Anda di halaman 1dari 12

PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

DI INDONESIA

Ika Yunita Saputri ( 21080115120045)

Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro

Abstrak

Akhir akhir ini telah terjadi penurunan kualitas lingkungan Daerah Aliran Sungai
(DAS) di Indonesia sebagai akibat dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang tidak
ramah lingkungan dan meningkatnya potensi ego-sektoral dan ego-kewilayahan. Pengelolaan
DAS yang salah satunya adalah penyusunan arahan fungsi pemanfaatan lahan harus
dilakukan secara terpadu dan disepakati oleh para pihak (stake holders) sebagai dasar dalam
penyusunan rencana pembangunan wilayah. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan
peruntukan dan fungsinya dapat menimbulkan kerusakan lingkungan DAS. Oleh karena
itu perlu adanya pengelolaan daerah aliran sungai untuk mengembalikan kualitas DAS
tersebut.

Pendahuluan

Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu sistem kompleks yang dibangun
atas sistem fisik (physical systems), sistem biologis (biological systems) dan sistem manusia
(human systems) yang saling terkait dan berinteraksi satu sama lain. Tiap komponen
dalam sistem/sub sistemnya memiliki sifat yang khas dan keberadaannya berhubungan
dengan komponen lain membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Dengan
demikian jika terdapat gangguan atau ketidakseimbangan pada salah satu komponen
maka akan memiliki dampak berantai terhadap komponen lainnya.

Penggunaan lahan dan kondisi fisik lingkungan merupakan faktor-faktor yang


dapat mempengaruhi fungsi daerah aliran sungai (DAS). Diantara komponen-komponen ini
terdapat hubungan timbal balik (interaksi), sehingga perubahan yang terjadi pada salah
satu komponen dapat merubah komponen lainnya. Pengelolaan DAS adalah upaya dalam
mengelola hubungan timbal balik antar sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air
dengan sumberdaya manusia di Daerah Aliran Sungai dan segala aktivitasnya untuk
mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi kepentingan pembangunan dan
kelestarian ekosistem DAS.
Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu
manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara lembaga
terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan
pemungutan manfaat. Awalnya perencanaan pengelolaan DAS lebih banyak dengan
pendekatan pada faktor fisik dan bersifat sektoral. Namun sejak sepuluh tahun yang lalu telah
dimulai dengan pendekatan holistik.

Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi
logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang
tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan buruk
seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS
secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan.
Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan,
penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari
daerah hulu sampai hilir.

Menjaga dan memperbaiki fungsi hidrologi suatu di Daerah Aliran Sungai (DAS)
menjadi perhatian pamangku kepentingan daerah, khususnya pemerintah setempat. Untuk
itu adanya alat dan indikator yang dapat digunakan untuk menilai baik tidaknya fungsi
hidrologi suatu DAS sangatlah penting. Salah satu cara untuk menilai kondisi DAS adalah
dengan menggunakan model hidrologi. suatu model hidrologi yang merupakan tiruan suatu
sistem hidrologi menjadi sangat kompleks karena terdapat banyak komponen dan proses yang
terlibat.

Ekosistem DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan
wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima,
mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak
sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau.

Pengertian DAS sendiri dapat dipahami tidak hanya dari sudut pandang fisik tetapi
juga dari sudut pandang institusi. Menurut Kartodihardjo, dkk (2004), secara fisik DAS
didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah yang dibatasi secara alamiah oleh
punggung bukit yang menerima dan mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta
mengalirkannya melalui sungai utama dan keluar pada satu titik outlet. Batasan tersebut
menunjukkan bahwa di dalam DAS terdapat wilayah yang berfungsi menampung dan
meresapkan air (wilayah hulu) dan wilayah tempat air hampir berakhir mengalir
(wilayah hilir).

Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana
unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di
dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu
pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang
menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara
umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum
dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin.

Klasifikasi Ekosistem DAS

Dalam mempelajari ekosistem DAS, dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu,


tengah dan hilir yang satu dengan lainnya mempunyai keterkaitan biofisik maupun
hidrologis. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah konservasi, bagian tengah merupakan
kawasan penyangga, dan DAS bagian hilir merupakan daerah pemanfaatan. DAS bagian hulu
mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air keseluruhan bagian
DAS, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di
daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material
terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu
mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS. Perlindungan ini antara lain dari
segi fungsi tata air, dan oleh karenanya pengelolaan DAS hulu seringkali menjadi fokus
perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik
melalui daur hidrologi.

Permasalahan Daerah Aliran Sungai

Sejak tahun 1970-an degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada
lereng-lereng curam baik karena dimanfaatkan sebagai lahan pertanian maupun penggunaan
lahan lain seperti permukiman dan pertambangan sebenarnya telah memperoleh perhatian
pemerintah Indonesia. Namun proses degradasi tersebut terus berlanjut karena tidak adanya
keterpaduan tindak dan upaya yang dilakukan dari sektor atau pihak-pihak yang
berkepentingan dengan DAS.

Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri,


eksploitasi sumber daya alam berupa pertambangan dan eksploitasi hutan telah menyebabkan
penurunan kondisi hidrologis suatu DAS. Penurunan fungsi hidrologis DAS tersebut
menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim
kemarau dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai base flow pada musim kemarau,
telah menurun. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir
menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir dan sebaliknya pada
musim kemarau aliran base flow sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran
airnya sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar.

Kerusakan DAS di Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada


tahun 1984 terdapat 22 DAS kritis, dan pada tahun 1992 menjadi 39 DAS kritis dan hingga
tahun 1998 bertambah lagi menjadi 59 DAS kritis, dan saat ini diperkirakan ada 70 DAS
kritis. Pengelolaan sumberdaya DAS telah menjadi perhatian publik dalam beberapa dekade
terakhir. Berbagai bencana alam yang terjadi seperti banjir dan krisis air bersih telah
membangkitkan kesadaran semua pihak tentang pentingnya kelestarian ekosistem DAS,
sehingga pengelolaannya harus terpadu dengan melibatkan seluruh unsur terkait. Kesadaran
tersebut seharusnya mendorong semua pihak yang memperoleh manfaat untuk memberikan
kontribusi terhadap tindakan rehabilitasi, konservasi dan pelestarian DAS.

Tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi


permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam
menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran
tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Sampai dengan
tahun 2007 penutupan hutan di Indonesia sekitar 50% luas daratan dan ada kecenderungan
luasan areal yang tertutup hutan terus menurun dengan rata-rata laju deforestasi tahun 2000-
2005 sekitar 1,089 juta ha per tahun. Sedangkan lahan kritis dan sangat kritis masih tetap luas
yaitu sekitar 30.2 juta ha (terdiri dari 23,3 juta ha sangat kritis dan 6,9 juta ha kritis), erosi
dari daerah pertanian lahan kering yang padat penduduk tetap tinggi melebihi yang dapat
ditoleransi (15 ton/ha/th) sehingga fungsi DAS dalam mengatur siklus hidrologi menjadi
menurun.
Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat
petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas
seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi
masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder
(sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi
perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan
kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS.

Dampak kerusakan hutan pada ekosistem DAS telah menyebabkan bencana


kekeringan di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Pangesti (2000) dalam Kodoatie,et all.,
(2002), secara kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga
kelompok besar yaitu, (1) kebutuhan domestik; (2) irigasi pertanian; dan (3) industri. Pada
tahun 1990 kebutuhan air untuk domestik adalah sebesar 3.169 juta m3, sedangkan angka
proyeksi untuk tahun 2000 dan 2015 berturut-turut sebesar 6.114 juta m3 dan 8.903 juta m3 .
Persentase kenaikan berkisar antara 10 % / tahun (1990 2000) dan 6.67 % / tahun (2000
2015). Kebutuhan air untuk keperluan irigasi pertanian dan tambak pada tahun 1990 sebesar
74.9 x 109 m3 / tahun, sedangkan pada tahun 2000 kebutuhan air untuk keperluan tersebut
meningkat menjadi 91.5 x 109 m3/ tahun dan pada tahun 2015 kebutuhan tersebut menjadi
sebesar 116.96 x 109 m3/ tahun. Berarti adanya peningkatan kebutuhan untuk sektor ini
sebesar 10 % / tahun (1990 2000) dan antara 2000 2015 meningkat sebesar 6.7 % / tahun
(Data Departemen Pekerjaan Umum, 1991). Kebutuhan air untuk sektor industri juga cukup
besar. Berdasarkan informasi dari Departemen Perindustrian, kebutuhan air untuk sektor
industri di Indonesia adalah sebesar 703.5 x 106 m3/tahun pada tahun 1990 dan sebesar 6.475
x 109m3/tahun pada tahun 1998. Berarti adanya peningkatan kebutuhan sebesar 12.5 %/tahun
terutama akibat berkembangnya industri diberbagai propinsi di Indonesia (Isnugroho 2002).

Pengelolaan Ekosistem DAS

Pengelolaan DAS adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar
sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS dan
segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi
kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS. Pengelolaan DAS pada
prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimalisasi penggunaan lahan untuk
berbagai kepentingan secara rasional serta praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga
dapat dinilai dengan indikator kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan kontinuitas
aliran sungai pada titik pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu DAS
adalah adanya keterkaitan biofisik antara daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur
hidrologi.
Berdasarkan indikator kunci dan indikator lainnya (lahan, sosek dan kelembagaan)
yang sudah ditetapkan maka diketahui tingkat kerusakan DAS yang kemudian perlu
ditetapkan prioritas penanganannya. DAS-DAS Prioritas I adalah DAS-DAS yang prioritas
pengelolaannya paling tinggi karena menunjukkan kondisi dan permasalahan biofisik dan
sosek DAS paling kritis atau tidak sehat. Prioritas II adalah DAS-DAS yang prioritas
pengelolaannya sedang, sedangkan DAS prioritas III dianggap kurang prioritas untuk
ditangani karena kondisi biofisik dan soseknya masih relatif baik (tidak kritis) atau DAS
tersebut dianggap masih sehat .
Tingkat kekritisan DAS sangat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat
petani di daerah tengah hingga hulu DAS terutama jika kawasan hutan dalam DAS tidak luas
seperti DAS-DAS di pulau Jawa dan Bali. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi
masyarakat petani yang rendah akan mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder
(sandang, pangan, dan papan) bukan kepedulian terhadap lingkungan sehingga sering terjadi
perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar dan praktik-praktik pertanian lahan
kering di perbukitan yang akan meningkatkan kekritisan DAS.
Tantangan pengelolaan daerah aliran sungai ke depan sebagai mana disebutkan dalam
Kerangka Kerja Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Di Indonesia (Departemen Kehutanan RI.
2008) adalah :
1. Degradasi hutan dan lahan,
2. Ketahanan Pangan, energi dan air,
3. Kesadaran dan kemampuan para pihak,
4. Otonomi Daerah, dan
5. Kebijakan Nasional.

Dalam rangka memulihkan dan mendayagunakan sungai dan pemeliharaan kelestarian


DAS, maka rekomendasi ke depan perlu disusun kebijakan pemerintah yang mengatur
tentang pengelolaan DAS terpadu, yang antara lain dapat memuat:

1. Keterpaduan dalam proses perencanaan, yang mencakup keterpaduan dalam penyusunan


dan penetapan rencana kegiatan di daerah aliran sungai.
2. Keterpaduan dalam program pelaksanaan, yang meliputi keterpaduan penyusunan
program-program kegiatan di daerah aliran sungai, termasuk memadukan waktu
pelaksanaan, lokasi dan pendanaan serta mekanismenya.
3. Keterpaduan program-program kegiatan pemerintah pusat dan daerah yang berkaitan
dengan daerah aliran sungai, sejalan dengan adanya perundangan otonomi daerah.
4. Keterpaduan dalam pengendalian pelaksanaan program kegiatan yang meliputi proses
evaluasi dan monitoring.
5. Keterpaduan dalam pengendalian dan penanggulangan erosi, banjir dan kekeringan.
6. Hak dan kewajiban dalam pengelolaan DAS yang meliputi hak setiap orang untuk
mengelola sumber daya air dengan memperhatikan kewajiban melindungi, menjaga dan
memelihara kelestarian daerah aliran sungai.
7. Pembagian kewenangan yang jelas antara daerah kabupaten/kota, daerah propinsi dengan
pemerintah pusat dalam mengelola DAS secara terpadu.
8. Badan pengelola daerah aliran sungai (aspek kelembagaan) dapat berupa badan usaha
atau badan/instansi pemerintah. Badan-badan tersebut ditetapkan oleh pemerintah baik
pusat maupun daerah sesuai dengan kewenangan yang berlaku.
9. Kebijakan pemerintah ini selain mengatur tentang peran serta masyarakat dalam
pengelolaan DAS terpadu, juga mengatur sanksi (hukuman) bagi masyarakat yang tidak
mengindahkan peraturan pemerintah dalam pengelolaan DAS terpadu baik pada DAS
lokal, regional maupun nasional.

Pengelolaan Terpadu DAS pada dasarnya merupakan pengelolaan partisipasi berbagai


sektor/sub sektor yang berkepentigan dalam pemanfaatan sumberdaya alam pada suatu DAS,
sehingga di antara mereka saling mempercayai, ada keterbukaan, mempunyai rasa tanggung
jawab dan saling mempunyai ketergantungan (inter-dependency). Demikian pula dengan
biaya kegiatan pengelolaan DAS, selayaknya tidak lagi seluruhnya dibebankan kepada
pemerintah tetapi harus ditanggung oleh semua pihak yang memanfaatkan dan semua
yang berkepentingan dengan kelestariannya.

Untuk dapat menjamin kelestarian DAS, pelaksanaan pengelolaan DAS komponen


masukan utama terdiri atas curah hujan sedang komponen keluaran terdiri atas debit aliran
dan muatan sedimen, termasuk unsur hara dan bahan pencemar di dalamnya. DAS yang
terdiri atas komponenkomponen vegetasi, tanah, topografi, air/sungai, dan manusia berfungsi
sebagai prosesor.

Berikut ini adalah kegiatan yang relevan dengan pengelolaan DAS untuk menjamin
kelestarian serta adanya peran para pengelola yang terlibat.

1. Pengelolaan Sumberdaya Air


a. Pembangunan Sumberdaya Air
Menyiapkan rencana induk pengembangan sumberdaya air termasuk di dalamnya
neraca air, yang melibatkan berbagai instansi terkait serta melaksanakan pembangunan
prasarana pengairan (sesuai dengan penugasan yang diberikan) dalam rangka
mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya air.
b. Prediksi Kekeringan
Melakukan pemantauan dan pengolahan data hidrologis, membuat prediksi
kemungkinan terjadinya kekeringan (mungkin, menggunakan fasilitas telemetri dan
bantuan simulasi komputer yang dihubungkan dengan basis data nasional dan
internasional).
c. Penanggulangan Kekeringan
Secara aktif bersama Dinas/Instansi terkait dalam Satkorlak-PBA melakukan upaya
penanggulangan pada saat terjadi kekeringan yang tidak dapat terelakkan.
d. Perijinan Penggunaan Air
Memberikan rekomendasi teknis atas penerbitan ijin penggunaan air dengan
memperhatikan optimasi manfaat sumber daya yang tersedia.
e. Alokasi Air
Menyusun konsep pola operasi waduk/alokasi air untuk mendapatkan optimasi
pengalokasian air.
f. Distribusi Air
Melakukan pengendalian distribusi air bersama Dinas/Instansi terkait dengan bantuan
telemetri untuk melaksanakan ketetapan alokasi air.

2. Manajemen Kualitas Air


a. Perencanaan Pengendalian Kualitas Air
Bersama Dinas/Instansi terkait menyiapkan rencana induk dan program kerja jangka
menengah dan tahunan pengendalian pencemaran air dan peningkatan kualitas air.
b. Pemantauan dan Pengendalian Kualitas Air
Berdasarkan rencana induk, melakukan pemantauan dan pengendalian kualitas air
yang melibatkan berbagai instansi terkait. Pemantauan dilakukan secara periodik (baik
kualitas air sungai maupun buangan limbah cair yang dominan) dan melaksanakan
pengujian laboratorium serta evaluasi terhadap hasil uji tersebut. Rekomendasi diberikan
kepada Pemerintah Daerah (Gubernur maupun Bapedalda) dalam upaya pengendalian
pencemaran air, penegakan aturan dan peningkatan kualitas air sungai. Penyediaan Debit
Pemeliharaan Sungai Berdasarkan pola operasi waduk dan/atau kondisi lapangan, dapat
disediakan sejumlah debit pemeliharaan sungai setelah mendapatkan pengesahan alokasi
dari Dewan DAS Propinsi.
c. Peningkatan Daya Dukung Sungai
Pelaksanaan peningkatan daya dukung sungai dengan melaksanakan upaya
pengendalian di instream (penggelontoran, penyediaan debit pemeliharaan, peningkatan
kemampuan asimilasi sungai) dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan pengendalian di
offstream (pada sumber pencemar) melalui instrumen hukum maupun instrumen
ekonomi di samping melaksanakan kegiatan penyuluhan untuk meningkatkan kontrol
sosial dari masyarakat.
d. Koordinasi pengendalian pencemaran
Bersama dengan instansi/dinas terkait menyelenggarakan koordinasi penyiapan
program dan implementasi pengendalian pencemaran dan limbah domestik, industri dan
pertanian.

3. Pemeliharaan Prasarana Pengairan

a. Pemeliharaan Preventif
Melakukan pemeliharaan rutin, berkala dan perbaikan kecil untuk mencegah
terjadinya kerusakan prasarana pengairan yang lebih parah.
b. Pemeliharaan Korektif
Melakukan perbaikan besar, rehabilitasi dan reaktifikasi dalam rangka
mengembalikan atau meningkatkan fungsi prasarana pengairan.
c. Pemeliharaan Darurat
Melakukan perbaikan sementara yang harus dilakukan secepatnya karena kondisi
mendesak/darurat (karena kerusakan banjir dsb- nya).
d. Pengamatan Instrumen Keamanan Bendungan
Melakukan pengamatan instrumen keamanan bendungan (phreatic line, pore pressure
dan lain-lain) serta menganalisis hasil pengamatan tersebut untuk mengetahui adanya
penurunan (settlement), rembesan (seepage) atau perubahan ragawi lainnya terhadap
bendungan.
4. Pengendalian Banjir
a. Pemantauan dan Prediksi Banjir
Melakukan pemantauan dan pengolahan data hidrologis, membuatprediksi iklim,
cuaca dan banjir dengan menggunakan fasilitas telemetri dan bantuan simulasi komputer
yang dihubungkan dengan basis data nasional dan internasional.
b. Pengaturan (distribusi) dan Pencegahan Banjir Menyiapkan pedoman siaga banjir yang
berlaku sebagai SOP (Standard Operation Procedure) pengendalian banjir yang
dipergunakan oleh seluruh instansi terkait. Pengendalian banjir dilakukan melalui
pengaturan operasi waduk untuk menampung debit banjir, dan pengaturan bukaan pintu
air guna mendistribusikan banjir sehingga dapat dikurangi/dihindari dari bencana akibat
banjir.
c. Penanggulangan Banjir
Berpartisipasi secara aktif bersama Dinas/Instansi terkait dalam Satkorlak-PBA
melakukan upaya penanggulangan pada saat terjadi banjir yang tidak dapat terelakkan.
d. Perbaikan Kerusakan Akibat Banjir
Bersama instansi terkait melakukan perbaikan atas kerusakan akibat terjadinya
bencana banjir yang tidak terelakkan.
5. Pemberdayaan Masyarakat

a. Program penguatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan perdesaan, sehingga


pendapatan petani meningkat.
b. Program pengembangan pertanian konservasi, sehingga dapat berfungsi produksi dan
pelestarian sumber daya tanah dan air.
c. Penyuluhan dan transfer teknologi untuk menunjang program pertanian konservasi dan
peningkatan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya pengelolaan DAS.
d. Pengembangan berbagai bentuk insentif (rangsangan) baik insentif langsung maupun
tidak langsung, dalam bentuk bantuan teknis, pinjaman, yang dapat memacu peningkatan
produksi pertanian dan usaha konservasi tanah dan air.
e. Upaya mengembangkan kemandirian dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat
lapisan bawah, sehingga mampu memperluas keberdayaan masyarakat dan
berkembangnya ekonomi rakyat.
f. Memonitor dan evaluasi terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat, serta
tingkat kesadaran masyarakat dalam ikut berperan serta dalam pengelolaan DAS.

Kendala Pengelolaan DAS


Pengelolaan DAS tidak lain dari pada kegiatan penatagunaan lahan dalam ruang
lingkup DAS. Oleh karena itu pengelolaan DAS akan selalu melibatkan manusia dengan
manusia dengan kecakapannya mengalihkan teknologi menjadi teknologi tepat guna dan
keterampilannya menjabarkan teknologi menjadi sejumlah piranti teknik yang mempan.
Manusia itu juga menjadi sumber kendala yang acap kali menjadi penghambat yang lebih
berat daripada kendala fisik. Kendala yang bersumber pada manusia antara lain :
keprimitifan, kepicikan motivasi, inersia kejiwaan, kekakuan dan keangkuhan birokrasi,
otorianisme dan kemiskinan (Notohadiprawiro, 2006).
Kendala yang bersumber pada manusia tersebut selanjutnya bila diuraikan menjadi beberapa
kendala dalam pengelolaan DAS terpadu, sebagai berikut :
1. Perbedaan persepsi antar stakeholders, Ego sektoral dan ego kedaerahan
2. Sistem insentif dan disinsentif belum digunakan sebagai perangkat kebijakan
serta Kelembagaan pengelolaan DAS belum mantap
3. Penerapan kriteria dan indikator tidak sama
4. Perencanaan tidak ada koordinasi dan sinkronisasi (parsia)
5. Keterbatasan sistem dan sumber penganggaran
6. Pelaksanaan kegiatan pengelolaan DAS lemah
7. Pengendalian dan penegakan hukum dalam kegiatan pengelolaan DAS belum efektif.

Kesimpulan
1. DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur
kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan
outflow dari material dan energi.
2. Ekosistem DAS dapat diklasifikasikan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir.
3. Permasalahan DAS ditunjukkan oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan
meluasnya lahan kritis pada ekosistem DAS telah menyebabkan bencana kekeringan di
seluruh wilayah Indonesia.
4. Pengelolaan DAS sebagai upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antar
sumberdaya alam terutama vegetasi, tanah dan air dengan sumberdaya manusia di DAS
dan segala aktivitasnya untuk mendapatkan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi
kepentingan pembangunan dan kelestarian ekosistem DAS.
5. Kendala pengelolaan DAS bersumber pada manusia antara lain : keprimitifan, kepicikan
motivasi, inersia kejiwaan, kekakuan dan keangkuhan birokrasi, otorianisme dan
kemiskinan.

Daftar Pustaka
Effendi, Edie. 2008. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Das) Terpadu.
Jakarta. Bappenas.

Isnugroho. 2002. Sistem Pengelolaan Sumber Daya Air Dalam Suatu Wilayah. Yogyakarta.
Andi Press.

Kartodihardjo, dkk. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai : Konsep Dan
Pengantar Analisis Kebijakan. Bogor. IPB Press.

Notohadiprawiro. 2006. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Program Penghijauan.


Yogyakarta. UGM Press.

Pangesti, Dyah Rahayu. 2000. Sungai Sebagai Sumber Daya Alam Yang Mengalir. Dalam
Kodoatie, Robert J et all. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Otonomi
Daerah. Yogyakarta. Andi Press.

Susetyaningsih, Adi.2014. Pengaturan Penggunaan Lahan Di Daerah Hulu Das Cimanuk


Sebagai Upaya Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Air. Garut. STT Garut Press.

Anda mungkin juga menyukai