Referat Demam Tifoid
Referat Demam Tifoid
Referat Demam Tifoid
DEMAM TIFOID
Pembimbing :
dr. Swa Kurniati, DTM&H
Penyusun :
Rulita Situmorang 2014-061-071
Erika Oktaviana 2014-061-072
Elen Angela 2015-061-030
1
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1. Distribusi global daerah endemik dari Salmonella Enteric serotipe Typhi, 1990-
2002.5
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya berhubungan dengan
sanitasi lingkungan; di daerah rural 157 kasus per 10.000 penduduk, sedangkan di daerah
urban ditemukan 760-810 kasus per 10.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan
4
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih secara merata yang belum memadai, serta
sanitasi lingkungan terutama cara pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat
kesehatan ligkungan.7
Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh
kematian di Indonesia. Namun berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995, demam tifoid tidak termasuk
dalam 10 penyakit dengan mortalitas tinggi.8
5
Gambar 2.2. Struktur antigenik Salmonellae. 10
6
dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal
dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.11
Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik)
kemudian menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.
Dengan periode waktu yang bervariasi antara 1-3 minggu, kuman bermultiplikasi di organ-
organ ini kemudian meninggalkan makrofag dan kemudian berkembang biak di luar
makrofag dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia
yang kedua kalinya dengan disertai tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.11
Di dalam hati, kuman masuk ke kantung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan kembali ke dalam lumen usus secara intermiten. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, oleh karena makrofag telah teraktivasi
7
sebelumnya maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-, INF, GM-CSF, dsb.) yang selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.11
Di dalam plak Peyeri, makrofag yang telah hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan dan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah di sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis
jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi usus.11
8
2.5.Diagnosis Demam Tifoid
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat
oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai
penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode
terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis
dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara
molekuler.12
9
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL.17 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL.18 Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi
oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini mendukung teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun
dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika
sebelumnya.12,19 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella Typhi
adalah media empedu dari sapi. Media ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena
hanya Salmonella Typhi dan Salmonella Paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.17
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90% dari
penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.12,17
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika
dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai.20
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga
minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu
pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode yang mempunyai sensitivitas paling
tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama
perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur
darah negatif sebelumnya.17,20 Namun prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai
dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen
empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi
tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. 13,16,17
10
Typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan uji Widal adalah
untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita
demam tifoid.11,22
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Secara umum, aglutinin O mulai muncul
pada hari ke 6-8 dan aglutinin H mulai muncul pada hari ke 10-12 dihitung sejak
hari timbulnya demam. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan pada selang
waktu minimal 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai
3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.22
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer aglutinin O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut.
b. Titer aglutinin H yang tinggi ( > 160) menunjukkan sudah pernah mendapat
imunisasi atau pernah menderita infeksi.
c. Titer aglutinin yang tinggi terhadap antigen Vi terdapat pada carrier.
11
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.30
Gambar 2.5. Prinsip dari tes Tubex. Bagian atas, hasil negatif;
bagian bawah, hasil positif.27
Tes Tubex merupakan tes yang subjektif dan semikuantitatif dengan cara
membandingkan warna yang terbentuk pada reaksi dengan Tubex color scale
12
yang tersedia. Range dari color scale adalah dari nilai 0 (warna paling merah)
hingga nilai 10 (warna paling biru).27
Cara membaca hasil tes Tubex adalah sebagai berikut menurut IDL
Biotech 2008: 11,27
1. Nilai < 2 menunjukan nilai negatif (tidak ada indikasi demam tifoid).
2. Nilai 3 menunjukkan inconclusive score dan memerlukan pemeriksaan ulang.
3. Nilai 4-5 menunjukan positif lemah.
4. Nilai > 6 menunjukan nilai positif (indikasi kuat demam tifoid).
Nilai Tubex yang menunjukan nilai positif disertai dengan tanda dan
gejala klinis yang sesuai dengan gejala demam tifoid, merupakan indikasi demam
tifoid yang sangat kuat.27
13
Gambar 2.6. Prinsip dari tes Typhidot. Bagian atas, prosedur tes;
bagian bawah, interpretasi hasil tes.28
14
sebaiknya dibatasi dan tidak menjadi terapi empiris. Pasien yang terinfeksi dengan
golongan S.typhi DCS sebaiknya diterapi menggunakan ceftriaxone, azithromycin
atau ciprofloksasin dalam dosis besar. Penggunaan fluorokuinolon dosis besar dalam
7 hari sebagai terapi demam typhoid DCS, menyebabkan keterlambatan resolusi dan
meningkatkan angka karier fecal. Oleh karena itu, terapi demam typhoid DCS dengan
menggunakan ciprofloxacin dosis besar diberikan dalam waktu 14 hari.
Pada pasien dengan demam tifoid tanpa komplikasi, dapat diterapi di rumah
dengan antibiotik oral dan antipiretik. Pasien dengan muntah menetap, diare menetap
atau distensi abdomen sebaiknya dirawat di rumah sakit dan diberikan terapi suportif
(tirah baring dan dukungan nutrisi )disertai pemberian antibiotik parenteral
sefalosporin generasi ketiga atau fluorokuinolon, tergantung dari tingkat sensitif
bakteri. Terapi sebaiknya diberikan selama 10 hari atau selama 5 hari setelah resolusi
demam.
Pada 1-5% pasein yang menderita karies Salmonella kronis dapat diterapi
dengan pemberian antibiotik oral yang tepat selama 4 sampai 6 minggu. Terapi
menggunakan amoxicillin oral, TMP-SMX, ciprofloxacin atau norfloxacin efektif
dalam mengeradikasi karier kronis ( 80% efektif). Siprofloksasin 750 mg, 2 kali
sehari selama 28 hari terbukti efektif. Bila tidak ada siprofloksasin dan galur tersebut
peka, 2 tablet ko-trimoksaszol 2 kali sehari selama 3 bulan , atau 100 mg/kg/hari
amoksisilin dikombinasi dengan probenesid 30 mg/kg/hari, keduanya diberikan
selama 3 bulan juga efektif. Karier dengan batu empedu hanya memperlihatkan
respons sementara terhadap kemoterapi, dan diperlukan kolesistektomi untuk
mengakhiri keadaan karier pada kasus tersebut.
15
Tabel 2.1 Terapi antibiotik untuk demam tifoid
16
Tabel 2.2 Antibiotik untuk Pengobatan Demam Tifoid Tahun 2010 ( KONSENSUS
KONAS PETRI - BALI )
Demam typhoid dapat menjadi penyakit yang semakin berat dan mengancam
nyawa, terggantung dari faktor inang ( terapi imunosupresi, terapi antasida, riwayat
vaksinasi), virulensi dari bakteri dan pemilihan terapi antibiotik. Pendarahan
gastrointestinal *10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%), hal ini biasa terjadi minggu
17
ke-3 dan minggu ke-4. Pendarahan gastrointestinal dan perforasi intestinal terjadi
akibat hiperplasia, ulsersi dan nekrosis dari plak peyeri ileocecal. Keuda komplikasi
ini dapat mengancam nyawa dan membutuhkan resusistasi cairan segera dan
intervensi bedah dengan pemberian antibiotik spektrum luas untu periotinits
polimikrobial. Manifestasi neurologikal dapat ditemukan pada 2 -40% berupa,
meningitis, guillain-barre syndrome, neuritits dan gejala neuropsikiatrik.
18
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang menjadi
masalah dunia. WHO mencatat Indonesia sebagai salah satu negara endemik untuk
demam tifoid. Di Indonesia, terdapat rata-rata 900.000 kasus demam tifoid dengan
angka kematian lebih dari 20.000 setiap tahunnya. Diagnosis demam tifoid bisa
dilakukan dengan berbagai cara, tidak hanya dengan melihat manifestasi klinis yang
muncul pada pasien namun juga didukung dengan pemeriksaan penunjang untuk
diagnosis definitif. Pada intinya, segala jenis pemeriksaan tersebut bertujuan untuk
serologis yang ada, widal sebagai pemeriksaan yang paling tua sudah tidak lagi
serologis lain dengan sensitifitas dan spesitifitas yang lebih baik seperti TUBEX dan
Typhidot.
Terapi demam tifoid yang paling efektif adalah agen fluorokuinolon, dengan
angka kesembuhan 98% dan angka relaps dan karier fecal <2%. Penggunaan luas
cefotaxime dan cefixime oral merupakan terapi efektif untuk demam tifoid.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. [WHO] Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever.
World Health Organization; 2003: 17-18.
2. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiging D, Bhattacharya SK, Agtini MD,
et al. WHO | A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and
implications for controls. http://www.who.int/ bulletin/volumes/86/4/06039818/
en/#content. [31 Mei 2013].
3. [DEPKES] Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2008. http://www.litbang.depkes. go.id/
bl_riskesdas2007. [31 Mei 2013].
4. Olga. Tubex, Cepat dan Akurat Diagnosis Demam Tifoid. J. Med. Kedokteran Indonesia.
2012; XXXVIII (08). http://jurnalmedika.com /edisi-tahun-2012/edisi-no-08-vol-
xxxvii/2012/463-kegiatan/965-Tubex-cepat-dan-akurat-diagnosis-demam-tifoid. [31
Mei 2013].
5. Keddy KH, Sooka A, Letsoalo ME, Hoyland G, Chaignat CL, Morrissey AB, et al. Bull.
World Health Organisation. 2011 Sep 1;89(9):640-7. http://www.who.
int/bulletin/online_first/11-087627.pdf. [31 Mei 2013].
6. Kawano RL, Leano SA, Agdamag DM. Comparison of Serological Test Kits for Diagnosis
of Typhoid Fever in the Philippines. J Clin Microbiol. Jan 2007; 45(1): 246247.
http://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC 1828988/.
[ 31 Oktober 2013 ].
7. Septiawan IK, Herawati S, Sutirtayasa IW. Examination of The Immunoglobulin M Anti
Salmonella in Diagnosis of Typhoid Fever. E-Jurnal Medika Udayana 2.6; 2013:
1080-1090. http://ojs.unud.ac.id /index.php/eum/article/view/5626. [31 Oktober
2013].
8. Aru W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi I. Jilid II. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006:
1774.
9. Kidgell C, Reichard U, Wain J, Linz B, Torpdahl M, Dougan G, et al. Salmonella Typhi,
the causative agent of typhoid fever. Infect Genet Evol. 2002 Oct;2(1):39-45.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 12797999. [ 31 Oktober 2013 ].
10. Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta :
Interna Publishing. 2009:2797-2800.
20
11. Parry M, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. A Review of Typhoid Fever. New
England Journal of Medicine. 2002; 347:1770-1782. http://www.nejm.org/doi/
full/10.1056/NEJMra020201. [31 Oktober 2013].
12. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi
Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang :
IDAI Jawa Timur, 2005:37-50.
13. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunters Textbook of
Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-358.
14. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002:1-43.
15. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.
16. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP
FKUI, 2001:65-73.
17. [WHO] Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis,
treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.
18. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al. Quantitation of
bacteria in bone marrow from patients with typhoid fever : relationship between
counts and clinical features. J Clin Microbiol 2001;39(4):1571-6.
19. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P. Diagnosis
of typhoid fever by detection of Salmonella Typhi antigen in urine. J Clin Microbiol
1992;30(9):2513-5. [Abstract]
20. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-82.
http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMra020201. [ 31 Oktober 2013 ].
21. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.
22. [DEPKES]. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Mei 2006. www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes /KMK%20No.
%20364%20ttg%20Pedoman%20Pengendalian%20Demam%20Tifoid.pdf.
[31 Oktober 2013].
23. Harahap, NH. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
repository.usu.ac.id/bitstream/4/Chapter %20II.pdf. [31 Oktober 2013]
21
24. Drive, Nancy R. 2009. A Review Article of Salmonella Typhi IgM ELISA.
www.genwaybio.com. [ 31 Oktober 2013 ].
25. Gasem MH, Smits HL, Goris MG, Dolmans WM. Evaluation of a simple and rapid
dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002;
51:173-177.
26. Sherwal BL, Dhamija RK, Randhawa VS, Jais M, Kaintura A, Kumar M . A Comparative
Study of Typhoid and Widal Test in Patient of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3) :
244-6. http:// medind.nic.in/jac/t04/i3/jact 04i3p244.pdf. [ 31 Oktober 2013 ].
27. A review article of Rapid Detection of Typhoid fever. IDL Botech, 2008. www.idl.se. [
31 Oktober 2013 ].
28. Anagha K, Deepika B, Shahriar R, Sanjeev K. The Easy and Early Diagnosis of Typhoid
Fever. JDCR. 2012;4058:2034. www.jcdr.net /articles/pdf/ 2034/12a-%204058.A.pdf.
[ 31 Oktober 2013 ].
29. Kasper DL, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J. Salmonellosis.
Harrisons Principles of Internal Medicine. 19th edition. United States : Mc Graw
Hill. 2015:1049-1052.
30. KONAS PETRI Bali 2010. Konsensus Penatalaksanaan Demam Tifoid. Bali. 2010.
22