Anda di halaman 1dari 2

KAMIS, 20 MEI 2010 | 20:04 WITA | 12366 Hits

Share |

Harkitnas dan Pendidikan Sejarah di Indonesia


Oleh: Ahmadin (Dosen FIS UNM, dan Penulis Buku-buku Sejarah)
Dalam konteks pemetaan masa depan, sejarah berguna untuk memberikan inspirasi kepada orang yang
mempelajarinya. Singkatnya, belajar sejarah adalah langkah mengetahui tata perilaku manusia (baik individu
maupun kolektif) pada masa lampau.

Sekaitan dengan itu, bagaimana pelajaran sejarah tentang kebangkitan nasional yang masih kontroversial dapat
dijadikan inspirasi dalam membangun kebangkitan nasional baru di Indonesia? Pertanyaan inilah yang
mengendap dalam imajinasi penulis saat hendak meraba judul untuk refleksi peringatan hari kebangkitan
nasional (harkitnas) hari ini.

Sekadar digambarkan kembali bahwa kebangkitan nasional adalah masa yang dihubung dan dikaitkan dengan
lahirnya semangat persatuan, kesatuan, dan nasionalisme anak-anak bangsa. Kebangkitan ini merupakan
manifestasi dari kesadaran untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, serta membebaskan tanah air dari
cengkeraman kaum penjajah.

Dalam sejarah versi buku pelajaran di sekolah, masa ini dikaitkan dengan dua momentum penting. Peristiwa
yang dimaksud yakni kelahiran Boedi Oetomo (20 Mei 1908) dan pembacaan ikrar para kaum muda yang akrab
dikenal sebagai Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928).

Beberapa tokoh yang dianggap berjasa terhadap kebangkitan nasional, adalah Sutomo, Gunawan, dr Tjipto
Mangunkusumo, Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara), dr Douwes Dekker, dan lain-lain.

Selanjutnya, pada 1912 beberapa organisasi berdiri di antaranya adalah Indische Partij yang dianggap sebagai
partai politik paling wahid di Indonesia kala itu. Serentak dengan itu, pada masa yang sama Haji Samanhudi
juga mendirikan Sarekat Dagang Islam di Solo, sementara KH Ahmad Dahlan sendiri, mendirikan
Muhammadiyah di Yogyakarta.

Selain itu, kebangkitan nasional juga sering dibaca sebagai buah dari kesepakatan di antara para mahasiswa
kedokteran Bumi Putera pada School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Lembaga pendidikan ini
juga dikenal sebagai sekolah untuk pendidikan dokter Bumi Putera, yang berada di Weltevreden Batavia
(sekarang Jakarta).

Berdirinya organisasi yang diprakarasi oleh orang-orang Jawa ini, diimpikan bakal menjadi induk semangat
persatuan dan kesatuan masa mendatang.

Embrio dari cita-cita tersebut tampak pada dukungan beberapa lembaga pendidikan di Jawa seperti: sekolah
pertanian (landbouw school) dan Sekolah Dokter Hewan (veeartsnij school) di Buitenzorg (Bogor), Sekolah
Kepala Negeri (Hoofdenschool) di Magelang, Sekolah malam untuk penduduk (Burger avond School) di
Surabaya, Sekolah Pendidikan Guru Bumi Putera di Bandung, dan sebagainya.

Singkat cerita, kelahiran organisasi induk (jika bisa dikatakan begitu) ini, kemudia dikukuhkan sebagai hari
kebangkitan nasional. Dengan demikian, memperingatinya setiap tahun pun dianggap hal yang sakral dan
biasanya digelar upacara bendera untuk mengenang hari yang dianggap bersejarah ini.

BO dalam Gugatan

Seiring lahirnya kesadaran baru dalam berpikir historis, rupanya eksistensi Boedi Oetomo (BO) sebagai tonggak
kelahiran kebangkitan nasional pun digugat. Konsekuensinya, 20 Mei 1908 dianggap tidak sepatutnya
diperingati dengan alasan beragam, antara lain karena organisasi ini dianggap pro penjajah (Belanda), tidak
berorientasi pada cita-cita Indonesia merdeka, tidak nasionalis, dan yang lebih ekstrem lagi, dicap anti-agama.
Argumen ini juga dikuatkan sekaligus dihubungkan dan dikaitkan dengan berdirinya organisasi Syarikat Islam
(SI; 1905), yang lahir lebih awal dari BO (1908) sepertinya lebih pantas dijadikan sebagai momentum sejarah
peringatan. Bahkan dengan beberapa alasan, SI justru dianggap lebih berhaluan nasionalis, menentang penjajah
Belanda, dan berorientasi pada perjuangan Indonesia merdeka.
Tema gugatan lain yakni eksistensi para leader organisasi ciptaan sekelompok mahasiswa kedokteran STOVIA
ini. Sebut saja yang menjabat sebagai pemimpin pertama dari BO (T Tirtokusumo) adalah orang kepercayaan
Belanda. Kedekatan dengan kaum penjajah juga dihubungkan dengan kebiasaan dalam rapat BO yang notabene
menggunakan bahasa Belanda. Selain itu, dari segi tujuan organisasi (Pasal 2 Anggaran Dasar BO) yang
memuat tentang keinginan menggalang kerja sama untuk memajukan tanah dan bangsa Jawa serta Madura,
dianggap sangat lokalistik (Jawa-Madura sentris).
Akumulasi beberapa alasan itu, pada gilirannya mengundang pertanyaan sekaligus keraguan historis generasi
muda dan anak-anak bangsa di kemudian hari. Boleh jadi efek domino dari lahirnya kecenderungan menggugat
sejumlah peristiwa penting yang dianggap "bersejarah" di Indonesia sejauh ini, akan merembes ke ranah
"sejarah nasional" yang lain.
Akhirnya, sederet teka-teki sejarah akan mewarnai ruang ilmiah dan wacana kesejarahan di Indonesia.
Kelahiran RA Kartini sebagai wujud emansipasi wanita akan ditilik kembali, Kepahlawanan Pangeran
Diponegoro akan dipertanyakan, peristiwa Hotel Yamato boleh jadi disangsikan dan dibandingkan dengan
peristiwa pada tempat lain di nusantara yang sejenis dan lebih awal terjadi, serta sejumlah peristiwa "penting" di
tanah air akan "diluruskan" sejarahnya.

Pendidikan Sejarah Kita


Sang penulis buku Ab Urbe Condita, Titus Livitus mengemukakan bahwa yang menjadikan studi sejarah itu
penting dan bermanfaat dinilai berdasarkan pelajaran yang dikandungnya. Bahkan sejarawan asal Roma ini
mengatakan bahwa dari pengalaman-pengalaman ini Anda bisa memilih mana yang bermanfaat ditiru dan mana
yang memalukan dalam konsep maupun hasil untuk dijauhi (lihat Warrington, 2008 : 391).
Hanya saja persoalannya adalah mata pelajaran sejarah pada lembaga pendidikan di Indonesia dari tingkat dasar
hingga ke perguruan tinggi, kurang mendapat tempat yang layak dari segi minat dalam arti luas. Kondisi ini
diperparah oleh pengurangan jam pelajaran dan dikeluarkannya mata pelajaran ini dari Ujian Nasional (UN).
Pengurangan jam pelajaran serta peniadaan pelajaran sejarah dalam UN, menyebabkan makin dianggap
remehlah bidang studi ini. Celakanya lagi, pelajaran sejarah dianggap pelajaran mudah dan dapat diajarkan oleh
guru berlatar disiplin ilmu apa saja.
Beberapa temuan menarik pada sekolah tertentu yang tidak perlu disebutkan namanya, antara lain ada guru
sejarah berlatar ilmu PKK. Selain itu, ada juga guru yang mengajar sejarah dari alumni jurusan PPKn dan
Bahasa Indonesia dengan alasan ia mampu mengajarkan karena ia adalah mantan anggota Resimen Mahasiswa
(Menwa).
Sungguh sangat ironis, di tengah munculnya kesadaran ilmiah baru untuk meluruskan sejumlah pengkisahan
sejarah yang masih bengkok, tidak didukung oleh proses pendidikan yang dapat melatih peserta didik berpikir
historis-kritis. Sejarah tak ubahnya hanya hapalan angka tahun, nama pahlawan, candi, makam kuno, zaman
batu, dan hal-hal purba lainnya.
Pentingnya kemampuan berpikir historis, sejalan dengan pernyataan Venerable Bede bahwa jika sejarah
merekam kebaikan orang baik, pendengar yang berpikir akan tergerak untuk meniru apa yang baik itu. Bahkan
sang penulis buku The Elessiastical History of the English ini menyatakan: jika ia merekam keburukan orang
jahat, pendengar atau pembaca yang taat dan beriman akan tergerak untuk menghindari segala hal yang
dianggap berdosa.
Sudah mampukah para pengajar sejarah membawa peserta didik berpikir kritis dan meta-historis dalam
menyelesaikan peristiwa sejarah yang konstroversial semisal "Hari Kebangkitan Nasional"? Jawaban atas
pertanyaan ini menentukan masa depan historiografi dan pelajaran sejarah di Indonesia. **

Anda mungkin juga menyukai