Anda di halaman 1dari 12

EFEK SAMPING PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID JANGKA PANJANG

Sardimon, S.Ked
Pembimbing : Dr. dr. Tantawi Djauhari, Sp.KK(K)
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSMH
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya 2012

Pendahuluan
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian korteks
kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan
oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya
tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi,
metabolisme karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku (Guyton,
2007)
Kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi karena obat ini mempunyai
efek anti inflamasi dan imunosupresan. Sejak kortikosteroid digunakan dalam bidang
dermatologi, obat ini sangat menolong penderita. Berbagai penyakit yang dahulu lama
penyembuhannya dapat dipersingkat, misalnya dermatitis. Penyakit berat yang dahulu dapat
menyebabkan kematian, misalnya pemfigus, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan
kortikosteroid, demikian pula sindrom Stevens-Johnson yang berat dan nekrolisis epidermal
toksik. Tetapi disamping memberikan manfaat yang banyak penggunaan kortikosteroid dalam
jangka waktu yang lama juga akan mengakibatkan timbulnya efek samping yang tudak
diinginkan. Oleh karena seringnya penggunaan obat kortikosteroid ini maka diperlukan
pengetahuan mengenai efek samping yang akan ditimbulkannya.

Pembahasan
Semua hormon steroid sama-sama mempunyai rumus bangun
siklopentanoperhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin yang diberi label A D (Gambar
1). Modifikasi dari struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan pada
efektivitas dari steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10 dan 13
atau sebagai rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid termasuk glukokortikosteroid
mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan 3 cincin heksana dan 1 cincin pentana
(Valencia dan Francisco, 2008)
1
2

Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi
akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini
menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi
leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat menghambat
manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan
kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi,
distribusi dan fungsi leukosit perifer dan juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne
dan chemokyne imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa
memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit kedalam
jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh serangkaian interaksi
yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya yang berada pada sel endotel dan dihambat
oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek,
konsentrasi neutrofil meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam
sirkulasi tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan
menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran
masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh darah,
sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi (Schimer, 2006)
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel penyebab antigen
lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap antigen dan mitogen diturunkan. Efek
terhadap makrofag tersebut terutama menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit
3

dan membunuh mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1,


metalloproteinase dan activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi leukosit,
glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis
prostaglandin,leukotrien dan platelet-activating factor (Schimer, 2006).

Klasifikasi
1. Kortikosteroid Sistemik
Meskipun kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya
potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik ditentukan oleh besarnya efek retensi natrium dan
penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat anti-inflamasinya. Sediaan kortikosteroid
sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan masa kerjanya, potensi
glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi mineralokortikoid (Nesbite, 2008)
4

Table 1. Pharmacology of glucocorticosteroids (GCS)


PHARMACOLOGY OF GLUCOCORTICOSTEROIDS (GCS)
Equivalent Mineralocorticoid Duration Plasma
GCS dose potency of action half-life
(mg) (relative) (hours) (minutes)
Short-acting
Cortisone 25 1.0 812 60
Hydrocortisone 20 0.8 812 90
Intermediate-acting
Prednisone 5 0.25 2436 60
Prednisolone 5 0.25 2436 200
Methylprednisolone 4 0 2436 180
Triamcinolone 4 0 2436 300
Long-acting
Dexamethasone 0.75 0 3654 200
Betamethasone 0.6 0 3654 200
5

2. Kortikosteroid Topikal
Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi, (antimitosis)
antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi
eritema. Kemampuan untuk menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungan
dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai
suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen. Kombinasi ini
digunakan untuk membagi kortikosteroid topikal mejadi 7 golongan besar,
diantaranya Golongan I yang paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya
(super poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah). Golongan I
yang paling kuat antara lain : betametason dipropionate 0,05%, clobetasol propionate
0,05%. Kelas II antara lain : amcinonide 0,1%, desoximetasone 0,5%. Kelas III
fluocinonide 0,05%, difkorasone diacetate 0,05%. Kelas IV antara lain : betametason
valerate 0,12%, clocortolone pivalate 0,1%. Kelas V antara lain : hidrokortison butirat
0,1%, hidrokortison valerat 0,2%. Kelas VI antara lain : alclometason dipropionat
0,05%, desonide 0,05%. Kelas VII antara lain : dexametason, metilprednisolon,
prednisone.( Schimer, 2006).
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat
pilihan untuk suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal
bersifat paliatjf dan supresjf terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan
pengobatan kausal. Biasanya pada kelainan akut dipakai kortikosteroid dengan
potensi lemah contohnya pada anak-anak dan usia lanjut, sedangkan pada kelainan
subakut digunakan kortikosteroid sedang contonya pada dermatitis kontak alergik,
dermatitis seboroik dan dermatitis intertriginosa. Jika kelainan kronis dan tebal
dipakai kortikosteroid potensi kuat contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik,
dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.

Efek Samping Pengunaan Kortikosteroid


1. Withdrawal of Therapy
Pemberian kortikosteroid jangka lama (>2 minggu) yang dihentikan secara
6

mendadak dapat menimbulkan insufisiensi adrenal akut (krisis adrenal). Insufisensi


adrenal akut sebaiknya dibedakan dari Addison disease, di mana pada Addison
disease terjadi destruksi adrenokorteks oleh bermacam penyebab (mis.autoimun,
granulomatosa, keganasan dll). Insufisiensi adrenal akut terjadi akibat penekanan
sumbu hipothalamus-hipofisis-adrenal oleh kortikosteroid eksogen, sehingga kelenjar
adrenal kurang memproduksi kortikosteroid endogen. Pada saat kortikosteroid
eksogen dihentikan, terjadilah kekurangan kortikosteroid (endogen). Dapat terjadi
kehilangan ion Na+dan shock, terkait aktivitas mineralokortikoid yang ikut
berkurang. Gejala yang timbul antara lain gangguan saluran cerna, dehidrasi, rasa
lemah, hipotensi, demam, mialgia, dan arthralgia. Hal ini diatasi dengan pemberian
hidrokortison, disertai asupan air, Na+, Cl-, dan glukosa secepatnya. Untuk
menghindari insufisiensi adrenal maka penghentian penggunaan kortikosteroid harus
secara perlahan /bertahap (Werth, 2008)

2. Perubahan Metabolik
Karena kortikosteroid (glukokortikoid) berperan dalam memetabolisme
glukosa yaitu melalui peningkatan glukoneogenesis dan aktivitas enzim glukosa-6-
pospat, maka akan timbul gejala berupa peninggian kadar glukosa dalam darah
sehingga terjadi hiperglikemia dan glikosuria. Dapat juga terjadi resistensi insulin dan
gangguan toleransi glukosa, sehingga menyebabkan diabetes steroid (steroid-induced
diabetes) (Aulakh dan Surjit, 2008).

3. Respon Imun
Kortikosteroid selain memiliki efek metabolik juga memiliki efek
antiinflamasi. Efek antiinflamasi ini terjadi melalui mekanisme penekanan aktifitas
fosfolipase sehingga mencegah pembentukan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan
dan leukotrien. Penekanan sistem imun ini bermanfaat untuk menghentikan reaksi
peradangan, namun dapat memudahkan pasien terkena infeksi. Oleh karena itu pada
pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamatik sebaiknya disertakan dengan
pemberian antibiotik/antifungal untuk mencegah infeksi (Valencia dan Francisco,
2008 )
7

4. Ulkus Peptikum
Tukak lambung merupakan komplikasi yang kadang-kadang terjadi pada
pengobatan dengan kortikosteroid. Sebab itu bila ada kecurigaan dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan radiologi terhadap saluran cerna bagian atas sebelum obat
diberikan. Pemberian dosis besar sebaiknya dilakukan pada waktu lambung berisi,
dan di antara waktu makan diberikan antasida (bila perlu). Perforasi yang terjadi
sewaktu terapi kortikosteroid dosis besar sangat berbahaya karena dapat berlangsung
dengan gejala klinis minimal (Schimer, 2006).
Pada penelitian case-control yang dilakukan Sonia H, dkk di Inggris antara
tahun 1993 sampai dengan tahun 1998 didapatkan bahwa penggunaan streroid
meningkatkan risiko terkena perdarahan gastrointestinal bagian atas sebesar 1.8 kali
dibandigkan yang tidak mengkonsumsi streroid. Risko ini juga akan bertambah berat
jika pemakaian streroid diikuti dengan pemakain NSAID (Diaz dan Luis, 2005)
Sedangkan hasil penelitian prospektif yang dilakukan oleh Jiing-Chyuan Luo,
dkk pada 67 penderita SLE yang mendapatkan pengobatan terapi kortikosteroid,
didapatkan bahwa pengunaan steroid dosis tinggi de novo tidak memicu terjadinya
ulkus gaster pada pasien-pasien SLE. Akan tetapi, penggunaan Aspirin disertai terapi
denyut metylprednisolon meningkatkan terjadinya ulkus gaster. Kortikosteroid
meningkatkan sekresi dari asam lambung, mengurangi mukus, hiperplasia gastrin dan
sel parietal (Luo JC et al, 2005)

5. Miopati
Katabolisme protein akibat penggunaan kortikosteroid yang dapat
menyebabkan berkurangnya massa otot, sehingga menimbulkan kelemahan dan
miopatik. Miopatik biasanya terjadi pada otot proksimal lengan dan tungkai, bahu dan
pelvis, dan pada pengobatan dengan dosis besar. Miopatik merupakan komplikasi
berat dan obat harus segera dihentikan (Werth, 2008).
Pada myopati yang paling berperan adalah menghambat uptake dari glukosa
pada otot skeletal. Kortikosteroid juga diduga berperan dalam pemecahan dari protein
otot. Hal ini secara langsung disebabkan oleh degredasi protein dan inhibisi sintesis
8

sintesis protein (Aulakh dan Surjit, 2008)

6. Perubahan Tingkah Laku


Psikosis merupakan komplikasi berbahaya dan sering terjadi. Kemungkinan
hal ini terjadi karena adanya gangguan keseimbangan elektrolit dalam otak, sehingga
mempengaruhi kepekaan otak. Berbagai bentuk gangguan jiwa dapat muncul, antara
lain: nervositas, insomnia, psikopatik, skizofrenik, kecenderungan bunuh diri.
Gangguan jiwa akibat penggunaan hormon ini dapat hilang segera atau dalam
beberapa bulan setelah obat dihentikan (Aulakh dan Surjit, 2008).

7. Glaukoma (steroid-induced glaucoma) dan Katarak


Patofisiologi glaukoma akibat kortikosteroid belum diketahui dengan baik.
Diduga terdapat defek berupa peningkatan akumulasi glikosaminoglikan atau
peningkatan aktivitas respons protein trabecular-meshwork inducible
glucocorticoid (TIGR) sehingga menyebabkan obstruksi cairan. Selain itu bukti lain
mengisyaratkan terjadi perubahan sitoskeleton yang menghambat pinositosis aqueous
humor atau menghambat pembersihan glikosaminoglikans dan menyebabkan
akumulasi (Schimer, 2006)
Kortikosteroid oral diduga meningkatkan resistensi aliran aquos humor yang
berpotensi meningkatkan tekanan intraokular, hal inilah yang mencetuskan terjadinya
glaukoma. Disisi lain, pengobatan Kortikosteroid juga berpotensi meningkatkan
opasififikasi dari kristalin lensa sehingga meningkatkan pembetukan katarak (Aulakh
dan Surjit, 2008).

8. Osteoporosis
Osteoporosis terjadi pada 40% individu yang mendapatkan pengobatan
kortikosteroid sistemik, khususnya pada anak-anak, remaja, dan wanita post-
menopouse. Sekitar 1 dari 3 pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid selama 5
sampai 10 tahun mengalami fraktur vertebrata dan meningkat pada wanita post-
menopouse. Bone-lose terjadi secara cepat pada 6 bulan pertamapenggunaan
kortikosteroid dan terus berlanjut dengan kecpatan yang lebih lambat, dengan
9

kehilangan sebesar 3-10% pertahun. Studi terbaru menunjukkan bahwa resiko untuk
fraktur meningkat sekalipun menggunakan dosis rendah prednison (2,5 mg/hari)
(Werth, 2008).
Kortikosteroid dapat menurunkan kadar Ca2+ dalam darah dengan cara
menghambat pembentukan osteoklast, namun dalam jangka waktu lama malah
menghambat pembentukan tulang (sintesis protein di osteoblast) dan meningkatkan
resorpsi sehingga memicu terjadinya osteoporosis. Selain itu juga menurunkan
absorpsi Ca2+ dan PO43- dari intestinal dan meningkatkan ekskresinya melalui
ginjal, sehingga secara tidak langsung akan mengaktifkan PTH yang menyebabkan
resorpsi. Salah satu komplikasinya adalah fraktur vertebra akibat osteoporosis dan
kompresi (Schimer, 2006)

9. Osteonekrosis.
Osteonekrosis atau Avaskular Nekrosis(AVN) adalah manifestasi dari nyeri
serta keterbatasan dari satu atau lebih sendi. Hal ini menyebabkan hipertensi
interosseous yang mengakibatkan iskemia tulang dan nekrosis. Pada pemakaian
kortikosteroid terjadi hipertropi liposit pada interosseous, sehingga terjadi hipertensi,
selain itu kortikosteroid juga memicu apoptosis dari osteoblast yang turut berperan
sebagaia penyebab AVN.
Kortikosteroid bisa memepengaruhi metabolisme dari osteoblast, osteoclast,
stromal cell sumsum tulang dan sel adiposa. Hal ini terjadi melalui mekanisme
pengaktifan dan penghamabatan dari regulator yang berhubungan dengan adipognesis
dan osteogenesis. Hal ini mengakibatkan jumlah serta ukuran stem-cell adiposit akan
meningkat drastis, sebaliknya akan terjadi penurunan dari osteoblast sel-sel tulang,
secara bersamaan aktivitas dari osteoclast juga terjadi, semua hal ini menginduksi
untuk terjadi osteonekrosis (Gang T, Kang P & PEI F, 2012)

10. Regulation of Growth


Pada anak-anak penggunaan kortikosteroid dapat menyebabkan pertumbuhan
terhambat. Mekanisme terjadinya melalui stimulasi somatostatin, yang menghambat
growth hormone. Selain itu kortikosteroid menyebabkan kehilangan Ca2+ melalui
ginjal, akibatnya terjadi sekresi PTH yang meningkatkan aktivitas osteoklast
10

meresorpsi tulang. Kortikosteroid juga menghambat hormon-hormon gonad, yang


pada akhirnya menyebabkan gangguan proses penulangan sehingga menghambat
pertumbuhan (Schimer, 2006)

11. Endokrin
Salah satu efek samping kortikosteroid adalah gangguan endokrin.
Kortikosteroid menyebabkan penurunan produksi insulin oleh sel beta dan resistensi
insulin. Hal ini mengakibatkan perubahan pada metabolisme glukosa pada tubuh.
Kekurangan produksi insulin serta resistensi mengakibatkan tingginya kadar glukosa
dalam darah (Aulakh dan Surjit, 2006)

12. Kardiovaskular
Penggunaan Kortikosteroid jangka panjang dapat meyebabkan hipertensi
dengan dua mekanisme kerja. Pertama melalui jalur retensi sodium sehingga
meningkatkan volume plasma. Jalur kedua melaui respon vasopresor terhadap
angitensin II dan katekolamin (Rhen T dan John AC, 2005)

13. Kulit
Penggunaan kortikosteroid topikal juga dapat menyebabkan beberapa efek
samping seperti, striae, telangiektasis, eritema, perioral dan peroocular acneform.
Penggunaan kortikosteroid topikal dapat menfasilitasi proliferasi dari dari
Propionibacterium acnes, hal inilah yang berperan dalam pembentukan timbulnya
acnes Rosaea. Selain itu, supresi terhadap sistem imun lokal kulit juga dapat memicu
timbulnya pertumbuhan dari jamur (Fisher DA, 1995)

Kesimpulan
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik
(ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini berperan pada banyak
sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan sistem
kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan
11

protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.12


Kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang ataupun dalam dosis
tinggi dapat memicu berbagai macam efek samping. Hal ini sesuai dengan
mekanisme kerja dari steroid itu sendri. Efek samping yang ditimbulakan dalam
pemakain steroid dapat berpengaruh terhadap berbagai organ maupun sistem organ
dalam tubuh. Sebagai contoh beberapa efek samping yang dapat terjadi adalah
sebagai berikut: gangguan tingkah laku, katarak, glaukoma, tukak lambung,
osteoporosis, hipertensi, serta berbagai efek samping lainnya yang berhubungan
dengan mekanisme kerja kortikosteroid.

Referensi

1. Guyton AC, John EH. Buku Ajar Fisisologi Kedokteran : Hormon


Adrenokortikal. Edisi 11. Jakarta: EGC.

2. Valencia IS, Francisco CV. Topical Corticosteroid. In: Wolff K, Goldsmith L,


Kath SI, Gilchrest BA, Paller AS, Jeffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology
in general medicine. 7th Ed. New York: The McGraw-Hill Companies Inc.
2008;p.2102-2106.

3. Schimer BP. Adrenocorticotropic hormone ; Adrenal Steroid and their


Syntetic. In: Brunton LL, John SL, Keith LP, editors. Goodman and Gilman's
The Pharmacological basis of therapeutic. 11 th Ed. New York: McGraw-Hill
Companies Inc. 2006

4. Nesbite LT. Glucocorticoid. In: Bolognia JL, Joseph LJ, Ronald PR, editors.
Bolognia: Dermatology. 2nd Ed. London. Elsevier. 2008.

5. Werth VP. Systemic Therapy In: Wolff K, Goldsmith L, Kath SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Jeffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in general
medicine. 7th Ed. New York: The McGraw-Hill Companies Inc. 2008;p.2147-
2153

6. Aulakh R, Surjit S. Strategies for Minimizing Corticosteroid Toxicity: a


review. Indian J pediatr. 2008; 75(10): p.1067-107
12

7. Diaz SH, Luis AGR. Steroid and Risk of Upper Gastrointestinal


Complication. Am J Epidemiol. 2005; 153(11): p.1089-93

8. Luo JC, et al. Gastric Mucosal Injury in Systemic Lupus Erythematosus


patients receiving pulse metylprednisolone therapy. Br J clin Pharmacol.
2009; 68(2): p.252-259

9. Gang T, Kang P, PEI F. Glucocorticoid effect the metabolism of bone marrow


stromal cells and lead to osteonecrosis of the femoral head: a Reviw. Chin
Med J. 2012; 125(1): p.134-139

10. Rhen T, John AC. Antiinflamatory Action of Glucocorticoid. N Engl J Med.


2005;353:p.1711-23

11. Fisher DA. Adverse Effect of Topical Corticosteroid Use. West J Med. 1995;
162:p.123-126

Anda mungkin juga menyukai