HUKUM PIDANA
RUDI PRADISETIA SUDIRDJA, SH 1
www.rudipradisetia.com 2
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 3
PEMBAHASAN NO 1
www.rudipradisetia.com 4
PEMBAHASAN NO 2
www.rudipradisetia.com 5
LANJUTAN
2. Teori Obyektif
Menurut teori ini, dasar patut dipidananya percobaan
terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang
dilakukan oleh si pembuat. Teori ini terbagi dua, yaitu :
Teori obyektif-formil. Yang menitik beratkan sifat
berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum.
Teori obyektif-materiil. Yang menitik beratkan sifat
berbahayanya perbuatan itu terhadap kepentingan /
benda hukum. Penganut teori ini antara lain Simons.
3. Teori Campuran.
Teori ini melihat dasar patut dipidananya percobaan dari
dua segi, yaitu : sikap batin pembuat yang berbahaya
(segi subyektif) dan juga sifat berbahayanya perbuatan
(segi obyektif). Termasuk dalam teori ini ialah pendapat
Langemeyer dan Jonkers.
www.rudipradisetia.com 6
PEMBAHASAN NO 3
www.rudipradisetia.com 7
PEMBAHSAN NO 4
www.rudipradisetia.com 8
PEMBAHASAN NO 5
www.rudipradisetia.com 9
PEMBAHASAN NO 6
www.rudipradisetia.com 10
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 11
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 12
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 13
PEMBAHASAN NO 7
www.rudipradisetia.com 14
PEMBAHASAN NO 8
Telah dikemukakan di muka bahwa menurut system KUHP, yang dapat
dipidana hanyalah percobaan terhadap kejahatan, sedangkan
terhadap pelanggaran tidak dipidana. Dalam hal percobaan terhadap
kejahatan, maka menurut pasal 53 (2) KUHp maksimum pidana yang
dapat dijatuhkan ialah maksimum pidana untuk kejahatan (pasal) yang
bersangkutan dikurangi sepertiga.
Jadi misalnya untuk percobaan pembunuhan (pasal 53 jo pasal 338
KUHP), maksimumnya ialah 10 tahun penjara. Bagaimanakah apabila
kejahatan yang bersangkutan diancam pidana mati atau penjara
seumur hidup, seperti halnya dalam pasal 340 KUHP (pembunuhan
berencana). Menurut pasal 53 (3), maksimum pidana yang dapat
dijatuhkan hanya 15 tahun penjara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut KUHP, maksimum
pidana pokok untuk percobaan adalah lebih rendah daripada apabila
kejahatan itu telah selesai seluruhnya. Sedangkan untuk pidana
tambahannya, menurut pasal 53 (4) adalah sama dengan kejahatan
selesai.
www.rudipradisetia.com 15
PEMBAHASAN NO 9
www.rudipradisetia.com 16
PEMBAHASAN NO 10
www.rudipradisetia.com 17
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 18
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 19
LANJUTAN
4. Uitlokker (penganjur atau pembujuk)
Pembujuk ialah orang yang menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana
yang ditentukan oleh undang-undang untuk melakukan kejahatan.
Syarat pembujukan yang dapat dipidana :
a. Ada kesenjangan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang
terlarang.
b. Menggerakkannya dengan menggunakan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti
tersebut dalam undang-undang (bersifat limitatif).
c. Putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal-hal tersebut
pada a dan b (jadi ada psychise causaliteit).
d. Si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidana yang dianjurkan atau
percobaan melakukan tindak pidana.
e. Pembuat materiil tersebut harus dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana
Dari lima syarat yang disebutkan diatas, jelas bahwa syarat 1 dan 2
merupakan syarat yang harus ada pada si pembujuk, sedangkan syarat
3, 4 dan 5 merupakan syarat yang melekat pada orang yang dibujuk
(pembuat materiil).
www.rudipradisetia.com 20
LANJUTAN
5. Pembantuan (medeplichtige)
Dilihat dari perbuatannya. Pembantuan ini bersifat accessoir
artinya untuk adanya pembantuan harus ada orang yang
melakukan kejahatan (harus ada orang yang dibantu).
Tetapi dilihat dari pertanggungjawaban tidak accessoir.
Artinya dipidananya pembantu tidak tergantung pada
dapat tidaknya si pelaku dituntut pidana.
Menurut pasal 56 KUHP, ada dua jenis pembantu :
a. Jenis pertama :
Waktunya : Pada saat kejadian dilakukan;
Caranya : Tidak ditentukan secara limitatif dalam undang-
undang
b. Jenis kedua :
Waktunya : sebelum kejahatan dilakukan;
Caranya : Ditentukan secara limitatif dalam undang-undang (yaitu
dengan cara : memberi kesempatan, sarana atau keterangan).
www.rudipradisetia.com 21
PEMBAHASAN NO 11
www.rudipradisetia.com 22
PEMBAHASAN NO 12
www.rudipradisetia.com 23
PEMBAHASAN NO 13
Terdapat dua pendapat untuk menjawab pertanyaan ini, apakah
kualifikasi orang yang menyuruh harus sama dengan orang yang disuruh
:
www.rudipradisetia.com 24
PEMBAHASAN NO 14
Membujuk Menyuruh
Menggerakannya dengan sarana- Sarana menggerakannya tidak
sarana tertentu (limitatif) (lihat pasal ditentukan (tidak limitatif)
55 ayat 1 ke 2 KUHP)
www.rudipradisetia.com 25
PEMBAHASAN NO 15
www.rudipradisetia.com 26
PEMBAHASAN NO 16
www.rudipradisetia.com 28
LANJUTAN
1. Pendapat pertama : Pembujukan dipandang sebagai bentuk
penyertaan yang bersifat accessoir (tidak berdiri sendiri =
onzelfstandig). Menurut pandangan ini, pembujukan itu ada apabila
ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat materiil. Si pembujuk
dapat dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan
yang dapat dipidana. Karena dalam percobaan untuk pembujukan
ini, tindak pidana itu tidak terjadi maka si pembujuk juga tidak dapat
dipidana. Penganutnya : Hazewinkel-Suring, Simons, van Heml, vos.
www.rudipradisetia.com 29
PEMBAHASAN NO 18
www.rudipradisetia.com 30
PEMBAHASAN NO 19
Pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang menyuruh
melakukan, turut serta melakukan, membujuk melakukan dan
membantu melakukan
1. Orang yang menyuruh melakukan, Pelaku tidak langsung dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, sedangkan pelaku langsung
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
2. Orang yang membujuk atau yang dibujuk, Pelaku langsung dan tidak
langsung sama sama dapat dipertanggungjawabkan secara pidana.
Dalam pasal 55 ayat (2) dinyatakan bahwa pembujuk
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang sengaja
dianjurkannya beserta akibatnya.
3. Orang turut serta melakukan, Orang-orang yang turut serta
melakukan tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana.
4. Orang yang membantu melakukan, Pada prinsipnya KUHP menganut
system bahwa pidana pokok untuk pembantu lebih ringan dari
pembuat. Prinsip ini terlihat didalam pasal 57 (1) dan (2) yaitu :
www.rudipradisetia.com 31
LANJUTAN
1. Maksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga (ayat
1);
2. Apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup,
maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun penjara (ayat
2).
3. Pengecualian terhadap prinsip ini terlihat dalam :
Pasal 333 (4) : Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat,
(lihat juga pasal 415 dan 417).
Pasal 231 (3) : Pembantu dipidana lebih berat dari si pembuat, (lihat
juga pasal 349).
4. Pidana tambahan untuk pembantu sama dengan ancaman terhadap
kejahatannya itu sendiri, jadi sama dengan si pembuat (pasal 57 : 3).
5. Dalam pertanggungjawaban seorang pembantu, KUHP mengamut
system bahwa pertanggungjawabannya berdiri sendiri (tidak bersifat
accessoir), artinya tidak digantungkan pada pertanggungjawaban si
pembuat. Misal pasal 57 (4) dan 58 KUHP.
www.rudipradisetia.com 32
PEMBAHASAN NO 20
Contoh ;
www.rudipradisetia.com 33
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 34
PEMBAHASAN NO 21
www.rudipradisetia.com 35
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 36
PEMBAHASAN NO 22
www.rudipradisetia.com 37
PEMBAHASAN NO 23
www.rudipradisetia.com 38
PEMBAHASAN NO 24
www.rudipradisetia.com 39
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 40
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 41
PEMBAHASAN NO 25
www.rudipradisetia.com 43
LANJUTAN
Perbuatan berlanjut (pasal 64).
a. Menurut pasal 64 ayat (1), pada prinsipnya berlaku system absorbsi yaitu
hanya dikenakan satu aturan pidana, dan jika berbeda-beda dikenakan
satu aturan pidana yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
b. Pasal 64 ayat (2) merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan
perusakan mata uang. Misal A setelah memalsu mata uang (pasal 244
dengan ancaman pidana penjara 15 tahun) kemudian menggunakan /
mengedarkan mata uang yang palsu itu (pasal 245 dengan ancaman
pidana penjara 15 tahun). Dalam hal ini perbuatan A tidak dipandang
sebagai concursus Realis, tetapi tetap dipandang sebagai perbuatan
berlanjut sehingga ancaman maksimum pidananya dapat dikenakan 15
tahun penjara
c. Pasal 64 ayat (3) merupakan ketentuan khusus dalam hal kejahatan-
kejahatn ringan yang terdapat dalam pasal 364 (pencurian ringan), 373
(penggelapan ringan), 379 (penipuan ringan) dan 407 (1) (perusakan
barang ringan) yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut.
d. Apabila nilai kerugian yang timbul dari kejahatan-kejahatn ringan yang
dilakukan sebagai perbuatan berlanjut itu lebih dari Rp. 250,- maka
menurut pasal 64 ayat (3) dikenakan aturan pidana yang berlaku untuk
kejahatan biasa. Berarti yang dikenakan adalah pasal 362 (pencurian), 372
(penggelapan), 378 (penipuan) atau 406 (perusakan barang).
www.rudipradisetia.com 44
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 45
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 46
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 47
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 48
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 49
PEMBAHASAN NO 27
www.rudipradisetia.com 50
PEMBAHASAN NO 28
www.rudipradisetia.com 51
PEMBAHASAN NO 29
www.rudipradisetia.com 52
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 53
PEMBAHASAN NO 30
www.rudipradisetia.com 54
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 55
PEMBAHASAN NO 31
www.rudipradisetia.com 56
PEMBAHASAN 32
www.rudipradisetia.com 57
PEMBAHASAN 33
www.rudipradisetia.com 58
LANJUTAN
Contoh daluwarsa ;
Pada tanggal 4 Juni 1990 di kota Bandung, A melakukan
pembunuhan terhadap B, kemudian A melarikan diri keluar negeri.
Pada tanggal 4 Juni 2014, A kembali ke kota Bandung dan pada saat
yang bersamaan A ditangkap oleh polisi dengan tuduhan
pembunuhan terhadap B pada tahun 1990.
Dalam hal terjadi kasus seperti ini, maka berlaku ketentuan
daluwarsa. Ancaman hukuman dalam pasal 338 KUHP
adalah paling lama limabelas tahun. Dalam pasal 78 (1) ke 3
dikatakan bahwa mengenai kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, maka
daluarsanya adalah sesudah dua belas tahun.
Dalam kasus ini jarak antara terjadinya tindak pidana dengan
tertangkapnya pelaku adalah duapuluh empat tahun. Oleh
karenanya berlaku ketentuan daluarsa, pelaku tidak dapat
dituntut secara pidana.
www.rudipradisetia.com 59
PEMBAHASAN 34
www.rudipradisetia.com 60
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 61
LANJUTAN
www.rudipradisetia.com 62
PEMBAHASAN 35
www.rudipradisetia.com 63
PEMBAHASAN NO 36
www.rudipradisetia.com 64
PEMBAHASAN NO 37
www.rudipradisetia.com 65
PEMBAHSAN NO 38
www.rudipradisetia.com 66
PEMBAHASAN NO 39
Residive Kejahatan.
Residive terhadap kejahatan dalam pasal : 137(2), 144(2), 155(2), 161(2),
163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Jadi ada 11 jenis kejahatan yang apabila ada pengulangan menjadi
alasan pemberat. Perlu diingat bahwa mengenai tenggang waktu
dalam residive tersebut tidak sama, misalnya :
Pasal : 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321 tenggang waktunya dua
tahun
Pasal 154, 157, 161, 163 dan 393 tenggang waktunya lima tahun.
Sedangkan untuk residive yang diatur dalam Pasal 486, 477 dan 488
KUHP mensyaratkan bahwa tindak pidana yang diulangi termasuk
dalam kelompok jenis tindak pidana tersebut.
Residive Pelanggaran
Residive dalam pelanggaran ada 14 jenis tindak pidana, yaitu :
Pasal : 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545,
549 KUHP.
Syarat-syarat Recidive pelanggaran disebutkan dalam masing-masing
pasal yang bersangkutan.
www.rudipradisetia.com 67
PEMBAHASAN NO 40
www.rudipradisetia.com 68
REFERENSI
www.rudipradisetia.com 69
www.rudipradisetia.com 70