Sistem Imunologi
Sistem Imunologi
A. SEJARAH IMUNOLOGI
Pada mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari respons tubuh,
terutama respons kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546, Girolamo Fracastoro
mengajukan teori kontagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi terdapat suatu zat
yang dapat memindahkan penyakit tersebut dari satu individu ke individu lain, tetapi zat tersebut
sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada waktu itu belum dapat
diidentifikasi.
1. Edwar Jenner
Pada tahun 1798, Edward Jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari infeksi
variola secara alamiah, bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox). Sejak saat
itu, mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada waktu itu belum diketahui bagaimana
mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila tidak diiringi
dengan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran. Dengan ditemukannya
mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat dan mulai dapat ditelusuri
penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru dimulai setelah Louis
Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab penyakit infeksi dan dapat membiak
mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (germ theory) penyakit. Penemuan ini kemudian
dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin rabies pada manusia tahun 1885. Hasil karya Pasteur ini
kemudian merupakan dasar perkembangan vaksin selanjutnya yang merupakan pencapaian
gemilang di bidang imunologi yang memberi dampak positif pada penurunan morbiditas dan
mortalitas penyakit infeksi pada anak.
2. Robert Koch
Pada tahun 1880, Robert Koch menemukan kuman penyebab penyakit tuberkulosis. Dalam
rangka mencari vaksin terhadap tuberkulosis ini, ia mengamati adanya reaksi tuberkulin (1891)
yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap kuman tuberkulosis. Reaksi
tuberkulin ini kemudian oleh Mantoux (1908) dipakai untuk mendiagnosis penyakit tuberkulosis
pada anak. Imunologi mulai dipakai untuk menegakkan diagnosis penyakit pada anak. Vaksin
terhadap tuberkulosis ditemukan pada tahun 1921 oleh Calmette dan Guerin yang dikenal dengan
vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guerin). Kemudian diketahui bahwa tidak hanya
mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan kekebalan, bahan yang tidak hidup pun dapat
menginduksi kekebalan.
3. Alexander Yersin Dan Roux
Setelah Roux dan Yersin menemukan toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring dan
Kitasato menemukan antitoksin difteri pada binatang (1890). Sejak itu dimulailah pengobatan
dengan serum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam pengobatan
penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini di kemudian hari berkembang
menjadi pengobatan dengan imunoglobulin spesifik atau globulin gama yang diperoleh dari
manusia.
4. Clemens von pirquet
Dengan pemakaian serum kebal, muncullah secara klinis kelainan akibat pemberian serum
ini. Dua orang dokter anak, Clemens von pirquet dari Austria dan Bela Shick dari Hongaria
melaporkan pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikan serum kebal berasal dari kuda
terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang dinamakan penyakit serum
(serum sickness). Selain itu peneliti Perancis, Charles Richet dan Paul Portier (1901) menemukan
bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul dengan menyuntikkan zat toksin pada anjing
tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah keadaan sebaliknya yaitu kematian sehingga dinamakan
dengan istilah anafilaksis (tanpa pencegahan). Mulailah imunologi dilibatkan dalam reaksi lain
dari kekebalan akibat pemberian toksin atau antitoksin. Clemens von pirquet dari Austria (1906)
memakai istilah reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini. Pada tahun 1873 Charles Blackley
mempelajari penyakit hay fever, yaitu penyakit dengan gejala klinis konjungtivitis dan rinitis,
serta melihat bahwa ada hubungan antara penyakit ini dengan serbuk sari (pollen). Oleh Wolf
Eisner (1906) dan Meltzer (1910), penyakit ini dinamakan anafilaksis pada manusia (human
anaphylaxis).
Pada tahun 1911-1914, Noon dan Freeman mencoba mengobati penyakit hay fever dengan
cara terapi imun yaitu menyuntikkan serbuk sari subkutan sedikit demi sedikit. Dasarnya pada
waktu itu dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan harapan agar terbentuk
antitoksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih dipakai untuk mengobati penyakit alergi
terhadap antigen tertentu yang dikenal dengan cara desensitisasi. Akan tetapi mekanisme yang
sekarang dianut adalah berdasarkan pembentukan antibodi penghambat (blocking antibody).
Dengan penemuan reaksi tuberkulin, Schloss (1912) dan von Pirquet (1915) melakukan uji
gores (scratch test) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada anak. Talbot (1914), seorang
dokter anak, dengan uji gores melihat adanya hu- bungan antara asma anak dengan telur. Cooke
(1915) memodifikasi uji gores dengan uji intrakutan, dan melaporkan juga bahwa faktor
keturunan memegang peranan pada penyakit alergi. Pada tahun 1913, Shick juga
memperkenalkan uji kulit untuk menentukan kepekaan seseorang terhadap kuman difteri,
sehingga makin banyak fenomena imun diterapkan dalam uji diagnostik penyakit anak.
Pada tahun 1923, Cooke dan Coca mengajukan konsep atopi (strange disease) terhadap
sekumpulan penyakit alergi yang secara klinis mempunyai manifestasi sebagai hay fever, asma,
dermatitis, dan mempunyai predisposisi diturunkan. Mulailah ilmu alergi-imunologi diterapkan
dalam kelainan dan penelitian di bidang alergi klinis. Rackemann (1918) melihat bahwa sebagian
besar asma pada anak mempunyai dasar alergi dan dinamakan asma tipe ekstrinsik.Prausnitz dan
Kustner (1921) menyatakan bahwa zat yang menimbulkan sensitisasi kulit pada uji kulit dapat
ditransfer melalui serum penderita. Memang pada waktu itu mekanisme alergi yang tepat belum
diketahui. Kini berkat penelitian yang telah dilakukan, proses selular dan molekular yang terjadi
pada penyakit alergi dapat dijabarkan. Berbagai macam bentuk kelainan klinis berdasarkan
reaksi alergi-imunologi makin banyak ditemukan, terutama dengan bertambah banyaknya obat
yang dipakai untuk pengobatan dan diagnosis penyakit.
Dengan ditemukannya komplemen oleh Bordet (1894), uji diagnostik yang memakai
fenomena imun berkembang lagi dengan uji fiksasi komplemen (1901), seperti pada penyakit
sifilis. Pada tahun 1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa serum penderita
demam tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid.
Setelah Landsteiner (1900) menemukan golongan darah ABO, dan disusul dengan golongan
darah rhesus oleh Levine dan Stenson (1940) , maka kelainan klinis berdasarkan reaksi imun
semakin dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang terjadi baru dapat dijabarkan dengan
istilah imunologi saja. Baru pada tahun 1939, 141 tahun setelah penemuan Jenner, Tiselius dan
Kabat menemukan secara elektroforesis bahwa antibodi terletak dalam spektrum globulin gama
yang kemudian dinamakan imunoglobulin (Ig). Dengan cara imunoelektroforesis diketahui
bahwa imunoglobulin terdiri atas 5 kelas yang diberi nama IgA, IgG, IgM, IgD dan IgE (WHO,
1964), dan kemudian diketahui bahwa masing-masing kelas tersebut mempunyai subkelas. Pada
tahun 1959 Porter dan Edelman menemukan struktur imunoglobulin, dan tahun 1969 Edelman
pertama kali melaporkan urutan asam amino molekul imunoglobulin yang lengkap. Reagin, yaitu
faktor yang dianggap berperan pada penyakit alergi, baru ditemukan strukturnya oleh Kimishige
dan Teneko Ishizaka pada tahun 1967 dan merupakan kelas imunoglobulin E (IgE). Sekarang
banyak penelitian dilakukan mengenai regulasi sintesis IgE, dengan harapan dapat
menerapkannya dalam mengendalikan penyakit atopi.
5. Metchnikoff
Pada tahun 1883, Metchnikoff sebenarnya telah mengatakan bahwa pertahanan tubuh tidak
saja diperankan oleh faktor humoral, tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan tubuh
terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal fungsi fagositosisnya.
Beliaulah yang menemukan sel makrofag. Sekarang kita mengetahui bahwa sel makrofag aktif
berperan pada imunitas selular untuk eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964, Cooper dan Good
dari penelitiannya pada ayam menyatakan bahwa sistem limfosit terdiri atas 2 populasi, yaitu
populasi yang perkembangannya bergantung pada timus dan dinamakan limfosit T, serta
populasi yang perkembangannya bergantung pada bursa fabricius dan dinamakan limfosit B.
Tetapi pada waktu itu belum dapat dibedakan antara limfosit T dan limfosit B. Limfosit T
berperan dalam hipersensitivitas lambat pada kulit dan penolakan jaringan, sedangkan limfosit B
dalam produksi antibodi.
B. PENGERTIAN
Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan
organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan
melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat
asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga
berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu,
dapat berkembang dalam tubuh.Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel
tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa
jenis kanker.
D. RESPON IMUN
Tahap:
1. Deteksi dan mengenali benda asing
2. Komunikasi dengan sel lain untuk berespons
3. Rekruitmen bantuan dan koordinasi respons
4. Destruksi atau supresi penginvasi
1) Komplemen
Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruktif bakteri dan parasit karena:
a) Komplemen dapat menghancurkan sel membran bakteri
b) Merupakan faktor kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke tempat bakteri
c) Komponen komplemen lain yang mengendap pada permukaan bakteri memudahkan makrofag
untuk mengenal dan memfagositosis (opsonisasi).
2) Interferon
Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel manusia yang
mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus.Interveron
mempunyai sifat anti virus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus
sehingga menjadi resisten terhadap virus. Disamping itu, interveron juga dapat mengaktifkan
Natural Killer cell (sel NK). Sel yang diinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan
perubahan pada permukaannya. Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang kemudian
membunuhnya. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah.
3) Reactive Protein (CRP)
Peranan CRP adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP dibentuk
oleh badan pada saat infeksi. CRP merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat (100 x
atau lebih) setelah infeksi atau inflamasi akut.
CRP berperanan pada imunitas non spesifik, karena dengan bantuan Ca++ dapat mengikat
berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur.
d. Pertahanan seluler
Fagosit/makrofag dan sel NK berperanan dalam sistem imun non spesifik seluller.
1) Fagosit
Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis tetapi sel utama yang
berperaan dalam pertahanan non spesifik adalah sel mononuclear (monosit dan makrofag) serta
sel polimorfonuklear seperti neutrofil.
Dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik.
Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingakt sebagai berikut:
Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis), membunuh dan mencerna.Kemotaksis
adalah gerakan fagosit ketempat infekis sebagai respon terhadap berbagai factor sperti produk
bakteri dan factor biokimiawi yang dilepas pada aktivasi komplemen.Antibody seperti pada
halnya dengan komplemen C3b dapat meningkatkan fagosistosis (opsonisasi). Antigen yang
diikat antibody akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian dihancurkan. Hal tersebut
dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc dari immunoglobulin pada permukaan
fagosit.
2) Natural Killer cell (sel NK)
Sel NK adalah sel limfoid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak mempunyai cirri sel
limfoid dari siitem imun spesifik, maka karenan itu disebut sel non B non T (sel NBNT) atau sel
poplasi ketiga.
Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma dan interveron
meempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan dan efeksitolitik sel NK.
2. Sistem imun spesifik atau adaptasi
Mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing.Benda asing yang pertama kali muncul
dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitiasi sel-sel imun tersebut. Bila sel imun
tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini
akan dikenal lebih cepat, kemudian akan dihancurkan olehnya. Oleh karena sistem tersebut
hanya mengahancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu disebut
spesifik.
sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya,
tetapi umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen, fagosit dan antara sel
T makrofag.
Sistem imun spesifik ada 2 yaitu:
a. Sistem imun spesifik humoral
Yang berperanan dalam sistem imun humoral adalah limfosit B atau sel B. sel B tersebut
berasal dari sel asal multipoten. Bila sel B dirangsang oleh benda asing maka sel tersebut akan
berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat menbentuk zat anti atau antibody.
Antibody yang dilepas dapat ditemukan didalam serum.Funsi utama antibody ini ialah untuk
pertahanan tehadap infeksi virus, bakteri (ekstraseluler), dan dapat menetralkan toksinnya.
b. Sistem imun spesifik selular
Yang berperanan dalam sistem imun spesifik seluler adalah limfosit T atau sel T. sel tersebut
juga berasal dari sel asal yang sama dari sel B. factor timus yang disebut timosin dapat
ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat memberikan pengaruhnya
terhadap diferensiasi sel T diperifer. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset
yang mempunyai fungsi berlainan. Fungsi utama sel imun spesifik adalah untuk pertahanan
terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan.
Imunitas spesifik dapat terjadi sebagai berikut:
1) Alamiah
a) Pasif
Imunitas alamiah pasif ialah pemindahan antibody atau sel darah putih yang disensitisasi dari
badan seorang yang imun ke orang lain yang imun, misalnya melalui plasenta dan kolostrum dari
ibu ke anak.
b) Aktif
Imunitas alamiah katif dapat terjadi bila suatu mikoorgansme secara alamiah masuk kedalam
tubuh dan menimbulkan pembentukan antibody atau sel yang tersensitisasi.
2) Buatan
a) Pasif
Imunitas buatan pasif dilakukan dengan memberikan serum, antibody, antitoksin misalnya
pada tetanus, difteri, gangrengas, gigitan ular dan difesiensi imun atau pemberian sel yang sudah
disensitisasi pada tuberkolosis dan hepar.
b) Aktif
Imunitas buatan aktif dapat ditimbulkan dengan vaksinasi melalui pemberian toksoid tetanus,
antigen mikro organism baik yang mati maupun yang hidup.
2. Antibodi
a. Pengertian
Antibodi adalah protein immunoglobulin yang disekresi oleh sel B yang teraktifasi oleh
antigen.Antibodi merupakan senjata yang tersusun dari protein dan dibentuk untuk melawan sel-
sel asing yang masuk ke tubuh manusia.Senjata ini diproduksi oleh sel-sel B, sekelompok
prajurit pejuang dalam sistem kekebalan. Antibodi akan menghancurkan musuh-musuh
penyerbu.
b. Fungsi
1) Untuk mengikatkan diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen.
2) Membusukkan struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya.
c. Sifat Antibodi
Antibodi mempunyai sifat yang sangat luar biasa, karena untuk membuat antibodi spesifik
untuk masing-masing musuh merupakan proses yang luar biasa, dan pantas dicermati. Proses ini
dapat terwujud hanya jika sel-sel B mengenal struktur musuhnya dengan baik. Dan, di alam ini
terdapat jutaan musuh (antigen).Dia mengetahui polanya berdasarkan perasaan. Sulit bagi
seseorang untuk mengingat pola kunci, walau cuma satu, Akan tetapi, satu sel B yang
sedemikian kecil untuk dapat dilihat oleh mata, menyimpan jutaan bit informasi dalam
memorinya, dan dengan sadar menggunakannya dalam kombinasi yang tepat.
d. Proses Pembentukan Antibodi
1) Antibodi terbentuk secara alami di dalam tubuh manusia dimana substansi tersebut diwariskan
dari ibu ke janinnya melalui inntraplasenta. Antibody yang dihasilkan pada bayi yang baru lahir
titier masih sangat rendah, dan nanti antibody tersebut berkembang seiring perkembangan
seseorang.
2) Pembentukan antibody karena keterpaparan dengan antigen yang menghasilkan reaksi imunitas,
dimana prosesnya adalah:
Misalnya bakteri salmonella. Saat antigen (bakteri salmonella) masuk ke dalam tubuh, maka
tubuh akan meresponnya karena itu dianggab sebagai benda asing. karena bakteri ini sifatnya
interseluler maka dia tidak sanggup untuk di hancurkan dalam makrofag karena bakteri ini juga
memproduksi toksinsebagai pertahanan tubuh. Oleh karena itu makrofag juga memproduksi
APC yang berfungsi mempresentasikan antigen terhadap limfosit.agar respon imun berlangsung
dengan baik.Ada dua limfosit yaitu limfosit B dan limfosit T.
e. Klasifikasi Antibodi
1) IgG (Imuno globulin G)
IgG merupakan antibodi yang paling umum. Dihasilkan hanya dalam waktu beberapa hari,
ia memiliki masa hidup berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa tahun. IgG beredar
dalam tubuh dan banyak terdapat pada darah, sistem getah bening, dan usus. Mereka mengikuti
aliran darah, langsung menuju musuh dan menghambatnya begitu terdeteksi.Mereka mempunyai
efek kuat anti-bakteri dan penghancur antigen.Mereka melindungi tubuh terhadap bakteri dan
virus, serta menetralkan asam yang terkandung dalam racun.
Selain itu, IgG mampu menyelip di antara sel-sel dan menyingkirkan bakteri serta musuh
mikroorganis yang masuk ke dalam sel-sel dan kulit.Karena kemampuannya serta ukurannya
yang kecil, mereka dapat masuk ke dalam plasenta ibu hamil dan melindungi janin dari
kemungkinan infeksi. Jika antibodi tidak diciptakan dengan karakteristik yang memungkinkan
mereka untuk masuk ke dalam plasenta, maka janin dalam rahim tidak akan terlindungi melawan
mikroba. Hal ini dapat menyebabkan kematian sebelum lahir. Karena itu, antibodi sang ibu akan
melindungi embrio dari musuh sampai anak itu lahir.
2) IgA (Imuno globulin A)
Antibodi ini terdapat pada daerah peka tempat tubuh melawan antigen seperti air mata, air
liur, ASI, darah, kantong-kantong udara, lendir, getah lambung, dan sekresi usus.Kepekaan
daerah tersebut berhubungan langsung dengan kecenderungan bakteri dan virus yang lebih
menyukai media lembap seperti itu. Secara struktur, IgA mirip satu sama lain. Mereka mendiami
bagian tubuh yang paling mungkin dimasuki mikroba.Mereka menjaga daerah itu dalam
pengawasannya layaknya tentara andal yang ditempatkan untuk melindungi daerah kritis.
Antibodi ini melindungi janin dari berbagai penyakit pada saat dalam kandungan. Setelah
kelahiran, mereka tidak akan meninggalkan sang bayi, melainkan tetap melindunginya. Setiap
bayi yang baru lahir membutuhkan pertolongan ibunya, karena IgA tidak terdapat dalam
organisme bayi yang baru lahir. Selama periode ini, IgA yang terdapat dalam ASI akan
melindungi sistem pencernaan bayi terhadap mikroba. Seperti IgG, jenis antibodi ini juga akan
hilang setelah mereka melaksanakan semua tugasnya, pada saat bayi telah berumur beberapa
minggu.
3) IgM (Imuno globulin M)
Antibodi ini terdapat pada darah, getah bening, dan pada permukaan sel B. Pada saat
organisme tubuh manusia bertemu dengan antigen, IgM merupakan antibodi pertama yang
dihasilkan tubuh untuk melawan musuh.Janin dalam rahim mampu memproduksi IgM pada
umur kehamilan enam bulan. Jika musuh menyerang janin, jika janin terinfeksi kuman penyakit,
produksi IgM janin akan meningkat. Untuk mengetahui apakah janin telah terinfeksi atau tidak,
dapat diketahui dari kadar IgM dalam darah.
4) IgD (Imuno globulin D)
IgD juga terdapat dalam darah, getah bening, dan pada permukaan sel B. Mereka tidak
mampu untuk bertindak sendiri-sendiri. Dengan menempelkan dirinya pada permukaan sel-sel T,
mereka membantu sel T menangkap antigen.
5) IgE (Imuno globulin E)
IgE merupakan antibodi yang beredar dalam aliran darah.Antibodi ini bertanggung jawab
untuk memanggil para prajurit tempur dan sel darah lainnya untuk berperang.Antibodi ini
kadang juga menimbulkan reaksi alergi pada tubuh. Karena itu, kadar IgE tinggi pada tubuh
orang yang sedang mengalami alergi.
G. SISTEM KOMPLEMEN
Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein yang
satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada kedaan normal komplemen beredar di sirkulasi darah
dalam keadaan tidak aktif, yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua jalur yang tidak
tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi sistem
komplemen menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan berbagai substansi biologik aktif
yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi sistem komplemen tersebut selain
bermanfaat bagi pertahanan tubuh, sebaliknya juga dapat membahayakan bahkan mengakibatkan
kematian, hingga efeknya disebut seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat
endapan kompleks antigen-antibodi pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan terjadi
kerusakan jaringan dan dapat menimbulkan penyakit.
Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel hepatosit, dan juga oleh sel
fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah. Komplemen C l juga dapat di sintesis
oleh sel epitel lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit mononuklear
terutama akan disintesis ditempat dan waktu terjadinya aktivasi. Sebagian dari komponen protein
komplemen diberi nama dengan huruf C: Clq, Clr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9
berurutan sesuai dengan urutan penemuan unit tersebut, bukan menurut cara kerjanya.
1. Aktivasi Komplemen
a) Aktivasi komplemen jalur klasik
Aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau disebut pula jalur intrinsik, dibagi menjadi 3
tahap.
1) Regulasi jalur klasik, terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan
penghambatan C3 konvertase.
2) Aktivitas C1 inhibitor
Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1 dalam
peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi akan
melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.
3) Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh beberapa regulator.
b) Aktivasi komplemen jalur alternatif
Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa melalui tiga reaksi
pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1 ,C4 dan C2) dan juga tidak memerlukan antibodi
IgG dan IgM. Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus menerus dalam
jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan H2O2 ataupun dengan sisa enzim proteolitik
yang terdapat sedikit di dalam plasma. Komplemen C3 dipecah menjadi frclgmen C3a dan C3b.
Fragmen C3b bersama dengan ion Mg++ dan faktor B membentuk C3bB. Fragmen C3bB
diaktifkan oleh faktor D menjadi C3bBb yang aktif (C3 konvertase) (Lihat Gambar 5-2). Pada
keadaan normal reaksi ini berjalan terus dalam jumlah kecil sehingga tidak terjadi aktivasi
komplemen selanjutnya. Lagi pula C3b dapat diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi
iC3b, dan selanjutnya dengan pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat
dilarutkan dalam plasma (lihat Gambar 5-3 ) . Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat
yang dapat mengikat dan melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi
banyak, maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak pula, dan terjadilah
aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat tersebut dapat berupa mikroorganisme,
polisakarida (endotoksin, zimosan), dan bisa ular. Aktivasi komplemen melalui cara ini
dinamakan aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang tidak dapat mengaktivasi jalur klasik misalnya
IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif. Jalur alternatif
mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel sasaran. Dengan menempelnya C3b
pada permukaan sel sasaran tersebut, maka aktivasi jalur alternatif dimulai; enzim pada
permukaan C3Bb akan lebih diaktifkan, untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3 dalam jumlah
yang besar dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal
ini suatu protein lain, properdin dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh karena itu seringkali
jalur ini juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh proses aktivasi ini C3b akan terlindungi
dari proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I. Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi
yang terjadi setelah lingkaran aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan
berikatan pada permukaan membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang
berada pada permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan
dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur altematif
(kompleks serangan membran).
2. Efek Biologik Komplemen
Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi dalam dua golongan besar, 1)
lisis sel sasaran oleh kompleks serangan membran, dan 2) sifat biologik aktif fragmen yang
terbentuk selama aktivasi.
a) Sitolisis
Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan membran) yang berfungsi adalah C5-C9.
Mekanisme ini sangat penting bagi pertahanan tubuh melawan mikrooorganisme. Proses lisis ini
dapat melalui jalur alternatif maupun jalur klasik.
b) Sifat biologik aktif
1) Opsonisasi dan peningkatan fungsi fagositosis
Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b mungkin merupakan
mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan jamur secara sistemik Fagositosis ini
juga lebih meningkat bilamana bakteri disamping berikatan dengan komplemen juga berikatan
dengan antibodi IgG atau IgM. Melekatnya antibodi dan fragmen komplemen pada reseptor
spesifik yang terdapat pada sel fagosit tidak hanya menyebabkan opsonisasi, tetapi juga memacu
untuk terjadinya fagositosis.
I. REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular
tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I
hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III
hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif
tipe lambat).Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory
hipersensitivity.Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk
mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit.Dalam keadaan sebenarnya seringkali
keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan
mekanisme yang lainnya.
1. Reaksi Hipersentivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang timbul segera sesudah badan
terpajan dengan alergen.Semula diduga bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan
terhadap parasit tertentu terutama cacing.Istilah alergi pertama kali diperkenalkan oleh Von
Pirquet pada tahun 1906, yang diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini
allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig E.
Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
a. Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik
pada permukaan sel mastosit dan basofil.
b. Fase Aktivasi
Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya
yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
c. Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas
mastosit dengan aktivasi farmakologik.
IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh mastosit/basofil.
IgE yang sudah ada permukaan mastosit akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat
juga terjadi secara pasif apabila serum (darah) orang yang alergik dimasukkan ke dalam kulit
atau sirkulasi orang normal.
2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu.Reaksi ini dimulai dengan
antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau
hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut.Kemudian kerusakan
diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear.Mungkin terjadi sekresi atau
stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid.Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah
merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan
pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
a. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
b. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc
c. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks
antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan
mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan
komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik
yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis
kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang
berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim
pembentukan kinin. Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen
yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik
ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen
dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.
4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI),
Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam
setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi
tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang
sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi
menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di
permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi
allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll).Protein atau bahan kimia yang
dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier.Selain itu,
bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam
tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini
menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target).Kerusakan sel atau jaringan
yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman
(tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis,
histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis).