Anda di halaman 1dari 37

MATERI INTI 1

PROGRAM PENGENDALIAN TUBERKULOSIS

Tentang Modul Ini

Uraian Materi

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di


dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi TB di dunia yang memburuk dengan
meningkatnya jumlah kasus TB dan pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan
terutama di 22 negara dengan beban TB paling tinggi di dunia, World Health
Organization (WHO) melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2013 Diperkirakan
pada tahun 2012 insidens kasus TB mencapai 8,6 juta (termasuk 1,1 juta dengan
koinfeksi HIV). Secara global diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 450.000
orang kasus baru dan 20% kasus dengan riwayat pengob170.000 diantaranya
meninggal dunia. Pengobatan kasus TB merupakan salah satu strategi utama
pengendalian TB karena dapat memutuskan rantai penularan.
Meskipun Program Pengendalian TB Nasional telah berhasil mencapai target angka
penemuan dan angka kesembuhan, namun penatalaksanaan TB di sebagian besar
rumah sakit dan praktik swasta belum sesuai dengan Penerapan layanan kesehatan
semesta (universal health coverage) yaitu semua pasien TB dimanapun tinggal harus
mendapatkan pelayanan TB sesuai strategi Directly Observed Treatment Short-course
(DOTS) dan standar pelayanan berdasar International Standards for Tuberculosis Care
(ISTC).

Dari hasil Riskesdas 2010 ditemukan bahwa18--37% penderita mencari tempat


pengobatan ke dokter praktek mandiri (DPM), berdasarkan pencatatan dan pelaporan
di Subdit TB sangat sedikit pasien TB yang dilaporkan oleh DPM. Hal ini
menggambarkan adanya kesenjangan antara jumlah kasus TB yang ditemukan oleh
DPM dengan jumlah kasus TB yang dilaporkan.

Dalam rangka mencapai akses universal seharusnya semua pasien TB dapat


ditemukan/mendapat pelayanan secara paripurna dan dilaporkan. Sejalan dengan
upaya pencapaian sasaran tersebut Pemerintah telah menetapkan Stranas
pengendalian TB dengan mentargetkan lebih dari 80% pasien TB dapat ditemukan dan
mendapatkan pelayanan secara lengkap sampai sembuh.

1
Pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
HK.02.02/MENKES/305/2014 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata
Laksana Tuberkulosis merupakan acuan bagi dokter yang terlibat dalam penanganan
tuberkulosis pembuat keputusan klinis, institusi pendidikan dan kelompok profesi
terkait untuk menyusun panduan praktik klinis/standar prosedur operasional dalam
penanganan tuberkulosis di fasilitas pelayanan kesehatan.

Dengan diterbitkannya peraturan ini diharapkan semua dokter yang terlibat dalam
penanganan tuberkulosis pembuat keputusan klinis, institusi pendidikan dan kelompok
profesi terkait dapat mempedomani peraturan tersebut dalam melayani pasien TB

Modul ini akan membahas tentang Lima komponen Strategi DOTS,Kegiatan dan hasil
kegiatan,Tantangan,Pengorganisasian,Pengaruh infeksi HIV terhadap masalah TB,TB
resitan obat, International Standards for TB Care (ISTC) dan Piagam Hak dan
Kewajiban Pasien TB

2
Kegiatan Belajar 1
GAMBARAN UMUM TB

Tujuan Pembelajaran Umum


Peserta mampu menjelaskan gambaran umum TB

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti materi, peserta mampu menjelaskan :

a. Patogenesis dan Penularan TB


b. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia
c. Risiko Menjadi Sakit TB dan Pengaruh HIV-AIDS terhadap Masalah TB

Pokok Materi
1. Patogenesis dan Penularan TB
2. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia
3. Risiko Menjadi Sakit TB dan Pengaruh HIV-AIDS terhadap Masalah TB

Uraian Materi

1. Patogenesis dan Penularan TB


a. Kuman Penyebab TB
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman dari
kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis.

Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M.


africanum, M. bovis, M. leprae dsb. yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan
Asam (BTA). Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium
tuberculosis yang bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal
sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang
bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TB. Untuk itu
pemeriksaan bakteriologis yang mampu melakukan identifikasi terhadap
Mycobacterium tuberculosis menjadi sarana diagnosis ideal untuk TB.

Secara umum sifat kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) antara lain adalah


sebagai berikut :

Berbentuk batang dengan panjang 1 10 mikron, lebar 0,2 0,6


mikron, berwarna merah pada pemeriksaan mikroskopis dengan
pewarnaan ZN.
Bersifat tahan asam dalam pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen.
Memerlukan media khusus untuk biakan, antara lain Lowenstein
Jensen, Ogawa.

3
Tahan terhadap suhu rendah sehingga dapat bertahan hidup dalam
jangka waktu lama pada suhu antara 4C sampai -70C.
Sangat peka terhadap panas, sinar matahari dan sinar ultraviolet akan
mati dalam beberapa menit.
Dalam dahak pada suhu antara 30 37C akan mati lebih kurang 1
minggu.
Dapat bersifat dormant (tidur / tidak berkembang).

b. Cara Penularan TB
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percikan dahak
yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan
hasil pemeriksaan BTA negatif tidak dapat menularkan, karena
sensitivitas dengan pemeriksaan mikroskopis hanya 60%.
Infeksi akan terjadi bila seseorang menghirup udara yang mengandung
percikan dahak pasien TB.
Pada waktu pasien batuk,bersin dan bicara dapat mengeluarkan
sampai satu juta percikan dahak (droplet nuclei).

2. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia


Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit. Tahapan tersebut meliputi
tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia yang dapat dilihat
pada tabel berikut:

Tabel 1. Perjalanan alamiah TB

a. Paparan

Peluang Jumlah kasus menular di masyarakat


peningkatan Peluang kontak dengan kasus menular
paparan terkait Tingkat daya tular dahak sumber penularan
Intensitas batuk sumber penularan
dengan:
Kedekatan kontak dengan sumber penularan
Lamanya waktu kontak dengan sumber
penularan
Faktor lingkungan: konsentrasi kuman
diudara (ventilasi, sinar ultra violet,
penyaringan adalah faktor yang dapat
menurunkan konsentrasi kuman)
Catatan: Paparan kepada pasien TB menular merupakan syarat untuk
terinfeksi. Setelah terinfeksi, ada beberapa faktor yang menentukan
seseorang akan terinfeksi saja, menjadi sakit dan kemungkinan
meninggal dunia karena TB.

4
b. Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6 14 minggu setelah
infeksi

Reaksi immunologi (local)


Kuman TB memasuki alveoli dan ditangkap oleh makrofag dan
kemudian terjadi komplek antigen antibody.
Reaksi immunologi (umum)
Delayed hypersensitivity (hasil Tuberkulin tes menjadi positif)

Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup
dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah bening dapat terjadi
sebelum penyembuhan lesi
c. Sakit TB
Faktor risiko untuk Konsentrasi / jumlah kuman yang
menjadi sakit TB adalah terhirup
tergantung dari : Lamanya waktu sejak terinfeksi
Usia seseorang yang terinfeksi
Tingkat daya tahan tubuh seseorang.
Seseorang dengan daya tahan tubuh
yang rendah diantaranya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk)
akan memudahkan berkembangnya TB
aktif (sakit TB).

d. Meninggal dunia
Faktor risiko kematian Akibat dari keterlambatan diagnosis dan
karena TB: atau kesalahan diagnosis
Pengobatan tidak adekuat
Adanya kondisi kesehatan awal yang
buruk atau penyakit penyerta
Catatan: Pasien TB tanpa pengobatan selama 5 tahun, 50% akan
meninggal dan risiko ini akan meningkat pada pasien dengan HIV
positif.

3. Risiko Menjadi Sakit TB dan Pengaruh HIV-AIDS terhadap Masalah TB


a. Risiko menjadi sakit TB
Diperkirakan 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS,
malnutrisi (gizi buruk), dan Diabetes Melitus (DM).
5
Infeksi HIV mengakibatkan penurunan sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity), sehingga mudah terjadi infeksi oportunistik seperti
tuberkulosis. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.
Hal lain yang mempermudah penularan TB yaitu :
Hunian padat, misalnya di penjara dan tempat-tempat pengungsian.
Situasi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan, misalnya
kemiskinan dan pelayanan kesehatan yang buruk.
Lingkungan kerja, misalnya laboratorium klinik, rumah sakit.

Faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:

Gambar 1.1. Faktor Risiko Kejadian TB

transmisi
Jumlah kasus TB BTA+
Faktor lingkungan : Risiko menjadi TB bila
Ventilasi dengan HIV:
Kepadatan 5-10% setiap tahun
Dalam ruangan >30% lifetime
SEMBUH
Faktor Perilaku
HIV(+)
KRONIS/
TB RESISTEN
OBAT

TERPAJAN INFEKSI
10%
TB MATI
Konsentrasi Kuman Keterlambatan diagnosis
Lama kontak dan pengobatan
Malnutrisi Tatalaksana tak memadai
Penyakit DM, Kondisi kesehatan
immunosupresan

6
Kegiatan Belajar 2
LIMA KOMPONEN STRATEGI DOTS,

Tujuan umum
Peserta mampu menjelaskan lima komponen strategi DOTS

Tujuan khusus
Peserta mampu menjelaskan tentang strategi DOTS dan lima komponen strategi DOTS

Pokok Materi
1. Apakah Strategi DOTS itu ?
2. Lima komponen strategi DOTS

Uraian Materi
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada tahun 1993 WHO menyatakan Global
Emergency TB, dan merekomendasikan pengendalian TB dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course).

1. Apakah Strategi DOTS ?

Program nasional pengendalian TB menerapkan strategi DOTS (directly observed


treatment short-course chemotherapy) sesuai dengan rekomendasi WHO karena
DOTS saat ini merupakan strategi yang cost effective, dan hal ini sudah terbukti
dalam program nasional maupun di beberapa negara lainnya.

Penerapan yang efektif kelima strategi DOTS akan dapat mengurangi penularan
TB, mengurangi risiko terjadinya multy drug resistance (MDR), mengurangi risiko
gagal pengobatan, kambuh (relaps) TB dan kematian akibat TB.

Uraian berikut menunjukkan kelima komponen strategi DOTS, metode dan alasannya.

2. Lima Komponen Strategi DOTS

a. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana.


Komitmen pimpinaan yang tinggi mulai dari Pusat,Provinsi dan kabupaten/Kota
sangat menentukan terhadap keberhasilan program TB. Komitmen ini meliputi
kebijakan, keberpihakan, perhatian begitu juga dalam bentuk pendanaan
untuk mendukung pelaksanaan program TB.

b. Diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik


Diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan spesimen dahak. Pemeriksaan
dahak dilakukan terhadap dahak terduga TB yaitu dahak Sewaktu pada waktu
7
berkunjung ke faskes, dahak Pagi yang diambil pagi hari ketika di rumah dan
dahak Sewaktu ketika datang ke faskes kembali (SPS) . Pemeriksaan dilakukan
menggunakan mikroskopis setelah dibuat sediaan pada slide/obyekglas.

c. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan


langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) ,dengan lama
pengobatan enem bulan. Dalam pengobatan harus ada pengawas minum obat.
Hal ini diperlukan agar pasien minum obat secara rutin/ tidak putus selama
jadwal waktu pengobatan. Pengawas minum obat dapat dilakukan oleh
petugas kesehatan ,tokoh masyarakat atau keluarganya sendiri.

d. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin. Obat


TB harus tersedia dalam jumlah yang cukup di setiap tingat administrasi dan
faskes setiap waktu. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi pasien putus
berobat yang diakibatkan oleh ketersediaan obat.

e. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan


evaluasi program penanggulangan TB.
Seluruh proses penemuan dan pengobatan terhadap pasien harus dicatat dan
dilaporkan secara periodik sesuai ketentuan yang berlaku.

8
Kegiatan Belajar 3
SITUASI TB DI DUNIA DAN INDONESIA

Tujuan Pembelajaran Umum


Peserta mampu menjelaskan Situasi TB di Dunia dan Indonesia

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah mengikuti materi, peserta mampu menjelaskan :
1. Situasi TB di Dunia
2. Situasi TB di Indonesia

Pokok Materi
1. Situasi TB di Dunia
2. Situasi TB di Indonesia

Uraian Materi

1. Situasi TB di Dunia (Global Report tahun 2013):


Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang
(13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari
pasien tersebut berada di wilayah Afrika.
Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR
dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia.
Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi
angka kesakitan dan kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan
terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena TB
mencapai 410.000 kasus termasuk di antaranya adalah 160.000 orang wanita
dengan HIV positif. Separuh dari orang dengan HIV positif yang meninggal
karena TB pada tahun 2012 adalah wanita.
Pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 530,000 kasus TB Anak dibawah usia 15
tahun, (6% dari kasus global) dan terdapat 74.00 kematian pada kasus TB Anak
dengan HIV negative (8% dari total kasus global)
Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit
yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga menunjukkan
keberhasilan dalam pengendalian TB. Peningkatan angka insidensi TB secara
global telah berhasil dihentikan dan telah menunjukkan tren penurunan (turun
2% per tahun pada tahun 2012), angka kematian juga sudah berhasil
diturunkan 45% bila dibandingkan tahun 1990.

2. Situasi TB di Indonesia
Tuberkulosis atau TB masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
menjadi tantangan global. Tahun 2013 Indonesia termasuk dalam 5 besar Negara
dengan beban TB terbanyak didunia.

9
Capaian kegiatan program TB Indonesia berdasarkan data Global TB Report
2013 yang dikeluarkan WHO, Perkiraan beban kasus TB tahun 2012 dengan
insidensi 185/100.000 (460.000), Prevalensi 297/100.000 (730.000) dan Angka
kematian 27/100.000 (67.000 tanpa HIV dan 21.000 dengan HIV+).

Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:

1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara negara


yang sedang berkembang.
2. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi dengan disparitas yang terlalu lebar,
sehingga masyarakat masih mengalami masalah dengan kondisi sanitasi, papan,
sandang dan pangan yang buruk.
3. Beban determinan sosial yang masih berat seperti angka pengangguran, tingkat
pendidikan yang, pendapatan per kapita yang masih rendah yang berakibat
pada kerentanan masyarakat terhadap TB.
4. Kegagalan Program TB selama ini disebabkan karena:
Strategi DOTS belum diterapkan secara konsekuen.
Komitmen politik dan pendanaan kurang memadai.
Organisasi pelayanan TB kurang memadai (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak
terjamin penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan
pelaporan yang standar, dan sebagainya).
Tatalaksana kasus belum seluruhnya dilakukan secara baku (diagnosis
dan paduan obat).
Persepsi yang salah terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
Infrastruktur kesehatan yang belum memadai.
Sistem jaminan kesehatan yang belum mencakup masyarakat secara merata.
5. Masalah kesehatan lain yang dapat mempengaruhi beban TB seperti gizi buruk,
merokok, diabetes.
6. Dampak pandemi HIV.

10
Kegiatan Belajar 4
KEGIATAN DAN HASIL KEGIATAN PROGRAM PENGENDALIAN TB.

Tujuan Pembelajaran Umum :


Peserta mampu menjelaskan kegiatan Program Pengendalian TB.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah mengikuti materi peserta mampu menjelaskan:
1. Kegiatan Program Pengendalian TB
2. Hasil Kegiatan.

Pokok Materi
1. Kegiatan
2. Hasil Kegiatan.

Uraian Materi
1. Kegiatan Program Pengendalian TB :
Kegiatan utama dalam program pengendalian TB yaitu: (hyperlink ke BPN bab II:
poin kegiatan)

a. Tatalaksana TB paripurna
1) Promosi Tuberkulosis
2) Pencegahan Tuberkulosis
3) Penemuan Pasien Tuberkulosis
4) Pengobatan Pasien Tuberkulosis
5) Rehabilitasi Pasien Tuberkulosis

b. Manajemen program
1) Perencanaan program pengendalian Tuberkulosis
2) Monitoring dan evaluasi program TB
3) Pengelolaan logistic program engendalian TB
4) Pengembangan ketenagaan program TB
5) Promosi program TB

c. Pengendalian TB komprehensif
1) Penguatan layanan laboratorium TB
2) Public-Private Mix TB
3) Kelompok rentan : pasien Diabetes MMelitus (DM),ibu hamil,gizi buruk.
4) Kolaborasi TB-HIV
5) TB anak
6) Pemberdayaan masyarakat dan pasien
7) Pendekatan Praktis Kesehatan paru
8) Manajemen terpadu pengendalian TB resistan obat
9) Penelitian TB.
11
Dari 3 kegiatan utama tersebut diatas, ada yang sudah diuraikan pada MD 1, yang
terkait dengan peran DPM adalah:
a. Untuk tata laksana TB paripurna, yang akan dipelajari adalah tentang:
1) Penemuan Kasus Tuberkulosis
Inti dari penemuan kasus TB pada pemeriksaan mikroskopis dahak. Uraian
detail tentang penemuan kasus akan dipelajari pada materi inti 2
2) Pengobatan Pasien TB
Pengobatan pasien TB harus memenuhi prinsip2 pengobatan dan pasien
yg diobati harus pantau sampai selesai pengobatan.
3) Pengendalian Infeksi pada sarana layanan
Mengingat TB adalah penyakit menular maka pengendalian infeksi penting
dilaksanakan di semua faskes yang melayani pasien TB termasuk DPM,
uraian lengkap tentang materi ini akan dipelajari pada materi inti 5

b. Manajemen program, yang akan dipelajari adalah tentang:


Pengelolaan logistik obat anti tuberkulosis akan dipelajari pada materi inti 3
Promosi P2 TB dalam bentuk KIE pada pasien TB, keluarga, dan Pengawas
Menelan Obat (PMO), akan dipelajari pada materi inti 4

c. Pengendalian TB komprehensif, adalah tentang


Public private mix tuberculosis yang akan dipelajari materi inti 5,
Penanganan pasien tb dengan keadaan khusus, kolaborasi tb hiv, tb mdr, dan tb
pada anak yang akan dipelajari materi inti 3

2. Hasil Kegiatan:
Hasil kegiatan program TB ditatat dikompilasi dan diolah setiap Triwulan. Tingkat
keberhasilan program TB di setiap tingkat administrasi dapat dilihat pada beberapa
indikator sebagai berikut:

12
a. Case Notifikasi Rate (CNR)
Angka ini menunjukan jumlah seluruh pasien TB yang ditemukan dan tercatat
diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Semakin tinggi pasien TB
yang yang ditemukan maka aksesibitas program TB menjadi lebih besar.Berikut
ini adalah hasil cakupan CNR TB nasional tahun 2014.

13
b. Case Detection Rate (CDR).
Angka ini menunjukan besaran kasus TB baru yang ditemukan di setiap wilayah
dibandingkan dengan perkiraan jumlah kasus TB yang ada di wilayah tersebut.
Angka ini juga menunjukan aksesibitas program TB.
Berikut CDR TB tahun 2014.

14
c. Angka Keberhasilan Pengobatan /Sukses Rate.
Angka ini merupakanprosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmas Bakterioogis
yang menyelesaikan pengobatan ( baik sembuh maupun lengkap) diantara
pasien baru TB Paru Terkonfirmasi yang tercatat.
Sukses rate merupakan inidikator penting untuk mengukur proses manajemen
kasus TB.

15
d. Angka Kesembuhan/ Cure Rate.
Angka kesembuhan merupakan prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmas
Bakterioogis yang sembuh setelah menyelesaikan pengobatan diantara pasien
baru TB Paru Terkonfirmasi yang tercatat.
Angka ini menunjukan output yang sebenarnya dari program TB.
Semakin tinggi nilai kesembuhan menunjukan keberhasilan sebenarnya dari
program TB
Berikut adalah Cure Rate program pengendalian TB Nasional.

e. Angka Drop Out/loss to follow up


Angka ini merupakan prosentase pasien baru TB Paru Terkonfirmas Bakteriologis
yang tidak menyelesaikan pengobatan/ drop out diantara pasien baru TB Paru
Terkonfirmasi yang tercatat.
Angka Drop Out menggambarkan baik/tidaknya pengelolaan manajemen TB di
suatu wilayah.
Angka yang dianggap baik jika DO ini dibawah 5%

16
Kegiatan Belajar 3
TANTANGAN PROGRAM PENGENDALIAN TB.

Tujuan Pembelajaran Umum :


Peserta dapat menjelaskan Tantangan Program Pengendalian TB.

Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu menjelaskan :
1. Pengaruh infeksi HIV terhadap masalah TB
2. Pengaruh TB resistan obat
3. Pengaruh merokok dan diabetes terhadap pasien TB

Pokok Materi .
1. Pengaruh infeksi HIV terhadap masalah TB
2. Pengaruh TB resistan obat
3. Pengaruh merokok dan diabetes terhadap pasien TB

Uraian Materi
Indonesia sudah mencapai beberapa target MDGs namun masih ada tantangan yang
harus dihadapi antara lain adanya: Pengaruh infeksi HIV terhadap masalah TB,
Pengaruh TB resistan obat, beberapa isu baru seperti diabetes dn TB merokok.

1. Pengaruh infeksi HIV terhadap masalah TB


a. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi sakit TB adalah
daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya akhibat infeksi HIV-AIDS dan
malnutrisi (gizi buruk).
b. HIV merupakan faktor risiko utama bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi
sakit. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity). Jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic) seperti
tuberkulosis, pasien akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan
kematian. Bila jumlah orang yang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah
pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat
akan meningkat pula.

2. Pengaruh TB resistan obat


TB MDR merupakan penyakit yang disebabkan oleh perilaku manusia (man made
disease), yaitu:
a. pemberi pelayanan (provider), tidak sesuai dengan standar pelayanan.
b. pasien, tidak patuh terhadap pengobatan, menghentikan pengobatan
sebelum waktunya, tidak meminum obat secara teratur, tidak mengikuti
nasehat pemberi layanan

17
c. pembuat kebijakan, informasi tidak sampai pada tingkat pelayanan primer,
tidak terjaminnya kesinambungan penyediaan obat yang berkualitas.

Data menunjukkan bahwa Indonesia termasuk urutan 8 tertinggi di dunia untuk


kasus TB MDR. Hal tersebut memberikan petunjuk agar para DPM melakukan
tatalaksana pasien TB sesuai standar agar tidak berkontribusi menambah kasus TB
MDR.

3. Pengaruh merokok dan diabetes, pada pasien TB


Keberhasilannya pengobatana pada pasien TB dipengaruhi oleh, perilaku merokok
pasien yang akan amemperberat penyakitnya sedangkanpada penderita diabetes
efektifitas obat akan berkurang. Uraian lengkap tentang hal tersebut akan
dipelajari pada materi inti 3.
Selain permasalahan di atas, tantangan lainnya adalah TB Diabetes dan TB
merokok

18
Kegiatan Belajar 6
PENGORGANISASIAN P2TB

Tujuan Pembelajaran Umum:


Peserta mampu menjelaskan Pengorganisasian P2TB

Tujuan Pemebelajaran Khusus:


Setelah mengikuti materi peserta mampu menjelaskan:
1. Pengorganisasian P2TB menurut Aspek manajemen program:
2. Pengorganisasian P2TB menurut Aspek Tatalaksana pasien TB:

Pokok Materi
1. Pengorganisasian P2TB menurut Aspek manajemen program:
2. Pengorganisasian P2TB menurut Aspek Tatalaksana pasien TB:

Uraian Materi
1. Pengorganisasian P2TB menurut Aspek manajemen program:

Dalam tatalaksana pasien TB kegiatan yang dilaksanakan adalah kegiatan


komprehensif yang melibatkan berbagai unsur mulai dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah provinsi, dan kabupaten/ kota.

1) Tingkat Pusat
Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional
Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas TB) yang merupakan forum kemitraan
lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra.dan Menteri Kesehatan R.I.
sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB yang dilaksanakan
oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

2) Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi dilaksanakan oleh tim Gerdunas-TB Provinsi yang dalam
pelaksanaan dikoordinasikan oleh Dinas Kesehatan Provinsi.

3) Tingkat Kabupaten/ Kota


Di tingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh tim Gerdunas-TB kabupaten /
kota yang dalam pelaksanaan program TB di tingkat Kabupaten/ Kota
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.

19
2. Aspek Tatalaksana pasien TB:
Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, Klinik/ BP4/BKPM/ BBKPM dan Dokter
Praktik Swasta (DPS).

a. Puskesmas
Puskesmas Dalam pelaksanaan di Puskesmas, dibentuk kelompok Puskesmas
Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM),
dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS).
Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri
(PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA.

b. Rumah Sakit
Rumah Sakit Umum, Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4), dan klinik
lannya dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana pasien TB.

c. Dokter Praktik Mandiri (DPM)


Dalam penatalaksaaan pasien TB DPM harus berkoordinasi dengan faskes
lainnya seperti puskesmas, rumah sakit umum, Balai Pengobatan Penyakit Paru-
Paru (BP4), dan klinik lannya.

Uraian lengkap tentang pengorganisasian tersebut akan dipelajari pada materi inti 5

20
Kegiatan Belajar 7
PENGARUH INFEKSI HIV TERHADAP MASALAH TB

Tujuan Pembelajaran Umum :


Peserta mampu menjelaskan Pengaruh infeksi HIV terhadap masalah TB

Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu menjelaskan :
1. Risiko Menjadi Sakit TB
2. Pengaruh HIV-AIDS terhadap Masalah TB.

Pokok Materi .
1. Risiko Menjadi Sakit TB
2. Pengaruh HIV-AIDS terhadap Masalah TB.

Uraian Materi
1. Risiko menjadi sakit TB
Koinfeksi TB sering terjadi pada orang dengan HIV AIDS (ODHA). Orang dengan
HIV mempunyai kemungkinan sekitar 30 kali lebih berresiko untuk sakit TB
dibandingkan denganorang yang tidak terinfeksi HIV. Lebih dari 25 % kematian
pada ODHA disebabkan oleh TB. Pada tahun 2012,sekitar 320.000 orang
meninggal karena HIV terkait dengan TB. Faktor yang mempengaruhi
kemungkinan seseorang menjadi sakit TB adalah daya tahan tubuh yang rendah,
diantaranya akhibat infeksi HIV-AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).

2. Pengaruh HIV AIDS terhadap masalah TB


Epidemi HIV menunjukkan pengaruhnya terhadap peningkatan epidemi TB di
seluruh dunia yang berdampak pada meningkatnya jumlah kasus TB di
masyarakat. Pandemi ini merupakan tantangan terbesar dalam pengendalian TB
dan banyak bukti menunjukkan bahwa pengendalian TB tidak akan berhasil
dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Sebaliknya TB merupakan
infeksi oportunistik terbanyak dan penyebab utama kematian pada ODHA (orang
dengan HIV-AIDS). Kolaborasi kegiatan bagi kedua program merupakan
keharusan agar mampu mengendalikan kedua penyakit tersebut secara efektif
dan efiisien.
HIV merupakan faktor risiko utama bagi yang terinfeksi TB untuk menjadi sakit.
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(cellular immunity). Jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic) seperti tuberkulosis,
pasien akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila

21
jumlah orang yang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan
meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Sebagai upaya menghadapi perkembangan global menuju 3 zeroes ( zero new
infection,zero deaths,zero stigma discrimination) Kementerian Kesehatan RI telah
menerbitkan Permenkes No. 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV AIDS
menyusun strategi penanggulangan HIV AIDS secara menyeluruh dan terpadu.
Pasal 24 pada Permenkes tersebut menyebutkan bahwa setiap orang
dewasa,remaja dan anak-anak yang dating ke faskesdengan tanda,gejala, atau
kondisi medis yang mengindikasikan atau patut diduga telah terjadi infeksi HIV
terutama asien denga riwayat penyakit TB dan IMS ditawarkan untuk pemeriksaan
HIV melalui KTS atau TIPK.

22
Kegiatan Belajar 8
TB RESISTAN OAT

Tujuan Pembelajaran Umum


Peserta mampu menjelaskan TB resistan obat

Tujuan pembelajaran khusus


Setelah mempelajari materi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan definisi TB Resistan Obat ?
2. Menjelaskan Kategori Resistansi Obat
3. Menjelaskan Penyebab terjadinya TB Resisten Obat.
4. Menjelaskan kriteria terduga TB Resistan Obat

Pokok Materi
1. Definisi TB Resistan Obat ?
2. Kategori Resistan Obat
3. Penyebab terjadinya TB Resisten Obat.
4. Krieteria Terduga TB Resistan Obat

Uraian Materi
1. Definisi TB Resistan Obat

Adalah keadaan dimana Mycobacterium tuberculosis tidak dapat lagi dibunuh


dengan OAT.

TB Resistan Obat dipastikan melalui pemeriksaan biakan dan uji kepekaan


untuk M. tuberculosis.

2. Kategori Resistan OAT

Terdapat 5 kategori resistansi terhadap obat anti TB, yaitu:


Monoresistan: resistan terhadap salah satu OAT, misalnya resistan
isoniazid (H)
Poliresistan: resistan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid (H) dan rifampisin (R), misalnya resistan isoniazid dan ethambutol
(HE), rifampicin ethambutol (RE), isoniazid ethambutol dan streptomisin
(HES), rifampicin ethambutol dan streptomisin (RES).
Multi Drug Resistan (MDR): resistan terhadap isoniazid dan rifampisin,
dengan atau tanpa OAT lini pertama yang lain, misalnya resistan HR, HRE,
HRES.

23
Ekstensif Drug Resistan (XDR):
TB MDR disertai resistansi terhadap salah salah satu obat golongan
fluorokuinolon dan salah satu dari OAT injeksi lini kedua (kapreomisin,
kanamisin, dan amikasin).
Total Drug Resistan (Total DR).
Resistansi terhadap semua OAT (lini pertama dan lini kedua) yang sudah
dipakai saat ini.

3. Penyebab terjadinya TB Resisten Obat.


Faktor utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT adalah ulah
manusia sebagai akibat tatalaksana pengobatan pasien TB yang tidak
dilaksanakan dengan baik. Penatalaksanaan pasien TB yang tidak adekuat
tersebut dapat ditinjau dari sisi :

a. Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena :


Diagnosis tidak tepat,
Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat,
Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat,
Penyuluhan kepada pasien yang tidak adequat.
b. Pasien, yaitu karena :
Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan
Tidak teratur menelan paduan OAT,
Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya.
Gangguan penyerapan obat
c. Program Pengendalian TB , yaitu karena :
Persediaan OAT yang kurang
Kualitas OAT yang disediakan rendah (Pharmaco-vigillance).

4. Kriiteria Terduga TB Resistan Obat

Suspek TB Resistan Obat adalah semua orang yang mempunyai gejala TB yang
memenuhi satu atau lebih kriteria suspek di bawah ini:
a. Pasien TB gagal pengobatan kategori 2
b. Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah diobati
c. Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB Non DOTS, dan
menggunakan pengobatan kuinolon dan obat suntik kini 2 minimal 1 bulan
d. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang gagal
e. Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan
f. Pasien TB kasus kambuh (relaps), kategori 1 dan kategori 2
g. Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default)

24
h. Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB
Resistan Obat
i. Pasien koinfeksi TB-HIV yang tidak respon terhadap pemberian OAT

25
Kegiatan Belajar 9
INTERNATIONAL STANDARDS FOR TB CARE (ISTC)

Tujuan Pembelajaran Umum :


Peserta mampu menjelaskan ISTC

Tujuan Pembelajaran Khusus :


Setelah mengikuti materi peserta mampu menjelaskan :
1. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)
2. Standar diagnosis
3. Standar pengobatan
4. Standar penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid lain
5. Standar kesehatan masyarakat

Pokok Materi
1. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)
2. Standar diagnosis
3. Standar pengobatan
4. Standar penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid lain
5. Standar kesehatan masyarakat

Uraian Materi

1. International Standards for Tuberculosis Care (ISTC)

International for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar yang melengkapi


guideline Program Pengendalian TB yang konsisten dengan rekomendasi WHO.
ISTC edisi pertama dikeluarkan pada tahun 2006 dan pada tahun 2009 direvisi.

Terdapat penambahan standar dari 17 standar menjadi 21 standar yang terdiri dari:

a. Standar diagnosis (standar 1-6)


b. Standar pengobatan (standar 7-13)
c. Standar penanganan TB dengan infeksi HIV dan kondisi komorbid lain
(standar 14-17)
d. Standar kesehatan masyarakat (standar 18-21)

Prinsip dasar ISTC tidak berubah. Penemuan kasus dan pengobatan tetap menjadi
hal utama. Selain itu juga tanggungjawab penyedia pelayanan kesehatan untuk
menjamin pengobatan sampai selesai dan sembuh. Seperti halnya pada edisi
sebelumnya, edisi 2009 ini tetap konsisten berdasarkan rekomendasi internasional
dan dimaksudkan untuk melengkapi bukan untuk menggantikan rekomendasi lokal
atau nasional.
26
STANDAR UNTUK DIAGNOSIS

Standar 1

Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih, yang tidak jelas
penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.
*) lihat addendum

Standar 2
Semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis paru
harus menjalani pemeriksaan dahak mikroskopik minimal 2 kali yang diperiksa di
laboratorium yang kualitasnya terjamin. Jika mungkin paling tidak satu spesimen harus
berasal dari dahak pagi hari.
*) lihat addendum

Standar 3
Pada semua pasien (dewasa, remaja, dan anak) yang diduga menderita tuberkulosis
ekstra paru, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya diambil untuk
pemeriksaan mikroskopik, biakan, dan histopatologi.
*) lihat addendum

Standar 4
Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberkulosis seharusnya menjalani
pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.

Standar 5

Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan kriteria berikut:
minimal dua kali pemeriksaan dahak mikroskopik negatif (termasuk minimal 1 kali dahak
pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis; dan tidak ada respons terhadap
antibiotika spektrum luas (catatan: fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap
M. tuberculosis complex sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita
tuberkulosis). Untuk pasien ini biakan dahak harus dilakukan. Pada pasien yang sakit
berat atau diketahui atau diduga terinfeksi HIV, evaluasi diagnostik harus disegerakan
dan jika bukti klinis sangat mendukung ke arah tuberkulosis, pengobatan tuberkulosis
harus dimulai.

27
Standar 6

Pada semua anak yang diduga menderita tuberkulosis intratoraks (yakni paru, pleura,
dan kelenjar getah bening mediastinum atau hilus), konfirmasi bakteriologis harus
dilakukan dengan pemeriksaan dahak (dengan cara batuk, kumbah lambung, atau
induksi dahak) untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan. Jika hasil bakteriologis
negatif, diagnosis tuberkulosis harus didasarkan pada kelainan radiografi toraks sesuai
tuberkulosis, riwayat terpajan kasus tuberkulosis yang menular, bukti infeksi tuberkulosis
(uji tuberkulin positif atau interferon gamma release assay) dan temuan klinis yang
mendukung ke arah tuberkulosis. Untuk anak -yang diduga menderita tuberkulosis ekstra
paru, spesimen dari lokasi yang dicurigai harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan
mikroskopik, biakan, dan histopatologis.
*) lihat addendum

28
STANDAR UNTUK PENGOBATAN

Standar 7
Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung jawab
kesehatan masyarakat yang penting untuk mencegah penularan infeksi lebih lanjut dan
terjadinya resistensi obat. Untuk memenuhi tanggung jawab ini praktisi tidak hanya wajib
memberikan paduan obat yang memadai tetapi juga memanfaatkan pelayanan
kesehatan masyarakat lokal dan sarana lain, jika memungkinkan, untuk menilai
kepatuhan pasien serta dapat menangani ketidakpatuhan bila terjadi.

Standar 8

Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus
diberi paduan obat yang disepakati secara internasional menggunakan obat yang
bioavailabilitasnya telah diketahui. Fase inisial seharusnya terdiri dari isoniazid,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Fase lanjutan seharusnya terdiri dari isoniazid
dan rifampisin yang diberikan selama 4 bulan. Dosis obat anti tuberkulosis yang
digunakan harus sesuai dengan rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang
terdiri dari kombinasi 2 obat (isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin, dan
pirazinamid), dan 4 obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol) sangat
direkomendasikan.

Standar 9

Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) terhadap pengobatan, suatu


pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan
pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan,
seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan seharusnya
berbasis individu dan harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang
direkomendasikan dan layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan
penyuluhan pasien. Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah
penggunaan berbagai upaya untuk menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap
paduan obat dan menangani ketidakpatuhan, bila terjadi. Upaya ini seharusnya dibuat
sesuai keadaan pasien dan dapat diterima oleh kedua belah pihak, yaitu pasien dan
penyelenggara pelayanan. Upaya ini dapat mencakup pengawasan langsung menelan
obat (directly observed therapy-DOT) serta identifikasi dan pelatihan bagi pengawas
menelan obat (untuk tuberkulosis dan, jika memungkinkan, untuk HIV) yang dapat
diterima dan dipercaya oleh pasien dan sistem kesehatan. Insentif dan dukungan,
termasuk dukungan keuangan dapat diberikan untuk mendukung kepatuhan.

29
Standar 10
Respons terhadap terapi pada pasien tuberkulosis paru harus dimonitor dengan
pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua spesimen) saat fase inisial selesai (dua
bulan). Jika apus dahak positif pada akhir fase inisial, apus dahak harus diperiksa
kembali pada bulan ketiga dan jika positif, biakan dan uji resistensi terhadap isoniazid
dan rifampisin harus dilakukan. Pada pasien tuberkulosis ekstra paru dan pada anak,
penilaian respons pengobatan terbaik adalah secara klinis.

Standar 11

Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan terdahulu,


pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat, dan prevalensi resistensi obat
dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Uji sensitivitas obat
seharusnya dilakukan pada awal pengobatan untuk semua pasien yang sebelumnya
pernah diobati. Pasien yang apus dahak tetap positif setelah pengobatan tiga bulan
selesai dan pasien gagal pengobatan, putus obat, atau kasus kambuh setelah
pengobatan harus selalu dinilai terhadap resistensi obat. Untuk pasien dengan
kemungkinan resistensi obat, biakan dan uji sensitivitas/resistensi obat setidaknya
terhadap isoniazid dan rifampisin seharusnya dilaksanakan segera untuk meminimalkan
kemungkinan penularan. Upaya pengendalian infeksi yang memadai seharusnya
dilakukan sesuai tempat pelayanan.

Standar 12

Pasien yang menderita atau kemungkinan besar menderita tuberkulosis yang disebabkan
kuman resisten obat (khususnya MDR/XDR) seharusnya diobati dengan paduan obat
khusus yang mengandung obat anti tuberkulosis lini kedua. Paduan obat yang dipilih
dapat distandarisasi atau sesuai pola sensitivitas obat berdasarkan dugaan atau yang
telah terbukti. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih efektif, termasuk
obat suntik, harus diberikan paling tidak 18 bulan setelah konversi biakan. Tindakan yang
berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman dalam
pengobatan pasien dengan MDR/XDR TB harus dilakukan.

Standar 13
Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis, dan efek
samping seharusnya dibuat untuk semua pasien.

30
STANDAR UNTUK PENANGANAN TB DENGAN INFEKSI HIV
DAN KONDISI KOMORBID LAIN

Standar 14
Uji HIV dan konseling harus direkomendasikan pada semua pasien yang menderita atau
yang diduga menderita tuberkulosis. Pemeriksaan ini merupakan bagian penting dari
manajemen rutin bagi semua pasien di daerah dengan prevalensi infeksi HIV yang tinggi
dalam populasi umum, pasien dengan gejala dan/atau tanda kondisi yang berhubungan
HIV, dan pasien dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV. Mengingat terdapat hubungan
yang erat antara tuberkulosis dan infeksi HIV, pada daerah dengan prevalensi HIV yang
tinggi pendekatan yang terintegrasi direkomendasikan untuk pencegahan dan
penatalaksanaan kedua infeksi.
Standar 15

Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi untuk
menentukan perlu/tidaknya pengobatan anti retroviral diberikan selama masa
pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat anti retroviral
seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Bagaimanapun juga
pelaksanaan pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi
HIV juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.

Standar 16

Pasien dengan infeksi HIV yang, setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita
tuberkulosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi tuberkulosis laten dengan isoniazid
selama 6-9 bulan.

Standar 17

Semua penyelenggara kesehatan harus melakukan penilaian yang menyeluruh terhadap


kondisi komorbid yang dapat mempengaruhi respons atau hasil pengobatan tuberkulosis.
Saat rencana pengobatan mulai diterapkan, penyelenggara kesehatan harus
mengidentifikasi layanan-layanan tambahan yang dapat mendukung hasil yang optimal
bagi semua pasien dan menambahkan layanan-layanan ini pada rencana
penatalaksanaan. Rencana ini harus mencakup penilaian dan perujukan pengobatan
untuk penatalaksanaan penyakit lain dengan perhatian khusus pada penyakit-penyakit
yang mempengaruhi hasil pengobatan, seperti diabetes mellitus, program penanganan
kecanduan alkohol dan obat-obatan terlarang, program berhenti merokok, dan layanan
pendukung psikososial lain, atau layanan-layanan seperti perawatan selama masa
kehamilan, setelah melahirkan dan perawatan bayi.

31
STANDAR UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT

Standar 18

Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya memastikan


bahwa semua orang yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis menular
seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi internasional.
Penentuan prioritas evaluasi kontak didasarkan pada kecenderungan bahwa kontak: 1)
menderita tuberkulosis yang tidak terdiagnosis; 2) berisiko tinggi menderita tuberkulosis
jika terinfeksi; 3) berisiko menderita tuberkulosis berat jika penyakit berkembang; dan 4)
berisiko tinggi terinfeksi oleh pasien. Prioritas tertinggi evaluasi kontak adalah:

Orang dengan gejala yang mendukung ke arah tuberkulosis.


Anak berusia <5 tahun.
Kontak yang menderita atau diduga menderita imunokompromais, khususnya
infeksi HIV.
Kontak dengan pasien MDR/XDR TB.
Kontak erat lainnya merupakan kelompok prioritas yang lebih rendah.

Standar 19

Anak berusia <5 tahun dan individu semua usia dengan infeksi HIV yang memiliki kontak
erat dengan pasien tuberkulosis dan setelah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita
tuberkulosis aktif, harus diobati sebagai infeksi laten tuberkulosis dengan isoniazid.

Standar 20

Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang menangani pasien yang menderita atau
diduga menderita tuberkulosis harus mengembangkan dan menjalankan rencana
pengendalian infeksi tuberkulosis yang memadai.

Standar 21

Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus tuberkulosis baru


maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke kantor dinas kesehatan
setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijakan yang berlaku.
*) lihat addendum

32
ADDENDUM

Standar 1
Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk evaluasi adalah berat badan yang
sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.

Standar 2
Bila hasil pemeriksaan BTA 1 negatif, maka dilakukan pemeriksaan sputum kedua pagi
hari. Satu spesimen harus berasal dari pagi hari.

Standar 3
Sebaiknya dilakukan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada tidaknya TB
paru dan TB milier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila mungkin, pada anak.

Standar 6
Untuk penatalaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan dari kasus
tuberkulosis yang menular , bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau
interferon gamma release assay) dan kelainan radiografi toraks sesuai TB.

Standar 8
Secara umum terapi TB diberikan selama 6 bulan, namun pada TB Ekstraparu (meningitis
TB, TB tulang, TB milier, TB Kulit, dan lain-lain) terapi TB dapat diberikan lebih lama
sesuai evaluasi medis.
Khusus untuk anak, rejimen yang diberikan terdiri atas RHZ. E ditambahkan bila
penyakitnya berat.

Standar 10
Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru BTA negatif
dapat dinilai dengan foto toraks.

Standar 18
Apabila menangani TB anak dan TB Kulit maka cari sumber penularnya

Standar 19
Pemberian Isoniazid untuk profilaksis sedang dalam proses persiapan menjadi program
nasional

Standar 21
Pelaksanaan pelaporan akan difasilitasi dan dikoordinasikan oleh dinas kesehatan
setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat.

33
Kegiatan Belajar 10
PIAGAM HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN TB DI INDONESIA

Tujuan Pembelajaran Umum


Peserta mampu menjelaskan Piagam Hak dan Kewajiban Pasien

Tujuan Pembelajaran Khusus


Peserta mampu menjelaskan
1. Piagam Hak Pasien TB
2. Kewajiban Pasien TB

Pokok Materi
1. Hak Pasien TB
2. Kewajiban asien TB.

Uraian Materi
PIAGAM HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN TB DI INDONESIA

Pendahuluan
Piagam ini menguraikan hak dan kewajiban pasien Tuberkulosis (TB), diprakarsai dan
dikembangkan oleh pasien dan masyarakat peduli TB di seluruh dunia sebagai Patient
Charter for Tuberculosis Care. Di Indonesia, piagam ini disesuaikan dan dikembangkan
oleh Perkumpulan Pasien dan Masyarakat Peduli TB Indonesia (PAMALI TB
INDONESIA) menjadi Piagam Hak dan Kewajiban Pasien TB.

Pemahaman dan pelaksanaan isi piagam ini akan membantu pemberdayaan pasien TB
dan masyarakat serta membangun terjalinnya hubungan yang lebih baik dan saling
menguntungkan antara pasien dan masyarakat dengan petugas kesehatan.

Piagam ini memberikan jalan bagi pasien, masyarakat, petugas kesehatan dan
pemerintah untuk bekerjasama dengan lebih baik sebagai mitra yang setara dalam
keterbukaan untuk mencapai tujuan yang sama, meningkatkan mutu dan efektifitas
pelayanan TB.

Piagam ini disusun mengacu pada Undang Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran dan sesuai dengan Kerangka Kerja Strategi Nasional
Penanggulangan TB dengan pendekatan keberpihakan pada pasien (patient centered
approach).

Prinsip untuk sebanyak mungkin melibatkan pasien TB, memastikan pemberdayaan


pasien untuk menjembatani kerjasama yang efektif antara pasien dengan petugas
34
kesehatan. Keterlibatan pasien ini sangat penting untuk memenangkan perjuangan
melawan TB.

Piagam ini diperuntukkan bagi komunitas TB di seluruh Indonesia seperti pasien,


masyarakat, petugas kesehatan, organisasi pemerintahan maupun organisasi non
pemerintahan.

A. HAK PASIEN TB

1. Akses Pelayanan
a. Mendapatkan akses terhadap pelayanan yang baik dan manusiawi, mulai dari
diagnosis penyakit sampai pengobatan selesai, tanpa memandang asal usul,
suku, gender, usia, bahasa, status hukum, agama, kepercayaan, jenis
kelamin, budaya dan penyakit lain yang diderita.
b. Hak untuk memperoleh akses pelayanan kesehatan yang bermutu dalam
suasana yang bersahabat dengan dukungan moral dari keluarga, teman dan
masyarakat.
c. Hak untuk memperoleh nasehat dan pengobatan berdasarkan kaidah yang
berlaku sesuai dengan kebutuhan pasien, termasuk mereka yang menderita
TB yang kebal obat (MDR-TB) atau menderita TB-HIV.
d. Hak untuk mendapatkan penyuluhan tentang pencegahan dan penularan TB
sebagai bagian dari program perawatan yang menyeluruh.

2. Informasi
a. Hak untuk mendapatkan semua informasi mengenai pelayanan TB termasuk
pembiayaannya.
b. Hak untuk memperoleh gambaran secara jelas, singkat dan tepat waktu
mengenai keadaan kesehatan, pengobatan dan akibat yang biasa terjadi
serta penanganan yang tepat.
c. Hak untuk mengetahui nama dan dosis obat dan tindakan yang akan
dilakukan serta akibat yang mungkin terjadi dan berpengaruh terhadap
keadaan pasien.
d. Hak untuk mendapatkan informasi tentang isi rekam medis bila diperlukan
oleh pasien.
e. Hak untuk berbagi pengalaman dengan sesama pasien TB dan pasien lainnya
serta mendapatkan bimbingan (konseling) sukarela, mulai dari diagnosis
sampai selesai pengobatan.

35
3. Pilihan
a. Hak untuk memperoleh pendapat dokter yang lain atau ahli kesehatan yang
lain (second medical opinion) disertai isi rekam medis sebelumnya.
b. Hak untuk menerima atau menolak tindakan bedah jika pengobatan masih
memungkinkan dan mendapatkan informasi tentang akibatnya dari segi
medis dalam kaitannya dengan penyakit menular.
c. Hak untuk memilih menerima atau menolak ikut dalam kegiatan penelitian
tanpa membahayakan perawatannya

4. Kerahasiaan
a. Hak untuk dihargai dalam kebebasan pribadi, martabat, agama,
kepercayaan, serta sosial budaya.
b. Hak untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan keadaan kesehatan
yang dirahasiakan, kecuali kepada pihak lain dengan persetujuan pasien.

5. Keadilan
a. Hak untuk menyampaikan keluhan melalui saluran yang tersedia dan hak
untuk mendapatkan penanganan keluhan dengan tepat dan adil.
b. Hak untuk menyampaikan kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan jika
keluhannya tidak ditanggapi.
6. Organisasi
a. Hak untuk bergabung atau mendirikan kelompok pasien dan masyarakat
peduli TB untuk mencari dukungan petugas kesehatan dan pihak terkait
lainnya.
b. Hak untuk ikut aktif dalam perencanaan, pengembangan, pemantauan dan
penilaian, baik dalam hal kebijakan maupun pelaksanaan program TB.
7. Keamanan
a. Hak untuk dijamin tetap bekerja (tidak di PHK) dan tidak dikucilkan.
b. Hak untuk memperoleh gizi atau makanan tambahan jika diperlukan, untuk
memenuhi pengobatan dari berbagai sumber yang memugkinkan

B. KEWAJIBAN PASIEN

1. Berbagi Informasi
a. Berkewajiban memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang kondisi
kesehatan, penyakit-penyakit sebelumnya, semua alergi dan informasi lain
yang dibutuhkan kepada petugas kesehatan.
b. Berkewajiban memberikan informasi kepada petugas kesehatan mengenai
kontak langsung dengan keluarga dekat, teman atau siapapun yang mungkin
mudah tertular TB
36
c. Berkewajiban mencari informasi ke berbagai sumber yang berhubungan
dengan penyakit TB.

2. Mematuhi Pengobatan
a. Berkewajiban mematuhi rencana pengobatan yang telah disetujui, serta
selalu taat pada petunjuk yang diberikan untuk melindungi dirinya dan
orang lain.
b. Berkewajiban menginformasikan kepada petugas kesehatan mengenai
kesulitan atau masalah yang timbul dalam menjalani pengobatan atau jika
ada yang tidak dipahami dengan jelas

3 Pencegahan penularan
a. Berkewajiban menutup mulut bila batuk, tidak membuang dahak di
sembarang tempat.
b. Berkewajiban mengajak anggota keluarga untuk memeriksakan diri bila
mempunyai gejala TB

4 Peran serta dalam Kesehatan Masyarakat


a. Berkewajiban berperan serta dalam kesejahteraan masyarakat dengan
mengajak orang lain untuk mendapatkan informasi kesehatan apabila
mereka menunjukkan gejala TB.
b. Berkewajiban menghargai hak sesama pasien dan para petugas kesehatan.

5 Kesetiakawanan
a. Berkewajiban untuk setiakawan pada sesama pasien dan bersama menuju
kesembuhan.
b. Berkewajiban untuk berbagi informasi dan pengetahuan yang diperoleh
selama pengobatan, dan menyampaikan kepada orang lain, sehingga
pemberdayaan semakin kuat.
c. Berkewajiban untuk ikut serta dalam upaya mewujudkan masyarakat bebas
TB.

6 Mentaati ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan

37

Anda mungkin juga menyukai