Anda di halaman 1dari 69

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam
kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus
paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi
atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Laszlo, 1997).
Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi),
sinus ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus
sphenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus
paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal,
dan sinusitis sphenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis,
dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta
vena yang menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a.
sfenopalatina. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid. Fungsi
sinus paranasal adalah (Pletcher&Golderg, 2003):
a. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara
sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang
akan terdesak.
b. Sebagai pengatur udara (air conditioning).
c. Peringan cranium.
d. Resonansi suara.
e. Membantu produksi mukus.

12
(medical-dictionary.thefreedictionary.com)
Gambar 2.1
Sinus paranasalis tampak depan dan samping

Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris,
sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis. Secara klinis sinus paranasal
dibagi menjadi (Rukmini&Herawati, 2000):
a. Grup Anterior :
Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior
Ostia di meatus medius
Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring
b. Grup Posterior :
Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis
Ostia di meatus superior
Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring
2.2. Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun
kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun).
Penyebab sinusitis akut:
a. Virus

13
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan
bagian atas (misalnya pilek).
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan
normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari
sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang
sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus,
sehingga terjadi infeksi sinus akut.
c. Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan
jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan system
kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi
alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung.
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnya
pada penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan dan
penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
Penyebab sinusitis kronis:
a. Asma
b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.
Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti :
a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.
b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok,
polusi udara, atau karena panas dan kering.
c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :
a) Atresia atau stenosis koana

14
b) Deviasi septum
c) Hipertroti konka media
d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik
e) Tumor atau neoplasma
f) Hipertroti adenoid
g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi
h) Benda asing
d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek
e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan
imunosupresi oleh obat.
2.4. Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas :
a. Sinusitis akut
b. Sinusitis subakut
c. Sinusitis Kronis
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2 :
a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)
2.5. Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus
juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan
(Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat
bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan
negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau

15
penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan
serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa
pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan
menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan
berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan
terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi
hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan
perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan
kista (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

Gambar 2.2
Patofisiologi Sinusitis

2.6.Diagnosis

a. Anamnesis
Sinusitis akut apabila terjadi infeksi saluran nafas yang menetap dalam 7-
10 hari, terutama jika infeksinya berat dan disertai demam tinggi, sekret purulen
dari hidung, atau edema periorbital. Batuk pada malam hari adalah gejala
nomor 2 tersering atau tanda dari sinusitis yang diikuti oleh rhinitis purulen.
Sakit kepala, nyeri wajah atau edema tidak sering ditemukan. 2 Gejala dari
sinusitis kronik adalah tidak spesifik dan bervariasi. Bila ada demam , suhu
badan tidak begitu tinggi. Malaise, cepat lelah dan anoreksia mungkin ada.

16
Sekret dari hidung bervariasi dari tipis sampai tebal, dari serus sampai purulen.
Bau mulut dilaporkan lebih sering pada orangtua daripada anak. Obstruksi
hidung ditandai dengan bernafas melalui mulut dan adanya nyeri tenggorok.2
Beberapa anak kecil dengan sinusitis maksilaris kronik, orang tuanya
mungkin menemukan secara kebetulan pada pagi hari, mata yang bengkak dan
tanpa rasa nyeri. Anak yang lebih besar mungkin mengeluh hilangnya
kemampuan perasa oleh karena hubungannya dengan obstruksi nasal dan
anosmia. Gejala pada malam hari mungkin juga termasuk mengorok dan batuk
oleh karena hubungannya dengan post nasal drip.2
b. Pemeriksaan fisik
1) Rhinoskopi anterior, tampak mukosa hidung hiperemis dan edema,
terlihat pus pada meatus nasi media.
2) Rhinoskopi posterior, tampak sekret kental di nasofaring (post nasal drip)
3) Transiluminasi. Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit yang
terang di bawah mata, dan bila ada sinusitis, sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna apabila
salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram
dibandingkan sisi yang normal.
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:

Kriteria Mayor Kriteria Minor


a. Sekret nasal yang purulen a. Edem periorbital
b. Drainase faring yang purulen b. Sakit kepala
c. Purulent Post Nasaldrip c. Nyeri di wajah
d. Batuk d. Sakit gigi
e. Foto rontgen (Watersradiograph atau e. Nyeri telinga
f. Sakit tenggorok
air fluid level) : Penebalan lebih 50%
g. Nafas berbau
dari antrum h. Bersin-bersin bertambah sering
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
opaksifikasi dari mukosa sinus
dan bakteri
k. Ultrasound
(Pletcher&Golderg, 2003)

17
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor dan
2 kriteria minor.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis
sinusitis akut
2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus
dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada
anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien
dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis (Pletcher&Golderg, 2003).
b. Imaging
1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis
dengan menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan
perselubungan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi
untuk mengetahui adanya abses gigi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut (Laszlo, 1997) :
a) Posisi Caldwell
Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja
sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus
lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus
terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 kraniokaudal dengan titik
keluarnya nasion.

b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah
untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum
maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus
medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 dengan film

18
proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan pandangan terhadap semua
sinus paranasal.

(Putz&Pabst, 2000)
Gambar 2.4.
Gambaran rontgen posisi waters dengan mulut terbuka

(Alford, 2008)
Gambar 2.5
Posisi Waters

c) Posisi lateral
Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.

19
Gambar 2.6
Posisi lateral
2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut,
menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi
pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis
3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang
menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis
akut (Pletcher SD, 2003) .
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah
sebagai berikut (Arif et all, 2001) :
a. Sinusitis Akut
1. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas
(terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7
hari. Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu,
serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau
dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang
lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang
nyeri alih ke tempat lain.

a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang
sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus

20
medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
(Mangunkusumo&Soetjipto, 2002).
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai
dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah
kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih
dirasakan di dahi dan depan telinga (Arif et all, 2001).
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri
pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada
(Mangunkusumo&Soetjipto,2002).
b) Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin
ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung
lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta
dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius,
kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung (Arif et
all, 2001).

c) Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior.
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas
alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari,
kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.

21
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
d) Sinusitis Sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu
dengan gejala infeksi sinus lainnya (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
2. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid
anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang
ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada
penebalan ringan atau seperti meraba beludru (Mangunkusumo&Nusjirwan,
2002).
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah,
pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid
jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi (Mangunkusumo &
Nusjirwan, 2002).
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada
sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus
atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan
sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut
tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka
kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai (Mangunkusumo&Nusjirwan,
2002).
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5
menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa
memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup
mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari
hidung (Mangunkusumo & Nusjirwan, 2002).

22
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit,
sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal (Mangunkusumo &
Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan
tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid
level) pada sinus yang sakit (Mangunkusumo & Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius
atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang
merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus,
streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin
juga ditemukan virus atau jamur (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda (Endang
Mangunkusumo,2002).
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap (Mangunkusumo &
Nusjirwan, 2002).
c. Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,
umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus
dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan
defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi
menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
1. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :

23
a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca
nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya
sedikit tersumbat.
b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan
tuba eustachius.
d) Ada nyeri atau sakit kepala.
e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis
atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
2. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret
kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan
polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret
purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan
etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau
maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti
kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto
streptococcus dan fuso bakterium.

4. Diagnosis Sinusitis Kronis


Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
a) Anamnesis yang cermat
b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada
daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya

24
Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis
(sinus penuh dengan cairan)
d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA
dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk
memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila,
yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga
dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya
kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk
menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid
dan ethmoid.
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa:
1) Penebalan mukosa,
2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat
dilihat pada foto waters.
e) Pungsi sinus maksilaris
f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam
sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan
bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis
kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga
drenase menjadi terganggu.
g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan
sinoskopi.
h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-
endoskopi.
i) Pemeriksaan CT Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat
dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis
akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau
tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus
dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :

25
a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada
pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya
dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat
menyebabkan gambaran air-fluid level.
b) Polip yang mengisi ruang sinus
c) Polip antrokoanal
d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh
massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan
sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran
perifer.
f) Tumor
2.7. Penatalaksanaan
2.7.1 Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae11. Diberikan terapi medikamentosa
berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni
golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat
dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan
antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan
maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin
klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi
tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14
hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau
naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.

26
c. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah
terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat
karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
2.7.2 Sinusitis Subakut
a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan
tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang
sesuai dengan resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga diberikan obat-obat
simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika,
anti histamin dan mukolitik.
c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short
Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk
memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan
pencucian sinus.
d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan
tindakan pencucian sinus cara Proetz (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

2.7.3 Sinusitis Kronis


a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut
lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan,
diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan
teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi
kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak
membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan
bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka
evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.

27
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
2.8 Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini
harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
a. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada
anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis
sering kali merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang

28
tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga
proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a) Oftalmoplegia.
b) Kemosis konjungtiva.
c) Gangguan penglihatan yang berat.
d) Kelemahan pasien.
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan
dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
b. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai
kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat membesar
dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan
diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
c. Komplikasi Intra Kranial
1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis
akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus
frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.

29
2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering
kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya
mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan
tekanan intra kranial.
3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi
komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah
pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
d. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis
adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik
berupa malaise, demam dan menggigil (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3
2. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6
3. Ghorayeb B. Sinusitis. Dalam Otolaryngology Houston. Diakses dari
www.ghorayeb.com/AnatomiSinuses.html
4. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku
Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta
2002, 115 119.
5. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis
6. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
7. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3,
Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 106
8. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti,
editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,
Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 125
9. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck
Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8
10.Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.
Jakarta: EGC; 2000. 26-48
11.Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.
Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 30 November 2008] Blogsome. About
Sinusitis. 2008. Http://www.mixingblogging.blogspot.com [diakses tanggal 30
November 2008]
12. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara;
1997. 2-9

31
13. Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Nose and Paranasal Sinuses.
Http://www.Bcm.Edu [diakses tanggal: 12 Desember 2008]
14.Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher, Ekstremitas
Atas Jilid 1. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000. 94

32
A. DEFINISI VERTIGO
Vertigo berasal dari istilah latin, yaitu vertere yang berarti berputar, dan
igoyang berarti kondisi. Vertigo merupakan subtipe dari diz-ziness yang secara
definitif merupakan ilusi gerakan, dan yang paling sering adalah perasaan atau
sensasi tubuh yang berputar terhadap lingkungan atau sebaliknya,lingkungan
sekitar kita rasakan berputar.

B. ETIOLOGI
1. Penyakit system vestibuler perifer
- Telinga bagian luar: serumen, benda asing
- Telinga bagian tengah: retraksi timpani, OMA/OMP, kolesteatom
- Telinga bagian dalam: labirintitis akut, syndrome meniere, BPPV
- N VIII: infeksi, trauma, tumor
- Inti vestibuler: infeksi, CVA, tumor, multipel sclerosis
2. Penyakit susunan saraf pusat
- Hipoksia/ iskemik otak : hipertaensi kronik, arteriosclerosis, anemia,
sinkop, hipotensi ortostatik, blok jantung
- Infeksi: meningitis, ensefalitis
- Trauma kepala
- Tumor
- Migren

- Epilepsi
3. Kelainan endokrin : hipotiroid, hipoglikemia, hamil, menstruasi, menopause
4. Kelainan psikiatri : depresi, sindroma hiperventilasi, neurosa, cemas, fobia.
5. Kelainan mata : kelainan refraksi

C. PATOFISIOLOGI

Pada proses normal keseimbangan arus informasi berlangsung intensif bila


ada gerakan dari kepala atau tubuh. Akibat gerakan ini menimbulkan
perpindahan cairan endolimfe di labirin dan selanjutnya silia dari sel rambut
menekuk menyebabkan permeabilitas membrane sel berubah sehingga ion

33
kalsium menerobos masuk ke dalam sel (influks) dengan akibat terjadi
depolarisasi berupa pelepasan neurotransmitter eksilator (glutamate) yang
selanjutnya impuls diteruskan ke pusat di nervus vestibularis lalu ke otak kecil
(serebellum), korteks serebri, hypothalamus, dan pusat otomatik di formation
retikularis,. Selanjutnya sebagai hasilnya dikeluarkan perintah ke efektor melalui
neurotransmitter inhibitor (gamalat, dopamine).

Vertigo timbul jika terdapat gangguan alat keseimbangan tubuh yang


mengakibatkan ketidakcocokan antara posisi tubuh (informasi aferen) dengan
apa yang dipersepsi oleh susunan saraf pusat. Informasi yang berguna untuk
keseimbangan tubuh akan ditangkap oleh reseptor vestibuler, visual, dan
proprioseptik.Reseptor vestibuler memberikan kontribusi paling besar, yaitu
lebih dari 50 % disusul kemudian reseptor visual dan yang paling kecil
kontribusinya adalah proprioseptik.

Dalam kondisi fisiologis/normal, informasi yang tiba di pusat integrasi alat


keseimbangan tubuh berasal dari reseptor vestibuler, visual dan proprioseptik
kanan dan kiri akan diperbandingkan, jika semuanya dalam keadaan sinkron dan
wajar, akan diproses lebih lanjut. Respons yang muncul berupa penyesuaian otot-
otot mata dan penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang
menyadari posisi kepala dan tubuhnya terhadap lingkungan sekitar. Jika fungsi
alat keseimbangan tubuh di perifer atau sentral dalam kondisi tidak normal/ tidak
fisiologis, atau ada rangsang gerakan yang aneh atau berlebihan, maka proses
pengolahan informasi akan terganggu, akibatnya muncul gejala vertigo dan
gejala otonom. Di samping itu, respons penyesuaian otot menjadi tidak adekuat
sehingga muncul gerakan abnormal yang dapat berupa nistagmus, unsteadiness,
ataksia saat berdiri/ berjalan, dan gejala-gejala lainnya.

Beberapa teori mengenai mekanisme terjadinya vertigo diantaranya adalah:

1. Teori rangsang berlebihan (overstimulation).

34
Teori ini berdasarkan asumsi bahwa rangsang yang berlebihan
menyebabkan hiperemi kanalis semisirkularis, akibatnya akan timbul
vertigo, nistagmus, mual, dan muntah.

2. Teori konflik sensorik.


Menurut teori ini terjadi ketidakcocokan masukan sensorik yang
berasal dari berbagai reseptor sensorik perifer, yaitu antara mata, vestibulum,
dan proprioseptik.Atau karena ketidakseimbangan masukan sensoris dari sisi
kiri dan kanan. Ketidakcocokan tersebut menimbulkan kebingungan sensorik
di sentral sehingga timbul respons yang dapat berupa nistagmus, ataksia,
rasa melayang, berputar.

3. Teori neural mismatch.


Teori ini merupakan pengembangan teori konflik sensorik.Menurut
teori ini otak mempunyai memori tentang pola gerakan tertentu, sehingga
jika pada suatu saat dirasakan gerakan yang tidak sesuai dengan pola
gerakan yang telah tersimpan, timbul reaksi dari susunan saraf otonom.Jika
pola gerakan yang baru tersebut dilakukan berulang-ulang akan terjadi
mekanisme adaptasi, sehingga berangsur-angsur tidak lagi timbul gejala.

4. Teori otonomik.
Teori ini menekankan perubahan reaksi susunan saraf otonom sebagai
usaha adaptasi perubahan posisi.Gejala klinis timbul jika sistem simpatis
terlalu dominan, sebaliknya hilang jika sistem parasimpatis mulai berperan.

5. Teori neurohumoral.
Di antaranya teori histamin (Takeda), teori dopamin (Kohl), dan teori
serotonin (Lucat), yang masing-masing menekankan peranan
neurotransmiter tertentu dalam mempengaruhi sistim saraf otonom yang
menyebabkan timbulnya gejala vertigo.

35
6. Teori sinaps.
Rangsang gerakan menimbulkan stres yang akan memicu sekresi CRF
(Corticotropin Releasing Factor). Peningkatan kadar CRF selanjutnya akan
mengaktifkan susunan saraf simpatik yang selanjutnya mencetuskan
mekanisme adaptasi berupa meningkatnya aktivitas sistim saraf
parasimpatik. Teori ini dapat menerangkan gejala penyerta yang sering
timbul berupa pucat, berkeringat di awal serangan vertigo akibat aktivitas
simpatis, kemudian berkembang menjadi mual, muntah, dan hipersalivasi
setelah beberapa saat akibat dominasi aktivitas susunan saraf parasimpatis.

D. KLASIFIKASI

1. VERTIGO VESTIBULAR
Vestibular adalah salah satu organ bagian dalam telinga yang senantiasa
mengirimkan informasi tentang posisi tubuh ke otak untuk menjaga
keseimbangan

a. Perifer
Vertigo periferal terjadi jika terdapat gangguan di saluran yang disebut
kanalis semisirkularis, yaitu telinga bagian tengah yang bertugas mengontrol
keseimbangan.

Vertigo jenis ini biasanya diikuti gejala-gejala seperti:


Pandangan gelap
Rasa lelah dan stamina menurun
Jantung berdebar
Hilang keseimbangan
Tidak mampu berkonsentrasi
Perasaan seperti mabuk
Otot terasa sakit
Mual dan muntah-muntah

36
Memori dan daya pikir menurun
Sensitif pada cahaya terang dan suara
Berkeringat
Gangguan kesehatan yang berhubungan dengan vertigo periferal antara
lain penyakit-penyakit seperti Benign Parozysmal Positional Vertigo atau
BPPV (gangguan keseimbangan karena ada perubahan posisi kepala),
menieres disease (gangguan keseimbangan yang sering kali menyebabkan
hilang pendengaran), vestibular neuritis (peradangan pada sel-sel saraf
keseimbangan) dan labyrinthitis (radang di bagian dalam pendengaran).

b. Sentral
Vertigo sentral terjadi jika ada sesuatu yang tidak normal di dalam
otak, khususnya di bagian saraf keseimbangan, yaitu daerah percabangan
otak dan serebelum (otak kecil). Gejala vertigo sentral biasanya terjadi
secara bertahap, penderita akan mengalami hal-hal seperti:
Penglihatan ganda
Sukar menelan
Kelumpuhan otot-otot wajah
Sakit kepala yang parah
Kesadaran terganggu
Tidak mampu berkata-kata
Hilangnya koordinasi
Mual dan muntah-muntah
Tubuh terasa lemah
Gangguan kesehatan yang berhubungan dengan vertigo sentral
termasuk antara lain stroke, multiple sclerosis (gangguan tulang belakang
dan otak), tumor, trauma di bagian kepala, migren, infeksi, kondisi
peradangan, neurodegenerative illnesses (penyakit akibat kemunduran fungsi
saraf) yang menimbulkan dampak pada otak kecil. Penyebab dan Gejala
Keluhan vertigo biasanya datang mendadak, diikuti gejala klinis tidak

37
nyaman seperti banyak berkeringat, mual,dan muntah. Faktor penyebab
vertigo adalah Sistemik, Neurologik, Ophtalmologik, Otolaringologi,
Psikogenik, dapat disingkat SNOOP.

2. VERTIGO NON VESTIBULAR


Vertigo sistemik adalah keluhan vertigo yang disebabkan oleh penyakit
tertentu, misalnya diabetes mellitus, hipertensi dan jantung.Sementara itu,
vertigo neurologik adalah gangguan vertigo yang disebabkan oleh gangguan
saraf.Keluhan vertigo yang disebabkan oleh gangguan mata atau berkurangnya
daya penglihatan disebut vertigo ophtalmologis; sedangkan vertigo yang
disebabkan oleh berkurangnya fungsi alat pendengaran disebut vertigo
otolaringologis. Selain penyebab dari segi fisik, penyebab lain munculnya
vertigo adalah pola hidup yang tak teratur, seperti kurang tidur atau terlalu
memikirkan suatu masalah hingga stres. Vertigo yang disebabkan oleh stres
atau tekanan emosional disebut vertigo psikogenik.

PSIKOGENIK SINDROM FOBIA

SENTRAL
BPPV
VERTIGO PATOLOGIK
MENIERE
PERIFER
LABIRINITIS
KETINGGIAN
MABUK UDARA
Tabel 1. Perbedaan Vertigo Vestibular dan Non Vestibular

Gejala Vertigo Vestibular Vertigo Non Vestibular

Sifat vertigo rasa berputar melayang, hilang

Serangan Episodic Keseimbangan

Mual/muntah + Kontinu

Gangguan pendengaran +/- -

38
Gerakan pencetus gerakan kepala -

Situasi pencetus - gerakan obyek visual


keramaian, lalu lintas

Tabel 2. Perbedaan Vertigo Vestibular Perifer dan Sentral

Gejala Vertigo Vestibular Perifer Vertigo Vestibular Sentral

Bangkitan vertigo lebih mendadak Lebih lambat

Derajat vertigo Berat Ringan

Pengaruh gerakan kepala ++ +/-

Gejala otonom (mual, ++ +


muntah, keringat)

Gangguan pendengaran + -
(tinitus, tuli)

Tanda fokal otak - +

Jenis Vertigo Disertai Keluhan Tidak Disertai Timbul Karena


Berdasarkan Awitan Telinga Keluhan Telinga Perubahan
Serangan Posisi

Vertigo paroksismal Penyakit Meniere, TIA arteri vertebro- Benign


tumor fossa cranii basilaris, epilepsi, paroxysmal
posterior, transient vertigo akibat lesi positional
ischemic attack (TIA lambung vertigo
arteri vertebralis (BPPV)

Vertigo kronis Otitis media kronis, Kontusio serebri, Hipotensi


meningitis sindroma paska ortostatik,
tuberkulosa, tumor komosio, multiple vertigo
serebelo-pontine, lesi sklerosis, servikalis
labirin akibat zat intoksikasi
ototoksik obat-obatan

Vertigo akut Trauma labirin, Neuronitis -


herpes vestibularis,
zoster otikus, ensefalitis
labirinitis akuta, vestibularis,
perdarahan labirin multipel
sklerosis

39
E. GAMBARAN KLINIS
Adapun gejala-gejala vertigo antara lain:
1. Gejala Subyektif :
- Pusing
- Kepala terasa ringan
- Rasa terapung, terayun
- Mual
2. Gejala Obyektif :
- Keringat dingin
- Pucat
- Muntah
- Sempoyongan waktu berdiri atau berjalan
- Nistagmus
Gejala tersebut diatas dapat diperhebat/diprovokasi perubahan posisi kepala.
Selain gejala tersebut diatas dapat juga disertai gejala sebagai berikut :
1. Kelainan THT
2. Kelainan Mata
3. Kelinan Saraf
4. Kelainan Kardiovaskular
5. Kelainan penykit dalam lainnya
6. Kelainan Psikis
7. Konsusi Obat - obat ototoksik

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Tanyakan bentuk vertigonya
Keadaan yang memprovokasi
Profil waktu: perlahan-lahan/ akut
Keluhan yang menyertai : gangguan pendengaran, tinnitus, mual/ muntah
Penggunaan obat-obatan : anti konvulsan, streptomisin, alkohol, dll.

40
Adanya penyakit sistemik : DM, Hypothiroid, Hipertensi, Blok jantung
Ada/ tidak stress
2. Pemeriksaan fisik
Ditujukan untuk meneliti faktor-faktor penyebab, baik kelainan sistemik,
otologik atau neurologik vestibuler atau serebeler, dapat berupa pemeriksaan
fungsi pendengaran dan keseimbangan, gerak bola mata/nistagmus dan fungsi
serebelum. Pendekatan klinis terhadap keluhan vertigo adalah untuk
menentukan penyebab; apakah akibat kelainan sentral yang berkaitan dengan
kelainan susunan saraf pusat korteks serebri, serebelum, batang otak, atau
berkaitan dengan sistim vestibuler / otologik, selain itu harus dipertimbangkan
pula faktor psikologik / psikiatrik yang dapat mendasari keluhan vertigo
tersebut. Faktor sistemik yang juga harus dipikirkan / dicari antara lain aritmi
jantung, hipertensi, hipotensi, gagal jantung kongestif, anemi, hipoglikemi.
Dalam menghadapi kasus vertigo, pertama-tama harus ditentukan bentuk
vertigonya, lalu letak lesi dan kemudian penyebabnya, agar dapat diberikan
terapi kausal yang tepat dan terapi simtomatik yang sesuai.

Pemeriksaan Fisik Umum.


Pemeriksaan fisik diarahkan ke kemungkinan penyebab sistemik; tekanan
darah diukur dalam posisi berbaring,duduk dan berdiri, bising karotis, irama
(denyut jantung) dan pulsasi nadi perifer juga perlu diperiksa.

3. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan perhatian khusus pada fungsi
vestibular/ cerebral

a. Uji Romberg
Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan
kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama
20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan

41
posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada
kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang
menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan
penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita
akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.

b. Tandem Gait
Tandem Gait: penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan
diletakkan pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti. Pada kelainan
vestibuler perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan serebeler
penderita akan cenderung jatuh.

c. Tes Unterberger
Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di
tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada
kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang/berputar ke arah lesi
dengan gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar
ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi
turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase
lambat ke arah lesi.

42
d. Post Pointing Tes (Uji Tunjuk Barany)
Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita
disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai
menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang
dengan mata terbuka dan tertutup. Pada kelainan vestibuler akan terlihat
penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.

e. Tes Babinsky Weil


Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke
depan dan lima langkah ke belakang selama setengah menit, jika ada
gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk
bintang.

43
4. Pemeriksaan neurootologi
Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan apakah letak lesinya di
sentral atau perifer.

a. Uji Dix Hallpike


Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaring-kan ke
belakang dengan cepat, sehingga kepalanya meng-gantung 45 di bawah garis
horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45 ke kanan lalu ke kiri.
Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini
dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral.

Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul setelah


periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan
berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue).
Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo berlangsung lebih dari
1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).

44
b. Tes Kalori
Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30, sehingga kanalis
semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi
bergantian dengan air dingin (30C) dan air hangat (44C) masing-masing
selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul
dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus
tersebut (normal 90-150 detik). Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal
paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan.Canal paresis
ialah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air
hangat maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika
abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing
telinga. Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau n. VIII,
sedangkan directional preponderance menunjukkan lesi sentral.

45
G. PENATALAKSANAAN

1. Medikasi
Karena penyebab vertigo beragam, sementara penderita seringkali
merasa sangat terganggu dengan keluhan vertigo tersebut, seringkali
menggunakan pengobatan simptomatik. Lamanya pengobatan bervariasi.
Sebagian besar kasus terapi dapat dihentikan setelah beberapa minggu.
Beberapa golongan yang sering digunakan :

- Antihistamin
Tidak semua obat antihistamin mempunyai sifat anti
vertigo.Antihistamin yang dapat meredakan vertigo seperti obat
dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin, siklisin.Antihistamin yang
mempunyai anti vertigo juga memiliki aktivitas anti-kholinergik di
susunan saraf pusat.Mungkin sifat anti-kholinergik ini ada kaitannya
dengan kemampuannya sebagai obat antivertigo.Efek samping yang
umum dijumpai ialah sedasi (mengantuk).Pada penderita vertigo yang
berat efek samping ini memberikan dampak yang positif.

- Betahistin
Senyawa Betahistin (suatu analog histamin) yang dapat
meningkatkan sirkulasi di telinga dalam, dapat diberikan untuk
mengatasi gejala vertigo. Efek samping Betahistin ialah gangguan di
lambung, rasa enek, dan sesekali rash di kulit.
Betahistin Mesylate (Merislon)
Dengan dosis 6 mg (1 tablet) 12 mg, 3 kali sehari per oral.
Betahistin di Hcl (Betaserc)
Dengan dosis 8 mg (1 tablet), 3 kali sehari. Maksimum 6 tablet
dibagi dalam beberapa dosis.
- Dimenhidrinat (Dramamine)

46
Lama kerja obat ini ialah 4 6 jam. Dapat diberi per oral atau parenteral
(suntikan intramuscular dan intravena).Dapat diberikan dengan dosis 25
mg 50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.Efek samping ialah mengantuk.
Difhenhidramin Hcl (Benadryl)
Lama aktivitas obat ini ialah 4 6 jam, diberikan dengan dosis
25 mg (1kapsul) 50 mg, 4 kali sehari per oral. Obat ini dapat
juga diberikan parenteral.Efek samping mengantuk.
- Antagonis kalsium
Dapat juga berkhasiat dalam mengobati vertigo. Obat antagonis
kalsium Cinnarizine (Stugeron) dan Flunarizine (Sibelium) sering
digunakan. Merupakan obat supresan vestibular karena sel rambut
vestibular mengandung banyak terowongan kalsium.Namun, antagonis
kalsium sering mempunyai khasiat lain seperti anti kholinergik dan
antihistamin. Sampai dimana sifat yang lain ini berperan dalam mengatasi
vertigo belum diketahui.

- Cinnarizine (Stugerone)
Mempunyai khasiat menekan fungsi vestibular.Dapat
mengurangi respons terhadap akselerasi angular dan linier. Dosis
biasanya ialah 15 30 mg, 3 kali sehari atau 1 x 75 mg sehari. Efek
samping ialah rasa mengantuk (sedasi), rasa cape, diare atau
konstipasi, mulut rasa kering dan rash di kulit.
- Fenotiazine
Kelompok obat ini banyak mempunyai sifat anti emetik (anti
muntah).Namun tidak semua mempunyai sifat anti
vertigo.Khlorpromazine (Largactil) dan Prokhlorperazine (Stemetil)
sangat efektif untuk nausea yang diakibatkan oleh bahan kimiawi namun
kurang berkhasiat terhadap vertigo.
- Promethazine (Phenergan)

47
Merupakan golongan Fenotiazine yang paling efektif mengobati
vertigo. Lama aktivitas obat ini ialah 4 6 jam. Diberikan dengan
dosis 12,5 mg 25 mg (1 draze), 4 kali sehari per oral atau parenteral
(suntikan intramuscular atau intravena). Efek samping yang sering
dijumpai ialah sedasi (mengantuk), sedangkan efek samping
ekstrapiramidal lebih sedikit disbanding obat Fenotiazine lainnya.
- Khlorpromazine (Largactil)
Dapat diberikan pada penderita dengan serangan vertigo yang
berat dan akut.Obat ini dapat diberikan per oral atau parenteral
(suntikan intramuscular atau intravena). Dosis yang lazim ialah 25 mg
(1 tablet) 50 mg, 3 4 kali sehari. Efek samping ialah sedasi
(mengantuk).
- Obat simpatomimetik
Obat simpatomimetik dapat juga menekan vertigo.Salah satunya
obat simpatomimetik yang dapat digunakan untuk menekan vertigo ialah
efedrin.

- Efedrin
Lama aktivitas ialah 4 6 jam. Dosis dapat diberikan 10 -25 mg, 4 kali
sehari.Khasiat obat ini dapat sinergistik bila dikombinasi dengan obat
anti vertigo lainnya.Efek samping ialah insomnia, jantung berdebar
(palpitasi) dan menjadi gelisah gugup.
- Obat penenang minor
Dapat diberikan kepada penderita vertigo untuk mengurangi
kecemasan yang diderita yang sering menyertai gejala vertigo.efek
samping seperti mulut kering dan penglihatan menjadi kabur.
- Lorazepam
Dosis dapat diberikan 0,5 mg 1 mg
- Diazepam
Dosis dapat diberikan 2 mg 5 mg.

48
- Obat anti kolinergik
Obat antikolinergik yang aktif di sentral dapat menekan aktivitas
sistem vestibular dan dapat mengurangi gejala vertigo.
- Skopolamin
Skopolamin dapat pula dikombinasi dengan fenotiazine atau
efedrin dan mempunyai khasiat sinergistik. Dosis skopolamin ialah 0,3
mg 0,6 mg, 3-4 kali sehari

2. Terapi fisik
Susunan saraf pusat mempunya kemampuan untuk mengkompensasi
gangguan keseimbangan.Namun kadang-kadang dijumpai beberapa penderita
yang kemampuan adaptasinya kurang atau tidak baik. Hal ini mungkin
disebabkan oleh adanya gangguan lain di susunan saraf pusat atau didapatkan
deficit disistem visual atau proprioseptifnya. Kadang-kadang obat tidak
banyak membantu, sehingga perlu latihan fisik vestibular.Latihan bertujuan
untuk mengatasi gangguan vestibular, membiasakan atau mengadaptasi diri
terhadap gangguan keseimbangan.
Tujuan latihan ialah :
- Melatih gerakan kepala yang mencetuskan vertigo atau disekuilibrium
untuk meningkatkan kemampuan mengatasinya secara lambat laun.
- Melatih gerakan bola mata, latihan fiksasi pandangan mata.
- Melatih meningkatkan kemampuan keseimbangan
Contoh latihan :
- Berdiri tegak dengan mata dibuka, kemudian dengan mata ditutup.
- Olahraga yang menggerakkan kepala (gerakan rotasi, fleksi, ekstensi,
gerak miring).
- Dari sikap duduk disuruh berdiri dengan mata terbuka, kemudian
dengan mata tertutup.
- Jalan di kamar atau ruangan dengan mata terbuka kemudian dengan
mata tertutup.
- Berjalan tandem (kaki dalam posisi garis lurus, tumit kaki yang satu
menyentuh jari kaki lainnya dalam melangkah).
- Jalan menaiki dan menuruni lereng.
- Melirikkan mata kearah horizontal dan vertikal.

49
- Melatih gerakan mata dengan mengikuti objek yang bergerak dan juga
memfiksasi pada objek yang diam.
Terapi Fisik Brand-Darrof
Ada berbagai macam latihan fisik, salah satunya adalah latihan Brand-Darrof.

Keterangan Gambar:
- Ambil posisi duduk.
- Arahkan kepala ke kiri, jatuhkan badan ke posisi kanan, kemudian balik posisi
duduk.
- Arahkan kepala ke kanan lalu jatuhkan badan ke sisi kiri. Masing-masing
gerakanlamanya sekitar satu menit, dapat dilakukan berulang kali.
- Untuk awal cukup 1-2 kali kiri kanan, makin lama makin bertambah.
3. Terapi Spesifik
a. BPPV
Pada kondisi ini tidak direkomendasikan terapi obat-obatan. Vertigo
dapat membaik dengan maneuver rotasi kepala hal ini akan memindahkan
deposit kalsium yang bebas ke belakang vestibule,. Manuver ini meliputi
reposisi kanalit berupa maneuver epley, modifikasi maneuver epley.
Pasien perlu tetap tegak selama 24 jam setelah reposisi kanalit untuk
mencegah deposit kalsium kembali ke kanalis semisirkularis
b. Vestibular neuronitis dan Labirynthis
Terapi focus pada gejala menggunakan terapi obat-obatan yang
mensipresi vestibular yang diikuti dengan latihan vestibular. Kompensasi
vestibular terjasi lebih cepat dan lebih sempurna jika pasien mulai 2 kali
sehari latihan vestibular sesegera mungkin setelah vertigo berkurang
dengan obat-obatan.
50
c. Meniere disease
Terapi dengan menurunkan tekanan endolimfatik.Walaupun diet
rendah garam dan diuretic seringkali mengurangi vertigo, hal ini kurang
efektif dalam mengobati ketulian dan tinnitus. Pada kasus yang jarang
intervensi bedah seperti dekompresi dengan shunt endolimfatik atau
cochleosacculoctomy dibutuhkan jika penyakit ini resisten terhadap
pengobatan diuretic dan diet.
d. Iskemik Vascular
Terapi TIA dan stroke meliputi mencegah terjadinya ulangan
kejadian melalui control tekanan darah, menurunkan level kolesterol,
mengurangi merokok, menginhibisi fungsi platelet (misalnya aspirin,
clopidogrel) dan terkadang antikoagulasi (warfarin). Vertigo akut yang
disebabkan oleh stroke pada batang otak atau cerebellum diobati dengan
obat-oabat yang mensupresi vestibular dan meminimalisrir pergerakan
kepala pada hari pertama.Sesegera mungkin jika keluhan dapat ditoleransi
obat-oabatan harus di tapper off dan latihan rehabilitasi vestibular harus
segera dimulai. Penempatan stent vertebrobasilar diperlukan pada pasien
dengan stenosis arteri vertebralis dan refrakter terhadap penaganan medis.
Perdarahan pada cerebellum dan batang otak member risiko kompresi
sehingga diperlukan dekompresi mellau neurosurgery.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary


care, BJMP 2010;3(4):a351

2. Lempert, T, Neuhauser, H. 2009. Epidemiology of vertigo, migraine and


vestibular migraine in Journal Nerology 2009:25:333-338

3. Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2008

4. Perhimpunan Dokter Spesialis Indonesia (PERDOSSI). Vertigo patofisiologi,


diagnosis dan terapi. Desantara Utama, Jakarta. 2013

51
5. Misbach, Jusuf; Abdul, Bar Hamid; Adre, Mayza; M. Kurniawan, Saleh.
2006. Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis (SPM) dan Standar prosedur
Operasional (SOP) Neurologi. PERDOSSI.

6. Dewanto, George; Wita, J. Suwono; Budi, Riyanto; Yuda, Turana. 2009.


Panduan Praktis Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC.

7. Labuguen, RH. 2006. Initial Evaluation of Vertigo ini Journal American


Family Physician January 15, 2006. Volume 73, Number 2

8. Chain, TC.2009. Practical Neurology 3rd edition: Approach to the Patient


with Dizziness and Vertigo. Illnois:wolter kluwerlippincot William and
wilkins)

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK

DEFINISI
OMSK adalah stadium dari penyakit telinga tengah dimana terjadi
peradangan kronis dari telinga tengah dan mastoid dan membran timpani tidak intak
(perforasi) dan ditemukan sekret (otorea), purulen yang hilang timbul. Sekret
mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah dan berlangsung lebih dari 2
bulan.
Perforasi sentral adalah pada pars tensa dan sekitar dari sisa membran timpani
atau sekurang-kurangnya pada annulus. Defek dapat ditemukan seperti pada anterior,
posterior, inferior atau subtotal. Menurut Ramalingam bahwa OMSK adalah

52
peradangan kronis lapisan mukoperiosteum dari middle ear cleft sehingga
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan patologis yang ireversibel2,4.
KLASIFIKASI OMSK
OMSK dapat dibagi atas 2 tipe yaitu :
a. Tipe tubotimpani = tipe jinak = tipe aman = tipe rhinogen.
Penyakit tubotimpani ditandai oleh adanya perforasi sentral atau pars tensa
dan gejala klinik yang bervariasi dari luas dan keparahan penyakit. Beberapa
faktor lain yang mempengaruhi keadaan ini terutama patensi tuba eustachius,
infeksi saluran nafas atas, pertahanan mukosa terhadap infeksi yang gagal pada
pasien dengan daya tahan tubuh yang rendah, disamping itu campuran bakteri
aerob dan anaerob, luas dan derajat perubahan mukosa, serta migrasi sekunder
dari epitel skuamous. Sekret mukoid kronis berhubungan dengan hiperplasia
goblet sel, metaplasia dari mukosa telinga tengah pada tipe respirasi dan
mukosiliar yang jelek.
Secara klinis penyakit tubotimpani terbagi atas: 5
Fase aktif
Pada jenis ini terdapat sekret pada telinga dan tuli. Biasanya didahului oleh
perluasan infeksi saluran nafas atas melalui tuba eutachius, atau setelah berenang
dimana kuman masuk melalui liang telinga luar. Sekret bervariasi dari mukoid sampai
mukopurulen. Ukuran perforasi bervariasi dari sebesar jarum sampai perforasi
subtotal pada pars tensa. Jarang ditemukan polip yang besar pada liang telinga luar.
Perluasan infeksi ke sel-sel mastoid mengakibatkan penyebaran yang luas dan
penyakit mukosa yang menetap harus dicurigai bila tindakan konservatif gagal untuk
mengontrol infeksi, atau jika granulasi pada mesotimpanum dengan atau tanpa
migrasi sekunder dari kulit, dimana kadang-kadang adanya sekret yang berpulsasi
diatas kuadran posterosuperior.

Fase tidak aktif / fase tenang


Pada pemeriksaan telinga dijumpai perforasi total yang kering dengan mukosa
telinga tengah yang pucat. Gejala yang dijumpai berupa tuli konduktif ringan. Gejala
lain yang dijumpai seperti vertigo, tinitus,atau suatu rasa penuh dalam telinga.

Faktor predisposisi pada penyakit tubotimpani :


Infeksi saluran nafas yang berulang, alergi hidung, rhinosinusitis kronis

53
Pembesaran adenoid pada anak, tonsilitis kronis
Mandi dan berenang dikolam renang, mengkorek telinga dengan alat yang
terkontaminasi
Malnutrisi dan hipogammaglobulinemia
Otitis media supuratif akut yang berulang
b. Tipe atikoantral = tipe ganas = tipe tidak aman = tipe tulang
Pada tipe ini ditemukan adanya kolesteatom dan berbahaya. Penyakit
atikoantral lebih sering mengenai pars flasida dan khasnya dengan terbentuknya
kantong retraksi yang mana bertumpuknya keratin sampai menghasilkan
kolesteatom. Kolesteatom adalah suatu massa amorf, konsistensi seperti mentega,
berwarna putih, terdiri dari lapisan epitel bertatah yang telah nekrotis. Kolesteatom
dapat dibagi atas 2 tipe yaitu : 6
a. Kongenital
Kriteria untuk mendiagnosa kolesteatom kongenital, menurut Derlaki dan Clemis
(1965) adalah:
Berkembang dibelakang dari membran timpani yang masih utuh.
Tidak ada riwayat otitis media sebelumnya. Pada mulanya dari jaringan
embrional dari epitel skuamous atau dari epitel undiferential yang berubah
menjadi epitel skuamous selama perkembangan. Kongenital kolesteatom
lebih sering ditemukan pada telinga tengah atau tulang temporal, umumnya
pada apeks petrosa. Dapat menyebabkan fasialis parese, tuli saraf berat
unilateral, dan gangguan keseimbangan.
b. Didapat
Kolesteatoma yang didapat seringnya berkembang dari suatu kantong retraksi.
Jika telah terbentuk adhesi antara permukaan bawah kantong retraksi dengan
komponen telinga tengah, kantong tersebut sulit untuk mengalami perbaikan bahkan
jika ventilasi telinga tengah kembali normal. Area kolaps pada segmen atik atau
segmen posterior pars tensa membrane timpani. Epitel skuamosa pada membrane
timpani normalnya membuang lapisan sel-sel mati dan tidak terjadi akumulasi debris,
tapi jika terbentuk kantong retraksi dan proses pembersihan ini gagal, debris keratin
akan terkumpul dan pada akhirnya membentuk kolesteatoma. Pengeluaran epitel
melalui leher kantong yang sempit menjadi sangat sulit dan lesi tersebut membesar.
Membran timpani tidak mengalami perforasi dalam arti kata yang sebenarnya :

54
lubang yang terlihat sangat kecil, merupakan suatu lubang sempit yang tampak
seperti suatu kantong retraksi yang berbentuk seperti botol, botol itu sendiri penuh
dengan debris epitel yang menyerupai lilin. Teori lain pembentukan kolesteatoma
menyatakan bahwa metaplasia skuamosa pada mukosa telinga tengah terjadi sebagai
respon terhadap infeksi kronik atau adanya suatu pertumbuhan ke dalam dari epitel
skuamosa di sekitar pinggir perforasi, terutama pada perforasi marginal.7
Destruksi tulang merupakan suatu gambaran dari kolesteatoma didapat, yang
dapat terjadi akibat aktivitas enzimatik pada lapisan subepitel. Granuloma kolesterol
tidak memiliki hubungan dengan kolesteatoma, meskipun namanya hampir mirip dan
kedua kondisi ini dapat terjadi secara bersamaan pada telinga tengah atau
mastoid.Granuloma kolesterol, disebabkan oleh adanya kristal kolesterol dari eksudat
serosanguin yang ada sebelumnya. Kristal ini menyebabkan reaksi benda asing,
dengan cirsi khas sel raksasa dan jaringan granulomatosa.

Perforasi Membran Tympani


Definisi
Perforasi atau hilangnya sebagian jaringan dari membrane timpani yang
menyebabkan hilanggnya sebagian atau seluruh fungsi dari membrane timpani.
Membran timpani adalah organ pada telinga yang berbentuk seperti diafragma,
tembus pandang dan fleksibel sesuai dengan fungsinya yang menghantarkan energy
berupa suara dan dihantarkan melalui saraf pendengaran berupa getaran dan impuls-
impuls ke otak. Perforasi dapat disebabkan oleh berbagai kejadian, seperti infeksi,
trauma fisik atau pengobatan sebelumnya yang diberikan.

55
Menurut letaknya :
Bentuk perforasi membran timpani adalah :
1. Perforasi sentral
Lokasi pada pars tensa, bisa antero-inferior, postero-inferior dan postero-
superior, kadang-kadang sub total.
2. Perforasi marginal
Terdapat pada pinggir membran timpani dengan adanya erosi dari anulus
fibrosus. Perforasi marginal yang sangat besar digambarkan sebagai perforasi
total. Perforasi pada pinggir postero-superior berhubungan dengan
kolesteatom.

3. Perforasi atik
Terjadi pada pars flasida, berhubungan dengan primary acquired
cholesteatoma.

4. Perforasi postero-superior

Menurut luasnya perforasi


1. Perforasi kecil
2. perforasi sedang
3. perforasi luas ( subtotal total)

56
ETIOLOGI
Terjadi OMSK hampir selalu dimulai dengan otitis media berulang pada
anak, jarang dimulai setelah dewasa. Faktor infeksi biasanya berasal dari nasofaring
(adenoiditis, tonsilitis, rinitis, sinusitis), mencapai telinga tengah melalui tuba
Eustachius. Fungsi tuba Eustachius yang abnormal merupakan faktor predisposisi
yang dijumpai pada anak dengan cleft palate dan Downs syndrom. Adanya
tuba patulous, menyebabkan refluk isi nasofaring yang merupakan faktor
insiden OMSK yang tinggi di Amerika Serikat.
Kelainan humoral (seperti hipogammaglobulinemia) dan cell-mediated
(seperti infeksi HIV, sindrom kemalasan leukosit) dapat manifest sebagai sekresi
telinga kronis1,2.
Penyebab OMSK antara lain1,2,5:
1. Lingkungan
Hubungan penderita OMSK dan faktor sosial ekonomi belum jelas, tetapi mempunyai
hubungan erat antara penderita dengan OMSK dan sosioekonomi, dimana kelompok
sosioekonomi rendah memiliki insiden yang lebih tinggi. Tetapi sudah hampir
dipastikan hal ini berhubungan dengan kesehatan secara umum, diet, tempat tinggal
yang padat.

2. Genetik
Faktor genetik masih diperdebatkan sampai saat ini, terutama apakah insiden OMSK
berhubungan dengan luasnya sel mastoid yang dikaitkan sebagai faktor genetik.
Sistem sel-sel udara mastoid lebih kecil pada penderita otitis media, tapi belum
diketahui apakah hal ini primer atau sekunder.

3. Otitis media sebelumnya


Secara umum dikatakan otitis media kronis merupakan kelanjutan dari otitis media
akut dan / atau otitis media dengan efusi, tetapi tidak diketahui faktor apa yang

57
menyebabkan satu telinga dan bukan yang lainnya berkembang menjadi keadaan
kronis.

4. Infeksi
Bakteri yang diisolasi dari mukopus atau mukosa telinga tengah hampir tidak
bervariasi pada otitis media kronik yang aktif menunjukan bahwa metode kultur yang
digunakan adalah tepat. Organisme yang terutama dijumpai adalah Gram- negatif,
flora tipe-usus, dan beberapa organisme lainnya.

5. Infeksi saluran nafas atas


Banyak penderita mengeluh sekret telinga sesudah terjadi infeksi saluran nafas atas.
Infeksi virus dapat mempengaruhi mukosa telinga tengah menyebabkan menurunnya
daya tahan tubuh terhadap organisme yang secara normal berada dalam telinga
tengah, sehingga memudahkan pertumbuhan bakteri.

6. Autoimun
Penderita dengan penyakit autoimun akan memiliki insiden lebih besar terhadap otitis
media kronis.

7. Alergi
Penderita alergi mempunyai insiden otitis media kronis yang lebih tinggi dibanding
yang bukan alergi. Yang menarik adalah dijumpainya sebagian penderita yang alergi
terhadap antibiotik tetes telinga atau bakteria atau toksin-toksinnya, namun hal ini
belum terbukti kemungkinannya.

8. Gangguan fungsi tuba eustachius.


Pada otitis kronis aktif, dimana tuba eustachius sering tersumbat oleh edema tetapi
apakah hal ini merupakan fenomen primer atau sekunder masih belum diketahui.
Pada telinga yang inaktif berbagai metode telah digunakan untuk mengevaluasi
fungsi tuba eustachius dan umumnya menyatakan bahwa tuba tidak mungkin
mengembalikan tekanan negatif menjadi normal.

58
Beberapa faktor-faktor yang menyebabkan perforasi membran timpani
menetap pada OMSK1,2 :
Infeksi yang menetap pada telinga tengah mastoid yang mengakibatkan
produksi sekret telinga purulen berlanjut.
Berlanjutnya obstruksi tuba eustachius yang mengurangi penutupan spontan
pada perforasi.
Beberapa perforasi yang besar mengalami penutupan spontan melalui
mekanisme migrasi epitel.
Pada pinggir perforasi dari epitel skuamous dapat mengalami pertumbuhan
yang cepat diatas sisi medial dari membran timpani. Proses ini juga mencegah
penutupan spontan dari perforasi.

PATOGENESIS
Banyak penelitian pada hewan percobaan dan preparat tulang temporal
menemukan bahwa adanya disfungsi tuba Eustachius, yaitu suatu saluran yang
menghubungkan rongga di belakang hidung (nasofaring) dengan telinga tengah
(kavum timpani), merupakan penyebab utama terjadinya radang telinga tengah ini
(otitis media).1
Pada keadaan normal, muara tuba Eustachius berada dalam keadaan tertutup dan
akan membuka bila kita menelan. Tuba Eustachius ini berfungsi untuk
menyeimbangkan tekanan udara telinga tengah dengan tekanan udara luar (tekanan
udara atmosfer). Fungsi tuba yang belum sempurna, tuba yang pendek, penampang
relatif besar pada anak dan posisi tuba yang datar menjelaskan mengapa suatu infeksi
saluran nafas atas pada anak akan lebih mudah menjalar ke telinga tengah sehingga
lebih sering menimbulkan OM daripada dewasa.1

59
Gambar Anatomi tuba eustachius anak dan dewasa

Pada anak dengan infeksi saluran nafas atas, bakteri menyebar dari nasofaring
melalui tuba Eustachius ke telinga tengah yang menyebabkan terjadinya infeksi dari
telinga tengah. Pada saat ini terjadi respons imun di telinga tengah. Mediator
peradangan pada telinga tengah yang dihasilkan oleh sel-sel imun infiltrat, seperti
netrofil, monosit, dan leukosit serta sel lokal seperti keratinosit dan sel mastosit
akibat proses infeksi tersebut akan menambah permiabilitas pembuluh darah dan
menambah pengeluaran sekret di telinga tengah. Selain itu, adanya peningkatan
beberapa kadar sitokin kemotaktik yang dihasilkan mukosa telinga tengah karena
stimulasi bakteri menyebabkan terjadinya akumulasi sel-sel peradangan pada telinga
tengah.1
Mukosa telinga tengah mengalami hiperplasia, mukosa berubah bentuk dari satu
lapisan, epitel skuamosa sederhana, menjadi pseudostratified respiratory epithelium
dengan banyak lapisan sel di antara sel tambahan tersebut. Epitel respirasi ini
mempunyai sel goblet dan sel yang bersilia, mempunyai stroma yang banyak serta
pembuluh darah. Penyembuhan OM ditandai dengan hilangnya sel-sel tambahan
tersebut dan kembali ke bentuk lapisan epitel sederhana.1

Gambar Perjalanan Penyakit OMSK

PATOLOGI

60
OMSK lebih sering merupakan penyakit kambuhan dari pada menetap. Keadaan
kronis ini lebih berdasarkan keseragaman waktu dan stadium dari pada
keseragaman gambaran patologi. Secara umum gambaran yang ditemukan adalah:
Terdapat perforasi membrana timpani di bagian sentral.
Mukosa bervariasi sesuai stadium penyakit
Tulang-tulang pendengaran dapat rusak atau tidak, tergantung pada beratnya
infeksi sebelumnya.
Pneumatisasi mastoid
OMSK paling sering pada masa anak-anak. Pneumatisasi mastoid
paling akhir terjadi antara 5-10 tahun. Proses pneumatisasi ini sering terhenti
atau mundur oleh otitis media yang terjadi pada usia tersebut atau lebih muda.
Bila infeksi kronik terus berlanjut, mastoid mengalami proses sklerotik,
sehingga ukuran prosesus mastoid berkurang1.
GEJALA KLINIS
Diagnosis
1. Telinga berair (otorrhoe)
Sekret bersifat purulen ( kental, putih) atau mukoid ( seperti air dan encer)
tergantung stadium peradangan. Sekret yang mukus dihasilkan oleh aktivitas kelenjar
sekretorik telinga tengah dan mastoid. Pada OMSK tipe jinak, cairan yang keluar
mukopus yang tidak berbau busuk yang sering kali sebagai reaksi iritasi mukosa
telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan infeksi. Keluarnya sekret biasanya
hilang timbul. Meningkatnya jumlah sekret dapat disebabkan infeksi saluran nafas
atas atau kontaminasi dari liang telinga luar setelah mandi atau berenang. Pada
OMSK stadium inaktif tidak dijumpai adannya sekret telinga. Sekret yang sangat bau,
berwarna kuning abu-abu kotor memberi kesan kolesteatoma dan produk
degenerasinya. Dapat terlihat keping-keping kecil, berwarna putih, mengkilap. Pada
OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret telinga tengah berkurang atau hilang
karena rusaknya lapisan mukosa secara luas. Sekret yang bercampur darah
berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan polip telinga dan merupakan
tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu sekret yang encer berair tanpa
nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.

2. Gangguan pendengaran

61
Ini tergantung dari derajat kerusakan tulang-tulang pendengaran. Biasanya
dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran. Gangguan pendengaran
mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit
ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi dengan efektif ke fenestra ovalis. Bila
tidak dijumpai kolesteatom, tuli konduktif kurang dari 20 db ini ditandai bahwa rantai
tulang pendengaran masih baik. Kerusakan dan fiksasi dari rantai tulang
pendengaranmenghasilkan penurunan pendengaran lebih dari 30 db. Beratnya
ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan
dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe maligna
biasanya didapat tuli konduktif berat karena putusnya rantai tulang pendengaran,
tetapi sering kali juga kolesteatom bertindak sebagai penghantar suara sehingga
ambang pendengaran yang didapat harus diinterpretasikan secara hati-hati.9
Penurunan fungsi kohlea biasanya terjadi perlahan-lahan dengan berulangnya
infeksi karena penetrasi toksin melalui foramen rotundum atau fistel labirin tanpa
terjadinya labirinitis supuratif. Bila terjadinya labirinitis supuratif akan terjadi tuli
saraf berat, hantaran tulang dapat menggambarkan sisa fungsi koklea.
3. Otalgia ( nyeri telinga)
Nyeri tidak lazim dikeluhkan penderita OMSK, dan bila ada merupakan suatu
tanda yang serius. Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase
pus. Nyeri dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran
sekret,terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan
abses otak. Nyeri telinga mungkin ada tetapi mungkin oleh adanya otitis eksterna
sekunder. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis,
subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
4. Vertigo
Vertigo pada penderita OMSK merupakan gejala yang serius lainnya. Keluhan
vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin akibat erosi dinding
labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat perubahan tekanan
udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan vertigo dapat terjadi
hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan menyebabkan labirin lebih
mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran infeksi ke dalam labirin juga
akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa terjadi akibat komplikasi

62
serebelum. Fistula merupakan temuan yang serius, karena infeksi kemudian dapat
berlanjut dari telinga tengah dan mastoid ke telinga dalam sehingga timbul labirinitis
dan dari sana mungkin berlanj ut menjadi meningitis. Uji fistula perlu dilakukan pada
kasus OMSK dengan riwayat vertigo. Uji ini memerlukan pemberian tekanan positif
dan negatif pada membran timpani, dengan demikian dapat diteruskan melalui rongga
telinga tengah.

TANDA KLINIS
Tanda-tanda klinis OMSK tipe maligna :
1. Adanya Abses atau fistel retroaurikular
2. Jaringan granulasi atau polip diliang telinga yang berasal dari kavum timpani.
3. Pus yang selalu aktif atau berbau busuk (aroma kolesteatom)
4. Foto rontgen mastoid adanya gambaran kolesteatom.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk melengkapi pemeriksaan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut1,3 :
Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli konduktif. Tapi
dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian tergantung besar dan
letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas3
Derajat ketulian nilai ambang pendengaran
Normal : -10 dB sampai 26 dB
Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
Tuli total : lebih dari 90 dB.
Pemeriksaan Radiologi
1. Proyeksi Schuller
Memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Foto
ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan
tegmen3.
2. Proyeksi Mayer atau Owen,
Diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan tampak
gambaran tulang-tulang pendengaran dan atik sehingga dapat
diketahui apakah kerusakan tulang telah mengenai struktur-struktur3.
3. Proyeksi Stenver

63
Memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang
lebih jelas memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis
semisirkularis. Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang
sehingga dapat menunjukan adanya pembesaran akibat2,3
4. Proyeksi Chause III
Memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat
memperlihatkan kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau
CT scan dapat menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom3.
Bakteriologi
Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa,
Stafilokokus aureus dan Proteus. Sedangkan bakteri pada OMSA Streptokokus
pneumonie, H. influensa, dan Morexella kataralis. Bakteri lain yang dijumpai pada
OMSK E. Coli, Difteroid, Klebsiella, dan bakteri anaerob adalah Bacteriodes sp1,2.

PENATALAKSANAAN
Terapi OMSK memerlukan waktu ama dan harus berulang. Pengobatan penyakit
telinga kronis yang efektif harus didasarkan pada faktor-faktor penyebabnya dan pada
stadium penyakitnya. Bila didiagnosis kolesteatoma, maka mutlak harus dilakukan
operasi, tetapi obat-obatan dapat digunakan untuk mengontrol infeksi sebelum
operasi.
Prinsip pengobatan tergantung dari jenis penyakit dan luas infeksi, dimana
pengobatanannya dibagi atas:
Konservatif
Pembedahan
OMSK Benigna Tenang
Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan, dan dinasehatkan untuk jangan
mengorektelinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan
segera berobatbila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan
sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk
mencegah infeksiberulang serta gangguan pendengaran.
OMSK Benigna Aktif
Prinsip pengobatan OMSK benigna aktif adalah :
Membersihkan liang telinga dan kavum timpani
Pemberian antibiotika :
o antibiotika/antimikroba topikal
o antibiotika sistemik

64
Pembersihan liang telinga dan kavum timpan (aural toilet)
Tujuan aural toilet adalah membuat lingkungan yang tidak sesuai untuk
perkembangan mikroorganisme, karena sekret telinga merupakan media yang baik
bagi perkembangan mikroorganisme. Pembersihan kavum timpani dengan
menggunakan cairan pencuci telinga berupa larutan H2O2 3% selama 3-5 hari.
Garam faal agar lingkungan bersifat asam sehingga merupakan media yang buruk
untuk pertumbuhan kuman.
Pemberian antibiotik topikal
Setelah sekret berkurang, terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes
telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid, hal ini dikarenakan biasanya
ada gangguan vaskularisasi ditelinga tengah sehingga antibiotika oral sulit mencapai
sasaran optimal. Cara pemilihan antibiotika yang paling baik adalah berdasarkan
kultur kuman penyebab dan uji resistensi.
Preparat antibiotika topikal untuk infeksi telinga tersedia dalam bentuk tetes
telinga dan mengandung antibiotika tunggal atau kombinasi, jika perlu ditambahkan
kortikosteroid untuk mengatasi manifestasi alergi lokal. Obat tetes yang dijual di
pasaran saat ini banyak mengandung antibiotika yang bersifat ototoksik. Oleh sebab
itu, jangan diberikan secara terus menerus lebih dari 1-2 minggu atau pada OMSK
yang sudah tenang.
Antibiotika yang sering digunakan untuk OMSK adalah:
1. Kloramfenikol
Losin et. al (1983) melakukan penelitian pada 30 penderita OMSK jinak aktif
mendapatkan bahwa sensistifitas kloramfenikol terhadap masing-masing
kuman adalah sebagai berikut: Bacteroides sp. (90%), Proteus sp. (73,33%),
Bacillus sp. (62,23%), Staphylococcus sp. (60%), dan Pseudomonas sp.
(14,23%).
2. Polimiksin B atau Polimiksin E
Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas,
E.coli,Klebsiella, dan Enterobakter tetapi tidak efektif (resisten) terhadap
kuman Gram positif seperti Proteus dan B. Fragilis dan toksik terhadap ginjal
dan susunan saraf.
3. Gentamisin
Gentamisisn adalah antibiotika derivat aminoflikosida dengan spektrum yang
luas dan aktif untuk melawan organisme Gram positif dan negatif. Saah satu

65
bahaya dari pemberian gentamisin tetes telinga adalah kemungkinan
terjadinya kerusakan telinga dalam. Telah diketahui bahwa pemberian
gentamisin secara sistemik akan menyebabkan efek ototoksik.
4. Ofloksasin
Ofloksasin mempunyai aktifitas yang kuat untuk bakteri Gram negatif dan
positif dan bekerja dengan cara menghambat enzim DNA gyrase. Pada
OMSK dengan perforasi membrana timpani, konsentrasi tinggi ofloksasin
telah ditemukan 30 menit setelah pemberian solutio ofloksasin 0,3%.
Berdasarkan penelitian, pemakain tetes siprofloksasin lebih berhasil dan lebih
murah dibandingkan tetes kloramfenikol, dan tidak dijumpai efek ototoksik.
Keuntungan lainnya ofloksasin dapat diberikan secara tunggal tanpa antibiotik
oral.
Antibiotik oral
Secara oral, dapat diberikan antibiotika golongan ampisilin atau eritromisin
sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada infeksi yang dicurigai penyebabnya telah
resisten terhadap ampisilin, dapat diberikan ampisilin-asam klavulanat. Pemberian
antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret.
Terapi antibiotika sistemik yang dianjurkan pada OMSK adalah:
1. Pseudomonas: aminogliosida + karbenisilin
2. P. Mirabilis: ampisilin atau sefalosporin
3. P.morganii, P.vulgaris : aminoglikosida +karbenisilin
4. Klebsiella: sefalosporin atau aminoglikosida
5. E.coli: ampisilin atau sefalosporin
6. S.aureus antis-stafilikokus: penisiln, sefalosforin, eritromisin, aminoglikosida
7. Streptokokus: penisilin, sefalosforin, ertiromisin, sminoglikosida
8. B. Fragilis: klindamisin.
Antibiotika golongan kuinolon (siprofloksasin dan ofloksasin) mempunyai
aktifitas anti pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi tidak dianjurkan
diberikan untuk anak dengan umur dibawah 16 tahun. Golongan sefalosforin
generasi III (sefotaksim, seftazidim dan seftriakson) juga aktif terhadap
Pseudomonas, tetapi harusdiberikan secara parenteral. Terapi ini sangat baik
untuk OMA sedangkan untuk OMSK belum pasti cukup, meskipun dapat
mengatasi OMSK. Metronidazol mempunyai efek bakterisid untuk kuman anaerob.
Metronidazol dapat diberikan pada OMSK aktif dosis 400 mg 3 kali sehari, selama 2
minggu atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.

66
Bila sekret telah kering tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2
bulan maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti yang bertujuan
untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang
perforasi, mencegab terjadinya komplikasi serta memperbaiki pendengaran.
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dengan sekret yang banyak tanpa
dibersihkan dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi
diberikan obat tetes yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid. Dianjurkan
irigasi dengan garam faal agar lingkungan bersifat asam dan merupakan media yang
burukuntuk tumbuhnya kuman. Selain itu dikatakan bahwa tempat infeksi pada
OMSK sulit dicapai oleh antibiotika topikal. Djaafar dan Gitowirjono menggunakan
antibiotik topikal sesudah irigasi sekret profus dengan hasil cukup memuaskan,
kecuali kasus dengan jaringan patologis yang menetap pada telinga tengah dan kavum
mastoid. Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan agar masuk sampai telinga
tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya neomisin dan
lamanya tidak lebih dari 1minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik adalah
dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistensi.
Jenis pembedahan OMSK
Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik yang dapat dilakukan pada OMSK dengan
mastoiditis kronis baik tipe aman atau bahaya, antara lain: 1

1. Mastoidektomi sederhana (simple MAstoidectomy).


Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe aman yang dengan pengobatan
konservatif tidak sembuh. Dengan tindakan operasi ini dilakukan
pembersihan ruangan mastoid dari jaringan patologik. Tujuannya ialah supaya
infeksi tenang dan telinga tidak berair lagi. Pada operasi ini fungsi
pendengaran tidak diperbaiki.1
2. Mastoidektomi Radikal
Operasi ini dilakukan pada OMSK tipe bahaya dengan infeksi atau
kolesteotoma yang sudah meluas.
Pada operasi ini rongga mastoid dan kavum tympani dibersihkan dari semua
jaringan patologik dan mencegah komplikasi ke intrakranial. Fungsi
pendengaran tidak di perbaiki.

67
Kerugian operasi ini adalah pasien tidak diperbolehkan berenang seumur
hidupnya. Pasien harus dating dengan teratur untuk control, supaya tidak
terjadi infeksi kembali. Pendengaran berkurang sekali, sehingga dapat
menghambat pendidikan atau karier pasien.
Modifikasi operasi ini ialah dengan memasang tandur (graft) pada rongga
operasi serta membuat meatoplast yang lebar, sehingga rongga operasi kering
permanen, tetapi terdapat cacat anatomi, yaitu meatus telinga luar menjadi
lebar.
3. Mastoidektomi radikal dengan Modifikasi
4. Miringoplasti.
5. Timpanoplasti
Timpanoplasti adalah prosedur menghilangkan proses patologik
didalam telinga tengah dan diikuti rekontruksi system konduksi suara pada
telinga tengah.Timpanoplasti diajukan pertama kali oleh Wullstein tahun 1953
yang kemudian membagi timpanoplasti menjadi V tipe pada tahun 1956.
Tujuan dari timpanoplasti itu sendiri ialah mengembalikan fungsi
telinga tengah, mencegah infeksi berulang dan memperbaiki pendengaran.
Tujuan lainnya membersihkan semua jaringan patolgis dimana anatomi dari
meatus eksternus termasuk sulkus timpani utuh. Kavum mastoid dibuka untuk
menghindari system aerasi yang tertutup. Aerasi dapat diperoleh dengan
membersihkan penyumbatan antara kavum tympani, antrum, dan system sel
mastoid.
Indikasi timpanoplasti dilakukan pada OMSK tipe aman dengan
kerusakan yang lebih berat atau OMSK tipe aman yang tidak bias ditenangkan
dengan pengobatan medikamentosa.
Pada operasi ini selain rekontruksi membrane tympani sering kali harus
dilakukan juga rekontruksi tulang pendengaran. Sebelum rekontruksi
dikerjakan lebih dahulu dilakukan eksplorasi kavum timpani dengan atau
tanpa mastoidektomi, untuk membersihkan jaringan patologis.1
KOMPLIKASI OMSK
Otitis media supuratif, baik yang akut atau kronis mempunyai
potensi untuk menjadi serius dan menyebabkan kematian. Tendensi otitis media
mendapat komplikasi tergantung pada kelainan patologik yang menyebabkan

68
otore. Walaupun demikian organisme yang resisten dan kurang efektifnya
pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi didapatkan pada
pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut
oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat menyebabkan
komplikasi1,2.
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar pertahanan telinga
tengah yang normal dilewati, sehingga infeksi dapat menjalar ke struktur di
sekitarnya. Pertahanan pertama adalah mukosa kavum timpani, yang mampu
melokalisasi infeksi. Sawar kedua adalah dinding tulang kavum timpani dan sel
mastoid. Dinding pertahanan ketiga adalah jaringan granulasi.
Penyebaran secara hematogen dapat diketahui dengan adanya :
1. Komplikasi terjadi pada awal infeksi atau eksaserbasi akut
2. Gejala prodromal tidak jelas
3. ada operasi, didapatkan dinding tulang teling tengah utuh, dan tulang serta
lapisan muko periosteal meradang dan mudah berdarah
Penyebaran melalui erosi tulang dapat diketahui bila :
1. Komplikasi terjadi beberapa minggu atau lebih setelah awal penyakit
2. Gejala prodromal mendahului gejala infeksi
3. Pada operasi ditemukan lapisan tulang yang rusak di antara fokus supurasi
dengan struktur sekitarnya
Penyebaran melalui jalan yang sudah ada dapat diketahui bila :
1. Komplikasi terjadi pada awal penyakit
2. Serangan labirinitis atau meningitis berulang, mungkin juga dapat
ditemukan fraktur tengkorak, riwayat operasi tulang, atau riwayat otitis media
yang sudah sembuh
3. Pada operasi ditemukan jalan penjalaran sawar tulang yang bukan karena
erosi. Bila dengan pengobatan medikamentosa tidak berhasil mengurangi
gejala, seperti otorea terus terjadi, dan pada pemeriksaan otoskopik tidak
menunjukkan berkurangnya reaksi inflamasi dan pengumpulan cairan, maka
harus diwaspadai kemungkinan terjadinya komplikasi. Pada stadium akut,
yang dapat merupakan tanda bahaya antara lain; naiknya suhu tubuh, nyeri
kepala, atau adanya malaise, drowsiness, somnolen, atau gelisah. Dapat juga
timbulnya nyeri kepala di bagian parietal atau oksipital, dan adanya mual,
muntah proyektil, serita kenaikan suhu badan yang menetap selama

69
terapi, merupakan tanda komplikasi intrakranial. Pada OMSK, tanda
penyebaran penyakit dapat terjadi setelah sekret berhenti, karena
menandakan adanya sekret purulen yang terbendung.
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus
melewati 3 macam lintasan1,2 :
Dari rongga telinga tengah ke selaput otak
Menembus selaput otak.
Masuk ke jaringan otak.
Insidensi terjadinya komplikasi dari otitis media kronik dan kolesteatoma
sudah menurun sejak semakin banyaknya antibiotik pada awal abad ke 20.
Bagaimanapun, komplikasi ini dapat terus terjadi, dan bisa berakibat fatal apabila
tidak diidentifikasi dan diterapi secara tepat. Terapi dari komplikasi otitis
media kronik tidak sama dengan penanganan terhadap otitis media akut, karena
biasanya memerlukan tindakan intervensi bedah.
Otitis media kronik (OMK) dikenal sebagai infeksi atau inflamasi persisten
dari telinga tengah dan mastoid. Kondisi ini melibatkan perforasi dari
membran timpani, dengan adanya cairan yang keluar dari telinga (otorrhea) secara
intermiten atau terus-menerus. Dengan terjadinya otomastoiditis kronis dan disfungsi
dari tuba eustachius yang persisten, membran timpani melemah, yang meningkatkan
kemungkinan atelektasis telinga atau pembentukan kolesteatoma.
Kedekatan dari telinga tengah dan mastoid ke intratemporal dan
intrakranial meningkatkan risiko infeksi terjadinya komplikasi dari struktur
kompartemen yang berlokasi di sekitar daerah itu. Otitis media akut (OMA) dan
komplikasinya leboh sering terjadi pada anak kecil, sedangkan komplikasi sekunder
untuk otitis media kronis dengan atau tanpa klesteatoma lebih sering terjadi pada
anak yang lebih tua dan dewasa.
Komplikasi dari OMA dan OMK dikenal dengan menggunakan sistem
klasifikasi yang dibagi menjadi komplikasi intrakranial dan ekstrakranial.
Komplikasi ekstrakranial dibagi lagi menjadi komplikasi extratemporal dan
intratemporal. Pengembangan dan penggunaan antibiotik yang tepat dapat
menurunkan komplikasi yang merugikan. Namun, komplikasi dapat terus terjadi, dan
kewaspadaan klinis diperlukan untuk deteksi dini dan pengobatan. Selanjutnya,

70
dengan terus berkembangnya patogen yang multi drug resistant, komplikasi ini
mungkin menjadi lebih sering terjadi karena antibiotik yang ada saat ini menjadi
kurang efektif.

Komplikasi Extrakranial
1. Abses Subperiosteal
Abses subperiosteal adalah komplikasi ekstrakranial dari OMK yang paling
sering terjadi. Abses ini terjadi di korteks mastoid ketika proses infeksi dalam sel-sel
udara mastoid meluas ke ruang subperiosteal. Perluasan ini paling sering terjadi
sebagai akibat dari erosi korteks sekunder menjadi mastoiditis akut atau coalescent,
tetapi juga dapat terjadi sebagai akibat dari perluasan vaskular sekunder
menjadi phlebitis dari vena mastoid. Abses subperiosteal terlihat lebih sering
pada anak-anak muda dengan OMA, tetapi juga ditemukan pada otitis
kronis dengan dan tanpa cholesteatoma. Cholesteatoma dapat menghalangi
aditus ad antrum, mencegah terhubungnya dari isi dari mastoid yang
terinfeksi dengan ruang telinga tengah dan tuba eustachius. Obstruksi ini
meningkatkan kemungkinan dekompresi yang infeksius sampai korteks
mastoid, menyajikan klinis sebagai abses subperiosteal atau abses Bezold.
Diagnosis
Seringkali, diagnosis abses subperiosteal dibuat atas dasar klinis. Umumnya,
pasien akan datang dengan gejala sistemik, termasuk demam dan malaise, bersama
dengan tanda-tanda lokal, termasuk daun telinga yang menonjol ke arah lateral dan
inferior, dan juga terdapat daerah yang fluktuatif, eritematosa, dan nyeri di belakang
telinga. Bila diagnosis tidak pasti pada evaluasi klinis, CT scan kontras dapat
menunjukkan abses dan mungkin defek kortikal pada mastoid. Sebuah kasus
dapat dibuat untuk CT scan kontras dari tulang temporal pada semua pasien
dengan gejala-gejala ini, untuk membantu dalam perencanaan terapi dan untuk
menyingkirkan kemungkinan komplikasi lainnya. Mastoiditis tanpa abses,
limfadenopati, abses superfisial, dan kista sebasea terinfeksi adalah
kemungkinan lain yang harus disingkirkan.

2. Abses Bezold

71
Abses Bezold adalah abses cervical yang berkembang mirip dengan abses
subperiosteal secara patologi. Dengan adanya mastoiditis coalescent, jika korteks
mastoid terkena pada ujungnya, sebagai lawan dari korteks lateral, abses
akan berkembang di leher, dalam sampai sternokleidomastoid. Abses ini
dideskripsikan sebagai massa yang dalam dan lembut pada leher. Karena
abses berkembang dari sel-sel udara di ujung mastoid, ini ditemukan pada
anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa, di mana pneumatisasi dari mastoid telah
diperpanjang sampai ke ujung. Sebagian besar dari abses ini adalah hasil dari ekstensi
langsung melalui korteks, selain itu adalah dari transmisi melalui korteks utuh dengan
cara phlebitis vena mastoid. Meskipun abses Bezold adalah komplikasi dari OMA
dengan mastoiditis yang lebih sering terjadi pada anak-anak, abses ini juga dikenal
sebagai komplikasi dari OMK dengan cholesteatoma.
Diagnosis
CT scan kontras dari leher dan mastoid dianjurkan untuk membuat diagnosis
dari abses Bezold. Presentasi dari pembesaran massa yang dalam dan
lembut di leher harus dibedakan dari inflamasi limfadenopati leher, yang sulit atas
dasar klinis saja. CT scan abses Bezold yang menunjukkan abses melingkar yang
meningkat dengan peradangan di sekitarnya, dapat menunjukkan dehiscence tulang di
ujung mastoid, dan dapat membantu dalam perencanaan operasi.
Komplikasi Intratemporal
1. Fistula Labirin
Fistula labirin terus menjadi salah satu komplikasi yang paling umum dari
otitis kronis dengan cholesteatoma, dan telah dilaporkan terjadi pada sekitar 7% dari
kasus. Beberapa keadaan ini lebih mengganggu ahli bedah otologic daripada
terdapatnya sebuah labirin terbuka yang ditemukan pada saat operasi cholesteatoma.
Risiko kehilangan pendengaran sensorineural yang signifikan sebagai akibat
manipulasi bedah membuat labirin terbuka dan pengelolaannya menjadi topik yang
sangat kontroversial.
Karena lokasinya di dekat antrum, kanalis semisirkularis horizontal adalah
bagian yang paling sering terlibat dari labirin, dan menyumbang sekitar 90% dari
fistula ini. Meskipun kanal horisontal biasanya terlibat, fistula dapat terjadi di kanal
posterior dan superior, dan di koklea itu sendiri. Fistula koklea dikaitkan

72
dengan insidensi terjadinya gangguan pendengaran yang jauh lebih tinggi ditemui
dibandingkan dengan labirin fistula.
Erosi tulang dari kapsul otic dapat terjadi melalui dua proses yang
berbeda. Dengan terdapatnya cholesteatoma, mediator diaktifkan dari matriks,
atau tekanan dari cholesteatoma itu sendiri, dapat menyebabkan osteolisis dan
membuka labirin. Namun, fistula labirin dapat terjadi dari resorpsi kapsul otic karena
mediator inflamasi bila tidak ada cholesteatoma, yang biasanya terjadi pada OMK
dengan granulasi.
Salah satu alasan kontroversi dalam membahas fistula ini adalah
kurangnya sistem pembagian stadium yang dapat diterima. Beberapa sistem
telah diusulkan. Sistem diperkenalkan oleh Dornhoffer dan Milewski, sistem ini
berkaitan dengan keterlibatan labirin yang mendasarinya. Fistula dengan erosi
tulang dan endosteum utuh diklasifikasikan sebagai stadium I fistula. Jika
endosteum ini terkena, namun ruang perilymphatic tidak, fistula ini
diklasifikasikan sebagai stadium II a. Ketika perilymph ini terkena oleh penyakit atau
sengaja disedot, fistula dikategorikan sebagai stadium II b. Stadium III menunjukkan
bahwa labirin membran dan endolymph telah terganggu oleh penyakit atau intervensi
bedah.
Diagnosis
Pasien yang memiliki erosi yang signifikan dari labirin klasik ini datang
dengan vertigo subjektif dan tes fistula yang positif pada pemeriksaan. Sayangnya,
gambaran klasik tidak sensitif dalam identifikasi preoperatif fistula. Vertigo periodik
atau disekuilibrium yang signifikan ditemukan pada 62% sampai 64% dari pasien
yang memiliki fistula sebelum operasi. Tes fistula positif dalam 32% sampai 50% dari
pasien yang ditemukan memiliki fistula selama eksplorasi bedah. Meskipun
kehilangan pendengaran sensorineural ditemukan di sebagian besar pasien (68%),
itu bukan indikator yang sensitif untuk fistula.
Meskipun adanya gangguan pendengaran sensorineural, vertigo, atau tes
fistula positif pada pasien yang memiliki cholesteatoma harus meningkatkan
kecurigaan untuk fistula, tidak adanya tanda-tanda tadi tidak menjamin labirin tulang
utuh. Hal ini sebagai alasan bahwa pendekatan bedah yang bijaksana adalah dengan

73
mengasumsikan adanya fistula di setiap kasus cholesteatoma, untuk mencegah
komplikasi yang tak terduga.
Walaupun pencitraan universal untuk semua pasien yang memiliki
cholesteatoma belum standar, tinjauan literatur menunjukkan bahwa
penggunaan pencitraan CT pra operasi meningkat. Karena ketidakmampuan
untuk secara akurat mendiagnosis fistula preoperatif atas dasar klinis, peningkatan
dalam pencitraan merupakan upaya untuk meningkatkan deteksi suatu labirin, nervus
facialis , atau dura yang terkena, untuk membantu dalam perencanaan operasi.
Sayangnya, kemampuan untuk mendeteksi fistula secara akurat pada CT pra operasi
telah dilaporkan sebagai 57% sampai 60%. Dalam laporan saat ini CT scan tidak
lebih sensitif daripada anamnesis dan pemeriksaan fisik dalam mendeteksi fistula
labirin. Diagnosis definitif untuk fistula hanya dibuat intraoperatif, yang
menegaskan kembali kebutuhan untuk menangani semua kasus cholesteatoma dengan
hati-hati.
2. Mastoiditis Coalescent
Mastoiditis adalah spektrum penyakit yang harus didefinisikan dengan tepat
untuk diterapi secara memadai. Mastoiditis, didefinisikan sebagai penebalan mukosa
atau efusi mastoid, adalah umum dalam suatu otitis akut atau kronis, dan dilihat
secara rutin pada CT scan.
Mastoiditis secara klinis menyajikan postauricular eritema, nyeri, dan edema,
dengan daun telinga ke arah posterior dan inferior. Pemeriksaan lebih lanjut
diindikasikan untuk menentukan pengobatan yang paling tepat.
Diagnosis
Dengan adanya mastoiditis klinis, CT scan harus dilakukan untuk
mengevaluasi abses subperiosteal atau mastoiditis coalescent. Mastoiditis
Coalescent adalah proses akut, infeksi tulang mastoid, dengan kehilangan
karakteristik tulang trabekuler. Ini adalah komplikasi yang jarang terjadi, dan
terlihat biasanya pada anak-anak muda dengan OMA.
Klasik, mastoiditis coalescent digambarkan sebagai terjadi di mastoid
yang
terpneumatisasi pada OMA yang tidak sempurna diobati, sedangkan otitis
kronis dan cholesteatoma terjadi pada tulang temporal sklerotik. Namun, sebanyak

74
25% dari kasus mastoiditis coalescent telah dilaporkan terjadi pada tulang temporal
sklerotik dengan OMK dan cholesteatoma.
3. Facial Paralysis
Otogenic yang menyebabkan kelumpuhan saraf wajah termasuk
OMA, OMK tanpa cholesteatoma, dan cholesteatoma. Yang pertama biasanya
terjadi dengan saluran tuba pecah dalam segmen timpani, yang memungkinkan
kontak langsung mediator inflamasi dengan saraf wajah itu sendiri. OMK
dengan atau tanpa cholesteatoma dapat mengakibatkan kelumpuhan wajah
melalui keterlibatan saraf pecah, atau melalui erosi tulang. Kelumpuhan wajah
sekunder untuk OMA sering terjadi pada anak dengan paresis tidak lengkap yang
datang tiba-tiba dan biasanya singkat dengan pengobatan yang tepat.
Di sisi lain, kelumpuhan sekunder pada OMK atau cholesteatoma sering
menyebabkan kelumpuhan wajah progresif lambat dan memiliki prognosis yang lebih
buruk.
Diagnosis
Diagnosis kelumpuhan wajah otogenic dibuat atas dasar klinis. Paresis atau
kelumpuhan wajah pada OMA, OMK, atau cholesteatoma bukanlah diagnosis yang
sulit untuk dibuat hanya dengan pemeriksaan sendiri. Peran diagnostik
pencitraan CT dipertanyakan.
Meskipun CT scan tidak diperlukan, dapat berguna dalam
perencanaan terapi dan konseling pasien. Ketika cholesteatoma melibatkan
saluran tuba, juga dapat mengikis struktur seperti labirin atau tegmen.
Selanjutnya, tingkat erosi tulang dari kanal tuba dan derajat keterlibatannya lebih
dapat dinilai pada CT.

Komplikasi Intrakranial
1. Meningitis
Meningitis adalah komplikasi intrakranial yang paling umum dari OMK, dan
OMA adalah penyebab sekunder yang paling umum dari meningitis. Dalam seri
terbaru komplikasi OMK, meningitis terjadi pada sekitar 0,1% dari subyek.
Meskipun ini tetap merupakan komplikasi yang signifikan, tingkat kematian akibat
meningitis otitic telah menurun secara signifikan, dari 35% di era preantibiotic
sampai 5% di era postantibiotic. Meningitis dapat muncul dari tiga rute otogenic yang

75
berbeda: penyebaran hematogen dari meninges dan ruang subarachnoid, menyebar
dari telinga tengah atau mastoid melalui saluran yang telah terjadi (fisura Hyrtl),
atau melalui erosi tulang dan penyuluhan langsung. Dari ketiga
kemungkinan, meningitis otogenic paling umum adalah hasil dari penyebaran
hematogen.
Diagnosis
Diagnosis cepat meningitis bergantung pada pengenalan dari tanda-tanda
peringatan oleh dokter. Tanda-tanda bahwa harus meningkatkan kecurigaan
komplikasi intrakranial termasuk demam persisten atau intermiten, mual dan
muntah; iritabilitas, letargi, atau sakit kepala persisten. Tanda-tanda yang juga
membantu diagnosis proses intrakranial meliputi perubahan visual; kejang onset baru,
kaku kuduk, ataksia, atau status mental menurun. Jika ada tanda-tanda mencurigakan
itu terjadi, pengobatan segera dan pemeriksaan lebih lanjut sangat penting.
Antibiotik spektrum luas, seperti sefalosporin generasi ketiga, harus
diberikan selama tes diagnostik sedang dilakukan. CT scan atau MRI
kontras akan menunjukkan peningkatan karateristik meningeal dan
menyingkirkan komplikasi intrakranial tambahan yang dikenal terjadi pada hingga
50% dari kasus ini. Dengan tidak adanya efek massa yang signifikan pada pencitraan,
pungsi lumbal harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan memungkinkan
untuk kultur dan tes sensitivitas.
2. Abses Otak
Abses otak adalah komplikasi intrakranial kedua yang paling umum
dari otitis media setelah meningitis, tetapi mungkin yang paling mematikan.
Berbeda dengan meningitis, yang lebih sering disebabkan oleh OMA, otak abses
hampir selalu merupakan hasil dari OMK. Lobus temporal dan otak kecil yang paling
sering terkena dampaknya. Abses ini berkembang sebagai hasil dari perpanjangan
hematogen sekunder menjadi tromboflebitis di hampir semua kasus, tetapi erosi
tegmen dengan abses epidural dapat menyebabkan abses lobus temporal. Hasil kultur
dari abses ini biasanya steril, dan, bila positif, biasanya mengungkapkan flora
campur, namun Proteus yang lebih sering dikultur daripada patogen lain.
Perkembangan klinis yang terlihat pada pasien ini terjadi dalam tiga tahap. Tahap

76
pertama digambarkan sebagai tahap ensefalitis, dan termasuk gejala seperti flu yaitu
gejala demam, kekakuan, mual, perubahan status mental, sakit kepala, atau kejang.
Tahap ini diikuti oleh laten, diam atau di mana gejala akut mereda, namun kelelahan
umum dan kelesuan bertahan. Tahap ketiga dan terakhir menandai kembalinya gejala
akut, termasuk sakit kepala parah, muntah, demam, perubahan status mental,
perubahan hemodinamik dan peningkatan tekanan intrakranial. Tahap ketiga
adalah disebabkan rongga abses yang pecah atau meluas.
Diagnosis
Seperti dengan meningitis, setiap gejala yang mungkin
mengindikasikan keterlibatan intrakranial membutuhkan tindakan cepat. Dengan
adanya gejala ini, CT scan atau MRI kontras harus dipesan sementara IV antimikroba
terapi dimulai. Untuk abses otak, MRI lebih unggul. Meskipun MRI memberikan
detil yang lebih baik mengenai abses sendiri, CT scan memberikan informasi
berharga tentang erosi tulang mastoid, dan dapat membantu dalam
menentukan penyebab abses dan pilihan pengobatan yang paling tepat. Pencitraan
itu sendiri adalah diagnostik abses parenkim yang signifikan, dan evaluasi
menyeluruh dari pencitraan diperlukan untuk menyingkirkan komplikasi
intrakranial secara bersamaan, atau bukti tekanan intrakranial meningkat.
3. Trombosis Sinus Lateral
Sinus sigmoid atau trombosis sinus lateralis merupakan komplikasi yang
terkenal dari otitis media dimana tercatat 17% sampai 19% kasus dari
komplikasi intrakranial. Kedekatan dari telinga tengah dan sel udara mastoid ke
sinus vena dural memudahkan mereka untuk menjadi trombosis dan
tromboflebitis sekunder terhadap infeksi dan peradangan di telinga tengah dan
mastoid. Keterlibatan sinus sigmoid atau lateral dapat hasil dari erosi tulang
sekunder untuk OMK dan cholesteatoma, dengan perpanjangan langsung dari
proses menular ke ruang perisinus, atau dari penyebaran ruang dari
tromboflebitis vena mastoid. Setelah sinus telah terlibat, dan trombus
intramural berkembang, dapat menghasilkan sejumlah komplikasi yang serius.
Hidrosefalus Otitic dikenal untuk mempersulit sejumlah besar kasus ini.
Bekuan yang terinfeksi dapat menyebar ke arah proximal melibatkan

77
pertemuan sinus (torcular herophili) dan sinus sagital, menyebabkan hidrosefalus
yang mengancam jiwa, atau menyebar ke arah distal untuk melibatkan vena jugularis
interna. Keterlibatan vena jugularis interna meningkatkan risiko emboli paru septik.
Diagnosis
Presentasi klasik dari trombosis sinus sigmoid atau lateral adalah adanya
demam tinggi yang tajam dalam pola "picket fence", sering terlihat dengan sakit
kepala dan malaise umum. Seperti banyak komplikasi ini, tingkat kecurigaan yang
tinggi diperlukan karena demam spiking mungkin tumpul oleh penggunaan antibiotik
bersamaan. Dengan adanya demam tinggi spiking, atau kepedulian untuk tekanan
intrakranial meningkat, CT scan harus dikontraskan dilakukan untuk melihat
tromboflebitis. Dinding sinus akan lebih cerah dengan kontras dan menghasilkan
tanda delta karakteristik yang berkaitan dengan trombosis sinus. Dengan
adanya trombosis sinus signifikan, sebuah Venogram resonansi magnetik MRI
dijamin, karena mereka dapat digunakan serial untuk mengevaluasi
propagasi gumpalan atau resolusi.
4. Abses Epidural
Adanya abses epidural sering dapat membahayakan dalam
perkembangan. Abses ini berkembang sebagai hasil dari penghancuran tulang
dari cholesteatoma atau dari mastoiditis coalescent. Tanda-tanda dan gejala tidak
berbeda secara signifikan dari yang ditemukan dalam OMK. Kadang-kadang, iritasi
dural dapat mengakibatkan peningkatan otalgia atau sakit kepala yang berfungsi
sebagai tanda menyangkut di latar belakang OMK.
Karena komplikasi ini tidak begitu jelas dalam presentasi klinis,
sehingga sering ditemukan secara kebetulan pada saat operasi cholesteatoma atau
CT scan untuk keperluan lain.
Diagnosis
Tidak seperti komplikasi intrakranial lainnya, tidak ada gejala yang sensitif
atau spesifik sugestif dari proses penyakit ini. Kecurigaan klinis yang tinggi
diperlukan untuk mendiagnosis abses epidural sebelum operasi. Kehadiran
otalgia meningkat atau sakit kepala sebaiknya meningkatkan kecurigaan untuk
komplikasi intrakranial. CT scan atau MRI kontras cukup untuk mendiagnosis abses

78
ini. Bahkan dengan evaluasi yang cermat, diagnosis ini sering dibuat pada saat
operasi.
5. Otitic Hydrocephalus
Otitic hidrosefalus digambarkan sebagai tanda-tanda dan gejala menunjukkan
peningkatan tekanan intrakranial dengan LCS yang normal pada pungsi
lumbal, yang dapat hadir sebagai komplikasi dari OMA, OMK, atau operasi
otologic. "Hidrosefalus Otitic" sampai sekarang belum dipahami seluruhnya, begitu
juga dari sisi patofisiologi Ini adalah sebuah ironi karena kondisi ini dapat ditemukan
tanpa otitis, dan pasien tidak memiliki ventrikel yang melebar menunjukkan tanda
hidrosefalus. Symonds, yang menciptakan istilah otitic hidrosefalus, merasa bahwa
kondisi ini dikembangkan dari infeksi sinus (transversal) lateral, dengan
perluasan thrombophlebitis ke pertemuan sinus untuk melibatkan sinus sagital
superior. Peradangan atau infeksi dari sinus sagital superior mencegah penyerapan
LCS melalui vili arachnoid, sehingga tekanan intrakranial meningkat. Hal ini
biasanya terjadi tromboflebitis menular sebagai akibat dari infeksi otologic, tetapi
beberapa kasus juga terdapat pada kasus tanpa operasi otologic atau otitis.
Selanjutnya, meskipun trombosis sinus lateral biasanya ditemukan pada hidrosefalus
otitic, kasus telah dilaporkan tanpa trombosis sinus dural.
Diagnosis
Diagnosis hidrosefalus otitic membutuhkan tingkat kecurigaan yang
tinggi untuk mengenali gejala sugestif. Gejala-gejala yang ditemukan pada pasien
ini adalah akibat dari tekanan intrakranial yang meningkat dan menyebar termasuk
sakit kepala, mual, muntah, perubahan visual, dan kelesuan. Kehadiran gejala
ini memerlukan pemeriksaan menyeluruh dan pencitraan. Pemeriksaan
fundoscopic harus dilakukan untuk mengevaluasi papilledema sebagai bukti tekanan
intrakranial meningkat. MRI dan MRV harus dilakukan untuk mengevaluasi untuk
pembesaran ventrikel, atau komplikasi intrakranial yang lain, seperti trombosis sinus
yang signifikan dengan obstruksi. Peningkatan tekanan intrakranial dengan gejala
klinis dan papilledema tanpa adanya dilatasi ventrikel atau meningitis sudah cukup
untuk membuat diagnosis ini. MRV akan mengkonfirmasi keberadaan dan tingkat

79
trombosis sinus dural, tetapi tidak diperlukan untuk membuat diagnosis hidrosefalus
otitic.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaafar ZA. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed.
Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi kelima.
Jakarta: FKUI, 2001. h. 49-62
2. Adams FL, Boies LR, Higler PA. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta;
Balai Penerbit FKUI; 1997
3. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam:
Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung
tenggorok kepala leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 63-73
4. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan
mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES buku ajar penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997: 88-118
5. Berman S. Otitis media in developing countries. Pediatrics. July 2006.
Available from URL: http://www.pediatrics.org/
6. Thapa N, Shirastav RP. Intrakranial complication of chronic suppuratif otitis
media, attico-antral type: experience at TUTH. J Neuroscience. 2004; 1: 36-39
Available from URL: http://www.jneuro.org/
7. Couzos S, Lea T, Mueller R, Murray R, Culbong M. Effectiveness of
ototopical antibiotics for chronic suppurative otitis media in
Aboriginal children: a community-based, multicentre, double-blind
randomised controlled trial. Medical Journal of Australia. 2003. Available
from URL: http://www.mja.com.au/
8. Dugdale AE. Management of chronic suppurative otitis media. Medical
Journal of Australia. 2004. Available from URL: http://www.mja.com.au/
9. Miura MS, Krumennauer RC, Neto JFL. Intrakranial complication of
chronic suppuratif otitis media in children. Brazillian Journal of
Otorhinolaringology. 2005. Available from URL: http://www.rborl.org.br/
Vesterager V. Fortnightly review: tinnitusinvestigation and management. BMJ.
1997. available from URL: http://www.bmj.org/

80

Anda mungkin juga menyukai