PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai
adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang berulangdan timbul terutama pada malam
atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernapasan. Penyakit ini masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di hampir semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak
sampai dewasa dengan derajat penyakit dari ringan sampai berat, bahkan beberapa kasus
dapat menyebabkan kematian. Asma merupakan penyakit kronis yang sering muncul pada
masa kanak-kanak dan usia muda sehingga dapat menyebabkan kehiangan hari-hari sekolah
atau hari kerja produktif yang berarti, juga menyebabkan gangguan aktivitas sosial, bahkan
berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak.
I.2 Tujuan
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.2 Epidemiologi
Asma dapat timbul pada segala umur, di mana 30% penderita mempunyai gejala pada
umur 1 tahun, sedangkan 8090% anak yang menderita asma gejala pertamanya muncul
sebelum usia 45 tahun. Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang hanya mendapat
serangan ringan sampai sedang yang relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma
berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus menerus dari pada musiman. Hal
tersebut yang menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya di sekolah,
aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari.4
2
Hasil penelitian menggunakan kuesioner ISAAC di beberapa kota di Indonesia
menunjukkan hasil yang cukup bervariasi. Prevalens berkisar antara 3% di Bandung
(Kartasasmita CB) sampai 8% di Palembang (Tanjung) pada usia kelomok 6-7 tahun.
Sedangkan pada kelompok 13-14 tahun kisaran antara 2,6% di Bandung (Rosalina I) dan
tertinggi di di Subang 24,4% (Sundaru). Tingginya prevalens asma di Subang yang
dibandingkan dengan prevalens pada kelompok sama di Jakarta (12,5%), hampir dua kali
lipat. Hal ini diduga disebabkan oleh tingginya angka polusi udara di Subang akibat sulfur
dari Gunung Tangkuban Perahu (Sundaru). Di Bandung dilakukan penelitian ulangan dengan
kuesioner yang sama pada kelompok 13-14 tahun, setelah 5 tahun terjadi peningkatan 2 kali
lipat menjadi 5,2% (Kartasasmita CB). Pada tahun 2012, hasil penelitian di daerah rural
kotamadya Bandung pada anak usia 7-14 tahun mendapatkan hasil prevalens asma sebesar
9,6% dari 332 subyek penelitian (Kartasasmita dkk).3
3
A. Faktor Penjamu
1. Genetik
Genetik memegang perana penting dalam etiologi, patogenesis dan tatalaksana asma.
Asma merupakan suatu complex antigen disorder, yang dipengaruhi oleh banyak
gen, sehingga tidak mengikuti pola pewarisan Mendelian. Saat ini telah dikenal
terdapat 80 gen yang berkaitan dengan asma. Gen terbaru yang ditemukan berkaitan
dengan kejadian asma adalah gen ADAM-33 pada tahun 2002, gen ini dikaitkan
dengan hiperaktivitas bronkus dan airway remodelling. Gen tersebut terletak di lengan
pendek kromosom 20. Ekspresi dari gen ADAM-33 ditemukan pada sel otot polos
saluran repiratori, miofibroblas dan fibroblas, tetapi tidak ditemukn pada sel epitel, sel
T atau leukosit. Ekspresi selektif ini memperkuat dugaan bahwa gangguan aktivitas
pada ADAM-33 merupakan dasar terjadinya abnormalitas fungsi sel otot polos
saluran repiratori dan fibroblas, yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus dan airway
remodelling.
2. Jenis Kelamin
Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma pada
anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5-2 kali lipat anak perempuan. Namun,
belakangan dari benua Amerika dilaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan prevalens
antara anak laki-laki dan perempuan. Menurut laporan MMM (2001), prevalens asma
pada anak laki-laki leboh tinggai daripada aank perempuan, dengan rasio 3:2 pada
usia 6 sampai 11 tahun dan meningkat menjadi 8:5 pada usia 12 sampai 17 tahun.
3. Ras Etnik
Menurut laporan di Amerika Serikat, prevalens asma dan kejadian serangan asma
ditemukan lebih tinggi pada ras kulit hitam. Tingginya prevalens tersebut tidak
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan maupun pendapatan. Selain prevalens, tingkat
kematian pada ras kulit hitam juga lebih tinggi.
4. Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma presisten dan
beratnya asma. Menurut laporan dari inggris, anak dengan riwayat mengi, akan
memiliki resiko 2 kali lipat lebih besar untuk mengalami serangan berulang jika
pernah mengalami rhinitis alergi, hay fever, dan eksema. Menurut laporan anak
dengan mengi presisten dalam kurun waktu 6 tahun pertama kehidupannya, memiliki
kadar IgE lebih tinggi pada usia 9 tahun, dibandingkan anak yang tidak pernah
mengalami episode mengi.
4
B. Faktor Lingkungan
1. Lingkungan
2. Asap Rokok
3. Outdoor air pollution
4. Infeksi respiratorik
Proses inflamasi yang progresif dan persisten membuat aliran udara semakin terbatas.
Banyak sel yang berperan dalam proses inflamasi ini, dimana melibatkan peningkatan
5
eosinofil dan sitokin Th2 sebagaimana juga digunakan sebagai biomarker dalam
pengobatan.vii Meningkatnya jumlah eosinofil berkorelasi dengan derajat keparahan asma
karena eosinofil mengandung enzim-enzim inflamasi, leukotriens, dan sitokin pro-inflamasi.
Th2 dan IL-5 yang dihasilkan oleh sumsum tulang meningkatkan jumlah eosinofil.6
Selanjutnya eosinofil akan masuk ke matriks saluran napas dan bertahan lama akibat adanya
IL-4 dan GM-CSF. IL-4 penting untuk diferensiasi Th2, dan diperlukan IL-13 untuk
pembentukan IgE. Banyaknya mediator yang berperan tersebut menyebabkan inflamasi yang
persisten, termasuk edema lokal, hipersekresi mukus, hipertropi serta hiperplasia otot polos
jalan napas.viii
Hiperresponsif jalan napas termasuk dalam salah satu fakto resiko dalam
perkembangan gejala asma pada dewasa dan anak-anak, yang terkait dengan keparahan
gejala, penurunan fungsi paru, dan sebagai penentu pengobatan. Hiperresponsif bronkus
merupakan respon obstruksi jalan napas yang berlebihan akibat stimulus obat-obatan, kimia
dan fisik termasuk histamin, metakolin, AMP, sulfur dioksida, asap, dan udara dingin.ix
Struktur utama jalan napas yaitu sel epitel, fibroblas, dan sel otot polos. Respon
terhadap inflamasi adalah dengan perbaikan jalan napas, akan tetapi perbaikan jalan napas
pada penderita asma merupakan perbaikan patologis dengan perubahan struktur jalan napas
yang disebut remodelling. Remodelling mempunyai karakteristik penebalan subepitel oleh
karena deposisi kolagen, denudasi epitel dengan metaplasia sel goblet, meningkatkan lapisan
otot polos, angiogenesis, dan masuknya komponen matriks ekstraselular seperti kolagen,
proteoglikan, glikoprotein pada dinding saluran napas.7
6
Gambar 3. Saluran napas pada penderita asma
Secara skematik konsekeunsi klinik dari remodeling saluran repiratori dapat dilihat
sebagai berikut :
7
napas, baik secara fisiologis (oleh karena dahak) maupun secara anatomik (oleh karena
konstriksi).4 Namun, mengi kadang tidak ditemukan atau hanya ditemukan bila dengan
ekspirasi paksa saat eksaserbasi asma yang berat, hal ini disebut juga silent chest. Gejala
dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosa asma. Karakteristik
yang mengarah ke asma adalah:3
a) Gejala timbul secara episodik atau berulang
b) Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu bahkan dalam 24
jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal)
c) Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.
d) Timbul bila ada faktor pencetus :
1) Iritan : asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara
kering, makanan atau minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna
makanan.
2) Alergen : debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
3) Infeksi respiratori akut karena virus.
4) Aktivitas fisik : berlarian, berteriak, menangis atau tertawa berlebihan.
e) Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
Pada anak usia dibawah 5 tahun diagnosis asma didasarkan pada pendekatan
probabilitas yang terdiri dari kompnen komponen pada skema dan tabel berikut :
8
Gambar 6. Skema Kemungkinan Asma pada anak balita
Tabel 5. Gambaran Klinis yang Mendukung Diagnosis Asma pada anak balita
9
obstruksi jalan napas
reversibiliti kelainan faal paru
variabiliti faal paru,
sebagai penilaian tidak langsung hiperesponsif jalan napas. Banyak parameter dan metode
untuk menilai faal paru, tetapi yang telah diterima secara luas (standar) dan mungkin
dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan.
Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan
spirometer.
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat,
diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang lebih
sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif sangat
murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan
kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat.3
Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara, yaitu:
Variabilitas pada PFR atau FEV1 >13%.
Reversibiliti, yaitu Kenaikan >12% pada PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi
bronkodilator .
10
gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit
tidak dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan
tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam
diagnosis alergi/ atopi.x
D. Uji terapi
Uji terapi dengan menggunakan bronkodilator inhalasi short acting agonis 2, atau bila
diperlukan steroid inhalasi dosis rendah yang diberikan selam 2-3 bulan. apabila gejala
berkurang selama pengobatan dan memberat paa saat pengobatan dihentikan maka diagnosis
asma menjadi lebh kuat.3
11
Batuk/wheezing/sesak napas/
dada tertekan/produksi sputum
Patut diduga asma bila memenuhi 2 dari 5 kriteria:
Timbul kronik atau berulang
Gejala berfluktuasi intensitasnya seiring waktu
Gejala memberat pada malam hari atau dini hari
Timbul bila ada pencetus
Riwayat alergi pada pasien/ keluarga
Ya Tidak
Ya
Ya Tata laksana sesuai
ASMA** Respons diagnosis lain
Tidak
Respons
12
II.6 Klasifikasi asma
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahan atau asma terkontrol. Berat-
ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran klinik sebelum
pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis dan
uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi
obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat
menentukan berat-ringannya suatu penyakit. Pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat
menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma dan sangat penting dalam
penatalaksanaan asma.
Klasifikasi kekerapan dibuat pada kunjungan-kunjungan awal dan dibuat berdasarkan
anamnesis:
Tabel 1. Derajat asma berdasarkan kekerapan
Derajat asma Uraian kekerapan gejala asma
Intermitten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar gejala 6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir setiap hari
13
Tabel 2. Derajat asma berdasarkan keadaan saat ini (usia >5 tahun)
Tabel 3. Derajat asma berdasarkan keadaan saat ini (usia <5 tahun)
Klasifikasi berdasarkan derajat kendali, dipakai untuk menilai keberhasilan tata laksana
yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang (step up), pemeliharaan (maintenance)
atau turun jenjang (step down) tata laksana yang akan diberikan.
Klasifikasi berdasarkan derajat kendali meliputi:
Asma terkendali penuh
o Tanpa obat pengendali: pada asma intermitten
o Dengan obat pengendali: pada asma persisten
14
Asma terkendali sebagian
Asma tidak terkendali
15
Tahapan penegakkan diagnosis asma dilakukan berdasarkan alur diagnosa dan
klasifikasi asma:
1. Diagnosis: Asma
Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tata laksana umum yaitu
penghindaran pencetus, pereda dan tata laksana penyakit penyulit.
2. Diagnosis klasifikasi kekerapan
Dibuat dalam waktu 6 minggu setelah dibuat diagnosis asma, dapat kurang dari 6
minggu bila informasi klinis sudah kuat. Untuk dapat menilai derajat kekerapan
dengan lebih akurat, minimal pasien sudah mengalami gejala asma selama 6 bulan.
Diagnosis kekerapan yang dibuat pada saat awal akan menetap dari waktu ke waktu
kecuali dalam pelaksanaan tata laksana jangka panjang kekerapan gejala jelas
mengalami perubahan menjadi derajat yang lebih rendah atau tinggi.
3. Diagnosis derajat kendali
Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai klasifikasi
kekerapan.
16
dalam kunjungan gawat darurat.xi Kepatuhan menggunakan obat ini menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat asma dengan perkiraan 21% penurunan resiko kematian akibat
serangan asma.xii
Efek samping yang mungkin pada penggunaan kortikosteroid inhalasi lebih minimal
daripada kortikosteroid sistemik. Hal ini bergantung pada dosis, potensi bioavailabiliti,
metabolisme hati, dan waktu paruhnya. Obat inhalasi kortikosteroid dosis tinggi yang
digunakan jangka panjang bisa menimbulkan efek sistemik seperti purpura, supresi adrenal
dan penurunan densitas tulang. Namun, dengan menggunakan spacer dapat mengurangi efek
samping sistemik dengan menurunkan bioavailabiliti. Selain itu, spacer juga membantu untuk
mengurangi efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk akibat
iritasi saluran napas atas.
b. Kortikosteroid sistemik
Penggunaan kortikosteroid jangka lama lebih direkomendasikan secara inhalasi
daripada sistemik akibat efek samping pemberian sistemik lebih serius. Namun, pemberian
sistemik dapat diberikan pada penderita asma persisten berat yang tidak terkontrol.
Penggunaan sistemik secara oral lebih dianjurkan dari parenteral (intramuskular, intravena,
subkutan) karena pertimbangan waktu paruh oral lebih singkat dan efek samping yang
muncul lebih sedikit.
Efek samping yang ditakutkan misalnya osteoporosis, hipertensi, diabetes, obesitas,
penekanan axis hipotalamus-hipofisa-korteks adrenal, purpura, penipisan kulit, striae, disfoni.
c. Agonis beta-2 kerja lama (Long-acting 2-agnonist) inhalasi
Mekanisme kerja obat beta-2 agonis yaitu melalui reseptor 2 yang mengakibatkan
relaksasi otot polos bronkus. Formoterol dan salmeterol termasuk dalam golongan LABA ini,
kedua obat itu memiliki lama kerja obat >12 jam. Namun, obat golongan LABA sebaiknya
tidak digunakan sebagai monoterapi jangka panjang karena tidak mempengaruhi respon
inflamasinya justru meningkatkan angka kesakitan dan kematian. LABA dikombinasi dengan
kortikosteroid inhalasi telah terbukti sangat efektif dalam mengurangi gejala asma dan
eksaserbasi dengan menunjukkan hasil fungsi paru yang lebih baik. Kombinasi LABA dan
kortikosteroid inlamasi hanya direkomendasikan untuk pasien yang gagal mencapai asma
terkontrol dengan kortikosteroid dosis rendah-medium.
d. Kromolin: sodium kromoglikat dan sodium nedokromil
Kromolin dan nedokromil merupakan obat alternatif dalam pengobatan asma persisten
ringan. Kromglikat dan nedokromil memiliki sifat yang sama yaitu sebagai obat anti-
inflamasi. Obat ini memblok kanal klorida dan modulasi pelepasan mediator sel mast dan
17
eosinofil.8 Kromolin juga bisa menghambat reaksi asma fase cepat dan fase lambat, meskipun
permulaan percobaan obat ini hanya berperan pada sel mast untuk mensupresi pengeluaran
histamin, ternyata dapat menghambat generasi sitokin juga.xiii Namun, efek anti-inflamasi
kromolin lemah dan kurang efektif jka dibandingkan dengan inhalasi kortikosteroid dosis
rendah.
e. Methyxanthine
Teofilin merupakan derivat xantin. Efek terpenting xantin ialah relaksasi otot polos
bronkus, terutama bila otot bronkus dalam keadaan konstriksi. Efek bronkodilatasi teofilin
disebabkan oleh antagonisme terhadap reseptor adenosin maupun inhibisi PDE
(fosfodiesterase). Adenosin dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma dan
memperkuat penglepasan mediator dari sel mast. Oleh karena teofilin merupakan antagonis
kompetitif reseptor adenosin, maka hal ini yang mengatasi bronkokonstriksi pasien asma.
Selain itu, penghambatan PDE mencegah pemecahan cAMP dan cGMP sampai terjadi
akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel yang mengakibatkan relaksasi otot polos termasuk
otot polos bronkus.xiv
Telah dilakukan berbagai penelitian bahwa teofilin efektif sebagai kontrol gejala dan
perbaikan terhadap fungsi paru, sehingga teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat
digunakan sebagai pengontrol. Kombinasi kortikosteroid dengan teofilin sebagai alternatif
menunjukkan perbaikan fungsi paru namun teofilin tidak lebih efektif dari inhalasi beta-2
agonis.
f. Leukotriene modifiers
Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat reseptor cysteinyl-leukotriene 1
(CysLT1) dan enzim 5-lipoksigenase. Leukotrin merupakan derivat asam arakidonat. Asam
arakidonat dipecah fosfolipase A2 menjadi arakidonat bebas.
Enzim 5-lipoksigenase ini selanjutnya mengkonversi asam arakidonat bebas menjadi
leukotrin A4 dan akhirnya akan diubah menjadi leukotrin C4, D4, E4. Leukotrin yang sudah
terbentuk berikatan dengan reseptornya yaitu CysLT1 yang ditemukan pada eosinofil,
monosit, sel-sel otot polos saluran napas, neutrofil, sel B, sel plasma, dan makrofag jaringan.
Dari mekanisme di atas, terlihat bahwa leukotrin dianggap sebagai mediator inflamasi yang
mampu mengaktivasi eosinofil, meningkatkan permeabilitas mikrovaskuler, sekresi mukus,
proliferasi dan penyempitan otot polos, serta diduga efek bronkokonstriksi yang disebabkan
oleh leukotrin lebih besar daripada efek oleh histamine.xv
Leukotriene modifiers digunakan sebagai terapi tambahan dengan kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid. Namun, beberapa penelitian mengatakan bahwa leukotriene modifiers
18
kurang efektif jika dibandingkan dengan inhalasi 2 agonis sebagai tambahan terapi. Zileuton
menghambat langsung kerja enzim 5-lipoxygenase; montelukas, pranlukas, dan zafirlukas
menghambat reseptor leukotrin.
II.7.2 Obat relievers
Prinsip kerja obat pelega (relievers) adalah sebagai bronkodilator untuk membantu
mengatasi bronkokonstriksi jalan napas dan gelaja yang menyertainya seperti sesak, mengi,
batuk, dan dada terasa berat.
a. Short-acting 2 agonis inhalasi (SABA)
SABA merupakan obat yang paling efektif mengatasi bronkospasme saat eksaserbasi
asma akut dan juga dapat mencegah exercice-induced asthma. Golongan SABA dapat
diberikan secara inhalasi, oral, atau parenteral. Namun pemberian yang lebih
direkomendasikan adalah dengan inhalasi karena mempertimbangkan kerja obat yang cepat
juga efek samping yang minimal. SABA memiliki mekanisme sama seperti obat 2 agonis
lain yaitu dengan merelaksasi jalan napas, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permiabilitas vaskuler, dan memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan
eosinfil. Yang termasuk obat golongan SABA adalah salbutamol, levalbuterol, biltolterol,
pirbuterol, isoproterol, metaproternol, terbutaline,epinephrine.
b. Anticholinergic
Obat golongan ini berupa ipatropium dan oxitropium bromida. Mekanisme kerja obat
golongan ini adalah sebagai bronkodilatasi dengan kompetitf menghambat reseptor
muskarinik kolinergik, menurunkan tonus intrinsik vagus, blokade reflex bronkokonstriksi
akibat zat iritan atau reflux esofagus, dan menurunkan sekresi mukus. Pemberian secara
inhalasi bronkodilator antikolinergik ini kurang efektif jika dibandingkan dengan SABA.
Namun, Obat ini dapat diberikan pada pasien yang tidak respon terhadap SABA atau sebagai
alternatif pada penderita yang memilik efek samping seperti takikardi, aritmia, tremor dengan
pemakaian SABA.
c. Methylxantin
Pemberian teofilin dapat dipertimbangkan karena efek bronkodilatasinya akibat inhibisi
aktivitas PDE untuk mengatasi gejala asma. Tetapi efek bronkodilatasinya lebih lemah dari
short-acting beta-2 agonis. Penambahan teofilin kerja singkat dengan obat golongan SABA
tidak memperkuat respon bronkodilatasi namun dapat bermanfaat untuk respiratory drive.
Pemberian teofilin kerja singkat tidak dianjurkan pada pasien yang sudah mendapat terapi
teofilin lepas lambat kecuali ada dilakukan monitoring kadarnya dalam darah.
19
II.7.3 Langkah pemberian terapi pengendali
1. Acuan awal penetapan jenjang tatalaksana jangka panjang menggunakan klasifikasi
kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 6-8 minggu dan asma
belum terkendali, maka tatalaksana naik jenjang di atasnya (step up).
3. Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan asma
terkendali penuh, maka tatalaksana turun jenjang di bawahnya (step down).
4. Perubahan jenjang tatalaksana harus memperhatikan aspek-aspek penghindaran,
penyakit penyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tatalaksana ditambahkan Omalizumab.
II.8 Prognosis
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan mengi tidak berlanjut
menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara 45
hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan lamanya pemantauan.
Peningkatan IgE serum dan uji kulit yang positif khususnya terhadap tungau debu rumah
pada bayi, dapat memperkirakan mengi persisten pada masa anak. Adanya dermatitis atopik
merupakan prediktor terjadinya asma berat.3
20
II.9 Komplikasi
Komplikasi asma serangan berat adalah pneumotoraks, pneumomediastinum,
atelektasis dan gangguan asam basa seperti asidosis laktat. Pneumotoraks dan
pneumomediastinum terjadi karena pecahnya alveolus yang dapat terjadi karena barotrauma
sedangkan atelektasis terjadi karena adanya sumbatan saluran respiratorik akibat hipersekresi
dan edema serta bronkokonstriksi. Asidosis laktat dapat terjadi karena meningkatnya proses
glikogenolisis dengan hasil akhir asam laktat karena proses anaerob akibat hipoksemia. Pada
keadaan aerob, piruvat sebagai produk dari glikogenolisis diubah menjadi H2O dan CO2,
sedangkan pada keadaan anaerob (hipoksia) piruvat diubah menjadi laktat.xvi
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Asthma, 2015. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
Available from: http://www.ginasthma.org. [Accessed 8 February 2017]
2. Raharjoe, N, Kartasasmita, CB, dkk, 2016. Pedoman Nasional Asma Anak. Ed 2. Jakarta :
Badan Penerbit : Ikatan Dokter Anak Indnesia.
3. Medecins Sans Frontieres, 2016. Clinical Guidelines-Diagnosis and Treatment Manual.
Available from: http://refbooks.msf.org/msf_docs/en/clinical_guide/cg_en.pdf
22
i
Papaiwannou, A., et al., 2014. Asthma-chronic obstructive pulmonary disease overlap syndrome (ACOS): current literature review. J
Thorac Dis. 6(S1): S146-S151.
ii
Global Initiative for Asthma, 2014. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. Available from:
http://www.ginasthma.org. [Accessed 8 February 2017]
iii
Raharjoe, N, Kartasasmita, CB, dkk, Pedoman Nasional Asma Anak. Ed 2. Jakarta : Badan Penerbit : Ikatan Dokter Anak
Indnesia. 2016
iv Djojodibroto, R.D., 2012. Penyakit non-infeksi saluran pernapasan. In: Respirologi. Jakarta: ECG, 105-127.
vVercelli, D., 2010. Gene-environment interactions in asthma and allergy: the end of the beginning. Curr Opin Allergy Clin
Immunol. 10(2): 145-148.
vi Ishmael, T., Faoud, 2011. The inflammatory response in the pathogenesis of asthma. JAOA. 111(11): S11-S17.
vii Manuyakorn, Wiparat, 2014. Airway remodelling in asthma: role for mechanical forces. Asia Pac Allergy. 4:19-24.
viii
NHLBI, 2007. The Expert Panel Report 3 : Guidelines for the diagnosis and management of asthma. Available from:
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/asthma/asthgdln.pdf. [Accessed 8 February 2017].
ix
Meurs, H., Gosens, R. & Zaagsma, J., 2008. Airway hyperresponsiveness in asthma : lessons from in vitro model systems
and animal models. Eur Respir J. 32: 487-502.
x Persatuan Dokter Paru Indonesia, Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia, 2005.
xi
Raissy, H. H., Kelly, H. W., Harkins, M. & Szefler, S. J, 2013. Inhaled corticosteroids in lung diseases. Am J Respir Crit Care
Med. 187: 798- 803
xii
Sloan, D., Chantel, et al. 2013. Reactive versus proactive patterns of inhaled corticosteroid use. Annals ATS. 10(2): 131-
134.
xiii
Yazid, S., Sinniah, A., Solito, E., Calder, V. & Flower, R. J., 2013. Anti-allergic cromones inhibit histamine and eicosanoid
release from activated human and murine mast cells by releasing annexin A1. PLOS. 8(3): e58983.
xiv
Louisa, M. dan Dewoto, R. 2008. Perangsang Susunan Saraf Pusat. Dalam Syarif, A., et al. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
xvScichilone, N., et al. 2013. Safety and efficacy of montelukast as adjunctive therapy for treatment of asthma in elderly
patients. Clin Interv Aging. 8: 1329-1337
xvi
Perdede, SO, Djer, MM, dkk, Tatalaksana serangan asma berat pada anak dalam Tatalaksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada
Anak, 2013
23