APENDISITIS
Disusun Oleh :
Ike Setiyaning
Karina Damayanti
Nabilla Khuriyatunnahar
Nabilatul Adawiyah
Jalan Wijaya Kusuma Raya No.47-48, Cilandak Barat, Cilandak, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 12430, telepon/fax : (021) 75909605
JAKARTA
2017
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-NYA yang telah memberi kami
kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul MAKALAH KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH APENDISITIS. Mengingat dalam pembuatan makalah ini tidaklah mudah dan
perlu adanya dukungan maupun motivasi dari berbagai pihak. Maka dari itu tidak lupa kami ucapkan
banyak terimakasih kepada:
1. Ibu Ratna Ariyani, S. Kep, Ners, M.Kep selaku koordinator mata kuliah keperawatan medikal
bedah.
2. Ibu Rospa Hetharia, SST, MA.Kes selaku dosen pembimbing kami.
3. Bapak, Ibu, dan Kakak tercinta yang telah memberikan dorongan moril maupun materil, dan
semangat untuk membuka semangat baru.
4. Teman-teman yang juga sudah sangat membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Berkat motivasi dan dukungan dari berbagai pihak tersebut, kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Harapan kami, semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi para pembaca
dalam menuntut ilmu.
Kelompok 8
BAB 1
PENDAHULUAN
Untuk mengetahui tentang penyakit apendisitis yang dihubungkan dengan konsep asuhan
keperawatan pada pasien pre-operation, operation, dan post operation.
2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat mengetahui definisi apendisitis
2. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis dari apendisitis
3. Mahasiswa dapat mengetahui konsep askep pada pasien pre op apendisitis
4. Mahasiswa dapat mengetahui konsep askep pada pasien post op apendisitis
5. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada
pasien apendisitis.
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun. (Chris Tanto, 2014)
Appendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smltzer, 2005)
Appendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat terjadi tanpa penyebab yang jelas,
setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya
(Elizabeth J. Corwin, 2009)
Jadi appendisitis adalah peradangan yang disebabkan karena adanya inflamasi akut pada
rongga abdomen dan memerlukan tindakan bedah kedaruratan.
2.2 Etiologi
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak
sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen
apendiks yang biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia
jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor primer pada dinding
apendiks dan struktur. Penelitian terakhir menemukan bahwa ulserasi mukosa akibat parasit seperti E
Hystolitica, merupakan langkah awal terjadinya apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan
lebih sering dari sumbatan lumen.
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori Blum dibedakan
menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor
perilaku. Faktor biologi antaralain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi
akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda asing dan sanitasi
lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik
dilihat dari pelayan kesehatan yang diberikan oleh 13 layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun
non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang
dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki
risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat, 2004).
2.3.1 Anatomi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan
berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu
ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumb
uhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju
katup ileocaecal.
Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung.
Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks memili
ki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga
tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks
. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (d
i belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal
(di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%
2.3.2 Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke d
alam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tamp
aknya berperan pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendi
ks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap inf
eksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin
dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun
tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh tubuh.
2.4 Patofisiologis
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan
yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh
itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena
omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007)
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan.
2. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah
pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior.
Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung
pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks.
3. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal.
4. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan
rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum.
5. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung
kemih atau ureter. Dapat terjadi kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan.
6. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks
telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan
kondisi pasien memburuk.
7. Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda
tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit
lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks.
Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien
ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda
(Smeltzer C. Suzanne, 2005).
2.7 Komplikasi
2.9 Penatalaksanaan
1. Pre-operatif
a. Observasi ketat, tirah baring, dan puasa
b. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik
c. Foto abdomen dan toraks dapat dilakukan untuk mencari penyulit lain
d. Antibiotik intravena spektrum luas dan analgesik dapat diberikan
e. Pada perforasi apendiks perlu diberikan resusitasi cairan sebelum operasi
2. Operatif
a. Apendiktomi terbuka : dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan bawah
(DavisRockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney). Pada diagnosis yang belum jelas
dapat dilakukan insisi sub umbilikal pada garis tengah.
b. Laparoskopi apendiktomi : teknik operasi dengan luka dan kemungkinan infeksi lebih kecil
3. Post-operatif
a. perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok,
hipertermi atau gangguan pernapasan
b. pasien dibaringkan dalam poisisi fowlerdan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu
c. pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus
kembali normal
d. secara bertahap pasien diberi minum, makanan saring, maknan lunak, dan makanan biasa
(Chris Tanto, 2014 )
1) Pengkajian
A. Data Subyektif
a. Sebelum operasi
1. Rasa sakit di epigastrium atau daerah periumbilikalis kemudian menjalar ke bagian
perut kanan bawah.
2. Rasa sakit hilang timbul.
3. Mual dan muntah.
4. Diare atau konstipasi.
5. Tungkai kanan tidak dapat diluruskan.
6. Rewel dan menangis.
7. Lemah dan lesu.
8. Suhu tubuh meningkat.
b. Sesudah operasi
1. Mengeluh sakit pada daerah luka operasi terutama bila digerakkan.
2. Haus dan lapar.
3. Takut melakukan aktivitas.
4. Pendarahan.
B. Data Obyektif
a. Sebelum operasi
1. Nyeri tekan titik Mc. Burney.
2. Bising usus meningkat, perut kembung.
3. Suhu tubuh meningkat, nadi cepat.
4. Hasil lekosit meningkat 10.000 - 12.000 dan 13.000 UI bila sudah terjadi perforasi.
5. Obstipasi.
b. Sesudah operasi
1. Luka operasi di kuadran kanan bawah abdomen.
2. Bed rest / aktivitas terbatas.
3. Puasa dan infus.
4. Bising usus berkurang.
C. Data Laboratorium
a. Darah
1. Lekosit > 10.000 - 18.000
2. Netrofil meningkat 75 %.
b. Urine
1. Normal (kadang ditemukan lekosit)
2) Diagnosa Keperawatan
A. Pre operasi
1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, mual
2. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit
3. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya operasi
B. Post operasi
1. Nyeri berhubungan dengan adanya luka post operasi apendektomi.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah
3) Intervensi
A. Pre Operasi
DP 1 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, mual.
Tujuan : Nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil :
1. Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai rentang yang diharapkan
individu.
2. Menyiapkan pola diet dengan masukan kalori adekuat.
3. Menyatakan pemahaman kebutuhan nutrisi.
Intervensi :
1. Buat tujuan berat badan minimum dan kebutuhan nutrisi harian.
2. Berikan makanan sedikit dan makanan kecil atau tambahan yang tepat
3. Sajikan makan sesuai diit dan pilihan pasien.
4. Timbang berat badan secara teratur.
5. Awasi program latihan dan susun batasan aktivitas tersebut.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Appendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat terjadi tanpa penyebab yang
jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh
darahnya (Elizabeth J. Corwin, 2009).
Apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis,
sehingga merupakan penyakit yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan,
apabila tidak ditangani dengan benar, penyakit ini dapat berakibat sangat fatal (Kowalak, 2011)
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak
pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang
peritonieum lokal. Apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat nyeri
perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik.
3.2 Saran
Bagi mahasiwa diharapkan dapat memahami konsep dasar penyakit apendisitis yang
berguna bagi profesi dan orang sekitar kita. Bagi masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan
makalah ini untuk menambah pengetahuan tentang penyakit apendisitis.
Begitu pula jangan membiarkan masalah buang air besar karena bila terjadinya
pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat mungkin ada bagian yang terselip
masuk kesaluran appendiks yang pada akhirnya menjadi media kuman/bakteri bersarang dan
berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan usus buntu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Chris Tanto, et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius
Mansjoer Arif, et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 2. Jakarta : Media Aesculapius
Smeltzer, Suzanne C. Dan Bare, Brenda G. 2005. Keperawatan Medikal Bedah. Vol 1. Jakarta: EGC.
Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan (Edisi 4). Jakarta : EGC.
Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta : EGC.
https://www.scribd.com/doc/85010953/Referat-Appendicitis-Dr-Dono-SpB
http://digilib.unila.ac.id/20879/15/BAB%20II.pdf
http://digilib.stikesmuhgombong.ac.id/files/disk1/23/jtstikesmuhgo-gdl-hestimarli-1129-2-hal.48--4.pdf