Bab ini akan membahas hasil analisis penyimpangan penataan ruang di DAS
Ciliwung Bagian Hulu dengan cara membandingkan penataan ruang menurut RTRW
dengan keadaan nyata di lapangan (eksisting). Selain itu juga dijelaskan faktor-faktor
penyebab penyimpangan penataan ruang yang terjadi.
alam, kawasan pelestarian alam, kawasan cagar budaya, dan kawasan lindung lainnya,
serta menghindari berbagai usaha dan/atau kegiatan di kawasan rawan bencana alam.
Untuk kawasan lindung ini secara umum strategi pengelolaan yang dilakukan
adalah berupa pemantapan dan pengendalian kawasan lindung yang berfungsi baik
untuk wilayah Kabupaten Bogor sendiri maupun untuk wilayah yang lebih luas
(Jabodetabek). Sehubungan dengan itu maka kebijaksanaan yang terkait dengan
kawasan lindung ini mencakup usaha mempertahankan melalui rehabilitasi dan
reboisasi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999,
Rehabilitasi Hutan dan Lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan
meningkatan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas, dan
peranannya dalam mendukung sistem kehidupan tetap terjaga. Kegiatan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan diselenggarakan melalui kegiatan Reboisasi, Penghijauan,
Pemeliharaan, Pengayaan tanaman, atau Penerapan teknik konservasi tanah secara
vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis yang tidak produktif.
Kebijaksanaan kawasan lindung ini mencakup tentang kawasan hutan yang
telah ditetapkan perlu dipertahankan keberadaannya pada beberapa bagian kawasan
hutan tersebut. Hal yang perlu dilakukan dapat berupa upaya-upaya untuk
mengembalikan fungsi hutan dengan vegetasi yang sesuai dalam bentuk penanaman
kembali atau reboisasi dan rehabilitasi. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28
tahun 1985, Kegiatan Perlindungan Hutan bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan
agar dapat memenuhi fungsinya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan segala
usaha, kegiatan dan tindakan untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan
hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya alam,
hama dan penyakit, serta untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara atas
hasil hutan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999,
penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan
dan lingkungannya agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi
tercapai secara optimal dan lestari.
Di dalam kawasan lindung tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya
apapun kecuali bangunan penunjang fungsi kegiatan utama yang
bersangkutan/kepentingan umum/dan aktivitas wisata dan olahraga. Sasaran
pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk:
a) meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan, dan satwa,
serta nilai budaya dan sejarah bangsa; dan
53
TABEL IV.1
PENGGUNAAN LAHAN
DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU MENURUT RTRW
No Guna Lahan Luas (Ha) (%)
1 Hutan 5777 38,85
2 Perkebunan 3326 22,37
5 Permukiman Desa 1745 11,73
3 Pertanian Lahan Basah 1115 7,49
6 Permukiman Kota 1006 6,76
4 Pertanian Lahan Kering 846 5,69
7 Tanaman Tahunan 654 4,39
8 Pusat Kota 402 2,70
JUMLAH 14.871 100
Sumber: RTRW Kabupaten Bogor 1999-2009 & RTRK Bogor 2000-2010
fungsi lindung. Kegiatan pengawasan dilakukan dalam upaya menjaga agar tetap
terjaminnya kesesuaian penataan ruang dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan
dalam rencana yang dilakukan dalam bentuk pelaporan kegiatan, pemantauan, dan
evaluasi.
Sedangkan kegiatan penertiban adalah usaha untuk mengambil tindakan agar
pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Kegiatan penertiban dilakukan
melalui penegakkan prosedur perizinan dan pemberian perizinan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penertiban di kawasan lindung
dilakukan melalui penerapan ketentuan yang berlaku tentang analisis mengenai
dampak lingkungan hidup bagi berbagai usaha dan/atau kegiatan yang sudah ada di
kawasan lindung yang mempunyai dampak besar dan penting terhadap lingkungan
hidup. Penerapan juga dilakukan pada ketentuan-ketentuan untuk mengembalikan
fungsi lindung kawasan yang telah terganggu kepada fungsi kawasan lindung yang
diharapkan secara bertahap. Penertiban juga dilakukan melalui penegakkan peraturan
yang mewajibkan dilaksanakannya kegiatan perlindungan terhadap lingkungan hidup
dan rehabilitasi daerah bekas penambangan.
Setiap tindakan pelanggaran terhadap pemanfaatan ruang akan diberi sanksi
berupa:
sanksi adminitrasi
Sanksi administrasi berupa tindakan pembatalan izin dan pencabutan. Sanksi
ini dikeluarkan atas pelanggaran pemanfaatan ruang yang berakibat pada
terhambatnya pelaksanaan program pemanfaatan ruang.
sanksi perdata
Sanksi perdata yang diberikan berupa tindakan pengggunaan denda atau
penggunaan ganti rugi. Sanksi ini dikenakan atas pelanggaran penataan ruang
yang berakibat terganggunya kepentingan seseorang, kelompok, orang atau
badan usaha.
sanksi pidana
Sanksi pidana yang diberikan adalah penahanan atau kurungan. Sanksi ini
dikenakan atas pelanggaran penataan ruang yang berakibat terganggunya
kepentingan umum.
63
TABEL IV.2
PENGGUNAAN LAHAN
DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU SAAT INI
No Guna Lahan Luas (Ha) (%)
1 Hutan 5.066,49 34,06
2 Kebun Teh 2.783,63 18,71
3 Sawah 2.524,58 16,97
4 Permukiman 1.837,99 12,35
5 Kebun Campuran 1.529,78 10,28
6 Tegalan 700,57 4,71
7 Semak Belukar 426,53 2,87
8 Hutan Campuran 111,43 0,75
JUMLAH 14.876 100
Sumber: RTL-RLKT Sub DAS Ciliwung Hulu Tahun 2000
Penutupan lahan terbesar pada areal DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah
berupa hutan seluas 5.066,49 Ha atau 34,06 % dari keseluruhan luas wilayah DAS.
Pada wilayah hutan lindung, penyebaran vegetasinya tidak merata, sehingga terdapat
daerah gundul yang perlu segera direhabilitasi. Sekitar 30% kawasan Hutan di DAS
Ciliwung Bagian Hulu merupakan Hutan Produksi yang didominasi oleh jenis Pinus
yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Selain hal tersebut dapat
dijelaskan bahwa perubahan fungsi lahan yang terjadi terutama pada lahan budidaya
pertanian dan budidaya non pertanian (berupa permukiman perdesaan) dengan hak
kepemilikan perseorangan yang kemudian beralih fungsi menjadi lahan budidaya non
pertanian berupa permukiman perkotaan atau lahan untuk pariwisata.
Kebun teh juga banyak terdapat di DAS Ciliwung Bagian Hulu. Pada daerah
yang sangat tinggi dan sejuk, tanaman teh dapat tumbuh dengan subur. Hamparan
64
kebun teh ini memakan lahan yang luas, yaitu sekitar 2.783,63 hektar atau 18,71%
dari luas keseluruhan DAS Ciliwung Bagian Hulu. Sebaran kebun teh ini banyak
terdapat di DAS Ciliwung Bagian Hulu yang arahnya menuju puncak, yaitu di
Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua.
Penggunaan lahan untuk sektor pertanian seperti sawah dan kebun campuran
juga cukup banyak dengan letak sangat menyebar. Mengingat sebagian besar
penduduk di DAS Ciliwung Bagian Hulu memiliki mata pencaharian di sektor ini.
Sawah dan kebun campuran ada di setiap kecamatan dari Kecamatan Kota Bogor
Timur, Sukaraja, Ciawi, Megamendung, sampai Kecamatan Cisarua. Luas lahan
persawahan yang termasuk dalam pertanian lahan basah di DAS Ciliwung Bagian
Hulu adalah sebesar 2.524,58 hektar atau 16,97% dari total keseluruhan DAS
Ciliwung Bagian Hulu. Sedangkan kebun campuran yang termasuk pertanian lahan
kering luasnya 1.529,78 hektar (10,28%).
Pemanfaatan lahan di DAS Ciliwung yang menempati urutan keempat adalah
permukiman. Permukiman menghabiskan wilayah DAS Ciliwung Bagian Hulu
sebesar 12,35% atau 1.837,99 hektar. Permukiman ini berupa permukiman penduduk
desa, tempat peristirahatan, hotel, villa, dan real estate. Sebelumnya, DAS Bagian
Hulu ditetapkan sebagai daerah tangkapan air hujan, namun penggunaan lahan untuk
permukiman dari tahun ke tahun terus meningkat. Selain karena pertumbuhan dari
penduduknya sendiri, permukiman tumbuh karena adanya permintaan dari pihak
pendatang.
Pemanfaatan lahan untuk permukiman ini juga menyebar di setiap kecamatan
di DAS Ciliwung Bagian Hulu. Permukiman yang ada paling luas berada di
Kecamatan Cisarua sebesar 920,88 hektar atau lebih dari setengah luas permukiman
yang ada di DAS Ciliwung Bagian Hulu. Luas permukiman di Kecamatan
Megamendung adalah 589,84 hektar, di Kecamatan Ciawi sebesar 145,48 hektar, di
Kecamatan Sukaraja terdapat lahan permukiman sebesar 14,41 hektar, dan di
Kecamatan Kota Bogor Timur seluas 167,29 hektar. Kawasan permukiman ini
tumbuh di dekat jalan-jalan utama (ada jalan propinsi yang menghubungkan Kota
Jakarta dan Kota Bandung) dan jalan lokal. Permukiman juga terdapat di sekitar tepi
sungai dan di pegunungan yang iklimnya sejuk.
Daerah yang sejuk dan adanya objek wisata seperti Taman Safari dan Taman
Wisata Gn. Gd. Pangrango menjadikan daya darik orang-orang untuk datang.
65
TABEL IV.4
VILLA DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU
No. Kecamatan Jumlah villa (unit) Luas (Ha)
1 Cisarua 1046 20,92
2 Megamendung 669 13,38
3 Ciawi 321 0,12
TOTAL 2036 34,42
Sumber: Nining, 2003
TABEL IV.5
PENYIMPANGAN PENGGUNAAN LAHAN
DI DAS CILIWUNG BAGIAN HULU
No. Penggunaan Lahan RTRW Saat Ini Penyimpangan
(%) (%) (%)
1. Hutan 38,85 34,06 - 4,79
2. Perkebunan 22,37 18,71 - 3,66
3. Permukiman 18,49 12,35 - 6,14
4. Pertanian Lahan Basah 7,49 16,97 + 9,48
5. Pertanian Lahan Kering 5,69 14,99 + 9,30
6. Semak Belukar - 2,87 2,87
7. Hutan Campuran - 0,75 0,75
TOTAL 36,99
Sumber:Hasil Analisis, 2007
72
75
berasal dari penduduk lokal. Pembangunan villa dan real estate yang tidak terencana
dalam skala besar menyebabkan kerusakan lingkungan dan penurunan daya dukung
lingkungan. Selain itu, pembangunan villa yang mengkonversi guna lahan dari
pertanian ke perumahan mengakibatkan berkurangnya lapangan pekerjaan bagi
penduduk setempat di bidang pertanian.
Rusaknya DAS adalah salah satu akibat dari masih lemahnya penegakan
hukum. Serta harus disadari bahwa air semakin lama akan semakin langka, karena
itu harus diupayakan agar air tetap tersedia. Sesuai dengan sistem hidrologi, air akan
mengalir ke tempat yang lebih rendah, dan Jakarta letaknya memang lebih rendah dari
Kabupaten Bogor sehingga air dipastikan akan mengalir ke Jakarta. Untuk itu, DAS
Ciliwung Bagian Hulu sebagai daerah penyangga perlu dijaga sehingga bisa menjadi
tempat konservasi air. Namun sayangnya kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu sudah
banyak yang dijadikan daerah permukiman, sehingga tidak lagi mengindahkan tata
ruang dan lingkungan, dan kondisi tersebut berakibat terjadinya erosi dan banjir.
Padatnya perumahan mewah di sejumlah lahan yang dianggap kritis selama ini
telah menyebabkan air hujan yang terus mengguyur DAS Ciliwung Bagian Hulu tidak
tertampung dan terus mengalir hingga daerah sekitarnya. Puluhan hektar hutan yang
dalam sepuluh tahun belakangan ini menjadi paru-paru Ibukota, kini tinggal kenangan
karena banyak yang telah berubah menjadi lahan beton. Meskipun ada Keppres dan
ketentuan lain dari pemerintah tentang pembangunan di kawasan tersebut, para
investor tetap melirik DAS Ciliwung Bagian Hulu sebagai lahan bisnis untuk
membangun villa mewah bagi kalangan berduit.
Selama ini pelaksanaan peraturan yang mengatur pembangunan di DAS
Ciliwung Bagian Hulu dinilai sangat longgar. Hutan sudah gundul karena
pembangunan kawasan real estate, atau untuk perkebunan sayur-sayuran dan buah-
buahan. Keadaan hidrologis sudah rusak. Air hujan tak lagi bisa diserap tanah dan
langsung saja mengalir ke sungai (http://www.kompas.com diakses pada 14 januari
2007 pukul 09.45).
Pada akhirnya kesemua itu berdampak pada kemacetan lalu lintas yang
semakin hari semakin parah terutama pada jalur-jalur jalan protokol menuju kawasan
Puncak, pencemaran air dan udara akibat industri dan transportasi, dan meningkatnya
kriminalitas dan pola kehidupan yang menyimpang. Semua itu mewarnai kehidupan
sosial ekonomi yang mengakibatkan makin tidak terjangkaunya perwujudan rasa
tertib, aman, dan nyaman dalam kehidupan kota pegunungan, begitu pula yang terjadi
78
terhadap pengguna jalan yang melewati DAS Ciliwung Bagian Hulu baik dari arah
Jakarta-Bandung maupun sebaliknya. Jika keadaan tersebut di atas dibiarkan berlarut-
larut tanpa ada upaya, antisipasi dini, pemikiran, perencanaan, solusi, dan pelaksanaan
yang terpadu terutama dari pihak-pihak terkait, sudah bisa dipastikan bahwa
perkembangan pembangunan fisik, sosial ekonomi, keamanan, ketertiban akan lebih
semrawut. Kalau kesemrawutan, keamburadulan tidak teratasi, daya tarik kawasan
DAS Ciliwung Bagian Hulu akan menurun baik bagi investor, masyarakat, maupun
pengguna jalan yang menuju Puncak. Akibatnya, kegiatan ekonomi akan terhambat,
kekumuhan akan berkembang, dan kualitas kehidupan akan menurun.
Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumber daya alam adalah menciptakan
untuk selanjutnya mempertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan
hidup manusia dan keterlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumber daya alam.
Dengan demikian, adalah juga merupakan keterlajutan keberadaan dan layanan
lingkungan (ecological services) bagi kehidupan manusia. Keterlanjutan pemanfaatan
dan pencagaran sumber daya alam didefinisikan sebagai suatu proses perubahan
dimana kesinambungan pemanfaatan dan pencagaran sumber daya alam, arah
investasi pemanfaatan sumber daya alam, dan perubahan kelembagaan yang berkaitan
dengan sasaran pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam tersebut konsisten
dengan sasaran pemanfaatan saat ini dan di masa yang akan datang (World
Commission on Environment And Development, 1987). Dalam bahasa yang lain
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) seperti yang telah
dikenal secara luas melalui buku our common future, pembangunan yang dikatakan
berkelanjutan adalah bila developments that meets the needs of da present without
compromising the ability of future generation to meet their own needs (Dieren,
1995). Pengelolaan DAS diharapkan dapat mencapai pembangunan yang
berkelanjutan.
Pengelolaan DAS sangat penting untuk mendukung konsep pengembangan
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable developmant). Masalah Pembangunan
Berkelanjutan merupakan isu yang menarik dan terus berkembang sampai saat ini.
Pembangunan berkelanjutan harus dihadapi dan disikapi secara arif dan bijaksana,
konsisten, menjunjung tinggi aspek hukum, sosial, dan kemanusiaan, serta melibatkan
semua elemen pembangunan secara holistik/integratif. Pengelolaan ini meliputi proses
formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumber
daya alam dan sumber daya manusia yang terdapat di daerah aliran sungai untuk
79
memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa mengakibatkan kerusakan sumber daya
air dan tanah. Pengelolaan dan alokasi sumber daya alam di daerah aliran sungai
meliputi pencegahan banjir dan erosi, serta pelindungan nilai keindahan yang
berkaitan dengan daerah hulu dan hilir suatu DAS. Hal ini sangat diprioritaskan
mengingat segala kegiatan yang terjadi di daerah hulu akan mempengaruhi aktivitas
yang dilakukan di daerah hilir. Pengelolaan DAS perlu mempertimbangkan aspek-
aspek sosial, ekonomi, budaya, dan kelembagaan yang beroperasi di dalam dan luar
daerah aliran sungai yang bersangkutan.
Konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) saat ini
sedang hangat dibicarakan. Dalam konteks DAS, pembangunan yang berkelanjutan
dapat dicapai apabila perangkat kebijaksanaan yang akan diterapkan pada pengelolaan
DAS telah mempertimbangkan banyak hal. Pengelolaan DAS dan konservasi tanah
dan air merupakan alat untuk tercapainya pembangunan sumber daya air dan tanah
yang berkelanjutan. Pengelolaan sumber daya alam yang tidak memadai (pada skala
DAS) telah menyebabkan degradasi tanah dan air, dan pada nantinya menurunkan
kemakmuran rakyat pedesaan
Penyebab utama tidak memadainya cara pengelolaan sumber daya air tersebut
di atas seringkali berkaitan dengan kurangnya pemahaman keterkaitan biogeofisik
antara daerah hulu-hilir DAS sehingga produk kebijaksanaan yang dihasilkan tidak
atau kurang memadai untuk dijadikan landasan pengelolaan DAS. Adanya
ketidaksesuaian antara batas alamiah (ekologi) dan batas administrasi (politik) suatu
DAS seringkali menjadi kendala bagi tercapainya usaha pengelolaan DAS yang
komprehensif dan efektif. Tantangan kebijakan dalam pengelolaan DAS yang cukup
mendesak adalah mengusahakan tercapainya keselarasan persepsi antara dua sisi
pandang tersebut di atas.
Oleh karenanya, kebijakan pengelolaan DAS yang perlu dibuat dan
dilaksanakan adalah yang mendorong semua aktor yang terlibat dalam aktivitas
pengelolaan sumber daya alam pada skala DAS saling menyadari dampak apa yang
akan ditimbulkan oleh aktivitas yang dilakukannya. Dengan demikian, dapat
dilakukan evaluasi dini terhadap gejala-gejala terjadinya degradasi lingkungan dan
tindakan perbaikan yang diperlukan dapat segera dilaksanakan.
Tuntutan kebutuhan lahan bagi kegiatan pembangunan perumahan,
perdagangan, pertanian dan lain-lain mengarah pada penggunaan lahan non-budidaya,
kawasan hutan lindung, dan banyak lagi pembangunan di tempat-tempat yang
80
dilarang untuk dibangun. Namun karena berbagai alasan dan tekanan ekonomi serta
tekanan berbagai pihak, maka pembangunan yang ilegal tersebut menjadi marak dan
tidak terelakkan lagi. Ketidaksesuaian pemanfaatan lahan, penggunaan lahan,
ditambah dengan ketidaktertiban pembangunan, terjadi pelanggaran peraturan, terjadi
penyerobotan hak kepemilikan lahan, dan lain sebagainya. Itu semua mengakibatkan
banyak masalah dan ujung-ujungnya bermuara pada degradasi lahan, ekologi
terganggu yang berdampak pada bencana dan malapetaka bagi kehidupan manusia itu
sendiri.
Dari aspek-aspek tersebut di atas kalau kita perhatikan bahwa gejala dan
perkembangan penyimpangan pembangunan perumahan, villa dan bangunan-
bangunan lainnya yang terjadi telah menunjukkan merosotnya nilai lingkungan hidup
(sosial dan lingkungan) dan degradasi lahan (fisik). Secara fisik dapat dilihat dalam
bentuk,
a) makin pesatnya perkembangan pembangunan perumahan, villa, pedagang
sayuran, buah-buahan dan bangunan liar lainnya yang tidak terkendali;
b) maraknya pembangunan serta peningkatan sarana dan prasarana kota
pegunungan yang tidak terstruktur;
c) meningkatnya pergeseran fungsi kawasan hijau menjadi perumahan, villa, dan
lain-lain; dan
d) belum tertibnya tata cara pembangunan fisik, sosial, dan lingkungan yang
sesuai dengan aturan yang berlaku.
Untuk mengatasi masalah pendirian villa-villa ini, tidak ada program terpadu
yang menghentikan masalah ini sekaligus menanggulangi masalah banjir, dimana hal
tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Daerah untuk melaksanakannya. Kebijakan
pendirian villa atau bangunan adalah tanggung jawab Pemerintah Daerah. Jika
kemudian ada hal-hal yang menyimpang seharusnya menjadi tanggung jawab
Pemerintah Daerah pula. Jika Pemerintah Daerah memang telah memuat kebijakan
yang turut memperhatikan adanya program pengendalian banjir, namun kemudian
melihat adanya penyimpangan dalam hal tersebut seperti pembuatan villa-villa di
DAS Ciliwung Bagian Hulu, pendirian bangunan tanpa IMB, dan pembuangan
sampah oleh masyarakat yang sembarangan, seharusnya mereka sebagai pihak yang
berwenang dapat menindak dan memberi sanksi pada para pelakunya.
Jadi bagaimana nasib kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu yang asalnya asri,
indah menawan, sejuk, dengan panorama yang menawan, kini menjadi kota
81
pegunungan yang tidak aman, tidak nyaman, jauh dari tertib. Apakah akan kita
biarkan masa depan DAS Ciliwung Bagian Hulu tersayang menjadi suram. Itu semua
terpulang pada kita semua, baik aparat pemerintah, swasta, masyarakat, pengusaha,
dan semua lapisan untuk bisa menyadari bahwa lingkungan DAS Ciliwung Hulu
harus betul-betul dapat mempertahankan ekologinya sesuai karakter aslinya. Hasil
usaha "kita" semua mudah-mudahan dapat memberikan andil dalam rangka
melestarikan kawasan DAS Ciliwung Bagian Hulu untuk dapat diwariskan kepada
anak-anak bangsa Indonesia di masa depan.
A. EKONOMI
Peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat menyebabkan pertumbuhan
permukiman yang tidak teratur. Perkembangan sektor pariwisata berdampak pada
perkembangan sektor perdagangan dan jasa, terutama di bidang sektor informal bagi
penduduk setempat dan sekitarnya. Banyak penduduk yang terserap pada bidang
perdagangan dan jasa seperti hotel/restoran, atau membuka usaha tempat oleh-oleh
dan warung untuk berjualan sendiri. Keadaan yang menguntungkan ini menyebabkan
penduduk perdesaan bermigrasi untuk mengadu nasib. Hal ini menyebabkan
permintaan pembangunan permukiman yang baru meningkat. Akhirnya penduduk
membangun permukiman baru bahkan sampai merambah pada pinggir sungai.
Permukiman kumuh pun muncul di pinggir sungai dan menyebabkan pencemaran
pada sungai karena penduduknya langsung membuang limbahnya ke sungai.
Penyimpangan penggunaan lahan lebih banyak dilakukan oleh pembangunan
permukiman yang bersifat mewah seperti villa, resort, dan real estate. Permukiman
mewah yang banyak dibangun oleh warga Jakarta ini mengganggu fungsi kawasan
lindung karena dibangun tanpa mengikuti kaidah-kaidah keseimbangan alam. Villa
yang dibangun biasanya berada di kemiringan >40%. Real estate dibangun dengan
82
melakukan penggundulan hutan dan dengan kerapatan yang tinggi sehingga tidak
dapat menyerapkan air ke dalam tanah. Warga Jakarta yang memang mempunyai
kemampuan ekonomi yang jauh lebih baik daripada penduduk setempat senang
menghabiskan weekend-nya di daerah ini. Mulanya banyak penduduk yang membeli
tanah untuk membangun villa/resort tetapi akhirnya developer mulai melirik daerah
ini dan mengembangkan real estate. Keadaan ini tentunya juga memberikan
keuntungan bagi penduduk setempat, biasanya mereka berprofesi sebagai penjaga
villa atau tukang kebun.
lebih tegas dalam menindak villa-villa yang sudah dibangun dan tidak menerbitkan
izin pembangunan villa lagi di kawasan lindung dan resapan air.
Apa yang dilakukan oleh para pengembang di DAS Ciliwung Bagian Hulu,
terutama yang termasuk kawasan puncak, itu hanyalah salah satu contoh di antara
banyak praktik para pengembang di berbagai daerah lainnya di Indonesia, termasuk
yang di daerah Jabotabek. Dalam banyak praktik para pengembang, uang semir
(suapan) bagi para pejabat merupakan faktor yang memainkan peran penting. Artinya,
izin diperjualbelikan, dan pelanggaran dibiarkan saja oleh para pejabat, asal KUHP
(kasih uang habis perkara).
Meskipun sudah banyak peraturan yang mengatur dan menata DAS Ciliwung
Bagian Hulu, namun pelanggaran pembangunan dan penggunaan lahan masih tetap
berjalan terus. Ada beberapa penyebab terjadinya pelanggaran tersebut antara lain:
a) lemahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang akibat degradasi
lahan dan terganggunya ekologi;
b) lemahnya penegakan hukum;
c) lemahnya pengawasan dan pengendalian pembangunan di kawasan tersebut;
dan
d) masih terjadi praktik-praktik KKN dalam berbagai skala.
Dengan banyaknya kawasan real estate yang diselenggarakan oleh para
pengembang (developer), maka terjadi banyak juga pelanggaran-pelanggaran.
Berbagai proyek real estate yang dibangun di masa lalu merupakan proyek
kongkalikong antara para pengembang (atau para konglomerat) dengan para pejabat
di banyak instansi yang berhak mengeluarkan berbagai izin. Jika tata ruang kawasan
DAS Ciliwung Bagian Hulu yang merupakan kawasan resapan air sudah tersusun
secara benar, Pemda setempat juga seharusnya konsekuen menegakkan aturan dengan
melarang bangunan real estate berada di kawasan resapan air dan kawasan hutan
lindung yang ada.
Perencanaan pembangunan juga sudah dilaksanakan oleh pihak
Bappeda bagian tata ruang. Namun sayangnya masih terdapat
penyimpangan dalam pelaksanaannya. Dalam hal ini Bappeda juga
tidak mau disalahkan karena Bappeda berperan sebagai perencana,
bukan pelaksana. Harus diakui sistem pengendalian tata ruang kita,
baik daerah maupun skala nasional sangat lemah. (Danny, 2004)
hanya dengan diberi imbalan yang besar. Pemerintah Daerah juga mudah disuap
untuk meloloskan izin pembangunan yang sebenarnya menyalahi aturan. Sebenarnya
bagaimanakah cara yang efektif untuk menegakkan hukum dan menjalankan
punishment dengan jujur dan adil.
C. WADAH KOORDINASI
Keberadaan wadah organisasi dalam pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu
ini memegang peran yang sangat penting untuk mewujudkan pengendalian tata ruang.
Wadah organisasi dapat berupa organisasi yang bersifat sektoral dalam kabupaten.
Kabupaten yang berwenang dalam pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu adalah
Pemerintah Kabupaten Bogor. Pemkab juga harus mengkoordinasikan kegiatannya
dengan pemerintah yang berada di kawasan hilir (DKI Jakarta). Karena setiap
kegiatan yang akan dilakukan di daerah hulu akan berdampak pada daerah hilirnya.
Kegiatan harus dijalankan secara koordinatif melalui lintas sektor dan lintas
kabupaten-kota.
Koordinasi juga tidak hanya dilakukan antar Pemerintah Kabupaten-Kota,
tetapi juga dengan Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat telah membentuk badan
pengelolaan sendiri untuk menangani masalah DAS. Badan tersebut antara lain adalah
Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung dan Induk Pelaksana Kegiatan
Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (IPK-PWSCC). Kedua badan
tersebut memiliki program kerjanya masing-masing. Misalnya saja Balai Pengelolaan
DAS Ciliwung Cisadane yang memiliki fokus pada usaha rehabilitasi hutan dan lahan.
Balai Pengelolaan DAS Citarum-Ciliwung merupakan badan pengelolaan asuhan
Dinas Kehutanan sedangkan Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah
Ciliwung Cisadane dikelola dibawah naungan Departemen Pekerjaan Umum (PU).
IPK-PWSCC selama ini lebih concern terhadap penanggulangan masalah banjir di
DKI Jakarta dan sekitarnya. Salah satu proyek yang dikerjakannya bersama pihak
swasta adalah proyek Banjir Kanal Timur (BKT).
Badan pengelolaan membuat program berdasarkan kebutuhan untuk
pengelolaan DAS yang dapat mendukung usaha konservasi tanah dan air. Misalnya
program tata ruang bagi permukiman, industri, pertanian, pengelolaan limbah
domestik cair dan padat, penanggulangan lahan kritis, dan konservasi daerah resapan.
Pengelolaan ini melibatkan aspek lingkungan, hidrologi dan hidrogeologi, pertanian,
pekerjaan sipil, lingkungan, dan planologi.
87
D. Hubungan Pemerintah-Masyarakat
Masyarakat sebagai pengguna sumber daya merupakan salah satu penyebab
terjadinya ketidakteraturan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu.
Masyarakat perdesaan misalnya, membuka hutan untuk menciptakan lahan baru yang
akan digunakan untuk bertani dan bercocok tanam. Masyarakat perdesaan juga
membangun permukiman tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan dan tidak
mengetahui dampaknya bagi kawasan hilir sungai. Masyarakat pendatang juga sama
saja, mereka membangun villa, real estate, usaha perhotelan, restoran seenaknya.
Banyak bangunan yang dibangun dengan menyalahi aturan dan tanpa IMB.
Kegiatan pengrusakan hutan dilakukan masyarakat karena mereka kurang
mengetahui program pemerintah. Rencana pengelolaan dan peraturan hanya diketahui
oleh Bupati, Camat, dan Lurah tanpa disebarluaskan kepada masyarakat. Masyarakat
yang memang gaya hidupnya demikian tidak mengetahui bahwa tindakan pembukaan
lahan pertanian baru dapat mengganggu keseimbangan alam. Tindakan penggundulan
hutan juga menyebabkan kualitas air menurun dan warna air sungai menjadi keruh
dan tidak jernih lagi.
Program pemerintah hanya sebatas pelaksanaan saja, hanya bersifat proyek.
Hal ini menyebabkan program yang dilakukan pemerintah tidak berkesinambungan.
Pemerintah membangun tanpa diketahui maksudnya apa dan kurang disadari hasilnya
oleh masyarakat. Hubungan pemerintah dan masyarakat tidak mendalam padahal
menjaga kelestarian lingkungan bukan hanya tugas pemerintah saja. Untuk
mengoptimalkan pewujudan otonomi daerah seharusnya masyarakat harus
diikutsertakan dalam perumusan masalah sampai pengambilan keputusan.
E. Masyarakat
Upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan di sepanjang DAS Ciliwung ini
sebenarnya tak terlalu sulit, yaitu hanya berupa perangkat peraturan. Bangunan-
bangunan villa dan rumah peristirahatan yang sudah terlanjur dibangun tidak perlu
dibongkar. Peraturan itu adalah keharusan bagi setiap bangunan di DAS tersebut
untuk membuat sumur-sumur resapan, seperti yang sudah dilakukan di Jepang. Kalau
keharusan itu bisa dikaitkan dengan IMB (Izin Mendirikan Bangunan), barangkali
"sakitnya" Sungai Ciliwung yang membawa bencana buat orang Jakarta itu akan bisa
sedikit berkurang.
88
F. Pendanaan
Aspek pendanaan dalam pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu juga masih
menjadi persoalan. Pemerintah membutuhkan investasi dalam bentuk uang yang tidak
sedikit. Pembiayaan pengelolaan DAS secara terpadu dapat menggunakan alokasi
dana yang ada di setiap departemen yang terkait, baik yang berasal dari APBN,
APBD, atau bantuan luar negeri dengan cara merubah diversifikasi dan distribusi
sehingga lebih efektif dan efisien. Untuk dana yang berasal dari PAD, dana dapat
diambil dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), atau Dana
Alokasi Khusus (DAK).
Di samping itu pemerintah perlu mengikutsertakan masyarakat dan swasta
untuk membiayai sektor pengelolaan DAS. Masyarakat dan swasta tentu mau diajak
bekerjasama untuk membiayai pengelolaan DAS jika mereka memperoleh
keuntungan, misalnya pembuatan bendungan yang bertujuan untuk tempat rekreasi
dan sumber air bersih. Begitu pula dipikirkan mekanisme pembiayaan pengelolaan
DAS melalui kebijaksanaan satu pintu termasuk juga untuk tindakan atau kegiatan
yang akan dilakukan harus melalui penyaringan agar tidak terjadi tumpang tindih
penelitian dan konflik kepentingan (conflict of interest).
Mekanisme pendanaan pengelolaan DAS Ciliwung Bagian Hulu juga harus
dikoordinasikan antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. DAS Ciliwung
melewati dua propinsi, yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat. Hulu DAS Ciliwung
terdapat di Kabupaten Bogor, daerah tengah melewati Kota Bogor, dan daerah hilir
berada di Kota Jakarta. Oleh karena itu mekanisme pendanaannya dilakukan dengan
cara lintas kabupaten. Pengelolaan DAS Ciliwung harus dilakukan secara terpadu atau
terintegrasi agar tumpang tindih program tidak terjadi.