Anda di halaman 1dari 8

BAB III

PEMBAHASAN

A. Tokoh Tokoh Penyebaran Islam Di Indonesia


1. Wali Songo
Tokoh-Tokoh Penyebar Agama Islam di Indonesia - Proses penyebaran Islam di Indonesia atau
proses Islamisasi tidak terlepas dari peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan
atau para adipati. Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para
wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali Sembilan. Ada beberapa pendapat
mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali
yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata
songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya
lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Nama-nama Walisanga
yang mencolok atau banyak menyumbangkan sesuatu baik itu dalam pemerintahan, ekonomi,
sosial, budaya dan lain-lain (Baca dulu Cara Penyebaran Agama Islam di Indonesia). Berikut
Tokoh-Tokoh Penyebar Agama Islam di Indonesia :
a. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim adalah nama salah seorang Walisongo, yang
dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di
desa Gapurosukolilo Kota Gresik Jawa Timur. Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk
salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan
wali senior di antara para Walisongo lainnya. Beberapa vers babad menyatakan bahwa
kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa
Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara
kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan
mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar. Pertama-tama yang dilakukannya
ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa
diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama
dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan
dan kebaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak
masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam. Sebagaimana yang dilakukan para
wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang.
Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar.
Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan
para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai
pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal. Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana
Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja
Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan
memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang
dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur
kebenaran mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di
ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat. Demikianlah, dalam
rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran
Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat
mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih
diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad
yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk
berziarah. Ritual ziarah tahunan atau hauljuga diadakan setiap tanggal 12 Rabiul Awwal,
sesuai tanggal wafat pada prasasti makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-
Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas
bubur harisah.
b. Sunan Ampel
Dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya. Ia
disebutkan masih berkerabat dengan salah seorang istri atau selir dari Brawijaya raja
Majapahit. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Ia
menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
c. Sunan Bonang
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465 M, dengan nama Raden Maulana Makdum
Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa
di Kabupaten Rembang. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam
aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota
Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar
wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid
sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid
tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-
pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari
Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang.
Mereka memperebutkannya. Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid
Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
d. Sunan Drajat
Dia juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di
daerah Gresik/Sedayu. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri
adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat
kebanyakan Ia menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran
masyarakat, sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan
secara mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan
Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan
Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
e. Sunan Giri
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang
berkedudukan di daerah Gresik Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri
memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul
Faqih,Raden Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari
Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putrid Menak Sembuyu penguasa wilayah
Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah
membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Maka ia dipaksa
ayahandanya untuk membuang anak yang baru dilahirkannya itu, Lalu Dewi Sekardadu
dengan rela menghanyutkan anaknya itu ke laut/selat bali sekarang ini. Kemudian, bayi
tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik,
dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena
ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra. Ketika sudah cukup dewasa,
Joko Samudra dibawa ibunya ke Ampeldenta (kini di Surabaya) untuk belajar agama kepada
Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas
sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan
Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima
oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang
ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu
dibuang.
f. Sunan Kudus
Nama aslinya Syeikh Jafar Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus. Sebagai
seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan
Demak, yaitu sebagai panglima perang dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di
kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Diantara yang pernah menjadi muridnya, ialah
Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu
peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya
campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
g. Sunan Kalijaga
Nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan kebudayaan
sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk.
Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap sebagai hasil karyanya.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana
Ishaq
h. Sunan Muria
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa
riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putrid
Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung
Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.
i. Sunan Gunung Jati
Nama aslinya Syarif Hidayatullah, adalah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh
Jamaluddin Akbar. Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara
Santang, yaitu anak dari Sri Baduga Maharaja. Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon
sebagai pusat dakwah dan pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi
Kesultanan Cirebon. Anaknya yang bernama Maulana Hasanuddin, juga berhasil
mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga kemudian
menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Demikian sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat Jawa sebagian
memandang para wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat dengan Allah, sehingga
dikenal dengan sebutan Waliullah yang artinya orang yang dikasihi Allah.
2. Syekh Jumadil Kubro
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babad dan
cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya
dianggap bukan keturunan Jawa, melainkan berasal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi
babad yang meyakini bahwa ia adalah keturunan ke-10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan Martin van Bruinessen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh
yang sama dengan Jamaluddin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah).
Sebagian babad berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak, yaitu
Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishaq, yang bersama-sama dengannya
datang ke pulau Jawa. Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke
Champa, dan adiknya Maulana Ishaq mengislamkan Samudera Pasai. Dengan demikian,
beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah
cucunya; sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal tersebut
menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan
keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain kemungkinan lainnya yaitu etnis
Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang, Trowulan, atau di desa
Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui yang mana yang betul-betul merupakan
kuburnya.
3. Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbar adalah adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap
merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaluddin
Akbar dari Gujarat, dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama
Syekh Jumadil Kubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin
van Bruinessen (1994), yang menyatakan bahwa nama Jumadil Kubro (atau Jumadil Qubro)
sesungguhnya adalah hasil perubahan hyper-correct atas nama Jamaluddin Akbar oleh
masyarakat Jawa.
Silsilah Syekh Maulana Akbar (Jamaluddin Akbar) dari Nabi Muhammad SAW umumnya
dinyatakan sebagai berikut: Sayyidina Husain, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Jafar ash-
Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi
Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali Qasam, Muhammad Shahib
Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad
Jalal Syah, dan Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar).
Menurut cerita rakyat, sebagian besar Walisongo memiliki hubungan atau berasal dari
keturunan Syekh Maulana Akbar ini. Tiga putranya yang disebutkan meneruskan dakwah di Asia
Tenggara; adalah Ibrahim Akbar (atau Ibrahim as-Samarkandi) ayah Sunan Ampel yang
berdakwah di Champa dan Gresik, Ali Nuralam Akbar kakek Sunan Gunung Jati yang berdakwah
di Pasai, dan Zainal Alam Barakat.
Penulis asal Bandung Muhammad Al Baqir dalam Tarjamah Risalatul Muawanah
(Thariqah Menuju Kebahagiaan) memasukkan beragam catatan kaki dari riwayat-riwayat lama
tentang kedatangan para mubaligh Arab ke Asia Tenggara. Ia berkesimpulan bahwa cerita rakyat
tentang Syekh Maulana Akbar yang sempat mengunjungi Nusantara dan wafat di Wajo, Makasar
(dinamakan masyarakat setempat makam Kramat Mekkah), belum dapat dikonfirmasikan
dengan sumber sejarah lain. Selain itu juga terdapat riwayat turun-temurun tarekat Sufi di Jawa
Barat, yang menyebutkan bahwa Syekh Maulana Akbar wafat dan dimakamkan di Cirebon,
meskipun juga belum dapat diperkuat sumber sejarah lainnya.
B. Tokoh Tokoh Penyebaran Islam Di Brunei Darussalam
1. Datuk Haji Ahmad
Pada zaman dulu hamper - hampir tidak ada ulama besar yang berasal dari Banjar yang terlepas
daripada kaitan dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, penyusun Sabil al-
Muhtadin, yang sangat masyhur itu. Kaitan yang saya maksudkan di sini adakalanya
perhubungan nasab dan adakalanya perhubungan keilmuan. Bahkan sebahagian besar kedua-
duanya sekali.
Berdasarkan perjalanan sejarah dan cerita daripada pelbagai sumber, Datuk Haji Ahmad Banjar
yang berhijrah ke Brunei sebagai penyebar Islam juga tidak terlepas daripada perhubungan itu.
Sebelum datang ke Brunei beliau terlebih dulu telah memperoleh aliran ilmu Syeikh Muhammad
Arsyad bin Abdullah al-Banjari yang turun kepada beberapa orang anak beliau. Datuk Haji
Ahmad Banjar hanyalah sezaman dengan cucu-cucu ulama besar Banjar itu. Kemantapan
dilanjutkan di Mekah. Beliau berguru dengan ramai ulama, antaranya Syeikh Ahmad Khathib bin
Abdul Ghaffar as-Sambasi.
Oleh kerana Datuk Haji Ahmad Banjar adalah salah seorang murid Syeikh Ahmad Khathib
Sambas, bererti kita dapat menulis sejarah yang agak panjang, lengkap, dan tahun-tahun aktiviti
ulama Banjar itu berdasarkan banyak perbandingan. Barangkali sebelum ke Brunei, beliau telah
diakui sebagai ulama besar di Banjar. Berdasarkan Syeikh Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari,
Mufti Kerajaan Inderagiri, tulisannya menyebut nama lengkapnya diawali dengan Al-Alim Al-
Allamah.
Jika kita membicarakan murid Syeikh Ahmad Khathib Sambas yang paling terkenal ia cukup
ramai. Antaranya Syeikh Nawawi al-Bantani (lahir 1230H/1814M, wafat 1314H/1896M), tetapi
dalam artikel ini hanyalah dipilih yang ada hubungannya dalam persekitaran
Borneo/Kalimantan. Salah seorang murid Syeikh Ahmad Khathib Sambas yang berasal dari
Sarawak bernama Haji Abdul Lathif bin Haji Abdul Qadir Sarawak. Nama ini serupa nama dengan
ayah Datuk Haji Ahmad Banjar, kemungkinan juga ayah beliau. Tetapi tidak dapat dipastikan
kerana nama datuk pada Datuk Haji Ahmad Banjar belum diketahui. Haji Abdul Lathif pernah
merantau ke Pontianak dan Banjar kerana menyebarkan Islam melalui ajaran Tarekat Qadiriyah-
Naqsyabandiyah Syeikh Ahmad Khathib as-Sambasi.
Oleh sebab kedua-duanya sama-sama belajar dengan Syeikh Ahmad Khathib Sambas, riwayat
yang pasti bererti kedua-duanya adalah bersahabat. Murid Syeikh Ahmad Khathib Sambas yang
berasal dari Borneo/Kalimantan pula ialah Syeikh Nuruddin Tekarang. Ulama ini berasal dari
selatan Filipina. Selepas belajar di Mekah dia pulang ke Sambas. Kuburnya terletak di Kampung
Tekarang, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas.
Muridnya Syeikh Muhammad Sa`ad daripada keturunan Sambas asli, kuburnya terletak di
Kecamatan Selakau, Kabupaten Sambas. Semua ulama yang berasal dari Borneo/Kalimantan
tersebut adalah ikhwan (persaudaraan) Datuk Haji Ahmad Banjar dalam Tarekat Qadiriyah-
Naqsyabandiyah Syeikh Ahmad Khathib as-Sambasi. Riwayat yang diperoleh dari Brunei pula
menyatakan Datuk Haji Ahmad Banjar bersahabat dengan ulama Brunei, Pangiran Abdul Momin
bin Pangiran Sabtu (wafat 1298H/1880M). Beliau ini berasal dari Kampung Bakut Siraja Muda.
Sebagaimana pernah saya riwayatkan dalam beberapa tulisan sebelum ini, Syeikh Ahmad
Khathib Sambas adalah termasuk murid Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam pelbagai
bidang ilmu kecuali Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Tarekat itu diterima oleh Syeikh Ahmad
Khathib Sambas daripada Syeikh Syamsuddin.
Daripada kenyataan ini bererti sanad atau salasilah keilmuan pelbagai bidang ilmu Datuk Haji
Ahmad Banjar melalui Syeikh Ahmad Khathib Sambas naik kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-
Fathani hingga naik kepada yang lebih atas daripadanya. Sanad atau salasilah ini pula dalam
beberapa disiplin ilmu adalah sama dengan sanad atau salasilah Syeikh Muhammad Arsyad bin
Abdullah al-Banjari.
Selain dipastikan bahawa Datuk Haji Ahmad Banjar adalah murid Syeikh Ahmad Khathib Sambas,
diriwayatkan pula ketika di Mekah beliau telah belajar daripada beberapa ulama Arab yang
terkenal pada zaman itu, antaranya Syeikh Utsman ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan,
Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki dan lain-lain.
Daripada riwayat ini dapat diambil kesimpulan bahawa sama ada ilmu-ilmu yang melalui Syeikh
Ahmad Khathib Sambas mahupun ilmu-ilmu yang melalui ulama-ulama Arab, semuanya adalah
dalam ilmu yang dianggap selamat dari kaca mata penilaian ulama tradisional. Yang saya
maksudkan di sini ialah bahawa dalam akidah tetap berpegang kepada Ahli Sunah Wal Jamaah
menurut metod Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi. Tentang fikah
tetap mengikut satu mazhab saja, iaitu Mazhab Syafie. Tentang tasawuf tetap berpedoman dan
berpegang teguh dengan kitab-kitab turas tasawuf seperti karangan-karangan Imam al-Ghazali.
Demikian juga pegangan tentang amalan, secara rutin tiada sekali-kali ditinggalkan amalan
Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah yang beliau terima langsung daripada gurunya Syeikh Ahmad
Khathib Sambas yang sangat terkenal itu.
Pemerintahan
Tahun kedatangan Datuk Haji Ahmad Banjar di Brunei belum diketahui dengan pasti.
Diriwayatkan bahawa beliau berhijrah ke Brunei pada zaman pemerintahan Sultan Brunei yang
ke-24, ialah Sultan Abdul Momin yang memerintah dari tahun 1852-1885. Datuk Haji Ahmad
Banjar tinggal di Kampung Burung Pingai Ayer dan di sanalah beliau menjalankan aktiviti
penyebaran Islam melalui pendidikan dan dakwah.
Murid-murid beliau datang dari beberapa kampung dalam Brunei, kebanyakannya datang dari
Kampung Burung Pingai, Kampung Burung Tekuruk, Kampung Lorong Dalam dan lain-lain.
Dipercayai ilmu-ilmu yang diajarkan ialah penekanan tentang fardu ain, terutama akidah, fikah
Mazhab Syafie, dan tasawuf. Ilmu fardu ain yang terpenting pula ialah praktik tajwid terutama
dalam bacaan al-Fatihah yang wajib dibaca dalam sembahyang. Oleh sebab Datuk Haji Ahmad
Banjar termasuk salah seorang Khalifah Mursyid Tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah,
sekali gus beliau juga telah membaiah dan mentawajjuhkan tarekat tersebut kepada beberapa
muridnya. Antara mereka yang menerima tarekat itu ialah Pehin Datu Imam Haji Mokti bin Haji
Nasar.
Selain kegiatan penyebaran ilmu-ilmu Islam, Datuk Haji Ahmad Banjar juga dilantik sebagai
Pengawas Perkembangan Agama Islam di Brunei Darussalam. Selain itu, beliau juga pernah
menjadi Kadi. Sungguhpun demikian, kemungkinan kerana waraknya, Datuk Haji Ahmad Banjar
pernah menolak penganugerahan gelaran Datuk Seri Maharaja.
Oleh sebab ada hubungan pertalian kekeluargaan dengan Syeikh Muhammad Arsyad bin
Abdullah al-Banjari, salah seorang cucu ulama Banjari ini ialah Haji Thasin bin Mufti Jamaluddin
al-Banjari yang pergi ke Brunei dan berkahwin dengan anak Datuk Haji Ahmad Banjar yang
bernama Aminah.
Hasil perkahwinan itu, mereka memperoleh anak bernama Haji Ramli. Haji Thasin bin Mufti
Jamaluddin al-Banjari selain berkahwin di Brunei juga pernah bernikah di Pontianak,
memperoleh beberapa orang anak. Antaranya Haji Yusuf Saigon dan Haji Muhammad Arsyad.
Kedua-dua anak Haji Thasin yang di Pontianak ini adalah adik-beradik satu ayah dengan Haji
Ramli di Brunei Darussalam. Walau bagaimanapun, saya masih belum dapat mengesan
keturunan Haji Ramli bin Haji Thasin di Brunei.
C. Tokoh Tokoh Penyebaran Islam Di Malaysia
1. Sidi Abdul Aziz
Sidi Abdul Aziz berasal dari Jeddah, beliau adalah salah satu ulama yang mengIslamkan pejabat
pemerintahan Malaka.
2. Sultan Permaisura
Sultan Permaisura adalah raja pertama yang memimpin kerajaan Islam Malaka.
3. Sultan Iskandar Syah
Sultan Iskandar Syah adalah pengganti dari raja Islam Malaka.
Sultan Mansyur, pengganti dari Sultan Iskandar Syah, di masa pemerintahannya penyiaran
agama Islam bertambah maju.
D. Tokoh Tokoh Penyebaran Agama Islam Di Fhilipina
1. Abu Sayaf
Kelompok Abu Sayyaf, juga dikenal sebagai Al Harakat Al Islamiyya, adalah sebuah kelompok
separatis yang terdiri dari teroris Muslim[rujukan?] yang berbasis di sekitar kepulauan selatan
Filipina, antara lain Jolo, Basilan, dan Mindanao. Khadaffi Janjalani dinamakan sebagai pemimpin
kelompok ini oleh Angkatan Bersenjata Filipina. Dilaporkan bahwa akhir-akhir ini mereka sedang
memperluaskan jaringannya ke Malaysia dan Indonesia. Kelompok ini bertanggung jawab
terhadap aksi-aksi pemboman, pembunuhan, penculikan, dan pemerasan dalam upaya
mendirikan negara Muslim di sebelah barat Mindanao dan Kepulauan Sulu serta menciptakan
suasana yang kondusif bagi terciptanya negara besar yang Pan-Islami di Semenanjung
Melayu(Indonesia dan Malaysia) di Asia Tenggara. Nama kelompok ini adalah bahasa Arab untuk
Pemegang (Abu) Pedang (Sayyaf). Abu Sayyaf adalah salah satu kelompok separatis terkecil dan
kemungkinan paling berbahaya[rujukan?] di Mindanao. Beberapa anggotanya pernah belajar
atau bekerja di Arab Saudi dan mengembangkan hubungan dengan mujahidin ketika bertempur
dan berlatih di Afganistan dan Pakistan. (Wikipedia, Islam in Phillipines, 2010)

Anda mungkin juga menyukai