Anda di halaman 1dari 28

TUGAS

CARING
ANAK DENGAN GANGGUAN RETARDASI MENTAL DAN REMAJAN DENGAN
GANGGUAN KONSEP DIRI

Disusun oleh :
ANAK AGUNG GEDE DWITIYO ARI W

010113A009

FAKULTAS KEPERAWATAN-S1
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO
UNGARAN
2016

0
DEFINISI RETARDASI MENTAL
Keterbelakangan Mental (Retardasi Mental, RM) adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan fungsi kecerdasan umum yang berada dibawah rata-rata disertai dengan
berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri (berpelilaku adaptif), yang mulai
timbul sebelum usia 18 tahun. Orang-orang yang secara mental mengalami
keterbelakangan, memiliki perkembangan kecerdasan (intelektual) yang lebih rendah dan
mengalami kesulitan dalam proses belajar serta adaptasi sosial. 3% dari jumlah penduduk
mengalami keterbelakangan mental.
Retardasi mental adalah kelainan ataua kelemahan jiwa dengan inteligensi yang
kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak).
Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala
yang utama ialah inteligensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia
(oligo: kurang atau sedikit dan fren: jiwa) atau tuna mental (W.F. Maramis, 2005: 386).
Pada Wikipedia (The Free Encyclopedia, 2010), dinyatakan: Mental retardation (MR)
is a generalized disorder, characterized by significantly impaired cognitive functioning
and deficits in two or more adaptive behaviors with onset before the age of 18. It has
historically been defined as an Intelligence Quotient score under 70. The term mental
retardation is a diagnostic term denoting the group of disconnected categories of
mental functioning such as idiot, imbecile, and moron derived from early IQ
tests, which acquired pejorative connotations in popular discourse.
Retardasi mental merupakan kelemahan yang terjadi pada fungsi intelek. Kemampuan
jiwa retardasi mental gagal berkembang secara wajar. Mental, inteligensi, perasaan, dan
kemauannya berada pada tingkat rendah, sehingga yang bersangkutan mengalami
hambatan dalam penyesuaian diri.
Retardasi mental adalah kelainan atau kelemahan jiwa dengan inteligensi yang kurang
(subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak). Biasanya
terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala yang utama
ialah inteligensi yang terbelakang. Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo:
kurang atau sedikit dan fren: jiwa) atau tuna mental (W.F. Maramis, 2005: 386).
Retardasi mental (RM) adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki kemampuan
mental yang tidak mencukupi (WHO).

1
American Association on Mental Deficiency (AAMD) membuat definisi retardasi
mental yang kemudian direvisi oleh Rick Heber (1961) sebagai suatu penurunan fungsi
intelektual secara menyeluruh yang terjadi pada masa perkembangan dan dihubungkan
dengan gangguan adaptasi sosial.

ETIOLOGI
Adanya disfungsi otak merupakan dasar dari retardasi mental. Untuk mengetahui
adanya retardasi mental perlu anamnesis yang baik,
pemeriksaan fisik dan laboratorium. Penyebab dari
retardasi mental sangat kompleks dan multifaktorial.
Walaupun begitu terdapat beberapa factor yang
potensial berperanan dalam terjadinya retardasi
mental seperti yang dinyatakan oleh Taft LT (1983)
dan Shonkoff JP (1992) dibawah ini.
Penyebab retardasi mental dapat terjadi mulai dari
fase pranatal, perinatal dan postnatal. Beberapa
penulis secara terpisah menyebutkan lebih dari 1000 macam penyebab terjadinya
retardasi mental, dan banyak diantaranya yang dapat dicegah. Ditinjau dari penyebab
secara langsung dapat digolongkan atas penyebab biologis dan psikososial.

Penyebab biologis atau sering disebut retardasi mental tipe klinis mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Pada umumnya merupakan retardasi mental sedang sampai sangat berat
2. Tampak sejak lahir atau usia dini
3. Secara fisis tampak berkelainan/aneh
4. Mempunyai latar belakang biomedis baik pranatal, perinatal maupun postnatal
5. Tidak berhubungan dengan kelas sosial
Penyebab psikososial atau sering disebut tipe sosiokultural mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Biasanya merupakan retardasi mental ringan
2. Diketahui pada usia sekolah
3. Tidak terdapat kelainan fisis maupun laboratorium
4. Mempunyai latar belakang kekurangan stimulasi mental (asah)
2
5. Ada hubungan dengan kelas sosial
Melihat struktur masyarakat Indonesia, golongan sosio ekonomi rendah masih
merupakan bagian yang besar dari penduduk, dapat diperkirakan bahwa retardasi mental
di Indonesia yang terbanyak adalah tipe sosio-kultural.
Penyebab retardasi mental tipe klinis atau biologikal dapat dibagi dalam:
a. Penyebab pranatal
1) Gangguan metabolisme
Gangguan metabolisme asam amino yaitu Phenyl Keton Uria (PKU), Maple Syrup Urine
Disease, gangguan siklus urea, histidiemia, homosistinuria, Distrofia okulorenal Lowe,
hiperprolinemia, tirosinosis dan hiperlisinemia. Gangguan metabolisme lemak yaitu
degenerasi serebromakuler dan lekoensefalopati progresif. Gangguan metabolisme
karbohidrat yaitu galaktosemia dan glycogen storabe disease.
2) Kelainan Kromosom
Kelainan kromosom muncul dibawah 5 persen kehamilan, kebanyakan kehamilan yang
memilki kelainan kromosom berakhri dengan kasus keguguran hanya setenggah dari satu
persen yang lahir memiliki kelainan kromosom, dan akan meninggal segera setelah lahir.
bayi yang bertahan, kebanyakan akan memiliki kelainan down syndrome, atau trisomy
21. Manusia normal memiliki 46 kromosom (23 pasang). orang dengan kelainan down
syndrome memiliki 47 kromosom (23 pasang + 1 kromosom pada kromosom ke 21).
3) Infeksi maternal selama kehamilan
yaitu infeksi TORCH dan Sifilis. Cytomegali inclusion body disease merupakan penyakit
infeksi virus yang paling sering menyebabkan retardasi mental. Infeksi virus ringan atau
subklinik pada ibu hamil dapat menyebabkan kerusakan otak janin yang bersifat fatal.
Penyakit Rubella kongenital juga dapat menyebabkan defisit mental.
4) Komplikasi kehamilan
Meliputi toksemia gravidarum, Diabetes Mellitus pada ibu hamil yang tak terkontrol,
malnutrisi, anoksia janin akibat plasenta previa dan solutio plasenta serta penggunaan
sitostatika selama hamil.

b. Penyebab perinatal
1) Prematuritas

3
Dengan kemajuan teknik obstetri dan kemajuan perinatologi menyebabkan meningkatnya
keselamatan bayi dengan berat badan lahir rendah sedangkan bayi-bayi tersebut
mempunyai resiko besar untuk mengalami kerusakan otak, sehingga akan didapatkan
lebih banyak anak dengan retardasi mental.
2) Asfiksia
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan
teratur. Bayi dengan riwayat gawat janin sebelum lahir, umumnya akan mengalami
asfiksia pada saat dilahirkan.
3) Kernikterus
Kernikterus adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di
dalam sel-sel otak.
4) Hipoglikemia: menurunnya kadar gula dalam darah.

c. Penyebab postnatal
1) Infeksi (meningitis, ensefalitis)
2) Trauma fisik
3) Kejang lama
4) Intoksikasi (timah hitam, merkuri)

KLASIFIKASI RETARDASI MENTAL


Berikut ini adalah klasifikasi retardasi mental berdasarkan PPDGJ III:
1. F70 Retardasi Mental Ringan (IQ 55-69)
Mulai tampak gejalanya pada usia sekolah dasar, misalnya sering tidak naik kelas,
selalu memerlukan bantuan untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau mengerjakan hal-
hal yang berkaitan pekerjaan rumah atau mengerjakan hal-hal yang berkaitan dengan
kebutuhan pribadi. 80 % dari anak RM termasuk pada golongan ini. Dapat menempuh
pendidikan Sekolah Dasar kelas VI hingga tamat SMA. Ciri-cirinya tampak lamban dan
membutuhkan bantuan tentang masalah kehidupannya.
2. F71 Retardasi Mental Sedang (IQ 35-49)
Sudah tampak sejak anak masih kecil dengan adanya keterlambatan dalam
perkembangan, misalnya perkembangan wicara atau perkembangan fisik lainnya. Anak
4
ini hanya mampu dilatih untuk merawat dirinya sendiri, pada umumnya tidak mampu
menyelesaikan pendidikan dasarnya, angka kejadian sekitar 12% dari seluruh kasus RM.
Anak pada golongan ini membutuhkan pelayanan pendidikan yang khusus dan dukungan
pelayanan.
3. F72 Retardasi Mental Berat (IQ 20- 34)
Tampak sejak lahir, yaitu perkembangan motorik yang buruk dan kemampuan bicara
yang sangat minim, anak ini hanya mampu untuk dilatih belajar bicara dan keterampilan
untuk pemeliharaan tubuh dasar, angka kejadian 8% dari seluruh RM. Memiliki lebih dari
1 gangguan organik yang menyebabkan keterlambatannya, memerlukan supervisi yang
ketat dan pelayanan khusus.
4. F73 Retardasi Mental Sangat Berat (IQ < 20)
Sudah tampak sejak lahir yaitu gangguan kognitif, motorik, dan komunikasi yang
pervasif. Mengalami gangguan fungsi motorik dan sensorik sejak awal masa kanak-
kanak, individu pada tahap ini memerlukan latihan yang ekstensif untuk melakukan self
care yang sangat mendasar seperti makan, BAB, BAK. Selain itu memerlukan supervisi
total dan perawatan sepanjang hidupnya, karena pada tahap ini pasien benar-benar tidak
mampu mengurus dirinya sendiri.
5. F78 Retardasi Mental lainnya
Kategori ini hanya dignakan bila penilaian dari tingkat Retardasi Mental intelektual
dengan memakai prosedur biasa sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan karena adanya
hendaya sensorik atau fisik, seperti buta, bisu tli, dan penyandang yang perilakunya
terganggu berat atau fisiknya tidak mampu.

DIAGNOSIS & GEJALA RETARDASI MENTAL


Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas tes intelegensia saja,
melainkan juga dari riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari sekolah,
pemeriksaan fisis, laboratorium, pemeriksaan penunjang. Yang perlu dinilai tidak hanya
intelegensia saja melainkan juga adaptasi sosialnya. Dari anamnesis dapat diketahui
beberapa faktor risiko terjadinya retardasi mental. Pemeriksaan fisis pada anak retardasi
5
mental biasanya lebih sulit dibandingkan pada anak normal, karena anak retardasi mental
kurang kooperatif. Selain pemeriksaan fisis secara umum (adanya tanda-tanda dismorfik
dari sindrom-sindrom tertentu) perlu dilakukan pemeriksaan neurologis, serta penilaian
tingkat perkembangan. Pada pemeriksaan fisik pasien dengan retardasi mental dapat
ditemukan berbagai macam perubahan bentuk fisik, misalnya perubahan bentuk kepala:
mikrosefali, hidrosefali, dan down syndrome. Wajah pasien dengan retardasi menral
sangan mudah dikenali seperti hipertelorisme, yaitu lidah yang menjulur keluar,
gangguan pertumbuhan gigi dan ekspresi wajah yang tampak tumpul.
Pada anak yang berumur diatas 3 tahun dilakukan tes intelegensia. Namun, tingkat
kecerdasan intelegensia bukan satu-satunya karakteristik, melainkan harus dinilai
berdasarkan sejumlah besar ketrampilan spesifik yang berbeda. penilaian tingkat
kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang tersedia, termasuk temuan klinis,
prilaku adaptif dan hasil tes psikometrik. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) kepala
dapat membantu menilai adanya kalsifikasi serebral, perdarahan intra kranial pada bayi
dengan ubun-ubun masih terbuka. Pemeriksaan laboratorium dilakuka atas indikasi,
pemeriksaan ferriklorida dan asam amino urine dapat dilakukan sebagai screening PKU.
Pemeriksaan analisis kromosom dilakukan bila dicurigai adanya kelainan kromosom
yang mendasari retardasi mental tersebut. Beberapa pemeriksaan penunjang lain dapat
dilakukan untuk membantu seperti pemeriksaan BERA, CT-Scan, dan MRI. Kesulitan
yang dihadapi adalah kalau penderita masih dibawah umur 2-3 tahun, karena kebanyakan
tes psikologis ditujukan pada anak yang lebih besar. Pada bayi dapat dinilai
perkembangan motorik halus maupun kasar, serta perkembangan bicara dan bahasa.
Biasanya penderita retardasi mental juga mengalami keterlambatan motor dan American
Psychiatric Association (APA) pada tahun 1994, mensyaratkan tiga diagnosis
keterbelakangan mental, yaitu:
1) Fungsi intelektual secara signifikan dibawah rata-rata: IQ sekitar 70 atau kurang menurut
tes IQ yang diadakan secara individu.
Ketidakmampuan atau kelemahan yang terjadi bersamaan dengan fungsi adaptasi saat ini
(yakni efektivitas seseorang dalam memenuhi standar yang diharapkan pada usianya
dengan kelompok budayanya) setidaknya dalam bidang berikut ini: yaitu komunikasi,
perhatian diri sendiri, kehidupan rumah tangga, keterampilan sosial-interpersonal,
6
penggunaan sumber dalam komunitas, self dierection, keterampilan akademik fungsional,
pekerjaan, waktu luang, kesehatan dan keamanan.
2) Terjadi sebelum berusia 18 tahun.
Tingkatan keterbelakangan mental menurut APA, diklasifikasikan menjadi mild
retardation (tingkat IQ 50 atau 55 sampai sekitar 70), moderate mental retardation
(tingkat IQ 35 atau 40 sampai 50 atau 55), severe mental retardation (tingkat IQ 20 atau
25 sampai 35 atau 40), dan profound mental retardation (tingkat IQ dibawah 20 atau 25).
Dibawah ini sekilas tentang perubahan perilaku terkait usia pada anak dengan
keterbelakangan mental :
Keterbelakangan Mental Ringan (IQ = 50 -70)
1) Anak prasekolah (0 5 tahun): lebih lambat daripada rata-rata dalam berjalan, makan
sendiri, dan berbicara, namun pengamat sambil lalu tidak melihat keterbelakangan ini.
2) Usia sekolah (6 21 tahun): Belajar keterampilan motorik-pemahaman dan kognisi
(membaca dan arithmatic) di kelas tiga sampai kelas enam oleh remaja tahap ini, dapat
belajar untuk menyesuaikan diri secara sosial.
3) Dewasa (21 tahun keatas): Biasanya mencapai keterampilan sosial dan kejuruan yang
diperlukan untuk merawat diri, membutuhkan bimbingan dan bantuan ketika berada pada
kondisi ekonomi sulit atau stress sosial.

Keterbelakangan Mental menengah (IQ = 35 49)


1) Anak prasekolah (0 5 tahun): sebagian besar perkembangan kelihatan dengan jelas
terlambat.
2) Usia sekolah (6 21 tahun): belajar berkomunikasi dan merawat kesehatan dasar dan
kebutuhan keamanan.
3) Dewasa (21 tahun keatas): melakukan tugas tanpa keterampilan atau semi terampil
sederhana pada kondisi yang diawasi, berpartisipasi pada permainan sederhana dan
melakukan perjalanan sendiri di tempat yang dikenal, mampu merawat diri sendiri.

Keterbelakangan Mental Berat (IQ = 20 34)

7
1) Anak prasekolah (0 5 tahun): perkembangan motorik sangat tertunda, sedikit atau tidak
berbicara, mendapat mamfaat dari pelatihan mengerjakan sendiri (misalnya makan
sendiri).
2) Usia sekolah (6 21 tahun): biasanya berjalan kecuali jika terdapat ketidakmampuan
motorik, dapat memahami dan merespon pembicaraan, dapat mengambil mamfaat dari
pelatihan mengenai kesehatan dan kebiasaan lain yang dapat diterima.
3) Dewasa (21 tahun keatas): melakukan kegiatan rutin sehari-hari dan memperbesar
perawatan diri sendiri, memerlukan petunjuk dan pengawasan ketat dalam lingkungan
yang dapat dikendalikan.

Keterbelakangan Mental Sangat Berat (IQ dibawah 20)


1) Anak prasekolah (0 5 tahun): keterbelakangan ekstrem disemua bidang, kemampuan
sensorik minimal, membutuhkan bantuan perawatan diri.
2) Usia sekolah (6 21 tahun): semua bidang perkembangan tampak jelas tertunda, respon
berupa emosi dasar dan mendapatkan manfaat dari pelatihan dalam penggunaan anggota
badan dan mulut, harus diawasi dengan ketat.
3) Dewasa (21 tahun keatas): barangkali dapat berjalan dan berbicara dengan cara primitive,
mendapatkan mamfaat dari aktivitas fisik regular, tidak dapat merawat diri sendiri, tetapi
membutuhkan bantuan perawatan diri.

Gejala klinis retardasi mental terutama yang berat sering disertai beberapa kelainan fisik
yang merupakan stigmata congenital yang kadang-kadang gambaran stigmata mengarah
kesuatu sindrom penyakit tertentu. Dibawah ini beberapa kelaianan fisik dan gejala yang
sering disertai retardasi mental, yaitu :

1. Kelainan pada mata :


a. Katarak

1) Sindrom Cockayne

2) Sindrom Lowe
8
3) Galactosemia

4) Sindrom Down

5) Kretin

6) Rubella Pranatal, dll.

b. Bintik cherry-merah pada daerah macula

1) Mukolipidosis

2) Penyakit Niemann-Pick

3) Penyakit Tay-Sachs

c. Korioretinitis

1) Lues congenital

2) Penyakit Sitomegalovirus

3) Rubella Pranatal

d. Kornea keruh

1) Lues Congenital

2) Sindrom Hunter

3) Sindrom Hurler

4) Sindrom Lowe

2. Kejang

a. Kejang umum tonik klonik

1) Defisiensi glikogen sinthesa

2) Hipersilinemia
9
3) Hipoglikemia, terutama yang disertai glikogen storage disease I, III, IV, dan VI

4) Phenyl ketonuria

5) Sindrom malabsobrsi methionin, dll.

b. Kejang pada masa neonatal

1) Arginosuccinic asiduria

2) Hiperammonemia I dan II

3) Laktik asidosis, dll.

3. Kelainan kulit

a. Bintik caf-au-lait

1) Atakasia-telengiektasia

2) Sindrom bloom

3) Neurofibromatosis

4) Tuberous selerosis

4. Kelainan rambut

a. Rambut rontok

1) Familial laktik asidosis dengan Necrotizing ensefalopati

b. Rambut cepat memutih

1) Atrofi progresif serebral hemisfer

2) Ataksia telangiektasia

3) Sindrom malabsorbsi methionin

10
c. Rambut halus

1) Hipotiroid

2) Malnutrisi

5. Kepala

a. Mikrosefali

b. Makrosefali

1) Hidrosefalus

2) Neuropolisakaridase

3) Efusi subdural

6. Perawakan pendek

a. Kretin

b. Sindrom Prader-Willi

7. Distonia

a. Sindrom Hallervorden-Spaz

11
PATOFISIOLOGI RETARDASI MENTAL

Faktor Genetik Faktor Prenatal Faktor Perinatal Faktor Pascanatal

Gizi Proses Infeksi


Kelainan jumlah
Mekanis kelahiran Trauma
dan bentuk lama
Toksin kapitalis, tumor
kromoson Posisi janin otak
Endokrin
Radiasi abnormal Kelainan tulang
Infeksi Kecelakaan tengkorak
Stress pd waktum Kelainan
Imunitas lahir & endokrin &
Anoreksia kegawatan metabolik,
embrio fatal keracunan otak

Kerusakan pada fungsi otak :


Hemisfer kanan : keterlambatan perkembangan motorik kasar dan halus
Hemisfer kiri : keterlambatan perkembangan bahasa, social, dan kognitif

Penurunan fungsi intelektual secara umum


Gangguan perilaku adaptif social

Keluarga Hubungan social Perkembangan

Fungsi intelektual
3. Kecemasan keluarga 6. Gangguan komunikasi
4. Kurang pengetahuan verbal menurun
5. Koping keluarga tidak 7. Gangguan bermain
efektif. 8. Isolasi social
9.Kerusakan interaksi 1. Resiko
sosial ketergantungan
2. Resiko cedera

12
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan penunjang perlu dilakukan pada anak yang menderita
retardasi mental,yaitu:
1. Kromosom kariotipe
2. EEG (Elektro Ensefalogram)
3. CT (Cranial Computed Tomography) atau MRI (Magnetic Resonance Imaging)
4. Titer virus untuk infeksi congenital
5. Serum asam urat (Uric acid serum)
6. Laktat dan piruvat
7. Plasma asam lemak rantai sangat panjang
8. Serum seng (Zn)
9. Logam berat dalam darah
10. Serum tembaga (Cu) dan ceruloplasmin
11. Serum asam amino atau asam organik
12. Plasma ammonia
13. Analisa enzim lisozom pada lekosit atau biopsy kulit:
14. Urin mukopolisakarida

PROGNOSIS RETARDASI MENTAL


Mengukur kecerdasan dan perilaku adaptif dapat membantu klasifikasi dari
kecenderungan keterbelakangan dan dapat memprediksikan apakah individu tersebut
dapat hidup secara independen. Individu dengan keterbelakangan mental menengah
(moderate mental retardation) lebih sering ditemukan dapat mencapai seilf-sufficiency
dan mendapatkan hidup yang bahagia. Untuk mencapai tujuannya, mereka membutuhkan
lingkungan yang sesuai dan mendukung seperti pendidikan, komunitas, lingkungan
sosial, keluarga dan keterampilan yang konsisten. Harapannya lebih kecil untuk individu
yang menderita keterbelakangan mental sangat berat (profound retardation). Individu
dengan profound retardation membutuhkan dukungan yang besar dan biasanya tidak bisa
hidup secara independen atau di rumah secara berkelompok.
Penelitian menemukan bahwa mereka memiliki harapan hidup yang lebih kecil.
Kecenderungan dari keterbelakangan invidu cenderung menetap selama hidup. Misalkan
seorang anak didiagnosa memiliki keterbelakangan mental berat (severe) pada usia 5
tahun, maka ia akan memiliki diagnosa yang sama pada usia 21 tahun. Hal ini mungkin
tidak akan terlalu terlihat oleh keluarga mereka, dimana anak-anak dengan
keterbelakangan memiliki kemampuan yang mirip dengan rekan-rekan mereka, namun
akan nampak bahwa mereka akan semakin tertinggal dengan sejalannya usia mereka.
13
PENCEGAHAN RETARDASI MENTAL
Karena penyembuhan dari retardasi mental ini boleh dikatakan menyebabkan
kerusakan dari sel-sel otak, tidak mungkin fungsinya dapat kembali normal maka yang
penting adalah pencegahan primer yaitu usaha yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya penyakit. Dengan memberikan perlindungan terhadap penyakit-penyakit yang
potensial dapat menyebabkan retardasi mental, misalnya melalui imunisasi. Konseling
perkawinan, pemeriksaan kehamilan yang rutin, nutrisi yang baik selama kehamilan dan
bersalin pada tenaga kesehatan yang berwenang maka dapat membantu menurunkan
angka kejadian retardasi mental. Demikian pula dengan mengentaskan kemiskinan
dengan membuka lapangan kerja, memberikan pendidikan yang baik, memperbaiki
sanitasi lingkungan, meningkatkan gizi keluarga akan meningkatkan ketahanan terhadap
penyakit. Dengan adanya program BKB (Bina Keluarga dan Balita ) yang merupakan
stimulasi mental dini dan bisa dikembangkan juga deteksi dini maka dapat
mengoptimalkan perkembangan anak.
Terjadinya retardasi mental dapat dicegah. Pencegahan retardasi mental dapat
dibedakan menjadi dua: pencegahan primer dan pencegahan sekunder.
Pencegahan Primer
Usaha pencegahan primer terhadap terjadinya retardasi mental dapat dilakukan dengan:
a. pendidikan kesehatan pada masyarakat,
b. perbaikan keadaan sosial-ekonomi,
c. konseling genetik,
d. Tindakan kedokteran, antara lain:
a. perawatan prenatal dengan baik,
b. pertolongan persalinan yang baik, dan
c. pencegahan kehamilan usia sangat muda dan terlalu tua.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder terhadap terjadinya retardasi mental dapat dilakukan dengan
diagnosis dan pengobatan dini peradangan otak dan gangguan lainnya.
Diagnosis dini sangat penting dengan melakukan skrining sedini mungkin terutama
pada tahun pertama maka dapat dilakukan intervensi yang dini pula. Misalnya diagnosis
dini dan terpi dini hipotiroid dapat memperkecil kemungkinan retardasi mental. Deteksi
14
dan intervensi dini pada retardasi mental sangat membantu memperkecil retardasi yang
terjadi. Konsep intervensi pada retardasi mental yang berdasarkan pemikiran bahwa
intervensi dapat merubah status perkembangan anak. Makin sering dan makin dini
intervensi dilakukan, maka makin baik hasilnya. Tetapi makin berat tingkat kecacatan
maka hasil yang dicapai juga makin kurang. Hasil akhir suatu intervensi adalah makin
dini dan teratur suatu intervensi yang diberikan makin baik hasilnya sehingga agak
mengurangi kecacatannya. Namun pada anak yang penyebabnya sangat kompleks, latar
belakang social dan kebiasaan yang kurang baik dan intervensi yang tidak teratur maka
hasilnya juga tidak memuaskan.

1.1 Pengertian Konsep Diri

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu
tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart dan
Sudeen, 1998).

Hal ini temasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain
dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta
keinginannya.

15
Sedangkan menurut Beck, Willian dan Rawlin (1986) menyatakan bahwa konsep diri adalah
cara individu memandang dirinya secara utuh, baik fisikal, emosional intelektual , sosial dan
spiritual.

2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Menurut Stuart dan Sudeen ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
konsep diri. Faktor-foktor tersebut terdiri dari teori perkembangan, Significant Other (orang yang
terpenting atau yang terdekat) dan Self Perception (persepsi diri sendiri).

1. Teori perkembangan.

Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti
mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya
memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi
lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pangalaman
budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri
atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.

2. Significant Other ( orang yang terpenting atau yang terdekat )

Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri
sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interprestasi diri
pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja
dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting
sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialisasi.

3. Self Perception ( persepsi diri sendiri )

Yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu
terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan
diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar
dari prilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang
dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan
16
intelektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari
hubungan individu dan sosial yang terganggu.

2.3 Pembagian Konsep Diri

Konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian. Pembagian Konsep diri tersebut di kemukakan
oleh Stuart and Sundeen ( 1991 ), yang terdiri dari :

1. Gambaran diri ( Body Image )

Gambaran diri adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini
mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan dan potensi tubuh
saat ini dan masa lalu yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan pengalaman baru
setiap individu (Stuart and Sundeen , 1991). Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian
tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan
mulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan ( Keliat ,1992 ).

Gambaran diri ( Body Image ) berhubungan dengan kepribadian. Cara individu memandang
dirinya mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologinya. Pandangan yang realistis
terhadap dirinya manarima dan mengukur bagian tubuhnya akan lebih rasa aman, sehingga
terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri (Keliat, 1992). Individu yang stabil,
realistis dan konsisten terhadap gambaran dirinya akan memperlihatkan kemampuan yang
mantap terhadap realisasi yang akan memacu sukses dalam kehidupan.

Banyak Faktor dapat yang mempengaruhi gambaran diri seseorang, seperti, munculnya
Stresor yang dapat menggangu integrasi gambaran diri. Stresor-stresor tersebut dapat berupa :

1. Operasi.

Seperti : mastektomi, amputsi, luka operasi yang semuanya mengubah gambaran diri.
Demikian pula tindakan koreksi seperti operasi plastik, protesa dan lain lain.

2. Kegagalan fungsi tubuh.

17
Seperti : hemiplegi, buta, tuli dapat mengakibatkan depersonlisasi yaitu tadak mengkui atau
asing dengan bagian tubuh, sering berkaitan dengan fungsi saraf.

3. Waham yang berkaitan dengan bentuk dan fungsi tubuh

Seperti : sering terjadi pada seseorang yang mengalami gangguan jiwa, seseorang tersebut
mempersiapkan penampilan dan pergerakan tubuh sangat berbeda dengan kenyataan.

4. Tergantung pada mesin.

Seperti : seseorang yang sedang menjalani intensif care yang memandang imobilisasi sebagai
tantangan, akibatnya sukar mendapatkan informasi umpan balik engan penggunaan lntensif care
dipandang sebagai gangguan.

5. Perubahan tubuh berkaitan

Hal ini berkaitan dengan tumbuh kembang dimana seseorang akan merasakan perubahan
pada dirinya seiring dengan bertambahnya usia. Tidak jarang seseorang menanggapinya dengan
respon negatif dan positif. Ketidakpuasan juga dirasakan seseorang jika didapati perubahan
tubuh yang tidak ideal.

6. Umpan balik interpersonal yang negatif

Umpan balik ini adanya tanggapan yang tidak baik berupa celaan, makian sehingga dapat
membuat seseorang menarik diri.

7. Standard sosial budaya.

Hal ini berkaitan dengan kultur sosial budaya yang berbeda-setiap pada setiap orang dan
keterbatasannya serta keterbelakangan dari budaya tersebut menyebabkan pengaruh pada
gambaran diri individu, seperti adanya perasaan minder.

Beberapa gangguan pada gambaran diri tersebut dapat menunjukan tanda dan gejala, seperti :

1. Syok Psikologis.
18
Syok Psikologis merupakan reaksi emosional terhadap dampak perubahan dan dapat terjadi
pada saat pertama tindakan.syok psikologis digunakan sebagai reaksi terhadap ansietas.
Informasi yang terlalu banyak dan kenyataan perubahan tubuh membuat seseorang menggunakan
mekanisme pertahanan diri seperti mengingkari, menolak dan proyeksi untuk mempertahankan
keseimbangan diri.

2. Menarik diri.

Seseorang menjadi sadar akan kenyataan, ingin lari dari kenyataan , tetapi karena tidak
mungkin maka seseorang lari atau menghindar secara emosional. Seseorang menjadi pasif,
tergantung , tidak ada motivasi dan keinginan untuk berperan dalam perawatannya.

3. Penerimaan atau pengakuan secara bertahap.

Setelah seseorang sadar akan kenyataan maka respon kehilangan atau berduka muncul.
Setelah fase ini seseorang mulai melakukan reintegrasi dengan gambaran diri yang baru.

Tanda dan gejala dari gangguan gambaran diri di atas adalah proses yang adaptif, jika tampak
gejala dan tanda-tanda berikut secara menetap maka respon seseorang dianggap maladaptif
sehingga terjadi gangguan gambaran diri yaitu :

1. Menolak untuk melihat dan menyentuh bagian yang berubah.


2. Tidak dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh.
3. Mengurangi kontak sosial sehingga terjadi menarik diri.
4. Perasaan atau pandangan negatif terhadap tubuh.
5. Preokupasi dengan bagian tubuh atau fungsi tubuh yang hilang.
6. Mengungkapkan keputusasaan.
7. Mengungkapkan ketakutan ditolak.
8. Depersonalisasi.
9. Menolak penjelasan tentang perubahan tubuh.

2. Ideal Diri

Ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku berdasarkan
standart, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu (Stuart and Sundeen ,1991).
Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang akan diinginkan atau sejumlah aspirasi,
cita-cita, nilai- nilai yang ingin di capai . Ideal diri akan mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang

19
ingin dicapai. Ideal diri akan mewujudkan citacita dan harapan pribadi berdasarkan norma
sosial (keluarga budaya) dan kepada siapa ingin dilakukan .
Ideal diri mulai berkembang pada masa kanakkanak yang di pengaruhi orang yang penting
pada dirinya yang memberikan keuntungan dan harapan pada masa remaja ideal diri akan di
bentuk melalui proses identifikasi pada orang tua, guru dan teman.

Menurut Ana Keliat ( 1998 ) ada beberapa faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu :

1. Kecenderungan individu menetapkan ideal pada batas kemampuannya.

2. Faktor budaya akan mempengaruhi individu menetapkan ideal diri.

3. Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang realistis, keinginan untuk
mengklaim diri dari kegagalan, perasan cemas dan rendah diri.

4. Kebutuhan yang realistis.

5. Keinginan untuk menghindari kegagalan .

6. Perasaan cemas dan rendah diri.

Agar individu mampu berfungsi dan mendemonstrasikan kecocokan antara persepsi diri dan
ideal diri. Ideal diri ini hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi, tetapi masih lebih tinggi dari
kemampuan agar tetap menjadi pendorong dan masih dapat dicapai (Keliat, 1992 ).

3. Harga Diri

Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa
jauh prilaku memenuhi ideal diri (Stuart and Sundeen, 1991).

Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang
tinggi. Jika individu sering gagal , maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari
diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah di cintai dan menerima penghargaan dari orang
lain (Keliat, 1992). Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut.
Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah.
20
Harga diri tinggi terkait dengam ansietas yang rendah, efektif dalam kelompok dan diterima
oleh orang lain. Sedangkan harga diri rendah terkait dengan hubungan interpersonal yang buruk
dan resiko terjadi depresi dan skizofrenia. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai
perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri
rendah dapat terjadi secara situasional ( trauma ) atau kronis ( negatif self evaluasi yang telah
berlangsung lama ). Dan dapat di ekspresikan secara langsung atau tidak langsung (nyata atau
tidak nyata).

Menurut beberapa ahli dikemukakan faktor-Fator yang mempengaruhi gangguan harga diri,
seperti :

1. Perkembangan individu.

Faktor predisposisi dapat dimulai sejak masih bayi, seperti penolakan orang tua
menyebabkan anak merasa tidak dicintai dan mengkibatkan anak gagal mencintai dirinya dan
akan gagal untuk mencintai orang lain. Pada saat anak berkembang lebih besar, anak mengalami
kurangnya pengakuan dan pujian dari orang tua dan orang yang dekat atau penting baginya. Ia
merasa tidak adekuat karena selalu tidak dipercaya untuk mandiri, memutuskan sendiri akan
bertanggung jawab terhadap prilakunya. Sikap orang tua yang terlalu mengatur dan mengontrol,
membuat anak merasa tidak berguna.

2. Ideal Diri tidak realistis.

Individu yang selalu dituntut untuk berhasil akan merasa tidak punya hak untuk gagal dan
berbuat kesalahan. Ia membuat standart yang tidak dapat dicapai, seperti cita cita yang terlalu
tinggi dan tidak realistis. Yang pada kenyataan tidak dapat dicapai membuat individu
menghukum diri sendiri dan akhirnya percaya diri akan hilang.

3. Gangguan fisik dan mental

Gangguan ini dapat membuat individu dan keluarga merasa rendah diri.

4. Sistim keluarga yang tidak berfungsi.

21
Orang tua yang mempunyai harga diri yang rendah tidak mampu membangun harga diri anak
dengan baik. Orang tua memberi umpan balik yang negatif dan berulang-ulang akan merusak
harga diri anak. Harga diri anak akan terganggu jika kemampuan menyelesaikan masalah tidak
adekuat. Akhirnya anak memandang negatif terhadap pengalaman dan kemampuan di
lingkungannya.

5. Pengalaman traumatik yang berulang,misalnya akibat aniaya fisik, emosi dan seksual.

Penganiayaan yang dialami dapat berupa penganiayaan fisik, emosi, peperangan, bencana
alam, kecelakan atau perampokan. Individu merasa tidak mampu mengontrol lingkungan.
Respon atau strategi untuk menghadapi trauma umumnya mengingkari trauma, mengubah arti
trauma, respon yang biasa efektif terganggu. Akibatnya koping yang biasa berkembang adalah
depresi dan denial pada trauma.

4. Peran

Peran adalah sikap dan perilaku nilai serta tujuan yang diharapkan dari seseorang
berdasarkan posisinya di masyarakat ( Keliat, 1992 ). Peran yang ditetapkan adalah peran
dimana seseorang tidak punya pilihan, sedangkan peran yang diterima adalah peran yang terpilih
atau dipilih oleh individu. Posisi dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri.

Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok
dengan ideal diri. Posisi di masyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur
sosial yang menimbulkan kesukaran, tuntutan serta posisi yang tidak mungkin dilaksanakan
( Keliat, 1992 ).

Stress peran terdiri dari konflik peran yang tidak jelas dan peran yang tidak sesuai atau peran
yang terlalu banyak.

Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri dengan peran yang harus di
lakukan menurut Stuart and sundeen, 1998 adalah :

22
1. Kejelasan prilaku dengan penghargaan yang sesuai dengan peran.
2. Konsisten respon orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan .
3. Kesesuain dan keseimbangan antara peran yang di emban.
4. Keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran.
5. Pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidak sesuain perilaku peran.

Menurut Stuart and Sunden Penyesuaian individu terhadap perannya di pengaruhi oleh
beberapan faktor, yaitu :

1. Kejelasan prilaku yang sesuai dengan perannya serta pengetahuan yang spesifik tentang
peran yang diharapkan .

2. Konsistensi respon orang yang berarti atau dekat dengan peranannya.

3. Kejelasan budaya dan harapannya terhadap prilaku perannya.

4. Pemisahan situasi yang dapat menciptakan ketidak selarasan

Sepanjang kehidupan individu sering menghadapi perubahan-perubahan peran, baik yang


sifatnya menetap atau sementara yang sifatnya dapat karena situasional. Hal ini, biasanya disebut
dengan transisi peran. Transisi peran tersebut dapat di kategorikan menjadi beberapa bagian,
seperti :

1. Transisi Perkembangan.

Setiap perkembangan dapat menimbulkan ancaman pada identitas. Setiap perkembangan


harus di lalui individu dengan menjelaskan tugas perkembangan yang berbeda beda. Hal ini
dapat merupakan stresor bagi konsep diri.

2. Transisi Situasi.

Transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan, bertambah atau berkurang orang yang
berarti melalui kelahiran atau kematian, misalnya status sendiri menjadi berdua atau menjadi
orang tua. Perubahan status menyebabkan perubahan peran yang dapat menimbulkan ketegangan
peran yaitu konflik peran, peran tidak jelas atau peran berlebihan.

23
3. Transisi sehat sakit.

Stresor pada tubuh dapat menyebabkan gangguan gambaran diri dan berakibat diri dan
berakibat perubahan konsep diri. Perubahan tubuh dapat mempengaruhi semua kompoen konsep
diri yaitu gambaran diri, identitas diri peran dan harga diri. Masalah konsep diri dapat di
cetuskan oleh faktor psikologis, sosiologi atau fisiologi, namun yang penting adalah persepsi
seseorang terhadap ancaman.

Selain itu dapat saja terjadi berbagai gangguan peran, penyebab atau faktor-faktor ganguan
peran tersebut dapat di akibatkan oleh :

1. Konflik peran interpersonal

Individu dan lingkungan tidak mempunyai harapan peran yang selaras.

2. Contoh peran yang tidak adekuat.

3. Kehilangan hubungan yang penting

4. Perubahan peran seksual

5. Keragu-raguan peran

6. Perubahan kemampuan fisik untuk menampilkan peran sehubungan dengan proses menua

7. Kurangnya kejelasan peran atau pengertian tentang peran

8. Ketergantungan obat

9. Kurangnya keterampilan sosial

10. Perbedaan budaya

11. Harga diri rendah

12. Konflik antar peran yang sekaligus di perankan


24
Gangguan-gangguan peran yang terjadi tersebut dapat ditandai dengan tanda dan gejala,
seperti :

1. Mengungkapkan ketidakpuasan perannya atau kemampuan menampilkan peran

2. Mengingkari atau menghindari peran

3. Kegagalan trnsisi peran

4. Ketegangan peran

5. Kemunduran pola tanggungjawab yang biasa dalam peran

6. Proses berkabung yang tidak berfungsi

7. Kejenuhan pekerjaan

5. Identitas

Identitas adalah kesadarn akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang
merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh (Stuart
and Sudeen, 1991). Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan yang
memandang dirinya berbeda dengan orang lain. Kemandirian timbul dari perasaan berharga
(aspek diri sendiri), kemampuan dan penyesuaian diri.

Seseorang yang mandiri dapat mengatur dan menerima dirinya. Identitas diri terus
berkembang sejak masa kanak-kanak bersamaan dengan perkembangan konsep diri. Hal yang
penting dalam identitas adalah jenis kelamin (Keliat,1992). Identitas jenis kelamin berkembang
sejak lahir secara bertahap dimulai dengan konsep laki-laki dan wanita banyak dipengaruhi oleh
pandangan dan perlakuan masyarakat terhadap masing-masing jenis kelamin tersebut. Perasaan
dan prilaku yang kuat akan indentitas diri individu dapat ditandai dengan:

a. Memandang dirinya secara unik


b. Merasakan dirinya berbeda dengan orang lain
c. Merasakan otonomi : menghargai diri, percaya diri, mampu diri, menerima diri
dan dapat mengontrol diri.
25
d. Mempunyai persepsi tentang gambaran diri, peran dan konsep diri

Karakteristik identitas diri dapat dimunculkan dari prilaku dan perasaan seseorang, seperti :

1. Individu mengenal dirinya sebagai makhluk yang terpisah dan berbeda dengan
orang lain
2. Individu mengakui atau menyadari jenis seksualnya
3. Individu mengakui dan menghargai berbagai aspek tentang dirinya, peran, nilai
dan prilaku secara harmonis
4. Individu mengaku dan menghargai diri sendiri sesuai dengan penghargaan
lingkungan sosialnya
5. Individu sadar akan hubungan masa lalu, saat ini dan masa yang akan datang
6. Individu mempunyai tujuan yang dapat dicapai dan di realisasikan

DAFTAR PUSTAKA

26
Suliswati, dkk. (2005). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta : EGC

Mubarak, Wahit Iqbal dan Nurul Chayatin. (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia, Jakarta: EGC

Wong, Donna L., Dkk. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediaktrik, Jakarta: EGC

Hidayat, A.Aziz Alimun (2002). Kubutuhan Dasar Manusia, Jakarta: EGC

Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Volume 1. Jakarta: EGC

Surya, Hendra. (2007). Percaya Diri Itu Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo

Yusuf, Munafir & Intan safitri. (2006). Bereaksi Menarik Diri. Solo: Tiga Serangkai

Baedyan.(2007). Kompotensi Kunci Dalam Berprestasi. Jakarta: Bee Media Indonesia

Wylie, Ruth C. (1979). The Self Concept, Volume 2. USA: Nebraska Press

Mercer, Sarah. (2011). New York: Springer

27

Anda mungkin juga menyukai