Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Preeklampsia

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan


adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik
dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan
berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan disertai
dengan gangguan sistem organ lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu.
Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan
proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with
proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik
preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai
gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan,
untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.

B. Epidemiologi

Angka kejadian preeklampsia eklampsia berkisar antara 2% dan 10% dari


kehamilan di seluruh dunia. Kejadian preeklampsia merupakan penanda awal dari
kejadian eklampsia, dan diperkirakan kejadian preeklampsia menjadi lebih tinggi
di negara berkembang. Angka kejadian preeklampsia di negara berkembang,
seperti di negara Amerika Utara dan Eropa adalah sama dan diperkirakan sekitar
5-7 kasus per 10.000 kelahiran. Disisi lain kejadian eklampsia di negara
berkembang bervariasi secara luas. Mulai dari satu kasus per 100 kehamilan untuk
1 kasus per 1700 kehamilan. Rentang angka kejadian preeklampsia-eklampsia di
negara berkembang seperti negara Afrika seperti Afrika selatan, Mesir, Tanzania,
dan Ethiopia bervariasi dari 1,8% sampai 7,1%. Di Nigeria angka kejadiannya
berkisar antara 2% sampai 16,7% Dan juga preeklampsia ini juga dipengaruhi
oleh ibu nullipara, karena ibu nullipara memiliki resiko 4-5 kali lebih tinggi dari
pada ibu multipara .
Angka kejadian dari preeklampsia di Indonesia sekitar 7-10%, ini
merupakan bukti bahwa preeklampsia merupakan penyebab kematian nomor dua
di Indonesia bagi ibu hamil, sedangkan no.1 penyebab kematian ibu di Indonesia
adalah akibat perdarahan.

C. Faktor Resiko

1. Usia
Peningkatan risiko preeklampsia hampir dua kali lipat pada wanita hamil berusia
40 tahun atau lebih, baik pada primipara maupun multipara. Usia muda tidak
meningkatkan risiko preeklampsia secara bermakna. Risiko preeklampsia pada
kehamilan kedua meningkat dengan usia ibu (1,3 setiap 5 tahun pertambahan
umur).

2. Nulipara
Wanita dengan kehamilan nulipara memiliki risiko preeklampsia hampir 3 kali
lipat.

3. Kehamilan pertama oleh pasangan baru


Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai faktor risiko,
walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada wanita yang memiliki
paparan rendah terhadap sperma.

4. Jarak antar kehamilan


Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia, memperlihatkan bahwa
wanita multipara dengan jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
memiliki risiko preeklampsia hampir sama dengan nulipara. Risiko preeklampsia
semakin meningkat sesuai dengan lamanya interval dengan kehamilan pertama
(1,5 setiap 5 tahun jarak kehamilan pertama dan kedua).
5. Riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan faktor risiko
utama. Terjadi peningkatan risiko hingga 7 kali lipat. Kehamilan pada wanita
dengan riwayat preeklampsia sebelumnya berkaitan dengan tingginya kejadian
preeklampsia berat, preeklampsia onset dini, dan dampak perinatal yang buruk.

6. Riwayat keluarga preeklampsia


Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko hampir 3 kali lipat.
Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan risiko sebanyak 3.6 kali
lipat.

7. Kehamilan multipel
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan, kehamilan kembar
meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat. Analisa lebih lanjut
menunjukkan kehamilan triplet memiliki risiko hampir 3 kali lipat dibandingkan
kehamilan duplet .Kehamilan ganda memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi
untuk menjadi preeklampsia dibandingkan kehamilan normal.

8. Donor oosit, donor sperma dan donor embrio


Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau donor embrio juga
dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang populer penyebab
preeklampsia adalah maladaptasi imun. Mekanisme dibalik efek protektif dari
paparan sperma masih belum diketahui. Data menunjukkan adanya peningkatan
frekuensi preeklampsia setelah inseminasi donor sperma dan oosit, frekuensi
preeklampsia yang tinggi pada kehamilan remaja, serta makin mengecilnya
kemungkinan terjadinya preeklampsia pada wanita hamil dari pasangan yang
sama dalam jangka waktu yang lebih lama.
Walaupun preeklampsia dipertimbangkan sebagai penyakit pada kehamilan
pertama, frekuensi preeklampsia menurun drastis pada kehamilan berikutnya
apabila kehamilan pertama tidak mengalami preeklampsia. Namun, efek protektif
dari multiparitas menurun apabila berganti pasangan. Terjadi peningkatan risiko
preeklampsia sebanyak dua kali pada wanita dengan pasangan yang pernah
memiliki istri dengan riwayat preeklampsia.

9. Obesitas sebelum hamil dan Indeks Massa Tubuh (IMT) saat pertama kali
ANC
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin besar dengan
semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan dengan resistensi insulin,
yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia. Obesitas meningkatkan risiko
preeklampsia sebanyak 2, 47 kali lipat sedangkan wanita dengan IMT sebelum
hamil > 35 dibandingkan dengan IMT 19-27 memiliki risiko preeklampsia 4 kali
lipat.

10. DMTI (Diabetes Mellitus Tergantung Insulin)


Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila diabetes terjadi
sebelum hamil.

11. Penyakit Ginjal


Preeklampsia meningkat sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita
dengan penyakit ginjal

12. Sindrom antifosfolipid


Dari 2 studi kasus kontrol menunjukkan adanya antibodi antifosfolipid (antibodi
antikardiolipin, antikoagulan lupus atau keduanya) meningkatkan risiko
preeklampsia hampir 10 kali lipat.

13. Hipertensi kronik


Sebuah studi yang meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik, didapatkan
insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% dan hampir setengahnya adalah
preeklampsia onset dini (< 34 minggu) dengan keluaran maternal dan perinatal
yang lebih buruk. Ada 7 faktor risiko yang dapat dinilai secara dini sebagai
prediktor terjadinya preeklampsia superimposed pada wanita hamil dengan
hipertensi kronik yaitu riwayat preeklampsia sebelumnya, penyakit ginjal kronis,
merokok, obesitas, Diastolik > 80 mmHg, dan Sistolik > 130 mmHg.

Faktor risiko yang telah diidentifikasi dapat membantu dalam melakukan


penilaian risiko kehamilan pada kunjungan awal antenatal. Berdasarkan hasil
penelitian dan panduan Internasional terbaru dibagi dua bagian besar faktor risiko
yaitu risiko tinggi / mayor dan risiko tambahan / minor.

Tabel 1 .Klasifikasi risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal


pertama

Risiko Tinggi
Riwayat preeklampsia
Kehamilan multipel
Hipertensi kronis
Diabetes Mellitus tipe 1 atau 2
Penyakit ginjal
Penyakit autoimun (contoh: systemic lupus erythematous, antiphospholipid
syndrome)

Risiko Sedang
Nulipara
Obesitas (Indeks masa tubuh > 30 kg/m2)
Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
Usia 35 tahun
Riwayat khusus pasien (interval kehamilan > 10 tahun)

D. Etiologi
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti,
sehingga penyakit ini disebut dengan The Diseases of Theories. Beberapa faktor
yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah :

1. Faktor Trofoblast
Semakin banyak jumlah trofoblast semakin besar kemungkinan terjadinya
Preeklampsia. Ini terlihat pada kehamilan Gemeli dan Molahidatidosa. Teori ini
didukung pula dengan adanya kenyataan bahwa keadaan preeklampsia membaik
setelah plasenta lahir.

2. Faktor Imunologik
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi
pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada
kehamilan pertama pembentukan Blocking Antibodies terhadap antigen
plasenta tidak sempurna, sehingga timbul respons imun yang tidak
menguntungkan terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada kehamilan
berikutnya, pembentukan Blocking Antibodies akan lebih banyak akibat respon
imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi.

3. Faktor Hormonal
Penurunan hormon Progesteron menyebabkan penurunan Aldosteron
antagonis, sehingga menimbulkan kenaikan relative Aldoteron yang menyebabkan
retensi air dan natrium, sehingga terjadi Hipertensi dan Edema.

4. Faktor Genetik
Preeklampsia / eklampsia bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal.
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian
Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-
Eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-
Eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi Preeklampsia-Eklampsia pada
anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat Preeklampsia-Eklampsia dan
bukan pada ipar mereka.

5. Faktor Gizi
Faktor nutrisi yang kurang mengandung asam lemak essensial terutama
asam Arachidonat sebagai precursor sintesis Prostaglandin akan menyebabkan
Loss Angiotensin Refraktoriness yang memicu terjadinya preeklampsia.

6. Peran Prostasiklin dan Tromboksan


Pada Preeklampsia-Eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler,
sehingga terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan
normal meningkat, aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan
diganti trombin dan plasmin. Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III,
sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi trombosit menyebabkan pelepasan
tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi vasospasme dan kerusakan
endotel.

E. Patofisiologi

Patofisiologi preeklampsia belum diketahui secara pasti. Berbagai macam teori-


teori yang dikemukakan para ahli tentang patofisiologi preeklampsia. Secara
umum, patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan
perfusi plasenta dan sindrom maternal. Tahap pertama terjadi selama 20 minggu
pertama kehamilan. Pada fase ini terjadi perkembangan abnormal remodelling
dinding arteri spiralis. Abnormalitas dimulai pada saat perkembangan plasenta,
diikuti produksi substansi yang jika mencapai sirkulasi maternal menyebabkan
terjadinya sindrom maternal. Tahap ini merupakan tahap kedua atau disebut juga
fase sistemik. Fase ini merupakan fase klinis preeklampsia, dengan elemen pokok
respons infl amasi sistemik maternal dan disfungsi endotel.
Pada kehamilan preeklampsia, invasi arteri uterina ke dalam plasenta
dangkal, aliran darah berkurang, menyebabkan iskemik plasenta pada awal
trimester kedua. Hal ini mencetuskan pelepasan faktor-faktor plasenta yang
menyebabkan terjadinya kelainan multisistem pada ibu. Pada wanita dengan
penyakit mikrovaskuler, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit
kolagen, didapatkan peningkatan insiden preeklampsia; mungkin preeklampsia ini
didahului gangguan perfusi plasenta.

Gambar 1. Hipotesis tentang peranan soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt 1)


pada preeklampsia
Gambar 2. Patofisiologi preeklampsia

Tekanan darah pada preeklampsia sifatnya labil. Peningkatan tekanan


darah disebabkan adanya peningkatan resistensi vaskuler. Selain itu, didapatkan
perubahan irama sirkadian normal, yaitu tekanan darah sering kali lebih tinggi
pada malam hari disebabkan peningkatan aktivitas vasokonstriktor simpatis, yang
akan kembali normal setelah persalinan. Hal ini mendukung penggunaan
metildopa sebagai antihipertensi. Tirah baring sering dapat memperbaiki
hipertensi pada kehamilan, mungkin karena perbaikan perfusi uteroplasenta.

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko penting terjadinya


preeklampsia. Dislipidemia dan diabetes melitus gestasional meningkatkan risiko
preeklampsia dua kali lipat, mungkin berhubungan dengan disfungsi endotel.

Pada preeklampsia, fraksi filtrasi renal menurun sekitar 25%, padahal


selama kehamilan normal, fungsi renal biasanya meningkat 35-50%. Klirens asam
urat serum menurun, biasanya sebelum manifestasi klinis. Kadar asam urat >5,5
mg/dL akibat penurunan klirens renal dan filtrasi glomerulus merupakan penanda
penting preeklampsia.

F. Kriteria Diagnosis
Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan /
diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya
didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan
peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ spesifik akibat preeklampsia
tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin.
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam
24 jam atau tes urin dipstik > positif 1. Pemeriksaan urin dipstik bukan merupakan
pemeriksaan yang akurat dalam memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi
protein pada sampel urin sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk
jumlah urin. Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki angka positif palsu yang tinggi,
dengan tingkat positif palsu 67-83%. Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi
duh vagina, cairan pembersih, dan urin yang bersifat basa. Konsensus Australian
Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang
dikeluarkan oleh Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG)
menetapkan bahwa pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat digunakan
sebagai tes skrining dengan angka positif palsu yang sangat tinggi, dan harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin tampung 24 jam atau rasio protein
banding kreatinin. Pemeriksaan rasio protein banding kreatinin dapat memprediksi
proteinuria dengan lebih baik.
POGI tahun 2016 merekomendasikan proteinuria ditegakkan jika
didapatkan secara kuantitatif produksi protein urin lebih dari 300 mg per 24 jam,
namun jika hal ini tidak dapat dilakukan, pemeriksaan dapat digantikan dengan
pemeriksaan semikuantitatif menggunakan dipstik urin > 1+.
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat.
Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklampsia ringan,
dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan dapat
mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam
waktu singkat. POGI sendiri membagi kriteria terbaru menjadi kriteria minimal
preeklampsia dan kriteria preeklampsia berat. Dapat dilihat pada tabel. 2
Tabel 2. Kriteria Minimal Preeklampsia
Hipertensi :Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama
Dan
Protein urin : Protein urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik
> positif 1

Jika tidak didapatkan protein urin, hipertensi dapat diikuti salah satu dibawah ini:
Trombositopeni : Trombosit < 100.000 / mikroliter
Gangguan ginjal : Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak
ada kelainan ginjal lainnya
Gangguan Liver : Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
Edema Paru
Gejala Neurologis : Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
Gangguan Sirkulasi
Uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

Tabel 3. Kriteria Preeklampsia berat


Diagnosis preeklampsia dipenuhi dan jika didapatkan salah satu kondisi klinis
dibawah ini :
Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama
Trombositopeni : Trombosit < 100.000 / mikroliter
Gangguan ginjal : Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak
ada kelainan ginjal lainnya
Gangguan Liver : Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
Edema Paru
Gejala Neurologis : Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
Gangguan Sirkulasi
Uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

G. Penatalaksanaan

Terdapat beberapa manajemen pada kehamilan dengan preeklampsia yaitu antara


lain manajemen ekspektatif atau aktif, pemberian magnesium sulfat untuk
mencegah kejang dan pemberian antihipertensi.

1. Manajemen Ekspektatif atau Aktif

Manajemen ekspektatif pada preeklampsia bertujuan untuk memperbaiki luaran


perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia
kehamilan tanpa membahayakan ibu. Pada beberapa penelitian yang dilakukan,
manajemen ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal seperti
gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta.
Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi morbiditas
perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan
perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat lahir bayi rata rata
lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin
terhambat juga lebih banyak. Pemberian kortikosteroid diperlukan untuk
mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan intraventrikular, infeksi
neonatal serta kematian neonatal.

a. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia


Manajemen ekspektatif pada kasus preeklampsia tanpa gejala berat dengan usia
kehamilan kurang dari 37 minggu adalah dengan cara evaluasi maternal dan janin
yang lebih ketat. Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat. Evaluasi ketat yang dilakukan adalah evaluasi
gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien, evaluasi tekanan darah 2
kali dalam seminggu di poliklinis, evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver
setiap minggu. Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2
kali dalam seminggu). Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat,
direkomendasikan evaluasi menggunakan doppler velocimetry terhadap arteri
umbilikal.

Bagan 1. Manajemen ekspektatif preeklampsia


b. Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat

Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat dengan


usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin stabil.
Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat dilakukan apabila tersedia
perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dan tersedia perawatan intensif bagi
maternal dan neonatal. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif
preekklamsia berat, pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu
pematangan paru janin. Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan
untuk melakukan rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif.

Bagan 2. Manajemen ekspektatif preeklampsia berat


Tabel 3. Kriteria terminasi kehamilan pada preeklampsia berat
Maternal Janin
Hipertensi berat yang tidak Usia kehamilan 34 minggu
terkontrol Pertumbuhan janin terhambat
Gejala preeklampsia berat yang Oligohidramnion persisten
tidak berkurang (nyeri kepala, Profil biofisik < 4
pandangan kabur, dsb) Deselerasi variabel dan lambat
Penurunan fungsi ginjal progresif pada NST
Trombositopenia persisten atau USG Doppler : a.umbilikalis :
HELLP syndrome reversed end diastolic flow
Edema paru Kematian janin
Eklampsia
Solusio plasenta
Persalinan atau ketuban pecah

2. Pemberian magnesium sulfat untuk mencegah kejang

Tujuan utama dari pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia adalah untuk
mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi
morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal. Cara kerja magnesium sulfat
adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi otot polos, termasuk pembuluh
darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat
juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan
dalam menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam
neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.

Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah dipublikasi mengenai


waktu yang optimal untuk memulai magnesium sulfat, dosis (loading dan
pemeliharaan), rute administrasi (intramuskular atau intravena) serta lama terapi.
Guideline RCOG merekomendasikan dosis loading magnesium sulfat 4 g selama
5 10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1-2 g/jam selama 24 jam
post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk
melanjutkan pemberian magnesium sulfat. Pemantauan produksi urin, refleks
patella, frekuensi napas dan saturasi oksigen penting dilakukan saat memberikan
magnesium sulfat. Pemberian ulang 2 g bolus dapat dilakukan apabila terjadi
kejang berulang.

Syarat-syarat pemberian MgSO4


a) Tersedia antidotum MgSO4 yaitu calcium gluconas 10%, 1 gram (10%
dalam 10 cc) diberikan I.V pelan dalam 3 menit.
b) Refleks patella positif kuat
c) Frekuensi pernapasan > 16 kali per menit, tanda distress pernafasan (-)
d) Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya (0,5 cc/kgBB/jam).

Cara Pemberian
a) Jika ada tanda impending eklampsi dosis awal diberikan IV + IM, jika tidak
ada, dosis awal cukup IM saja. Dosis awal sekitar 4 gram MgSO4 IV (20 %
dalam 20 cc) selama 4 menit (1 gr/menit) atau kemasan 20% dalam 25 cc
larutan MgSO4 (dalam 3-5 menit). Diikuti segera 4 gram di bokong kiri dan
4 gram di bokong kanan (40 % dalam 10 cc) dengan jarum no 21 panjang
3,7 cm. Untuk mengurangi nyeri dapat diberikan 1 cc xylocain 2% yang
tidak mengandung adrenalin pada suntikan IM.
b) Dosis ulangan diberikan setelah 6 jam pemberian dosis awal, dosis ulangan
4 gram MgSO4 40% diberikan secara intramuskuler setiap 6 jam, bergiliran
pada bokong kanan/kiri dimana pemberian MgSO4 tidak melebihi 2-3 hari.

Penghentian MgSO4
a) Ada tanda-tanda keracunan yaitu kelemahan otot, hipotensi, refleks
fisiologis menurun, fungsi jantung terganggu, depresi SSP, kelumpuhan dan
selanjutnya dapat menyebabkan kematian karena kelumpuhan otot-otot
pernapasan karena ada serum 10 U magnesium pada dosis adekuat adalah 4-
7 mEq/liter. Refleks fisiologis menghilang pada kadar 8-10 mEq/liter. Kadar
12-15 mEq terjadi kelumpuhan otot-otot pernapasan dan lebih 15 mEq/liter
terjadi kematian jantung.
b) Setelah 24 jam pasca persalinan
c) 6 jam pasca persalinan normotensif, selanjutnya dengan luminal 3x30-60
mg
Bila timbul tanda-tanda keracunan magnesium sulfat
a) Hentikan pemberian magnesium sulfat
b) Berikan calcium gluconase 10% 1 gram (10% dalam 10 cc) secara IV dalam
waktu 3 menit.
c) Berikan oksigen.
d) Lakukan pernapasan buatan.

Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai terapi lini pertama eklampsia.


Magnesium sulfat direkomendasikan sebagai profilaksis terhadap eklampsia pada
pasien preeklampsia berat dibandingkan anti konvulsan lainnya seperti diazepam
atau fenitoin.

3. Pemberian antihipertensi
Pemberian antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah memberikan efek
negatif pada perfusi uteroplasenta. Oleh karena itu, indikasi utama pemberian
obat antihipertensi pada kehamilan adalah untuk keselamatan ibu dalam mencegah
penyakit serebrovaskular. Meskipun demikian, penurunan tekanan darah
dilakukan secara bertahap tidak lebih dari 25% penurunan dalam waktu 1 jam.
Hal ini untuk mencegah terjadinya penurunan aliran darah uteroplasenter.

Terdapat perbedaan manajemen hipertensi pada kehamilan dan di luar


kehamilan. Kebanyakan kasus hipertensi di luar ke hamilan merupakan hipertensi
esensial yang bersifat kronis. Terapi hipertensi di luar kehamilan ditujukan untuk
mencegah komplikasi jangka panjang, seperti stroke dan infark miokard,
sedangkan hipertensi pada kehamilan biasanya kembali normal saat post-partum,
sehingga terapi tidak ditujukan untuk pencegahan komplikasi jangka panjang.

Preeklampsia berisiko menjadi eklampsia, sehingga diperlukan penurunan


tekanan darah yang cepat pada preeklampsia berat. Selain itu, preeklampsia
melibatkan komplikasi multisistem dan disfungsi endotel, meliputi kecenderungan
protrombotik, penurunan volume intravaskuler, dan peningkatan permeabilitas
endotel. Preeklampsia onset dini (<34 minggu) memerlukan penggunaan obat
antihipertensi secara hati-hati; selain itu, diperlukan tirah baring dan monitoring
baik terhadap ibu maupun bayi. Pasien preeklampsia biasanya sudah mengalami
deplesi volume intravaskuler, sehingga lebih rentan terhadap penurunan tekanan
darah yang terlalu cepat; hipotensi dan penurunan aliran uteroplasenta perlu
diperhatikan karena iskemi plasenta merupakan hal pokok dalam patofi siologi
preeklampsia. Selain itu, menurunkan tekanan darah tidak mengatasi proses
primernya.

Indikasi utama pemberian obat antihipertensi pada kehamilan adalah untuk


keselamatan ibu dalam mencegah penyakit serebrovaskular. Pemberian
antihipertensi berhubungan dengan pertumbuhan janin terhambat sesuai dengan
penurunan tekanan arteri rata rata. Antihipertensi direkomendasikan pada
preeklampsia dengan hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik 160 mmHg
atau diastolik 110 mmHg. Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160
mmHg dan diastolik < 110 mmHg. Pemberian antihipertensi pilihan pertama
adalah nifedipin oral short acting, hidralazine dan labetalol parenteral. Alternatif
pemberian antihipertensi yang lain adalah nitogliserin, metildopa, labetalol.

Tabel 4. Obat anti hipertensi untuk hipertensi dalam kehamilan

Tabel 5. Obat untuk kontrol cepat tekanan darah pada hipertensi dalam kehamilan
H. Komplikasi

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi, yaitu :


Solusio plasenta: Biasa terjadi pada ibu dengan hipertensi akut.
Hipofibrinogenemia
Hemolisis: Gejala kliniknya berupa ikterik. Diduga terkait nekrosis periportal
hati pada penderita pre-eklampsia.
Perdarahan otak: Merupakan penyebab utama kematian maternal penderita
eklampsia.
Kelainan mata: Kehilangan penglihatan sementara dapat terjadi. Perdarahan
pada retina dapat ditemukan dan merupakan tanda gawat yang menunjukkan
adanya apopleksia serebri.
Edema paru
Nekrosis hati: Terjadi pada daerah periportal akibat vasospasme arteriol
umum. Diketahui dengan pemeriksaan fungsi hati, terutama dengan enzim.
Sindrom HELLP (hemolisis, elevated liver enzymes, dan low platelet).
Prematuritas
Kelainan ginjal: Berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Bisa
juga terjadi anuria atau gagal ginjal.
DIC (Disseminated Intravascular Coagulation): Dapat terjadi bila telah
mencapai tahap eklampsia.

I. Pencegahan

Berdasarkan pedoman nasional pelayanan kedokteran preeklampsia yang


dikeluarkan oleh POGI, pencegahan pada preeklampsia dibagi menjadi tiga, yaitu
pencegahan primer, sekunder dan tersier.
Perjalanan penyakit preeklampsia pada awalnya tidak memberi gejala dan
tanda, namun pada suatu ketika dapat memburuk dengan cepat. Pencegahan
primer merupakan yang terbaik namun hanya dapat dilakukan bila penyebabnya
telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan untuk menghindari atau
mengkontrol penyebab-penyebab tersebut.
Hingga saat ini penyebab pasti terjadinya preeklampsia masih belum
diketahui. Pencegahan primer lebih ditujukan untuk dapat mengidentifikasi
faktor-faktor resiko preeklampsia pada kehamilan saat kunjungan awal antenatal.
Faktor resiko dibagi menjadi dua bagian besar yaitu resiko tinggi/ mayor dan
resiko tambahan/ minor seperti yang sudah di bahas dalam bab sebelumnya.

Pencegahan sekunder dalam konteks preeklampsia berarti memutus proses


terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau
kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
pada pencegahan sekunder preeklampsia adalah sebagai berikut :
o Istirahat di rumah tidak di rekomendasikan untuk pencegahan primer
preeklampsia
o Tirah baring tidak direkomendasikan untuk memperbaiki luaran pada wanita
hamil dengan hipertensi (dengan atau tanpa proteinuria)
o Pembatasan garam untuk mencegah preeklampsia dan komplikasinya selama
kehamilan tidak direkomendasikan
o Penggunaan aspirin dosis rendah (75mg/hari) direkomendasikan untuk
prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi
o Apirin dosis rendah sebagai prevensi preeklampsia sebaiknya mulai digunakan
sebelum usia kehamilan 20 minggu
o Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada
wanita dengan asupan kalsium yang rendah
o Penggunaan aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium (minimal 1g/hari)
direkomendasikan sebagai prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko
tinggi terjadinya preeklampsia
o Pemberian vitamin C dan E tidak direkomendasikan untuk diberikan dalam
pencegahan preeklampsia.
Pencegahan tersier berarti pencegahan dari komplikasi yang disebabkan oleh
proses penyakit, sehingga pencegahan ini juga merupakan tatalaksana yang
diberikan pada preeklampsia seperti yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya.

J. Prognosis

Penentuan prognosis ibu dan janin sangat bergantung pada umur gestasi janin,
ada tidaknya perbaikan setelah perawatan, kapan dan bagaimana proses bersalin
dilaksanakan, dan apakah terjadi eklampsia. Kematian ibu antara 9.8%-25.5%,
kematian bayi 42.2% -48.9%.

Anda mungkin juga menyukai