Anda di halaman 1dari 16

1.

RADANG GRANULOMATOSIS (4b, 4d)

Radang merupakan suatu reaksi jaringan tubuh terhadap jejas (cedera).


Respon peradangan adalah salah satu mekanisme pertahanan alam paling
penting dan merupakan respon tubuh terhadap luka jaringan. Radang dapat
dibagi menjadi radang akut dan radang kronis. Radang akut merupakan respon
langsung dan dini terhadap agen penyebab trauma jaringan. Respon ini
berlangsung relatif singkat, hanya berlangsung beberapa jam sampai beberapa
hari. Sel-sel yang terlibat dalam proses radang akut yaitu sel
polimorfonuklear/PMN (neutrofil, eosinofil, basofil) dan makrofag. Adapun
faktor yang menyebabkan terjadinya radang akut adalah (1). Infeksi (bakteri,
virus, fungi dan parasit); (2).Trauma (termal, radisasi, bahan kimia dan lain-
lain); (3). Nekrosis tisu (injuri kimia dan fisik); (4) Reaksi imun (reaksi
hipersensitivitas). Radang akut terjadi apabila terdapat perubahan vaskular
yang ditandai oleh meningkatnya aliran darah sekunder yang menyebabkan
dilatasi arteriolar dan kapiler (eritemadan panas). Permeabilitas pembuluh
darah meningkat, baik melalui sel inter-endothelial dari venula atau sel injuri
endotel langsung, menghasilkan cairan eksudat ekstravaskular yang kaya
protein (edema jaringan). Leukosit, awalnya didominasi neutrofil, mengikuti
endotelium melalui molekul adhesi, kemudian meninggalkan mikrovaskular
dan bermigrasi ke lokasi cedera dengan pengaruh agen kemotaktik. Hal ini
diikuti dengan proses fagositosis, pemusnahan, dan degradasi dari agen. Cacat
genetik atau fungsi lain dari leukosit menimbulkan infeksi berulang. Hasil dari
peradangan akut adalah penghapusan eksudat dengan pemulihan arsitektur
jaringan normal (resolusi), transisi ke peradangan kronis, atau kehancuran
jaringan mengakibatkan jaringan parut.
Radang kronis disebabkan oleh rangsang yang menetap, seringkali
berlangsung lama selama beberapa minggu atau bulan, keadaannya tidak
begitu nyeri, dan bisa mengarah pada pembentukan suatu drainase melalui
suatu sinus. Radang kronis dapat terjadi sesudah radang akut atau timbul
sendiri. Jenis radang akut yang paling sering berkembang menjadi radang
kronis ialah jenis radang akut supuratif. Sel-sel yang terlibat dalam proses
radang kronis yaitu limfosit, sel plasma dan makrofag lebih banyak ditemukan
dan biasanya disertai pula dengan pembentukan jaringan granulasi, yang
menghasilkan fibrosis.
Radang kronis terjadi apabila respon host berkepanjangan terhadap
stimulus yang terus-menerus, yang disebabkan oleh mikroba yang resisten
terhadap eliminasi, respon imun tubuh terhadap antigen diri dan lingkungan,
dan beberapa zat beracun (silika). Hal ini ditandai dengan peradangan yang
belum sembuh, injuri pada jaringan, perbaikan oleh jaringan parut dan respon
imun tubuh. Selular yang masuk ke dalam jaringan terdiri dari makrofag,
limfosit dan sel plasma sehingga menyebabkan fibrosis sering menonjol. Ini
ditambahi lagi dengan mediasi oleh sitokin yang diproduksi oleh makrofag
dan limfosit (limfosit T), Interaksi dua arah antara sel ini cenderung untuk
memperkuat dan memperpanjang reaksi peradangan. Contoh radang kronis
adalah inflamasi granulomatosa, inflamasi fibrinosa, inflamasi purulen,
inflamasi serosa dan inflamasi ulseratif.

Radang granulomatosa adalah proses radang kronik yang khas terdiri dari
akumulasi sel-sel makrofag yang teraktivasi (granuloma), aktivasi makrofag
digambarkan oleh sel yang membesar an mendatar/rata yang disebut juga
makrofag epitheloid.
Nodul makrofag epiteloid pada inflamasi granulomatosa dikelilingi oleh
kolar faktor pengurai limfosit yang dibutuhkan untuk menginduksi aktivasi
makrofag. Makrofag yang teraktivasi dapat bersatu untuk membentuk sel
raksasa yang memiliki banyak-inti sel, dan dapat terjadi nekrosis sentral
pada beberapa granuloma (terutama dihasilkan dari penyebab infeksi).
Granuloma benda asing dihasilkan dari benda asing yang relatif lembam
(inert), sementara granuloma imun dibentuk oleh respon imun yang
diperantarai-sel T terhadap antigen yang menetap. IFN- dari sel T yang
teraktivasi menyebabkan perubahan makrofag menjadi sel epiteloid dan sel
raksasa multinukleus. Protipe granuloma imun disebabkan oleh basil
tuberkulosis; pada keadaan ini, granuloma disebut tuberkel dan secara
klasik menunjukkan nekrosis kaseosa sentral.
Inflamasi granulomatosa adalah reaksi inflamatori yang berbeda dengan
kemungkinan penyebabnya yang relatif sedikit (walaupun penting), baik
infeksius atau noninfeksius.
Pertanyaan:
Bagaimana hasil pemeriksaan yang menunjukkan kesan radang kronik
granulomatosa spesifik (ciri makroskopik dan mikroskopik)?
a) Nodul makrofag epiteloid pada inflamasi granulomatosa dikelilingi
oleh kolar faktor pengurai limfosit yang dibutuhkan untuk menginduksi
aktivasi makrofag.
b) Makrofag yang teraktivasi bersatu untuk membentuk sel raksasa yang
memiliki banyak-inti sel, dan dapat terjadinekrosis sentral pada
beberapa granuloma (terutama dihasilkan dari penyebab infeksi).
Granuloma terbagi menjadi 2, yaitu: Granuloma benda asing dihasilkan
dari benda asing yang relatif lembam (inert), sementara granuloma
imun dibentuk oleh respon imun yang diperantarai-sel T terhadap
antigen yang menetap.
c) Terbungkus cincin fibroblastik disertai limfosit.
d) Sel raksasa berinti banyak.
e) Terdapat timbunan histiosit yang telah berubah menjadi sel mirip
epitel.
f) Terdapat Granuloma imun IFN- dari sel T yang teraktivasi
menyebabkan perubahan makrofag menjadi sel epiteloid dan sel
raksasa multinukleus. Protipe granuloma imun disebabkan oleh basil
tuberkulosis
g) Terlihat adanya nekrosis kaseosa sentral.
Apa perbedaan radang kronik non spesifik dan radang kronik
granulomatus spesifik?
Untuk membedakan radang kronik non spesifik dan radang
granulomatosa spesifik menurut Kraus M et al dapat di bedakan melalui 4
kriteria:
1. Mikroabses
2. Granuloma yang tidak jelas
3. Granuloma non kaseosa
4. Giant cell yang sangat sedikit

Bagaimana mekanisme timbulnya radang kronis granulomatous spesifik?

Saat seseorang yang terinfeksi tb terbatuk atau bersin, akan mengeluarkan


droplet yang berisi M.tuberculosis keluar ke udara. Jika seseorang menghirupnya, dia
akan terinfeksi. Basil yang terhirup cenderung melekat pada rongga udara distal di
bagian bawah lobus atas atau bagian atas lobus bawah, umumnya dekat pleura.
Seiring terjadinya sensitisasi, muncul daerah konsolidasi meradang berukuran 1-1,5
yang disebut fokus gohn. Pada sebagian besar kasus, terdapat nekrosis perkijuan pada
bagian tengah dari fokus gohn. Sementara itu, basil tuberkel baik bebas maupun
dalam fagosit dapat mengalir ke kelenjar regional yang juga sering mengalami
perkijuan. Kombinasi tersebut disebut kompleks ghon. Strain virulen mikobakteri
masuk ke dalam endosom makrofag diperantarai reseptor manosa makrofag yang
mengenali glikolipid berselubung manosa di dinding sel tuberkular. Setelah itu,
organisme dapat menghambat respon mikrobisida normal dengan memanipulasi pH
endosom dan menghentikan pematangan endosom. Dengan terganggunya
pembentukan fagolisosom efektif, mikobakteri dapat berproliferasi tanpa gangguan.
Polimorfisme pada gen NRAMP1 (natural resistance-associated machrophage
protein-1) dibuktikan berkaitan dengan peningkatan insiden tuberkulosis.
Dipostulasikan bahwa variasi genotipe NRAMP1 tersebut menurunkan fungsi
mikrobisida.

Orang dengan infeksi laten TB tidak merasakan sakit dan gejala. Mereka
memang terinfeksi, tetapi bukan merupakan TB yang aktif. Satu-satunya tanda adalah
reaksi positif pada skin test uji tuberkulin. Pada kondisi ini, orang tersebut tidak
menyebarkan infeksi TB ke orang lain. Sistem imun membungkus basil TB yang
terlindungi oleh mantel lilin yang tebal, yang dapat dorman dalam beberapa tahun.
Makrofag yang terinfeksi merekrut sel-sel imunitas untuk membentuk granuloma,
mengisolasi bakteri dan mencegahnya menyebar.

TB aktif dapat berkembang saat bakteri TB dapat mengatasi sistem imunitas


dan mulai bereplikasi. Hal tersebut dapat terjadi segera setelah infeksi atau saat sistem
imunitas mereka menurun. Granuloma dapat mengalami nekrosis dan terjadi destruksi
jaringan sehingga terjadi pelepasan bakteri dan berkembang menjadi penyakit aktif.
Antigen mikobakterium diproses kemudian mencapai kelenjar getah bening regional
dan disajikan dalam konteks histokompatibilitas mayor kelas II oleh makrofag ke sel
TH0 CD4+ uncommited yang memiliki reseptor sel T. Selanjutnya, sel tersebut
akan mengalami pematangan menjadi sel T CD4+ subtipe TH1 dengan bantuan IL-12.
IL-12 itu sendiri dihasilkan ole h makrofag yang menampilkan antigen M.tuberculosis
tersebut. Subtipe TH1 tersebut dapat mengeluarkan TNF- yang penting untuk
mengaktifkan makrofag. Selanjutnya, makrofag akan mengeluarkan mediator seperti
TNF (yang berperan untuk merekrut monosit) dan IFN- yang bersama TNF akan
mengaktifkan gen inducible nitric oxide synthase (iNOS). Monosit nantinya akan
mengalami pengaktifan dan differensiasi menjadi histiosit epiteloid yang menandai
respon granulomatosa. Sementara itu, iNOS akan menyebabkan peningkatan nitrat
oksida di tempat infeksi. Nitrat oksida dapat menimbulkan kerusakan oksidatif pada
beberapa konstituen mikobakteri dari dinding sel sampai DNA.

Jika dilihat secara histologis, dapat ditemukan reaksi peradangan


granulomatosa yang membentuk tuberkel perkijuan dan non perkijuan yang
merupakan penanda tempat yang terlibat aktif. Granuloma baru tampak secara
makroskopik jika tuberkel menyatu dalam jumlah banyak. Granuloma biasanya
terbungkus cincin fibroblastik disertai limfosit. Juga, ditemukan sel raksasa berinti
banyak.
Apa saja penyebab lain yang dapat menunjukkan hasil radang kronik
granulomatosa spesifik?
Tuberkulosis, Limfogranuloma inguinal, Leprae, sifilis

2. PEMERIKSAAN FISIK + STATUS LOKALIS (5a, 5b, 6a)


Tujuan umum pemeriksaan fisik adalah untuk memperoleh informasi
mengenai status kesehatan pasien. Tujuan definitif pemeriksaan fisik adalah, pertama,
untuk mengidentifikasi status normal dan kemudian mengetahui adanya variasi dari
keadaan normal tersebut dengan cara memvalidasi keluhan-keluhan dan gejala-gejala
pasien, penapisan/skrining keadaan wellbeing pasien, dan pemantauan masalah
kesehatan/penyakit pasien saat ini. Informasi ini menjadi bagian dari catatan/rekam
medis (medical record) pasien, menjadi dasar data awal dari temuan-temuan klinis
yang kemudian selalu diperbarui (updated) dan ditambahkan sepanjang waktu.
Metode Pemeriksaan
Terdapat empat teknik pengkajian yang secara universal diterima untuk
digunakan selama pemeriksaan fsik: inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Teknik-
teknik ini digunakan sebagai bingkai kerja yang menfokuskan pada indera
penglihatan, pendengaran, sentuhan dan penciuman. Data dikumpulkan berdasarkan
semua indera tersebut secara simultan untuk membentuk informasi yang koheren.
Teknik-teknik tersebut secara keseluruhan disebutsebagai observasi/pengamatan, dan
harus dilakukan sesuai dengan urutan di atas, dan setiap teknik akan menambah data
yang telah diperoleh sebelumnya. Dua perkecualian untuk aturan ini, yaitu jika usia
pasien atau tingkat keparahan gejala memerlukan pemeriksaan ekstra dan ketika
abdomen yang diperiksa.
1. Inspeksi
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan melihat langsung seluruh
tubuh pasien atau hanya bagian tertentu yang diperlukan. Metode ini berupaya
melihat kondisi klien dengan menggunakan sense of sign baik melalui mata
telanjang atau alat bantu penerangan (lampu). Inspeksi adalah kegiatan aktif, proses
ketika perawat harus mengetahui apa yang dilihatnya dan dimana lokasinya. Metode
inspeksi ini digunakan untuk mengkaji warna kulit, bentuk, posisi, ukuran dan lainnya
dari tubuh pasien.
Pemeriksa menggunakan indera penglihatan berkonsentrasi untuk melihat
pasien secara seksama, persistem dan tidak terburu-buru sejak pertama bertemu
dengan cara memperoleh riwayat pasien dan terutama sepanjang pemeriksaan fisik
dilakukan. Inspeksi juga menggunakan indera pendengaran dan penciuman untuk
mengetahui lebih lanjut, lebih jelas dan lebih memvalidasi apa yang dilihat oleh mata
dan dikaitkan dengan suara atau bau dari pasien. Pemeriksa kemudian akan
mengumpulkan dan menggolongkan informasi yang diterima oleh semua indera
tersebut yang akan membantu dalam membuat keputusan diagnosis atau terapi.
Cara pemeriksaan :
1) Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri
2) Bagian tubuh yang diperiksa harus terbuka (diupayakan pasien
membuka sendiri pakaiannya. Sebaiknya pakaian tidak dibuka
sekaligus, namun dibuka seperlunya untuk pemeriksaan sedangkan
bagian lain ditutupi selimut).
3) Bandingkan bagian tubuh yang berlawanan (kesimetrisan) dan
abnormalitas. Contoh : mata kuning (ikterus), terdapat struma di leher,
kulit kebiruan (sianosis), dan lain-lain.
4) Catat hasilnya.

2. Palpasi
Merupakan metode pemeriksaan pasien dengan menggunakan sense of
touch, Palpasi adalah suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan perabaan
dan penekanan bagian tubuh dengan menggunakan jari atau tangan. Tangan dan jari-
jari adalah instrumen yang sensitif digunakan untuk mengumpulkan data, misalnya
metode palpasi ini dapat digunakan untuk mendeteksi suhu tubuh (temperatur),
adanya getaran, pergerakan, bentuk, kosistensi dan ukuran.
Rasa nyeri tekan dan kelainan dari jaringan/organ tubuh. Teknik palpasi dibagi
menjadi dua:
b. Palpasi ringan
Caranya : ujung-ujung jari pada satu/dua tangan digunakan secara
simultan. Tangan diletakkan pada area yang dipalpasi, jari-jari ditekan
kebawah perlahan-lahan sampai ada hasil.
c. Palpasi dalam (bimanual)
Caranya : untuk merasakan isi abdomen, dilakukan dua tangan. Satu
tangan untuk merasakan bagian yang dipalpasi, tangan lainnya untuk
menekan ke bawah. Dengan Posisi rileks, jari-jari tangan kedua diletakkan
melekat pd jari2 pertama.
Cara pemeriksaan :
1. Posisi pasien bisa tidur, duduk atau berdiri
2. Pastikan pasien dalam keadaan rilek dengan posisi yang nyaman
3. Kuku jari-jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering
4. Minta pasien untuk menarik napas dalam agar meningkatkan relaksasi otot.
5. Lakukan Palpasi dengan sentuhan perlahan-lahan dengan tekanan ringan
6. Palpasi daerah yang dicurigai, adanya nyeri tekan menandakan kelainan
7. Lakukan Palpasi secara hati-hati apabila diduga adanya fraktur tulang.
8. Hindari tekanan yang berlebihan pada pembuluh darah.
9. Rasakan dengan seksama kelainan organ/jaringan, adanya nodul, tumor
bergerak/tidak dengan konsistensi padat/kenyal, bersifat kasar/lembut,
ukurannya dan ada/tidaknya getaran/ trill, serta rasa nyeri raba / tekan

3. Perkusi
Perkusi adalah suatu tindakan pemeriksaan dengan mendengarkan bunyi
getaran/ gelombang suara yang dihantarkan kepermukaan tubuh dari bagian tubuh
yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan ketokan jari atau tangan pada
permukaan tubuh. Perjalanan getaran/ gelombang suara tergantung oleh kepadatan
media yang dilalui. Derajat bunyi disebut dengan resonansi. Karakter bunyi yang
dihasilkan dapat menentukan lokasi, ukuran, bentuk, dan kepadatan struktur di bawah
kulit. Sifat gelombang suara yaitu semakin banyak jaringan, semakin lemah
hantarannya dan udara/ gas paling resonan.
Cara pemeriksaan :
1. Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri tergantung bagian yang akan
diperiksa
2. Pastikan pasien dalam keadaan rilex
3. Minta pasien untuk menarik napas dalam agar meningkatkan relaksasi otot.
4. Kuku jari-jari pemeriksa harus pendek, tangan hangat dan kering.
5. Lakukan perkusi secara seksama dan sistimatis yaitu dengan:
Metode langsung yaitu mengentokan jari tangan langsung dengan
menggunakan 1 atau 2 ujung jari.
Metode tidak langsung dengan cara sebagai berikut : Jari tengah tangan
kiri di letakkan dengan lembut di atas permukaan tubuH, Ujung jari
tengah dari tangan kanan, untuk mengetuk persendiaN, Pukulan harus
cepat dengan lengan tidak bergerak dan pergelangan tangan rilek, Berikan
tenaga pukulan yang sama pada setiap area tubuh.

6. Bandingkan atau perhatikan bunyi yang dihasilkan oleh perkusi.


Bunyi timpani mempunyai intensitas keras, nada tinggi, waktu agak lama
dan kualitas seperti drum (lambung).
Bunyi resonan mempunyai intensitas menengah, nada rendah, waktu
lama, kualitas bergema (paru normal).
Bunyi hipersonar mempunyai intensitas amat keras, waktu lebih lama,
kualitas ledakan (empisema paru).
Bunyi pekak mempunyai intensitas lembut sampai menengah, nada
tinggi, waktu agak lama kualitas seperti petir (hati).
4. Auskultasi
Adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan cara mendengarkan suara yang
dihasilkan oleh tubuh. Biasanya menggunakan alat yang disebut dengan
stetoskop. Hal-hal yang didengarkan adalah: bunyi jantung, suara nafas, dan
bising usus.
Penilaian pemeriksaan auskultasi meliputi :
1. Frekuensi yaitu menghitung jumlah getaran permenit.
2. Durasi yaitu lama bunyi yang terdengar.
3. Intensitas bunyi yaitu ukuran kuat/ lemahnya suara
4. Kualitas yaitu warna nada/ variasi suara.
Suara tidak normal yang dapat diauskultasi pada nafas adalah :
Rales : suara yang dihasilkan dari eksudat lengket saat saluran-saluran halus
pernafasan mengembang pada inspirasi (rales halus, sedang, kasar). Misalnya
pada klien pneumonia, TBC.
Ronchi : nada rendah dan sangat kasar terdengar baik saat inspirasi maupun saat
ekspirasi. Ciri khas ronchi adalah akan hilang bila klien batuk. Misalnya pada
edema paru.
Wheezing : bunyi yang terdengar ngiii.k. bisa dijumpai pada fase inspirasi
maupun ekspirasi. Misalnya pada bronchitis akut, asma.
Pleura Friction Rub ; bunyi yang terdengar kering seperti suara gosokan
amplas pada kayu. Misalnya pada klien dengan peradangan pleura.
Cara pemeriksaan :
1) Posisi pasien dapat tidur, duduk atau berdiri tergantung bagian yang diperiksa
dan bagiaN tubuh yang diperiksa harus terbuka
2) Pastikan pasien dalam keadaan rilek dengan posisi yang nyaman
3) Pastikan stetoskop sudah terpasang baik dan tidak bocor antara bagian kepala,
selang dan telinga
4) Pasanglah ujung steoskop bagian telinga ke lubang telinga pemeriksa sesuai
arah
5) Hangatkan dulu kepala stetoskop dengan cara menempelkan pada telapak
tangan pemeriksa
6) Tempelkan kepala stetoskop pada bagian tubuh pasien yang akan diperiksa
7) Pergunakanlah bel stetoskop untuk mendengarkan bunyi bernada rendah pada
tekanan ringan yaitu pada bunyi jantung dan vaskuler dan gunakan diafragma
untuk bunyi bernada tinggi seperti bunyi usus dan paru

Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik pada Nona Cantik?


1. Keadaan umum: Tampak sakit sedang Tidak Normal
A. RINGAN
Terdiri dari :
Kesadaran penuh
Tanda-tanda vital (TTV) stabil
Pemenuhan kebutuhan mandiri

B. SEDANG
Memiliki minimal 3 (tiga) poin di bawah, terdiri dari:
Kesadaran penuh s/d apatis
Tanda-tanda vital (TTV) stabil
Memerlukan tindakan medis & perlukaan (diluar obs) minimal 3 (tiga)
tindakan perhari
Memerlukan observasi
Pemenuhan kebutuhan di bantu sebagian s/d seluruhnya
C. BERAT
Memiliki minimal 2 (dua) poin di bawah, terdiri dari:
Kesadaran penuh s/d samnolent
Tanda-tanda vital (TTV) tidak stabil
Memakai alat bantu organ vital
Memerlukan tindakan pengobatan & perawatan yang intensif
Memerlukan observasi yang ketat
Pemenuhan kebutuhan di bantu seluruhnya

2. Sensorium: kompos mentis Normal


3. BB: 43 kg
TB: 155 cm

IMT: 17,89 (Kurus)

4. Sedikit anemis Tidak normal


Gejala anemia adalah:
Kelopak mata pucat
Sering mengalami kelelahan
Mual
Sakit kepala
Wajah pucat
Rambut rontok
Sistem daya tahan tubuh menurun
5. Respiratory Rate: 24x/menit Tidak Normal (Normalnya untuk dewasa:
12 20 kali/menit)
6. Nadi: 72x/menit Normal (60 100 kali/menit)
7. T: 37,9OC Tidak normal Febris (Temperatur normal: 36 37,5C)

Bagaimana mekanisme terjadinya anemia pada kasus?


Proses inflamasi pada PPOK, proses ini akan merangsang sistem imun tubuh
untuk menghasilkan sitokin-sitokin inflamasi IL-6, IL-8, interferon- dan TNF- serta
reaktan fase akut berupa CRP , LDH (lactat dehidrogenase) dan fibrinogen. Sitokin-
sitokin bersama reaktan fase akut akan memberi efek terjadinya sintesis hepsidin.
Hepsidin adalah sebuah hormon peptida yang dihasilkan oleh hati, didistribusikan
dalam plasma dan diekskresikan melalui urin. Fungsinya adalah sebagai regulator
utama metabolisme zat besi. Hepsidin berperan sebagai regulator negatif absorbsi besi
usus dan pelepasan besi oleh makrofag dan hepatosit. Sehingga apabila terjadi
peningkatan hepsidin, maka absorbsi besi di usus akan berkurang dan menyebabkan
penurunan produksi sel darah merah (Hassan, 2013; Ohta, 2009) Di sisi lain, sitokin
dan reaktan fase akut beserta peningkatan sintesis hepsidin akan menyebabkan
terjadinya gangguan proliferasi prekursor eritroid, penurunan penyerapan zat besi, dan
gangguan respon sumsum tulang yang akhirnya menyebabkan inhibisi aksi EPO
(eritropoetin). Selama proses inflamasi terus berlangsung maka proses patologis juga
akan terus berlangsung dan berakhir dengan kondisi anemia kronik (Carroz et al,
2012; Purwanto, 2012).

Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan status lokalis pada nona cantik


(berdasarkan ukuran nodul dan ciri)?
Leher kiri teraba dua nodul ukuran 2x2 cm dan 2x1 cm berbatas tegas.
Nodul tersebut merupakan Limfadenitis Tuberkulosis atau infeksi jaringan
getah bening seiring dengan infeksi tuberkulosis primer atau hasil dari reaktifasi fokus
dorman atau akibat perluasan langsung dari contiguous focus . Pada tuberkulosis
pulmonari primer, basili masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi dan bakteremia.
Hilus, mediastinal dan paratracheal lymph node adalah tempat pertama penyebaran
infeksi dari parenkim paru. Infeksi menyebar melalui limfatik ke cervical lymph node
yang terdekat. Keterlibatan supraclavicular lymph node merefleksikan rute drainase
limfatik untuk penyakit mikobakterium parenkim paru. Limfadenitis TB cervical
menunjukkan penyebaran dari fokus primer infeksi ke dalam tonsil, adenoid,
sinonasal atau osteomielitis dari tulang etmoid.
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks,
yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah
Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosae
complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5. M.
Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan
epidemiologi (Raviglione, 2010). Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk
batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 m dan tidak berspora. Pada media buatan
berbentuk kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain.
Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan Gram
dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat mengikat zat
warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun menggunakan asam
alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan asam (Raviglione, 2010; Jawetz, 2004).
M.tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin (Kumar,
2004).
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi
droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan
mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag.
Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag
sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum,
bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara
limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus dimana penyebaran basil TB tersebut
akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan
kelenjar limfe regional (limfadenitis). Limfadenitis adalah presentasi klinis paling
sering dari TB ekstrapolmuner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi
lokal dari penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran
kelenjar getah bening yang lambat. Infeksi mikobakterium merupakan salah satu
diagnosis banding dari pembengkakakn kelenjar getah bening karena dua pertiga
pasien TB mengalaminya. Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah
bening servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar
mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar
inguinalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002)
didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis,
26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada
35% pasien pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat. Menurut Sharma
(2004), pada pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe
servikalis adalah yang paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan
inguinalis.
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal
maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang secara
lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering berlokasi di regio
servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular (Mohapatra, 2004).
Keterlibatan multifokal ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90%
pasien HIV-positif. Pada pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati
intratorakalis dan intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan (Sharma,
2004). Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik
yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam. Lebih dari
57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik (Mohapatra, 2004). Terdapat riwayat
kontak terhadap penderita TB pada 21,8% pasien, dan terdapat TB paru pada 16,1%
pasien (Mohapatra, 2004).
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004) limfadenopati
tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar


limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder bakteri, (ii)
pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan infeksi HIV. Abses
kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus yang
tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi
pada 10% dari limfadenitis TB servikalis (Mohapatra, 2004).
Daftar Pustaka:
1. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ca
d=rja&uact=8&ved=0ahUKEwizm4eu3JvQAhVFMo8KHSA-
Dg4QFggeMAA&url=https%3A%2F%2Flyrawati.files.wordpress.com%2F20
08%2F07%2Fprinsip-dan-metode-pemeriksaan-fisik-
dasar.pdf&usg=AFQjCNGps5FoBFDTugdYmnUHe5bKb3v97g&sig2=R9g7
x8sLY6CMemP8zD9NjA&bvm=bv.138169073,d.c2I
2. http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/respirasi/tuberkulosis-dan-
aspek-imunopatologinya/
3. http://www.drmeu.com/2016/08/peradangan-atau-inflamasi.html
4. http://penyakitanemia.com/
5. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ca
d=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjKjdrj6ZvQAhULv48KHV8dD4AQFggaMAA
&url=http%3A%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream%2F123456789%2
F31369%2F4%2FChapter%2520II.pdf&usg=AFQjCNHMjN4eKrtiyXRz6wA
mbCLKU9xUiA&sig2=0EnJ4nsbNbBuygrlQc6-
5g&bvm=bv.138169073,d.c2I
6.

Anda mungkin juga menyukai