TBW pada orang dewasa berkisar antara 45-75% dari berat badan. Kisaran ini tergantung pada
tiap individu yang memiliki jumlah jaringan adipose yang berbeda, yang mana jaringan ini hanya
mengandung sedikit air.
TBW pada wanita lebih kecil dibanding dengan laki-laki dewasa pada umur yang sama,
karena struktur tubuh wanita dewasa yang umumnya lebih banyak mengandung jaringan lemak.
TBW pada neonatus lebih tinggi yaitu sekitar 70-80% berat badan
Untuk beberapa alasan, obesitas serta peningkatan usia akan menurunjkan jumlah kandungan
total air tubuh
TBW dibagi dalam 2 komponen utama yaitu cairan intraseluler (CIS) dan cairan ekstra seluler
(CES) seperti terlihat pada gambar
Cairan intra seluler merupakan 40% dari TBW. Pada seorang laki- laki dewasa dengan berat 70
kg berjumlah sekitar 27 liter. Sekitar 2 liter berada dalam sel darah merah yang berada di dalam
intravaskuler. Komposisi CIS dan kandungan airnya bervariasi menurut fungsi jaringan yang ada.
Misalnya, jaringan lemak memiliki jumlah air yang lebih sedikit dibanding jaringan tubuh
lainnya.
Komposisi dari CIS bervariasi menurut fungsi suatu sel. Namun terdapat perbedaan umum
antara CIS dan cairan interstitial. CIS mempunyai kadar Na+, Cl- dan HCO3- yang lebih rendah
dibanding CES dan mengandung lebih banyak ion K+ dan fosfat serta protein yang merupakan
komponen utama intra seluler.
Komposisi CIS ini dipertahankan oleh membran plasma sel dalam keadaan stabil namun tetap ada
pertukaran. Transpor membran terjadi melalui mekanisme pasif seperti osmosis dan difusi, yang
mana tidak membutuhkan energi sebagaimana transport aktif.
Sekitar sepertiga dari TBW merupakan cairan ekstraseluler (CES), yaitu seluruh cairan di luar sel.
Dua kompartemen terbesar dari mairan ekstrasluler adalah cairan interstisiel, yang merupakan
tiga perempat cairan ekstraseluler, dan plasma, yaitu seperempat cairan ekstraseluler. Plasma
adalah bagian darah nonselular dan terus menerus berhubungan dengan cairan interstisiel melalui
celah-celah membran kapiler. Celah ini bersifat sangat permeabel terhadap hampir semua zat
terlarut dalam cairan ekstraseluler, kecuali protein. Karenanya, cairan ekstraseluler terus
bercampur, sehingga plasma dan interstisiel mempunyai komposisi yang sama kecuali untuk
protein, yang konsentrasinya lebih tinggi pada plasma.
Cairan transeluler merupakan cairan yang disekresikan dalam tubuh terpisah dari plasma oleh
lapisan epithelial serta peranannya tidak terlalu berarti dalam keseimbangan cairan tubuh, akan
tetapi pada beberapa keadaan dimana terjadi pengeluaran jumlah cairan transeluler secara
berlebihan maka akan tetap mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh. Cairan
yang termasuk cairan transseluler yaitu :Cairan serebrospinal, cairan dalam kelenjar limfe, cairan
intra okular, cairan gastrointestinal dan empedu, cairan pleura, peritoneal, dan perikardial.
Komponen cairan ekstraseluler terbagi menjadi seperti pada tabel berikut:
Berikut ini merupakan bagan perpindahan cairan nterstisiel dan plasma menurut hukum
Starling:
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel (permeabel
selektif dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih tinggi hingga kadarnya
sama. Membran semipermeabel ialah membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak
dapat dilalui zat terlarut misalnya protein.1,4
Tekanan osmotik plasma darah ialah 285 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-kira
sama disebut isotonik (NaCl 0,96%, Dekstrosa 5%, Ringer-laktat), lebih rendah disebut hipotonik
(akuades) dan lebih tinggi disebut hipertonik.1
b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari konsentrasi
tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik pembuluh darah juga
mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung kepada
perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.
c. Pompa Natrium Kalium
Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transport yang memompa ion natrium keluar
melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam. Tujuan
dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.
Air melintasi membran sel dengan mudah, tetapi zat-zat lain sulit atau diperlukan proses khusus
supaya dapat melintasinya, karena itu komposisi elektrolit di dalam dan di luar sel berbeda.
Cairan intraselular banyak mengandung ion K, ion Mg dan ion fosfat, sedangkan ekstraselular
banyak mengandung ion Na dan ion Cl.
Tekanan osmotik suatu larutan dinyatakan dengan osmol atau miliosmol/liter. Tekanan osmotik
suatu larutan ditentukan oleh banyaknya partikel yang larut dam suatu larutan. Dengan kata lain,
makin banyak partikel yang larut maka makin tinggi tekanan osmotik yang ditimbulkannya. Jadi,
tekanan osmotik ditentukan oleh banyaknya pertikel yang larut bukan tergantung pada besar
molekul yang terlarut. Perbedaan komposisi ion antara cairan intraseluler dan ekstraseluler
dipertahankan oleh dinding yang bersifat semipermeabel.
Kandungan air dalam tiap organ tidak seragam seperti terlihat pada tabel 3.
Perubahan Cairan Tubuh
Gangguan cairan tubuh dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni perubahan :
1. Volume,
2. Konsentrasi, dan
3. Komposisi.
Ketiga macam gangguan tersebut mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lainnya
sehingga dapat terjadi bersamaan. Namun demikian, dapat juga terjadi secara terpisah atau sendiri
yang dapat member gejala-gejala tersendiri pula. Yang paling sering dijumpai dalam klinik
adalah gangguan volume.
1. Perubahan Volume
Defisit Volume
Pada keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada
susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat, lebih dapat ditoleransi
sampai defisit volume cairan ekstraseluler yang berat.
Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium menjadi
isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (.150 mEq/L).
Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan dehidrasi
hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.
Dehidrasi isotonis (isonatremik) terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan konsentrasi
natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama dalam
kompartemen intravascular maupun kompartemen ekstravaskular.3
Dehidrasi hipotonis (hiponatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium
lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Sedangkan dehidrasi hipertonis
(hipernatremik) terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan natrium lebih sedikit dari
darah.3
Ditinjau dari segi banyaknya defisit cairan dan elektrolit yang hilang, maka dehidrasi dapat dibagi
atas :
1. Dehidrasi ringan (defisit 4%BB)
2. Dehidrasi sedang (defisit 8%BB)
3. Dehidrasi berat (defisit 12%BB)
Cara rehidrasi yaitu hitung cairan dan elektrolit total (rumatan + penggantian defisit) untuk 24
jam pertama. Berikan separuhnya dalam 8 jam pertama dan selebihnya dalam 16 jam berikutnya.
9
Kelebihan Volume
Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic (pemberian
cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian
cairan intravena glukosa yang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat
insufisiensi renal (gangguan GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.
2. Perubahan Konsentrasi
Perubahan konsentrasi cairan tubuh dapat berupa hipernatremia atau hiponatremia maupun
hiperkalemia atau hipokalemia.
Rumus untuk menghitung defisit elektrolit :3,4
o Defisit natrium (mEq total) = (Na serum yang diinginkan Na serum sekarang) x 0,6 x BB
(kg)
o Defisit Kalium (mEq total) = (K serum yang diinginkan [mEq/liter] K serum yang diukur) x
0,25 x BB (kg)
o Defisit Klorida (mEq total) = (Cl serum yang diinginkan [mEq/liter] Cl serum yang diukur)
x 0,45 x BB (kg)
3. Perubahan komposisi
Perubahan komposisi itu dapat terjadi tersendiri tanpa mempengaruhi osmolaritas cairan
ekstraseluler. Sebagai contoh misalnya kenaikan konsentrasi K dalam darah dari 4 mEq menjadi
8 mEq, tidak akan mempengaruhi osmolaritas cairan ekstraseluler tetapi sudah cukup
mengganggu otot jantung. Demikian pula halnya dengan gangguan ion kalsium, dimana pada
keadaan hipokalsemia kadar Ca kurang dari 8 mEq, sudah akan timbul kelainan klinik tetapi
belum banyak menimbulkan perubahan osmolaritas.
Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit
Gangguan keseimbangan air dan elektrolit dapat terjadi karena:
Gastroenteritis, demam tinggi ( DHF, difteri, tifoid )
Kasus pembedahan ( appendektomi, splenektomi, section cesarea, histerektomi )
Penyakit lain yang menyebabkan pemasukan dan pengeluaran tidak seimbang ( kehilangan
cairan melalui muntah )
Dehidrasi
Dehidrasi merupakan keadaan dimana kurangnya terjadi kekurangan jumlah cairan tubuh dari
jumlah normal akibat kehilangan, aasupan yang tidak memadai atau kombinasi keduanya.
Menurut jenisnya dehidrasi dibagi atas ;
Dehidrasi hipotonik
Dehidrasi hipertonik
Dehidrasi isotonik
Sedangkan menurut derajat beratnya dehidrasi yang didasarkan pada tanda interstitial dan tanda
intravaskuler yaitu ;
Dehidrasi ringan ( defisit 4% dari BB)
Dehidrasi sedang ( defisit 8% dari BB)
Dehidrasi berat ( defisit 12% dari BB)
Syok ( defisit dari 12% dari BB)
Defisit cairan interstitial dengan gejala sebagai berikut :
Turgor kulit yang jelek
Mata cekung
Ubun-ubun cekung
Mukosa bibir dan kornea kering
Dehidrasi hipertonik
Biasa terjadi setelah intake cairan hipertonik ( natrium, laktosa ) selama diare
Kehilangan air >> kehilangan natrium
Konsentrasi natrium > 150 mmol/ L
Osmolaritas serum meningkat > 295 mOsm/L
Haus, irritable
Bila natrium serum mencapai 165 mmol/L dapat terjadi kejang
Terapi Cairan
Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar yaitu ;
Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga seringkali dapat
menyebabkan syok. Terapi ini ditujukan pula untuk ekspansicepat dari cairan intravaskuler dan
memperbaiki perfusi jaringan.
Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi yang diperlukan oleh tubuh
Hal ini digambarkan dalam diagram berikut :
Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan didasarkan pada :
Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang dibutuhkan selama 24 jam )
Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
Defisit plasma (ml) = vol.darah normal (vol.darah normal x nilai Hct awal )
Hct terukur
Sementara kehilangan darah dapat diperkirakan besarnya melalui beberapa kriteria klinis seperti
pada tabel di bawah ini ;
Pemilihan Cairan
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid merupakan larutan
dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam air. Larutan ini ada yang bersifat
isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan kristaloid memiliki keuntungan antara lain : aman,
nontoksik, bebas reaksi, dan murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan
isotonik adalah kemampuannya terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular.
Kristaloid
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan ringer laktat. Cairan
kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara
kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial
dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan di
ruang intersisial.
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan timbulnya asidosis
hiperkloremik, sedangkan penggunaan cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat
menyebabkan alkalosis metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat
akibat metabolisme laktat.
Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula darah yang rendah atau
memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya untuk resusitasi dihindarkan karena
komplikasi yang diakibatkan antara lain hiperomolalitas-hiperglikemik, diuresis osmotik, dan
asidosis serebral.
Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma
expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi
dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam
ruang intravaskuler.
Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan efisien daripada kristaloid,
karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada
larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4
bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah cairan yang mengandung
partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik. Bila diberikan intravena, sebagian
besar akan menetap dalam ruang intravaskular.
Meskipun semua larutan koloid akan mengekspansikan ruang intravaskular, namun koloid yang
mempunyai tekanan onkotik lebih besar daripada plasma akan menarik pula cairan ke dalam
ruang intravaskular. Ini dikenal sebagai ekspander plasma, sebab mengekspansikan volume
plasma lebih dari pada volume yang diberikan.
Albumin
Albumin merupakan larutan koloid murni yang berasal dari plasma manusia. Albumin dibuat
dengan pasteurisasi pada suhu 600C dalam 10 jam untuk meminimalisir resiko transmisi virus
hepatitis B atau C atau pun virus imunodefisiensi. Waktu paruh albumin dalam plasma adalah
sekitar 16 jam, dengan sekitar 90% tetap bertahan dalam intravascular 2 jam setelah pemberian.
Dekstran
Dekstran merupakan semisintetik koloid yang secara komersial dibuat dari sukrose oleh
mesenteroides leukonostok strain B 512 dengan menggunakan enzim dekstran sukrose. Ini
menghasilkan dekstran BM tinggi yang kemudian dilengketkan oleh hidrolisis asam dan
dipisahkan dengan fraksionasi etanol berulang untuk menghasilkan produk akhir dengan kisaran
BM yang relatif sempit. Dekstran untuk pemakaian klinis tersedia dalam dekstran 70 (BM
70.000) dan dekstran 40 (BM 40.000) dicampur dengan garam faal, dekstrosa atau Ringer laktat.
Dekstran 70 6 % digunakan pada syok hipovolemik dan untuk profilaksis tromboembolisme dan
mempunyai waktu paruh intravaskular sekitar 6 jam. Pemakaian dekstran untuk mengganti
volume darah atau plasma hendaknya dibatasi sampai 1 liter (1,5 gr/kgBB) karena risiko terjadi
perdarahan abnormal. Batas dosis dekstran yaitu 20 ml/kgBB/hari.
Sekitar 70% dosis dekstran 40 yang diberikan akan dieksresikan ke dalam urine dalam 24 jam.
Molekul- molekul yang lebih besar dieksresikan lewat usus atau dimakan oleh sel-sel sistem
retikoloendotelial. Volume dekstran melebihi 1 L dapat mengganggu hemostasis. Disfungsi
trombosit dan penurunan fibrinogen dan faktor VIII merupakan alasan timbulnya perdarahan
yang meningkat. Reaksi alergi terhadap dekstran telah dilaporkan, tetapi kekerapan reaksi
anafilaktoid mungkin kurang dari 0,02 %. Dekstran 40 hendaknya jangan dipakai pada syok
hipovolemik karena dapat menyumbat tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal akut.
Gelatin
Gelatin dibuat dengan jalan hidrolisis kolagen sapi. Preparat yang umum dipasaran adalah gelatin
yang mengalami suksinasi seperti Gelofusin dengan pelarut NaCL isotonik. Gelatin dengan
ikatan urea-poligelin ( Haemaccel ) dengan pelarut NaCL isotonik dengan Kalium 5,1 mmol/l dan
Ca 6,25 mmol/ L.
Pemberian gelatin agaknya lebih sering menimbulkan reaksi alergik daripada koloid yang lain.
Berkisar dari kemerahan kulit dan pireksia sampai anafilaksis yang mengancam nyawa. Reaksi-
reaksi tersebut berkaitan dengan pelepasan histamine yang mungkin sebagai akibat efek langsung
gelatin pada sel mast.
Gelatin tidak menarik air dari ruang ekstravaskular sehingga bukan termasuk ekspander plasma
seperti dekstran. Larutan gelatin terutama diekskresikan lewat ginjal dalam urin, sementara itu
gelatin dapat menghasilkan diuresis yang bagus. Sebagian kecil
dieliminasikan lewat usus. Karena gelatin tidak berpengaruh pada sistem koagulasi, maka tidak
ada pembatasan dosis. Namun, bila terlalu banyak infus, pertimbangkan adanya efek dilusi.
Gelatin dapat diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal bahkan pada pasien yang
menjalani hemodialisis. Indikasi gelatin : Penggantian volume primer pada hipovolemia,
stabilisasi sirkulasi perioperatif. Sedangkan kontraindikasi adalah infark miokard yang masih
baru terjadi, gagal jantung kongestif dan syok normovolemik.
Hydroxylethyl Starch (HES)
Senyawa kanji hidroksietil ( HES ) merupakan suatu kelompok koloid sintetik polidisperse yang
mempunyai glikogen secara struktural. Kurang dapat diterima kanji hidroksi (HES ) untuk
pengantian volume paling mungkin akibat laporan-laporan adanya koagulasi abnormal yang
menyertai subtitusi plasma ini. Laporan laporan tentang HES yang memperlihatkan koagulasi
darah yang terganggu dan kecenderungan perdarahan yang meningkat sebagian besar berdasarkan
pemakaian preparat HES berat molekul tinggi ( HMW-HES ). Waktu paruh dari 90% partikel
HES adalah 17 hari.
Seperti semua koloid lainnya, kanji hidroksietil juga berkaitan dengan reaksi anafilaktoid yang
ringan dengan kekerapan kira-kira 0,006 %. Indikasi pemberian HES adalah :Terapi dan
profilaksis defisiensi volume (hipovolemia) dan syok (terapi penggantian volume) berkaitan
dengan pembedahan (syok hemoragik), cedera (syok traumatik), infeksi (syok septik), kombustio
(syok kombustio). Sedangkan kontra indikasi adalah : Gagal jantung kongestif berat, Gagal ginjal
(kreatinin serum >2 mg/dL dan >177 mikromol/L).Gangguan koagulasi berat (kecuali
kedaruratan yang mengancam nyawa). Dosis penggunaan HES adalah 20 ml/kgBB/hari.
Kontroversi kristaloid versus koloid
Pertanyaan apakah kristaloid atau koloid yang terbaik untuk resusitasi terus merupakan bahan
diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah dikaji unruk resusitasi, antara lain: NaCl 0,9%,
Larutan Ringer laktat, NaCl hipertonik, albumin, fraksi protein murni, plasma beku segar,
hetastarch, pentastarch, dan dekstran 70.3,5
Bila problema sirkulasi utama pada syok adalah hipovolemia, maka terapi hendaknya ditujukan
untuk restorasi volume darah dengan cairan resusitasi ideal. Cairan ideal adalah yang dapat
membawa O2. Larutan koloid yang ada terbatas karena ketidak
mampuan membawa O2. Darah lengkap marupakan ekspander volume fisiologis dan komplit,
namun terbatas masa simpan yang tidak lama, fluktuasi dalam penyimpanannya, risiko
kontaminasi viral, reaksi alergi dan mahal.
Biarpun larutan koloid tidak dapat membawa O2, namun sangat bermanfaat karena mudah
tersedia dan risiko infeksi relatif rendah. resusitasi hemodinamik lebih cepat dilaksanakan dengan
koloid karena larutan koloid mengekspansikan volume vaskular dengan lebih sedikit cairan dari
pada larutan kristaloid. Sedangkan larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya
bagian tetap tinggal dalam plasma pada akhir infus. Larutan kristaloid juga mengencerkan
protein plasma sehingga TOK menurun, yang memungkinkan filtrasi cairan ke interstisiel.
Resusitasi cairan kristaloid dapat pula berakibat pemberian garam dan air yang berlebihan dengan
konsekuensi edema interstitial. Pada kasus perdarahan yang cukup banyak, tetapi yang tidak
memerlukan transfusi, dapat dipakai koloid dengan waktu paruh yang lama misalnya : Haes steril
6 %.
Bila pasien memerlukan transfusi, selama menunggu darah, kita dapat memberi koloid dengan
BM sekitar 40.000 misalnya : Expafusin, Plasmafusin, Haemaccel, Gelafundin atau Dextran L.
Dengan begitu, manakala darah siap untuk ditransfusikan sekitar 2 -3 jam kemudian, kita dapat
melakukannya langsung, tanpa khawatir terjadi kelebihan cairan dalam ruang intravaskular.
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan Intraseluler. Dalam: Buku
ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC; 1997. hal 375-7.
2. Latief, AS, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi : Terapi Cairan Pada Pembedahan. Edisi
Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, FKUI. 2002.
4. Graber, MA. Terapi Cairan, Elektrolit, dan Metabolik. Edisi 2. Jakarta: Farmedia. 2003.
5. Aitkenhead, Alan R, et al. Textbook of Anaethesia. Fifth Edition. United Kingdom : Churchill
Livingstone. 2007.
6. Stoelting, Robert K, and Ronald D. miller. Basics of Anesthesia. Fifth edition. California :
Churchill Livingstone. 2007.
7. Evers, AS, and Mervyn Maze. Anesthetic Pharmacology: Physiologic Principles and
Clinical Practice. United Kingdom : Churchill Livingstone. 2004.
8. Morgan, GE, et al. Clinical Aneshesiology : Fluid Management and Transfusion. Third
Edition. New York : Lange Medical Books/McGraw-Hill. 2002.
9. Lyon Lee. Resuscitation Fluids, Disorder of Fluid and Electrolyte Balance. Oklahoma State
University Center for Veterinary Health. 2006. Tersedia dari ; http://member.tripod.com/-
lyser/ivfs.htm
10. Anonim. Resusitasi Cairan dan Elektrolit. Dalam Buku Pegangan Pelatihan Bantuan hidup
Dasar dan Bantuan Hidup Lanjut bagi Dokter Umum se-Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar:
Ikatan Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia Cabang Sulawesi Selatan; 2000. hal 62-72.
12. Anonym. Fluid and Electrolyte Therapy in Children. Available from: URL:
http://www.bmj.com/merckcourse.htm. Accessed Desember 14, 2005.
14. Anonim. Kebutuhan Harian Air dan Elektrolit, gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit,
dan Terapi Cairan. Dalam: Pedoman Cairan Infus edisi revisi VIII. Jakarta: PT. Otsuka Indonesia;
2003. hal. 16-33.