Anda di halaman 1dari 5

TUGAS HUKUM LINGKUNGAN

KASUS TELUK BUYAT ANTARA PT NMR DENGAN PEMERINTAH


INDONESIA

Disusun Oleh:
Nama : Maharani Rindu Widara
NIM : 212170007

MAGISTER TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
YOGYAKARTA
2017
SENGKETA LINGKUNGAN PEMERINTAH vs PT NMR di PN Jaksel

Pemerintah (KLH) menggugat ganti kerugian materiil sebesar US $ 117,68 juta


dan imateriil Rp 150 milia, karena PT NMR dinilai melanggar pasar 35 UUPLH
(UU No.23/1997) dengan menerapkan strict liability.

Eksepepsi tergugat: segala sengketa yang timbul antara NMR dan PEMERINTAH
Indonesia seharusnya diselesaikan menurut ketentuan dalam kontrak karya yang
telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Dalam pasal 21 kontrak disebutkan
bahwa segala sengketa antar kedua belah pihak diselesaikan di arbitrase
internasional yang dalam hal ini united nation commision on international trade
law (UNCITRAL)

Pertimbangan hukum hakim: majelis berpendapat sebagai salah satu piha dalam
kontrak karya, pemerintah Indonesia sudah sepatutnya tunduk pada kontrak karya
termasuk dalam hal penyelesaian sengketa.

Putusan hakim: PN Jakarta selatan tida berwenang untuk memeriksa perkara ini.

Tanggapan:
Langkah MA untuk menutup kasus ini adalah tindakan yang tepat dan adil karena
tidak tepat jika PT NMR dituntut dengan Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 yang
tidak memberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa PT NMR tidak
bersalah. Dan Pengadilan Indonesia pun tidak berhak untuk menyelesaikan kasus
ini karena sebelumnya telah ada kesepakatan untuk menunjuk UNCITRAL
sebagai pilihan forum penyelesaian sengketa. Seharusnya masalah ini diselesaikan
dengan mengacu kepada Kontrak Karya yang telah dibuat sebelumnya dan
masalah tersebut diselesaikan oleh pihak yang telah ditunjuk yaitu UNCITRAL.

Tuduhan warga Teluk Buyat dan LSM menuntut PT NMR dengan Pasal 88 UU
No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) yang berbunyi Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi
tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Dalam Pasal 88 UU PPLH ini
disebutkan secara tegas mengenai konsep strict liability.

Penjelasan pasal ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan bertanggung jawab
mutlak atau strict liability yaitu unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh
pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan dalam pasal ini
dijelaskan merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar
hukum pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan
terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat
ditetapkan sampai batas tertentu. Yang dimaksud dengan sampai batas waktu
tertentu adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan
ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Namun pada kenyataannya, penerapan konsep ini di Indonesia memang tidak


mudah. Sebagaimana diberitakan, Hakim Agung pada Mahkamah Agung
mengatakan antara lain bahwa selama ini belum ada kasus yang dibawa
penggugat ke pengadilan untuk menuntut strict liability. Oleh karena itu, konsep
strict liability belum pernah diterapkan di Indonesia karena memang belum ada
perkaranya di pengadilan. Di sisi lain, peneliti hukum lingkungan dari Indonesia
Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan bahwa sebenarnya ada
beberapa kasus kerusakan lingkungan di mana konsep strict liability dapat
diterapkan. Sehingga gugatan strict liability masih rancu di Indonesia.

Pada persidangan, Presiden Direktur PT NMR Richard B. Ness memberi


kesaksian yang secara kategoris menyangkal semua dakwaan Jaksa Penuntut
Umum (JPU) atas pencemaran lingkungan Teluk Buyat. Richard Ness bersaksi
dalam kapasitas sebagai Presiden Direktur mewakili NMR Terdakwa I dan pribadi
sebagai Terdakwa II. Ia menyatakan seluruh kegiatan penambangan PT NMR
dilakukan sesuai aturan dan terbuka serta disetujui pemerintah karena itu
merupakan syarat kontrak karya.

Pada akhirnya PT NMR mengajukan keberatan karena tuntutan LSM dengan


Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 dianggap tidak tepat. Keberatan yang diajukan
PT NMR dikabulkan Hakim karena Hakim merujuk Pasal 21 yang menyebutkan
bila ada masalah mengenai sengketa Kontrak Karya antara Pemerintah Indonesia
dan PT NMR, hal ini diselesaikan melalui badan arbitrase. Penyelesaian sengketa
melalui arbitrase memang diatur dalam Kontrak Karya yang ditanda tangani oleh
Pemerintah Indonesia dan PT NMR. Mengacu pada klausul arbitrase yang sudah
dinotifikasi, kedua belah pihak telah menunjuk United Nation Commision on
International Trade Law (UNCITRAL) sebagai pilihan forum penyelesaian
sengketa. Sekalipun ada sengketa hukum publik, tahapan yang harus diselesaikan
harus berdasarkan kesepakatan yang dibuat terlebih dahulu dalam kontrak karya.

Setelah melalui berpuluh-puluh sidang dan beberapa tahun untuk menyelesaikan


kasus ini, akhirnya pada tanggal 12 Februari 2013, PT NMR menerima surat
putusan dari Pengadilan bahwa Mahkamah Agung (MA) Menutup Kasus Buyat
dan Menyatakan PT NMR tidak melakukan seperti yang dituduhkan.

Penegakan hukum lingkungan merupakan proses, tegak, berfungsinya dan


ketaatan terhadap norma hukum lingkungan. Penegakan hukum tersebut, meliputi
keseluruhan sistem hukum menyangkut materi hukum, struktur hukum dan
budaya hukum yang dilakukan secara administratif, perdata dan pidana.

Penyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar


pengadilan. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yaitu melalui proses
perdata dan pidana. Sedangkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan
dilakukan melalui arbitrase dan musyawarah yaitu negosiasi, mediasi, dan
konsiliasi sesuai pilihan hukum berupa kesepakatan dan bersifat pacta sunt
servanda bagi para pihak.

KLH melakukan gugatan perdata terhadap NMR dengan tuntuan ganti rugi
materiel sebesar USD 117,680,000 (e.q.Rp 1,058 triliun) dan immaterial sebesar
Rp 150 miliar. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang atas gugatan
perdata, sehingga penyelesaian sengketa dilakukan melalui musyawarah.

Hasil penyelesaian sengketa secara musyawarah yaitu Kesepakatan Itikad Baik


(Goodwill Agreement) ditandatangani pada tanggal 16 Februari 2006 antara
Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat dan PT Newmont Minahasa Raya. Kesepakatan tersebut
menyangkut program pemantauan lingkungan ilmiah selama 10 tahun, inisiatif
pembangunan berkelanjutan, pendanaan program sebesar USD 30 juta, jaminan
perusahaan (corporate guarantee) dari PT Newmont Minning Guarantee dan
pemerintah akan menarik gugatan banding kasus perdata.

Dalam rangka mempercepat proses rehabilitasi lingkungan, penerapan asas strict


liability dapat diterapkan dalam meminta pertanggungjawaban korporasi atas
ganti rugi pencemaran lingkungan tanpa terlebih dahulu membuktikan apakah
korporasi tersebut bersalah. Saat ini peraturan pelaksana asas strict liability
tersebut belum di atur, maka terhadap kerugian yang disebabkan oleh suatu badan
usaha kepada pihak lain dapat diterapkan Pasal 1365 KUH-Perdata.

Dapat disimpulkan bahwa upaya hukum yang dilakukan pemerintah adalah


gugatan perdata, penyelesaian sengketa secara musyarawah dan asas strict
liability dapat diterapkan dalam penyelesaian sengketa lingkungan

Anda mungkin juga menyukai