Anda di halaman 1dari 5

SOAL KASUS

Sebut saja namanya Tuti, Tuti adalah seorang perawat yang bekerja di klinik swasta milik
seorang dokter. Tuti sudah bekerja selama 3 bulan lebih di klinik itu, awal bekerja Tuti merasa
sangat nyaman bekerja di klinik itu, karena dokter itu adalah seorang pria yang sangat baik,
selain gaji yang lumayan, Tuti sering mendapat bonus di akhir pekan. Akantetapi setelah
memasuki bulan ke-3, Tuti merasa ada yang janggal dengan kebaikan dokter itu, ketika jadwal
praktek sudah selesai, dengan sengaja dokter itu akan memegang tangan Tuti. Mula-mula Tuti
merasa bahwa mungkin dokter itu tidak sengaja, hari kemudian ketika Tuti sedang membereskan
peralatan, dokter itu tiba-tiba memeluknya dari belakang dan memaksa mencium dan
melecehkan Tuti, Tuti mau berteriak, akantetapi mulut Tuti di bungkam dan diancam apabila Tuti
berteriak maka Tuti akan dipecat dan dipermalukan bahwa Tuti lah yang merayu dokter tersebut.
Tuti tidak tahan dengan perlakukan dokter yang sudah melecehkannya. Dan akhirnya Tuti
meminta untuk berhenti bekerja dan memutuskan kontrak, akan tetapi si dokter menolak dan
menyuruh Tuti mengembalikan kontrak 2 kali lipat. Tuti mengadukan kisahnya kepada polisi.
Akantetapi polisi tidak bisa menerima pengaduan Tuti karena Tuti tidak memiliki SAKSI dan bukti
apa-apa.
1. Jelaskan apa yang harus dilakukan Tuti sebagai korban?
2. Adakah undang-undang yang bisa melindungi korban, sebutkan?
3. Terangkan dengan jelas, berdasarkan undang-undang atau peraturan yang dapat
membela Tuti sebagai korban pelecehan seksual.

PENDAPAT PENULIS
1. Pada kasus diatas, Tuti adalah pihak yang berada pada posisi lemah karena kasus yang
dihadapinya tidak memiliki saksi serta alat bukti yang dapat dipergunakan untuk
pembuktian dalam pengadilan. Untuk itu maka Tuti perlu mendapatkan bantuan dukungan
agar posisi Tuti tidak berada di bawah tekanan si dokter tersebut. Hal yang perlu dilakukan
adalah:
a. Melaporkan kepada Komisi Perlindungan Perempuan (Komnas Perempuan)
Komnas Perempuan didirikan pada tanggal 9 Oktober 1998 melalui Keputusan
Presiden Nomor 181 Tahun 1998. Komisi ini memiliki fungsi sebagai berikut:
- Pemantau dan pelapor tentang pelanggaran HAM berbasis gender dan kondisi
pemenuhan hak perempuan korban;
- Pusat pengetahuan (resource center) tentang hak asasi perempuan
- Pemicu perubahan serta perumusan kebijakan
- Negoisiator dan mediator antara pemerintah dengan komunitas korban dan
komunitas pejuang hak asasi perempuan, dengan menitikberatkan pada
pemenuhan tanggungjawab negara pada penegakkan hak asasi manusia dan pada
pemulihan hak-hak korban
- Pemicu perubahan serta perumusan kebijakan
- Fasilitator pengembangan dan penguatan jaringan di tingkat lokal, nasional,
regional dan internasional untuk kepentingan pencegahan, peningkatan kapasitas
penanganan dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan
Tuti dalam menghadapi kasusnya tentu saja tidak mengetahui apa yang harus
dilakukan. Komnas Perempuan dalam hal ini adalah pihak yang tepat untuk
mendampingi Tuti untuk mempersiapkan tindakan apa yang akan dilakukan. Komnas
Perempuan tentu saja memiliki banyak pengalaman dalam menangani kasus pelecehan
seksual tanpa saksi seperti yang dialami Tuti.
Dari segi nilai tawar maka posisi tawar Tuti juga akan tinggi ketika didampingi oleh
Komisi Perempuan, si dokter tersebut akan berpikir 2x untuk menakut-nakuti si Tuti
dengan ancaman-ancaman diadukan atau disuruh mengembalikan kontrak.
b. Melaporkan kepada Dinas Tenaga Kerja
Si Tuti adalah tenaga kerja yang berada dibawah perlindungan Dinas Tenaga Kerja, oleh
sebab itu, ia berhak untuk mendapatkan perlindungan atas pelecehan seksual yang
dialaminya di tempat kerja. Dengan dukungan Komnas Perempuan dan Dinas Tenaga
Kerja, maka posisi Tuti akan semakin kuat.
c. Mencari informasi tentang karyawan sebelumnya di klinik tersebut yang kemungkinan
menjadi korban seperti Tuti
Pelaku pelecahan seksual biasanya akan melakukan perbuatannya pada setiap ada
kesempatan dimilikinya. Si Dokter tersebut ketika merekrut tenaga perawat
kemungkinan disertai niat apabila ada kesempatan maka ia akan melakukan perbuatan
pelecehan seksual tersebut. Oleh karena itu korban yang sama kemungkinan besar
terjadi pada tenaga perawat yang ada sebelum si Tuti bekerja di klinik tersebut. Apabila
ditemukan, maka ia dapat dijadikan saksi untuk memenuhi ketentuan dalam KUHAP.

2. Undang-Undang yang dapat dipergunakan melindungi korban adalah:


a. Kewenagan Polisi menerima aduan Tuti
Mengenai peristiwa yang terjadi pada Tuti, menurut saya, dapat dilaporkan ke polisi
atas tuduhan perbuatan tidak menyenangkan. Kemungkinan pelakunya bisa
dijerat Pasal 335 ayat (1) KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp
4.500:
Ke-1: barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau
membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun
perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu
perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu
sendiri atau orang lain.
Atau seperti dalam pasal 108 ayat 1 KUHAP
Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa
yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan
kepada Penyelidik dan atau Penyidik baik lisan maupun tertulis
Isi pasal ini mengandung arti bahwa bila seseorang mengalami, menyaksikan dan atau
menjadi korban suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, maka mengadukan atau
melaporkan hal tersebut merupakan hak, bukan kewajiban, dengan demikian tindakan
hukum terhadap pelaku pelecehan kalau tidak dilaporkan, maka Polisi atau Penyidik
tidak dapat memprosesnya menjadi suatu perkara pidana, kecuali perbuatan tersebut
diketahui atau ketangkap tangan oleh petugas yang berhak, maka menjadi kewenangan
petugas untuk memproses perkara itu (Pasal 111, Ayat 1, KUHAP). Peristiwa pelecehan
seksual tanpa laporan dan ketangkap tangan, maka kewenangan hanya ada dilingkungan
peristiwa tersebut terjadi.

b. Perlindungan bagi Tuti sebagai korban


Menurut Pasal 189 KUHAP:
Keterangan terdakwa saja atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Adapun alat bukti sah yang dikenal dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.

Menurut Yahya (Ibid), apa yang tersirat pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP mempunyai
makna bahwa pengakuan menurut KUHAP bukan alat bukti yang mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna atau bukan volledig bewijs kracht, juga tidak
memiliki kekuatan pembuktian yang menentukan atau bukan beslissende bewijs
kracht. Oleh karena pengakuan atau keterangan terdakwa bukan alat bukti yang
memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, penuntut umum dan
persidangan tetap mempunyai kewajiban berdaya upaya membuktikan kesalahan
terdakwa dengan alat bukti yang lain. KUHAP tidak mengenal keterangan atau
pengakuan yang bulat dan murni. Ada atau tidak pengakuan terdakwa, pemeriksaan
pembuktian kesalahan terdakwa tetap merupakan kewajiban dalam persidangan.

Pasal 294 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa:


pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah
bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan
kepadanya diancam dengan pidana penjara selama 7 tahun

Selanjutnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003


disebutkan bahwa: pekerja berhak atas perlindungan atas moral dan kesusilaan

3. Dari penjelasan point 2 diatas, maka kasus yang dialami Tuti seharusnya dapat segera di
proses oleh Kepolisian sesuai dengan pasal 335 ayat (1) KUHAP dan Pasal 108 ayat (1)
KUHAP. Dengan pendampingan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan sebagaimana
yang dianjurkan pada point 1 diatas, maka aduan Tuti bisa diterima oleh Kepolisian serta
selanjutnya adalah menjadi tugas polisi dalam menelusuri kasus ini untuk mendapatkan
barang bukti sebagaimana diatur dalam pasal 189 KUHAP.
Hal lain yang perlu diperjuangan dalam kasus Tuti adalah adanya upaya memutarbalikkan
fakta yang dilakukan oleh si dokter tersebut. Jika pun pada akhirnya kasus Tuti tidak dapat
dijerat dalam KUHAP karena keterbatasan alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184
ayat (1) KUHAP, maka Tuti dapat keluar dari klinik dokter tersebut tanpa harus terancam
mengembalikan nilai kontrak. Peran pendampingan dari Komnas Perempuan dan Dinas
Tenaga Kerja sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan kepada Tuti.
Meskipun si dokter pada akhirnya tidak dapat dijerat sanksi hukum, dengan adanya
pemunculan kasus ini dan apabila dibutuhkan bisa di blow up media agar publik
mengetahui ada risiko pelecehan seksual di klinik milik dokter tersebut, sanksi sosial tentu
saja menanti bagi dokter tersebut serta usaha kliniknya.
TUGAS MATA KULIAH
PROMOSI KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
(K3)

DOSEN: Dr. Namora Lumongga Lubis,M.Sc

Telaah kasus
Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
(Promosi Keselamatan dan Kesehatan Kerja)

Oleh: EFRATA
NIM : 168111002

PROGRAM STUDI DOKTOR (S3) ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2017

Anda mungkin juga menyukai