Anda di halaman 1dari 20

BAB I

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. SE

Umur : 18 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : JL. Utan Panjang II

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Status Pernikahan : Menikah

Agama : Islam

II. Anamnesis

Autoanamnesis pada hari Rabu, 18 Oktober 2017

Keluhan Utama : Timbul bercak berwarna kemerahan pada dahi di antara kedua alis
berbentuk bundar sebesar koin logam dan mati rasa sejak 3 bulan yang lalu.

Keluhan Tambahan : -

Riwayat Perjalanan Penyakit :

Awalnya bercak tilmbul satu tahun yang lalu, pada tangan sebelah kanan, berukuran
sebesar koin logam, berwarna kemerahan dan bersisik halus, berbatas tegas. Bercak tidak
terasa nyeri namun tersa gatal ringan yang hilang timbul. Gatal tidak dipengaruhi dengan saat
keluarnya keringat. Bercak tersebut semakin hari semakin melebar dan rasa gatalnya
berkurang bahkan menjadi baal. Pasien kemudian datang berobat ke Puskesmas, dan
diberikan salep yang dioleskan pagi dan malam. Namun pasien lupa nama salepnya. Setelah
penggunaan salep pasien mengatakan tidak ada perbaikan. Bahkan bercaknya bertambah
besar.

Enam bulan yang lalu bercak di tangan kanan semakin melebar hingga ke siku dan
telapak tangan, warnanya berubah menjadi keputihan, dengan tepian yang kemerahan. Pasien

1|Page
mengatakan kulitnya menjadi sangat kering dan bersisik, tidak nyeri dan terkadang terasa
gatal ringan. Beberapa bercak baru yang serupa juga mulai timbul pada tangan kiri, kaki kiri
dan punggung kaki kiri. Ukuran awalnya hanya sebesar koin hingga semakin hari semakin
melebar. Bercaknya berwarna putih dengan tepi kemerahan berbatas tegas, bersisik halus,
tidak nyeri dan baal.

Empat bulan yang lalu bercak yang serupa juga timbul di kaki kanan, berukuran
sebesar koin logam, terasa gatal ringan yang hilang timbul. Pasien juga mengeluhkan jari
kelingking tangan kanannya menjadi baal dan sulit digerakan. Kemudian tiga bulan yang lalu
timbul benjolan pada dahi bagian tengah antara kedua alis, berwarna kemerahan, berukiran
2x3 cm, berbatas tegas, dengan tepian yang lebih menonjol, bersisik halus dan terasa baal
yang membuat pasien datang berobat ke poliklinik kulit dan kelamin Rumah Sakit Gatot
Soebroto.

Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, tidak ada
keluarga maupun orang disekitar rumah yang memiliki keluhan yang sama namun pasien
memiliki teman yang mempunyai keluhan yang sama dengan pasien. Pasien tidak memiliki
riwayat alergi. Pasien mengatakan rajin menjaga kebersihan dengan mandi 2 kali sehari.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada
III. Pemriksaan Fisik (Pemeriksaan pada tanggal 18 Oktober 2017)

Kesadaran : Compos Mentis


Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Status gizi : Baik
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 52 kg
IMT : 21,64 ( normal ) kg/m2
Tanda-tanda Vital
Tekanan Darah : Tidak dilakukan
Frekuensi Nadi : 80 kali/menit
Frekuensi Napas : 20 kali/menit
Suhu Tubuh : Afebris

2|Page
Status Generalis

Kepala : Normocephali
Mata : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
Hidung : Sekret hidung (-), septum deviasi (-).
Telinga : Sekret telinga (-)
Tenggorokan : Tonsil T1-T1 tenang, faring tidak hiperemis
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : Bentuk datar, tidak ada lesi
Abdomen : Tidak ada nyeri tekan
Hepar : Tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
Limpa : Tidak ada pembesaran, tidak ada nyeri
Ektremitas : Akral hangat, tidak ada edema dan sianosis
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Khusus

Wajah : Facies leonina (-)


Alis Mata : Alopesia (-/-)
Mata : Logofthalmus (-/-), madarosis (-/-)
Hidung : Saddle Nose (-)
Telinga : Benjolan pada cuping telinga (-)
Mulut : Lidah tidak berbenjol-benjol
Ekstremitas atas : Claw hand (-/-), Wrist drop (-/-), deformitas (-/-), atrofi (-/-),
edema (-/-)
Ekstremitas bawah : Foot drop (-/-). Edema (-/-)

Tes Fungsi Saraf


I. Sensibilitas
Rasa Raba : Anestesi jelas pada seluruh lesi, namun kurang jelas pada lesi di regio
facialis dan cruris dextra.
Rasa Nyeri : Anestesi jelas pada seluruh lesi, namun kurang jelas pada lesi di regio
facialis dan cruris dextra.
Rasa Suhu : Anestesi jelas pada seluruh lesi, namun kurang jelas pada lesi di regio
facialis dan cruris dextra.

3|Page
II. Motorik
N. Ulnaris : kekuatan motorik lemah pada N.Ulnas sinistra
N. Medianus : kekuatan motorik baik
N. Radialis : kekuatan motorik baik
N. Poplitea Lateralis: kekuatan motorik baik

III. Otonom
Tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Saraf Tepi

N. Auricularis magnus : menebal D/S (-/-), nyeri D/S (-/-)


N. Ulnaris : menebal D/S (-/-), nyeri D/S (-/-)
N. Poplitea Lateralis : menebal D/S (-/-), nyeri D/S (-/-)
N. Tibialis Posterior : menebal D/S (-/-), nyeri D/S (-/-)

IV. Status Dermatologikus

Lokasi dan Effloresensi :

- Pada Regio antebrachii dextra sinista, palmaris dextra, cruris dextra dan sinistra, dan
pedis sinistra tampak plak hipopigmentasi, dengan berbagai ukuran, ukuran terkecil
berdiameter 4cm dan terbesar berdiameter 25cm, berbatas tegas, dengan tepi yang
lebih menonjol, berskuama halus, dan tersebar regional.

- Pada Regio fasialis daerah tengah dahi antara kedua alis tampak plak eritematosa,
ukuran numular, berbatas tegas, dengan tepian lebih menonjol, berskuama halus.

4|Page
Regio antebrachii

Gambar 1.1. Lesi pada tangan dan legan bawah

Gambar 1.2. Lesi pada lengan bawah

5|Page
Regio cruris dan pedis

Gambar 1. 3. Lesi pada tungkai bawah dan kaki

Regio facialis

Gambar 1. 4. Lesi di antara kedua alis

6|Page
V. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan kerokan KOH
Hasil (6 Oktober 2017) : - ( negatif)
2. Pemeriksaan BTA dari hasil kerokan pada cuping kedua telinga bagian bawah dan
pada 3 lesi lain di bagian kedua tangan dan tungkai kiri.
Hasil ( 9 Oktober 2017) : Indeks Bakteri (IB) : 0/5
Indeks Morfologi (IM) : 0 %
3. Pemeriksaan Histopatologi
Hasil ( 12 Oktober 2017): Histopatologi sesuai Granuloma peradangan khronis,
sugestif tuberkulosis, MH Mycosis

VI. Resume
Ny. S, 18 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin Rumah Sakit Gatot Soebroto
dengan keluhan timbul bercak berwarna kemerahan pada dahi di antara kedua alis dan terasa
baal sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya percak pertama tilmbul setahun yang lalu, pada tangan
sebelah kanan, berukuran sebesar koin logam, berwarna kemerahan dan bersisik halus,
berbatas tegas. Bercak tidak terasa nyeri namun tersa gatal ringan yang hilang timbul. Bercak
tersebut semakin hari semakin melebar hingga menyebar ke tangan kiri, tungkai kanan kiri
dan punggung kaki kiri. Pasien kemudian datang berobat ke Puskesmas, dan diberikan salep
namun tidak ada perbaikan.

Dari hasil pemeriksaan fisik pada test sensibilitas rasa raba , rasa nyeri dan rasa suhu
Anestesi jelas pada seluruh lesi namun kurang jelas pada lesi di regio facialis dan cruris
dextra. Pemeriksaan saraf motorik melemah pada N. Ulnaris sinistra. Status generalisata
dalam batas normal, status dermatologikus pada regio antebrachii dextra sinista, palmaris
dextra, cruris dextra dan sinistra, dan pedis sinistra tampak plak hipopigmentasi, dengan
berbagai ukuran, ukuran terkecil berdiameter 4cm dan terbesar berdiameter 25cm, berbatas
tegas, dengan tepi yang lebih menonjol, berskuama halus, dan tersebar regional. Pada Regio
fasialis daerah tengah dahi antara dua alis tampak plak eritematosa, ukuran numular, berbatas
tegas, dengan tepian lebih menonjol, berskuama halus. Hasil pemeriksaan KOH negatif,
pemeriknya BTA hasilnya negatif, dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan sesuai
granuloma peradangan khronis, sugestif tuberkulosis, MH Mycosis.

7|Page
VII. Diagnosis Kerja
Morbus Hansen tipe MB (Multibasiler)

VIII. Diagnosis Banding


Tidak ada

IX. Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
-Rifampicin 600 mg setiap bulan
-DDS 1x100 mg perhari
-Klofazimin 300 mg setiap bulan dilanjutkan klofazimin 50 mg pada hari ke 2-28.
-Vitamin B1,B6,B12 tablet 1x1

b. Non medikamentosa
- Edukasi untuk rutin berobat dan laporkan jika ada lesi baru
- Edukasi untuk sering memeriksa adanya memar atau luka pada kulit dan merawat
kulit
- Edukasi komplikasi penyakit
- Menjaga hygenitas dan konsumsi makanan bergizi

X. Prognosis
Quo ad vitam : Ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

8|Page
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Morbus Hansen

2.1 Definisi
Istilah kusta berasal dar bahasa sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen,
sesuai dengan nama yang menemukan kuman. Kusta atau Morbus Hansen (MH) merupakan
penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat
intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1

2.2 Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan jumlah kasus kusta baru di
dunia pada tahun 2011 adalah 219.075. Dari jumlah tersebut paling banyak terdapat di
regional Asia Tenggara (160.132) diikuti regional Amerika (36.832), regional Afrika
(12.673) dan sisanya berada di regional lain di dunia.2 Cara penularan belum diketahui pasti
hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan
erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari
dalam droplet. Masa tunas antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-
rata 3-5 tahun. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di
seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit
tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa
oleh orang-orang Cina. Distribuasi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri
ternyata berbeda-beda. Faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang
berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas dan kemungkinan adanya reservoir
diluar manusia.1

2.3 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN
pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam
media artifisial. M. Leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 m x 0,5 m, tahan asam dan

9|Page
alkohol serta Gram Positif. Bakteri M. leprae tidak dapat dikultur dan membutuhkan keadaan
intraselular untuk berkembang karena mempunyai beberapa enzim pernapasan untuk
bertahan. Selain itu, M. leprae juga menyerang lamina basal dari unit akson sel Schwann
sehingga saraf yang terkena adalah sistem saraf perifer.3

2.4 Patogenesis

Penyakit Kusta adalah infeksi kronis oleh Mycobacterium leprae, yang secara primer
menyerang saraf tepi dan sekunder menyerang kulit dan berbagai organ lain. Berarti yang
diserang oleh kuman secara awal adalah saraf tepi lebih dahulu, baru selanjutnya ke kulit dan
organ lain. Dari definisi tersebut dapat dimaklumi bahwa sebelum munculnya lesi kusta di
kulit, telah terjadi serangkaian proses patologis mulai saat sel Schwann di perineurium
dimasuki oleh basil kusta dan akhirnya mereka bersarang di sel tersebut.3,4

Setelah kuman memperbanyak diri di dalamnya, sel tersebut akhirnya pecah dan
kuman tersebar keluar yang selanjutnya akan dikenali oleh sistim imunitas tubuh. Imunitas
humoral akan memberikan respon dengan timbulnya antibodi spesifik terhadap basil kusta,
yaitu antibodi anti Phenolic Glycolipid-1 (PGL-1). Meskipun timbul antibodi yang spesifik,
tetapi tidak efektif untuk membunuh kuman intra seluler seperti M. leprae ini. Namun adanya
antibodi spesifik ini dapat digunakan sebagai petanda (marker) adanya basil kusta dalam
tubuh. Telah diketahui bahwa tingginya titer anti PGL-1 sebanding dengan banyaknya kuman
di dalam tubuh penderita.4

Predileksi Mycobacterium leprae di daerah yang relatif dingin. Patogenitas dan daya
invasifnya rendah, sebab penderita yang mengandung kuman jauh lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara
derajat infeksi dengan derajat penyakit disebabkan oleh respons imun yang berbeda yang
menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh
sendiri atau progresif sehingga disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih
sebanding dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas infeksinya. Badan
pathogenesis kusta4 :

10 | P a g e
Gambar 2.1 . Badan pathogenesis kusta

Penderita yang terkena kontak dengan Mycobacterium leprae akan timbul infeksi
subklinik dan sembuh secara alamiah tanpa menunjukkan gejala atau tanda klinik. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan tes imunologik yang merupakan respons normal terhadap kontak
seseorang dengan M. leprae sebagai tanda timbulnya imunitas. 4

Setelah M.leprae masuk tubuh, bergantung pada kerentanan orang tersebut, kalau
tidak rentan tidak akan sakit dan jika rentan setelah masa tunasnya dilampaui akan timbul
gejala penyakit. Tipe yang terjadi bergantung pada derajat CMI (Cell Mediated Immunity)
penderita terhadap M.leprae. Kalau CMI tinggi, ke arah tuberkuloid dan kalau rendah kearah
lepromatosa. Perjalanan alamiah penyakit kusta yang tidak diobati dapat dilihat pada diagram
berikut.4

Gambar 2.2 . Perjalanan alamiah penyakit kusta yang tidak diobati

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan tambahan yaitu lesi yang diawali
dengan bercak putih bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal, kemudian membesar dan

11 | P a g e
meluas. Bila saraf terkena, penderita mengeluh kesemutan/baal atau sukar menggerakkan
anggota badan, yang berlanjut dengan kekakuan sendi. Rambut alispun rontok.1

2.5 Klasifikasi dan Gejala Klinis

Penentuan tipe morbus Hansen perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang
sesuai.1,3 Klasifikasi penyakit Morbus Hansen didasarkan pada gambaran klinis,
bakterioskopik, dan histopatologis. Ridley - Jopling mengklasifikasikan morbus Hansen
sebagai berikut; Tuberkuloid polar (TT) yang merupakan bentuk stabil, Tuberkuloid
indefinite (Ti), Borderline tuberculoid (Bt), Mid Borderline (BB), Borderline lepromatous
(Bl), Lepromatosa indefinite (Li), Lepromatosa polar (LL) yang merupakan bentuk yang
stabil.3,4
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid
polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak mungkin
berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%, juga
merupakan tipe yang stabil yang tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li
disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa.
BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti
lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe tipe
campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun
ke arah LL.3
Lesi pada tuberkuloid polar (TT) biasanya yang solid atau sedikit jumlahnya (lima atau
kurang) dan distribusi asimetris. Lesi dapat hipopigmentasi atau eritematosa, dan biasanya
kering, bersisik, dan berbulu. Lesi khas tuberkuloid adalah besar, plak eritematosa dengan
batas yang jelas. Lesi pada Borderline tuberkuloid (Bt) mirip dengan lesi pada TT, tetapi
lebih kecil dan lebih banyak. Terdapat lesi satelit di sekitar makula besar atau plak. Lesi pada
BB (Mid Borderline) lesi pada kulit banyak (tapi dapat dihitung) dan terdiri dari plak
kemerahan yang tidak teratur. Lesi satelit kecil dapat mengelilingi plak lebih besar. Pada
umumnya distribusinya asimetris.1
Lesi pada Bl (Borderline lepromatosa) distribusinya cenderung simetris, multipel dan
dapat berupa makula, papula, plak, dan nodul. Terdapat penebalan saraf yang bersifat
simetris. Tidak terjadi hilangnya sensasi, madarosis, keratitis. Sedangkan lesi kulit pada
lepromatosa polar (LL) terdiri dari makula hipopigmentasi, terdapat infiltrasi difus kulit,
bersifat simetris dengan batas kurang jelas, menunjukkan sedikit perubahan dalam tekstur
kulit, disertai sedikit atau tidak ada hilangnya sensasi pada lesi, hilangnya progresif rambut

12 | P a g e
pada sepertiga bagian luar alis, bulu mata, dan akhirnya pada tubuh. Tempat terjadinya lesi
pada awal biasanya tidak jelas dan paling sering terjadi di bagian telinga, alis mata, hidung,
dagu, siku, tangan, bokong, atau lutut. Terjadi penebalan saraf perifer yang berkembang
dengan lambat.1
WHO membagi klasifikasi Morbus Hansen berdasarkan jumlah lesi dan hasil
pemeriksaan bakterioskopik pada kulit, yaitu Pausi Basiler (PB) dengan jumlah satu lima
lesi dan hasil pemeriksaan bakteri negatif. Sedangkan Multi Basiler (MB) dengan jumlah
lebih dari lima lesi dan hasil pemeriksaan bakteri positif.5

Tabel 1. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)1,5


PB MB
- Lesi kulit (Makula datar, - 1-5 lesi - > 5 lesi
papul yang meninggi, - Hipopigmentasi/eritema, - Distribusi lebih simetris
nodus) - Distribusi tidak simetris - Hilangnya sensasi kurang
- Hilangnya sensasi yang jelas
jelas
- Kerusakan saraf - Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena

Tabel 2. Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Morbus Hansen Tipe MB1
SIFAT LEPROMATOSA (LL) BORDERLINE MID BORDERLINE
LEPROMATOSA (BB)
(BL)
Lesi
- Bentuk Makula, Infiltrat difus, Makula, Plakat, Plakat, Dome-shaped
Papul, Nodus Papul (kubah), punched
out
- Jumlah Tidak terhitung, praktis Dapat dihitung. Kulit
tidak ada kulit sehat Sukar dihitung, sehat jelas ada

13 | P a g e
- Distribusi Simetris masih ada kulit sehat Asimetris
- Permukaan Halus berkilat Hampir simetris Agak kasar, agak
Halus berkilat berkilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas
- Anastesia Biasanya tidak jelas Agak jelas Lebih jelas
Tak jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
- Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

2.6 Diagnosa Banding


a. Tinea korporis
Biasanya gatal, tidak terjadi hilangnya sensasi rasa, hasil pemeriksaan kerokan didapatkan
penyebabnya adalah jamur.6
b. Pitiriasis vesikolor
Pitiriasis vesikolor dapat berupa makula hipopigmentasi tetapi tidak terjadi hilangnya
sensasi raba, kadang bersisik, dan terasa gatal jika berkeringat.6
c. Tuberkulosis kutis
TBC kulit dapat menyerupai Morbus Hansen tipe tuberkuloid, memiliki dasar imunologi
yang sama dan sering tidak bisa dibedakan pola histologis. Namun, lesinya tidak
anestesi.1,6
d. Birth mark
Tanda lahir (Birth mark) merupakan makula berpigmen yang tidak normal, tetapi secara
fisiologis dapat dikatakan normal, tidak terjadi hilangnya sensasi rasa.1,6

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pewarnaan Ziehl Neelsen1,3


Bahan dari 4-6 lokasi: cuping telinga kanan dan kiri, dan beberapa lesi aktif.
Bahan biopsi kulit
Indeks Bakteri (IB) : untuk menentukan klasifikasi penyakit lepra dengan melihat
kepadatan BTA tanpa melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/granular)

14 | P a g e
Indeks Bakteri (IB) ditentukan dengan cara :
0 : Tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang
1 +: 1-10 BTA dalam dalam 100 lapang pandang
2 +: 1-10 BTA dalam dalam 10 lapang pandang
3 +: 1-10 BTA dalam dalam 1 lapang pandang
4 +: 11-100 BTA dalam dalam 1 lapang pandang
5 +: 101-1000 BTA dalam dalam 1 lapang pandang
6 +: >1000 BTA dalam dalam 1 lapang pandang

Indeks Morfologi : Untuk menentukan persentase BTA hidup atau mati


Rumus : Jumlah BTA solid x 100 % = x %
Jumlah BTA solid + non solid
Guna : untuk melihat keberhasilan terapi, melihat resistensi kuman BTA, melihat
infeksisitas penyakit.

Pemeriksaan histopatologik
Untuk membedakan tipe TT & LL
Pada tipe TT : ditemukan tuberkel (giant cell, limfosit)
Pada tipe LL : ditemukan sel busa (Virchow cell/sel lepra)

Pemeriksaan tes lepromin


Digunakan untuk mlihat daya imunitas penderita terhadap penyakit kusta. Hanya digunakan
untuk kepentingan penelitian karena memiliki nilai diagnosa yang terbatas.

Pemeriksaan serologic
Bertujuan untuk membantu diagnosis kusta yang meragukan
Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay)
ML dipstick ( Mycobacterium Leprae dipstick)

2.8 Komplikasi dan Reasksi Kusta

Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena deformitas atau
cacat tubuh. Orang awampun dengan mudah dapat menduga ke arah penyakit kusta. Yang

15 | P a g e
penting bagi kita sebagai dokter dan ahli kesehatan lainnya, bahkan barangkali para ahli
kecantikan dapat menduga ke arah penyakit kusta, terutama bagi kelainan kulit yang masih
berupa makula hipopigmentasi, hiperpigmentasi dan eritematosa. Kelainan kulit pada
penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja atau
keduanya. Penyakit kusta ini merupakan salah satu dari penyakit the great imitator disease.
Penyakit ini dapat menyerang ke saraf perifer sehingga perlu diperhatikan pembesaran,
konsistensi dan nyeri atau tidak pada syaraf. Gejala yang timbul bergantung akan syaraf mana
yang terkena, misal saraf ulnaris akan memberikan gejala clawing kelingking dan jari manis,
N. Medianus akan memberikan gejala clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah, N. Radialis
akan memberikan gejala wrist drow, N. Poplitea lateralis akan memberikan gejala foot drop,
N. tibialis posterior menyebabkan claw toes, N. Fasialis akan menyebabkan kelumpuhan
sebaian otot wajah dan N. Trigeminus yang aka menyebabkan anesthesi pada daerah wajah.3

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut apda perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Terdapat 2 reaksi Kusta, yaitu ENL (Erythema Nodosum
Leprosum) dan reaksi reversal. ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat
pula pada BL. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis dan nefritis
yang akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai
berat yang dapat diterangkan secara imunologik pula.3

Gambar 2.3 Eritema Nodusum Leprosum


Sumber : http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S2212553116000212

16 | P a g e
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak
perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut penting
diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikosteroid, sebab tanpa
gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif.3

Gambar 2.4 Reaksi Reversal


Sumber : https://www.medicaljournals.se/acta/content/html/10.2340/00015555-0598

Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta
tipe lepromatosa non-nodular difus. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus,
berwarna merah muda, bentuk tak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas,
kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai
purpura dan bula, kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. 3

2.9 Pengobatan

Pengobatan Kusta diberikan mengikuti standar regimen dari WHO5,2

a) Tipe Pausibasiler :

Rifampisin 600 mg/bulan, diminum di depan petugas rumah sakit / puskesmas


DDS (diamino difenil sulfat) 100 mg/hari.

17 | P a g e
Diberikan secara teratur , satu blister dalam 1 bulan, dibutuhkan 6 blister yang diminum
selama 6-9 bulan.

b) Tipe Multibasiler :

Rifampisin 600 mg/bulan, diminum di depan petugas rumah sakit/puskesmas.


DDS 100 mg/hari.
Lamprene 300 mg/bulan, diminum di depan petugas dan dilanjutkan dengan dosis 50
mg/hari.
Diberikan secara teratur , satu blister dalam 1 bulan, dibutuhkan 12 blister yang diminum
selama 12-18 bulan.

Obat alternatif yang lain adalah regimen ROM (kombinasi dari Rifampisin 600 mg,
Ofloksasin 400 mg dan Minosiklin 100 mg dalam satu tablet). Dosis pemberian ROM sesuai
tipe kusta :
a) Tipe Pausibasiler lesi tunggal : ROM satu kali dosis tunggal.
b) Tipe Pausibasiler lesi 2-5 : ROM sekali dosis tunggal/bulan selama 6 bulan berturut-
turut.
c) Tipe Multibasiler : ROM sekali dosis tunggal/bulan selama 24 bulan berturut-turut.

Selain obat-obat tersebut, pasien perlu juga diberikan vitamin yang bersifat neurotropik
dan tablet penambah darah. Pasien yang telah mendapat pengobatan 6 dosis ( blister) pada
pasien PB dan 12 dosis ( blister) pada pasien MB dinyatakan Release From Treatment (RFT),
tanpa harus pemeriksaan laboratorium.2

Reaksi kusta adalah Episode akut dari penyakit kusta dengan gejala konstitusi,
aktivasi dan atau timbul efloresensi baru dikulit. Klasifikasi reaksi kusta:
a) Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
Umumnya terjadi pada kusta tipe BL atau LL. Yang berperan penting adalah sistem
imunologis humoral. Gejala konstitusional berupa demam, menggigil, mual, nyeri sendi, sakit
pada saraf dan otot. Pada kulit timbul eritema, nodus dan bila nodus pecah menimbulkan
ulkus. Predileksi antara lain lengan tungkai dan dinding perut.

18 | P a g e
Penatalaksanaan reaksi ENL adalah :
Antipiretik-analgetik: Parasetamol atau Metampiron 4 x 500 mg
Kortikosteroid: Prednison, dosis awal 20-40 mg/hari dalam 4 dosis
Klofazimin 300 mg/hari
Obat antikusta lain diteruskan

b) Reaksi Pembalikan (Reaksi Reversal, Reaksi Upgrading)


Umumnya pada kusta tipe BT, BB dan BL. Yang berperan penting adalah sistem
imunologis seluler. Gejala konstitusi lebih ringan dari ENL. Gejala kulit lesi-lesi kusta
menjadi lebih banyak dan lebih aktif secara mendadak. Tidak timbul nodus dan kadang ada
jejak neuritis.
Tatalaksana reaksi Reversal adalah :
Bila timbul neuritis, berikan kortikosteroid (Prednison 30-60 mg/hari)
Analgetik dan antipiretik jika perlu
Obat kusta yang lain diteruskan

2.10 Prognosis

Prognosis bergantung akan stadium penyakitnya. Tipe Tuberkuloid biasanya


menyebabkan kerusakan saraf yang cukup parah. Prognosis juga bergantung akan kepatuhan
dalam memakan pengobatan lepra ini. Relapse (penyakit baru setelah MDT telah
diselesaikan) terjadi pada 0.01% 0.14% pasien yang telah menyelesaikan MDT secara
adekuat pada 10 tahun pertama. Kira-kira 5-10% pasien mengalami reaksi reversal pada
tahun pertama penderita menyelesaikan MDT.6

Karena adanya penurunan sistem imun pada kehamilan, maka reaksi ENL dapat
terjadi pada wanita mengandung yang berumur kurang dari 40 tahun. Secara keseluruhan,
anak-anak mempunyai prognosis yang baik karena penyakit multibasilar dan reaksi leprosa
sangat jarang.6

19 | P a g e
Daftar Pustaka

1. Minaldi SL, Bramono K, Indriatmi W. Kusta. Wisnu IM. Ilmu peyakit kulit dan
kelamin edisi ke -7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017.p.87-102.
2. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta, Kementerian Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2014
3. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K. Color atlas and synopsis of clinical
dermatology. Sixth Edition. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc;
2009. p. 665-671.
4. James WD, Elston DM, Berger TG. Andrews diseases of the skin clinical
dermatology. Eleventh Edition. United States of America: Elsevier; 2011. p. 343-344,
351-352.
5. World Health Organization. Leprosy elimination. World Health Organization, 2009.
Available at : http://www.who.int/lep/diagnosis/en/index.html
6. Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks textbook of dermatology. Eighth
Edition. United Kingdom: Wiley-Blackwell; 2010. p. 1469-1486

20 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai