmol/l)
Pemeriksaan laboratorium:
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
HbA1C
Albuminuria mikro

Pemeriksaan penunjang lain :


EKG
Foto toraks
Funduskopi

Diagnosis banding
Hiperglikemia reaktif
Toleransi glukosa terganggu (TGT = IGT)
Glukosa darah puasa terganggu (GDPT = IFG)

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, LED
Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur
Kreatinin
SGPT, albumin/globulin
Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
HbA1C
Albuminuria mikro

Pemeriksaan penunjang lain :


EKG
Foto thoraks
Funduskopi

Terapi
Edukasi
Meliputi pemahaman tentang :
Penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis
Hipoglikemia
Masalah khusus yang dihadapi
Cara mengembangkan sistem pendukung dan mengajarkan ketrampilan
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan
Terapi gizi medis
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi :
Karbohidrat 45 - 65%
Protein 15 - 20%
Lemak 20 - 25%
Jumlah kandungan kolestrol disarankan < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari
sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA = Mono unsaturated fatty acid), dan membatasi
PUFA (Poly unsaturated fatty acid) dan asam lemak jenuh. Jumlah kandungan serat 25
g/hari, diutamakan serat larut.

Jumlah kalori basal per hari


Laki-laki : 30 kal/kg BB idaman
Perempuan : 25 kal/kg BB idaman

Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari


Status gizi
- BB gemuk dikurangi 20-30%
- BB kurang ditambah 20-300%
Umur > 40 tahun - 5%
Stres metabolik (infeksi, operasi, dll) + (10 s/d 30%)
Aktifitas :
Ringan + 20%
Sedang + 30%
Berat + 50%
Hamil
- Trimester I, II + 300 kalori
- Trimester III/laktasi + 500 kalori

Rumus Brocca
Berat badan idaman = (TB 100) 10%
Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10% lagi
BB kurang : <90% BB idaman
BB normal : 90-110% BB idaman
BB lebih : >110 BB idaman
Latihan jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit

Intervensi farmakologis
* Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
Sulfonilurea
Glinid
* Penambah sensitivitas terhadap insulin
Metformin
Tiazolidindion

* Penghambat glukosidase alfa


Acarbose
Insulin
Indikasi
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian
dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Kalau dengan
OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu kombinasi dua
kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda mekanisme kerjanya.

Pengelolaan DM tipe 2 gemuk


Non farmakologis
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Penekanan kembali tatalaksana non-farmakologis
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


+ 1 macam OHO (Biguanid/Penghambat glukosidase alfa/Glitazon)
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 2 macam OHO, antara : Biguanid/Penghambat glukosidase alfa/Glitazon
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 3 macam OHO
Biguanid + Penghambat glukosidase + Glitazon:
atau kombinasi OHO siang hari + insulin malam
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)

Sasaran terapi kombinasi 3 OHO tidak tercapai


Kombinasi 4 macam OHO
Biguanid + Penghambat glukosidase + Glitazon + Secretagogue atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)
Sasaran terapi kombinasi 4 OHO tidak tercapai
Insulin
Atau : Terapi Kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Sasaran terapi kombinasi OHO + Insulin tidak tercapai :
Insulin
Bila sasaran tercapai : teruskan terapi terakhir

Pengelolaan DM tipe 2 Tidak gemuk


Non farmakologis
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Non farmakologis + secretagogue
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 2 macam OHO, antara :
Secretagogue +
Penghambat glukosidase /Biguanid/Glitazon
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 3 macam OHO,
Secretagogue +Penghambat glukosidase /Biguanid/Glitazon
Atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :

Sasaran terapi Kombinasi 3 OHO tidak tercapai


Kombinasi 4 macam OHO
Secretagogue + Penghambat glukosidase +
Biguanid +Glitazon
Atau Terapi Kombinasi 4 OHO siang hari + insulin malam
evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis) :
Sasaran terapi Kombinasi 4 OHO tidak tercapai
Insulin
Atau
Terapi Kombinasi 4 OHO siang hari + insulin malam

Sasaran terapi Kombinasi 4 OHO tidak tercapai


Insulin
Bila sasaran tercapai teruskan terapi terakhir

Penilaian hasil terapi


1. Pemeriksaan glukosa darah
2. Pemeriksaan HbA1C
3. Pemeriksaan glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan glukosa urin
5. Penentuan benda keton

Kriteria pengendalian DM
(lihat tabel lampiran)

Komplikasi
A Akut :
Ketosidosis diabetik
Hiperosmolar non ketotik
Hipoglikemia
B. Kronik
Makroangiopati
- Pembuluh koroner
- Vaskular perifer
- Vaskular otak
Mikroangiopati
- Kapiler retina
- Kapiler renal
Neuropati
Gabungan
Kardiopati : PJK, kardiomiopati
Rentan infeksi
Kaki diabetik
Disfungsi ereksi

Prognosis
Dubia
Keterangan :
TB : Tinggi Badan
BB : Berat badan
IMT : Indeks massa tubuh
TD : Tekanan darah
TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral

Tabel : Kriteria Pengendalian DM


Baik Sedang Buruk
GD puasa (mg/dl) 80 - 109 100 - 125 > 126
GD 2 jam pp (mg/dl) 80 - 144 145 179 > 180
A1C (%) < 6,5 6,5 - 8 >8
Kolesterol total (mg/dl) < 200 200 - 239 > 240
Kolesterol LDL (mg/dl) < 100 100 - 129 > 130
Kolesterol HDL (mg/dl) > 45
Trigliserida < 150 150 199 > 200
IMT 18,5 22,9 23 25 > 25
Tekanan darah < 130/80 130-140 > 140/90
80-90
G. GAGAL JANTUNG KRONIK

1. Definisi :
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak sanggup memompakan
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik, meskipun darah yang kembali dari vena
(venous return) adalah normal dan mekanisme kompensasi jantung telah
dipergunakan.

2. Etiologi :
Penyakit jantung hipertensi
Penyakit jantung koroner
Penyakit jantung rematik atau kelainan katup
Penyakit jantung bawaan
Penyakit jantung anemik
Penyakit jantung tiroid
Kardiomiopati
Korpulmonal dan lain-lain

3. Patofisiologi:
Beban pengisian (preload) dan beban tahanan (afterload) pada ventrikel yang
mengalami dilatasi dan hipertrofi memungkinkan peningkatan daya kontraksi jantung
yang lebih kuat sehingga terjadi kenaikan curah jantung. Disamping itu karena
pembebanan jantung yang lebih besar akan membangkitkan reaksi hemostasis melalui
peningkatan rangsangan simpatik. Perangsangan ini menyebabkan peningkatan kadar
katekolamin sehingga memacu terjadinya takikardi dengan tujuan meningkatnya
curah jantung.
Bila curah jantung berkurang, maka akan terjadi redistribusi cairan badan dan
elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan vasokontriksi perifer dengan
tujuan untuk memperbesar venous return. Dilatasi, hipertropi, takikardia dan
redistribusi cairan adalah mekanisme kompensasi jantung. Bila semua mekanisme
kompensasi ini telah dipergunakan namun kebutuhan belum terpenuhi, maka
terjadilah keadaan gagal jantung.

4. Bentuk klinis :
Ditinjau dari sudut klinis secara simptomatologis, dikenal gambaran klinis berupa:
- Gagal jantung kiri: Badan lemah, cepat lelah, berdebar, sesak napas dan batuk.
Tanda objektif berupa takikardia, dispnea (dyspnea deffort, orthopnoe,
paroxysmal nocturnal dispnoe), ronki basah halus di basal paru, gallop bunyi
jantung III dan lain-lain.
- Gagal jantung kanan: edema tumit dan tungkai bawah, hepatomegali, ascites,
bendungan vena jugularis dll.
- Gagal jantung kongesti: merupakan gabungan dari kedua bentuk klinik gagal
jantung kiri dan kanan.
- Gagal jantung sistolik
- Gagal jantung diastolik

Berdasarkan dyspnoe dan fatique telah ditetapkan klasifikasi gagal jantung


berdasarkan New York Heart Association (NYHA) sebagai berikut:
Kelas I : tak ada keluhan
Kelas II : simptom pada pekerjaan biasa
Kelas III : simptom pada pekerjaan ringan
Kelas IV : simptom pada waktu istirahat

5. Diagnosis :
Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Laboratorium
- Elektrokardiografi
- Foto dada
- Ekokardiografi
- Angiografi, dll.
Diagnosis gagal jantung meliputi:
- Etiologi
- Anatomi
- Fisiologi

6. Penatalaksanaan :
Tujuan penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk:
- Menentukan dan menghilangkan sebab penyakit gagal jantung
- Memperbaiki daya pompa jantung
- Memperbaiki atau menghilangkan bendungan.

Tindakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah:


1. Menentukan derajat payah jantung
2. Membatasi aktifitas
3. Mengobati faktor pencetus dan sebab penyakit jantung
4. diet rendah garam
5. Pemberian obat-obatan.

1. Menentukan derajat payah jantung


Berdasarkan keluhan dan tanda klinik, derajat gagal jantung dapat dibedakan:
- Ringan, sedang atau berat
- Akut atau kronik
- Gawat darurat atau tidak.
2. Membatasi aktifitas
Gagal jantung kelas III dan IV istirahat di tempat tidur. Gagal jantung kelas I dan
II tidak perlu istirahat di tempat tidur. Hindarkan tidur lama.

3. Mengobati factor pencetus dan sebab penyakit jantung.


Faktor pencetus seperti anemia, infeksi dan perdarahan harus diatasi. Demikian
juga penyebab/etiologi dari gagal jantung harus diperbaiki.

4. Diet rendah garam


- Mengurangi makanan yang asin
- Jika memakai diuretik tidak perlu membatasi garam secara ketat.

5. Obat-obatan
Obat-obatan yang dipakai untuk gagal jantung adalah:
- Diuretika
- Digoksin
- Vasodilator

Diuretika:
- Loop diuretik: Furosemid 20-80 mg
- Golongan tiazid: HCT 12,5-25 mg/hari
- Hemat kalium: Spironolakton 25-50 mg

Bila respon tidak cukup baik (diuresis kurang dari 60 cc/jam), dosis diuretik dapat
dinaikkan, diberi diuretik intravena, atau kombinasi loop diuretik dan tiazid atau
kombinasi loop diuretik dan spironolakton
Digoksin:
Digoksin diberikan pada gagal jantung sistolik (disfungsi sistolik ventrikel kiri) dan
terutama jika disertai atrial fibrilasi. Loading dose 0,5-0,75 mg, bisa diulang 0,25-
0,50 mg tiap 8 jam. Maintenance dose 0,125-0,25 mg/hari.

Vasodilator :
- Venodilator: Nitrogliserin, Isosorbide dinitrat.
- Arteridilator: Hidralazin, Minoksidil, Phentalamine.
- Balanced vasodilator: Nitropruside, Prazosin, Doksazosin.
- ACE Inhibitor: Captopril, enalapril, lisinopril, dll.
- ARB dapat digunakan jika terdapat kontraindikasi penggunaan ACEI
- Penyekat beta: bisoprolol, metoprolol dan carvedilol dapat digunakan pada
keadaan yang sudah stabil (NYHA klas II, III). Dimulai dengan dosis rendah dan
dititrasi dalam beberapa minggu hingga dosis optimal tercapai.

Obat-obat lain:
- Antiaritmia: antiaritmia klas I tidak dianjurkan pada gagal jantung. Penyekat beta
(klas II) terbukti menurunkan angka kematian mendadak pada gagal jantung.
Amiodaron (klas III) terbukti bermanfaat untuk aritmia supraventrikel dan
ventrikel. Pemakaian rutin amiodaron pada gagal jantung tidak dianjurkan.
- Antiplatelet dapat ditambahkan terutama untuk gagal jantung yang disertai
dengan atrial fibrilasi dan disfungsi ventrikel kiri
- Antikoagulan perlu diberikan pada gagal jantung dengan atrial fibrilasi kronik
maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attack,
thrombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel
- Jangan menggunakan antagonis kalsium untuk mengobati angina atau hipertensi
pada gagal jantung

7. Prognosis :
Prognosis gagal jantung ditentukan oleh status jantung (cardiac status):
Cardiac status: Prognosis:
Uncompromised Baik
Slightely compromised Baik dengan pengobatan
Moderately compromised Gagal dengan pengobatan
Severe compromised Quarde derpite therapy
H . GASTRITIS EROSIF

1. Definisi :
Peradangan dan erosi akut dari mukosa lambung.

2. Etiologi :
a. Obat golongan salisilat dan OAINS lain.
b. Alkohol
c. Zat kimia korosif
d. Infeksi bakteri stafilokokus : food poisoning
e. Infeksi virus, dll

3. Patofisiologi :
Terjadi kerusakan dari mukosa lambung akibat kontak dengan zat-zat tersebut.

4. Gejala klinis :
Nyeri akut epigastrium, mual, muntah, hematemesis melena.
5. Diagnosis :
Endoskopi dan foto barium lambung.

6. Penatalaksanaan :
Diet : cairan dan lunak.
IVFD kalau perlu
Obat-obatan : antasida, trankuilizer, spasmolitik, H2RA, obat golongan
sitoprotektif, antibiotika bila perlu, PPI.

7. Komplikasi :
Anemia, ulkus, perforasi jarang.

8. Tindakan :
Transfusi darah.
I. DISPEPSIA

1. Pengertian
Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu hati,
mual, kembung, muntah, dan rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa.

2. Diagnosis
Anamnesis terdapatnya kumpulan gejala tersebut di atas

3. Diagnosis Banding
- Penyakit refluks gastroesofageal
- Irritable Bowe syndrom
- Karsinoma saluran cerna bagian atas
- Kelainan pankreas dan kelainan hati

4. Pemeriksaan Penunjang
Endoskopi saluran cerna bagian atas dan biopsi, pemeriksaan terhadap adanya infeksi
Helicobacter pylori, pemeriksaan fungsi hati, amilase dan lipase, fosfatase alkali dan
gamma GT, USG abdomen

5. Terapi
- Suportif: nutrisi
- Pengobatan empirik selama 4 minggu
- Pengobatan berdasarkan etiologi

6. Komplikasi
Tergantung etiologi dispepsia

Anda mungkin juga menyukai