Anda di halaman 1dari 2

Epilepsi merupakan gangguan kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan yang

berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara sebagian atau seluruh jaringan
otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf) peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan
kelainan motorik, sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan lepasnya muatan
listrik abnormal sel-sel otak(1). Klasifikasi epilepsi berdasarkan tanda-tanda klinik dan data EEG, dibagi menjadi:
1) Kejang umum (generalized seizure), yang terbagi atas: a) Absense (Petit mal) b) Tonik-klonik (grand mal), c)
Mioklonik, dan d) Atonik,. Kemudian selanjutnya terdapat 2) Kejang parsial yang terbagi menjadi: a) Simple
partial seizure, dan b) Complex partial seizure. Seelanjutnya terdapat 3) Kejang tak terklasifikasikan, termasuk
serangan epilepsi pada neonatus misalnya gerakan mata ritmis, dan gerakan mengunyah serta berenang (2).
Etiologi epilepsi meliputi penyakit serebrovaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan
neurodegeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi sistem saraf pusat. Faktor pemicu
terjadinya epilepsi adalah gangguan tidur, emosi (stres), perubahan hormon (menstruasi, puberitas, kehamilan),
penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan
(terutama maprotilin atau bupropion), dan kebiasaan minum alkohol dapat meningkatkan resiko kejang.
Patofisiologi epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat penghambatan neuron yang tidak normal
atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter eksitatori dan inhibitori. Defisiensi neurotransmiter inhibitori
(aktivitas menghambat neuron) seperti Gamma Amino Butyric Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter
eksitatori (aktivitas pemicu kejang) seperti glutamat menyebabkan aktivitas neuron tidak normal. Serangan
kejang juga diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase yang
berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidak stabilan membran neuron. Aktivitas glutamat pada
reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh
pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion Na+ dan Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi
pengurangan perbedaan polaritas pada membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi
berkepanjangan akibat peningkatan glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang
terus menerus dan memicu aktivitas sel-sel syaraf(1,3). Gejala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis
kejang. Jenis kejang pada setiap pasien dapat bervariasi, namun cenderung sama. a. Somatosensori atau motor
fokal terjadi pada kejang kompleks parsial. b. Kejang kompleks parsial terjadi gangguan kesadaran. c. Kejang
absens mempunyai efek yang ringan dengan gangguan kesadaran yang singkat. d. Kejang tonik-klonik umum
mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi kehilangan kesadaran(3). Terapi epilepsi dapat dibedakan
menjadi terapi non farmakologi dan terapi farmakologi. Terapi non farmakologi terdiri dari diet ketogenic,
pembedahan, dan Vagal Nerve Stimulation. Sedangkan terapi farmakologi dapat diberikan dengan pemilihan
obat antiepilepsi yang didasarkan pada klasifikasinya yaitu(4).
Tipe OAE lini pertama OAE lini kedua
Kejang parsial Fenitoin, karbamasepin Acetazolamide, clobazam, clonazepam, ethosuximide,
(sederhana atau (terutama untuk CPS), asam felbamate, gabapentin, lamotrigine, levetiracetam,
kompleks) valproate oxcarbazepine, tiagabin, topiramate, vigabatrin,
phenobarbital, pirimidone
Absence dan tonik- Asam valproat, thosuximide Acetazolamide, clobazam, clonazepam, lamotrigine,
klonik (tidak tersedia di Indonesia) phenobarbital, pirimidone
Mioklonik Asam valproate Clobazam, clonazepam, ethosuximide, lamotrigine,
phenobarbital, pirimidone, piracetam
Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang parsial dan pencegahan kejang pada pasien
trauma kepala/bedah saraf. Obat ini bekerja sebagai antikonvulsif kuat. Fenitoin berefek stabilisasi pada semua
membran neuronal, termasuk saraf perifer dan pada membran yang eksitabel maupun yang tidak eksitabel.
Fenitoin termasuk obat dengan indeks terapi sempit, sehingga dalam penatalaksanaannya diperlukan TDM(1).
Therapeutic drug monitoring (TDM) merupakan pengukuran kadar obat dalam tubuh sebagai sarana
monitoring untuk mencapai tujuan terapi. Tujuan TDM yaitu pengaturan dosis optimal untuk pasien secara
individu dan memprediksikan perubahan dosis yang digunakan untuk antisipasi kejadian ketoksikan dengan
memonitor kadar obat dalam tubuh misalnya pada obat dengan indeks terapi sempit (5). Selain itu, tujuan TDM
juga untuk menghasilkan konsentrasi plasma obat yang aman yang tidak melebihi konsentrasi toksik minimum
atau dibawah konsentrasi obat minimum kritis yang berada di bawah konsentrasi ini obat tidak efektif. Untuk
alasan ini, dosis obat-obat tertentu diindividualisasi dengan hati-hati untuk menghindari fluktuasi konsentrasi
obat dalam plasma sehubungan dengan perbedaan antar subjek dalam proses absorbsi, distribusi, atau
eliminasi(6). Manfaatnya yaitu untuk mengevaluasi derajat respon terapi suatu obat, memberikan informasi yang
bermanfaat mengenai kesesuaian terapi obat,evaluasi kepatuhan pasien terhadap dosis yang diberikan,
mendeteksi kemungkinan efeksamping dan toksisitas suatu obat, mengkonfirmasi kemungkinan adanya
interaksi obat,serta untuk penyesuaian dosis obat(5). Kriteria pasien yang perlu di TDM adalah pasien yang
masuk RS dengan multi penyakit atau polifarmasi, pasien kanker yang menerima sitostatika, pasien dengan
gangguan fungsi hati dan ginjal, pasien geriatri atau pediatri, pasien hamil dan menyusui, pasien dengan
perawatan intensif. Obat-obat yang memerlukan dilakukan TDM; dilakukan untuk obat dengan indeks terapi
sempit (contoh: digoksin,fenitoin), obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin), obat yang bersifat
hepatotoksik (contoh: OAT) sitostatika (contoh: metotreksat), antikoagulan (contoh: warfarin, heparin), obat
yang obat yang sering menimbulkan reaksi obat yang tidak dikehendaki (contoh: metoklopramid), obat
kardiovaskular (contoh: nitrogliserin),memerlukan pengaturan dosis individu, obat dengan korelasi rendah
antara konsentrasi dengan efektivitas obat, obat-obat yang bergantung pada konsentrasi untuk memperoleh
efek maksimal(7). Proses TDM terdiri dari empat komponen utama yaitu meliputi pre analisis, analisis, post
analisis dan pengaturan lingkungan. Pengaturan lingkungan merupakan kondisi disekitar proses analisis. Pre
analisis terdiri dari empat tahap. (1) berkaitan dengan kondisi medis pasien, (2) klinisi menentukan tes yang
mungkin dapat menjawab pertanyaan tersebut, (3) klinisi meminta hasil tes dari pasien, dan (4) klinisi mengambil
sampel dan dikirim ke laboratorium untuk dianalisis. Analisis, terdiri dari. (1) preparasi sampel meliputi kegiatan
pengiriman sampel ke tempat analisis, (2) melakukan analisis, (3) hasil analisis obat. Post analisis, memiliki
tiga tahap. (1) melaporkan hasil analisis (2) tahap pendugaan terhadap hasil untuk memberikan solusi dari (3)
klinisi mengambil tindakan(8). Peran apoteker dalam TDM: memilih obat, merancang aturan dosis, menilai
respon penderita, menentukan perlunya pengukuran konsentrasi obat dalam serum, menetapkan kadar obat
dalam serum, melakukan penilaian secara farmakokinetis kadar obat, menyesuaikan kembali dosis regimen,
memantau konsentrasi obat dalam serum, menganjurkan adanya persyaratan khusus(9). Prinsip pengambilan
cuplikan sampel darah pada TDM adalah harus memperhatikan parameter farmakokinetika dari obat yang
akan dilakukan pengukuran kadar di dalam darah, kemudian haruslah diambil pada waktu yang tepat dan dapat
teridentifikasi. Waktu pengambilan sampel adalah ketika telah mencapai kondisi steady state (biasanya setelah
4 5 kali waktu paruh obat) tetapi jika loading dose telah diberikan maka dapat dilakukan pengambilan sampel
langsung(10). Pengambilan waktu sampling fenitoin dapat dilakukan setelah satu jam pemberian secara
intravena. Pada pemberian oral, sampling dapat dilakukan 24 jam setelah pemberian(11).
Berdasarkan skenario, terdapat DRP yaitu interaksi obat antara fenitoin dengan kloramfenikol yang
memiliki interaksi moderat. Kloramfenikol dapat menyebabkan kenaikan kadar fenitoin dalam darah sehingga
dapat mengakibatkan ketoksikan. Hal tersebut telah dirasakan pasien dimana pasien mengalami nystagmus,
ataxia, bicara tidak teratur, letargi, dan sedasi berlebihan. Hal tersebut dapat diatasi dengan penggantian
antibiotik pada terapi demam tifoid, yaitu penggantian kloramfenikol dengan amoxicillin, dimana amoxicillin tidak
berinteraksi dengan fenitoin. Dosis amoxicillin yang diberikan adalah 75-100mg/kgBB/hari selama 14 hari(12).
Konseling yang perlu diberikan kepada pasien adalah kepatuuhan dalam penggunaan obat, baik untuk epilepsi
maupun antibiotik. Obat antibiotik harus diminum hingga habis dan dengan waktu yang teratur selama 14 hari.
Fenitoin dapat diberikan 2 jam setelah makan atau sebelum makan. Kemudian obat sebaiknya disimpan di
tempat yang kering dan tidak terkena sinar matahari langsung. Selain itu memberikan konseling kepada pasien
untuk menghindari factor pemicu kekambuhan. Monitoring yang dilakukan adalah cek kadar fenitoin dalam
darah tiap 3-12 bulan, efek samping yang dapat timbul, interaksi obat, dan munculnya gejala(11).

DAFTAR PUSTAKA
1. Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Anti Epilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta, 1-44.
2. Gidal, B.E., dan Garnett, W. R., 2005, Epilepsy dalam Dipiro, Pharmacotherapy :A Pathophysiologic
Approach, 6 ed, 1023-1048, Mc. Graw Hill, USA.
3. Harsono, 1999, Buku Ajar Neurologi Klinis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 119-155.
4. Standar Pelayanan Medik, Persatuan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
5. Kang, Ju-Seop dan Min-Ho Lee., 2009., Overview of Therapeutic Drug Monitoring., PMC Journal.,
Korean J Intern Med. 2009 Mar; 24(1): 110
6. Shargel, L., Pong, S.W., Yu, A.B.C, 2005, Applied Biopharmaceutics and Pharmacokinetics, 5th ed.
Singapore Mc Graw Hil
7. Departemen Kesehatan RI, 2009, Pedoman Pemantauan Terapi Obat, Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik, Jakarta, 12-13
8. Abdelrahim., H. E. A, 2008, Therapeutic Drug Monitoring Service In Malaysia: Current Practice and Cost
Evaluation. Malaysia.
9. Hallworth, M, et all, 2010, Therapeutic Drug Monitoring: Clinical Guidelines, Abbott diagnostics, USA
10. Ali, A., S., Abdel-Rahman, M., S., Ab Rahman, A., F., Osman. O., H. 2013. Basic Principles of
Therapeutic Drug Monitoring Journal of Applied Bipharmaceutics and Pharmacokinetics vol 1 no 2. Saudi
Arabia
11. Faye Wu, M., Lim, H. W., 2013, Phenytoin: A Guide to Therapeutic Drug Monitoring, Proceedings of
Singapore Healthcare, 22(3), 198-202.
12. Nelwan, RHH., 2012, Tatalaksana Terkini Demam Tifoid, Continuing Medical Education, 39(4), 247-250.

Anda mungkin juga menyukai