1. Faktor Ekonomi, faktor ini merupakan faktor terbesar terjadinya masalah sosial.
Apalagi setelah terjadinya krisis global PHK mulai terjadi di mana-mana dan bisa
memicu tindak kriminal karena orang sudah sulit mencari pekerjaan,diantaranya
kriminal itu sering terjadi penjambretan dan perampokan.
Pencurian dan perampokan merupakan salah satu masalah sosial yang dihadapi
masyarakat. Jika terjadi pencurian atau perampokan, masyarakat akan resah dan takut.
Masyarakat tidak merasa aman. Itulah sebabnya mengapa pencurian atau perampokan
digolongkan sebagai salah satu masalah sosial. Masalah sosial menuntut suatu
penyelesaian. Jika tidak dipecahkan atau diselesaikan, masyarakat akan resah, takut
dan merasa tidak aman. Setiap hari kita berhadapan dengan masalah. Contohnya, lupa
mengerjakan PR, terjebak kemacetan, sakit, dijauhi teman-teman, dimarahi orang tua,
dan sebagainya. Masalah apa yang sering kamu hadapi? Ada masalah pribadi
(individu) dan ada juga masalah sosial. Masalah
pribadi adalah masalah-masalah yang dialami dan dihadapi oleh manusia sebagai
individu (pribadi). Ketika kamu lupa mengerjakan PR, dimarahi orang tua, dijauhi
teman-taman, dan sakit kamu sedang menghadapi masalah pribadi. Orang lain tidak
akan dirugikan oleh masalah kamu ini. Lalu apa masalah sosial? Apa bedanya dengan
masalah pribadi? Kamu tahu bahwa manusia adalah mahkluk sosial. Manusia tidak bisa
hidup seorang diri. Sejak bayi sampai tua manusia membutuhkan orang lain. Untuk bisa
makan, berbicara, berjalan, membaca, dan menulis kita diajari orang lain. Ini artinya
manusia selalu hidup bersama atau dalam masyarakat.
Suatu hal atau kejadian disebut sebagai masalah sosial jika semua warga masyarakat
lain ikut merasakan pengaruh masalah tersebut. Kembali ke contoh pencurian yang
terjadi di sekitar kita . Peristiwa pencurian itu merupakan masalah sosial,yang
meresahkan masyarakat.
Masalah pribadi bisa dipecahkan sendiri oleh orang bersangkutan. Tidak demikian
halnya dengan masalah sosial. Masalah sosial harus dipecahkan atau diatasi secara
bersama-sama. Seorang warga tidak bisa menyelesaikan seorang diri ketika di
lingkungannya sering terjadi kasus pencurian. Masalah ini hanya bisa diselesaikan
bersama-sama semua warga masyarakat. Setiap warga harus mendukung upaya
penyelesaian tersebut. Turut ronda malam di lingkungan merupakan contoh keterlibatan
warga dalam mengatasi masalah sosial
1. Masalah Sosial Kemiskinan :
Tulisan ini mencoba untuk memberikan penjelasan tentang latar belakang terjadinya
kemisikinan di Indonesia secara umum dan kota Jakarta secara khususnya, dan upaya
untuk mengatasi kemiskinan di perkotaan sekaligus pula untuk meningkatkan kualitas
lingkungan permukiman masyarakat miskin.
Pendekatan konvensional yang paling popular dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah adalah menggusur pemukiman kumuh dan kemudian diganti oleh
kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih bermartabat. Cara seperti ini yang
sering disebut pula sebagai peremajaan kota bukanlah cara yang berkelanjutan untuk
menghilangkan kemiskinan dari perkotaan.
Kemiskinan dan kualitas lingkungan yang rendah adalah hal yang mesti dihilangkan
tetapi tidak dengan menggusur masyarakat yang telah bermukim lama di lokasi
tersebut. Menggusur secara paksa adalah hanya sekedar memindahkan kemiskinan
dari lokasi lama ke lokasi baru dan kemiskinan tidak akan pernah berkurang. Bagi
orang yang tergusur malahan penggusuran ini akan semakin menyulitkan kehidupan
mereka karena mereka mesti beradaptasi dengan lokasi pemukimannya yang baru dan
penggusuran secara paksa bahkan sampai dengan adanya unsure anarkisme itu
adalah melanggar hak asasi manusia yang paling hakiki dan harus dihormati bersama.
Di Amerika Serikat, pendekatan peremajaan kota sering digunakan pada tahun 1950
dan 1960-an.2Pada saat itu pemukiman-pemukiman masyarakat miskin di pusat kota
digusur dan diganti dengan kegiatan perkotaan lainnya yang dianggap lebih baik.
Peremajaan kota ini menciptakan kondisi fisik perkotaan yang lebih baik tetapi sarat
dengan masalah sosial. Kemiskinan hanya berpindah saja dan masyarakat miskin yang
tergusur semakin sulit untuk keluar dari kemiskinan karena akses mereka terhadap
pekerjaan semakin sulit.
Peremajaan kota yang dilakukan pada saat itu sering kali disesali oleh para ahli
perkotaan saat ini karena menyebabkan timbulnya masalah sosial seperti kemiskinan
perkotaan yang semakin akut, gelandangan dan kriminalitas. Menyadari kesalahan
yang dilakukan masa lalu, pada awal tahun 1990-an kota-kota di Amerika Serikat lebih
banyak melibatkan masyarakat miskin dalam pembangunan perkotaannya dan tidak
lagi menggusur mereka untuk menghilangkan kemiskinan di perkotaan.
Kalau diIndonesia, paling sedikit kami menemukan dua masyarakat miskin di Jakarta
yang melakukan aktivitas hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan sembari
menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat miskin. Seperti dapat ditemui di
Indonesias Urban Studies, masyarakat di Penjaringan, Jakarta Utara dan masyarakat
kampung Toplang di Jakarta Barat mereka mengelola sampah untuk dijadikan kompos
dan memilah sampah nonorganik untuk dijual.
Aktivitas hijau di Penjaringan, Jakarta Utara dilakukan melalui program Lingkungan
Sehat Masyarakat Mandiri yang diprakarsai oleh Mercy Corps Indonesia. Masyarakat
miskin di Penjaringan terlibat aktif tanpa terlalu banyak intervensi dari Mercy Corps
Indonesia. Program berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan kualitas lingkungan
kumuh di Penjaringan. Masyarakat di Penjaringan sangat antusias untuk melakukan
kegiatan ini dan mereka yakin untu mampu mendaurlang sampah di lingkungannya dan
menjadikannya sebagai lapangan pekerjaan yang juga akan berkontribusi untuk
mengentaskan kemiskinan di lingkungannya.
Cara untuk mengatasi kemiskinan dan rendahnya kualitas lingkungan permukiman
masyarakat miskin adalah tidak dengan menggusurnya. Penggusuran hanyalah
menciptakan masalah sosial perkotaan yang semakin akut dan pelik. Penggusuran atau
sering diistilahkan sebagai peremajaan kota adalah cara yang tidak berkelanjutan
dalam mengatasi kemiskinan.
Aktivitas hijau3seperti yang dilakukan oleh masyarakat Penjaringan dan Kampung
Toplang merupakan bukti kuat bahwa masyarakat miskin mampu meningkatkan
kualitas lingkungan permukiman dan juga mengentaskan kemiskinan. Masyarakat
miskin adalah salah satu komponen dalam komunitas perkotaan yang mesti
diberdayakan dan bukannya untuk digusur. Solusi yang berkelanjutan untuk mengatasi
kemiskinan dan pemukiman kumuh di perkotaan adalah pemberdayaan masyarakat
miskin dan bukanlah penggusuran.
Lain lagi kemiskinan yang terjadi di masyarakat Flores, bagi masyarakat Flores
kemiskinan merupakan sebuah fakta. Ini muncul dalam berbagai aspek dan bentuk
kehidupan masyarakat sehingga menjadi sebuah persoalan yang pelik dan serius.
Menyoal kemiskinan, lantas membedahnya dan menemukan solusi pengentasannya
bagai mengurai benang kusut yang sangat rumit untuk diselesaikan.
Secara alamiah daerah Flores termasuk daerah yang gersang dan tandus. Hal ini
tidak dapat dipungkiri karena fakta membuktikan curah hujan yang rendah dan musim
panas yang panjang. Problem alamiah ini diperparah dengan keadaan geografis Flores
yang tergolong rentan akan bencana alam. Berangkat dari latar belakang ini,
sebetulnya keadaan sosial-ekonomi masyarakat Flores sudah bisa diukur. Hampir
sebagian besar masyarakat Flores bertani secara musiman, dan amat tergantung pada
hasil pertanian jangka panjang. Sementara yang menetap di pesisir pantai
menggantungkan hidupnya pada hasil tangkapan laut. Dari sini dapat diukur
kemampuan ekonomi rata-ratanya, bahwa pendapatan perkapita sangat rendah dan
masih terbilang berada di bawah garis kemiskinan.
Mempersoalkan kemiskinan Flores dari latar belakang geografis dan juga topografis
masih terbilang wajar, dan itu tidak terelakkan. Lantas, untuk mengelak dari keadaan
yang demikian, separuh kaum muda baik laki-laki maupun perempuan.
2.Faktor Budaya, Kenakalan remaja menjadi masalah sosial yang sampai saat ini sulit
dihilangkan karena remaja sekarang suka mencoba hal-hal baru yang berdampak
negatif seperti narkoba, padahal remaja adalah aset terbesar suatu bangsa merekalah
yang meneruskan perjuangan yang telah dibangun sejak dahulu.
2 Masalah Sosial Pendidikan :
Dari satu siaran press Institut Pertanian Bogor (IPB) yang saya baca waktu itu,
Profesor Maman Djauhari (dosen Mathematika, Intitut Teknologi Bandung) mengatakan
dalam salah satu konferensi internasional di IPB bahwa dari sekitar 2500 perguruan
tinggi di Indonesia hanya ada 8 perguruan tinggi yang memiliki Jurusan atau
Departemen Statistika. Wouw, kurang dari satu persen. Mungkinkah ini salah satu
penyebab lemahnya penelitian di Indonesia?
Sebenarnya apa sih yang terjadi, dan mengapa sampai jurusan statistika kurang
diminati? Bagaimana dampak kekurangan minat pada bidang statistik ini dalam
kehidupan masyarakat? Semua itu muncul dalam benak saya sehabis membaca
informasi dalam siaran press itu.
Teringat pada waktu kuliah dulu, ada seorang mahasiswa yang tidak naik kelas di
tahun kedua. Orang tua sang mahasiswa menulis surat ke Rektor IPB yang dibacakan
oleh beliau di depan kelas. Surat itu pada dasarnya mempertanyakan mengenai
anaknya. Katanya anak saya itu pandai, kenapa dia tidak naik kelas? Kan Statistik
kerjanya hanya menghitung angka, masak anak saya nggak mampu berhitung.
Masalah ini ditanggapi cukup serius waktu itu, karena untuk meluruskan pandangan
orang tentang Statistik.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa pelajaran Statistik adalah momok bagi mahasiswa.
Tidak hanya di Indonesia di Amerika pun sama saja, sehingga banyak yang
menghindar untuk mengambil matakuliah Statistik kalau memungkinkan. Hal ini bukan
karena tingkat kesulitan dari mata pelajaran Statistik itu sendiri tetapi image yang
berkembang sebelumnya sudah menakutkan. Pada waktu saya mengambil matakuliah
Statistics Theory, waktu pelajaran kepala 4000 an (untuk Undergraduate Senior, dan
Master) masih sekitar 15 orang per kelas mahasiswanya. Kelas 5000 an (untuk Master
dan PhD) turun menjadi sekitar 10, dan kelas 6000 an (khusus untuk PhD) hanya
tinggal 3 orang. Siapa yang mau mengambil kelas yang isinya hanya tiga orang, belum
lagi kalau dosennya galak? Tentunya kelas ini diambil hanya karena diwajibkan. Untuk
kelas-kelas Statistik Terapan jumlah mahasiswanya memang sangat bervariasi karena
ada semacam keharusan bagi mahasiswa PhD Program di hampir semua jurusan untuk
mengambil kelas Statistik Terapan. Kelas-kelas teori biasanya didominasi oleh
mahasiswa yang berasal dari Asia. Terlihat sekali memang kalau orang-orang Amerika
sendiri agak kurang berminat pada jurusan ini. Jangan tanya bagaimana saya bisa
menarik inference seperti ini karena saya tidak bisa membuktikannya secara empirik.
Ilmu Statistik itu muncul sebenarnya karena kita semua punya keterbatasan.
Keterbatasan dalam arti waktu, biaya, sumber daya manusia dll. Selain itu kalaupun kita
tidak mempunyai keterbatasan dan bisa melakukan sensus, ada populasi tertentu yang
hampir tidak mungkin kita hitung rata-ratanya. Contohnya, bagaimana kita menghitung
rata-rata usia orang Indonesia secara tepat. Setiap menit ada yang lahir dan ada yang
meninggal, setiap hari ada yang keluar dan ada yang masuk ke Indonesia, ada pula
yang tidak mau dirinya dihitung dst. Jadi hampir tidak mungkin kita bisa menghitung
rata-rata usia orang Indonesia secara tepat. Disinilah perlunya statistik. Istilah-istilah
seperti sample, survey, standard error misalnya, semuanya memperlihatkan bagaimana
dengan keterbatasan yang ada kita bisa melakukan inferenceinference yang tepat pula.
Bagaimana memilih alat ini adalah suatu seni. yang mendekati kebenaran. Jadi kalau
dilihat statistik adalah suatu alat yang kalau digunakan untuk situasi yang tepat akan
menghasilkan
Mungkin ada contoh menarik yang sangat popular di sini, sewaktu ada mahasisiwa
yang mau meneliti mengenai kebiasaan minum minuman keras dari kalangan
mahasiswa secara umum. Mahasiswa tersebut lalu mengambil samplenya di pintu
library kampus Community College di malam hari. Dia mengambil sample setiap orang
yang keluar dari library pada malam itu. Hasilnya bisa di duga akan sangat bias karena
sample yang diambil hanya dari pengunjung Community College Library, tidak
memasukkan mahasiswa dari regular 4 years College. Karena penelitian dilakukan di
malam hari, kemungkinan besar mahasiswanya berusia lebih tua dari rata-rata
mahasiswa regular dan biasanya sudah mempunyai pekerjaan tetap. Dan yang paling
penting secara umum mahasiswa yang ke library pada malam hari kecil
kemungkinannya adalah juga peminum yang kuat. Jadi bisa diduga kesimpulan dari
survey ini sangat bias karena sample yang diambil tidak representatif.
Kelemahan di bidang penelitian di Indonesia terlihat pada saat pemerintah ribut
masalah penemuan padi yang sekali tanam bisa panen tiga kali. Biasanya setelah
panen sawah dibersihkan, diolah lagi dan untuk musim tanam berikutnya ditanam bibit
yang baru. Dalam hal padi yang di temukan ini setelah panen, sawah dibiarkan
sehingga bibit baru tumbuh dari bekas panen sebelumnya. Tujuannya agar petani tidak
perlu membeli bibit lagi. Sebelum di lempar ke masyarakat harusnya pemerintah tahu
kalau sifat penelitian seperti itu adalah repeatable, dalam arti kalau diulang dalam
kondisi yang sama akan mengeluarkan hasil yang sama. Ternyata setelah dipasarkan,
ditanam oleh petani didaerah lain gagal menghasilkan hasil yang sama dengan yang
dijanjikan. Terlihat bahwa pemerintah tidak terlalu perduli dengan statistik. Jika perduli
tentunya sebelum benih dari padi ini dilempar ke masyarakat, mereka akan melakukan
penelitian kembali dengan kondisi yang berbeda, lokasi yang berbeda dst. Dan apakah
akan memberikan hasil yang sama? Untuk hal ini alangkah baiknya melibatkan orang
yang mengetahui lebih dalam tentang experimental design sehingga design
penelitiannya lebih baik dan hasilnya lebih meyakinkan.
Banyak yang bisa dilakukan kalau kita familiar dengan statistik. Yang paling penting
adalah kita bisa menjadi lebih berhati-hati kalau membaca kesimpulan dari suatu
penelitian. Misalnya pada waktu UUP akan di undangkan, ada salah satu badan yang
mengadakan jajak pendapat (maaf, lupa nama badannya). Kesimpulan yang di peroleh
adalah sebagian besar masyarakat Indonesia menyetujui RUUP ini. Begitu membaca,
pertanyaan yang muncul tentunya adalah bagaimana jajak pendapat (opinion polls) ini
dilakukan. Lalu apakah sample yang diambil sudah representatif, lalu berapa besar
sample-nya dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan. Coba misalnya kita
ganti lokasi samplenya dengan sample yang berasal dari daerah Bali atau Papua,
apakah kesimpulannya akan tetap sama? Terlihat bahwa betapa berbahayanya kalau
salah menyimpulkan, dan kesimpulan itu digunakan untuk kebijaksanaan pemerintah.
Contoh lain dalam bidang pemasaran yang pernah saya temui adalah ada perusahaan
yang hampir bangkrut karena kesalahan dalam pengambilan keputusan. Hasil survey
yang diperoleh perusahaan itu mengatakan kalau permintaan bahan bangunan tertentu
sedang tinggi. Perusahaan tersebut lalu mengimpor bahan-bahan bangunan tersebut
sebanyak-banyaknya, yang ternyata tidak laku terjual. Ternyata survey tersebut tidak
valid sehingga kesimpulannya salah.
Ini sekedar beberapa contoh, yang mengungkapkan minat dan pengamatan saya
pada bidang kesukaan saya ini. Semakin saya mengutak-atik terutama aplikasinya,
terasa Statistik semakin menarik. Mudah-mudahan suatu saat statistik tidak lagi merana
karena selalu dilihat sebagai sesuatu yang menakutkan, dan besar harapan saya,
semoga pengambilan keputusan baik di perusahaan maupun pemerintahan akan
semakin baik dengan penguasaan statistik yang memadai.
Bahwa sejak manusia mulai hidup bermasyarakat, maka sejak saat itu sebuah gejala
yang disebut masalah sosial berkutat didalamnya. Sebagaimana diketahui, dalam
realitas sosial memang tidak pernah dijumpai suatu kondisi masyarakat yang ideal.
Dalam pengertian tidak pernah dijumpai kondisi yang menggambarkan bahwa seluruh
kebutuhan setiap warga masyarakat terpenuhi, seluruh prilaku kehidupan sosial sesuai
harapan atau seluruh warga masyarakat dan komponen sistem sosial mampu
menyesuaikan dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Dengan kata lain das sein
selalu tidak sesuai das sollen.
Pada jalur yang searah, sejak tumbuhnya ilmu pengetahuan sosial yang mempunyai
obyek studi kehidupan masyarakat, maka sejak itu pula studi masalah sosial mulai
dilakukan. Dari masa ke masa para sosiolog mengumpulkan dan mengkomparasikan
hasil studi melalui beragam perspektif dan fokus perhatian yang berbeda-beda, hingga
pada akhirnya semakin memperlebar jalan untuk memperoleh pandangan yang
komprehensif serta wawasan yang luas dalam memahami dan menjelaskan fenomena
sosial.
Buku ini hadir dengan fokus studi masalah sosial yang sekaligus memuat referensi dan
rekomendasi bagi tindakan untuk melakukan penanganan masalah. Di negara-negara
berkembang, tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan dalam rangka
penanganan masalah sosial menjadi perhatian yang sangat serius demi kelangsungan
serta kemajuan bangsanya menuju cita-cita kemakmuran dan kesejahteraan. Terkait
hal itu, pembahasan mengenai berbagai perspektif sosial, identifikasi melalui
serangkaian unit analisis serta pemecahan masalah yang berbasis negara dan
masyarakat menjadi tema-tema yang diulas secara teoritis dalam buku ini.
Sumber Masalah
Masalah sosial menemui pengertiaannya sebagai sebuah kondisi yang tidak diharapkan
dan dianggap dapat merugikan kehidupan sosial serta bertentangan dengan standar
sosial yang telah disepakati. Keberadaan masalah sosial ditengah kehidupan
masyarakat dapat diketahui secara cermat melalui beberapa proses dan tahapan
analitis, yang salah satunya berupa tahapan diagnosis. Dalam mendiagnosis masalah
sosial diperlukan sebuah pendekatan sebagai perangkat untuk membaca aspek
masalah secara konseptual. Eitzen membedakan adanya dua pendekatan yaitu person
blame approach dan system blame approach (hlm. 153).
Person blame approach merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah sosial
pada level individu. Diagnosis masalah menempatkan individu sebagai unit analisanya.
Sumber masalah sosial dilihat dari faktor-faktor yang melekat pada individu yang
menyandang masalah. Melalui diagnosis tersebut lantas bisa ditemukan faktor
penyebabnya yang mungkin berasal dari kondisi fisik, psikis maupun proses
sosialisasinya.
Sedang pendekatan kedua system blame approach merupakan unit analisis untuk
memahami sumber masalah pada level sistem. Pendekatan ini mempunyai asumsi
bahwa sistem dan struktur sosial lebih dominan dalam kehidupan bermasyarakat.
Individu sebagai warga masyarakat tunduk dan dikontrol oleh sistem. Selaras dengan
itu, masalah sosial terjadi oleh karena sistem yang berlaku didalamnya kurang mampu
dalam mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, termasuk penyesuaian antar
komponen dan unsur dalam sistem itu sendiri.
Dari kedua pendekatan tersebut dapat diketahui, bahwa sumber masalah dapat
ditelusuri dari kesalahan individu dan kesalahan sistem. Mengintegrasikan kedua
pendekatan tersebut akan sangat berguna dalam rangka melacak akar masalah untuk
kemudian dicarikan pemecahannya. Untuk mendiagnosis masalah pengangguran
misalnya, secara lebih komprehensif tidak cukup dilihat dari faktor yang melekat pada
diri penganggur saja seperti kurang inovatif atau malas mencari peluang, akan tetapi
juga perlu dilihat sumbernya masalahnya dari level sistem baik sistem pendidikan,
sistem produksi dan sistem perokonomian atau bahkan sistem sosial politik pada
tingkat yang lebih luas.
Parillo menyatakan, kenyataan paling mendasar dalam kehidupan sosial adalah bahwa
masyarakat terbentuk dalam suatu bangunan struktur. Melalui bangunan struktural
tertentu maka dimungkinkan beberapa individu mempunyai kekuasaan, kesempatan
dan peluang yang lebih baik dari individu yang lain (hlm. 191). Dari hal tersebut dapat
dimengerti apabila kalangan tertentu dapat memperoleh manfaat yang lebih besar dari
kondisi sosial yang ada sekaligus memungkinkan terpenuhinya segala bentuk
kebutuhan, sementara dipihak lain masih banyak yang kekurangan.
Salah satu bentuk rumusan tindakan negara untuk memecahkan masalah sosial adalah
melalui kebijakan sosial. Suatu kebijakan akan dapat dirumuskan dengan baik apabila
didasarkan pada data dan informasi yang akurat. Apabila studi masalah sosial dapat
memberikan informasi yang lengkap dan akurat maka bararti telah memberikan
kontribusi bagi perumusan kebijakan sosial yang baik, sehingga bila diimplementasikan
akan mampu menghasilkan pemecahan masalah yang efektif.
Upaya pemecahan sosial sebagai muara penanganan sosial juga dapat berupa suatu
tindakan bersama oleh masyarakat untuk mewujudkan suatu perubahan yang sesuai
yang diharapkan. Dalam teorinya Kotler mengatakan, bahwa manusia dapat
memperbaiki kondisi kehidupan sosialnya dengan jalan mengorganisir tindakan kolektif.
Tindakan kolektif dapat dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan perubahan menuju
kondisi yang lebih sejahtera.