Anda di halaman 1dari 3

Tanaman teh (Camellia sinensis (L.) O.

Kuntze) adalah komoditas


perkebunan Indonesia yang tidak mungkin lepas dari berbagai tantangan.
Kartasasmita (2011) menuliskan bahwa tantangan besar dalam memproduksi hasil
perkebunan teh adalah menangani perkembangan organisme pengganggu tanaman
(OPT). OPT seperti hewan vertebrata, serangga hama, nematoda, patogen
tanaman, dan gulma menentukan pertumbuhan dan hasil panen tanaman teh.
Misalnya, hama kepik penghisap daun teh (Helopeltis antonii) dapat
menyebabkan kehilangan hasil mencapai 40% (Atmadja 2003).
Langkah tercepat, efektif dan efisien dalam mengendalikan hama adalah
dengan aplikasi pestisida. Namun, penggunaan pestisida yang terus menerus akan
berdampak buruk bagi tanaman, serangga, dan lingkungannya. Dampak negatif
pestisida dapat mematikan organisme bukan target termasuk organisme yang
menguntungkan dalam pengendalian hama (musuh alami), seperti predator dan
parasitoid. Pada jangka panjang, efek negatif ini tidak hanya mengurangi
keanekaragaman dan kelimpahan serangga di area pertanian, tetapi juga di lahan
yang tidak dibudidayakan (Phalan et al. 2011). Oleh karena itu, pendekatan lain
yang lebih berwawasan lingkungan perlu diupayakan untuk diterapkan dalam
pengendalian hama.
Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan metode pengendalian hama
yang berwawasan lingkungan dan telah ditetapkan sebagai kebijakan utama
pengendalian hama dan penyakit di Indonesia sejak 1969. Undang-undang Nomor
12 Pasal 20 Tahun 1992 memutuskan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan
dengan Sistem Pengendalian Hama Terpadu dan pelaksanaannya menjadi
tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. PHT tidak mengendalikan dalam arti
memberantas OPT, tetapi menoleransi kepadatan populasi suatu OPT sampai
tingkat tertentu. Prinsip ini juga digunakan untuk tetap memelihara keberadaan
musuh alami OPT tersebut dalam suatu keseimbangan dengan OPT pada tingkat
yang tidak merugikan petani (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman 1993).
Salah satu faktor keberhasilan PHT adalah berfungsinya komponen
ekosistem. Masing-masing komponen ekosistem memiliki peran yang penting
dalam menjaga keseimbangan alam. Sebagai contoh, musuh alami akan tumbuh
dan bekerja optimal apabila OPT di ekosistem pertanian tersedia dan memenuhi
kebutuhan makan musuh alami. Untuk itu, praktek budidaya pertanian selayaknya
tidak mengganggu keseimbangan komponen ekosistem tersebut. Settle et al.
(1996) menuliskan bahwa musuh alami memiliki fungsi yang penting dalam
menekan OPT pada waktu jangka panjang dibandingkan dengan penggunaan
pestisida.
Pengetahuan keanekaragaman dan kelimpahan OPT seperti hama dan
musuh alaminya di lapangan dapat menjadi bahan pertimbangan keputusan
pengendalian dengan sistem PHT. Untuk memantau keanekaragaman hayati perlu
dilengkapi informasi jumlah individu (kelimpahan), peranannya pada suatu
habitat dan ekosistem (Primack et al. 1988; Oliver dan Beatti 1996), serta
berbagai faktor yang mempengaruhinya.
2
Keanekaragaman makhluk hidup di suatu habitat dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Struktur vegetasi dan ketersediaan pakan pada habitat merupakan faktor
utama yang mempengaruhi keanekaragaman jenis di suatu habitat (Campbell dan
Neil 2009). Faktor lainnya yaitu iklim mikro dan penggunaan lahan. Pengalihan
fungsi lahan hutan alami menjadi lahan pertanian intensif, seperti konversi lahan
hutan menjadi perkebunan teh, berdampak negatif bagi keanekaragaman dan
kelimpahan makhluk hidup (Murali 2011) tanpa terkecuali anggota kelompok
Arthropoda.
Agroekologiwan telah lama mengetahui pentingnya keanekaragaman
ekosistem dalam pengendalian hama. Intensifikasi pertanian diketahui telah
meningkatkan serangan hama sehingga ada hubungan antara keanekaragaman
tanaman dengan keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami pada sistem
pertanian. Keanekaragaman musuh alami akan terus meningkat pada
agroekosistem yang lebih beragam dan menghasilkan pengendalian hama yang
lebih baik (Swift et al. 1996). Musuh alami seperti predator dan parasitoid lebih
efisien mengendalikan kelimpahan hama pada pertanaman polikultur
dibandingkan pada pertanaman monokultur (Riihimki et al. 2004).
Untuk mempertahankan keanekaragaman dapat dilakukan dengan
mempertahankan vegetasi alami yang memang ada di pertanaman sebelum
pembukaan lahan. Misalnya dengan tidak membabat habis hutan dalam
pembukaan lahan menjadi lahan perkebunan teh. Ketika keanekaragaman musuh
alami tinggi seperti pada sistem agroforestry tradisional, fungsi agroekosistem
dan tujuan konservasi akan dijalankan oleh perlindungan keanekaragaman
(Philpott dan Armbrecht 2006).
Penelitian Ratsoavina dan Henson (2003) menunjukkan bahwa gradien
perubahan lingkungan memengaruhi keanekaragaman dan kelimpahan
invertebrata, terutama serangga tanah, dari habitat hutan primer menuju tepi hutan
hingga ke perkebunan monokultur teh. Melalui penelitian mereka dibuktikan
bahwa terjadi pengurangan keanekaragaman dan kelimpahan serangga sebanyak
40% dari hutan ke tepi hutan dan pengurangan hingga 50% dari tepi hutan ke
habitat teh.
Sampai saat ini, informasi hubungan jarak kebun teh dari hutan terhadap
kelimpahan Arthropoda beserta proporsi perannya di Indonesia belum ada. Oleh
karena itu, penelitian untuk melengkapi informasi tersebut perlu banyak
dilakukan

Anda mungkin juga menyukai