Ked (406080079)
BAB XV
DIABETES MELLITUS
TUJUAN BELAJAR
TUJUAN KOGNITIF
Setelah membaca bab ini dengan seksama, maka Anda diharapkan:
1. Mengetahui patogenesis penyakit diabetes melitus pada lanjut usia.
1.1. Menceritakan kembali patofisiologi penyakit diabetes melitus pada lanjut
usia.
1.2. Menyebutkan klasifikasi etiologis penyakit diabetes melitus.
2. Mengetahui penyakit diabetes melitus pada lanjut usia.
2.1. Menyebutkan berbagai penyebab penyakit diabetes melitus pada lanjut usia.
2.2. Menyebutkan berbagai gejala klinik penyakit diabetes melitus pada lanjut
usia.
2.3. Menyebutkan berbagai pengobatan penyakit diabetes melitus pada lanjut usia.
TUJUAN AFEKTIF
Setelah membaca ini dengan penuh perhatian, maka penulis mengharapkan anda akan
dapat:
1. Mendeteksi secara dini penyakit diabetes melitus pada lanjut usia
1.1. Mengenal gejala klinik penyakit diabetes melitus pada lanjut usia.
1.2. Membuat diagnosa penyakit diabetes melitus pada lanjut usia dengan tepat.
2. Memberikan penanganan terbaik terhadap penyakit diabetes melitus pada
lanjut usia
2.1. Memberikan terapi yang efektif terhadap penyakit diabetes melitus pada
lanjut usia.
2.2. Mencegah komplikasi lebih lanjut penyakit diabetes melitus pada lanjut usia.
I. PENDAHULUAN
Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai adanya
hiperglikemia yang disebabkan karena defek sekresi insulin, gangguan kerja insulin
atau keduanya. DM merupakan gangguan yang kronis dan berhubungan dengan
kerusakan berbagai organ tertentu seperti mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh
darah. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator karena penyakit ini
dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan
dengan gejala sangat bervariasi. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa
diperhatikan sampai ketika orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa
darahnya. Terkadang gambaran klinik dari diabetes tidak jelas dan diabetes baru
ditemukan pada saat pemeriksaan penyaring atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, dan disfungsi
beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah, yang
menimbulkan berbagai macam komplikasi, antara lain aterosklerosis, neuropati, gagal
ginjal, dan retinopati. Sedikitnya setengah dari populasi penderita diabetes lanjut usia
tidak mengetahui kalau mereka menderita diabetes karena hal itu dianggap
merupakan perubahan fisiologis yang berhubungan dengan pertambahan usia.
Diabetes melitus pada lanjut usia umumnya adalah diabetes tipe yang tidak tergantung
insulin (NIDDM). Prevalensi diabetes melitus makin meningkat pada lanjut usia.
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang akibat
peningkatan kemakmuran di negara yang bersangkutan dipengaruhi oleh banyak
faktor antara lain peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup
terutama di kota besar menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif. Di
Indonesia sendiri, prevalensi DM pada lanjut usia mencapai 15,9-32,73%. Dimana
saat ini diperkirakan sekitar 5 juta lebih penduduk Indonesia yang berarti 1 dari 40
penduduk Indonesia menderita diabetes.
Patofisiologi
Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian ke lambung dan
selanjutnya ke usus. Didalam saluran pencernaan, makanan yang terdiri dari
karbohidrat dipecah menjadi glukosa, protein dipecah menjadi asam amino dan lemak
menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu diedarkan ke seluruh tubuh untuk
dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya
berfungsi sebagai bahan bakar zat makanan itu harus diolah, dimana glukosa dibakar
melalui proses kimia yang menghasilkan energi yang disebut metabolisme.
Dalam proses metabolisme insulin memegang peranan penting yaitu memasukkan
glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin adalah suatu zat
atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas, bila insulin tidak ada maka
glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa akan tetap berada di pembuluh
darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat.
Pada diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi
untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas
limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri.
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, tetapi jumlah reseptor insulin
yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga glukosa yang masuk ke
dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat.
DM TIPE I DM TIPE II
Mudah terjadi ketoasidosis Sukar terjadi ketoasidosis
Pengobatan harus dengan insulin Pengobatan tidak harus dengan
insulin
Onset akut Onset lambat
Biasanya kurus Gemuk atau tidak gemuk
Biasanya terjadi pada umur yang Biasanya terjadi pada umur > 45
masih muda tahun
Berhubungan dengan HLA-DR3 Tidak berhubungan dengan HLA
dan DR4
Didapatkan antibodi sel islet Tidak ada antibodi sel islet
10%nya ada riwayat diabetes 30%nya ada riwayat diabetes pada
pada keluarga keluarga
30-50 % kembar identik terkena 100% kembar identik terkena
V. DIAGNOSIS
Banyak pasien dengan Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) yang
asimptomatik dan baru diketahui adanya peningkatan kadar gula darah pada
pemeriksaan laboratorium rutin.
Para ahli masih berbeda pendapat mengenai kriteria diagnosis DM pada lanjut
usia. Kemunduran, intoleransi glukosa bertambah sesuai dengan pertambahan usia,
jadi batas glukosa pada DM lanjut usia lebih tinggi dari pada orang dewasa yang
menderita penyakit DM.
Kriteria diagnostik diabetes mellitus dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO
1985:
a.Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200mg/ dl, atau
b.Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl, atau
c. Kadar glukosa plasma 200 mg / dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
pada TTGO
Menurut Kane et al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan kalau
didapatkan kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa
puasa kurang dari 140 mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas
perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila
TTGO abnormal pada dua kali pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM dapat
ditegakkan.
Pada lanjut usia sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah puasa
secara rutin sekali setahun, karena pemeriksaan glukosuria tidak dapat dipercaya
karena nilai ambang ginjal meninggi terhadap glukosa.
Peningkatan TTGO pada lanjut usia ini disebabkan oleh karena turunnya sensitivitas
jaringan perifer terhadap insulin, baik pada tingkat reseptor (kualitas maupun
kuantitas) maupun pasca reseptornya. Ini berarti bahwa sel-sel lemak dan otot pada
pasien lanjut usia menurun kepekaannya terhadap insulin.
Pemeriksaan Penyaring :
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala dan tanda DM,
sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang
tidak bergejala yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan
dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM
sebagai berikut:
1. Usia > 45 tahun
2. Berat badan lebih > 120% BB idaman atau IMT > 25 kg/m 2
3. Hipertensi ( > 140 / 90 mmHg )
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gram
6. Kolesterol HDL 35 mg / dl dan atau trigliserida 250 mg / dl
Catatan:
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang
berusia > 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap
3 tahun.
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM
Kadar benda keton yang meningkat dalam tubuh disebut ketosis. Ketosis bisa
meningkatkan keasaman cairan tubuh dan jaringan sehingga kadar yang sangat
tinggi dan menyebabkan satu kondisi yang disebut asidosis. Asidosis akibat dari
benda keton yang meningkat disebut ketoasidosis.
Gejala-Gejalanya :
a.Dehidrasi: kekeringan di mulut dan hilangnya elastisitas kulit
b.Napas berbau asam.
c.Mual-muntah dan rasa sakit di perut
d.Napas berat
e.Tarikan napas meningkat
f.Merasa sangat lemah dan mengantuk
Hipoglikemia
Merupakan salah satu komplikasi akut yang tidak jarang terjadi dan seringkali
membahayakan hidup penderitannya serta ditandai dengan kadar gula darah yang
melonjak turun di bawah 50-60 mg/dl atau suatu keadaan klinik gangguan saraf
yang disebabkan penurunan glukosa darah.
Infeksi
Pengidap diabetes, cenderung terkena infeksi karena 3 alasan utama:
a. Bakteri tumbuh baik jika kadar glukosa darah tinggi
b.Mekanisme pertahanan tubuh rendah pada orang yang terkena diabetes
c.Komplikasi terkait diabetes yang meningkatkan resiko infeksi.
Infeksi yang umumnya menyerang pengidap diabetes termasuk infeksi kulit, infeksi
saluran kencing, penyakit pada gusi, tuberkulosis, dan beberapa jenis infeksi jamur.
2. Komplikasi kronis
Penyakit jantung dan pembuluh darah
Aterosklerosis adalah sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit
karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya
arteri di kaki bisa mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai
darah yang mengakibatkan kram, rasa tidak nyaman atau lemas saat berjalan. Jika
suplai darah pada kaki sangat kurang atau terputus dalam waktu lama bisa terjadi
kematian pada jaringan.
Untuk mendiagnosis dan menangani kerusakan saraf kaki dilakukan beberapa tes antara
lain pengukuran :
a. Merasakan sentuhan ringan.
b. Kepekaan pada suhu.
c. Sensasi pada getaran.
d. Efisiensi saraf untuk mengirim pesan ke dan dari otak.
Penatalaksanaan
Periksa sepatu anda baik bagian dalam ataupun luar sebelum memakainya untuk
mendeteksi batu atau benda sejenis lainnya yang mungkin ada.
Pastikan kaki anda diukur setiap kali membeli alas kaki yang baru.
Jauhkan kaki dari udara panas, air panas, dan lain-lain.
Pakaikan alas kaki pelindung di dalam rumah dan hindari berjalan tanpa alas
kaki.
Pakai sepatu yang bertali dan cukup ruang untuk ibu jari kaki.
Berikan pelembab pada daerah kaki yang kering , tetapi tidak pada sela-sela jari.
Bersihkan kaki setiap hari, keringkan dengan handuk termasuk sela-sela jari.
Segera ke dokter bila kaki luka atau berkurang rasa.
V. PENATALAKSANAAN
Saat ini, pola penanganan DM baik tipe 1 maupun tipe 2 telah maju sedemikian
pesat terutama dalam hal terapi farmakologis, namun intervensi obat-obatan bagi
lanjut usia mutlak perlu dilakukan dengan lebih hati-hati. Untuk itu, American
Geriatric Society (AGS) menetapkan beberapa langkah-langkah dalam upaya
memberikan pelayanan yang lebih baik terhadap DM pada lanjut usia.
Sumber : DE Elson, MD., PhD. ; SL Norris, MD., MPH., Diabetes in Older Adults :
Overviews of AGS guidelines for the treatment of diabetes mellitus in geriatric
populations, 2004
Sumber : DE Elson, MD., PhD. ; SL Norris, MD., MPH., Diabetes in Older Adults :
Overviews of AGS guidelines for the treatment of diabetes mellitus in geriatric
populations, 2004
Diperkirakan 25-50 % dari DM lanjut usia dapat dikendalikan dengan baik hanya
dengan diet saja, 3 % membutuhkan insulin dan 20-45 % dapat diobati dengan anti
diabetik oral dan diet saja. Para ahli berpendapat bahwa sebagian besar DM pada
lanjut usia adalah tipe II dan dalam penatalaksanaannya perlu diperhatikan secara
khusus, baik cara hidup pasien, keadaan gizi dan kesehatannya, penyakit lain yang
menyertai serta ada atau tidaknya komplikasi DM.
Pedoman penatalaksanaan diabetes pada lanjut usia adalah:
Menilai penyakitnya secara menyeluruh dan memberikan pendidikan kepada
pasien dan keluarganya.
Menghilangkan gejala-gejala akibat hiperglikemia.
Lebih bersifat konservatif, usahakan agar glukosa darah tidak terlalu tinggi (200
-220 mg/dl) dan tidak terlampau rendah karena bahaya terjadinya hipoglikemia
Mengendalikan glukosa darah dan berat badan sambil menghindari resiko
hipoglikemi.
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama
beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai
sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan pemberian obat hipoglikemik oral
(OHO) atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu OHO dapat segera diberikan
sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya
ketoasidosis, stress berat, berat badan yang menurun cepat, insulin dapat segera
diberikan. Pada kedua keadaan tersebut perlu diwaspadai kemungkinan terjadinya
hipoglikemia. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri,
setelah mendapat pelatihan khusus.
Pilar Pengelolaan DM
A. Edukasi
Meliputi pemahaman tentang DM, penyulitnya, obat-obatan, olahraga, perencanaan
makan, komplikasi dan masalah yang akan dihadapi, hipoglikemia, perawatan kaki
pada diabetes dan lain-lain. Intinya perubahan perilaku dan perbaikan pola hidup.
Keberhasilan pengelolaan diabetes membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga
dan masyarakat.
B. Perencanaan makanan
Prinsipnya: anjuran makan seimbang seperti anjuran makan sehat pada umumnya,
tidak ada makanan yang dilarang, hanya dibatasi sesuai kebutuhan ( tidak berlebih ),
menu sama dengan menu keluarga, gula dalam bumbu tidak dilarang. Makanan
dianjurkan seimbang dengan komposisi energi dari karbohidrat 60- 70%, protein 10-
15%, dan lemak 20-25%.
C. Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani teratur ( 3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit ). Sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran
jasmani. Latihan jasmani yang dimaksud ialah jalan, bersepeda santai, jogging,
berenang.
Prinsipnya : Continous, Rhytmical, Interval, Progresive dan Endurance
D. Intervensi farmakologis
Apabila pengendalian diabetes tidak berhasil dengan pengaturan diet dan olahraga
barulah diberi obat hipoglikemik.
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih.. Absorbsi derivat sulfonilurea
melalui usus baik.
Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti
orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskuler
tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang seperti chlorpropamid.
Mekanisme kerja sulfonilurea :
Cara kerja obat golongan ini masih merupakan ajang perbedaan pendapat, tetapi pada
umumnya dikatakan sebagai:
Cara kerja utama adalah meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
Meningkatkan performance dan jumlah reseptor insulin pada otot dan sel lemak
Meningkatkan efisiensi sekresi insulin dan potensiasi stimulasi insulin transport
karbohidrat ke sel otot dan jaringan lemak
Penurunan produksi glukosa oleh hati.
b. Asetoheksamid
Dalam tubuh cepat sekali mengalami biotransformasi, masa paruh plasma hanya
0,5-2 jam. Tetapi dalam tubuh obat ini diubah menjadi 1-hidroksihekasamid yang
ternyata lebih kuat efek hipoglikemianya dari pada asetoheksamid itu sendiri.
Selain itu 1-hidroksiheksamid juga memperlihatkan masa paruh lebih panjang,
kira-kira 4-5 jam, sehingga efek asetoheksamid lebih lama daripada tolbutamid.
Kira-kira 10% dari metabolit asetoheksamid diekresi melalui empedu dan
dikeluarkan bersama tinja. Dosisnya 0,25-1,25 g, dosis tunggal atau dalam
beberapa dosis. Isi tablet 250 mg, 500 mg. Masa kerja 12-24 jam.
c. Tolazamid
Diserap lebih lambat diusus daripada sediaan lainnya; efeknya terhadap kadar
glukosa darah belum nyata untuk beberapa jam setelah obat diberikan. Masa paruh
kira-kira 7 jam. Dalam tubuh tolazamid diubah menjadi p-karboksitolazamid, 4-
hidroksi metiltolazamid dan senyawa-senyawa lain; beberapa diantaranya memiliki
sifat hipoglikemik yang cukup kuat. Tolazamid memiliki sifat khusus yaitu
menurunkan resistensi insulin dijaringan hati dan diluar hati serta pemberian
jangka panjang dapat memperbaiki resistensi insulin. Dosisnya 100-250 mg, dosis
tunggal atau dalam beberapa dosis. Isi tablet 100 mg, 250 mg masa kerja 10-14
jam.
beberapa minggu. Dosisnya 100-500 mg, dosis tunggal. Isi tablet 5 mg. Masa
kerja 15 jam.
i. Glibornuride
Mempunyai sifat khusus yaitu menekan sekresi glukosa dari hati, sehingga lebih
bermanfaat untuk menekan peningkatan gula darah puasa. Selain itu juga
meningkatkan kerja insulin melalui tingkat reseptor dan postreseptor. Dosisnya
12,5-100 mg. Isi tabletnya 12,5 mg.
Glinid
Glinid merupakan obat generasi baru yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari dua macam obat yaitu :
a. Repraglinid (Novonorm)
Merupakan derivat asam benzoat. Mempunyai efek antihipoglikemik ringan
sampai sedang. Diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Efek samping yang dapat terjadi pada
obat ini adalah keluhan gastrointestinal.
b. Nateglinid (Starlix)
Cara kerja hampir sama dengan repaglinide, namun merupakan derivat dari
fenilalanin. Diabsorbsi cepat setelah pemberian oral dan diekskresi secara
terutama melalui urin. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat
ini adalah keluhan infeksi saluran pernapasan atas.
b. Fenformin
Pada terapi fenformin pada umumnya tidak terjadi efek toksik yang hebat.
Beberapa penderita mengalami mual, muntah diare serta kecap logam (metallic
taste); tetapi dengan menurunkan dosis keluhan-keluhan tersebut segera hilang.
Pada beberapa penderita yang mutlak bergantung pada insulin luar, kadang-kadang
biguanid menimbulkan ketosis yang tidak disertai dengan hiperglikemia (starvation
ketosis). Dari berbagai derivat biguanid, data fenformin yang paling banyak
terkumpul tetapi sediaan ini kini dilarang dipasarkan di Indonesia karena bahaya
asidosis laktat yang mungkin ditimbulkannya. Di Eropa fenformin digantikan
metformin yang kerjanya serupa fenformin tetapi diduga lebih sedikit
menyebabkan asidosis laktat. Dosisnya 50-150 mg perhari isi tablet 25 mg.
Thiazolindion / Glizaton
Thiazolindion berikatan pada peroxisome proliferator activated receptor gamma
suatu reseptor inti sel di sel otot dan sel lemak.
Contoh obat golongan ini adalah :
a. Pioglitazon (Actos)
Mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
pentranspor glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat ini
dimetabolisme di hepar. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal
jantung karena dapat memperberat edema dan juga pada gangguan faal hati. Saat
ini tidak digunakan sebagai obat tunggal.
b. Rosiglitazon
Cara kerja hampir sama dengan pioglitazon, diekskresi melalui urin dan feses.
Mempunyai efek hipoglikemik yang cukup baik jika dikombinasikan dengan
metformin. Pada saat ini belum beredar di Indonesia.
B. INSULIN
(Actrapid HM / Actrapid HM Penfill, Humulin, Insulatard HM / Insulatard HM
Penfill, Mixtard 30 HM / Mixtard HM Penfill, Monotard HM)
Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh sel beta pulau Langerhans kelenjar
pankreas. Insulin menstimulasi pemasukan asam amino kedalam sel dan kemudian
meningkatkan sintesa protein. Insulin meningkatkan penyimpanan lemak dan mencegah
penggunaan lemak sebagai bahan energi. Insulin menstimulasi pemasukan glukosa ke
dalam sel untuk digunakan sebagai sumber energi dan membantu penyimpanan glikogen
didalam sel otot dan hati.
Insulin endogen adalah insulin yang dihasilkan oleh pankreas, sedang insulin eksogen
adalah insulin yang disuntikan dan merupakan suatu produk farmasi.
5. Ketoasidosis diabetik
6. Hiperglikemik hiperosmolar non ketotik
7. Penyandang DM yang mendapat nutrisi parenteral atau yang memerlukan
suplemen tinggi kalori, untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat,
secara bertahap akan memerlukan insulin eksogen untuk mempertahankan kadar
glukosa darah mendekati normal selama periode resistensi insulin atau ketika
terjadi peningkatan kebutuhan insulin.
8. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat.
9. Kontra indikasi atau alergi terhadap obat hipoglikemi oral
Yang termasuk di sini adalah insulin regular ( Crystal Zinc Insulin / CZI )
Saat ini dikenal 2 macam insulin CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral.
Preparatnya antara lain : Actrapid, Velosulin , Semilente
Insulin jenis ini diberi 30 menit sebelum makan, mencapai puncak setelah
1 3 macam dan efeknya dapat bertahan sampai 8 jam.
2. Insulin Kerja menengah :
VI. Pencegahan
1. Pencegahan primer: mencegah agar tidak timbul penyakit Diabetes.
2. Pencegahan sekunder: mencegah agar walaupun sudah terjadi penyakit,
penyulitnya tidak terjadi.
3. Pencegahan tersier: mencegah supaya tidak terjadi kecacatan lebih lanjut,
misalnya senam kaki diabetes.
VII. Anjuran
1. Kurangi berat badan
2. Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal
3. Kontrol kesehatan secara teratur, terutama jika terdapat luka yang tidak
menyembuh
4. Kontrol kadar gula secara teratur.
VIII. Kesimpulan
Diabetes melitus pada lanjut usia merupakan penyakit metabolik kronis yang
memiliki gejala hiperglikemik yang disebabkan karena defek sekresi insulin.
Diabetes melitus pada lanjut usia seringkali tidak menimbulkan gejala dan terlambat
diketahui. Oleh sebab itu untuk mencegah komplikasi yang lebih lanjut dengan
prinsip meningkatkan kualitas hidup para lanjut usia digunakan pengelolaan diabetes
melitus pada lanjut usia disesuaikan dengan pilar pengelolaan diabetes seperti :
edukasi, perencanaan makanan, latihan jasmani dan intervensi farmakologi. Disertai
anjuran yang dapat mencegah komplikasi yang lebih berat seperti kurangi berat
badan, olahraga teratur, menjaga berat badan ideal, kontrol kesehatan dan kadar gula
secara teratur.
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, R. Boedhi, H. Hadi Martono. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta : 1999.
Katzung, Bertran G. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerbit : Salemba Medika. Jakarta :
2004.
Olson, DE, Norris, SL. Diabetes in Older Adults : Overview of AGS Guidelines for the
Treatment of Diabetes Mellitus in Geriatric Populations. American Geriatric
Society : www.geri.com.USA : 2004
Setiono, Mangoenprasojo. Hidup Sehat dan Normal dengan Diabetes. Penerbit Think
Fresh. Yogyakarta : 2001
Suyono, S., dkk. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Cetakan V. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta : 2005
Syarif, Amir, dkk. Farmakologi dan Terapi, edisi IV (dengan perbaikan). Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 1995
William, R Hazard, et al. Principal of Geriatric Medicine and Gerontology, vol. I. USA :
McGraw-Hill : 1990