Makalah Epidemiologi Gizi Kelompok 1

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH EPIDEMIOLOGI GIZI

TENTANG
EPIDEMIOLOGI KEP BALITA

OLEH: KELOMPOK 1 (JALUR B)


TRIA SYANANDA PUTRI 1511216004
SITTI DINIARSYI 1511216013
DEWI WAHYUNI 1511216030

Dosen Pengampu:
Dr. dr. Fauziah Elytha, M.Sc

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS ANDALAS
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul
Epidemiologi KEP Balita. Penyusunan makalah ini diajukan ke Fakultas
Kesehatan Masyarakat sebagai pemenuhan syarat untuk melaksanakan tugas
makalah Mata Kuliah Epidemiologi Gizi.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen mata kuliah Epidemiologi Gizi
yang telah memberikan materi dalam pembelajaran sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Penyusun menyadari makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh
karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritikan dan saran agar penyusun dapat
mengoreksi kekurangan tersebut. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua, terutama bagi tim penyusun.

Padang, September 2016

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB 1 : PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Manfaat .............................................................................................................. 1
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 2
2.1 Besaran masalah kep balita .............................. Error! Bookmark not defined.
2.2 Faktor determinan kep balita i............................................................................ 3
2.3 Dampak KEP balita........................................................................................4

BAB 3 : PENUTUP ..................................................................................................... 8


3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 8
3.2 Saran ................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1 : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perjalanan masalah gizi dapat dilihat dari sudut pandang siklus kehidupan
yaitu dimulai dari ibu hamil, bayi yang dilahirkan, anak balita, remaja dan anak usia
sekolah, orang dewasa, dan usia lanjut. Gizi kurang dapat terjadi disemua siklus
kehidupan dengan berbagai risiko yang ditimbulkan. Apabila ibu hamil kondisinya
kekurangan energi kronis (KEK) atau kenaikan berat badan rendah akan melahirkan
bayi berat badan lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR dan tidak cukup mendapatkan
asupan gizi dan pola asuh yang tidak baik akan menjadi anak ablita yang kurang
energi protein (KEP). Anak balita yang menderita kurang energi protein (KEP) dan
apabila terjadi dalam waktu yang relatif lama tidak cukup mendapat asupan gizi akan
menjadi anak usia sekolah dan remaja yang mengalami gangguan pertumbuhan.
Penyakit KEP merupakan salah satu penyakit gangguan gizi yang penting di
Indonesia maupun di negara yang sedang berkembang lainnya. Prevalensi tertinggi
terdapat pada anak-anak di bawah umur lima tahun (balita). Penderita KEP memiliki
berbagai macam keadaan patologis yang disebabkan oleh kekurangan energi maupun
protein dalam proporsi yang bermacam-macam. Akibat kekurangan tersebut timbul
keadaan KEP pada derajat yang ringan sampai yang berat.

1.2 Manfaat
1.2.1 Mengetahui besaran masalah KEP balita
1.2.2 Mengetahui faktor determinan KEP balita
1.2.3 Mengetahui dampak KEP balita

1
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Besaran Masalah KEP Balita


KEP (kurang energi protein) akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan
kalori, protein, atau keduanya, tidak tercukupi oleh diet. Kedua bentuk defisiensi ini
tidak jarang berjalan bersisian, meskipun salah satu lebih dominan ketimbang yang
lain.
Secara nasional, prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen,
terdiri dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan
dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %)
terlihat meningkat. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4
persen tahun 2007, 4,9 persen pada tahun 2010, dan 5,7 persen tahun 2013.
Sedangkan prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan 2013.
Untuk mencapai sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka prevalensi gizi
buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode
2013 sampai 2015. (Bappenas, 2012)
Diantara 33 provinsi di Indonesia,18 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk-
kurang di atas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai
dengan 33,1 persen. Urutan ke 19 provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai
terendah adalah (1) Nusa Tenggara Timur; (2) Papua Barat; (3) Sulawesi Barat; (4)
Maluku; (5) Kalimantan Selatan; (6) Kalimantan Barat; (7) Aceh; (8) Gorontalo; (9)
Nusa Tenggara Barat; (10) Sulawesi Selatan; (11) Maluku Utara; (12) Sulawesi
Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan Tengah; (15) Riau; (16) Sumatera
Utara; (17) Papua, (18) Sumatera Barat dan (19) Jambi
Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi buruk-
kurang antara 20,0-29,0 persen, dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila 30
persen (WHO, 2010). Pada tahun 2013, secara nasional prevalensi gizi buruk-
kurang pada anak balita sebesar 19,6 persen, yang berarti masalah gizi berat-
kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat mendekati
prevalensi tinggi. Diantara 33 provinsi, terdapat tiga provinsi termasuk kategori
prevalensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara
Timur.

2
3

2.2 Faktor Determinan KEP Balita


Masalah gizi dipengaruhi oleh banyak faktor dan faktor tersebut saling terkait
antara yang satu dengan yang lainnya. UNICEF (1998) menngambarkan faktor yang
berhubungan dengan status gizi. Pertama, penyebab langsung dari status gizi adalah
asupan gizi dan penyakit infeksi. Kedua, penyebab tidak langsung, yaitu ketersediaan
pangan tingkat rumah tangga, perilaku/asuhan ibu dan anak, dan pelayanan
kesehatan dan lingkungan. Ketiga, masalah utama, yaitu kemiskinan, pendidikan
rendah, ketersediaan pangan, dan kesempatan kerja. Keempat masalah dasar, yaitu
krisis politik dan ekonomi.

Gambar 1. Penyebab Masalah Gizi


Sumber: UNICEF (1998).
The state of the worlds children
Setidaknya ada empat faktor yang melatar belakangi KEP, yaitu: masalah
sosial, ekonomi, biologi dan lingkungan. Kemiskinan, salah satu determinan sosial
ekonomi, merupakan akar dari ketiadaan pangan, tempat mukim yang berjejalan,
kumuh dan tidak sehat serta ketidakmampuan mengakses fasilitas kesehatan.
Ketidaktahuan, baik yang berdiri sendiri maupun yang berkaitan dengan kemiskinan,
menimbulkan salah paham tentang cara merawat bayi dan anak yang benar, juga
salah mengerti mengenai penggunaan bahan pangan tertentu dan cara memberi
4

makan anggota keluarga yang sedang sakit. Hal lain yang juga berpotensi
menimbulkan KEP di kalangan bayi dan anak adalah penurunan minat dalam
memberi ASI yang kemudian diperparah pula dengan salah persepsi tentang cara
menyapih.
Tempat tinggal yang tidak bersih menyebabkan infeksi sering terjadi.
Prosedur penyimpanan hasil produksi pasca panen yang buruk mengakibatkan bahan
pangan cepat rusak. Bencana alam, perang atau migrasi paksa telah terbukti
mengganggu distribusi pangan.
Komponen biologi yang menjadi latar belakang KEP antara lain malnutrisi
ibu, baik sebelum maupun selama hamil, penyakit infeksi, serta diet rendah energi
dan protein. Seorang ibu yang mengalami KEP selama kurun waktu tersebut pada
gilirannya akan melahirkan bayi berat badan rendah. Tanpa ketersediaan pangan
yang cukup, bayi KEP tersebut tidak akan mampu mengejar ketertinggalannya, baik
kekurangan berat semasa dalam kandungan maupun setelah lahir.
Penyakit infeksi berpotensi sebagai penyokong atau pembangkit KEP.
Penyakit diare, campak, dan infeksi saluran nafas kerap menghilangkan nafsu makan.
Penyakit saluran pencernaan yang sebagian muncul dalam bentuk muntah dan
gangguan penyerapan, menyebabkan kehilangan zat-zat gizi dalam jumlah besar.
2.3 Dampak KEP Balita
Keparahan KEP berkisar dari hanya penyusutan berat badan, atau terlambat
tumbuh, sampai ke sindrom klinis yang nyata, dan tidak jarang berkaitan dengan
defisiensi vitamin, serta mineral.
Marasmus
Gambaran penderita marasmus dapat terwakili dalam istilah tulang terbalut
kulit: jaringan lemak bawah kulit hampir lenyap, otot mengecil. Berat badan
penderita marasmus biasanya hanya sekitar 60% dari berat yang seharusnya. Kulit
kering, tipis, tidak lentur serta mudah berkerut. Rambut tipis, jarang, kering, tanpa
kilap normal, dan mudah dicabut tanpa menyisakan rasa sakit. Penderita kelihatan
apatis, meskipun biasanya masih tetap sadar, dan menampakkan gurat kecemasan.
Tanda-tanda itu, disokong oleh lekukan pada pipi dan cekungan di mata,
menjelaskan gambaran wajah seperti orang tua.
Nafsu makan sebagian penderita hilang. Sebagian lagi masih dapat
mengutarakan rasa lapar, namun jika diberikan sejumlah makanan yang diperkirakan
dapat melenyapkan rasa lapar, penderita tidak jarang muntah. Diare yang menahun
5

serta kelemahan yang menyeluruh sering mendampingi KEP sehingga anak tidak
dapat berdiri sendiri tanpa dibantu.
Hipoglikemia sering terjadi dan tidak jarang pula ditemani oleh hipotermia
(suhu tubuh 35,5oC). Organ dalam biasanya kecil. Dinding perut menegang,
sementara kelenjar limfe mudah sekali diraba.
Penyulit yang paling lazim adalah terjadinya gastroenteritis akut, dehidrasi,
infeksi saluran nafas, dan kerusakan mata akibat kekurangan vitamin A.
Kwasiorkor
Edema yang jika ditekan melekuk, tidak sakit dan lunak, biasanya terjadi di
kaki, merupakan gambaran utama kwasiorkor. Edema bahkan dapat meluas sampai
ke daerah perineum, ektremitas atas, dan wajah. Pada daerah edema tidak jarang
timbul lesi kulit. Eritema yang timbul di daerah edema biasanya berkilap, ada bagian
yang kering, hiperkeratosis dan hiperpigmentasi yang cenderung menyatu. Epidermis
mengelupas sehingga jaringan di bawah kulit mudah terinfeksi.
Jaringan lemak bawah kulit masih cukup baik, namun jaringan otot tampak
mengecil. Tinggi badan dapat normal, dapat juga tidak, bergantung pada
kemenahunan penyakit yang tengah berlangsung, disamping riwayat gizi masa lalu.
Rambut kering, rapuh, tidak berkilap dan mudah dicabut tanpa menimbulkan
rasa sakit. Rambut yang sebelumnya berombak berubah menjadi lurus, sementara
pigmen rambut berganti warna menjadi coklat, merah, atau bahkan putih kekuningan.
Penderita tampak pucat, tungkai berwarna kebiruan, dan teraba dingin. Ekspresi
wajah tampak apatis dan iritatif.
Ketiadaan nafsu makan, muntah segera setelah makan, serta diare kerap
terjadi. Kondisi ini akan membaik manakala keadaan gizi terkoreksi, dan dilakukan
pengobatan saluran gastrointestinal secara spesifik.
Perut tampak menonjol karena penegangan lambung dan usus yang terpuntir.
Hati membesar dengan sudut tumpul dan teraba lunak, disebabkan oleh infiltrasi
lemak. Peristaltik tidak teratur dan frekuensinya rendah. Tonus dan kekuatan otot
sangat berkurang.
Penyulit yang terjadi biasanya sama dengan marasmus, kecuali diare, infeksi
saluran nafas dan kulit yang berlangsung lebih parah.
Marasmik-Kwasiorkor
Bentuk kelainan ini merupakan gabungan antara KKP yang disertai oleh
edema, dengan tanda dan gejala khas kwasiorkor dan marasmus. Gambaran yang
6

utama ialah kwasiorkor edema dengan atau tanpa lesi kulit, pengecilan otot, dan
pengurangan lemak bawah kulit seperti pada marasmus. Gambaran marasmus dan
kwasiorkor muncul secara bersamaan dan didominasi oleh kekurangan protein yang
parah.
KEP juga bisa menyebabkan kegagalan fungsi organ, seperti:
a. Organ pencernaan
Sel pangkreas dan mukosa usus mengalami atrofi dan penurunan kemampuan
menyekresi enzim-enzim pencernaan.
b. Hati
Perlemakan hati dapat diidentifikasi pada penderita kwashiorkor. Pada tahap
awal terjadi akumulasi lemak di sel hati yang berada di tepi lobus. Kemudian terjadi
peningkatan jumlah dan meluas dari tepi lobus ke tengah lobus. Dalam kasus yang
fatal, semua sel hati akan terkena lemak yang berakibat akan menekan inti sel dan
menurunkan kadar sitoplasma sel hati.
c. Organ Endokrin
Pada pemderita kwashiorkor terjadi peningkatan konsentrasi hormon
pertumbuhan. Fungsi tiroid masih normal, tetapi secara cepat konsentrasi hormon
insulin akan menurun.
d. Sistem Kardiovaskuler
Atrofi pada jantung ditemukan pada penderita busung lapar, terlihat pula pada
hasil autopsi dan radiograf yang dilakukan pada anak-anak yang menderita KEP
kronis. Atrofi jantung ini dapat mengakibatkan penurunan cardiac output dan
menghambat sirkulasi darah. Dalam beberapa kasus yang kronis, ditandai dengan
kaki dan tangan yang terasa dingin dan tekanan nadi menjadi kecil. Gejala ini
berpotensi untuk meningkatkan angka kematian.
e. Ginjal
Albuminaria ditemukan pada penderita KEP, tetapi tidak ada indikasi
kerusakan struktur ginjal yang spesifik atau fungsi yang abnormal. Filtrasi
glomerulus mengalami gangguan, tetapi ini terjadi mungkin karena dehidrasi ataupun
penurunan cardiac output. Kerja ginjal mengalami penurunan, yang mungkin terjadi
akibat depresi fungsi tubulus yang terjadi akibat defisiensi eletrolit. Hal ini tidak
akan menjadi komplikasi bagi penderita KEP dan tidak akan menyebabkan edema.
BAB 3 : PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara nasional prevalensi berat-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6 persen,
terdiri dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang. Prevalensi ini
mennigkat dibandingkan dengan tahun 2007 dan 2010. Diantara 33 provinsi,
terdapat tiga provinsi termasuk kategori prevalensi sangat tinggi untuk masalah gizi
kurang dan buruk, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Empat faktor yang melatar belakangi KEP, yaitu masalah sosial, ekonomi,
biologi dan lingkungan. Keparahan KEP berkisar dari hanya penyusutan berat badan,
atau terlambat tumbuh, sampai ke sindrom klinis yang nyata, dan tidak jarang
berkaitan dengan defisiensi vitamin, serta mineral, seperti marasmus, kwashiorkor,
dan marasmus-kwashiorkor. KEP juga bisa menyebabkan kegagalan fungsi organ,
seperti: organ pencernaan, hati, organ endokrin, sistem kardiovaskuler, dan ginjal
3.2 Saran
Tim penyusun makalah berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca. Apabila terdapat suatu kesalahan kami berharap kritik dan saran agar
makalah ini menjadi lebih baik.

7
DAFTAR PUSTAKA

Adrinai, Merryana, dan Bambang Wijatmadi. 2012. Pengnatar Gizi Masyarakat.


Jakarta: Kencana.
Deparetemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. 2013. Gizi dan Kesehatan
Masyarakat/Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rajawali
Pers.
Supariasa, I Dewa Nyoman. 2013. Pendidikan dan Konsultasi Gizi. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai