Anda di halaman 1dari 37

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pajak merupakan salah satu aspek penting di Indonesia, dimana

kesejahteraan dan kemandirian bangsa dalam berbagai aspek kehidupan. tidak

bisa lepas dari pembahasan mengenai sumber pendapatan negara. Hal ini

karena, untuk dapat mewujudkan hidup yang benar-benar sejahtera tanpa

bayang-bayang ketergantungan atau kekhawatiran tentang masa mendatang

diperlukan sumber pendapatan yang kuat dan mandiri. dan sumber

pendapatan negara dari pajak telah menjadi unsur utama dalam menunjang

kegiatan perekonomian, menggerakkan roda pemerintahan dan penyediaan

fasilitas umum bagi masyarakat. Bahkan secara persentase, menurut (Wijaya,

2012) setidaknya pajak memenuhi kurang lebih 70% pos penerimaan dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) (www.pajak.go.id). Ini

menunjukkan peranan pajak dalam mewujudkan stabilitas roda kehidupan

negeri ini harus makin ditingkatkan mengingat makin tingginya tuntutan

kebutuhan dan makin kompleksnya tantangan jaman, terutama memasuki Era

Globalisasi.

Tidak hanya dalam ruang lingkup global, pajak juga peting bagi

perusahaan dimana pajak merupakan cerminan kinerja perusahaan secara

keuangan. Sedangkan bagi Pemerintah, pajak merupakan pendapatan yang

saat ini menjadi salah satu perhatian khusus Pemerintah karena penerimaan

sektor pajak menjadi penerimaan yang perlu ditingkatkan untuk membiayai

seluruh pengeluaran negara yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyatnya.

1
Sejalan dengan perkembangan ekonomi, teknologi, informasi, sosial

dan politik, disadari perlu dilakukan perubahan Undang-Undang tentang

ketentuan umum dan tata cara perpajakan yakni dengan mengganti official

assessment system menjadi self assessment system yakni sistem pemungutan

pajak yang memberi wewenang penuh kepada Wajib Pajak untuk melakukan

perhitungan, pembayaran dan pelaporan sendiri atas besarnya pajak yang

harus dibayarkan oleh Wajib Pajak.

Berdasarkan sistem yang dianut oleh Indonesia tersebut, masyarakatlah

yang dituntut untuk dapat melakukan pendaftaran diri sebagai Wajib Pajak,

dengan melakukan perhitungan atas besarnya pajak yang terhutang, dan

melakukan pelaporan ke Kantor Pelayanan Pajak yang sesuai dan telah diatur

dalam Undang-Undang perpajakan.

Sumber pajak dalam negeri terbesar diproyeksikan berasal dari Pajak

Penghasilan nonmigas. Penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas,

sebagai satu-satunya jenis pajak yang bertumbuh, mencatatkan pertumbuhan

9,46% dibandingkan periode yang sama di tahun 2014. Berdasarkan data

yang tercatat pada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sampai dengan 31 Agustus

2015, penerimaan PPh Non Migas adalah sebesar Rp 320.997 triliun. Angka

ini lebih tinggi 9,46% dibandingkan periode yang sama di tahun 2014 dimana

PPh Non Migas tercatat sebesar Rp 293.250 triliun. Pertumbuhan yang

dicatatkan oleh PPh Non Migas diantaranya didukung oleh pertumbuhan PPh

Non Migas Lainnya, PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi, PPh PPh Final, PPh

Pasal 21, PPh Pasal 26, PPh Pasal 25/29 Badan, serta PPh Pasal 23. dan PPh

2
21 termasuk di dalam PPh non Migas yang beperan dalam peningkatan

pendapatan negara (Direktorat Jenderal Pajak, 2015).

Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan pajak yang dipungut melalui

With Holding Tax System yaitu melibatkan pihak ketiga yang berdasarkan

Undang-Undang diberi kewenangan untuk memotong Pajak Penghasilan

Pasal 21. Dengan sistem ini, mengharuskan pemotong pajak mampu dan

memahami tata cara perhitungan, pemotongan, penyetoran, dan pelaporan

Pajak Penghasilan Pasal 21 agar efektif dan efesien sehingga orientasi

pemberi kerja bisa tercapai.

Dalam rangka mengurangi perusahaan dari aspek perpajakan salah satu

cara adalah penyusunan perencanaan pajak dengan memilih metode

pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. Dari perencanaan pajak yang dipilih

dengan tepat akan menghasilkan beban pajak yang minimal yang merupakan

hasil dari penghematan pajak dan/atau penghindaran pajak yang dapat

diterima oleh fiskus dan sama sekali bukan karena penyelundupan pajak yang

tidak dapat diterima oleh fiskus dan tidak dapat ditolerir (Ruchjana, 2008).

Dalam perhitungan pajak penghasilan pasal 21 terdapat tiga metode

yang bisa digunakan oleh perusahaan dalam menjalankan perencanaan pajak,

yaitu Net Method, Gross Method dan Gross-Up Method. Net Method

merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan menanggung Pajak

Penghasilan (PPh) Pasal 21 karyawan. Gross Method merupakan metode

pemotongan pajak dimana karyawan menanggung sendiri jumlah pajak

penghasilannya. Sedangkan Gross-Up Method adalah metode pemotongan

3
pajak, dimana perusahaaan memberikan tunjangan Pajak Pengahsilan (PPh)

pasal 21 yang diformulasikan jumlahnya sama besar dengan jumlah Pajak

Penghasilan (PPh) pasal 21 yang akan dipotong dari karayawan (Pohan,

2010).

Diantara tiga metode tersebut yang paling banyak digunakan oleh

perusahaan adalah Gross-Up Method yaitu metode dimana perusahaan

memberikan tunjangan pajak yang besarnya sama dengan Pajak Penghasilan

Pasal 21, karena dengan tunjangan pajak tersebut beban pajak perusahaan

akan menurun dan penghasilan yang diterima oleh pegawai akan naik. Dan

tunjangan ini bersifat taxable, sehingga besarnya penghasilan bruto pegawai

akan bertambah. Sementara bagi pemberi kerja, tunjangan yang diberikan

merupakan deductable expenses, maka tidak dikoreksi secara fiskal positif

yang dapat menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah.

Berdasarkan data yang diperoleh dari internal perusahaan PT.ABC,

pada tahun 2013 jumlah Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 yang ditanggung

perusahaan PT.ABC adalah sebesar Rp 25.354.094,00 dan pada tahun 2014

sebesar Rp 31.481.800,00. Dari data tersebut terlihat bahwa dari tahun ke

tahun PPh pasal 21 terutang yang ditanggung perusahaan PT.ABC selalu

mengalami kenaikan. Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 terutang pada tahun

2013-2014 tersebut ditanggung perusahaan tanpa menggunakan Gross

Method dan Gross-Up Method. Dari fenomena diatas, maka peneliti tertarik

untuk mengkaji atau meneliti lebih lanjut dari kedua metode ini untuk

membandingan diantara Gross Method dan Gross-Up Method apakah

4
terdapat perbedaan hasil perhitungan Pajak Penghasilan pasal 21 terutang

yang ditanggung perusahaan PT.ABC apabila PT.ABC tersebut menerapkan

Gross Method dan Gross-Up Method dalam menghitung Pajak Penghasilan

(PPh) pasal 21 karyawannya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah :

Metode Gross dan metode Gross-up merupakan metode yang dapat

mengurangi beban pajak terhutang dan meningkatkan profitabilitas pada

setiap perusahaan dengan cara perhitungan yang berbeda. Sehingga dalam

penelitian ini peniliti ingin membadingkan antara Gross Method dan Gross-

Up Method dengan data dari PT.ABC. Apakah perbedaan yang dihasilkan

mengenai naik atau turunnya pajak yang terhutang dan profitabilitas dari

perbandingan metode Gross dan metode Gross-up dalam Perhitungan Pajak

Penghasilan Pasal 21 pada PT. ABC Tahun 2015?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka ditetapkan tujuan

penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui hasil perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

dengan metode Gross PT. ABC .

2. Untuk mengetahui hasil perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21

dengan metode Gross-up PT. ABC .

5
3. Untuk mengetahui perbandingan dari perhitungan Pajak Penghasilan

(PPh) 21 dari kedua metode tersebut dalam hal pajak yang terhutang

dan profitabilitas yang dihasilkan perusahaan.

1.4 Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka ditetapkan manfaat yang

ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti:

1. Peneliti dapat mengetahui bagaimana cara perhitungan pajak PPh 21

dan PPh badan yang sesuai peraturan UU Perpajakan melalui Gross

Method dan Gross-Up Method.

2. Peneliti dapat mengetahui cara meminimalisir pengeluaran pajak

perusahaan dan biaya-biaya apa saja yang diperbolehkan sebagai

pengurang pajak terhutang badan maupun perusahaan.

2. Bagi Perusahaan:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada perusahaan

guna meminimalkan beban pajak badan atau perusahaan dan cara

meningkatkan profitabilitas perusahaan dengan melakukan perhitungan

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 melalui Gross Method dan Gross-Up

Method.

2. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan metode mana

yang paling tepat yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk

mengurangi risiko pengeluaran pajak yang berlebih berdasarkan dari

hasil perbandingan kedua metode perhitungan pajak.

6
BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Studi Pustaka dan Kajian Teori

2.1.1 Dasar - dasar Perpajakan

2.1.1.1 Pengertian Pajak


Ada berbagai definisi tentang pajak yang dikemukakan oleh

para ahli yaitu sebagai berikut:

Pengertian pajak menurut Andriani dalam Waluyo (2013)

adalah sebagai berikut: Pajak adalah iuran kepada negara (yang

dapat dipaksakan) yang terhutang, wajib dibayarkan dan dapat

langsung digunakan untuk membiayai pengeluaran pengeluaran

umum yang berhubungan dengan tugas negara untuk

menyelenggarakan pemerintahan.

Menurut Ahli lain yaitu Smeets (2013) adalah sebagai berikut:

Pajak adalah prestasi kepada Pemerintah yang terhutang melalui

norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya

kontraprestasi yang dapat ditunjukkan secara individual, maksudnya

adalah untuk membiayai pengeluaran Pemerintah.

Sedangkan menurut Soemitro (2013) adalah sebagai berikut:

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-

undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal

(kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang

digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

7
Berdasarkan pengertian para ahli diatas, pemungutan pajak di

Indonesia mengacu pada sistem self assessment yang sejalan dengan

pemikiran ahli (Andriani, 2013). Dimana sistem self assessment

adalah sistem pemungutan pajak yang wajib dibayarkan dengan cara

memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib

Pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri

besarnya pajak yang harus dibayar. Sesuai dengan sistem self

assessment, setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang

sesuai dengan ketentuan peraturan per Undang-Undangan

perpajakan.

2.1.1.2 Fungsi Pajak

Sebagaimana telah diketahui ciri-ciri yang melekat pada

pengertian pajak dari berbagai definisi, terdapat adanya dua fungsi

pajak menurut Waluyo (2016) yaitu sebagai berikut:

1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan

bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran Pemerintah. Dalam

APBN pajak merupakan sumber penerimaan dalam negeri.

2. Fungsi Mengatur (Regulatoir)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau

melaksanakan kebijakan dibidang sosial dan ekonomi dan

mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan.

8
2.1.1.3 Sistem Pemungutan Pajak

Menurut (Resmi, 2009) sistem pemungutan pajak terbagi

menjadi 3 yaitu:

1. Official Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan

aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang

terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta

kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada

ditangan para aparatur perpajakan. Dengan demikian, berhasil atau

tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak tergantung pada

aparatur perpajakan (peran dominan ada pada aparatur perpajakan).

2. Self Assessment System

Sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang

Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang

setiap tahunnya sesuai dengan peraturan per Undang-Undangan

perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan

menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada ditangan

Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak,

mampu memahami undang-undang perpajakan yang sedang

berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari

akan arti pentingnya membayar pajak. Oleh karena itu, Wajib Pajak

diberi kepercayaan untuk:

9
a. Menghitung sendiri pajak yang terutang;

b. Memperhitungkan sendiri pajak yang terutang;

c. Membayar sendiri jumlah pajak yang terutang;

d. Melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang dan

e. Mempertanggungjawabkan pajak yang terutang.

3. With Holding System

Sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang

kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya

pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan

perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak

ketiga ini dilakukan sesuai peraturan per Undang-Undangan

perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainnya untuk

memotong dan memungut pajak, menyetor, dan

mempertanggungjawabkan melalui sarana perpajakan yang

tersedia. Berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak

tergantung pada pihak ketiga yang ditunjuk.

10
2.1.1.4 Tarif Pajak

Menurut (Mardiasmo, 2011) ada 4 macam tarif pajak, yang

terdiri dari:

1. Tarif Sebanding/ Proporsional

Tarif berupa persentase yang tetap, terhadap berapapun

jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang

proposional terhdap besarnya nilai yang dikenakan pajak.

Contoh :

Untuk penyerahan Barang Kena Pajak didalam daerah Pabean akan

dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10%.

2. Tarif Tetap

Tarif berupa jumlah yang tetap (sama) terhadap berapapun

jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terhutang

tetap.

Contoh:

Besarnya Bea Materai untuk cek dan bilyet giro dengan nilai

nominal berapapun adalah Rp. 3.000.000,-.

3. Tarif Progresif

Persentase tarif yang digunkana semakin besar bila jumlah

yang dikenai pajak semakin besar.

Contoh:

Pasal 17 UU Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak orang pribadi

dalam negeri.

11
TABEL 2.1

Tarif Pajak untuk Wajib Pajak Orang Pribadi dalam Negeri

No. Jumlah Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

1 s.d. Rp50.000.000,00 5%

2 Di atas Rp50.000.000,00 s.d Rp250.000.000,00 15%

Di atas Rp250.000.000,00 s.d.

3 Rp500.000.000,00 25%

4 Di atas Rp500.000.000,00 30%

Sumber: Mardiasmo, 2011

Menurut kenaikan persentase tarifnya, tarif progresif dibagi menjadi:

a. tarif progresif progresif : kenaikan persentase semakin besar

b. tarif progresi tetap : kenaikan persentase tetap

c. tarif progresif degresif : kenaikan persentase semakin kecil

4. Tarif degresif

Persentase tarif yang digunakan semakin kecil bila jumlah yang

dikenai pajak semakin besar.

2.1.2 Pajak Penghasilan Pasal 21

2.1.2.1 Pengertian Pajak Pengahasilan

Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1

pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang

12
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan

digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya

kemakmuran rakyat.

Menurut (Muyassaroh, 2012) pajak pengahasilan (PPh) adalah

pajak yang dikenakan terhadap orang pribadi dan badan berkenaan

dengan penghasilan yang diterima atau diperolwh selama satu tahun

pajak.

2.1.2.2 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan

berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain

dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan

atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi

Subjek Pajak dalam negeri, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21

Undang-Undang Pajak Penghasilan.

2.1.2.3 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21

Pemotong pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan,

jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang

diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri,

Wajib Pajak dilakukan oleh:

1. Pemberi kerja yang terdiri atas orang pribadi dan badan, baik

merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit yang

membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain

dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan

13
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh

pegawai atau bukan pegawai.

2. Bendahara atau pemegang kas Pemerintah, termasuk bendahara

atau pemegang kas pada Pemerintah Pusat termasuk instansi

TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga

Pemerintah, lembaga-lembaga Negara lainnya, dan Kedutaan Besar

Republik Indonesia diluar negeri, yang membayar gaji, upah,

honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan

dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,

jasa, dan kegiatan;

3. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja,

dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan tunjangan

hari tua atau jaminan hari tua;

4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas

serta badan yang membayar:

a. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan

dengan jasa/atau kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi

dengan status Subjek Pajak Dalam Negeri, termasuk tenaga ahli

yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untukdan atas

namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;

b. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan

dengan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status

Subjek Pajak Luar Negeri.

14
c. Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidik,

pelatihan dan magang.

5. Penyelenggara kegiatan, termasuk badan Pemerintah, organisasi

yang bersifat nasional dan internasional. Perkumpulan, orang

pribadi, serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan,

yang membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam

bentuk apa pun kepada Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

berkenaan dengan suatu kegiatan.

2.1.2.4 Subjek Pajak PPh Pasal 21

Penerima Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal

21 yaitu orang pribadi yang merupakan:

1) Pegawai;

2) Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun,

tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli

warisnya;

3) Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh

penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau

kegiatan, antara lain meliputi:

4) Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri

atas pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris,

penilai, dan aktuaris;

5) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang

film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto

15
model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari,

pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;

6) Olahragawan;

7) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan

moderator;

8) Pengarang, peneliti, dan penerjemah;

9) Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer

dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika,

fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu

kepanitiaan;

10) Agen iklan;

11) Pengawas atau pengelola proyek;

12) Pembawa pesan atau yang menemukan langganan atau yang

menjadi perantara;

13) Petugas penjaja barang dagangan;

14) Petugas dinas luar asuransi;

15) Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct

selling dan kegiatan sejenis lainnya.

16) Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh

penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam

suatu kegiatan, antara lain meliputi:

16
a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain

perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu

pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;

b. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau

kunjungan kerja;

c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai

penyelenggara kegiatan tertentu;

d. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;

e. Peserta kegiatan lainnya.

2.1.2.5 Objek Pajak PPh Pasal 21

Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagai

berikut:

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik

berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur;

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun

secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;

3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan

penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara

sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun,

tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain

sejenis;

17
4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa

upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau

upah yang dibayarkan secara bulanan;

5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium,

komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk

apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan

kegiatan yang dilakukan;

6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku,

uang representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau

penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan

imbalan sejenis dengan nama apapun.

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26

sebagaimana dimaksud diatas termasuk pula penerimaan dalam bentuk

natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk

apa pun yang diberikan oleh:

a. Bukan Wajib Pajak

b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final;

c. atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan

norma perhitungan khusus (deemed profit). untuk menjadi

perhatian dalam perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26

atas penghasilan berupa penerimaan dalam bentuk natura dan/atau

kenikmatan lainnya didasarkan pada harga pasar atas barang yang

diberikan atau nilai wajar atas pemberian kenikmatan yang

18
diberikan. Bila penghasilan berupa natura dan/atau kenikmatan

dimaksud diterima atau diperoleh dalam mata uang asing,

perhitungan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 didasarkan pada

nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang

berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat

dibebankannya.

2.1.2.6 Penghasilan yang Tidak Di potong PPh Pasal 21

Penghasilan yang tidak termasuk dalam pengertian yang

dipotong PPh Pasal 21 sebagai berikut:.

1) Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam

bentuk apapun diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah,

kecuali penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat(2).

2) Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang

pendiriannya telah disahkan oleh Menteri keuangan, iuran

tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan

penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara

jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.

3) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan

atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh

Pemerintah, atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi

pemeluk agama yang diakui di Indonesia yang diterima oleh

orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang

dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada

19
hubungan dengan usaha, pekerja, kepemilikan, atau penguasaan

diantara pihak-pihak yang bersangkutan.

4) Beasiswa sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 4 ayat (3) huruf

I Undang-Undang Pajak Penghasilan.

2.1.2.7 Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21 Final

Penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 yang

besifat final yaitu sebagai berikut:

1) Uang tebusan pensiun yang dibayarkan oleh dan pensiun yang

pendirinya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan Tunjangan

Hari Tua atau Tabungan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus oleh

badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja.

2) Uang pesangon.

3) Hadiah dan penghargaan perlombaan.

4) Honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang

dan petugas dinas luar asuransi. Penjaja barang dagangan adalah

penjaja barang dagangan berupa kosmetik, sabun, pasta gigi, buku,

dan barang-barang keperluan rumah tangga sehari-hari lainnya.

5) Penghasilan bruto berupa honorarium dan imbalan lain dengan

nama apa pun yang diterima oleh pejabat negara, pegawai negeri

sipil, anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari

keuagan negara atau keuangan daerah, kecuali yang dibayarkan

oleh pegawai negeri sipil golongan II D ke bawah dan anggota

20
TNI/POLRI berbangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau

Ajudan Inspektur Tingkat Satu ke bawah.

2.1.2.8 Saat Terutang PPh Pasal 21

Saat terutangnya PPh Pasal 21 ditentukan hal mana yang terjadi

terlebih dahulu antara diterima atau diperoleh. Diterima adalam

penghasilan yang sudah nyata-nyata diterima tunai baik melalui kas

maupun tunai. Sedangkan diperoleh adalah penghasilan yang sudah

dapat ditagih atau sudah pasti diperoleh pada waktu tertentu,

meskipun jumlah tersebut belum diterima secara tunai.

2.1.2.9 Pengurang yang Di Perbolehkan PPh Pasal 21

Pengurang yang diperbolehkan untuk penghasilan bruto pegawai

tetap terdiri dari biaya jabatan dan iuran pensiun/Jaminan Hari Tua.

Untuk penerima pensiun, pengurang yang diperbolehkan adalah biaya

pensiun.

a) Besarnya biaya jabatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan

bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi

pegawai tetap ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan

bruto, setinggi-tingginya Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)

setahun atau Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) sebulan.

b) Iuran pensiun/Jaminan Hari Tua, yaitu iuran yang terkait dengan

gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang

pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan

21
penyelenggara tunjangan hari tua atau jaminan hari tua yang

dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah

disahkan Menteri Keuangan.

c) Besarnya biaya pensiun yang dapat dikurangkan dari penghasilan

bruto untuk penghitungan pemotongan Pajak Penghasilan bagi

pensiunan ditetapkan sebesar 5%(lima persen) dari penghasilan

bruto, setinggi-tingginya Rp. 2.400.000,00 (dua juta empat ratus

ribu rupiah) setahun atau Rp. 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah).

2.1.2.10 Penghasilan yang Tidak Memperoleh Pengurangan Biaya

Jabatandan/atau PTKP

Pengurangan berupa biaya jabatan dan tidak berlaku terhadap

penghasilan penghasilan berupa :

a) Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;

b) Uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tua

atau Jaminan Hari Tua, dan pembayaran lain sejenis;

c) Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama

dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayarn lain

sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan

kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri.

Selain itu, pengurangan biaya jabatan dan PTKP seperti

diuraikan diatas tidak berlaku terhadap penghasilan Wajib Pajak luar

negeri yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26.

22
2.1.2.11 Tata Cara Menghitung PPh Pasal 21

Cara menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 pada prinsipnya

sama dengan cara perhitungan Pajak Penghasilan pada umumnya.

Namun, dalam menghitung Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi

penerima-penerima penghasilan dari pekerjaan, jasa, atau kegiatan

yang dilakukan Wajib Pajak Orang Pribadi yaitu Wajib Pajak Dalam

Negeri selain pengurangan berupa PTKP, juga diberikan

pengurangan-pengurangan penghasilan berupa biaya jabatan, biaya

pensiun, dan iuran pensiun. Selain itu, tarif yang diterapkan juga

bervariasi yaitu tarif sesuai Pasal 17 Undang-Undang Pajak

Penghasilan atau tarif yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah

atau aturan pelakasana lainnya. Aturan dan cara perhitungannya

dapat diuraikan secara rinci berikut ini. Cara menentukan Pajak

Penghasilan Pasal 21 untuk pegawai tetap adalah sebagai berikut.

1) Untuk menentukan besarnya penghasilan neto pegawai

tetapterlebih dahulu dicari seluruh penghasilan bruto yang

diterima atau diperoleh selam sebulan, yang meliputi seluruh

gaji, segala jenis tunjangan dan pembayaran teratur lainnya,

termasuk uang lembur (overtime) dan pembayaran sejenisnya.

2) Untuk perusahaan yang termasuk program Jamsostek, premi

Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), premi Jaminan Kematian

(JK) dan premi Jaminan Pemeliharaan Kecelakaan (JPK) yang

dibayar oleh pemberi kerja merupakan penghasilan bagi

23
pegawai. Ketentuan yang sama diberlakukan juga bagi premi

asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan kerja, asuransi jiwa,

asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayarkan oleh

pemberi kerja untuk pegawai kepada perusahaan asuransi

lainnya. Dalam meghitung PPh Pasal 21, premi tersebut

digabungkan dengan penghasilan bruto yang dibayarkan oleh

pemberi kerja kepada pegawai.

3) Selanjutnya, dihitung jumlah penghasilan neto sebulan yang

diperoleh dengan cara mengurangi penghasilan bruto sebulan

dengan biaya jabatan; iuran pensiun; iuran Jaminan Hari Tua;

iuran Tunjangan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai

bersangkutan melalui pemberi kerja kepada Dana Pensiun yang

pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau Badan

Penyelengara Program Jamsostek. Pengurangan biaya jabatan

dan iuran tersebut tidak berlaku bagi penghasilan yang

diterimanya berupa upah harian, yang tebusan pensiun,

honorarium secara keseluruhan sebagaimana tersebut pada

penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 butir 2.Pengurang

biaya jabatan dan iuran diatas juga tidak berlaku terhadap

penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri yang terutang PPh Pasal

26.

4) Biaya jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan yang besarnya 5% (lima persen) dari

24
penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp. 6.000.000,00 (enam

juta rupiah) setahun atau Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)

sebulan. Biaya jabatan dapat dikurangkan dari penghasilan

setiap orang yang bekerja sebagai pegawai negeri tetap tanpa

memandang mempunyai jabatan atau tidak.

5) Selanjutnya dihitung penghasilan neto setahun, yaitu dengan

jumlah penghasilan neto sebulan dikalikan 12.

6) Dalam hal seorang pegawai tetap dengan kewajiban pajak

subjektifnya sebagai Wajib Pajak dalam negeri sudah ada sejak

awal tahun, tetapi mulai bekerja setelah bulan Januari,

penghasilan neto setahun dihitung dengan mengalikan

penghasilan neto sebulan dengan banyaknya bulan sejak

pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan

Desember dan menambahkan hasilnya dengan penghasilan neto

yang diperolehnya dalam masa-masa sebelumnya dalam tahun

yang sama yang diperoleh dari pemberi kerja sebelumnya sesuai

dengan yang tercantum dalam bukti pemotongan PPh Pasal 21.

Jika pegawai yang bersangkutan sebelumnya bekerja pada

pemberi kerja lain.

7) Selanjutnya dihitung Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar

penerapan tarif Pasal 17 UU PPh, untuk menentukan besarnya

Penghasilan Kena Pajak, penghasilan netonya dikurangi dengan

25
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang sebenarnya. Seperti

terlihat pada tabel dibawah ini:

TABEL 2.2

PTKP PPH PASAL 21

Keterangan PTKP

Besarnya PTKP setahun untuk diri Wajib


Rp. 15.840.000,00
Pajak Orang Pribadi

Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Rp. 1.320.000,00

Tambahan untuk seorang isteri yang

penghasilannya digabung dengan Rp. 15.840.000,00

penghasilan suami

Tambahan untuk setiap anggota keluarga

sedarah dan keluarga semenda dalam garis

keturunan lurus serta anak angkat, yang Rp. 1.320.000,00

menjadi tanggungan sepenuhnya, paling

banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Sumber : UU PPh No.36 Tahun 2008

Sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) UU PPh, kepada orang pribadi sebagai

WP dalam negeri diberikan pengurangan berupa PTKP. Menurut Pasal 7 UU

PPh, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang berlaku untuk tahun 2008

sampai dengan 2012 per tahun diberikan paling sedikit sebesar tabel 2.1 di

26
atas. Penyesuaian besarnya PTKP mulai 1 januari 2013 sesuai dengan PMK

62/PMK.03/2012 adalah sebesar:

TABEL 2.3

PTKP PPh PASAL 21

Keterangan PTKP

Besarnya PTKP setahun untuk diri Wajib


Rp. 24.300.000,00
Pajak Orang Pribadi

Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin Rp. 2.025.000,00

Tambahan untuk seorang isteri yang

penghasilannya digabung dengan Rp. 24.300.000,00

penghasilan suami

Tambahan untuk setiap anggota keluarga

sedarah dan keluarga semenda dalam garis

keturunan lurus serta anak angkat, yang Rp. 2.025.000,00

menjadi tanggungan sepenuhnya, paling

banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

Sumber : PMK 62/PMK.03/2012

Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun

kalender. Besarnya PTKP untuk pegawai yang baru datang dan menetap di

Indonesia dalam bagian tahun kalender ditentukan berdasarkan keadaan pada

awal bulan dari bagian tahun kalender bersangkutan. Keluarga sedarah dalam

27
garis keturunan lurus adalah anak kandung dan orang tua kandung. Keluarga

semenda dalam garis keturunan lurus adalah mertua dan anak tiri.

Perhitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap :

1. Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap masa pajak,

kecuali masa pajak terakhir, tarif diterapkan atas perkiraan penghasilan

yang akan diperoleh selama (1) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut :

2. perkiraan atas penghasilan yang bersifat teratur adalah jumlah

penghasilan teratur dalam 1 (satu) bulan dikalikan 12 ( dua belas).

3. dalam hal terdapat tambahan penghasilan yang bersifat tidak teratur,

maka perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun

adalah sebesar jumlah pada huruf a ditambah dengan jumlah penghasilan

yang bersifat tidak teratur.

4. Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap masa adalah :

a) Atas penghasilan yang bersifat teratur adalah sebesar Pajak

Penghasilan terutang atas jumlah penghasilan pada angka 1 huruf a

di bagi 12 (dua belas).

b) Atas penghasilan yang bersifat tidak teratur adalah sebesar selisih

antara Pajak Penghasilan yang terutang, atas jumlah penghasilan

pada angka 1 huruf b dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas

jumlah penghasilan pada anga 1 huruf a.

c) Dalam hal pegawai tetap mempunyai kewajiban pajak subjektif

terhitung sejak awal tahun kalender dan mulai bekerja setelah bulan

Januari, termasuk pegawai yang sebelumnya bekerja pada pemberi

28
kerja lain, banyaknya bulan yang menjadi faktor penggali

sebagaimana dimaksud pada angka 1 atau faktor pembagi

sebagaimana dimaksud pada angka 2 adalah jumlah bulan tersisa

dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja.

d) Besarnya PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk masa pajak

terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas

seluruh penghasilan kena pajak selama 1 (satu) tahun pajak atau

bagian tahun pajak dengan PPh Pasal 21 yang telah dipotong pada

masa-masa sebelumnya dalam tahun pajak yang bersangkutan.

e) Dalam hal pegawai tetap kewajiban pajak subjektifnya hanya

meliputi bagian tahun pajak maka perhitungan PPh Pasal 21 yang

terutang untuk bagian tahun pajak tersebut dihitung berdasarkan

penghasilan kena pajak yang disetahunkan, sebanding dengan

jumlah bulan dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan.

f) Dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum bulan Desember

dan jumlah PPh Pasal 21 yang telah dipotong dalam tahun kalender

yang bersangkutan lebih besar dari PPh Pasal 21 yang terutang untuk

1 (satu) tahun pajak maka kelebihan PPh Pasal 21 yang telah

dipotong tersebut dikembalikan kepada pegawai tetap yang

bersangkutan bersamaan dengan pemberian bukti pemotongan PPh

Pasal 21, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berhenti

bekerja.

29
g) Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif Pasal

16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dibulatkan kebawah.

2.1.2.12 Metode Penghitungan PPh Pasal 21

Saat dikeluarkannya program reformasi perpajakan di tahun

1983, sejak itu pula berkembang pemikiran dari wajib pajak untuk

mengefisienkan pajak yang harus menjadi beban perusahaan.

Menurut (Pohan, 2011) Setidaknya ada 3 metode yang biasanya

digunakan dalam perhitungan pajak penghasilan Pasal 21 oleh

perusahaan dalam menjalankan perencanaan pajak, yaitu:

1) Gross Method (PPh Pasal 21 ditanggung oleh Pegawai tetap)

Merupakan metode pemotongan pajak dimana pegawai tetap

menanggung sendiri jumlah pajak penghasilannya, yang

biasanya dipotong langsung dari gaji pegawai tetap yang

bersangkutan. Biasanya dilakukan pada perusahaan yang baru

berdiri.

2) Net Method (PPh Pasal 21 ditanggung oleh Perusahaan)

Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan

menanggung pajak pegawai tetapnya. Sebagaimana dimaksud

dalam Kep. Dirjen Pajak No. 31/PJ./2008 Pasal 5 ayat (2) dan

Pasal 8 ayat (I), Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21

dan/atau PPh Pasal 26 termasuk pula penerimaan dalam bentuk

natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam

30
bentuk apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib

Pajak yang dikenakan Pajak penghasilan yang bersifat final; atau

Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan

norma penghitungan khusus (deemed profit). Selanjutnya pada

Pasal 8 ayat 2 menegaskan bahwa Pajak Penghasilan yang

ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh

Pemerintah, merupakan penerimaan dalam bentuk kenikmatan.

3) Gross-Up Method (Tunjangan pajak yang di gross

up)Merupakan metode pemotongan pajak dimana perusahaan

memberikan tunjangan pajak yang jumlahnya sama besar

dengan jumlah pajak yang akan dipotong dari pegawai tetap.

Perhitungan tunjangan pajak diformulasikan untuk menyamakan

jumlah pajak yang akan dibayar dengan tunjangan pajak yang

diberikan perusahaan terhadap pegawai tetapnya. Perbedaan

prinsipil antara Net Method dengan Gross-Up Method adalah

sebagai berikut.

a) Bahwa pada Metode Net besarnya PPh Pasal 21 yang

ditanggung oleh perusahaan tersebut tidak dimasukkan

sebagai tunjangan pajak di SPT PPh Pasal 21, sedangkan

pada Metode gross up, besarnya tunjangan pajak- Pasal 21

tersebut dimasukkan sebagai elemen penghasilan dari

tunjangan pajak yang dicantumkan di SPT PPh Pasal 21.

31
b) Bahwa pada Metode Net, besarnya PPh Pasal 21 yang

ditanggung oleh Perusahaan tidak bisa dibiayakan (non

deductible) sedangkan pada Metode gross up seluruh

tunjangan pajaknya bisa dibiayakan (deductible).

2.1.2.13 Rumus Pehitungan Gross-up

Berikut ini adalah rumus untuk menentukan besaran tunjangan

pajak yang di Gross-up seperti terlihat pada tabel 2.4 dibawah ini.

TABEL 2.4

RUMUS GROSS-UP METHOD

Perhitungan tunjangan PPh Pasal 21

PKP s/d RP. 50.000.000,00 (PKP X 5%)/0,9525

PKP di atas Rp. 50.000.000 s.d ((PKP X 15%) - 5

Rp. 250.000.000,00 Juta)/0,85

PKP di atas Rp. 250.000.000,00 ((PKP X 25 %) - 30

s.d Rp. 500.000.000,00 Juta)/0,75

((PKP X 30 %) - 55
PKP di atas Rp. 500.000.000,00
Juta)/0,70

Sumber: Cara legal Siasati Pajak hal.80

Keterangan: PKP Sebelum Tunjangan

32
2.1.2.14 Efek Penerapan Metode Gross-Up

Penerapan metode Gross-Up menimbulkan perlakuan fiskal

atau beban yang timbul bagi pemberi penghasilan atau perusahaan

merupakan biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan

(deductable) maka ini dapat dikurangkan dari penghasilan bruto

perusahaan sehingga bisa mengefisienkan (menghemat) besarnya

jumlah pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) perusahaan.

Bagi pegawai tetap pemberi tunjangan ini diakui sebagai

tambahan penghasilan (taxable), yang kemudian jumlah Pajak

Penghasilan yang dipotong jumlahnya sama besar dengan tunjangan

yang diterima, sehingga take home pay jumlahnya sama besar

dengan tunjangan yang diterima, sehingga take home payjumlahnya

sama dengan apabila menerapkan metode net dan kewajiban Pajak

Penghasilan Pasal 21 juga terpenuhi.

33
2.2 Kerangka Berfikir

Untuk lebih jelasnya akan disajikan kerangka berfikir yang dapat

digambarkan sebagai berikut:

PENGHASILAN PEGAWAI
TETAP PT . ABC

Perhitungan pajak Perhitungan pajak Perhitungan pajak


dengan metode tanpa metode Gross dengan metode
Gross dan Gross-up Gross-up

Laba Perusahaan
Setelah Pajak lebih
besar atau kecil

Rasio Profitabilitas
lebih tinggi atau
rendah

GAMBAR 2.1

KERANGKA BERFIKIR

34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Teknik penelitian yang dilakukan penulis adalah dengan

menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode penelitian yang

bertujuan untuk mengumpulkan, menyajikan, serta menganalisis data,

sehingga dapat memberi gambaran yang cukup jelas atas keadaan dari

tempat yang diteliti, yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.

3.2 Daerah dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis memilih tempat penelitian pada

perusahaan PT.ABC, yaitu sebuah perusahaan yang bergerak dibidang

Pertambangan. Sedangkan waktu yang digunakan dalammelakukan

penelitian dimulai dari bulan Februari sampai dengan bulan Maret tahun

2015.

3.3 Jenis Data Penelitian

Adapun jenis data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah

sebagai berikut:

1) Data kualitatif yaitu data yang diperoleh dari perusahaan pada saat

melakukan magang dan dalam bentuk informasi baik lisan maupun

tulisan seperti sejarah berdirinya PT.ABC, struktur organisasi

PT.ABC, penghargaan yang telah diterima dan informasi mengenai 8

unit PT.ABC.

35
2) Data kuantitatif yaitu data dalam bentuk angka-angka seperti besarnya

penghasilan dan bonus pegawai, serta data lainnya yang ada

hubungannya dengan masalah yang akan dibahas.

3.4 Sumber Data Penelitian

Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah

sebagai berikut :

a) Data Primer adalah data yang diperoleh melalui observasi langsung

dan mengadakan wawancara secara langsung dengan pegawai bagian

treasury and tax PT.ABC untuk mendapatkan data-data yang relevan

dengan pembahasan tugas akhir ini.

b) Data Sekunder adalah data yang diperoleh dokumen-dokumen tertulis

perusahaan, dan literatur yang erat kaitannya dengan masalah yang

dibahas, data ini bersumber dari dalam perusahaan maupun dari luar

perusahaan.

3.5 Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam pembahasan tugas akhir ini

dapat dikemukakan sebagai berikut: Analisis kualitatif deskriptif yakni

suatu analisis yang menguraikan dan membandingkan antara perhitungan

Pajak Penghasilan Pasal 21 metode Gross dan metode Gross-Up. Dengan

tahapan :

1. Data yang berasal dari perusahaan yang sudah diilustrasikan berupa

metode Gross yaitu Gaji Pokok, Tunjangan, Premi Asuransi sebagai

36
penambah penghasilan. Dan Biaya Jabatan, Iuran Pensiun sebagai

pengurang penghasilan Pegawai Tetap.

2. Dilakukan perhitungan tunjangan pajak atau dengan metode Gross-Up

yaitu dengan rumus sesuai Penghasilan Kena Pajak sebelum adanya

penambah tunjangan.

3. Setelah Perhitungan tunjangan pajak diketahui maka dilakukan

perhitungan Pajak Pasal 21 ulang dengan adanya penambah tunjangan.

4. Rekapitulasi perbandingan apabila menggunakan metode Gross dan

metode Gross-Up selisih positif atau negatif yang ditimbulkan dari

penghasilan yang diterima pegawai tetap dan PPh terutang yang

dikenakan pada pegawai tetap.

5. Dilakukan perhitungan dan perbandingan PPh Badan dengan adanya

pembiayaan tunjangan pajak dan tidak adanya pembiayaan tunjangan

pajak sebagai pengurang laba bruto perusahaan maka setelah itu dapat

diketahui berapa selisih PPh yang dihasilkan.

37

Anda mungkin juga menyukai