Anda di halaman 1dari 36

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Sinusitis
Sinusitis berasal dari akar bahasa Latinnya sinus, akhiran umum dalam
kedokteran -itis berarti peradangan karena itu sinusitis adalah suatu peradangan sinus
paranasal. Sinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi
atau infeksi virus, bakteri maupun jamur (Laszlo, 1997).
Terdapat empat sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris (terletak di pipi),
sinus ethmoidalis (di antara kedua mata), sinus frontalis (terletak di dahi) dan sinus
sphenoidalis (terletak di belakang dahi). Sinusitis adalah peradangan mukosa sinus
paranasal yang dapat berupa sinusitis maksilaris, sinusitis etmoid, sinusitis frontal,
dan sinusitis sphenoid. Bila yang terkena lebih dari satu sinus disebut multisinusitis,
dan bila semua sinus terkena disebut pansinusitis (Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
Sinus paranasal divaskularisasi oleh arteri carotis interna dan eksterna serta
vena yang menyertainya seperti a. ethmoidalis anterior, a. ethmoidalis posterior dan a.
sfenopalatina. Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus ethmoid posterior dan sinus sphenoid. Fungsi
sinus paranasal adalah (Pletcher&Golderg, 2003):
a. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga udara
sehingga bisa untuk perluasan. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang
akan terdesak.
b. Sebagai pengatur udara (air conditioning).
c. Peringan cranium.
d. Resonansi suara.
e. Membantu produksi mukus.

12
(medical-dictionary.thefreedictionary.com)
Gambar 2.1
Sinus paranasalis tampak depan dan samping

Berdasarkan ukuran sinus paranasal dari yang terbesar yaitu sinus maksilaris,
sinus frontalis, sinus ethmoidalis dan sphenoidalis. Secara klinis sinus paranasal
dibagi menjadi (Rukmini&Herawati, 2000):
a. Grup Anterior :
Frontal, maksilaris dan ethmoidalis anterior
Ostia di meatus medius
Pus dalam meatus medius mengalir kedalam faring
b. Grup Posterior :
Ethmoidalis posterior dan sinus sphenoidalis
Ostia di meatus superior
Pus dalam meatus superior mengalir kedalam faring
Etiologi
Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun
kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun).
Penyebab sinusitis akut:
a. Virus

13
Sinusitis akut bisa terjadi setelah suatu infeksi virus pada saluran pernafasan
bagian atas (misalnya pilek).
b. Bakteri
Di dalam tubuh manusia terdapat beberapa jenis bakteri yang dalam keadaan
normal tidak menimbulkan penyakit (misalnya Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae). Jika sistem pertahanan tubuh menurun atau drainase dari
sinus tersumbat akibat pilek atau infeksi virus lainnya, maka bakteri yang
sebelumnya tidak berbahaya akan berkembang biak dan menyusup ke dalam sinus,
sehingga terjadi infeksi sinus akut.
c. Jamur
Kadang infeksi jamur bisa menyebabkan sinusitis akut. Aspergillus merupakan
jamur yang bisa menyebabkan sinusitis pada penderita gangguan system
kekebalan. Pada orang-orang tertentu, sinusitis jamur merupakan sejenis reaksi
alergi terhadap jamur.
d. Peradangan menahun pada saluran hidung.
Pada penderita rinitis alergika bisa terjadi sinusitis akut. Demikian pula halnya
pada penderita rinitis vasomotor.
e. Penyakit tertentu.
Sinusitis akut lebih sering terjadi pada penderita gangguan sistem kekebalan dan
penderita kelainan sekresi lendir (misalnya fibrosis kistik).
Penyebab sinusitis kronis:
a. Asma
b. Penyakit alergi (misalnya rinitis alergika)
c. Gangguan sistem kekebalan atau kelainan sekresi maupun pembuangan lendir.
Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti :
a. Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik.
b. Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok,
polusi udara, atau karena panas dan kering.
c. Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saluran seperti :
a) Atresia atau stenosis koana

14
b) Deviasi septum
c) Hipertroti konka media
d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik
e) Tumor atau neoplasma
f) Hipertroti adenoid
g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi
h) Benda asing
d. Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek
e. Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasal
f. Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukemia dan
imunosupresi oleh obat.
Klasifikasi
Secara klinis sinusitis dibagi atas :
a. Sinusitis akut
b. Sinusitis subakut
c. Sinusitis Kronis
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2 :
a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang
menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis
b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering
menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)
Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan kelancaran
klirens dari mukosiliar didalam komplek osteo meatal (KOM). Disamping itu mukus
juga mengandung substansi antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai
pertahanan terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan
(Mangunkusumo&Soetjipto, 2007).
Bila terinfeksi organ yang membentuk KOM mengalami oedem, sehingga
mukosa yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat
bergerak dan juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan
negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau

15
penghambatan drainase sinus. Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan
serous yang dianggap sebagai sinusitis non bakterial yang dapat sembuh tanpa
pengobatan. Bila tidak sembuh maka sekret yang tertumpuk dalam sinus ini akan
menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri, dan sekret akan
berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis yang membutuhkan
terapi antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan terjadi
hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan
perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan
kista (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

Gambar 2.2
Patofisiologi Sinusitis

Diagnosis

a. Anamnesis
Sinusitis akut apabila terjadi infeksi saluran nafas yang menetap dalam 7-
10 hari, terutama jika infeksinya berat dan disertai demam tinggi, sekret purulen
dari hidung, atau edema periorbital. Batuk pada malam hari adalah gejala
nomor 2 tersering atau tanda dari sinusitis yang diikuti oleh rhinitis purulen.
Sakit kepala, nyeri wajah atau edema tidak sering ditemukan. 2 Gejala dari
sinusitis kronik adalah tidak spesifik dan bervariasi. Bila ada demam , suhu
badan tidak begitu tinggi. Malaise, cepat lelah dan anoreksia mungkin ada.

16
Sekret dari hidung bervariasi dari tipis sampai tebal, dari serus sampai purulen.
Bau mulut dilaporkan lebih sering pada orangtua daripada anak. Obstruksi
hidung ditandai dengan bernafas melalui mulut dan adanya nyeri tenggorok.2
Beberapa anak kecil dengan sinusitis maksilaris kronik, orang tuanya
mungkin menemukan secara kebetulan pada pagi hari, mata yang bengkak dan
tanpa rasa nyeri. Anak yang lebih besar mungkin mengeluh hilangnya
kemampuan perasa oleh karena hubungannya dengan obstruksi nasal dan
anosmia. Gejala pada malam hari mungkin juga termasuk mengorok dan batuk
oleh karena hubungannya dengan post nasal drip.2
b. Pemeriksaan fisik
1) Rhinoskopi anterior, tampak mukosa hidung hiperemis dan edema,
terlihat pus pada meatus nasi media.
2) Rhinoskopi posterior, tampak sekret kental di nasofaring (post nasal drip)
3) Transiluminasi. Pada sinus normal tampak gambaran bulan sabit yang
terang di bawah mata, dan bila ada sinusitis, sinus yang sakit akan
menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna apabila
salah satu sisi sinus yang sakit, sehingga tampak lebih suram
dibandingkan sisi yang normal.
Penegakan diagnosis sinusitis secara umum:

Kriteria Mayor Kriteria Minor


a. Sekret nasal yang purulen a. Edem periorbital
b. Drainase faring yang purulen b. Sakit kepala
c. Purulent Post Nasaldrip c. Nyeri di wajah
d. Batuk d. Sakit gigi
e. Foto rontgen (Watersradiograph atau e. Nyeri telinga
f. Sakit tenggorok
air fluid level) : Penebalan lebih 50%
g. Nafas berbau
dari antrum h. Bersin-bersin bertambah sering
f. Coronal CT Scan : Penebalan atau i. Demam
j. Tes sitologi nasal (smear) : neutrofil
opaksifikasi dari mukosa sinus
dan bakteri
k. Ultrasound
(Pletcher&Golderg, 2003)

17
Kemungkinan terjadinya sinusitis jika terdapat gejala dan tanda 2 mayor, 1 minor dan
2 kriteria minor.
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1. Tes sedimentasi, leukosit, dan C-reaktif protein dapat membantu diagnosis
sinusitis akut
2. Kultur merupakan pemeriksaan yang tidak rutin pada sinusitis akut, tapi harus
dilakukan pada pasien immunocompromise dengan perawatan intensif dan pada
anak-anak yang tidak respon dengan pengobatan yang tidak adekuat, dan pasien
dengan komplikasi yang disebabkan sinusitis (Pletcher&Golderg, 2003).
b. Imaging
1. Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu menegakkan diagnosa sinusitis
dengan menunjukan suatu penebalan mukosa, air-fluid level, dan
perselubungan. Pada sinusitis maksilaris, dilakukan pemeriksaan rontgen gigi
untuk mengetahui adanya abses gigi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut (Laszlo, 1997) :
a) Posisi Caldwell
Posisi ini didapat dengan meletakkan hidung dan dahi diatas meja
sedemikian rupa sehingga garis orbito-meatal (yang menghubungkan kantus
lateralis mata dengan batas superior kanalis auditorius eksterna) tegak lurus
terhadap film. Sudut sinar rontgen adalah 15 kraniokaudal dengan titik
keluarnya nasion.

b) Posisi Waters
Posisi ini yang paling sering digunakan. Maksud dari posisi ini adalah
untuk memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak dibawah antrum
maksila. Hal ini didapatkan dengan menengadahkan kepala pasien sedemikian
rupa sehingga dagu menyentuh permukaan meja. Bidang yang melalui kantus
medial mata dan tragus membentuk sudut lebih kurang 37 dengan film

18
proyeksi waters dengan mulut terbuka memberikan pandangan terhadap semua
sinus paranasal.

(Putz&Pabst, 2000)
Gambar 2.4.
Gambaran rontgen posisi waters dengan mulut terbuka

(Alford, 2008)
Gambar 2.5
Posisi Waters

c) Posisi lateral
Kaset dan film diletakkan paralel terhadap bidang sagital utama tengkorak.

19
Gambar 2.6
Posisi lateral
2. CT-Scan, memiliki spesifisitas yang jelek untuk diagnosis sinusitis akut,
menunjukan suatu air-fluid level pada 87% pasien yang mengalami infeksi
pernafasan atas dan 40% pada pasien yang asimtomatik. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk luas dan beratnya sinusitis
3. MRI sangat bagus untuk mengevaluasi kelainan pada jaringan lunak yang
menyertai sinusitis, tapi memiliki nilai yang kecil untuk mendiagnosis sinusitis
akut (Pletcher SD, 2003) .
Sedangkan untuk menegakkan diagnosis sinusitis menurut klasifikasinya adalah
sebagai berikut (Arif et all, 2001) :
a. Sinusitis Akut
1. Gejala Subyektif
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas
(terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7
hari. Gejala subyektif terbagi atas gejala sistemik yaitu demam dan rasa lesu,
serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau
dan mengalir ke nasofaring (post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang
lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang
nyeri alih ke tempat lain.

a) Sinusitis Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga Antrum Highmore, merupakan sinus yang
sering terinfeksi oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)
letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret (drenase) dari
sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila
adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat
menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus

20
medius di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat
(Mangunkusumo&Soetjipto, 2002).
Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai
dengan daerah yang terkena. Pada sinusitis maksila nyeri terasa di bawah
kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus hingga terasa di gigi. Nyeri alih
dirasakan di dahi dan depan telinga (Arif et all, 2001).
Wajah terasa bengkak, penuh dan gigi nyeri pada gerakan kepala
mendadak, misalnya sewaktu naik atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri
pipi khas yang tumpul dan menusuk. Sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non produktif seringkali ada
(Mangunkusumo&Soetjipto,2002).
b) Sinusitis Ethmoidalis
Sinusitus ethmoidalis akut terisolasi lebih lazim pada anak, seringkali
bermanifestasi sebagai selulitis orbita. Karena dinding leteral labirin
ethmoidalis (lamina papirasea) seringkali merekah dan karena itu cenderung
lebih sering menimbulkan selulitis orbita.
Pada dewasa seringkali bersama-sama dengan sinusitis maksilaris serta
dianggap sebagai penyerta sinusitis frontalis yang tidak dapat dielakkan.
Gejala berupa nyeri yang dirasakan di pangkal hidung dan kantus medius,
kadang-kadang nyeri dibola mata atau belakangnya, terutama bila mata
digerakkan. Nyeri alih di pelipis ,post nasal drip dan sumbatan hidung (Arif et
all, 2001).

c) Sinusitis Frontalis
Sinusitis frontalis akut hampir selalu bersama-sama dengan infeksi sinus
etmoidalis anterior.
Gejala subyektif terdapat nyeri kepala yang khas, nyeri berlokasi di atas
alis mata, biasanya pada pagi hari dan memburuk menjelang tengah hari,
kemudian perlahan-lahan mereda hingga menjelang malam.

21
Pasien biasanya menyatakan bahwa dahi terasa nyeri bila disentuh dan
mungkin terdapat pembengkakan supra orbita.
d) Sinusitis Sphenoidalis
Pada sinusitis sfenodalis rasa nyeri terlokalisasi di vertex, oksipital, di
belakang bola mata dan di daerah mastoid. Namun penyakit ini lebih lazim
menjadi bagian dari pansinusitis, sehingga gejalanya sering menjadi satu
dengan gejala infeksi sinus lainnya (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
2. Gejala Obyektif
Jika sinus yang berbatasan dengan kulit (frontal, maksila dan ethmoid
anterior) terkena secara akut dapat terjadi pembengkakan dan edema kulit yang
ringan akibat periostitis. Palpasi dengan jari mendapati sensasi seperti ada
penebalan ringan atau seperti meraba beludru (Mangunkusumo&Nusjirwan,
2002).
Pembengkakan pada sinus maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah,
pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis ethmoid
jarang timbul pembengkakan, kecuali bila ada komplikasi (Mangunkusumo &
Nusjirwan, 2002).
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada
sinusitis maksila, sinusitis frontal dan sinusitis ethmoid anterior tampak mukopus
atau nanah di meatus medius, sedangkan pada sinusitis ethmoid posterior dan
sinusitis sphenoid nanah tampak keluar dari meatus superior. Pada sinusitis akut
tidak ditemukan polip,tumor maupun komplikasi sinusitis.Jika ditemukan maka
kita harus melakukan penatalaksanaan yang sesuai (Mangunkusumo&Nusjirwan,
2002).
Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di nasofaring (post nasal drip).
Pada posisional test yakni pasien mengambil posisi sujud selama kurang lebih 5
menit dan provokasi test yakni suction dimasukkan pada hidung, pemeriksa
memencet hidung pasien kemudian pasien disuruh menelan ludah dan menutup
mulut dengan rapat, jika positif sinusitis maksilaris maka akan keluar pus dari
hidung (Mangunkusumo & Nusjirwan, 2002).

22
Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau
gelap. Pemeriksaan transiluminasi bermakna bila salah satu sisi sinus yang sakit,
sehingga tampak lebih suram dibanding sisi yang normal (Mangunkusumo &
Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan radiologik yang dibuat ialah posisi waters, PA dan lateral. Akan
tampak perselubungan atau penebalan mukosa atau batas cairan udara (air fluid
level) pada sinus yang sakit (Mangunkusumo & Nusjirwan, 2002).
Pemeriksaan mikrobiologik sebaiknya diambil sekret dari meatus medius
atau meatus superior. Mungkin ditemukan bermacam-macam bakteri yang
merupakan flora normal di hidung atau kuman patogen, seperti pneumococcus,
streptococcus, staphylococcus dan haemophylus influensa. Selain itu mungkin
juga ditemukan virus atau jamur (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).
b. Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut hanya tanda-tanda radang
akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda (Endang
Mangunkusumo,2002).
Pada rinoskopi anterior tampak sekret di meatus medius atau superior. Pada
rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pada pemeriksaan
transiluminasi tampak sinus yang sakit, suram atau gelap (Mangunkusumo &
Nusjirwan, 2002).
c. Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis berbeda dengan sinusitis akut dalam berbagai aspek,
umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus
dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan tersebut juga dapat disebabkan oleh alergi dan
defisiensi imunologik, sehingga mempermudah terjadinya infeksi, dan infeksi
menjadi kronis apabila pengobatan sinusitis akut tidak sempurna.
1. Gejala Subjektif
Bervariasi dari ringan sampai berat, terdiri dari :

23
a) Gejala hidung dan nasofaring, berupa sekret pada hidung dan sekret pasca
nasal (post nasal drip) yang seringkali mukopurulen dan hidung biasanya
sedikit tersumbat.
b) Gejala laring dan faring yaitu rasa tidak nyaman dan gatal di tenggorokan.
c) Gejala telinga berupa pendengaran terganggu oleh karena terjadi sumbatan
tuba eustachius.
d) Ada nyeri atau sakit kepala.
e) Gejala mata, karena penjalaran infeksi melalui duktus nasolakrimalis.
f) Gejala saluran nafas berupa batuk dan komplikasi di paru berupa bronkhitis
atau bronkhiektasis atau asma bronkhial.
g) Gejala di saluran cerna mukopus tertelan sehingga terjadi gastroenteritis.
2. Gejala Objektif
Temuan pemeriksaan klinis tidak seberat sinusitis akut dan tidak terdapat
pembengkakan pada wajah. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret
kental, purulen dari meatus medius atau meatus superior, dapat juga ditemukan
polip, tumor atau komplikasi sinusitis. Pada rinoskopi posterior tampak sekret
purulen di nasofaring atau turun ke tenggorok.
Dari pemeriksaan endoskopi fungsional dan CT Scan dapat ditemukan
etmoiditis kronis yang hampir selalu menyertai sinusitis frontalis atau
maksilaris. Etmoiditis kronis ini dapat menyertai poliposis hidung kronis.
3. Pemeriksaan Mikrobiologi
Merupakan infeksi campuran oleh bermacam-macam mikroba, seperti
kuman aerob S. aureus, S. viridans, H. influenzae dan kuman anaerob Pepto
streptococcus dan fuso bakterium.

4. Diagnosis Sinusitis Kronis


Diagnosis sinusitis kronis dapat ditegakkan dengan :
a) Anamnesis yang cermat
b) Pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior
c) Pemeriksaan transiluminasi untuk sinus maksila dan sinus frontal, yakni pada
daerah sinus yang terinfeksi terlihat suram atau gelap.
Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya

24
Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis
(sinus penuh dengan cairan)
d) Pemeriksaan radiologik, posisi rutin yang dipakai adalah posisi Waters, PA
dan Lateral. Posisi Waters, maksud posisi Waters adalah untuk
memproyeksikan tulang petrosus supaya terletak di bawah antrum maksila,
yakni dengan cara menengadahkan kepala pasien sedemikian rupa sehingga
dagu menyentuh permukaan meja. Posisi ini terutama untuk melihat adanya
kelainan di sinus maksila, frontal dan etmoid. Posisi Posteroanterior untuk
menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid
dan ethmoid.
Sinusitis akan menunjukkan gambaran berupa:
1) Penebalan mukosa,
2) Opasifikasi sinus ( berkurangnya pneumatisasi)
3) Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat
dilihat pada foto waters.
e) Pungsi sinus maksilaris
f) Sinoskopi sinus maksilaris, dengan sinoskopi dapat dilihat keadaan dalam
sinus, apakah ada sekret, polip, jaringan granulasi, massa tumor atau kista dan
bagaimana keadaan mukosa dan apakah osteumnya terbuka. Pada sinusitis
kronis akibat perlengketan akan menyebabkan osteum tertutup sehingga
drenase menjadi terganggu.
g) Pemeriksaan histopatologi dari jaringan yang diambil pada waktu dilakukan
sinoskopi.
h) Pemeriksaan meatus medius dan meatus superior dengan menggunakan naso-
endoskopi.
i) Pemeriksaan CT Scan, merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat
dan sumber masalah pada sinusitis dengan komplikasi. CT-Scan pada sinusitis
akan tampak : penebalan mukosa, air fluid level, perselubungan homogen atau
tidak homogen pada satu atau lebih sinus paranasal, penebalan dinding sinus
dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik).
Hal-hal yang mungkin ditemukan pada pemeriksaan CT-Scan :

25
a) Kista retensi yang luas, bentuknya konveks (bundar), licin, homogen, pada
pemeriksaan CT-Scan tidak mengalami ehans. Kadang sukar membedakannya
dengan polip yang terinfeksi, bila kista ini makin lama makin besar dapat
menyebabkan gambaran air-fluid level.
b) Polip yang mengisi ruang sinus
c) Polip antrokoanal
d) Massa pada cavum nasi yang menyumbat sinus
e) Mukokel, penekanan, atrofi dan erosi tulang yang berangsur-angsur oleh
massa jaringan lunak mukokel yang membesar dan gambaran pada CT Scan
sebagai perluasan yang berdensitas rendah dan kadang-kadang pengapuran
perifer.
f) Tumor
Penatalaksanaan
Sinusitis Akut
a. Kuman penyebab sinusitis akut yang tersering adalah Streptococcus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae11. Diberikan terapi medikamentosa
berupa antibiotik empirik (2x24 jam). Antibiotik yang diberikan lini I yakni
golongan penisilin atau cotrimoxazol dan terapi tambahan yakni obat
dekongestan oral + topikal, mukolitik untuk memperlancar drenase dan
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Pada pasien atopi, diberikan
antihistamin atau kortikosteroid topikal. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik diteruskan sampai mencukupi 10-14 hari. Jika tidak ada perbaikan
maka diberikan terapi antibiotik lini II selama 7 hari yakni amoksisilin
klavulanat/ampisilin sulbaktam, cephalosporin generasi II, makrolid dan terapi
tambahan. Jika ada perbaikan antibiotic diteruskan sampai mencukupi 10-14
hari.
b. Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan rontgen-polos atau CT Scan dan atau
naso-endoskopi.Bila dari pemeriksaan tersebut ditemukan kelainan maka
dilakukan terapi sinusitis kronik. Tidak ada kelainan maka dilakukan evaluasi
diagnosis yakni evaluasi komprehensif alergi dan kultur dari fungsi sinus.

26
c. Terapi pembedahan pada sinusitis akut jarang diperlukan, kecuali bila telah
terjadi komplikasi ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat
karena ada sekret tertahan oleh sumbatan.
Sinusitis Subakut
a. Terapinya mula-mula diberikan medikamentosa, bila perlu dibantu dengan
tindakan, yaitu diatermi atau pencucian sinus.
b. Obat-obat yang diberikan berupa antibiotika berspektrum luas atau yang
sesuai dengan resistensi kuman selama 10 14 hari. Juga diberikan obat-obat
simptomatis berupa dekongestan. Selain itu dapat pula diberikan analgetika,
anti histamin dan mukolitik.
c. Tindakan dapat berupa diatermi dengan sinar gelombang pendek (Ultra Short
Wave Diathermy) sebanyak 5 6 kali pada daerah yang sakit untuk
memperbaiki vaskularisasi sinus. Kalau belum membaik, maka dilakukan
pencucian sinus.
d. Pada sinusitis maksilaris dapat dilakukan pungsi irigasi. Pada sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid yang letak muaranya dibawah, dapat dilakukan
tindakan pencucian sinus cara Proetz (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

Sinusitis Kronis
a. Jika ditemukan faktor predisposisinya, maka dilakukan tata laksana yang
sesuai dan diberi terapi tambahan. Jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik mencukupi 10-14 hari.
b. Jika faktor predisposisi tidak ditemukan maka terapi sesuai pada episode akut
lini II + terapi tambahan. Sambil menunggu ada atau tidaknya perbaikan,
diberikan antibiotik alternative 7 hari atau buat kultur. Jika ada perbaikan
teruskan antibiotik mencukupi 10-14 hari, jika tidak ada perbaikan evaluasi
kembali dengan pemeriksaan naso-endoskopi, sinuskopi (jika irigasi 5 x tidak
membaik). Jika ada obstruksi kompleks osteomeatal maka dilakukan tindakan
bedah yaitu BSEF atau bedah konvensional. Jika tidak ada obstruksi maka
evaluasi diagnosis.
c. Diatermi gelombang pendek di daerah sinus yang sakit.

27
d. Pada sinusitis maksila dilakukan pungsi dan irigasi sinus, sedang sinusitis
ethmoid, frontal atau sphenoid dilakukan tindakan pencucian Proetz.
e. Pembedahan
Radikal
Sinus maksila dengan operasi Cadhwell-luc.
Sinus ethmoid dengan ethmoidektomi.
Sinus frontal dan sphenoid dengan operasi Killian.
Non Radikal
bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Prinsipnya dengan
membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal.
Komplikasi
CT-Scan penting dilakukan dalam menjelaskan derajat penyakit sinus dan
derajat infeksi di luar sinus, pada orbita, jaringan lunak dan kranium. Pemeriksaan ini
harus rutin dilakukan pada sinusitis refrakter, kronis atau berkomplikasi.
a. Komplikasi orbita
Sinusitis ethmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita yang
tersering. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi ethmoidalis akut,
namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak di dekat orbita dan dapat
menimbulkan infeksi isi orbita.
Terdapat lima tahapan :
1. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat
infeksi sinus ethmoidalis didekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada
anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus ethmoidalis
sering kali merekah pada kelompok umur ini.
2. Selulitis orbita, edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi
isi orbita namun pus belum terbentuk.
3. Abses subperiosteal, pus terkumpul diantara periorbita dan dinding tulang
orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
4. Abses orbita, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi
orbita. Tahap ini disertai dengan gejala sisa neuritis optik dan kebutaan
unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang

28
tersering dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga
proptosis yang makin bertambah.
5. Trombosis sinus kavernosus, merupakan akibat penyebaran bakteri melalui
saluran vena kedalam sinus kavernosus, kemudian terbentuk suatu
tromboflebitis septik.
Secara patognomonik, trombosis sinus kavernosus terdiri dari :
a) Oftalmoplegia.
b) Kemosis konjungtiva.
c) Gangguan penglihatan yang berat.
d) Kelemahan pasien.
e) Tanda-tanda meningitis oleh karena letak sinus kavernosus yang berdekatan
dengan saraf kranial II, III, IV dan VI, serta berdekatan juga dengan otak.
b. Mukokel
Mukokel adalah suatu kista yang mengandung mukus yang timbul dalam
sinus, kista ini paling sering ditemukan pada sinus maksilaris, sering disebut sebagai
kista retensi mukus dan biasanya tidak berbahaya.
Dalam sinus frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis, kista ini dapat membesar
dan melalui atrofi tekanan mengikis struktur sekitarnya. Kista ini dapat
bermanifestasi sebagai pembengkakan pada dahi atau fenestra nasalis dan dapat
menggeser mata ke lateral. Dalam sinus sphenoidalis, kista dapat menimbulkan
diplopia dan gangguan penglihatan dengan menekan saraf didekatnya.
Piokel adalah mukokel terinfeksi, gejala piokel hampir sama dengan mukokel
meskipun lebih akut dan lebih berat.
Prinsip terapi adalah eksplorasi sinus secara bedah untuk mengangkat semua
mukosa yang terinfeksi dan memastikan drainase yang baik atau obliterasi sinus.
c. Komplikasi Intra Kranial
1) Meningitis akut, salah satu komplikasi sinusitis yang terberat adalah meningitis
akut, infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau
langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding posterior sinus
frontalis atau melalui lamina kribriformis di dekat sistem sel udara ethmoidalis.

29
2) Abses dura, adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium, sering
kali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini timbul lambat, sehingga pasien hanya
mengeluh nyeri kepala dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan
tekanan intra kranial.
3) Abses subdural adalah kumpulan pus diantara duramater dan arachnoid atau
permukaan otak. Gejala yang timbul sama dengan abses dura.
4) Abses otak, setelah sistem vena, dapat mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka
dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak. Terapi
komplikasi intra kranial ini adalah antibiotik yang intensif, drainase secara bedah
pada ruangan yang mengalami abses dan pencegahan penyebaran infeksi.
d. Osteomielitis dan abses subperiosteal
Penyebab tersering osteomielitis dan abses subperiosteal pada tulang frontalis
adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri tekan dahi setempat sangat berat. Gejala sistemik
berupa malaise, demam dan menggigil (Mangunkusumo&Nusjirwan, 2002).

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang, Soetjipto D. Sinusitis dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. FKUI. Jakarta 2007. Hal 150-3
2. PERHATI. Fungsional endoscopic sinus surgery. HTA Indonesia. 2006. Hal 1-6
3. Ghorayeb B. Sinusitis. Dalam Otolaryngology Houston. Diakses dari
www.ghorayeb.com/AnatomiSinuses.html
4. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Dalam : Efiaty, Nurbaiti, editor. Buku
Ajar Ilmu Kedokteran THT Kepala dan Leher, ed. 5, Balai Penerbit FK UI, Jakarta
2002, 115 119.
5. Wikipedia. Sinusitis. Diakses dari www.wikipedia.org/wiki/sinusitis
6. Pletcher SD, Golderg AN. 2003. The Diagnosis and Treatment of Sinusitis. In
advanced Studies in Medicine. Vol 3 no.9. PP. 495-505
7. Anonim, Sinusitis, dalam ; Arif et all, editor. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. 3,
Penerbit Media Ausculapius FK UI, Jakarta 2001, 102 106
8. Mangunkusumo, Endang . Nusjirwan, Rifki, Sinusitis, dalam Eviati, nurbaiti,
editor, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher,
Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2002, 121 125
9. Shyamal, Kumar DE. Fundamental of Ear, Nose and Throat & Head-Neck
Surgery. Calcuta: The New Book Stall; 1996. 191-8
10.Rukmini S, Herawati S. Teknik Pemeriksaan Telinga Hidung & Tenggorok.
Jakarta: EGC; 2000. 26-48
11.Tadjudin OA. Batuk Kronik Pada Anak Ditinjau Dari Bidang THT. 1992.
Http://www.kalbe.co.id [diakses tanggal 30 November 2008] Blogsome. About
Sinusitis. 2008. Http://www.mixingblogging.blogspot.com [diakses tanggal 30
November 2008]
12. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara;
1997. 2-9

31
13. Alford BR. Core Curriculum Syllabus: Nose and Paranasal Sinuses.
Http://www.Bcm.Edu [diakses tanggal: 12 Desember 2008]
14.Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Kepala, Leher, Ekstremitas
Atas Jilid 1. Edisi 21. Editor: Suyono YJ. Jakarta: EGC; 2000. 94

32
Definisi Meniere

Penyakit Meniere adalah suatu sindrom yang terdiri dari serangan vertigo,
tinnitus, berkurangnya pendengaran yang bersifat fluktuatif dan perasaan penuh di
telinga. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan manusia tidak
mampu mempertahankan posisi berdiri tegak. Hal ini disebabkan oleh adanya hidrops
(pembengkakan) rongga endolimfa pada kokhlea dan vestibulum.4
Vertigo berasal dari bahasa Yunani yang berarti memutar. Pengertian vertigo
adalah sensasi gerakan atau rasa gerak dari tubuh atau lingkungan sekitar dapat
disertai gejala lain, terutama dari jaringan otonomik akibat gangguan alat
keseimbangan tubuh. Vertigo mungkin bukan hanya terdiri dari satu gejala pusing
saja, melainkan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari gejala somatik
(nistagmus, unstable), gejala otonom seperti pucat, keringat dingin, mual, muntah,
dan pusing.1,3
Tinnitus merupakan gangguan pendengaran dengan keluhan selalu mendengar
bunyi namun tanpa ada rangsangan bunyi dari luar. Sumber bunyi tersebut berasal
dari tubuh penderita itu sendiri (impuls sendiri). Namun tinnitus hanya merupakan
gejala, bukan penyakit, sehingga harus dicari penyebabnya.3
Gangguan pendengaran biasanya berfluktuasi dan progresif dengan
pendengaran yang semakin memburuk dalam beberapa hari. Gangguan pendengaran
pada penyakit Meniere yang berat dapat mengakibatkan hilangnya pendengaran
secara permanen.1,2
Anatomi Telinga Dalam4,5,6

Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut labirin.


Telinga dalam terdiri dari kokhlea yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler
yang dibentuk oleh utrikulus, sakulus, dan kanalis semisirkularis.

33
Gambar 1. Anatomi telinga dalam

Labirin (telinga dalam) mengandung organ pendengaran dan keseimbangan,


terletak pada pars petrosus os temporal. Labirin terdiri dari :
Labirin bagian tulang, terdiri dari : kanalis semisirkularis, vestibulum, dan
kokhlea
Labirin bagian membran, yang terletak di dalam labirin bagian tulang, terdiri
dari : kanalis semisirkularis, utrikulus, sakulus, sakus, dan duktus
endolimfatikus serta kokhlea.
Antara labirin bagian tulang dan membran terdapat suatu ruangan yang berisi
cairan perilimfe yang berasal dari cairan serebrospinalis dan filtrasi dari darah. Di
dalam labirin bagian membran terdapat cairan endolimfe yang diproduksi oleh stria
vaskularis dan diresirbsi pada sakkus endolimfatikus. Ujung atau puncak kokhlea
disebut helikoterma yang menghubungkan perilimfa skala timpani dan skala
vestibuli. Pada irisan melintang di kokhlea tampak skala vestibuli di sebelah atas,
skala timpani di sebelah bawah dan skala media diantaranya.
Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfe sedangkan skala media berisi
endolimfe. Dasar skala vestibuli disebut membran reissner sedangkan dasar skala
media disebut membran basilaris yang terletak organ korti di dalamnya. Pada skala
media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria dan pada
membran basilaris melekat sel rambut dalam, sel rambut luar, dan kanalis korti.
Membran basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar pada apeksnya
(nada rendah).

34
Gambar 2. Potongan melintang koklea

Terletak diatas membran basilaris dari basis ke apeks adalah organ korti yang
mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran.
Organ korti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3.000) dan tiga baris sel rambut
luar (12.000). Ujung saraf aferen dan eferen menempel pada ujung bawah sel rambut.
Bagian vestibulum telinga dalam dibentuk oleh utrikulus, sakulus, dan kanalis
semisirkularis. Utrikulus dan sakulus mengandung makula yang diliputi oleh sel-sel
rambut. Menutupi sel-sel rambut adalah suatu lapisan gelatinosa yang ditembus oleh
silia dan pada lapisan ini terdapat pula otolit yang mengandung kalsium dan akan
menimbulkan rangsangan pada reseptor. Sakulus berhubungan dengan utrikulus
melalui suatu duktus sempit yang merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus.
Makula utrikulus terletak pada bidang yang tegak lurus dengan makula sakulus.
Ketiga kanalis semisirkularis bermuara pada utrikulus. Masing-masing kanalis
memiliki satu ujung yang melebar yang membentuk ampula dan mengandung sel-sel
rambut krista dan diselubungi oleh lapisan gelatinosa yang disebut kupula. Gerakan
dari endolimfe dalam kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula yang
selanjutnya akan membengkokkan silia sel-sel rambut krista dan merangsang sel
reseptor.
Vaskularisasi telinga dalam
Telinga dalam memperoleh pendarahan dari arteri auditori interna (arteri
labirintin) yang berasal dari arteri serebelli anterior atau langsung dari arteri basilaris

35
yang merupakan suatu end arteri dan tidak mempunyai pembuluh darah anastomosis.
Setelah memasuki meatus akustikus internus, arteri ini bercabang tiga, yaitu :
Arteri vestibularis anterior yang memperdarahi makula utrikuli, sebagian makula
sakuli, krista ampularis, kanalis semisirkularis superior dan lateral serta sebagian
dari utrikulus dan sakulus
Arteri vestibulokokhlearis yang memperdarahi makula sakuli, kanalis
semisirkularis posterior, bagian inferior utrikulus dan sakulus serta putaran berasal
dari kokhlea.
Arteri kokhlearis yang memasuki mediolus dan menjadi pembuluh-pembuluh
arteri spiral yang memperdarahi organ korti, skala vestibuli, skala timpani sebelum
berakhir pada stria vaskularis.
Aliran vena pada telinga dalam melalui tiga jalur utama. Vena auditori interna
berasal dari putaran tengah dan apikal kokhlea. Vena aquaduktus kokhlearis berasal
dari putaran basiler kokhlea, sakulus, dan utrikulus dan berakhir pada sinus petrosus
inferior. Vena akquaduktus vestibularis berasal dari kanalis semisirkularis sampai
utrikulus. Vena ini mengikuti duktus dan masuk ke sinus sigmoid.
Inervasi telinga
Inervasi telinga terdiri dari nervus akustikus bersama nervus fasialis masuk ke
dalam porus dari meatus akustikus internus dan bercabang dua sebagai nervus
vestibularis dan nervus kokhlearis. Pada dasar meatus akustikus internus terletak
ganglion vestibularis dan pada mediolus terletak ganglion spiralis.
Epidemiologi

Penyakit Meniere adalah salah satu penyebab tersering vertigo pada telinga
dalam.2,3 Sebagian besar kasus timbul pada laki-laki atau perempuan dewasa. Paling
banyak ditemukan pada usia 20-50 tahun, namun penyakit ini pernah juga ditemukan
pada anak berusia 9 tahun dan manula berusia 90 tahun. 1 Tidak ada predileksi telinga
pada penyakit Meniere. Penyakit ini mengenai laki-laki dan perempuan dengan
insidensi yang sama walaupun beberapa sumber ada yang mengatakan insidensi
sedikit lebih tinggi pada perempuan.7 Kemungkinan ada komponen genetik yang
berperan dalam penyakit Meniere karena ada riwayat keluarga yang positif sekitar
21% pada pasien dengan penyakit Meniere. 1 Pasien dengan resiko besar terkena

36
penyakit Meniere adalah orang-orang yang memiliki riwayat alergi, merokok, stres,
kelelahan, alkoholisme, dan pasien yang rutin mengkonsumsi aspirin. 2,7 Sekitar 10%
dari seluruh kasus vertigo diakibatkan oleh penyakit Meniere.1
Etiologi
Penyebab pasti Meniere belum diketahui. 1 Namun terdapat berbagai teori
termasuk pengaruh neurokimia dan hormonal abnormal pada aliran darah yang
menuju labirin dan terjadi gangguan elektrolit dalam cairan labirin, reaksi alergi dan
autoimun, infeksi, serta gaya hidup terutama merokok.2 Penyakit Meniere masa kini
dianggap sebagai keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan cairan telinga yang
abnormal dan diduga disebabkan oleh terjadinya malabsorbsi dalam sakus
endolimfatikus.3 Selain itu para ahli juga mengatakan terjadinya suatu robekan
endolimfa dan perilimfa bercampur.1,3 Hal ini menurut para ahli dapat menimbulkan
gejala dari penyakit Meniere.
Para peneliti juga sedang melakukan penyelidikan dan penelitian terhadap
kemungkinan lain penyebab penyakit Meniere dan masing-masing memiliki
keyakinan tersendiri terhadap penyebab dari penyakit ini, termasuk faktor lingkungan
seperti suara bising, infeksi virus HSV, penekanan pembuluh darah terhadap saraf
(microvascular compression syndrome). Selain itu gejala dari penyakit Meniere dapat
ditimbulkan oleh trauma kepala, infeksi saluran pernapasan atas, aspirin, merokok,
alkohol, atau konsumsi garam berlebihan. Namun pada dasarnya belum ada yang tahu
secara pasti apa penyebab tunggal penyakit Meniere.3,7
Patofisiologi

Gejala klinis penyakit Meniere disebabkan oleh adanya hidrops endolimfa


(peningkatan endolimfa yang menyebabkan labirin membranosa berdilatasi) pada
kokhlea dan vestibulum. Hidrops yang terjadi dan hilang timbul diduga disebabkan
oleh meningkatnya tekanan hidrostatik pada ujung arteri, menurunnya tekanan
osmotik dalam kapiler, meningkatnya tekanan osmotik ruang ekstrakapiler, jalan
keluar sakus endolimfatikus tersumbat (akibat jaringan parut atau karena defek dari
sejak lahir).

37
Hidrops endolimfa ini lama kelamaan menyebabkan penekanan yang bila
mencapai dilatasi maksimal akan terjadi ruptur labirin membran dan endolimfa akan
bercampur dengan perilimfa. Pencampuran ini menyebabkan potensial aksi di telinga
dalam sehingga menimbulkan gejala vertigo, tinnitus, dan gangguan pendengaran
serta rasa penuh di telinga. Ketika tekanan sudah sama, maka membran akan sembuh
dengan sendirinya dan cairan perilimfe dan endolimfe tidak bercampur kembali
namun penyembuhan ini tidak sempurna.1,2,8

Gambar 3. Labirin normal dan pada penyakit Meniere

Penyakit Meniere dapat menimbulkan : 1,2


Kematian sel rambut pada organ korti di telinga tengah
Serangan berulang penyakit Meniere menyebabkan kematian sel rambut organ
korti. Dalam setahun dapat menimbulkan tuli sensorineural unilateral. Sel rambut
vestibuler masih dapat berfungsi, namun dengan tes kalori menunjukkan
kemunduran fungsi.

Perubahan mekanisme telinga


Diakibatkan periode pembesaran kemudian penyusutan utrikulus dan sakulus
kronik. Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal ditemukan perubahan
morfologi pada membran Reissner. Terdapat penonjolan ke dalam skala vestibuli
terutama di apeks kokhlea (helikoterma). Sakulus juga mengalami pelebaran yang
sama yang dapat menekan utrikulus. Pada awalnya pelebaran skala media dimulai
dari apeks kokhlea kemudian dapat meluas mengenai bagian tengah dan basal
kokhlea. Hal ini dapat menjelaskan tejadinya tuli saraf nada rendah pada penyakit
ini.
Manifestasi Klinis
Penyakit Meniere dimulai dengan satu gejala lalu secara progresif gejala lain
bertambah. Gejala-gejala klinis dari penyakit Meniere yang khas sering disebut trias
Meniere yaitu vertigo, tinnitus, dan tuli saraf sensorineural fluktuatif terutama nada

38
rendah.2 Serangan pertama dirasakan sangat berat, yaitu vertigo disertai rasa mual dan
muntah. Setiap kali berusaha untuk berdiri, pasien akan merasa berputar, mual dan
muntah lagi. Hal ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, kemudian
keadaan akan berangsur membaik. Penyakit ini bisa sembuh tanpa obat dan gejala
penyakit ini bisa hilang sama sekali. Pada serangan kedua dan selanjutnya dirasakan
lebih ringan tidak seperti serangan pertama kali. Pada penyakit Meniere, vertigo
bersifat periodik dan makin mereda pada serangan-serangan selanjutnya.1,2,8
Pada setiap serangan biasanya disertai dengan gangguan pendengaran dan
dalam keadaan tidak ada serangan pendengararn dirasakan baik kembali. Gejala lain
yang menyertai serangan adalah tinnitus yang kadang menetap walaupun diluar
serangan. Gejala lain yang menjadi tanda khusus adalah perasaan penuh pada
telinga.1,2
Vertigo periodik biasanya dirasakan dalam beberapa jam atau lebih dalam
periode serangan seminggu atau sebulan yang diselingi periode remisi. Vertigo
menyebabkan nistagmus, mual, dan muntah. Pada setiap serangan biasanya disertai
gangguan pendengaran dan keseimbangan sehingga tidak dapat beraktivitas dan
dalam keadaan tidak ada serangan pendengaran akan pulih kembali. Dari keluhan
vertigonya kita sudah dapat membedakan dengan penyakit lainnya yang juga
memiliki gejala vertigo seperti tumor N.VIII, sklerosis multipel, neuritis vestibularis
atau vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ).3
Tinnitus kadang menetap (periode detik hingga menit), meskipun di luar
serangan. Tinnitus sering memburuk sebelum terjadi serangan vertigo. Tinnitus sering
didekripsikan pasien sebagai suara motor, mesin, gemuruh, berdenging, berdengung,
dan denging dalam telinga.1,3
Gangguan pendengaran mungkin terasa hanya berkurang sedikit pada awal
serangan, namun seiring dengan berjalannya waktu dapat terjadi kehilangan
pendengaran yang tetap. Penyakit Meniere mungkin melibatkan semua kerusakan
saraf di semua frekuensi suara pendengaran namun paling mungkin melibatkan
semua kerusakan saraf di semua frekuensi suara pendegaran namun paling umum
terjadi pada frekuensi yang rendah.

39
Rasa penuh pada telinga dirasakan seperti saat kita mengalami perubahan
tekanan udara perbedaannya rasa penuh ini tidak hilang dengan perasat valsava dan
toynbee.1,2,7
Diagnosis

Kondisi penyakit lain dapat menghasilkan gejala yang serupa seperti penyakit
Meniere, dengan demikian kemungkinan penyakit lain harus disingkirkan dalam
rangka menegakkan diagnosis yang akurat. Evaluasi awal didasarkan pada anamnesi
yang sangat hati-hati. Diagnosis penyakti ini dapat dipermudah dengan kriteria
diagnosis AAO-HNS 1995 :1,2
1. Vertigo
Episode rekuren dari dari vertigo berupa perasaan berputar
Durasi serangan 20 menit sebanyak minimal 2 episode definitif
Serangan vertigo disertai dengan nistagmus
Dapat disertai dengan mual dan muntah
Tidak disertai ganggua neurologis
2. Tinnitus
Bervariasi, umumnya bernada rendah dan semakin menjadi keras saat
serangan
Biasanya terjadi unilateral pada sisi yang terkena
Bersifat subjektif dan nonpulsatil
3. Gangguan pendengaran
Gangguan berfluktuasi
Bersifat sensorineural
Bersifat unilateral dan progresif
Terjadi minimal satu kali saat serangan
Klasifikasi skala diagnostik penyakit Meniere menurut AAO-HNS 19951,2
1. Possible Meniere Disease
Episode vertigo karakteristik pada penyakit Meniere tanpa disertai gangguan
pendengaran
Tuli sensorineural yang bersifat fluktuatif atau menetap dengan gangguan
keseimbangan namun tanpa episode definitif vertigo
Tidak ditemukan penyebab lain untuk kondisi di atas
2. Probable Meniere Disease
Satu episode definitif dari vertigo
Gangguan pendengaran yang dibuktikan dengan audiometri minimal satu
kali

40
Tinnitus dan perasaan penuh di telinga
Tidak ditemukan penyebab lain untuk kondisi di atas
3. Definite Meniere Disease
Dua atau lebih episode vertigo dengan durasi minimal 20 menit
Gangguan pendengaran yang dibuktikan dengan audiometri minimal satu
kali
Tinnitus dan perasaan penuh di telinga
Tidak ditemukan penyebab lain untuk kondisi di atas
4. Certain Meniere Disease
Kriteria definitif untuk penyakit Meniere disertai konfirmasi histopatologi

a. Anamnesis1,3,6,9
Menyingkirkan kemungkinan penyebab sentral, misalnya tumor
N.VIII
Pada tumor N.VIII serangan vertigo periodik, mula-mula lemah dan
semakin lama makin kuat. Pada sklerosis multipel vertigo periodik
dengan intensitas sama pada tiap serangan. Pada neuritis vestibuler
serangan vertigo tidak periodik dan makin lama menghilang. Pada
VPPJ, keluhan vertigo datang akibat perubahan posisi kepala yang
dirasakan sangat berat dan terkadang disertai rasa mual dan muntah
namun tidak berlangsung lama.
b. Pemeriksaan fisik6,9
Diperlukan untuk memperkuat diagnosis. Bila dari hasil
pemeriksaan fisik telinga kemungkinan kelainan telinga luar dan tengah
dapat disingkirkan dan dipastikan kelainan berasal dari telinga dalam
misalnya dari anamnesis didapatkan kelainan tuli saraf fluktuatif dan
ternyata dikuatkan dengan hasil pemeriksaan maka kita sudah dapat
mendiagnosis penyakit Meniere, sebab tidak ada tuli saraf yang membaik
kecuali pada penyakit Meniere.
c. Pemeriksaan penunjang1,3
Pemeriksaan penunjang yang dapat mendiagnosis penyakit Meniere
adalah:
Pemeriksaan audiometri

41
Gambar 4. Audiogram tuli sensorineural pada penyakit Meniere

Elektronistagmografi (ENG) dan tes keseimbangan, untuk mengetahui


secara objektif kuantitas dari gangguan keseimbangan pada pasien.
Pada sebagian besar pasien dengan penyakit Meniere mengalami
penurunan respons nistagmus terhadap stimulasi dengan air panas dan
air dingin yag digunakan pada tes ini
Elektrokokleografi (ECOG), mengukur akumulasi cairan di telinga
dalam dengan cara merekam potensial aksi neuron auditoris melalui
elektroda yang ditempatkan dekat dengan kokhlea. Pada pasien dengan
penyakit Meniere, tes ini juga menunjukkan peningkatan tekanan yang
disebabkan oleh cairan yang berlebihan pada telinga dalam yang
ditunjukkan dengan adanya pelebaran bentuk gelombang bentuk
gelombang dengan puncak yang multipel
Brain Evoked Response Audiometry (BERA), biasanya normal pada
pasien dengan penyakit Meniere, walaupun terkadang terdapat
penurunan pendengaran ringan pada pasien dengan kelainan pada
sistem saraf pusat
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan kontras yang disebut
gadolinium spesifik memvisualisasikan n.VII. Jika ada bagian serabut
saraf yang tidak terisi kontras menunjukkan adanya neuroma akustik.
Selain itu pemeriksaan MRI juga dapat memvisualisasikan kokhlea
dan kanalis semisirkularis
Penatalaksanaan

42
Pasien yang datang dengan keluhan khas penyakit Meniere awalnya hanya
diberikan pengobatan yagng bersifat simptomatik, seperti sedatif dan bila perlu bila
perlu diberikan antiemetik. Pengobatan paling baik adalah sesuai dengan
penyebabnya. Penatalaksanaan pada Penyakit Meniere adalah sebagai berikut :1,2,3
1. Diet dan gaya hidup
Diet rendah garam memiliki efek yang kecil terhadap konsentrasi sodium
pada plasma, karena tubuh telah memiliki sistem regulasi dalam ginjal untuk
mempertahankan level sodium dalam plasma. Untuk mempertahankan
keseimbangan konsentrasi sodium, ginjal menyesuaikan kapasitas untuk
kemampuan transport ion berdasarkan intake sodium. Penyesuaian ini diperankan
oleh hormon aldosteron yang berfungsi mengontrol jumlah transport ion di ginjal
sehingga akan memengaruhi regulasi sodium di endolimfe sehingga mengurangu
serangan penyakit Meniere. Banyak pasien dapat mengontrol gejala hanya dengan
mematuhi diet rendah garam (2000 mg/hari). Jumlah sodium merupakan salah satu
faktor yang mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh. Retensi natrium dan
cairan dalam tubuh dapat merusak keseimbangan antara endolimfe dan perilimfe
di dalam telinga. Pemakaian alkohol, rokok, coklat harus dihentikan. Kafein dan
nikotin juga merupakan stimulan vasoaktif dan menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi dan penurunan aliran darah arteri kecil yang memberi nutrisi saraf
dari telinga tengah. Dengan menghindari kedua zat tersebut dapat mengurangi
gejala. Olahraga yang rutin dapat menstimulasi sirkulasi aliran darah sehingga
perlu untuk dianjurkan ke pasien. Pasien juga harus menghindari penggunaan
obat-obatan yang bersifat ototoksik seperti aspirin karena dapat memperberat
tinnitus. Selama serangan akut dianjurkan untuk berbaring di tempat yang keras,
berusaha untuk tidak bergerak, pandangan mata difiksasi pada satu objek tidak
bergerak, jangan mencoba minum walaupun ada perasaan mau muntah, setelah
vertigo hilang pasien diminta untuk bangun secara perlahan karena biasanya
setelah serangan akan terjadi kelelahan dan sebaiknya pasien mencari tempat yang
nyaman untuk tidur selama beberapa jam untuk memulihkan keseimbangan.
2. Farmakologi

43
Untuk penyakit ini diberikan obat-obatan vasodilator perifer, antihistamin,
antikolinergik, steroid, dan diuretik untuk mengurangi tekanan pada endolimfe.
Obat-obat antiiskemia dapat pula diberikan sebagai obat alternatif dan neurotonik
untuk menguatkan sarafnya selain itu jika terdapat infeksi virus dapat diberikan
antivirus seperti asiklovir. Tranquilizer seperti diazepam (valium) dapat digunakan
pada kasus akut untuk membantu mengontrol vertigo, namun karena sifat
adiktifnya tidak digunakan tidak digunakan sebagai pengobatan jangka panjang.
Antiemetik seperti prometazin tidak hanya mengurangi mual dan muntah tapi juga
mengurangi gejala vertigo. Diuretik seperti tiazide dapat membantu mengurangi
gejala penyakit Meniere dengan menurunkan tekanan dalam sistem endolimfe.
Pasien harus diingatkan untuk banyak makanan yang mengandung kalium seperti
pisang, tomat, dan jeruk ketika menggunakan diuretik yang menyebabkan
kehilangan kalium.
3. Pembedahan2,7,10
Operasi yang direkomendasikan bila serangan vertigo tidak terkontrol antara lain :
Dekompresi sakus endolimfatikus
Operasi ini mendekompresikan cairan berlebih di telinga dalam dan
menyebabkan kembali normalnya tekanan terhadap ujung saraf
vestibulokokhlearis. Insisi dilakukan di belakang telinga yang terinfeksi dan
air cell mastoid diangkat agar dapat melihat telinga dalam. Insisi kecil
dilakukan pada sakus endolimfatikus untuk mengalirkan cairan ke rongga
mastoid. Secara keseluruhan sekitar 60% pasien serangan vertigo menjadi
terkontrol, 20% mengalami serangan yang lebih buruk. Fungsi pendengaran
tetap stabil namun jarang yang membaik dan tinnitus tetap ada, 2%
mengalami tuli total dan vertigo tetap ada.

Labirinektomi
Operasi ini mengangkat kanalis semisirkularis dan saraf
vestibulokokhlearis. Dilakukan dengan insisi di telinga belakang dan air cell
mastoid diangkat, bila telinga dalam sudah terlihat, keseluruhan labirin
tulang diangkat. Setelah satu atau dua hari paskaoperasi, tidak jarang terjadi
vertigo berat. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian obat-obatan. Setelah

44
seminggu, pasien mengalami periode ketidakseimbangan tingkat sedang
tanpa vertigo, sesudahnya telinga yang normal mengambil alih seluruh
fungsi keseimbangan. Operasi ini menghilangkan fungsi pendengaran
telinga.
Neurektomi vestibuler
Bila pasien masih dapat mendengar, neurektomi vestibuler merupakan
pilihan untuk menyembuhkan vertigo dan pendengaran yang tersisa.
Dilakukan insisi di belakang telinga dan air cell mastoid diangkat, dilakukan
pembukaan pada fossa duramater dan n.VIII dan dilakukan pemotongan
terhadap saraf keseimbangan. Pemilihan operasi ini mirip labirinektomi.
Namun karena operasi ini melibatkan daerah intrakranial, sehingga harus
dilakukan pengawasan ketat paskaoperasi. Operasi ini diindikasikan pada
pasien di bawah 60 tahun yang sehat. Sekitar 5% mengalami tuli total pada
telinga yang terinfeksi, paralisis wajah sementara dapat terjadi selama
beberapa hari hingga bulan, sekitar 85% vertigo dapat terkontrol.
Labirinektomi dengan zat kimia
Merupakan operasi dimana menggunakan antibiotik (streptomisin atau
gentamisin dosis kecil) yang dimasukkan ke telinga dalam. Operasi ini
bertujuan mengurangi proses penghancuran saraf keseimbangan dan
mempertahankan pendengaran yang masih ada. Pada kasus penyakit
Meniere, diberikan streptomisin intramuskular dapat menyembuhkan
serangan vertigo dan pendengaran dapat dipertahankan.

Endolimfe shunt
Operasi ini masih kontroversi karena banyak peneliti yang menganggap
operasi ini merupakan plasebo. Ada dua tipe dari operasi ini yaitu:
a. Endolimfe subaraknoid shunt : dengan mempertahankan tuba diantara
endolimfe dan kranium
b. Endolimfe mastoid shunt : dengan menempatkan tuba antara sakus
endolimfatikus dan rongga mastoid
Prognosis

45
Penyakit Meniere belum dapat disembuhkan dan bersifat progresif, tapi tidak
fatal dan banyak pilihan terapi untuk mengobati gejalanya. 2,3 Penyakit ini berbeda
untuk tiap pasien. Beberapa pasien mengalami remisi spontan dalam jangka waktu
hari hingga tahun.1 Pasien lain mengalami perburukan gejala secara cepat. Namun
ada juga pasien yang perkembangan penyakitnya lambat.2,7
Belum ada terapi yang efektif untuk penyakit ini namun berbagai tindakan
dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya serangan dan progresivitas penyakit.
Sebaiknya pasien dengan vertigo berat disarankan untuk tidak mengendarai mobil,
naik tangga dan berenang.2,3

DAFTAR PUSTAKA

1. Li, J.C. 2014. Meniere Disease. Available at:


http://www.emedicine.medscape.com/article/1159069. Accessed on November
17th, 2015
2. Lalwani, A.K. 2008. Meniere Disease. In: Current Diagnosis and Treatment:
Otolaryngology Head and Neck Surgery,2nd Ed. Elsevier,USA.p716-721.
3. Hadjar E, Bashiruddin J. Penyakit Meniere. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidunng, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Editor : Soepardi

46
EA, Iskandar N. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
102-103.
4. Liston LS, Duvail AJ. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi Telinga. Dalam :
BOEIS Buku Ajar THT Edisi ke 6. Editor : Efendi H, Santosa K. Jakarta : EGC.
1997. 27-38.
5. Sherwood L. Telinga : Pendengaran dan Keseimbangan. Dalam : Fisiologi
Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta : EGC. 2006. 176-189.
6. Anderson JH, Levine SC. Sistem Vestibularis. Dalam: BOEIS Buku Ajar THT
Edisi ke 6. Editor : Efendi H, Santosa K. Jakarta : EGC. 1997. 39-45.
7. Bansal,M. 2013. Menieres Disease In: Diseases of Ear, Nose and Throat.Edisi
ke-1. Jaypee Brothers, New Delhi, India, p241-244.
8. Paparella MM. Pathogenesis and Pathophysiology of Meniere Disease. Acta
Otolaryngol (Stockh). 2006 ; (suppl 485)26.
9. Levine SC. Penyakit Telinga Dalam. Dalam : BOEIS Buku Ajar THT Edisi ke
6. Editor : Efendi H, Santosa K. Jakarta : EGC. 1997. 136-137.
10. Levenson, Mark J. Home of the Surgery Information Centre. Meniere
Syndrome. 2009. Available at :
http://www.earsurgery.org/site/pages/conditions/menieres-syndrome.php.
Accessed on November 19th, 2015.

47

Anda mungkin juga menyukai