ASUHAN KEPERAWTAN
PADA KLIEN DENGAN PPOM
(Oleh Iwan, S.Kp)
Asma
Pengertian
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan
jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan maupun
sebagai hasil pengobatan (Soeparman, 1990 dikutip dari The American Thoracic
Society, 1962).
Menurut Sylvia Anderson (1995 : 149) asma adalah keadaan klinis yang
ditandai oleh masa penyempitan bronkus yang reversibel, dipisahkan oleh masa di
mana ventilasi jalan nafas terhadap berbagai rangsang.
Asma adalah suatu inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan sel
eosinofil, sel mast, sel netrofil, limfosit dan makrofag yang ditandai dengan
wheezing, sesak nafas kumat-kumatan, batuk, dada terasa tertekan dapat pulih
kembali dengan atau tanpa pengobatan (Cris Sindair, 1990 : 94)
Samsuridjal dan Bharata Widjaja (1994) menjelaskan asma adalah suatu
penyakit peradangan (inflamasi) saluran nafas terhadap rangsangan atau hiper
reaksi bronkus. Sifat peradangan pada asma khas yaitu tanda-tanda peradangan
saluran nafas disertai infliltrasi sel eosinofil.
Asma merupakan suatu keadaan gangguan / kerusakan bronkus yang
ditandai dengan spasme bronkus yang reversibel (spasme dan kontriksi yang lama
pada jalan nafas) (Joyce M. Black, 1996 : 504).
Menurut Crocket (1997) asthma bronkiale didefinisikan sebagai penyakit
dari sistem pernafasan yang meliputi peradangan dari jalan nafas dengan gejala
bronkospasme yang reversibel.
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam
jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh
karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE.
Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi
dengan afinitas yang lemah. Orang yang sudah memiliki sel-sel mastosit dan
basofil dengan IgE pada permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala.
Orang tersebut sudah dianggap desentisisasi atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan
alergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang
sudah ada pada permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan
menimbulkan influk Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang
menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel.
Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah
mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam
sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil
Chemotactic Factor-A (ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF),
trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat oleh mediator tersebut ialah
obstruksi oleh histamin.
Hiperreaktifitas bronkus yaitu bronkus yang mudah sekali mengkerut
(konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah
yang pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya
alergen (inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok / dapur, bau-bauan yang tajam
dan lainnya baik yang berupa iritan maupun yang bukan iritan. Dewasa ini
telah diketahui bahwa hiper rektifitas bronkus disebabkan oleh inflamasi
bronkus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil ditemukan dalam
jumlah besar dalam cairan bilas bronkus pasien asthma bronkiale sebagai
bronkhitis kronik eosinofilik. Hiper reaktifitas berhubungan dengan derajad
berat penyakit. Di klinik adanya hiperreaktifitas bronkhus dapat dibuktikan
dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asthma dianggap
secara klinik sebagai penyakit bronkhospasme yang reversibel, secara
patofisiologik sebagai suatu hiper reaksi bronkus dan secara patologik sebagai
suatu peradangan saluran nafas.
Bronkus pada pasien asma oedema di mukosa dan dindingnya, infiltrasi
sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang menyebabkan
getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya pertahanan
saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada pasien
asthma bronkiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama
pada cabang-cabang bronkhus
.Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus
serta hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan
percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi
(wheezing) dan batuk yang produktif.
Adanya stressor baik fisik maupun psikologis akan menyebabkan suatu
keadaan stress yang akan merangsang HPA axis. HPA axis yang terangsang
akan meningkatkan adeno corticotropic hormon (ACTH) dan kadar kortisol
dalam darah. Peningkatan kortisol dalam darah akan mensupresi
immunoglobin A (IgA). Penurunan IgA menyebabkan kemampuan untuk
melisis sel radang menurun yang direspon oleh tubuh sebagai suatu bentuk
inflamasi pada bronkhus sehingga menimbulkan asma bronkiale.
(1) Alergen
Alergen adalah sat-zat tertentu bila dihisap atau di makan dapat menimbulkan
serangan asthma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah
(Dermatophagoides pteronissynus) spora jamur, serpih kulit kucing, bulu
binatang, beberapa makanan laut dan sebagainya.
(3)Tekanan jiwa
Tekanan jiwa bukan sebagai penyebab asthma tetapi sebagai pencetus asthma,
karena banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi
penderita asthma bronkiale. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asthma
terutama pada orang yang agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol
pada wanita dan anak-anak (Yunus, 1994).
(5)Obat-obatan
Beberapa pasien asthma bronkiale sensitif atau alergi terhadap obat tertentu
seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.
(6)Polusi udara
Pasien asthma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik / kendaraan,
asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal,
serta bau yang tajam.
(7)Lingkungan kerja
Diperkirakan 2 15% pasien asthma bronkiale pencetusnya adalah
lingkunagn kerja (Sundaru, 1991).
Secara sistem dapat diidentifikasi manifestasi klinik yang muncul sebagai berikut
(1) Fisik
(2) Sistem Pernafasan
Sistem pernafasan berupa :
a. Peningkatan frekuensi pernafasan, susah bernafas, perpendekan periode
inspirasi, pemanjangan ekspirasi
b. Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi sternum, pengangkatan
bahu waktu bernafas).
c. Pernafasan cuping hidung.
d. Adanya mengi yang terdengar tanpa stetoskop.
e. Batuk keras, kering dan akhirnya batuk produktif.
f. Faal paru terdapat penurunan FEV1.
(4)Psikologis
a. Peningkatan ansietas (kecemasan) : takut mati, takut menderita, panik,
gelisah.
b. Ekspresi marah, sedih, tidak percaya dengan orang lain, tidak perhatian.
c. Ekspresi tidak punya harapan, helplessness.
(5) Sosial
a. Ketakutan berinteraksi dengan orang lain.
b. Gangguan berkomunikasi
c. Inappropiate dress
d. Hostility toward others
(6)Hematologi
a. Eosinofil meningkat > 250 / mm3
b. Penurunan limfosit dan komponen sel darah putih yang
lain.
c. Penurunan Immunoglobulin A (IgA)
Terapi
1. Oksigen 4 6 liter / menit
2. Agonis B2 ( salbutamol 5 mg atau feneterol 2,5 mg
atau terbulatin 10 mg ) intalasi nebulasi dan pemberiannya dapa
diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian agonis B2 dapat
secara subcutan atau iv dengan dosis salbutamol 0,25 mg atau
terbulatin 0,25 mg dalam larutan dextrose 5 % dan diberikan
perlahan.
3. Aminofilin bolus iv 5 6 mg / kg BB, jika sudah
menggunakan obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka cukup
diberikan setengah dosis.
4. Kortikosteroid hidrokortison 100 200 mg iv jika
tak ada respon segera atau pasien sedang menggunakan steroid oral
atau dalam serangan sangat berat.
5. Pencegahan terhadap pemajanan alergen
6. Pencegahan juga mencakup memantau ventilasi
secara berkala, terutama selama waktu-waktu peuncak serangan
asma, misalnya musim dingin, apabila diamati akan adanya
penurunan bermakna volume ekspirasi maksimun atau kecepatan
aliran ekspirasi, maka intervensi farmakologis dapat segera dimulai
tanpa menunggu serangan timbul.
7. Intervensi prilaku, yang ditujukan untuk
menenagkan klien agar rangsangan parasimpatis kejalan napas
berkurang. Membantu menghentikan klien menangis memungkinkan
udara yang keluar masuk paru melambat dan dapat dihangatkan
sehingga rangsangan jalan napas berkurang.
BRONKITIS
Bronkitis adalah suatu peradangan dari bronkioli, bronkus dan trakea oleh
berbagai sebab (Purnawan Junadi; 1982; 206).
Etiologi
Bronkitis akut biasanya sering disebabkan oleh virus seperti Rhinovirus,
Respiratory Syncitial virus (RSV), virus influenza, virus para influenza, dan
coxsackie virus. Bronkitis akut juga dapat dijumpai pada anak yang sedang
menderita morbilli, pertusis dan infeksi mycoplasma pneumoniae (Ngastiyah;
1997; 37).
Penyebab lain dari bronkitis akut dapat juga oleh bakteri (staphylokokus,
streptokokus, pneumokokus, hemophylus influenzae). Bronkitis dapat juga
disebabkan oleh parasit seperti askariasis dan jamur (Purnawan Junadi; 1982;
206).
Penyebab non infeksi adalah akibat aspirassi terhadap bahan fisik atau
kimia. Faktor predisposisi terjadinya bronkitis akut adalah perubahan cuaca,
alergi, polusi udara dan infeksi saluran nafas atas kronik memudahkan terjadinya
bronkitis (Ngastiyah; 1997; 37).
Pathofisiologi
Virus dan kuman biasa masuk melalui port de entry mulut dan hidung
dropplet infection yang selanjutnya akan menimbulkan viremia/ bakterimia
dengan gejala atau reaksi tubuh untuk melakukan perlawanan.
Manifestasi klinik Bronkitis akut
Produksi mukus kental
Batuk produktif debfab dahak purulen
Dispnu
Demam
Suara serak
Ronki 9bunyi paru diskontinu yang halus atau kasar) etrutama pada saat
inspirasi
Nyeri dada kadang-kadang timbul
PROGNOSIS
Bila tidak ada komplikasi prognosis bronkitis akut pada anak umumnya baik.
Pada bronkitis akut yang berulang dan bila anak merokok (aktif atau pasif) maka
dapat terjadi kecenderungan untuk menjadi bronkitis kronik kelak pada usia
dewasa (Ngastiyah; 1997; 37).
Patofisiologi
Mukus yang berlebihan terjadi akibat displasia sel-sel pengbasil mukus di
bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau
disfungsional serta metaplasia. Peru bahan-peru bahan pada sel-sel penghasil
mulcus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar yang sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
MANIFESTASI KLINIK
Batuk yang sangat produktif, purulen, dan mudah memburuk oleh iritan-
iritan inhalan, udara dingin, atau infeksi
Sesak napas dan dispnu
BRONKIEKTASIS
Defenisi
Bronkiektasis merupakan kelainan morfologis yang terdiri dari
pelebaran bronkus yang abnormal dan menetap disebabkan kerusakan
komponen elastis dan muscular dinding bronkus ( Soeparman & Sarwono,
1990)
Bronkiektasis berarti suatu dilatasi yang tak dapat pulih lagi dari
bronchial yang disebabkan oleh episode pnemonitis berulang dan
memanjang,aspirasi benda asing, atau massa ( mis. Neoplasma) yang
menghambat lumen bronchial dengan obstruksi ( Hudak & Gallo,1997).
Bronkiektasis adalah dilatasi permanen abnormal dari salah satu
atau lebih cabang-vabang bronkus yang besar ( Barbara E, 1998).
Klasifikasi
Berdasarkan atas bronkografi dan patologi bronkiektasis dapat dibagi menjadi 3
yaitu :
1. Bronkiektasis silindris
2. Bronkiektasis fusiform
3. Bronkiektasis kistik atau sakular.
Etiologi
1. Infeksi
2. Kelainan heriditer atau kelainan konginetal
3. Faktor mekanis yang mempermudah timbulnya
infeksi
4. Sering penderita mempunyai riwayat pneumoni
sebagai komplikasi campak, batuk rejan, atau penyakit menular lainnya
semasa kanak-kanak.
B. Patofisiologi
Bronkiektasis
C. Gambaran Klinis
Bronkiektasis merupakan penyakit yang sering dijumpai pada usia muda, 69
% penderita berumur kurang dari 20 tahun. Gejala dimulai sejak masa
kanak-kanak, 60 % dari penderita gejalanya timbul sejak umur kurang dari 10
tahun. Gejalanya tergantung dari luas, berat, lokasi ada atau tidaknya
komplikasi.
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemerisaan Laboratorium.
Pemeriksaan sputum meliputi Volume sputum, warna
sputum, sel-sel dan bakteri dalam sputum.
Bila terdapat infeksi volume sputum akan meningkat, dan menjadi
purulen dan mengandung lebih banyak leukosit dan bakteri. Biakan
sputum dapat menghasilkan flora normal dari nasofaring, streptokokus
pneumoniae, hemofilus influenza, stapilokokus aereus,klebsiela,
aerobakter,proteus, pseudomonas aeroginosa. Apabila ditemukan
sputum berbau busuk menunjukkan adanya infeksi kuman anaerob.
Pemeriksaan darah tepi.
Biasanya ditemukan dalam batas normal. Kadang ditemukan adanya
leukositosis menunjukkan adanya supurasi yang aktif dan anemia
menunjukkan adanya infeksi yang menahun.
Pemeriksaan urina
Ditemukan dalam batas normal, kadang ditemukan adanya proteinuria
yang bermakna yang disebabkan oleh amiloidosis, Namun
Imunoglobulin serum biasanya dalam batas normal Kadan bisa
meningkat atau menurun.
Pemeriksaan EKG
EKG biasa dalam batas normal kecuali pada kasus lanjut yang sudah
ada komplikasi korpulmonal atau tanda pendorongan jantung.
Departemen Medikal Bedah 96
Created By Iwan Sain, S.Kp
Askep PPOM
Spirometri pada kasus ringan mungkin normal tetapi pada kasus berat
ada kelainan obstruksi dengan penurunan volume ekspirasi paksa 1
menit atau penurunan kapasitas vital, biasanya disertai insufisiensi
pernafasan yang dapat mengakibatkan :
Ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi
Kenaikan perbedaan tekanan PO2 alveoli-arteri
Hipoksemia
Hiperkapnia
Pemeriksaan tambahan untuk mengetahui faktor predisposisi
dilakukan pemerisaan :
o Pemeriksaan imunologi
o Pemeriksaan spermatozoa
o Biopsi bronkus dan mukosa nasal( bronkopulmonal
berulang).
2. Pemeriksaan Radiologi.
Foto dada PA dan Lateral
Biasanya ditemukan corakan paru menjadi lebih kasar dan batas-batas
corakan menjadi kabur, mengelompok,kadang-kadang ada gambaran
sarang tawon serta gambaran kistik dan batas-batas permukaan udara
cairan. Paling banyak mengenai lobus paru kiri, karena mempunyai
diameter yang lebih kecil kanan dan letaknya menyilang
mediastinum,segmen lingual lobus atas kiri dan lobus medius paru
kanan.
Pemeriksaan bronkografi
Bronkografi tidak rutin dikerjakan namun bila ada indikasi dimana
untuk mengevaluasi penderita yang akan dioperasi yaitu pendereita
dengan pneumoni yang terbatas pada suatu tempat dan berulang yang
tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah mendapat pengobatan
konservatif atau penderita dengan hemoptisis yang masif.
Bronkografi dilakukan sertalah keadaan stabil,setalah pemberian
antibiotik dan postural drainage yang adekuat sehingga bronkus bersih
dari sekret..
F. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah memperbaiki drainage sekret dan mengobati
infeksi.
Penatalaksanaan meliputi :
Pemberian antibiotik dengan spekrum luas
( Ampisillin,Kotrimoksasol, atau amoksisilin ) selama 5- 7 hari pemberian
Drainage postural dan latihan fisioterapi untuk
pernafasan.serta batuk yang efektif untuk mengeluarkan sekret secara
maksimal
Pada saat dilakukan drainage perlu diberikan bronkodilator untuk mencegah
bronkospasme dan memperbaiki drainage sekret. Serta dilakukan hidrasi yang
adekuat untuk mencegah sekret menjadi kental dan dilengkapi dengan alat
pelembab serta nebulizer untuk melembabkan sekret.
EMFISEMA
Peradangan kronik. Mediator-mediator peradangan secara progresif
merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas
saluran udara. dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara
kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru. secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian,
apabila. tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru
dan saluran udara kolaps.
Dinding di antara alveolus-alveolus, yang disebut septum alveolus, juga
dapat rusak. Hal ini mengurangi luas permukaan alveolus yang tersedia. untuk
pertukaran gas dan menurunkan kecepatan difusi.
Faktor risiko primer untuk emfisema adalah merokok. Pajanan berulang
ke asap rokok (perokok pasif) juga dapat menyebabkan emfisema. Selain itu,
terdapat suatu emfisema bentuk familial yang timbul pada orang-orang yang tidak
terpajan ke asap rokok. Bentuk emfisema ini jauh lebih jarang terjadi.
Gambaran klinis
Terperangkapnya udara akibat hilangnya elastisitas paru. menyebabkan
dada mengernbang.
Penurunan pertukaran gas akibat rusaknya dinding alveolus, sehingga
kecepatan difusi oksigen dan karbon dioksida berkurang yang menimbulkan
hipoksia dan hiperkapnia
Takipnu (peningkatan kecepatan pernapasan) akibat hipoksia. dan
hiperkapnia. Karena peningkatan kecepatan pernapasan pada. penyakit ini
efektif, maka sebagian besar individu yang mengidap ernfisema tidak
mernperlihatkan. perubahan yang bermakna dalam gas darah arteri sampai
penyakit tahap lanjut pada saat kecepatan pernapasan tidak dapat mengatasi
hipoksia atau hiperkapnia. Akhirnya, sernua nilai gas darah memburuk dan
timbul hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis. Susunan saraf pusat dapat tertekan
akibat tingginya kadar karbon dioksida. (narkosis karbon dioksida).
Suatu perbedaan kunci antara emfisema dan bronkitis kronik adalah
pada emfisema tidak terjadi pernbentukan. Mukus
Perangkat Diagnostik
1. Penurunan volume ekspirasi paksa yang diukur, akibat
berkurangnya elastisitas paru.
2. Peningkatan volume reidual (udara yang tertinggap pada setiap
pernapasan) akibat berkurangnya elastisitas paru.
Komplikasi.
Hipertensi Paru akibat vasokonstriksi hipoksik Paru kronik, Yang akhirnya
menyebabkan kor pulmonale
Penatalaksanaan
pengobatan emsifema ditujukan untuk menghilangkan gejala dan
mencegah perburukan emfisema tidak dapat disembuhkan. Pengobatan
mencakup
Mendorong pasien agar berhenti merokokok
Mengatur posisi dan pola bernapas untuk mengurangi jumlah udara yang
terperangkap
Memberi pengajaran mengenai teknik-teknik relaksasi dan cara-cara untuk
menyimpan energi
Banyak pasien emfisema akhirnya akan memerlukan terapi oksigen agar
dapat menjalankan tugas sehari-hari
Pengkajian
Data-data yang perlu dikaji pada asuhan keperawatan dengan PPOM
(Doenges, 2000) ialah sebagai berikut :
1. Riwayat PerjalananPenyakit
Keluhan utama : Sesak napas
a. Pola aktivitas dan istirahat
Subjektif : Keletihan, kelelahan, malaise, ketidak mampuan
melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas,
ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi
duduk tinggi.
Objektif : Keletihan, gelisah, insomnia, kelemahan umum,
kehilangan massa otot.
b. Pola nutrisi
Subjektif : mual/muntah, anoreksia (emfisema), ketidak mampuan
untuk makan karena distress pernapasan, penurunan BB
menetap (emfisema), peningkatan BB menunjukkan
edema (bronkitis).
Objektif : Turgor kulit jelek, edema dependen, berkeringat,
penurunan BB, penurunan massa ototlrmsk subkutan
Departemen Medikal Bedah 100
Created By Iwan Sain, S.Kp
Askep PPOM
4. Faktor Pendukung:
a. Riwayat lingkungan.
b. Pola hidup.
Nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola istirahat dan tidur,
kebersihan diri.
c. Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang
penyakit, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.
5. Pemeriksaan Diagnostik:
a. Sinar x dada : menunjukkan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya
diafrgma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda
vaskularisasi /bula (emfisema) ; peningkatan tanda bronkovaskuler
(bronkitis) ; Hasil normal pada periode remisi (asma).
b. Tes Fungsi paru (spirometri) : dilakukan untuk mengetahui
penyebab dispnea, untuk menentukan fungsi abnormal adalah
obstruksi atau retriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan
untuk mengetahui efek terapi, misal bronmodilator.
c. TLC : peningkatan khusunya pada bronkitis dan kadang-kadang
pada asma ; penurunan pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema.
e. Volume residu : meningkat pada emfisema, bronkitis kronik dan
asma
f. FEVI/FVC : Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital
kuat menurun pada bronkitis dan asma
g. GDA : memperkirakan progresi proses penyakit kronis, paling
sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat
(bronkitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma ;
PH normal atau asidosis ; alkalosis respiratorik ringan sekunder
terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
h. Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada
inspirasi ; kolaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema) ;
pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkitis.
i. JDL dan diferensial : Hb meningkat (emfisema luas), peningkatan
eosinofil (asma).
j. Kimia darah : Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan
defesiensi dan diagnosa emfisema primer.
k. Sputum : kultur untuk menntukan infeksi, mengidentifikasi
patogen ; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui kegananasan dan
gangguan alergi.
l. EKG : deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat) ;
distritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada Lead II,
III, AVF (bronkitis, emfisema) ; aksis vertikal QRS (emfisema)
m. EKG latihan (tes stres) : membantu dalam mengkaji derajat
disfungsi paru, mengevaluasi kefektifan terapi bronkodilator,
perencanaan/evaluasi program latihan
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang lazim terjadi pada klien dengan PPOM adalah
: Kerusakan pertukaran gas b.d ketidaksamaan ventilasi-perfusi.
(a) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d bronkokonstriksi,
peningkatan produksi lendir, batuk tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal.
(b) Pola pernapasan tidak efektif b.d napas pendek, lendir,
bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas.
3). Pola pernapasan tidak efektif b.d napas pendek, lendir, bronkokonstriksi,
dan iritan jalan napas
Tujuan: Perbaikan dalam pola pernapasan.
Intervensi
1. Ajarkan klien pernapasan diafragmatik
dan pernapasan bibir dirapatkan.
Rasional: membantu klien memperpanjang waktu ekspirasi, dengan
tekhnik ini klien akan bernapas lebih efektif dan lebih
efesien.
2. Berikan dorongan untuk menyelingi
aktivitas dengan periode istirahat, biarkan klien membuat beberapa
Departemen Medikal Bedah 109
Created By Iwan Sain, S.Kp
Askep PPOM
4). Defisit perawatan diri b.d keletihan sekunder akibat peningkatan upaya
pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi
Tujuan: Kemandirian dalam aktifitas perawatan diri.
Intervensi:
1. Ajarkan klien untuk mengkoordinasikan pernapasan
diafragmatik dengan aktivitas (misalnya berjalan, membungkuk).
Rasional: Akan memungkinkan klien untuk lebih aktif dan untuk
menghindari keletihan yang berlebihan atau dispnea
selama aktivitas.
2. Berikan dorongan untuk mulai mandi sendiri,
berpakaian sendiri, berjalan, dan minum cairan. Bahas tentang
tindakan penghematan energi.
Rasional: Sejalan dengan tertasinya kondisi, klien mampu
melakukan lebih banyak namun perlu didorong untuk
menghindari peningkatan ketergantungan.
3. Ajarkan tentan drainase postural bila
memungkinkan.
Rasional: Memberikan dorongan ntuk terlibat dalam perawatan
dirinya, membangun harga diri dan menyiapkan klien
untuk mengatasinya dirumah
6). Koping individu tidak efektif b.d kurang sosialisasi, ansietas, depresi,
tingkat aktifitas rendah, dan ketidakmampuan untuk bekerja
Tujuan: Pencapaian tingkat koping yang optimal.
Intervensi
1. Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan
semangat yang ditujukan pada klien.
Rasional: Suatu perasaan harapan atau memberikan klien sesuatu
yang dapt dikerjakan, ketimbang sikap yang merasa kalah
tidak berdaya.
2. Dorong aktivitas sampai tingkat tpleransi gejala.
Rasional: Aktifitas mengurangi ketegangan dan mengurangi tingkat
disonea sejalan dengan klien menjadi terkondisi.
3. Ajarkan tekhnik relaksasi atau berikan rekaman untuk
relasasi bagi klien.
Rasional: Relaksasi mengurangi stress dan ansietas dan membantu
klien untuk mengatasi ketidakmampuannya.
Evaluasi