Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

APENDISITIS

Disusun Oleh :

Ike Setiyaning

Karina Damayanti

Nabilla Khuriyatunnahar

Nabilatul Adawiyah

POLTEKKES KEMENKES JAKARTA 1

Jalan Wijaya Kusuma Raya No.47-48, Cilandak Barat, Cilandak, Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 12430, telepon/fax : (021) 75909605

JAKARTA

2017
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-NYA yang telah memberi kami
kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul MAKALAH KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH APENDISITIS. Mengingat dalam pembuatan makalah ini tidaklah mudah dan
perlu adanya dukungan maupun motivasi dari berbagai pihak. Maka dari itu tidak lupa kami ucapkan
banyak terimakasih kepada:
1. Ibu Ratna Ariyani, S. Kep, Ners, M.Kep selaku koordinator mata kuliah keperawatan medikal
bedah.
2. Ibu Rospa Hetharia, SST, MA.Kes selaku dosen pembimbing kami.
3. Bapak, Ibu, dan Kakak tercinta yang telah memberikan dorongan moril maupun materil, dan
semangat untuk membuka semangat baru.
4. Teman-teman yang juga sudah sangat membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Berkat motivasi dan dukungan dari berbagai pihak tersebut, kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Harapan kami, semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi para pembaca
dalam menuntut ilmu.

Jakarta, 13 Oktober 2017

Kelompok 8
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Appendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat terjadi tanpa penyebab yang jelas,
setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya
(Elizabeth J. Corwin, 2009).
Apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis, sehingga
merupakan penyakit yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan, apabila tidak
ditangani dengan benar, penyakit ini dapat berakibat sangat fatal (Kowalak, 2011)
Apendiks merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut
kanan bawah, yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm, dan organ ini mensekresikan
iga namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendiks atau
Appendisitis akut menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan
bedah. Insiden apendisitis lebih tinggi pada negara berkembang daripada negara maju, karena saat ini
negara berkembang pola makannya berubah menjadi makanan kurang serat dibanding negara maju.
Kemudian dari data yang dirilis oleh Depkes RI pada tahun 2008 jumlah penderita appendisitis di
indonesia mencapai 591.819 orang dan meningkat pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang.
Apendisitis dapat ditemukan pada laki-laki maupun perempuan dengan risiko menderita
apendisitis selama hidupnya mencapai 7-8%. Insiden tertinggi dilaporkan pada rentang usia 20-30
tahun. Kasus perforasi apendiks pada apendisitis akut berkisar antara 20-30% dan meningkat 32-72%
pada usia lebih dari 60 tahun, sedangkan pada anak kurang dari satu tahun kasus apendisitis jarang
ditemukan.
Diagnosis apendisitis ditegakkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan ultrasonography (USG). Penanganan standar apendisitis di dunia adalah operasi
pengangkatan apendiks yang disebut apendektomi dan dilakukan laparotomi jika sudah terjadi
perforasi. Angka mortalitas pada pasien yang dilakukan apendektomi mencapai 0,07-0,7% dan 0,5-
2,4% pada pasien dengan atau tanpa perforasi. Walaupun mortalitas apendisitis akut rendah tetapi
angka morbiditas nya cukup tinggi.
Penyakit radang usus buntu ini umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri, namun faktor
pencetusnya ada beberapa kemungkinan yang sampai sekarang belum dapat diketahui secara pasti.
Diantaranya faktor penyumbatan (obstruksi) padalapisan saluran (lumen) apendiks oleh timbunan
tinja/feces yang keras (fekalit), hyperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit,
benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur (Arman, 2006).
1.2 Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui tentang penyakit apendisitis yang dihubungkan dengan konsep asuhan
keperawatan pada pasien pre-operation, operation, dan post operation.

2. Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat mengetahui definisi apendisitis
2. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis dari apendisitis
3. Mahasiswa dapat mengetahui konsep askep pada pasien pre op apendisitis
4. Mahasiswa dapat mengetahui konsep askep pada pasien post op apendisitis
5. Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada
pasien apendisitis.

5.3 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan apendisitis?
2. Bagaimana manifestasi klinis pada penyakit apendisitis?
3. Apa saja manifestasi klinis pada pasien apendisitis?
4. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien pre op apendisitis?
5. Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada pasien post op apendisitis?
6. Apa saja pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien apendisitis?
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Appendisitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis, dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10-30 tahun. (Chris Tanto, 2014)

Appendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smltzer, 2005)

Appendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat terjadi tanpa penyebab yang jelas,
setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahnya
(Elizabeth J. Corwin, 2009)

Appendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada appendiks vermiformis,


sehingga merupakan penyakit yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan, apabila
tidak ditangani dengan benar, penyakit ini dapat berakibat sangat fatal (Kowalak, 2011)

Jadi appendisitis adalah peradangan yang disebabkan karena adanya inflamasi akut pada
rongga abdomen dan memerlukan tindakan bedah kedaruratan.

2.2 Etiologi
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak
sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen
apendiks yang biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia
jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor primer pada dinding
apendiks dan struktur. Penelitian terakhir menemukan bahwa ulserasi mukosa akibat parasit seperti E
Hystolitica, merupakan langkah awal terjadinya apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan
lebih sering dari sumbatan lumen.

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori Blum dibedakan
menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor
perilaku. Faktor biologi antaralain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi
akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda asing dan sanitasi
lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik
dilihat dari pelayan kesehatan yang diberikan oleh 13 layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun
non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang
dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki
risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat, 2004).

2.3 Anatomi Fisiologi

2.3.1 Anatomi
Appendiks merupakan organ yang berbentuk tabung dengan panjang kira-kira 10 cm dan
berpangkal pada sekum. Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu
ke delapan yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumb
uhan dari sekum yang berlebih akan menjadi appendiks yang akan berpindah dari medial menuju
katup ileocaecal.

Pada bayi appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkal dan menyempit kearah ujung.
Keadaan ini menjadi sebab rendahnya insidens Apendisitis pada usia tersebut. Appendiks memili
ki lumen sempit di bagian proksimal dan melebar pada bagian distal. Pada appendiks terdapat tiga
tanea coli yang menyatu dipersambungan sekum dan berguna untuk mendeteksi posisi appendiks
. Gejala klinik Apendisitis ditentukan oleh letak appendiks. Posisi appendiks adalah retrocaecal (d
i belakang sekum) 65,28%, pelvic (panggul) 31,01%, subcaecal (di bawah sekum) 2,26%, preileal
(di depan usus halus) 1%, dan postileal (di belakang usus halus) 0,4%
2.3.2 Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke d
alam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tamp
aknya berperan pada patogenesis Apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendi
ks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap inf
eksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin
dan antigen intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun
tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan
seluruh tubuh.
2.4 Patofisiologis
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.


Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan penekanan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat
tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi
mukosa. Pada saat inilah terjadi terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan
yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh
itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrat apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, karena
omentum lebih pendek dan apediks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut
ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2007)

2.5 Manifestasi Klinis


Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh radang mendadak, umbai
cacing yang memberikan tanda setempat.

1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah dan
hilangnya nafsu makan.
2. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah
pada titik Mc.Burney yang berada antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior.
Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung
pada beratnya infeksi dan lokasi apendiks.
3. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal.
4. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan
rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum.
5. Nyeri pada saat berkemih menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung
kemih atau ureter. Dapat terjadi kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan.
6. Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara
paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah. Apabila apendiks
telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik dan
kondisi pasien memburuk.
7. Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi. Tanda-tanda
tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus atau proses penyakit
lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai ia mengalami ruptur apendiks.
Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi pada lansia karena banyak dari pasien-pasien
ini mencari bantuan perawatan kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda
(Smeltzer C. Suzanne, 2005).

2.6 Faktor Resiko


1. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh
infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan lymphoid sub mukosa,
35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan
oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada
bermacam-macam apendisitis akut diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus
apendisitis kasus sederhana, 65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan
90% pada kasus apendisitis akut dengan rupture.
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi,
karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada kultur didapatkan
terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu
Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas, Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang
menyebabkan perforasi adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ, apendiks yang
terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi apendisitis.
Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama dengan diet
rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit putih
yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resikolebih tinggi dari Negara yang pola
makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah
merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang
dulunya memiliki tinggi serat kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko
apendisitis yang lebih tinggi.
5. Faktor infeksi saluran pernapasan
Setelah mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan
pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat. Tapi harus hati-hati karena penyakit
infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan apendisitis.

2.7 Komplikasi

2.7.1 Apendisitis akut


Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritonieum lokal.
Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral
didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan
umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik
Mc.Burney. Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi:
a. Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumenappendiks dan terjadi peningkatan tekanan
dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan
kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise dan demam ringan.
b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan
ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus
besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti
nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif
dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan
tanda-tanda peritonitis umum.
c. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks
mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijaukeabuan
atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan
kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
d. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
e. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal.
f. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

2.7.2 Apendisitis kronik


Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik
dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh
dindingapendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus
lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%.
Apendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik
dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat.
2.8 Pemeriksaan Diagnostik
1. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Pada pemeriksaan
darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3 (leukositosis) dan
neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP
adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya
proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas
dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
2. Radiologi
Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography Scanning (CT-
scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada appendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan fekalith dan perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta
adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka sensitivitas dan
spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat akurasi 94-100%
dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-97%.
3. Analisa urin bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran kemih
sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
4. Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase membantu mendiagnosa peradangan hati,
kandung empedu, dan pankreas.
5. Serum Beta Human Chorionic Gonadotrophin (B-HCG) untuk memeriksa adanya kemungkinan
kehamilan.
6. Pemeriksaan barium enema untuk menentukan lokasi sekum. Pemeriksaan Barium enema dan
Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk kemungkinan karsinoma colon.
7. Pemeriksaan foto polos abdomen tidak menunjukkan tanda pasti Apendisitis, tetapi mempunyai
arti penting dalam membedakan Apendisitis dengan obstruksi usus halus atau batu ureter
kanan.

2.9 Penatalaksanaan
1. Pre-operatif
a. Observasi ketat, tirah baring, dan puasa
b. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah dapat diulang secara periodik
c. Foto abdomen dan toraks dapat dilakukan untuk mencari penyulit lain
d. Antibiotik intravena spektrum luas dan analgesik dapat diberikan
e. Pada perforasi apendiks perlu diberikan resusitasi cairan sebelum operasi
2. Operatif
a. Apendiktomi terbuka : dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan bawah
(DavisRockey) atau insisi oblik (McArthur-McBurney). Pada diagnosis yang belum jelas
dapat dilakukan insisi sub umbilikal pada garis tengah.
b. Laparoskopi apendiktomi : teknik operasi dengan luka dan kemungkinan infeksi lebih kecil

3. Post-operatif
a. perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam, syok,
hipertermi atau gangguan pernapasan
b. pasien dibaringkan dalam poisisi fowlerdan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu
c. pada operasi dengan perforasi atau peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus
kembali normal
d. secara bertahap pasien diberi minum, makanan saring, maknan lunak, dan makanan biasa
(Chris Tanto, 2014 )

2.10 Asuhan Keperawatan Teori Pre dan Post Operasi Apendisitis

1) Pengkajian
A. Data Subyektif
a. Sebelum operasi
1. Rasa sakit di epigastrium atau daerah periumbilikalis kemudian menjalar ke bagian
perut kanan bawah.
2. Rasa sakit hilang timbul.
3. Mual dan muntah.
4. Diare atau konstipasi.
5. Tungkai kanan tidak dapat diluruskan.
6. Rewel dan menangis.
7. Lemah dan lesu.
8. Suhu tubuh meningkat.
b. Sesudah operasi
1. Mengeluh sakit pada daerah luka operasi terutama bila digerakkan.
2. Haus dan lapar.
3. Takut melakukan aktivitas.
4. Pendarahan.
B. Data Obyektif
a. Sebelum operasi
1. Nyeri tekan titik Mc. Burney.
2. Bising usus meningkat, perut kembung.
3. Suhu tubuh meningkat, nadi cepat.
4. Hasil lekosit meningkat 10.000 - 12.000 dan 13.000 UI bila sudah terjadi perforasi.
5. Obstipasi.
b. Sesudah operasi
1. Luka operasi di kuadran kanan bawah abdomen.
2. Bed rest / aktivitas terbatas.
3. Puasa dan infus.
4. Bising usus berkurang.
C. Data Laboratorium
a. Darah
1. Lekosit > 10.000 - 18.000
2. Netrofil meningkat 75 %.
b. Urine
1. Normal (kadang ditemukan lekosit)

D. Data Pemeriksaan Diagnostik


1. Foto Abdomen
Kadang-kadang ditemukan adanya sedikit " fluid lever" adanya fekalit.
2. Barium Enema
Appendiks terisi barium hanya sebagian.

2) Diagnosa Keperawatan
A. Pre operasi
1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, mual
2. Nyeri berhubungan dengan proses penyakit
3. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya operasi
B. Post operasi
1. Nyeri berhubungan dengan adanya luka post operasi apendektomi.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah

3) Intervensi
A. Pre Operasi
DP 1 Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia, mual.
Tujuan : Nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil :
1. Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai rentang yang diharapkan
individu.
2. Menyiapkan pola diet dengan masukan kalori adekuat.
3. Menyatakan pemahaman kebutuhan nutrisi.
Intervensi :
1. Buat tujuan berat badan minimum dan kebutuhan nutrisi harian.
2. Berikan makanan sedikit dan makanan kecil atau tambahan yang tepat
3. Sajikan makan sesuai diit dan pilihan pasien.
4. Timbang berat badan secara teratur.
5. Awasi program latihan dan susun batasan aktivitas tersebut.
6. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet.

DP 2 Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.


Tujuan :Nyeri dapat berkurang atau hilang.
Kriteria Hasil :
1. Nyeri berkurang
2. Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
3. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
Intervensi
1. Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan,
factor presipitasinya.
2. Observasi ketidaknyamanan non verbal.
3. Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi,
berikan perawatan yang tidak terburu-buru.
4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan.
5. Anjurkan pasien untuk istirahat.
6. Libatkan keluarga dalam pengendalian nyeri pada anak.
7. Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.

DP 3 Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya operasi


Tujuan : Ansietas dapat teratasi
Kriteria Hasil :
1. Pasien tampak siap untuk menjalankan operasi
2. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif
Intervensi:
1. Kaji tingkat kecemasan pasien
2. Berikan informasi yang adekuat tentang prosedur operasi
3. Ajarkan teknik relaksasi
4. Berikan semangat dan motivasi kepeda pasien
B. Post Operasi

DP 1 Nyeri berhubungan dengan adanya luka post operasi apendektomi


Tujuan : Nyeri berkurang
Kriteria hasil :
1. Melaporkan hilang atau terkontrol.
2. Tampak rileks, mampu tidur atau istirahat dengan tepat.
Intervensi :
1. Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya skala (0-10).
2. Pertahankan istirahat dengan posisi semi-fowler.
3. Dorong ambulasi dini.
4. Berikan aktivitas hiburan.
5. Kolaborasi dengan berikan analgesik sesuai indikasi.
6. Beri kantong es pada abdomen.

DP 2 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi bedah (Doenges, 2000)


Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria hasil :
1. Meningkatkan penyembuhan luka dengan benar.
2. Bebas tanda-tanda infeksi (rubor, tumor, kalor, dolor, fungsiolesa).
3. Drainase purulen, eritema.
Intervensi :
1. Awasi vital sign, perhatikan demam, menggigil, berkeringat, perubahan mental,
meningkatnya nyeri abdomen.
2. Beri perawatan luka dengan tehnik septik dan antiseptik.
3. Catat karakteristik drainase luka atau drain.
4. Bantu irigasi drainase bila diindikasikan
5. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Appendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat terjadi tanpa penyebab yang
jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat terpuntirnya apendiks atau pembuluh
darahnya (Elizabeth J. Corwin, 2009).
Apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada apendiks vermiformis,
sehingga merupakan penyakit yang paling sering memerlukan tindakan bedah kedaruratan,
apabila tidak ditangani dengan benar, penyakit ini dapat berakibat sangat fatal (Kowalak, 2011)

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak
pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang
peritonieum lokal. Apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat nyeri
perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik.

3.2 Saran

Bagi mahasiwa diharapkan dapat memahami konsep dasar penyakit apendisitis yang
berguna bagi profesi dan orang sekitar kita. Bagi masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan
makalah ini untuk menambah pengetahuan tentang penyakit apendisitis.

Begitu pula jangan membiarkan masalah buang air besar karena bila terjadinya
pengerasan tinja/feces (konstipasi) dalam waktu lama sangat mungkin ada bagian yang terselip
masuk kesaluran appendiks yang pada akhirnya menjadi media kuman/bakteri bersarang dan
berkembang biak sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan usus buntu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Chris Tanto, et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius

Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : Aditya Medika

Kowalak, Jenifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Mansjoer Arif, et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 2. Jakarta : Media Aesculapius

Smeltzer, Suzanne C. Dan Bare, Brenda G. 2005. Keperawatan Medikal Bedah. Vol 1. Jakarta: EGC.

Potter dan Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan (Edisi 4). Jakarta : EGC.

Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8. Jakarta : EGC.
https://www.scribd.com/doc/85010953/Referat-Appendicitis-Dr-Dono-SpB

http://digilib.unila.ac.id/20879/15/BAB%20II.pdf

http://digilib.stikesmuhgombong.ac.id/files/disk1/23/jtstikesmuhgo-gdl-hestimarli-1129-2-hal.48--4.pdf

Anda mungkin juga menyukai