Anda di halaman 1dari 21

PENELITIAN KUANTITATIF

(suatu pengantar)

Oleh: Budiono

Metodologi penelitian kuantitatif dengan teknik statistiknya telah berkembang sejak


abad kedelapan belas sampai sekarang ini (Noeng Muhadjir, 1996). Metodologi penelitian
kuantitatif menjadi amat berkembang dengan semakin canggihnya teknologi komputer yang
memungkinkan orang untuk tidak dipusingkan dengan perhitungan-perhitungan statistik yang
rumit dan melelahkan.
Metodologi penelitian kuantitatif bersumber dari wawasan filsafat positivisme Comte
yang pada dasarnya mengatakan bahwa ilmu yang valid adalah ilmu yang diperoleh dari
pengalaman empirik. Menurut filosofi tersebut, suatu realitas dapat dipecah-pecah, dapat
dipelajari secara independen, dieliminasikan dari objek yang lain, dan dapat dikendalikan.
Salah satu akibatnya adalah bahwa dalam metodologi penelitian kuantitatif, kerangka teori
dirumuskan se spesifik mungkin, dan menolak suatu alasan meluas yang tidak langsung
relevan dengan permasalahan.
Tujuan penelitian kuantitatif adalah membangun suatu ilmu yang merupakan
generalisasi yang ditarik dari sekumpulan pengamatan. Dengan pendekatan positivisme,
generalisasi dikonstruksi dari rerata keragaman individual atau rerata frekuensi dengan
memantau kesalahan-kesalahan yang mungkin. Generalisasi ini pada dasarnya berupa hukum
sebab-akibat dengan mendasarkan pada suatu filosofi bahwa tiada akibat tanpa sebab dan
tiada sebab yang tidak menimbulkan akibat.
Penelitian kuantitatif pada dasarnya adalah gabungan antara cara berpikir deduktif dan
cara berpikir induktif. Cara berpikir deduktif telah berkembang lama, sejak Aristoteles dan
pengikutnya memperkenalkan cara berpikir yang disebut silogisme. Prinsip silogisme
mengatakan bahwa jika premis-premis yang dikemukakan benar, maka kesimpulan yang
diturunkan dari premis-premis tersebut akan benar adanya. Teori ini juga disebut teori
koherensi. Di sisi lain, cara berpikir induktif mendasarkan kepada filosofi bahwa sesuatu itu
benar apabila sesuatu itu dapat diamati kebenarannya dengan pancaindera manusia. Atau
dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar, apabila materi yang terkandung dalam
pernyataan itu bersesuaian dengan objek faktual yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori
ini sering disebut juga dengan teori korespondensi.
Penelitian kuantitatif, yang mencoba menggabungkan cara berpikis deduktif dan
induktif, sering disebut pendekatan logiko-hipotetiko-verifikatif. Secara sederhana dikatakan
bahwa teori harus memenuhi dua syarat utama, yakni: (a) harus konsisten dengan teori
sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara
keseluruhan, dan (b) harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun
konsistennya kalau tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenaran-
nya.
Pada umumnya, terdapat sejumlah langkah dalam melakukan penelitian kuantitatif,
yaitu:
1. Identifikasi, pemilihan, dan perumusan masalah;
2. Penelaahan kepustakaan;
3. Penyusunan hipotesis;
4. Identifikasi, klasifikasi, dan pemberian definisi operasional variabel-variabel;
5. Pemilihan atau pengembangan alat pengambil data;
6. Penyusunan rancangan penelitian;

1
7. Penentuan sampel;
8. Pengumpulan data;
9. Pengolahan dan analisis data;
10. Interpretasi hasil analisis.

Langkah-langkah tersebut dapat dinyatakan dalam diagram berikut.

Perumusan Masalah

Khasanah Penyusunan
Pengetahuan Kerangka
Ilmiah Berpikir

Perumusan
Hipotesis

Induksi

Pengujian
Hipotesis

Ya Tidak
Diterima?

Diagram 1.1: Siklus Penelitian Kuantitatif

Terdapat beberapa cara penggolongan penelitian kuantitatif. Salah satu di antaranya


adalah menggolongkan jenis penelitian kuantitatif (ditinjau dari keketatan kendali terhadap
variabelnya) ke dalam penelitian: (a) eksperimental sungguhan, (b) eksperimental semu
(quasi-eksperimental), dan (c) non-eksperimental (Pedhazur, 1973).
Penelitian eksperimental bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan sebab-akibat
dengan cara mengenakan kepada satu atau lebih kelompok eksperimental satu atau lebih
kondisi perlakuan dan memperbandingkan hasilnya dengan satu atau lebih kelompok
pembanding (pengendali, kontrol) yang tidak dikenai kondisi perlakuan (Universitas
Terbuka, 1985b). Sejalan dengan hal itu, Kerlinger (1990) mengatakan bahwa penelitian non-
eksperimental adalah telaah empirik sistematis di mana ilmuwan tidak dapat mengendalikan
secara langsung variabel bebasnya karena manifestasinya telah muncul, atau karena sifat
hakekat variabel itu memang menutup kemungkinan pemanipulasian. Inferensi tentang relasi

2
antarvariabel dibuat tanpa intervensi langsung berdasarkan variasi yang muncul seiring
dalam variabel bebas dan variabel terikatnya.
Ditinjau dari uji statistiknya, penelitian kuantitatif dapat digolongkan ke dalam dua
kelompok, yaitu: (a) penelitian dengan uji perbedaan dan (b) penelitian dengan uji korelasi.
Penelitian yang ingin menjawab pertanyaan, misalnya: (1) apakah anak wanita lebih pandai
dari anak pria, (2) apakah anak-anak yang mengikuti bimbingan tes lebih berhasil daripada
anak-anak yang tidak mengikuti bimbingan tes, (3) apakah nilai-nilai anak perempuan lebih
bervariasi daripada nilai-nilai anak laki-laki, dan (4) apakah setelah diberi pembelajaran
matematika realistik prestasi siswa lebih baik daripada sebelumnya, adalah contoh penelitian
dengan uji perbedaan. Di sisi lain, contoh pertanyaan penelitian dengan uji korelasi adalah:
(1) apakah semakin tinggi IQ seseorang semakin tinggi nilai Matematikanya, (2) apakah
semakin sering menonton TV semakin jelek prestasinya, dan (3) apakah NEM SLTP dapat
dipakai untuk memprediksi keberhasilan belajar di SMU.

IDENTIFIKASI, PEMILIHAN, DAN PERUMUSAN MASALAH


Masalah atau permasalahan muncul kalau terjadi kesenjangan (gap) antara das Sollen
dan das Sein, ada perbedaan antara apa yang seharusnya dan apa yang ada dalam kenyataan,
antara apa yang diperlukan dan apa yang tersedia, antara apa yang diharapkan dan apa yang
dihadapi, dan sejenis dengan itu. Penelitian pada dasarnya diharapkan dapat memecahkan
masalah itu, atau dengan kata lain dapat menutup atau setidak-tidaknya dapat memperkecil
kesenjangan itu.

Identifikasi Masalah
Masalah yang harus dipecahkan atau dijawab melalui penelitian selalu ada dan tersedia
cukup banyak. Tugas peneliti adalah mengidentifikasikannya, memilihnya, dan merumuskan-
nya. Namun demikian, agar seseorang dapat dengan mudah melihat sesuatu permasalahan,
maka dia harus cukup terlatih.
Hal-hal yang menjadi sumber masalah, antara lain, adalah: (1) bacaan, terutama bacaan
yang berisi laporan hasil penelitian, (2) seminar, diskusi, dan lain-lain pertemuan ilmiah, (3)
pernyataan pemegang otoritas, (4) pengamatan sepintas, (5) pengalaman pribadi, dan (6)
perasa-an intuitif (Sumadi Suryabrata, 1983:61).

Bacaan
Bacaan, terutama bacaan yang melaporkan hasil-hasil penelitian (misalnya proceedings,
jurnal penelitian, atau bahkan laporan suatu penelitian) mudah dijadikan sumber masalah
penelitian, karena laporan penelitian yang baik tentu akan mencantumkan rekomendasi untuk
penelitian lebih lanjut dengan arah tertentu. Semakin banyak membaca jurnal-jurnal
penelitian, seseorang akan lebih mudah mendapatkan masalah penelitian. Kecuali semakin
mudah mendapatkan masalah penelitian, semakin banyak membaca jurnal-jurnal penelitian,
seseorang akan dapat dengan mudah melakukan pembahasan terhadap penelitiannya.
Masalah yang timbul sekaitan dengan ini ialah kurang tersedianya jurnal-jurnal
penelitian yang baik. Perpustakaan-perpustakaan kita jarang berlangganan jurnal-jurnal
penelitian bergengsi, terutama jurnal-jurnal penelitian berskala internasional. Ini disebabkan
antara lain berlangganan jurnal-jurnal penelitian internasional sangat mahal untuk ukuran
orang Indonesia.

3
Diskusi, Seminar, Pertemuan Ilmiah
Diskusi, seminar, dan pertemuan ilmiah semacam itu juga merupakan sumber masalah
penelitian yang cukup kaya. Pada pertemuan ilmiah seseorang dapat melihat, menganalisis,
menyimpulkan, dan mempersoalkan hal-hal yang dijadikan pokok pembicaraan.
Seseorang yang ingin menjadi peneliti yang baik harus rajin menghadiri pertemuan
ilmiah semacam itu. Di perguruan tinggi ternama, seseorang dapat menghadiri pertemuan
ilmiah semacam itu, yang biasanya diadakan secara reguler, dengan tanpa biaya. Sebelum
ujian tesis atau disertasi, misalnya, biasanya promovendus diminta menyampaikan tesis atau
disertasinya dalam suatu seminar terbuka yang dapat dihadiri oleh setiap orang. Di Lembaga
Penelitian Universitas juga sering diadakan pertemuan ilmiah untuk menyeminarkan laporan
hasil penelitian sebagai umpan balik untuk menyempurnakan laporan hasil penelitian.
Wahana yang seperti ini juga sangat baik untuk mendapatkan masalah penelitian.

Pernyataan pemegang otoritas


Pernyataan pemegang otoritas, baik pemegang otoritas dalam pemerintahan maupun
dalam bidang ilmu tertentu, dapat menjadi sumber masalah penelitian. Pada suatu ketika,
misalnya, Mendiknas mengatakan bahwa daya serap mata pelajaran Matematika untuk siswa-
siswa sekolah dasar rendah. Pernyataan ini dapat mengundang berbagai penelitian, misalnya
untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi rendahnya daya serap siswa,
apakah ada perbedaan antara sekolah dasar di perkotaan dan di perdesaan mengenai daya
serap siswa, dan usaha apa yang perlu dilakukan untuk mempertinggi daya serap siswa.

Pengamatan sepintas
Seringkali terjadi, seseorang menemukan masalah penelitiannya, secara tidak sengaja,
dalam suatu perjalanan. Ketika berangkat dari rumah, seseorang mungkin saja tidak ada
rencana untuk mencari masalah penelitian. Namun dalam perjalanannya ke tempat tujuan
mungkin saja seseorang tersebut menemukan masalah penelitian. Seorang peneliti
kependidikan mungkin mendapatkan masalah penelitian karena di perjalanannya ke kantor
dia melihat perkelahian antarsiswa sekolah menengah. Masalah penelitian yang muncul dari
kejadian itu, misalnya, mengapa para pelajar tersebut berkelahi, apa yang menyebabkan, dan
upaya apa yang perlu dilakukan untuk menghindari perkelahian. Seorang guru mungkin
mengamati bahwa siswa-siswa yang nakal cenderung mempunyai nilai metematika yang
tinggi, sehingga di benaknya timbul masalah penelitian adakah korelasi positif antara
kenakalan anak dengan prestasi belajar matematika.

Pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi sering pula menjadi sumber diketemukannya masalah penelitian.
Lebih-lebih dalam ilmu-ilmu sosial, hal yang demikian mudah sekali terjadi. Mungkin
pengalaman pribadi itu berkaitan dengan sejarah perkembangan dan kehidupan pribadi,
mungkin pula berkaitan dengan kehidupan profesional.
Seorang peneliti mungkin mempunyai pengalaman mengenai anak-anaknya sendiri.
Misalnya dari kelima anaknya, tiga di antaranya suka minum air susu ibu (ASI), sedangkan
dua yang lainnya suka minum susu kaleng. Tiga anaknya tersebut ternyata mempunyai daya

4
tahan tubuh yang lebih baik dari dua saudaranya yang lain, namun kalah prestasi belajar
matematikanya. Dari pengalaman ini, mungkin saja peneliti mempunyai masalah penelitian,
apakah benar bahwa anak yang diberi ASI cukup mempunyai daya tahan tubuh yang lebih
baik dari pada yang tidak dan apakah benar bahwa anak yang banyak minum susu kaleng
lebih cerdas dari anak yang banyak minum ASI selama tiga tahun pertama.

Perasaan intuitif
Tidak jarang terjadi, masalah penelitian itu muncul dalam pikiran seseorang pada pagi
hari setelah bangun tidur atau pada saat-saat sedang atau setelah istirahat. Bisa jadi selama
tidur atau istirahat itu terjadi semacam konsolidasi atau pengendapan berbagai informasi
yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti itu, yang lalu muncul dalam bentuk
pertanyaan atau permasalahan penelitian.

Pemilihan Masalah
Setelah masalah penelitian diidentifikasi dari suatu sumber, kadang-kadang banyak
ditemukan masalah penelitian. Tentu saja seseorang tidak akan dapat menyelesaikan masalah
penelitiannya dalam waktu yang bersamaan. Oleh karena itu, seseorang harus melakukan
pemilihan masalah penelitian mana yang layak dan sesuai untuk diteliti.
Pertimbangan untuk memilih atau menentukan apakah sesuatu masalah penelitian layak
dan sesuai untuk diteliti, pada dasarnya dilakukan dari dua arah, yaitu: (1) dari sisi objektif,
yaitu dari arah masalahnya, dan (2) dari sisi subjektif, yaitu dari arah calon peneliti.

Pertimbangan objektif
Untuk menentukan apakah sesuatu masalah layak diteliti perlu dibuat pertimbangan-
pertimbangan objektif, yaitu dari arah masalahnya. Dari sudut pandang objektif ini, biasanya
seseorang akan mempertimbangkan dari dua hal. Pertama, mempertimbangkan apakah
masalah penelitian yang akan diangkatnya dapat memberikan sumbangan kepada
pengembangan teori di bidang itu. Kedua, apakah masalah penelitian yang diangkatnya akan
dapat memberikan sumbangan praktis, misalnya untuk pemecahan masalah pendidikan di
lapangan. Semakin besar sumbangannya terhadap pengembangan teori dan atau sumbangan
praktis, semakin layak untuk diteliti.
Kelayakan sesuatu masalah penelitian untuk diteliti itu sifatnya relatif, tergantung
kepada konteksnya. Sesuatu masalah yang layak untuk diteliti dalam suatu konteks tertentu,
mungkin kurang layak kalau ditempatkan dalam konteks yang lain. Oleh karena itu, calon
peneliti harus melakukan evaluasi kritis mengenai hal ini.
Dari sudut pandang objektif, pemilihan masalah penelitian juga perlu dipertimbangkan
dari sisi kemudahan pencarian data dan analisisnya. Juga perlu dipertimbangkan apakah akan
terdapat dampak etika, moral, dan politik yang berkaitan dengan masalah penelitian. Kalau
masalah penelitian dimungkinkan akan berdampak buruk terhadap etika, moral, dan politik,
seyogyanya dihindari, walaupun pada dasarnya penelitian kuantitatif adalah bebas nilai.

Pertimbangan subjektif
Dari sudut pandang subjektif, yaitu pertimbangan dari arah calon peneliti, perlu
dipertimbangkan apakah masalah itu sesuai dengan kemampuan calon peneliti. Sesuai atau

5
tidaknya suatu masalah itu untuk diteliti terutama bergantung kepada apakah masalah
tersebut manageable (dapat dilakukan) atau tidak oleh si calon peneliti. Hal itu terutama
dilihat dari lima segi, yaitu: (1) biaya yang tersedia, (2) waktu yang digunakan, (3) alat dan
perlengkapan yang tersedia, (4) bekal kemampuan teoretis, (5) penguasaan metode yang
diperlukan. Setiap calon peneliti perlu menanyakan kepada diri sendiri apakah dia cukup
mampu menyelesaikan masalah penelitiannya jika dilihat dari kelima hal di atas. Jika tidak,
seyogyanya dipilih masalah penelitian yang lain.
Namun demikian, disarankan agar seseorang tidak mudah menyerah kepada kendala
manajerial tersebut. Kadang-kadang kendala manajerial tersebut dapat pula menjadi
tantangan menarik yang harus diselesaikan oleh peneliti, yang kadang-kadang membuat
peneliti lebih maju daripada sebelumnya. Misalnya, karena mendapat pesanan untuk meneliti
dengan responden yang sangat banyak (misalnya sebanyak 5.000 orang), dia harus
menggunakan paket program komputer untuk mengolah data. Pada hal dia selama ini belum
pernah mengoperasikan paket program komputer satu pun. Maka dia (walaupun mungkin
mengeluarkan biaya yang cukup besar) belajar menggunakan suatu paket program komputer,
dengan mengikuti kursus tertentu. Dengan demikian, kendala penguasaan paket program
komputer menjadikan peneliti tersebut lebih baik daripada sebelumnya. Hal semacam ini
perlu dikemukakan, karena pada dasarnya seorang peneliti haruslah orang-orang yang ulet
dan orang-orang yang tidak pernah menyerah dalam menghadapi tantangan. Karena alasan
inilah banyak ilmuwan yang tidak dapat kaya, karena uang yang diperolehnya selalu dipakai
untuk mengupgrade dirinya untuk menjadi peneliti yang lebih baik. Upgrading ini pun tidak
akan pernah berhenti (never ending) sepanjang hayat.

Perumusan Masalah
Setelah masalah diidentifikasi, dipilih, maka lalu perlu dirumuskan. Permusan ini
penting, karena hasilnya akan menjadi penuntun bagi langkah-langkah selanjutnya. Mengenai
perumusan masalah, biasanya disarankan agar: (1) masalah dirumuskan dalam bentuk
kalimat tanya, (2) rumusan masalah hendaknya padat dan jelas, (3) rumusan masalah
hendaknya memberi petunjuk tentang dimungkinkannya mengumpulkan data dan menjawab
hipotesis penelitian.
Beberapa contoh mengenai perumusan masalah adalah sebagai berikut.
a. Apakah mengajar dengan menggunakan LKS lebih baik daripada mengajar dengan cara
tradisional?
b. Apakah anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang berumur antara 20 tahun sampai dengan
35 tahun lebih baik prestasi belajar matematikanya daripada anak-anak yang dilahirkan
oleh ibu yang umurnya di luar itu?
c. Apakah setelah diberi motivasi yang cukup, prestasi belajar matematika siswa menjadi
lebih baik daripada sebelumnya.
d. Apakah ada korelasi positif antara NEM Matematika SLTP dengan keberhasilan belajar
Matematika di SMU?
e. Apakah ada korelasi negatif antara tingkat kecerdasan dengan tingkat keberhasilan
mendapatkan pekerjaan?
f. Apakah EQ (Emotional Quotient) dapat dipakai untuk meramalkan keberhasilan
memimpin suatu perusahaan?

6
PENELAHAAN KEPUSTAKAAN
Setelah masalah penelitian dirumuskan, maka langkah selanjutnya adalah mencari teori-
teori, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi yang dapat dijadikan landasan teoretis bagi
penelitian yang akan dilakukan itu. Landasan ini perlu ditegakkan agar penelitian itu
mempunyai dasar yang kokoh dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error).
Untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai hal yang disebutkan di atas itu, orang
harus melakukan penelaahan kepustakaan. Penelaahan kepustakaan ini sering disebut
Tinjauan Pustaka, Kajian Teori, atau Landasan Teori. Untuk dapat melakukan penelaahan
kepustakaan dengan baik, seseorang harus malakukan kegiatan membaca.
Secara garis besar, sumber bacaan itu dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
(a) sumber acuan umum, dan (b) sumber acuan khusus. Teori-teori dan konsep-konsep pada
umumnya dapat diketemukan dalam sumber acuan umum, yaitu kepustakaan yang berwujud
buku teks, ensiklopedi, dan semacamnya. Di sisi lain, yang termasuk kepada sumber acuan
khusus ialah laporan-laporan hasil penelitian, jurnal-jurnal penelitian, CD-ROM, dan
semacamnya. Sekarang ini, pencarian kepustakaan tidak hanya dapat dilakukan di
perpustakaan saja, tetapi juga dapat dilakukan melalui internet. Banyak web-site yang
mencantumkan artikel-artikel hasil penelitian dan kadang-kadang juga jurnal hasil penelitian.
Kadang-kadang ada tingkatan muatan acuan khusus pada suatu skripsi, tesis, dan
disertasi. Semakin tinggi tingkatan suatu karya ilmiah, maka dituntut untuk menggunakan
semakin banyak acuan khusus. Pada disertasi, mungkin, disyaratkan agar minimal 75% dari
sumber yang dipakai merupakan sumber acuan khusus, sedangkan pada skripsi hanya
disyaratkan minimal 25% dari sumber yang dipakai merupakan sumber acuan khusus.
Dalam memilih sumber bacaan, biasanya dikemukakan dua kriteria, yaitu prinsip
kemutakhiran (recency) dan prinsip relevansi (relevance). Prinsip kemutakhiran mengacu
bahwa semakin mutakhir suatu sumber semakin baik. Sedangkan prinsip relevansi mengacu
kepada pemilihan sumber yang benar-benar relevan dengan permasalahan yang diajukan. Hal
ini terutama diingatkan kepada mereka yang suka menyusun Tinjauan Pustaka sekedar dalam
rangka mempertebal laporan penelitian.
Dari informasi-informasi yang telah terkumpul sebagai hasil kegiatan membaca itu,
peneliti melakukan penelaahan lebih lanjut terhadap masalah penelitian yang digarapnya.
Ramuan dari seluruh kegiatan tersebut ditata dalam kesimpulan-kesimpulan yang mendasari
penyusunan hipotesis penelitian. Hipotesis penelitian ini sering disebut kesimpulan teoretis,
karena disimpulkan dari teori-teori yang telah ada, dan masih harus dilihat keberlakuannya
pada dunia empiris.
Suatu hal yang perlu diingat oleh peneliti adalah ketika mencatat hal-hal yang perlu
pada penelaahan kepustakaan, peneliti harus pula mencatat identitas buku sumber (nama
pengarang, tahun penerbitan, kota penerbit, dan nama penerbit) yang dibacanya. Tidak jarang
seseorang lupa mencatat buku sumber tersebut, sehingga ketika akan menulis daftar pustaka,
seseorang harus mencari bukunya kembali. Kadang-kadang buku tersebut sulit dicari, karena
telah hilang atau dipinjam oleh orang lain.

PERUMUSAN HIPOTESIS
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya
masih harus diuji secara empiris. Hipotesis merupakan rangkuman dari kesimpulan teoretis
yang diperoleh dari penelaahan kepustakaan. Hipotesis merupakan jawaban terhadap masalah
penelitian yang secara teoretis dianggap paling mungkin dan paling tinggi tingkat

7
kebenarannya. Dari konteks kalimat ini dapat disimpulkan bahwa harus ada kesesuaian
antara masalah (pertanyaan) penelitian dengan hipotesis.
Secara teknis, hipotesis dapat didefinisikan sebagai pernyataan mengenai keadaan
populasi yang akan diuji kebenarannya berdasarkan data yang diperoleh dari sampel
penelitian. Secara statistis, hipotesis merupakan pernyataan mengenai keadaan parameter
yang akan diuji melalui statistik sampel.
Hipotesis juga merupakan prediksi. Taraf ketepatan prediksi itu akan sangat bergantung
kepada taraf kebenaran dan taraf ketepatan landasan teoretis yang mendasarinya. Dasar teori
yang kurang kuat akan melahirkan hipotesis yang prediksinya kurang tepat.
Mengapa hipotesis harus dibuat? Hipotesis harus dibuat karena tiga alasan, yaitu: (1)
hipotesis yang mempunyai dasar yang kuat menunjukkan bahwa peneliti telah mempunyai
cukup pengetahuan untuk melakukan penelitian di bidang itu, (2) hipotesis memberikan arah
pada pengumpulan data, dan (3) hipotesis dapat menunjukkan analisis data apa yang akan
digunakan.
Dalam penelitian kuantitatif, hipotesis haruslah: (1) konsisten dengan pengetahuan
(landasan teori) yang ada, (2) dinyatakan dalam kalimat deklaratif (pernyataan), (3) menyata-
kan pertautan antara dua variabel atau lebih, (4) dirumuskan secara sederhana, singkat dan
jelas, (5) dapat diuji secara statistik.
Secara garis besar, hipotesis yang isi dan rumusannya bermacam-macam dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) hipotesis tentang hubungan, dan (2) hipotesis
tentang perbedaan. Hipotesis tentang hubungan adalah hipotesis yang menyatakan saling
hubungan antara dua variabel atau lebih dan mendasari berbagai penelitian korelasional.
Hipotesis tentang perbedaan adalah hipotesis yang menyatakan perbedaan dalam variabel
tertentu pada kelompok yang berbeda-beda. Perbedaan dalam variabel tertentu tersebut
seringkali karena pengaruh perbedaan yang terdapat pada satu atau lebih variabel yang lain.
Hipotesis tentang perbedaan mendasari berbagai penelitian komparatif.
Sebagai contoh perumusan hipotesis adalah sebagai berikut.
(1) Mengajar dengan menggunakan LKS lebih baik daripada mengajar dengan cara
tradisional.
(2) Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang berumur antara 20 tahun sampai dengan 35
tahun lebih baik prestasi belajar matematikanya daripada anak-anak yang dilahirkan oleh
ibu yang umurnya di luar itu.
(3) Setelah diberi motivasi yang cukup, prestasi belajar matematika siswa menjadi lebih baik
daripada sebelumnya.
(4) Ada korelasi positif antara NEM Matematika SLTP dengan keberhasilan belajar
Matematika di SMU.
(5) Ada korelasi negatif antara tingkat kecerdasan dengan tingkat keberhasilan mendapatkan
pekerjaan.
(6) EQ (Emotional Quotient) dapat dipakai untuk meramalkan keberhasilan memimpin suatu
perusahaan.
Pada contoh di atas, hipotesis (1), (2), dan (3) adalah hipotesis tentang perbedaan, yang
berarti uji statistiknya harus menggunakan uji satistik perbedaan (misalnya t-tes). Sedangkan
hipotesis (4), (5), dan (6) adalah hipotesis tentang korelasi (hubungan), yang uji statistiknya
harus menggunakan uji statistik korelasional (misalnya uji momen produk dari Pearson).
Menyatakan hipotesis secara sederhana bukan saja memudahkan pengujian hipotesis
tersebut, melainkan juga dapat menjadi dasar penyusunan laporan yang jelas dan mudah
dimengerti pada akhir penelitian. Seringkali kita perlu memecah hipotesis yang sangat umum
menjadi beberapa hipotesis khusus agar menjadi jelas dan dapat diuji. Misalnya terdapat
hipotesis: Para siswa yang diberi pelajaran matematika dengan menggunakan LKS akan
8
menunjukkan pengetahuan tentang konsep-konsep matematika yang lebih banyak dan dapat
menggunakan konsep-konsep tersebut lebih baik daripada mereka yang hanya menggunakan
buku pelajaran standar. Hipotesis itu dapat dipecah menjadi dua, yaitu:
(1) Para siswa yang diberi pelajaran matematika dengan menggunakan LKS akan
menunjukkan pengetahuan tentang konsep matematika yang lebih banyak daripada
mereka yang hanya menggunakan buku pelajaran standar, dan
(2) Para siswa yang diberi pelajaran matematika dengan menggunakan LKS akan dapat
menggunakan konsep matematika secara lebih baik daripada mereka yang hanya
menggunakan buku pelajaran standar.
Dari sisi penyampaiannya, hipotesis dapat dikelompokkan ke dalam hipotesis nol (H0)
dan hipotesis kerja (Ha). Hipotesis nol adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya saling
hubungan antara dua variabel atau lebih atau hipotesis yang menyatakan tidak adanya
perbedaan antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya. Di dalam analisis statistik,
uji statistik biasanya mempunyai sasaran untuk menolak kebenaran hipotesis nol tersebut. Di
sisi lain, hipotesis kerja menyatakan adanya saling hubungan antara dua variabel atau lebih
atau menyatakan adanya perbedaan dalam hal tertentu pada kelompok-kelompok yang
berbeda. Hipotesis kerja sering juga disebut hipotesis alternatif.
Sebagai contoh dari H0 dan Ha adalah sebagai berikut. Hipotesis yang menyatakan
bahwa Mengajar dengan menggunakan LKS lebih baik daripada mengajar dengan cara
tradisional adalah hipotesis alternatif. Kalau dinyatakan dalam hipotesis nol akan berbunyi
Mengajar dengan menggunakan LKS sama baiknya dengan mengajar dengan cara tradisio-
nal.
Seringkali timbul pertanyaan mengenai mana di antara kedua macam hipotesis (nol atau
alternatif) itu yang harus dirumuskan sebagai hipotesis penelitian. Jawaban pertanyaan itu
akan sangat tergantung kepada landasan teoretis yang digunakan. Kalau landasan teoretis itu
mengarah ke penyimpulan ke "tidak adanya hubungan atau tidak adanya perbedaan", maka
hipotesis penelitian yang dirumuskan akan merupakan hipotesis nol. Sebaliknya, jika tinjauan
teoretis mengarahkan penyimpulannya kepada "ada hubungan atau ada perbedaan", maka
hipotesis penelitian yang dirumuskan merupakan hipotesis alternatif.
Pada dasarnya, kedua jenis perumusan itu dapat dilakukan. Namun, dalam kenyataan-
nya, kebanyakan penelititian kuantitatif merumuskan hipotesis penelitiannya ke dalam
bentuk hipotesis alternatif. Hal yang demikian itu terjadi terutama dalam penelitian
eksperimental. Dalam penelitian eksperimental, biasanya peneliti bermaksud mengetahui
perbedaan gejala pada kelompok yang satu dan pada kelompok yang lain, sebagai akibat
adanya perbedaan perlakuan. Dalam penelitian yang bukan eksperimentalpun banyak
diketemukan hipotesis alternatif daripada hipotesis nol yang dirumuskan sebagai hipotesis
penelitian.
Perlu pula dicatat mengenai perbedaan antara hipotesis pada hipotesis penelitian dan
hipotesis pada uji statistik. Pada hipotesis penelitian, hipotesis itu adalah dugaan sementara
yang diturunkan dari suatu kajian teori. Jadi, yang dipilih sebagai hipotesis penelitian adalah
dugaan yang mempunyai landasan kebenaran, dan ini dipilih salah satu, apakah yang
berbentuk H0 atau yang berbentuk Ha. Dalam uji statistik, biasanya, baik H 0 maupun Ha
dicantumkan atau ditulis, dan selalu berfokus kepada H0, yaitu apakah menolak atau tidak
menolak H0.

IDENTIFIKASI, KLASIFIKASI, DAN PEMBERIAN DEFINISI VARIABEL

9
Di depan telah disebutkan bahwa dalam mengambil kesimpulan-kesimpulan teoretis
sebagai akhir dari penelaahan kepustakaan, peneliti harus mengidentifikasi variabel-variabel
yang akan ditelitinya. Variabel-variabel itu harus pula diklasifikasi menurut jenisnya.
Akhirnya, variabel-variabel yang ditemukan harus didefinisikan secara operasional. Operasi-
onalisasi variabel tersebut sangat berguna dalam membuat instrumen (alat pengambil data)
penelitian.

Mengidentifikasi Variabel
Dalam tulisan ini yang disebut variabel adalah segala sesuatu yang dapat meng-
klasifikasikan objek pengamatan ke dalam dua atau lebih kelompok. Apa yang menjadi
variabel penelitian ditentukan oleh landasan teori dan ditegaskan oleh hipotesis
penelitiannya. Banyaknya variabel yang akan dijadikan objek pengamatan akan ditentukan
oleh rancangan penelitiannya. Semakin sederhana rancangan penelitian, akan melibatkan
variabel yang cacahnya semakin sedikit.

Mengklasifikasikan Variabel
Variabel-variabel yang telah diidentifikasi perlu diklasifikasikan sesuai dengan jenis
dan peranannya dalam suatu penelitian. Klasifikasi ini sangat perlu untuk menentukan alat
pengambil data dan analisis statistik yang sesuai untuk diterapkan.
Berkaitan dengan proses kuantifikasi, data penelitian kuantitatif biasanya digolongkan
menjadi empat jenis, yaitu: (a) data nominal, (b) data ordinal, (c) data interval, dan (d) data
rasio. Demikian juga, variabel kalau dilihat dari segi tersebut akan dibedakan menjadi: (a)
variabel nominal, (b) variabel ordinal, (c) variabel interval, dan (d) variabel rasio.

Variabel Nominal
Variabel nominal adalah variabel yang ditetapkan berdasar atas proses penggolongan.
Nilai variabel ini bersifat deskrit dan saling pilah antara kategori yang satu dengan kategori
yang lain. Misalnya: jenis kelamin (memilahkan ke dalam pria dan wanita), jenis pekerjaan
(memilahkan ke PNS dan swasta), dan status perkawinan (memilahkan ke kawin dan tidak
kawin).
Walaupun dalam pengkodean, sering kepada variabel nominal dilekatkan bilangan
tertentu, misalnya: laki-laki = 1, dan wanita = 2, namun pelekatan bilangan itu tidak
menunjukkan urutan sama sekali.

Variabel Ordinal
Variabel ordinal adalah variabel yang disusun berdasarkan atas jenjang dalam atribut
tertentu. Dengan demikian ada dua sifat yang melekat pada variabel ini, yaitu: (1) adanya
penggolongan, dan (2) adanya urutan (rangking). Misalnya: golongan PNS (memilahkan ke
dalam golongan I, golongan II, golongan III, dan golongan IV), tingkat pendidikan (memi-
lahkan ke dalam tidak sekolah, tamatan SD, tamatan SLTP, tamatan SLTA, dan tamatan
perguruan tinggi), dan rangking mahasiswa dalam suatu mata kuliah (yang memilahkan
menjadi rangking tinggi, sedang, dan rendah). Semua pemilahan yang disebutkan itu
mengandung makna urutan.

10
Variabel nominal dan ordinal sering juga disebut variabel kategorik (categorical
variable).

Variabel Interval
Variabel interval adalah variabel yang dihasilkan dari suatu pengukuran yang di dalam
pengukuran itu diasumsikan terdapat satuan (unit) pengukuran yang sama. Dengan demikian,
ada tiga sifat yang melekat pada variabel ini, yaitu: (1) adanya penggolongan, (2) adanya
urutan (rangking), dan (3) adanya satuan pengukuran. Contoh variabel interval adalah
prestasi belajar, indeks prestasi, penghasilan, dan sikap yang dinyatakan dalam skor.
Kadang-kadang, untuk keperluan analisis statistik, orang harus mengubah skala
variabel dari variabel interval menjadi variabel nominal. Misalnya seseorang ingin meneliti
pengaruh indeks prestasi teori terhadap lama penyelesaian skripsi. Dalam hal ini variabel
bebasnya adalah indeks prestasi teori dan variabel terikatnya adalah lama penyelesaian
skripsi. Peneliti memilih analisis variansi untuk melakukan olah datanya. Karena pada
analisis variansi, variabel bebas harus berskala nominal, maka indeks prestasi teori yang
mula-mula berskala interval harus diubah menjadi variabel dengan skala nominal, misalnya
variabel nominal dengan kategorisasi baik, sedang, dan kurang. Tentu saja harus ada aturan
untuk menstransformasi variabel itu, misalnya yang di atas rerata plus setengah simpangan
baku termasuk kategori baik, yang di bawah rerata dikurangi setengah simpangan baku
termasuk kategori kurang, dan sisanya pada kategori sedang. Variabel indeks prestasi teori
yang sudah berskala nominal itu sering disebut variabel terkategorisasikan (categorized
variable).

Variabel Rasio
Variabel rasio adalah variabel yang dalam kuantifikasinya terdapat nol mutlak. Ini
berarti ada empat sifat yang melekat pada variabel rasio, yaitu: (1) adanya penggolongan, (2)
adanya urutan (rangking), (3) adanya satuan pengukuran, dan (4) adanya nol mutlak. Contoh
variabel rasio adalah panjang. Untuk variabel rasio, orang dapat membuat rasio (perban-
dingan) antara dua nilai. Misalnya, kepada dua benda yang panjangnya masing-masing 4 cm
dan 2 cm, orang dapat mengatakan bahwa benda pertama mempunyai panjang dua kali
panjang benda pertama.
Di dalam penelitian, terlebih-lebih dalam penelitian ilmu sosial, orang jarang
mendapatkan variabel rasio, karena jarang dipenuhi adanya nol mutlak. Dalam prestasi
belajar, misalnya, walaupun seorang mahasiswa mendapat nilai nol (E), namun nol itu
tidaklah nol mutlak. Jika Amir mendapat nilai A (4) dan Budi mendapat nilai C (2), orang
juga tidak akan mengatakan bahwa kepandaian Amir dua kali kepandaian Budi. Orang hanya
mengatakan bahwa Amir lebih pandai daripada Budi. Ini menandakan bahwa prestasi belajar
bukanlah variabel rasio.
Variabel interval dan variabel rasio sering disebut variabel kontinu.

Pengklasifikasian variabel menurut fungsinya


Menurut fungsinya dalam penelitian, biasanya, klasifikasi mendasar yang sering
digunakan adalah adanya: (1) variabel bebas dan (2) variabel terikat. Variabel bebas sering
disebut variabel independen atau variabel penyebab dan variabel terikat sering disebut
variabel tak bebas, variabel tergantung, variabel terpengaruh, atau variabel dependen.

11
Pembedaan ini berdasar atas pola pemikiran sebab-akibat. Variabel terikat dipikirkan sebagai
variabel yang keadaannya tergantung (terikat) kepada variabel bebas.
Kecuali adanya variabel bebas dan terikat tersebut masih banyak jenis variabel yang
lain, yang masing-masing buku menyajikan dengan nama yang berbeda-beda, walaupun
kadang-kadang menyiratkan hal yang sama.
Dalam mengklasifikasi variabel menurut peranannya dalam penelitian itu, biasanya
orang mulai dengan mengidentifikasi variabel tergantungnya. Hal yang demikian itu terjadi
karena variabel tergantung itulah yang menjadi titik pusat persoalan dan karena itu tidak
mengherankan kalau sering disebut kriterium. Keadaan variabel tergantung itu tergantung
kepada banyak sekali variabel yang lain. Satu atau lebih dari variabel-variabel yang lain itu
mungkin dipilih sebagai variabel yang sengaja (menurut rencana) dipelajari pengaruhnya
terhadap variabel tergantung. Inilah yang disebut variabel bebas. Misalnya variabel tergan-
tungnya adalah prestasi belajar. Variabel bebasnya dapat metode pembelajaran atau metode
pembelajaran dan tingkat kecerdasan. Di samping metode pembelajaran dan tingkat
kecerdasan masih banyak variabel yang juga berpengaruh terhadap prestasi belajar. Jenis
kelamin, misalnya, juga berpengaruh terhadap prestasi belajar. Kalau penelitian juga
memperhitungkan pengaruh jenis kelamin itu terhadap prestasi belajar walaupun hal itu tidak
diutamakannya, maka dalam contoh in jenis kelamin berperanan sebagai variabel moderator.
Umur juga dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar, namun dalam penelitian dalam
contoh ini misalnya diusahakan dinetralisasikan, misalnya diambil kelompok umur tertentu,
maka umur di sini berperanan sebagai variabel kendali. Variabel-variabel lain yang masih
banyak, mungkin lalu dianggap pengaruhnya terhadap prestasi belajar tidak menimbulkan
perbedaan-perbedaan berarti, karena itu diabaikan. Variabel-variabel yang diabaikan
pengaruhnya itu berperanan sebagai variabel rambang.
Ada satu lagi jenis variabel yang disebut variabel intervening. Variabel intervening
adalah variabel yang mempengaruhi variabel tergantung, namun tidak pernah dapat diamati,
dan hanya dapat disimpulkan adanya berdasar pada fakta-fakta yang ada pada variabel
tergantung dan variabel-variabel sebab. Dalam contoh ini yang berperanan sebagai variabel
intervening adalah proses belajar yang terjadi dalam diri si subjek yang diteliti.

Definisi Operasional Variabel


Setelah variabel-variabel diidentifikasi dan diklasifikasi, maka variabel-variabel
tersebut perlu didefinisikan secara operasional. Penyusunan definisi operasional ini perlu,
karena definisi operasional itu akan menunjuk kepada alat pengambil data mana yang cocok
digunakan.
Dalam hal ini yang dimaksud definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas
sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati (diobservasi). Pengertian dapat diamati
atau diobservasi ini penting, karena hal yang dapat diamati itu membuka kemungkinan bagi
orang lain untuk melakukan hal yang serupa, sehingga apa yang dilakukan oleh peneliti
terbuka untuk diuji kembali oleh orang lain.

PEMILIHAN ATAU PENGEMBANGAN ALAT PENGAMBIL DATA


Dalam penelitian kuantitatif, alat pengambil data (instrumen) menentukan kualitas data
yang dapat dikumpulkan dan kualitas data itu menentukan kualitas penelitiannya.
Agar data penelitian mempunyai kualitas yang cukup tinggi, maka alat pengambil
datanya harus memenuhi syarat-syarat sebagai alat pengukur yang baik. Syarat-syarat itu
ialah: (a) validitas (kesahihan) dan (b) reliabilitas (keterandalan).Validitas atau kesahihan
menunjuk kepada sejauh mana alat pengukur itu mengukur apa yang dimaksudkan untuk

12
diukur. Di sisi lain, reliabilitas suatu alat pengukur menunjuk kepada keajegan hasil
pengukuran.
Kadang-kadang, disamping adanya syarat validitas dan reliabilitas, alat pengukur
diharuskan memenuhi syarat yang lain. Misalnya, kalau alat pengukur itu berupa tes pilihan
ganda, maka masih dipersyaratkan, antara lain: setiap butir soal harus memenuhi tingkat
kesulitan dan daya beda yang ditentukan serta setiap pengecohnya berfungsi. Pada
kecenderungan pengukuran sekarang ini, sebuah alat pengukur harus tidak bias terhadap
kelompok tertentu, artinya tidak menguntungkan atau merugikan seseorang dari kelompok
tertentu.
Untuk menjamin kualitas data yang dikumpulkannya, seorang peneliti harus terlebih
dulu memperoleh keyakinan bahwa alat pengambil datanya (instrumen pengukur datanya)
mempunyai validitas dan reliabilitas yang memadai dan syarat-syarat yang lain. Untuk
memperoleh keyakinan itu, dia harus menguji instrumen tersebut dalam suatu kegiatan yang
sering disebut kegiatan uji coba.
Jika sekiranya peneliti tinggal memakai suatu alat pengambil data yang sudah diakui
validitas dan reliabilitasnya, masih juga merupakan keharusan baginya untuk melaporkan
atau memberikan informasi mengenai tingkat validitas dan reliabilitas berdasarkan penelitian
terdahulu atau berdasarkan konvensi-konvensi tertentu. Ketentuan ini sekaligus meng-
ingatkan kepada lembaga komersial pembuat instrumen untuk mencantumkan indeks
validitas dan indeks reliabilitasnya.

Pemilihan Alat Pengambil Data


Keputusan mengenai alat pengambil data mana yang akan digunakan terutama
ditentukan oleh variabel yang akan diamati atau diambil datanya. Dengan kata lain,
instrumen yang digunakan harus disesuaikan dengan variabelnya. Pertimbangan berikutnya
ialah dari pertimbangan segi kualitas instrumen, yaitu dari tingkat validitas, reliabilitas, dan
syarat yang lainnya. Pertimbangan lain biasanya dari sudut praktis, misalnya besar kecilnya
biaya, macam kualifikasi orang yang harus menggunakannya, mudah sukarnya menggunakan
alat tersebut, dan sebagainya.

Pengembangan Alat Pengambil Data


Dalam penelitian-penelitian ilmu kealaman, biasanya alat pengambil data itu telah
tersedia, misalnya untuk mengambil data mengenai panjang, dapat digunakan meteran, untuk
mengambil data mengenai suhu badan, dapat digunakan termometer. Namun, untuk peneliti-
peneliti ilmu sosial acapkali, bahkan hampir selalu, harus mengembangkannya sendiri, atau
setidak-tidaknya mengadaptasikan, alat pengambil data sebelum digunakan.
Jika peneliti mengembangkan sendiri atau mengadaptasikan alat pengambil datanya, dia
harus melakukan uji-coba, untuk memperoleh keyakinan tentang kualitas alat pengambil data
yang dikembangkan atau diadaptasikannya itu sebelum benar-benar digunakan pada
penelitian yang sebenarnya.

PENYUSUNAN RANCANGAN PENELITIAN


Seperti halnya alat pengambil data, rancangan (desain) penelitian juga ditentukan oleh
variabel-variabel penelitian yang telah diidentifikasi serta oleh hipotesis yang akan diuji
kebenarannya. Kemampuan untuk memilih rancangan penelitian juga berkembang karena
13
latihan dan pengalaman. Membaca, berpartisipasi dalam seminar mengenai usulan penelitian
dan atau laporan penelitian, melakukan simulasi, merupakan cara-cara yang sangat
membantu mengembangkan kemampuan menentukan rancangan penelitian itu.
Pada umumnya, rancangan penelitian itu sekaligus juga merupakan rancangan analisis
data. Di samping itu, penentuan sampel juga sudah diberi arah oleh rancangan penelitian.
Sudah barang tentu, rancangan penelitian tergantung kepada jenis penelitian yang akan
digunakan. Pada penelitian eksperimental, misalnya, rancangan penelitian yang sekarang ini
banyak digunakan adalah rancangan faktorial. Rancangan faktorial memungkinkan
penggunaan analisis variansi sebagai alat untuk melakukan analisis data.

PENENTUAN SAMPEL
Karena berbagai alasan (misalnya karena tidak mungkin, tidak perlu, atau tidak perlu
dan tidak mungkin) tidak semua subjek atau hal lain yang ingin dijelaskan atau diramalkan
atau dikendalikan dapat atau perlu diteliti (diamati). Beberapa contoh adalah sebagai berikut.
Untuk meneliti kadar Hb dalam darah seseorang kita tidak perlu dan tidak mungkin melihat
kadar Hb dalam seluruh darah orang tersebut. Untuk meneliti apakah sayur di kuali telah
cukup keasinannya, kita tidak perlu mencicipi seluruh sayur pada kuali tersebut. Untuk
meneliti apakah korek api dapat dipakai, kita tidak perlu mencoba seluruh batang pada
sebuah kotak korek api (walaupun mungkin). Untuk mengetahui apakah IQ anak Indonesia
lebih baik daripada IQ anak India, kita tidak mungkin mengukur IQ seluruh anak Indonesia
dan mengukur IQ seluruh anak India (kecuali disediakan anggaran yang tidak terbatas
jumlahnya).
Penelitian kuantitatif boleh dikatakan hampir selalu hanya dilakukan terhadap sebagian
saja dari hal-hal yang sebenarnya diinginkan untuk diteliti. Jadi, penelitian hanya dilakukan
terhadap sampel, tidak terhadap populasi. Namun demikian, kesimpulan-kesimpulan
penelitian mengenai sampel itu akan dikenakan atau digeneralisasikan terhadap populasi.
Generalisasi dari sampel ke populasi ini mengandung resiko bahwa akan terdapat
kekeliruan atau ketidaktepatan, karena sampel tidak akan dapat mencerminkan secara tepat
keadaan populasinya. Oleh karena itu, teknik penarikan sampel menjadi amat penting.
Teknik penarikan sampel sering disebut sampling.

Jenis Sampling
Jenis-jenis sampling pada garis besarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok,
yaitu: (1) sampling probabilitas dan (2) sampling non-probabilitas. Tentu saja dalam keadaan
tertentu gabungan keduanya dapat dipakai. Sampling probabilitas adalah sampling yang
tahap-tahap penentuan anggota sampelnya menggunakan cara random (acak). Sampling non-
probabilitas adalah sampling yang tidak menggunakan cara random. Dalam penelitian
kuantitatif, sampling non-probabilitas tidak diperbolehkan.

Sampling Non-Probabilitas
Salah satu jenis sampling non-probabilitas adalah sampling purposif (purposive
sampling). Ciri sampling ini adalah adanya pertimbangan-pertimbangan tertentu dari peneliti
untuk memilih sampel. Pertimbangan itu dapat berkenaan dengan wilayah atau kelompok.

14
Biasanya hal ini dilakukan untuk mempermudah pengambilan sampel. Pada penelitian
kualitatif, biasanya digunakan sampling purposif.
Jenis lain dari sampling non-probabilitas adalah sampling aksidental (accidental
sampling). Sampling aksidental adalah sampling yang dilakukan dengan memilih anggota
sampel yang sudah ada di tangan atau yang mudah dicari. Sampling ini adalah sampling yang
paling lemah sekaligus yang sering dipakai karena kemudahannya. Misalnya: untuk meneliti
keinginan para pedagang asongan, data diambil dari pedagang asongan yang kebetulan lewat
di suatu tempat, untuk meneliti seberapa baik NEM intake (masukan) Program Studi
Pendidikan Matematika FKIP UNS hanya menggunakan mahasiswa yang kebetulan
dibimbing oleh peneliti tersebut. Praktik-praktik semacam itu seharusnya tidak digunakan
dalam penelitian kuantitatif. Kalau pun sampling ini harus digunakan, hendaknya digunakan
dengan kehati-hatian yang memadai, cermat dan ketat dalam analisis data maupun
penafsirannya.

Sampling Probabilitas
Dari kedua jenis sampling tadi (probabilitas dan non-probabilitas), yang dianggap
paling baik dalam penelitian kuantitatif adalah sampling probabilitas dengan cara
menentukan sampel dengan cara rambang (random, acak). Penentuan sampel secara rambang
atau secara random dan sampel yang diperoleh disebut sampel random. Dalam penentuan
sampel secara random, semua anggota populasi (secara individual atau secara kolektif) diberi
peluang yang sama untuk menjadi anggota sampel. Cara yang biasa digunakan untuk
mengambil sampel random ialah dengan cara lotere dan dengan menggunakan tabel bilangan
random. Cara lotere dilakukan dengan, misalnya, menuliskan semua nama anggota sampel
masing-masing pada secarik kertas, semua kertas digulung dan diaduk, lalu peneliti
mengambil kertas-kertas tersebut dengan mata tertutup sebanyak yang dikehendaki. Kalau
tersedia tabel bilangan random, maka peneliti dapat menggunakannya dengan cara misalnya
meletakkan pensil pada suatu bilangan tertentu kemudian mengambil empat nomor di
sekitarnya. Kalau dikehendaki sampel berukuran 40, maka peneliti melakukan hal tersebut
sebanyak 10 kali. Sampel yang diperoleh adalah sampel yang anggota-anggotanya
mempunyai nomor urut seperti nomor bilangan random yang diperoleh. Dewasa ini terdapat
program komputer yang dapat mengeluarkan bilangan random sebanyak yang dikehendaki.
Program komputer tersebut dapat menggantikan tabel bilangan random.
Dalam penelitian terhadap sampel, ciri representativeness sampel tidak pernah dapat
dibuktikan, melainkan hanya dapat didekati secara metodologis melalui parameter-parameter
yang diketahui dan diakui baik atau tidaknya secara teoritis maupun secara eksperimental.
Ada empat parameter yang biasa dianggap menentukan representativeness suatu sampel,
yaitu: (1) variabilitas populasi, (2) ukuran sampel, (3) teknik penentuan sampel, dan (4)
kecermatan memasukkan ciri-ciri populasi dalam sampel.
Dari keempat paramater tersebut di atas, variabilitas populasi merupakan hal yang
sudah "given", artinya peneliti harus menerima sebagaimana adanya dan tidak dapat
mengatur atau memanipulasikannya. Ketiga parameter yang lain tidak demikian halnya.
Dari sisi ukuran sampel, makin besar ukuran sampel (makin banyak anggota sampel
yang diambil) makin besar tingkat representativenessnya. Ketentuan ini berlaku untuk
populasi yang tidak homogen sempurna. Untuk populasi yang homogen sempurna, ukuran
sampel tidak mempengaruhi tingkat representativeness sampel. Dari sisi teknik pengambilan
sampel, makin tinggi tingkat random dalam penentuan sampel, akan makin tinggi tingkat
representativeness sampel. Ketentuan ini berlaku bagi populasi yang tidak homogen

15
sempurna. Akhirnya, makin lengkap ciri-ciri populasi yang dimasukkan ke dalam sampel,
akan makin tinggi tingkat representativeness sampel.
Jika ukuran populasi berhingga, peluang random dapat diberikan kepada anggota-
anggota populasi secara individual, dalam arti cara penarikan sampelnya dilakukan secara
langsung dari populasi dengan unit anggota populasi. Sampel yang diperoleh disebut sampel
random sederhana dan samplingnya disebut sampling random sederhana (simple random
sampling). Tetapi kalau populasinya berukuran sangat besar, sebaiknya peluang random
diberikan kepada anggota-anggota populasi secara kelompok atau secara bertingkat, dan
kemudian kalau perlu dilanjutkan dengan random individual. Berdasar pemikiran itu,
sampling probabilitas dapat berupa sampling random stratifikasi (stratified random
sampling) dan sampling random kluster (cluster random sampling), serta kombinasi di antara
keduanya.
Pada sampling random stratifikasi, populasi dibagi menurut strata-strata, kemudian dari
strata-strata tersebut ditarik anggota sampel secara random dari sub-populasinya (yaitu strata-
strata tadi). Misalnya diadakan penelitian yang berkaitan dengan sikap pegawai negeri sipil
(PNS). Dalam hal ini PNS terbagi menjadi strata-strata, yaitu PNS golongan IV, PNS
golongan III, PNS golongan II, dan PNS golongan I. Berdasarkan strata tadi, sampling
random dikenakan berturut-turut terhadap PNS golongan IV, PNS golongan III, PNS
golongan II, dan PNS golongan I. Sampel yang diperoleh dari keempat strata tadi
dikumpulkan menjadi satu dan disebutlah sampel random stratifikasi.
Sampling random kluster adalah sampling random yang dikenakan berturut-turut
terhadap unit-unit atau sub-sub populasi. Unit-unit atau sub-sub populasi ini disebut kluster.
Dalam pengambilan sampel dengan cara ini, kluster-kluster yang ada dianggap homogen
(walaupun asumsi ini sering tidak dapat dipenuhi). Untuk kluster yang dipilih, maka setiap
anggota dari kluster itu dipilih sebagai anggota sampel. Namun, kadang-kadang orang
melakukan rampling random kluster lagi di dalam suatu kluster. Misalnya, dalam suatu
penelitian pendidikan mengenai siswa sekolah dasar, lebih dulu diadakan sampling random
terhadap wilayah-wilayah pendidikan dari populasi. Kalau populasinya adalah siswa-siswa
sekolah dasar se Propinsi Jawa Tengah, maka lebih dulu diadakan sampling random terhadap
kabupaten-kabupaten dan diperoleh beberapa kabupaten sebagai wakil dari Propinsi Jawa
Tengah. Kemudian berturut-turut dilakukan sampling random terhadap kabupaten terpilih,
kecamatan terpilih, sekolah dasar terpilih, dan akhirnya kepada para siswa dari sekolah dasar
terpilih. Sampel-sampel yang diperoleh dikumpulkan menjadi satu dan disebutlah sampel
random kluster.
Walaupun berbagai teknik pengambilan sampel telah dikembangkan dan parameter-
parameter untuk perkiraan populasi telah diidentifikasi, namun hampir tidak pernah peneliti
dapat menemukan sampel yang mencerminkan populasi secara sempurna. Hal ini terjadi,
terutama, dalam penelitian ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Karena itu, kekeliruan yang
timbul karena penggunaan sampel hampir selalu ada. Keadaan yang demikian itu lalu
menimbulkan kebutuhan untuk dapat memperhitungkan atau setidak-tidaknya memperkira-
kan besar kecilnya kekeliruan itu.
Istilah sampel random sebenarnya tidak hanya menunjuk kepada cara pengambilan
sampel, namun juga cara menempatkan sampel secara random dalam penelitian
eksperimental. Dengan penempatan sampel secara random, peneliti akan dapat lebih tepat
dalam membandingkan hasil yang diperolehnya dengan distribusi sampel yang sering
digunakan dalam uji signifikansi statistik. Artinya, penempatan sampel secara random
menjamin bahwa perbedaan antar-kelompok dalam suatu variabel adalah tidak sistematik,
sehingga perbedaan hasil yang diperoleh lebih banyak disebabkan oleh faktor perlakuan yang
diberikan.
16
Ukuran Sampel
Yang dimaksud dengan ukuran sampel adalah banyaknya anggota sampel. Pertanyaan
yang sering dimunculkan dalam penarikan sampel ialah seberapa besar ukuran sampel yang
harus digunakan. Tidak ada jawaban pasti atas pertanyaan ini. Namun demikian, ada prinsip
yang mengatakan bahwa semakin besar ukuran sampel semakin baik. Jika ukuran sampel
terlalu kecil, hasil penelitian mungkin tidak tergeneralisasikan (generalizable) kepada
populasinya.
Menurut Gray (1981), pada umumnya, ukuran sampel tergantung kepada jenis
penelitian yang dilakukan. Untuk penelitian deskriptif, sampel yang beranggotakan 10%
populasi dianggap sebagai ukuran minimum. Untuk populasi yang ukurannya kecil,
sebaiknya ukuran sampelnya adalah 20% dari ukuran populasinya. Untuk penelitian
korelasional, paling sedikit 30 subjek diperlukan untuk dapat mendeteksi ada atau tidaknya
korelasi. Untuk penelitian kausal komparatif dan penelitan ekperimental, paling sedikit 30
subjek per kelompok (eksperimental atau pembanding) agar supaya dapat dideteksi ada atau
tidaknya perbedaan.
Tentu saja ketentuan minimum tersebut merupakan ketentuan yang benar-benar
minimum. Para peneliti dianjurkan untuk mengambil ukuran sampel yang lebih besar dari
ketentuan minimum tersebut. Untuk mempelajari ukuran sampel ini secara lebih rinci,
peneliti dapat membaca buku-buku mengenai teknik penarikan sampel dalam kaitannya
dengan kekuatan (power) statistik yang diinginkan. Namun demikian perlu diingat bahwa
ukuran sampel bukan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi hasil penelitian.
Terdapat banyak sumber bias sampling, di samping ukuran sampel, misalnya karena salah
pengambilan teknik sampling.

PENGUMPULAN DATA
Seperti telah disebutkan, kualitas data ditentukan oleh instrumen pengambil data.
Namun ada satu hal lagi yang harus dipertimbangkan, yaitu kualitas pengambil data. Kecuali
hal itu, prosedur yang dituntut oleh setiap metode pengambilan data yang digunakan harus
dipenuhi secara tertib. Pada umumnya, setiap alat atau metode pengambilan data mempunyai
panduan pelaksanaan. Panduan ini harus sejak awal difahami oleh peneliti dan difahami pula
oleh orang yang ditugasi mengambil data di lapangan.
Apa yang telah dikatakan di atas adalah untuk pengambilan data primer, yaitu data yang
langsung dikumpulkan oleh peneliti (atau petugas-petugasnya) dari sumber pertamanya. Di
samping data primer, terdapat data sekunder yang seringkali diperlukan oleh peneliti. Data
sekunder itu biasanya telah tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen, misalnya data
mengenai keadaan demografis suatu daerah, data mengenai produktivitas suatu lembaga, dan
lain sebagainya. Mengenai data sekunder ini, peneliti tidak banyak dapat berbuat untuk
menjamin mutunya, karena dalam banyak hal, peneliti harus menerima menurut apa adanya.
Oleh karena itulah, dalam banyak hal (misalnya dalam penyusunan tesis dan disertasi),
dipersyaratkan adanya data primer.

PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA


Data yang terkumpul, pertama-tama harus diseleksi (diverifikasi) atas dasar
kelayakannya. Data yang rendah kualitasnya harus digugurkan. Kalau sekiranya ada data

17
yang kurang lengkap harus dilengkapi, kalau perlu kembali ke lapangan untuk memperoleh
data yang lebih baik. Selanjutnya data yang yang telah lulus seleksi lalu diatur dalam tabel,
matriks, dan lain-lain agar memudahkan pengolahan selanjutnya.
Menganalisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian.
Peneliti harus memastikan pola analisis mana yang akan digunakannya, apakah analisis
statistik ataukah analisis non-statistik, tergantung kepada data yang telah dikumpulkan dan
pertimbangan-pertimbangan yang lain. Untuk penelitian kuantitatif, analisis statistik adalah
pilihan yang tidak bisa dihindari.
Untuk analisis statistik, model analisis yang digunakan harus sesuai dengan rancangan
penelitiannya. Dan ini tentu harus sesuai dengan hipotesisnya. Jenis-jenis data juga
menentukan model analisis mana yang tepat untuk digunakan. Dalam analisis statistik, juga
harus diperhatikan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi sekaitan dengan digunakan-
nya uji statistik tertentu. Misalnya, dalam menggunakan analisis variansi (anava), peneliti
harus menunjukkan telah dipenuhinya persyaratan analisis variansi, misalnya populasi-
populasi berdistribusi normal dan populasi-populasi mempunyai variansi yang sama
(mempunyai variansi yang homogen).
Dalam pengolahan dan analisis data, sekiranya menggunakan uji statistik, peneliti dapat
menghitung dan menganalisisnya secara manual (misalnya dengan menggunakan kalkulator)
atau mempercayakan perhitungannya kepada paket-paket program statistik tertentu,
kemudian menganalisis luaran (output) yang ditampilkan oleh komputer. Dewasa ini banyak
paket program statistik yang dapat dipakai, misalnya SPSS, SAS, dan MINITAB. Namun
demikian, perlu diingat bahwa walaupun peneliti mempercayakan perhitungannya kepada
paket program komputer, peneliti tetap harus mengerti cara-cara menghitungnya secara
manual.
Dalam uji statistik dapat diperoleh satu dari dua hal berikut ini.
(1) Hubungan antara variabel-variabel penelitian atau perbedaan-perbedaan antara sampel-
sampel yang diteliti sangat signifikan (1%) atau signifikan (5%) atau signifikan pada taraf
signifikansi tertentu.
(2) Hubungan antara variabel-variabel penelitian atau perbedaan-perbedaan antara sampel-
sampel yang diteliti tidak signifikan.
Dalam kemungkinan pertama, berarti hipotesis alternatifnya tidak ditolak (diterima), yang ini
berarti dugaan tentang adanya saling hubungan atau dugaan tentang adanya perbedaan
diterima sebagai hal yang benar. Sebaliknya, jika yang terjadi adalah kemungkinan kedua,
maka hiptesis alternatifnya ditolak.
Dengan telah diambilnya keputusan mengenai penerimaan hipotesis itu, berarti analisis
statistik telah selesai, tetapi pekerjaan penelitian belum selesai, karena hasil keputusan
tersebut masih harus diberi interpretasi.

INTERPRETASI HASIL ANALISIS


Hasil analisis harus diberi arti oleh peneliti. Biasanya dengan dibandingkannya dengan
hipotesis penelitian, didiskusikan atau dibahas (yang ini sering disebut pembahasan), dan
akhirnya diberi kesimpulan. Kata pembahasan diterjemahkan dari kata disccusion pada
literatur asing. Pada pembahasan, peneliti membandingkan temuan penelitiannya dengan
temuan penelitian terdahulu, mencari perbedaan dan atau persamaannya, dan menempatkan
temuan penelitiannya pada porsi yang tepat. Temuan-temuan penelitian bersama pembahas-
annya itulah yang merupakan kesimpulan penelitian.
Kesimpulan penelitian memuat rumusan yang menjawab permasalahan yang telah
dikemukakan, yang oleh karenanya kesimpulan tidak perlu terlalu panjang. Kesimpulan
18
sebaiknya hanya terdiri dari satu atau dua paragraf saja. Atau, seperti yang banyak dilakukan,
butir-butir yang menjadi kesimpulan suatu tulisan disampaikan dengan sistem penomoran.
Sebaiknya dihindari kesimpulan yang sudah merupakan pengetahuan umum (sudah diketahui
oleh khalayak).
Kesimpulan penelitian ini seyogyanya dikembalikan kepada permasalahannya semula
(yang permasalahan semula tersebut bukan semata-mata permasalahan statistik) dan diberi
narasi dalam bahasa sehari-hari (bukan bahasa statistik) sehingga orang yang tidak mengerti
terminologi statistikpun dapat memahami kesimpulan penelitian yang dibacanya. Misalnya,
daripada peneliti memberikan kesimpulan ada korelasi positif antara IQ dengan prestasi
belajar akan lebih baik jika peneliti memberikan kesimpulan bahwa semakin tinggi IQ
seseorang akan semakin tinggi pula prestasi belajarnya. Daripada peneliti memberikan
kesimpulan ada pengaruh motivasi belajar terhadap prestasi belajar akan lebih baik jika
peneliti memberi kesimpulan mahasiswa yang motivasinya tinggi lebih baik prestasi
belajarnya daripada mahasiswa yang motivasinya rendah.
Jika hipotesis penelitian ditolak, maka peneliti harus dapat menjelaskan kira-kira
mengapa hal itu dapat terjadi. Peneliti wajib mengeksplorasi segala sumber yang mungkin
yang dapat menjadi sebab tidak diterimanya hipotesis penelitian yang telah dikemukakan.
Beberapa sumber tidak diterimanya hipotesis penelitian yang diajukan dapat dicari antara lain
dari: (a) landasan teori, (b) sampel, (c) alat pengambil data, (d) cara pengambilan data, (e)
rancangan penelitian, (f) perhitungan-perhitungan, dan (g) variabel luaran.

Landasan Teori
Dalam suatu penelitian, terlebih untuk penelitian sosial, termasuk penelitian
kependidikan, mungkin landasan teori yang digunakan telah kadaluwarsa, kurang valid, atau
kurang tepat. Hal yang demikian dapat terjadi kalau peneliti salah pilih tentang sumber
bacaan yang ditelaahnya atau terlalu sedikit membaca, sehingga ia tidak tidak mendapatkan
informasi mengenai perkembangan muthakir dalam bidangnya atau tidak mempunyai
landasan teoretis yang cukup kuat untuk merumuskan hipotesisnya.

Sampel
Tidak diterimanya hipotesis penelitian mungkin terjadi karena sampel yang digunakan
tidak representatif, baik karena sampel itu terlalu kecil ataupun karena sampel tersebut tidak
diambil secara random.

Alat pengambil data


Tidak diterimanya hipotesis penelitian mungkin juga bersumber pada alat pengambil
datanya. Jika alat pengambil datanya tidak valid dan atau tidak reliabel, maka hal yang benar
dapat kelihatan salah dan hal yang salah dapat kelihatan benar.

Cara mengambil data


Walaupun alat pengambil datanya sudah valid dan reliabel dan memenuhi persyaratan
yang lain, tetapi kalau cara pengambilannya salah, maka akan mendapatkan data yang tidak
valid. Data yang tidak valid ini dapat menggugurkan hipotesis, yang sebenarnya berlaku,
andaikata data yang diperolehnya bermutu baik.

19
Rancangan penelitian
Tidak diterimanya hipotesis penelitian mungkin pula disebabkan karena rancangan
penelitian yang digunakan tidak tepat. Rancangan penelitian adalah semacam strategi untuk
menguji hipotesis. Jika yang digunakan bukan rancangan yang seharusnya, kemungkinan
besar hipotesisnya menjadi tidak diterima kebenarannya, walaupun sebenarnya benar.

Perhitungan-perhitungan
Perhitungan-perhitungan yang salah akan memberikan kesimpulan yang salah.
Kesalahan perhitungan ini dapat menjadi sumber tidak diterimanya hipotesis. Oleh karena
itu, peneliti setiap kali harus memastikan bahwa perhitungan-perhitungan yang dilakukannya
adalah benar.
Jika sekiranya peneliti menggunakan paket program statistik, yang tidak diragukan lagi
perhitungannya, peneliti masih harus melihat apakah data yang dimasukkan ke dalam
komputer sudah benar. Seringkali karena kepenatan atau karena sebab lain, data yang
dimasukkannya salah. Kesalahan pemasukan data tentu saja dapat menyebabkan tidak
diterimanya hipotesis penelitian.

Variabel luaran
Pengaruh variabel-variabel luaran (extraneous variables) terhadap data yang diperoleh
mungkin demikian besar, sehingga data tersebut bukanlah data yang dimaksudkan. Kalau ini
terjadi, maka akan dapat mengakibatkan tidak diterimanya hipotesis penelitian.
Dalam hal ini harus diingat oleh peneliti bahwa jika suatu hipotesis tidak diterima
kebenarannya, itu bukan berarti bahwa penelitiannya gagal sama sekali. Yang penting adalah
bahwa peneliti harus memberikan keterangan dan alasan mengapa hipotesis itu tidak benar
adanya.

Implikasi dan Saran


Kadang-kadang dalam suatu laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, dan disertasi)
dituntut adanya Implikasi dan Saran berdasarkan kesimpulan penelitian. Implikasi
menyiratkan konsekuensi logis (atau dampak) yang dapat ditarik berdasarkan kesimpulan
penelitian.
Implikasi dapat bersifat teoritis (sebagai pengaya khasanah ilmu) dan dapat bersifat
praktis (yaitu konsekuensi dalam kegiatan konkret di lapangan). Sedangkan pada Saran
disampaikan harapan peneliti mengenai tindakan apa yang dapat dilakukan sekaitan dengan
kesimpulan yang dikemukakan. Oleh karena itu, Saran sebaiknya berisi rumusan tindakan
konkret. Seperti pada Kesimpulan, Saran hendaknya tidak menyarankan sesuatu yang sudah
dikerjakan orang atau menyarankan sesuatu yang secara umum selalu dinasehatkan oleh
banyak orang. Kecuali itu, pada Saran, perlu dijelaskan kepada siapa (atau lembaga apa)
saran itu disampaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Gray, L. R. 1981. Educational Research: Competencies for Analysis and Application.


Columbus: Charles E. Merrill Publishing Company.

20
Isaac, S. dan Michael, W. B. 1991. Handbook in Research and Evaluation. San Diego: Edits
Publisher.

Keeves, J. P. dan Lamkomski, G. 1999. Issues in Educational Research. Amsterdam:


Fergamon.

Kerlinger, F. N. 1990. Asas-asas Penelitian Behavioral. Terjemahan L. R. Simatupang dan H.


J. Koesoemanto. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Krathwohl, D. R. 1998. Methods of Educational and Social Science Research. New York:
Addison-Wesley Educational Publisher, Inc.

Messick, S. 1989. Validity. Educational Measurement: Third Edition. Edited by R.L. Linn.
New York: Macmillan Publishing Company.

Noeng Muhadjir. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi III. Yogyakarta: Rake
Sarakin.

Sumadi Suryabrata. 1983. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tuckman, B. W. 1978. Conducting Educational Research. New York: Harcourt Brace


Jovanovich, Inc.

UT. 1985a. Materi Dasar Pendidikan Program Mengajar Akta V, Buku IA, Filsafat Ilmu.
Jakarta: Universitas Terbuka.

UT. 1995b. Materi Dasar Pendidikan Program Mengajar Akta V, Buku IB: Metodologi
Penelitian. Jakarta: Universitas Terbuka.

Wiersma, W. 1996. Research Methods in Education: An Introduction. Boston: Allyn and


Bacon, Inc.

21

Anda mungkin juga menyukai