Anda di halaman 1dari 5

Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Taaala yang telah menghiasi iman pada hati orang-orang mukimin,

menguatkannya dan menancapkannya sehingga menjadi perisai dalam kehidupan. Kemudian shalawat beserta salam

tercurahkan untuk Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya ridwaanulaahi

alahim ajmain dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman dengan kebaikan.

Sesungguhnya nikmat terbesar yang Allah Azza wa Jalla anugerahkan kepada hamba-Nya adalah sikap teguh dan

komitmen dalam menjalankan ajaran Allah Azza wa Jalla, karena nikmat ini akan membawa kebahagiaan hidup,

baik di dunia maupun di akhirat, hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Taaala: Sesungguhnya

orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami adalah Allah, maka malaikat akan turun kepada

mereka (dengan mengatakan): Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa

bersedih, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah

kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. (QS.

Fushilat/41: 30-31)

Akan tetapi terkadang manusia mengalami kelesuan setelah sebelumnya penuh semangat, mengalami kelemahan

setelah sebelumnya memiliki kekuatan, akan tetapi hal ini merupakan sudah menjadi sunnatullah bagi orang-orang

yang konsisten dalam agamanya dan juga hal ini adalah ujian yang harus dihadapi dan dicarikan solusinya dan

penyembuhannya. Oleh karena itu, melalui tulisan yang singkat ini kita akan mengenal apa sesungguhnya hal-hal yang

menyebabkan manusia tidak komitmen dengan agamanya dan lemahnya iman yang dimilikinya.

Husain Muhammad Syamir dalam kitabnya: al-Iimaan fii asbaabi dhafil al-Iltizaammengatakan ada

beberapa sebab yang menyebabkan manusia tidak berpegang teguh dengan agamanya dan lemahnya iman di dadanya.

Diantara sebab-sebab tersebut adalah:

1. Kurang Ikhlas

Nilai suatu perbuatan amat tergantung pada niat, barangsiapa yang baik niatnya maka perbuatannya akan pasti

menjadikan dirinya berlaku baik dan istiqomah (teguh dalam menjalankan syariat), terhindar dari fitnah dalam

keberagamaannya fitnah dunia dan ia akan terhindar dari kesesatan dan penyimpangan, hal ini sebagaimana firman

Allah Azza wa Jalla: Kecuali hamba-hamba-mu yang ikhlas dintara mereka. (QS. al-Hijr/15: 40)

Bahkan haditspun mempertegas hal tersebut: Sesungguhnya pekerjaan-pekerjaan itu tergantung pada

niat-niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapat (ganjaran perbuatannya) sesuai

dengan apa yang dia niatkan. (Muttafaqun alaihi)


Suatu perbuatan jika telah dinodai dengan berbagai macam noda seperti riya atau mencari kemasyhuran, maka

sesungguhnya sifat itu akan menjadikan seseorang lemah dalam melaksanakan suatu pekerjaan, bahkan pekerjaan itu

akan menjadi sia-sia, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, diriwayatkan dari Abu

Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Allah Azza wa Jalla berfirman: Aku paling sangat tidak membutuhkan kesyirikan, maka barang

siapa yang melakukan suatu perbuatan dimana dalam perbuatan itu ia mempersekutukan-Ku

dengan selain Aku, maka Aku tinggalkan ia bersama perbuatan syiriknya. (HR. Muslim)

Terkadang seseorang telah bersikap konsisten hingga dia awal mulanya termasuk orang yang konsisten, akan tetapi

tujuannya bukan untuk tetap berada dalam sikap konsisten itu sendiri dan bukan pula bertujuan untuk mendapatkan

ridha Allah Subhanahu wa Taaala, melainkan dia memiliki maksud-maksud lain yang dengan itu akan

menghancurkan sikap konsistennya karena tidak mengharapkan Allah Azza wa Jalla dan kehidupan akhirat.

2. Konsistensi Emosional

Terkadang sebagian manusia tenggelam dalam lautan emosi hingga tidak memiliki sikap bijaksana yang menyebabkan

kemandulan dalam berfikir, lalu kondisi seperti itu menyebabkan seseorang mudah melakukan kesalahan, serta

meninggalkan yang kebenaran. Inilah kondisi sebagian orang yang bersikap konsisten secara emosional (perasaan)

bukan karena keinginan sendiri atau kesadaran nan suci.

Orang yang memasuki wilayah konsistensi seharusnya mengetahui bahwa keselamatan dan kebahagian dunia-akhirat

dan untuk mendapatkan kecintaan Allah Subhanahu wa Taaalaadalah dengan mentaati-Nya dan berpegang teguh

kepada al-Qurn dan Sunnah.

3. Kecenderungan Jiwa Untuk Memikirkan Apa yang Telah Berlalu

Masa lalu yang kelam, yang penuh dengan kemaksiyatan, adakalanya bisa menggoncangkan jiwa seseorang tatkala ia

teringat kepadanya, sahabat-sahabatnya yang dulu, lalu rasa keinginannya untuk melakukan hal-hal di masa dahulu

muncul kembali. Dari sinilah nanti masuknya bisikan syetan kepadanya sehingga fikirannya akan menghalanginya

untuk konsisten dengan petunjuk yang telah ia yakini.

Syetan selalu berupaya untuk melakukan tipu daya terhadap mereka yang telah bertaubat agar kembali kepada para

sahabat-sahabat lamanya, dengan alasan mengajak mereka kembali ke jalan Allah Subhanahu wa Taaala,

sementara dirinya belum memiliki keteguhan dalam menerima petunjuk. Oleh karena itu, hal yang wajib dilakukan

orang seperti ini adalah memperkaya dirinya dengan ilmu agama sebagai perisai diri untuk menangkal syubhat dan

syahwat yang akan dihadapinya dalam beramal dan beribadah kepada-Nya.

4. Minimnnya Pendidikan Mental


Maksud dari pendidikan mental adalah didikan seseorang terhadap dirinya sendiri dimana dia mendidik dirinya dan

mengarahkan kepada arahan syari yang haq yang sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia. Oleh karena itu,

manusia dituntut untuk mensucikan dirinya dan mendidik dirinya sendiri. Allah Subhanahu wa

Taaala berfirman: Sesungguhnya telah beruntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya dan

merugilah orang yang mengotorinya. (QS. asy-Syams: 9-10)

Mensucikan diri adalah dengan melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Taaaladan mengotori diri

adalah dengan berbuat maksiyat kepada-Nya. Adapun cara mensucikan diri adalah dengan

taubat, muraqabah (merasa diawasi oleh Allah Azza wa Jalla), bersungguh-sungguh (mujahadah), muhasabah

(introspeksi diri)

5. Dangkalnya Pemahaman Tentang Arti Ibadah

Ketika seseorang mengartikan ibadah hanya masalah ritual belaka, maka inilah yang membuat lemah dan jenuhnya

sebagian kaum muslimin untuk konsisten dalam agamanya.

Ibadah dalam Islam mempunyai arti luas, sebagaimana yang telah didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah rahimahullah, bahwa ibadah adalah; Nama bagi sesuatu yang dicintai Allah Subhanahu wa

Taaala dan yang diridhoi-Nya berupa perkataan dan perbuatan, lahir maupun bathin.

Diantara ibadah itu adalah: shadaqah adalah ibadah, senyum adalah ibadah, mencintai dan membenci karena

Allah Subhanahu wa Taaala adalah ibadah, menuntut ilmu adalah ibadah, birrul walidain adalah ibadah,

mencari nafkah untuk anak dan istri adalah ibadah dan masih banyak lagi yang lainnya.

6. Lalai Dalam Melaksanakan Ibadah Sehari-Hari

Kelalaian seseorang dalam ibadah melaksanakan dalam kesehariannya maka akan menyebabkan menipisnya iman,

sehingga akhirnya akan menyebabkan seseorang kurang konsisten lagi dengan agamanya. Contoh lalai adalah; lalai

dalam shalat dengan meninggalkan shalat berjamaah, meninggalkan berzikir, sudah mulai cuek dengan ibadah, dan

lain-lain.

7. Sedikit Menuntut Ilmu

Ketika kaum muslimin telah mulai jauh dari ilmu dan tidak lagi mau menuntutnya, maka ia akan semakin jauh dari

agama Allah Subhanahu wa Taaala. Ilmu akan membuat seseorang mulia, akan membuat seseorang takut kepada

Allah Azza wa Jalla, sebagaimana firman AllahSubhanahu wa Taaala dalam al-Qurn: Sesungguhnya

orang yang takut kepada Allah adalah orang-orag yang berilmu (para ulama). Sifat takutnya tadi
akan membawanya untuk meninggalkan larangan Allah dan istiqoomah diatas agama Allah. (QS. )
Kebodohan adakalanya bisa menjerumuskan manusia kepada kesesatan tanpa ia sadari dan orang yang berilmu lebih

ditakuti syetan daripada seratus ahli ibadah. Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah wahai hamba Allah dalam

menuntut ilmu syari, sehingga AllahSubhanahu wa Taaala akan menjagamu dari berbagai macam musibah.

8. Futur yang Terus Menerus

Futur memiliki dua arti:

1. Terhenti setelah melakukan terus-menerus dan berdiam setelah bergerak.

2. Malas (jemu) atau menunda-nunda setelah sebelumnya bersemangat dan bersungguh-sungguh.

Dengan demikian, futur ini terbagi menjadi dua yaitu malas dan terhenti. Sifat malas ini akan selalu menimpa

seseorang, akan tetapi orang yang beriman tidaklah demikian, karena orang mukmin akan berlindung kepada

Allah Subhanahu wa Taaala dari rasa malas ini, sebagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah

mencontohkan dalam doanya:Allahumma inni auuzubika minal ajzi walkasali (Ya Allah aku berlindung

kepadaMu dari sifat lemah dan rasa malas)

Sedangkan yang dimaksud dengan terhenti adalah terhentinya seseorang dari bekerja. Sikap futur (rasa jemu, jenuh)

sewaktu-waktu akan menimpa seseorang, sedangkan hati manusia memiliki sifat maju mundur, demikian juga iman

akan bertambah dan berkurang, bertambah dengan melaksanakan ketaatan dan berkurang dengan melakukan

kemaksiyatan dan meninggalkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Taaala.

Sikap futur ini akan menimpakan bahaya besar bagi seorang muslim apabila sikap ini menghinggapinya terus menerus,

apalagi kalau ia telah mulai meninggalkan ibadah-ibadah wajib dan sunnah. Oleh karena itu, maka obatilah dengan

sesering mungkin hadir di majlis ilmu, membaca dan mentadabburi al-Qurn, selalu bersahabat dan berkomunikasi

dengan orang-orang saleh atau teman yang baik agamanya, menyadari akan akibat dari sikap ini.

9. Lemah

Adapun yang dimaksud lemah ini adalah lawan dari sifat hazm yang artinya bertekad kuat. Orang lemah adalah orang

yang tidak punya tekad.

Akibat dari sifat lemahnya seorang muslim adalah:

1. Meninggalkan dakwah di jalan Allah Subhanahu wa Taaala.

2. Lemah dalam beribadah.

3. Sifat lemah akan menyebabkan sedikit membaca dan jarang menuntut ilmu.

4. Tidak mau lagi untuk beramar maruf nahi mungkar karena takut kepada manusia.

5. Tidak mau berkorban untuk agamanya, karena sifat lemahnya tadi.

10. Kurang Introspeksi Diri


Ketika seseorang tidak lagi mengintrosfeksi diri maka suatu saat dia akan terlena dan mungkin saja hanyut dalam

kelalaian atau kehebatannya yang akan menyebabkan imannya lemah. Oleh karena itu, Umar bin

Khattab radhiyallahu anhu pernah membuat pernyataannya:Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab dan

timbanglah amal perbuatan kamu sebelum amal itu ditimbang.

Oleh karena itu, seorang muslim hendaklah selalu mengintrospeksi diri dalam rangka mengoreksi sejauh mana amal-

amal yang telah ia laksanakannya, atau tanggung jawabnya kepada agamanya yang telah dia terapkan.

Anda mungkin juga menyukai