Anda di halaman 1dari 27

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS KONTAK ALERGI

Pembimbing:

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK

oleh :

Kharisma Naufal Yudantono

G4A015192

SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus yang berjudul:


DERMATITIS KONTAK ALERGI

Disusun oleh :

Kharisma Naufal Yudantono


G4A015192

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu tugas di
bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Purwokerto, Agustus 2017

Pembimbing,

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp. KK


NIP. 19790622 201012 2 001

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, Sang pencipta alam
semesta yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, nikmat, serta kasih sayang-Nya
kepada penulis sehingga presentasi kasus yang berjudul Dermatitis Kontak Alergi
ini dapat diselesaikan.
Laporan presentasi kasus ini merupakan salah satu tugas di Kepaniteraan
Klinik SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo
Purwokerto. Penulisan presentasi kasus ini dapat terwujud atas bantuan berbagai
pihak, oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:

1. dr. Ismiralda Oke P, Sp.KK selaku dosen pembimbing;


2. Dokter-dokter spesialis kulit dan kelamin di SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto;
3. Orang tua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah henti
diberikan kepada penulis;
4. Rekan-rekan co-assisten Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin dari FK Unsoed.
5. Seluruh pihak terkait yang telah membantu penulis dalam menyusun tugas ini.
Dalam penyusunan presentasi kasus ini penulis menyadari bahwa masih
memiliki banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi
kesempurnaan penyusunan presentasi kasus di masa yang akan datang. Semoga
laporan presentasi kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang ada di dalam
maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.

Purwokerto, Agustus 2017

Kharisma Naufal Yudantono

3
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : Ny. R
Usia : 45 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Patikraja
Tanggal Periksa : 14 Agustus 2017

B. Anamnesis
Keluhan Utama:
Gatal-gatal di kedua kaki
Keluhan Tambahan:
Bercak merah, panas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli penyakit kulit dan kelamin dengan keluhan gatal-
gatal di kedua kaki sejak 4 bulan yang lalu. Gatal dirasa sangat mengganggu,
pasien selalu ingin menggaruk kakinya. Selain gatal, kaki pasien juga terdapat
bercak kemerahan, membentuk pola seperti sandal jepit. Pasien mengatakan,
keluhan tersebut semakin lama semakin parah, pasien mengakui gatal tersebut
bermula dari sandal karet yang dipakainya. Saat kakinya basah, gatal yang
dirasakan kerap bertambah parah.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat keluhan serupa pernah dialami pasien.
- Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal
- Riwayat alergi diakui.
- Riwayat penyakit tekanan darah tinggi disangkal
- Riwayat DM dan kolesterol tinggi diakui.
- Riwayat kontak bahan-bahan iritatif disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)

4
- Penyakit serupa pada anggota keluarga disangkal.
- Riwayat alergi pada anggota keluarga disangkal.
- Riwayat penyakit sistemik pada anggota keluarga disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama dengan istrinya dalam rumah berukuran 7x10
m2. Pasien adalah seorang petani dan istrinya adalah ibu rumah tangga. Pasien
berobat dengan menggunakan jaminan kesehatan berupa BPJS non PBI.

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran : CM/E4M6V5
Vital sign
Tekanan Darah : 120/ 70 mmHg
Nadi : 74 x/menit, regular, isi tegangan cukup
Respiratory Rate : 18 x/menit, kedalaman cukup, reguler
Suhu : 36, 5oC peraksila
Status generalis
Kepala : Mesochepal, rambut hitam, dengan distribusi merata

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-),

kelopak mata edema (-/-)

Hidung : Simetris, deviasi septum nasi (-), Sekret (-)

Telinga : Bentuk daun telingan normal, secret (-)

Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)

Thorax : Simetris, Retraksi (-), Ketertinggalan Gerak (-)

Paru {Vesikuler (+/+), Rbk (-/-), Rbh (-/-), Wh (-/-)}

Jantung {BJ I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-)}

Abdomen : Datar, BU (+) normal, timpani, supel, nyeri tekan (-)

Extremitas : Akral hangat, sianosis (-), kelemahan (-), edema (-),


capillary refill time < 2 detik

5
Status dermatologis

Lokasi : Regio dorso pedis dextra et sinistra, intertriginalis


Efloresensi : plak eritematosa polimorfik batas tegas dengan skuama dan
eskoriasi

D. Resume
Pasien datang ke poli penyakit kulit dan kelamin dengan keluhan gatal-
gatal di kedua kaki sejak 4 bulan yang lalu. Gatal dirasa sangat mengganggu,
pasien selalu ingin menggaruk kakinya. Selain gatal, kaki pasien juga terdapat
bercak kemerahan, membentuk pola seperti sandal jepit. Pasien mengatakan,
keluhan tersebut semakin lama semakin parah, pasien mengakui gatal tersebut
bermula dari sandal karet yang dipakainya. Saat kakinya basah, gatal yang
dirasakan kerap bertambah parah.
Pemeriksaan fisik pada pasien didapatkan pasien dalam keadaan umum
sedang, kesadaran compos mentis, status generalis dalam batas normal. Status
dermatologis didapatkan plak eritematosa polimorfik batas tegas dengan
skuama dan eskoriasi

E. Diagnosis Banding
- Dermatitis kontak iritan
- Dermatitis okupasional
- Tinea kruris

6
- Kandidiasis kutis
- Skabies
- Liken planus
- Neurodermatitis

F. Diagnosis Kerja
Dermatitis Kontak Alergi

G. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Anjurkan pasien untuk menghindari faktor pencetus, dalam hal ini
sandal jepit berbahan dasar karet
b. Menjaga kebersihan daerah kaki
c. Menjaga kelembapan kaki, agar tidak kering
d. Merawat lesi agar tidak kotor
e. Mencegah garukan yang dapat memperparah lesi
2. Medikamentosa
a. Methyl prednisolon 8 mg 1x1
b. Cetirizine 1x1
c. Amitriptilin 0-0-1

H. Prognosis
1. Quo Ad vitam : bonam
2. Quo Ad fungsionam : bonam
3. Quo Ad sanationam : Dubia ad bonam
4. Quo Ad cosmeticam : Dubia ad bonam

7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit)
yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi
(Siregar, 2004).
B. Etiologi dan Predisposisi
1. Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering
berupa bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da,
yang juga disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul
dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan
luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari
tumbuh-tumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami
sensitisasi terhadap tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya
poison ivy, poison oak dan poison sumac. Toxicodendron mengandung
urushiol yaitu suatu campuran dari highly antigenic 3- enta decyl
cathecols. Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan logam),
potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),
formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan),
mercaptobenzotiazol (karet), tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin
(cat rambut, bahan kimia fotografi) (Trihapsoro, 2003).
2. Predisposisi
Berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya dermatitis kontak alergi.
Misalnya antara lain:
a. Faktor eksternal (Djuanda, 2011):
1) Potesi sensitisasi allergen
2) Dosis per unit area
3) Luas daerah yang terkena
4) Lama pajanan
5) Oklusi
6) Suhu dan kelembaban lingkungan

8
7) Vehikulum
8) pH
b. Faktor Internal/ Faktor Individu (Djuanda, 2011):
1) Keadaan kulit pada lokasi kontak
Contohnya ialah ketebalan epidermis dan keadaan stratum
korneum.
2) Status imunologik
Misal orang tersebut sedang menderita sakit, atau terpajan sinar
matahari.
3) Genetik
Faktor predisposisi genetic berperan kecil, meskipun misalnya
mutasi null pada kompleks gen fillagrin lebih berperan karena
alergi nickel (Thysen, 2009).
4) Status higinie dan gizi

Seluruh faktor faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain yang
masing masing dapat memperberat penyakit atau memperingan. Sebagai
contoh, saat keadaan imunologik seseorang rendah, namun apabila satus
higinienya baik dan didukung status gizi yang cukup, maka potensi
sensitisasi allergen akan tereduksi dari potensi yang seharusnya. Sehingga
sistem imunitas tubuh dapat dengan lebih cepat melakukan perbaikan bila
dibandingkan dengan keadaan status higinie dan gizi individu yang rendah.
Selain hal hal diatas, faktor predisposisi lain yang menyebabkan kontak
alergik adalah setiap keadaan yang menyebabkan integritas kulit terganggu,
misalnya dermatitis statis (Baratawijaya, 2006).

C. Patofisiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara
berulang oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang
sangat reaktif dan seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat
sederhana. Struktur kimia tersebut bila terkena kulit dapat menembus
lapisan epidermis yang lebih dalam menembus stratum corneum dan
membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit. Konjugat yang

9
terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah bening
yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali
konjugat hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan.
Kojugasi hapten-hapten diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang
sudah disensitisasikan memberikan respons, menyebabkan timbulnya
sitotoksisitas langsung dan terjadinya radang yang ditimbulkan oleh
limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase
elisitasi yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan
melepaskan mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNF, leukotrien,
IFN, dan sebagainya, sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit
tersebut. Pelepasan mediator-mediator tersebut akan menimbulkan
manifestasi klinis khas khas yang hampir sama seperti dermatitis lainnya.
DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen selama beberapa
waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun (Price,
2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan
dan penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel
yang relatif rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak
nyata dan jika mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat
menyerupai eksema. Edema memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang
lebih dalam (spongiosus) dan dermis yang berdekatan. Lebih sering
mengenai bagian kulit yang tidak memiliki rambut terutama kelopak mata
(Price, 2005).

10
Skema Patogenesis DKA

Kontak Dengan Alergen


secara Berulang

Alergen kecil dan larut


dalam lemak disebut
hapten

Sel langerhans IL-1, ICAM-1, LFA-3,B-


Menembus lapisan keluarkan sitokin 7, MHC I dan II
corneum

Sitokin akan
Difagosit oleh sel memproliferasi sel T
Langerhans dengan dan menjadi lebih
pinositosis banyak dan memiliki
sel T memori

Hapten + HLA-DR

Sitokin akan keluar dari


getah bening

Membentuk antigen

Beredar ke seluruh
tubuh

Dikenalkan ke limfosit
T melalui CD4
Individu tersensitisasi

Fase Sensitisasi (I)

2-3 minggu

11
Fase Elitisasi (II)

24-48 jam

Pajanan ulang

Sel T memori

Aktivasi sitokin inflamasi


lebih kompleks

Respons klinis DKA

Proliferasi dan ekspansi


sel T di kulit
Faktor kemotaktik, PGE2
dan OGD2, dan leukotrien
B4 (LTB4) dan eiksanoid
IFN keratinosit menarik neutrofil,
LFA -1, IL-1, TNF- monosit ke dermis

Eikosanoid (dari sel mast


Molekul larut (komplemen
dan keratinosit
dan klinin) ke epidermis
dan dermis

Dilatasi vaskuler dan


peningkatan
permeabilitas vaskuler

12
D. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesa
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan
pemeriksaan klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal
(Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan
kelainan kulit berukuran numular di sekitar umbilikus berupa
hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu
ditanyakan apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat
pinggang yang terbuat dari logam (nikel). Data yang berasal dari
anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan, hobi, obat topikal yang
pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan yang
diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami,
riwayat atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya
(Sularsito, 2010). Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada
beberapa data seperti yang tercantum dalam tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).

Demografi dan riwayat Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status
pekerjaan pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,
paparan berulang dari alergen yang didapat saat
kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.

Riwayat penyakit dalam Faktor genetik, predisposisi


keluarga

Riwayat penyakit Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-


sebelumnya obat yang digunakan, tindakan bedah

Riwayat dermatitis yang Onset, lokasi, pengobatan


spesifik

13
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi
dan pola kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan
penyebabnya. Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel
2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam
tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya
dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat
kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen (Sularsito,
2010).

Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).


Lokasi Kemungkinan Penyebab
Tangan Pekerjaan yang basah (Wet Work) misalnya
memasak makanan (getah sayuran, pestisida)
dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.
Lengan Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu
semen, dan tanaman.
Ketiak Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada
di pakaian.
Wajah Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
kacamata).
Bibir Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Kelopak mata Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep
mata.
Telinga Anting yang terbuat dari nikel, tangkai
kacamata, obat topikal, gagang telepon.
Leher Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat
warna pakaian.
Badan Tekstil, zat warna, kancing logam, karet (elastis,
busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau
pewangi pakaian.

14
Genitalia Antiseptik, obat topikal, nilon, kondom,
pembalut wanita, alergen yang berada di tangan,
parfum, kontrasepsi.
Paha dan tungkai bawah Tekstil, kaus kaki nilon, obat topikal,
sepatu/sandal.

Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum


dapat diamati beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema,
papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada
beberapa gambar berikut :

a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena
alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada
lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa dan terkadang
popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul, vesikel-vesikel yang
dijumpai pada lokasi kontak langsung.

b. Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick.
Pasien hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir

15
c.
Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab
dermatitis kontak pada telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal,
tangkai kaca mata, cat rambut, alat bantu dengar, gagang telepon.
Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan plastik, serta
bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis
pada telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas.
Tindikan pada telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada
dermatitis karena nikel yang bisa mengarah pada dermatitis kontak
kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada telinga dan sebagian
leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan plastik

d. Badan. Dermatitis kontak di badandapatdisebabkanolehtekstil,


zatwarnakancinglogam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen,
bahanpelembutataupewangipakaian. Dermatitis
kontakpadaperutkarenapasienalergipadakaretdari celananya.
Terlihatadanyaeritema yang berbatastegassesuaidengandaerah yang
terkenaalergen.

16
e. Genitalia.Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom,
pembalut wanita alergen yang berada di tangan, parfum,
kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak yang terjadi pada daerah
vulva karena alergi pada cream yang mengandung neomisin, terlihat
eritema

f. Paha dantungkaibawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan


oleh tekstil, dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal,
semen, sepatu/sandal. Pada gambar dermatitis kontakalergi yang
terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet pada pelembab.Kaki
mengalami skuama, krusta

17
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran
morfologik yang khas, dapat menyerupai dermatitis atopik,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis
banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI).
Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan
untuk menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi
(Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung.
Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya
kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung
digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin
dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi,
harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air
diencerkan atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral.
Produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya
boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian,
sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji
tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang
direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet,
atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn chamber,

18
dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa hasil
positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10
orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi (Sularsito,
2010).

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien


Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji
tempel (Sularsito, 2010):
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi angry back atau
excited skin reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan
penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah
pemakaian kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun
dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada pemakaian
prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen
kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif
palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak mempengaruhi
hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca;
pembacaan kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah
aplikasi.

19
4) Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji
tempel menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena
memberikan hasil negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi
sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar punggung
selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan
terakhir selesai.
5) Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap
penderita yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan
(immediate urticaria type), karena dapat menimbulkan urtikaria
generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita semacam
ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel


dilepas. Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas,
agar efek tekanan bahan yang diuji telah menghilang atau minimal.
Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):

1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)


2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)

20
T.R.U.E. Test
(Mekos Laboratories,
Hillerod, Denmark)
patch-test.

A. Hasil uji positif


terhadap picaridin
(KBR) 2,5%.

B. Hasil uji positif


terhadap methyl
glucose diolate
(MGD) 10%.

Hasil Patch Tes/Uji Tempel setelah 72 jam

Pembacaan kedua perlu dilakukan sampai satu minggu


setelah aplikasi, biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi.
Pembacaan kedua ini penting untuk membantu membedakan antara
respons alergik atau iritasi, dan juga mengidentifikasi lebih banyak
lagi respons positif alergen. Hasil positif dapat bertambah setelah 96
jam aplikasi, oleh karena itu perlu dipesan kepada pasien untuk
melapor, bila hal itu terjadi sampai satu minggu setelah aplikasi
(Sularsito, 2010).
Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah.
Interpretasi dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergik
biasanya menjadi lebih jelas antara pembacaan kesatu dan kedua,
berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan ke +++ (reaksi tipe crescendo),
sedangkan respon iritan cenderung menurun (reaksi tipe
decrescendo) (Sularsito, 2010).

b. Pemeriksaan Histopalogi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang
didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit
normal tidak perlu diikutsertakan.

21
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi
adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi
sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/
banyak, lebih baik biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan
fiksasi, misanya formalin 10% atau formalin buffer, supaya
menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin-
Eosin(HE). Ada pula yang menggunakanperwarnaan oersein
dan Giemsa.
10) Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume
jaringan
11) Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan
hendaknya tebal jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal
dibelah dahulu sebelum dimasukkan ke dalam cairan fiksasi

Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi,


menginvasi dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis
atau spongiosis epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi
tidak spesifik (Sularsito, 2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum
korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai
dengan penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.

22
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul
normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema

Histopatologik dermatitis kontak alergi

Terlihat hiperkeratosis, vesikel parakeratosis subkorneal,


spongiosis sedang dan elongasi akantosis dari pars papilare dermis
yang dinyatakan lewat infiltrasi sel-sel radang berupa limfosit dan
beberapa eosinofil, serta elongasi dari papila epidermis(Sularsito,
2010).

4. Gold Standard Diagnosis


Gold standard pada diagnosis dermatitis kontak alergika yaitu
dilakukan uji tempel. Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di
punggung. Untuk melakukan uji tempel diperukan antigen standar
buatan pabrik, misalnya Finn Chamber System Kit dan T.R.U.E Test.
Adakalanya tes dilakukan dengan antigen bukan standar, dapat berupa
bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang berasal dari
rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada sebagian
bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit, atau walaupun

23
jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu,
bila menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri,
harus berhati-hati sekali. Jangan melakukan uji tempel dengan bahan
yang tidak diketahui (Sularsito, 2010).
E. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek
serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi
(Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan,
aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM)
sebanyak 3-4 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09
mg/dosis, sehari 3 kali untuk anak anak untuk menghilangkan rasa
gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika
(amoksisilin atau eritromisin) dengan dosis
3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut
(Sumantri, dkk, 2005). :

24
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
tidak ada sabun bilas dengan air
e. Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
f. Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan
pakaian lain
g. Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
h. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang berisiko terhadap paparan alergen
F. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis
bila bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh
faktor endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia)
(Vorvick, 2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis
kurang baik adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan
penderita(Djuanda, 2005).

G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh
bakteri terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya
herpes simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk
dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga menciptakan
lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu dapat pula
menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan kulit berubah
warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen simplex
chronicus) (Bourke, et al., 2009).

25
III. KESIMPULAN

1. Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang


timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi.
2. Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa
bahan kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga
disebut bahan kimia sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh
potensi sensitisasi alergen, derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit.
3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak
jelas.
4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji tempel
(patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil positif.
5. Penatalaksanaan dari DKA dapat secara medikamentosa serta
nonmedikamentosa. Tujuan utama terapi medikamentosa adalah untuk
mengurangi reaktivitas sistim imun dengan terapi kortikosteroid, mencegah
infeksi sekunder dengan antiseptik dan terutama untuk mengurangi rasa
gatal dengan terapi antihistamin. Sedangkan untuk nonmedikamentosa
adalah dengan menghindari alergen.

26
DAFTAR PUSTAKA

Baratawijaya, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Bourke, et al. 2009. Guidelines For The Management of Contact Dermatitis: an
update. Tersedia dalam :
http://www.bad.org.uk/portals/_bad/guidelines/clinical%20guidelines/cont
act%20dermatitis%20bjd%20guidelines%20may%202009.pdf. Diakses
pada tanggal 22 November 2012
Djuanda, Suria dan Sularsito, Sri. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4.
Jakarta: FK UI
Morgan, Geri, Hamilton, Carole. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik
Edisi 2. Jakarta : EGC
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Jakarta : EGC.
Siregar, R.S,. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Jakarta: EGC
Sularsito dan Djuanda. 2007. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke 5. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi dan Suria Djuanda. 2010. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin Edisi 6. Jakarta : FKUI
Sularsito, Sri Adi, Suria Djuanda. 2011. Dermatitis dalam Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta : FKUI.
Sumantri, M.A., Febriani, H.T., Musa, S.T. 2005. Dermatitis Kontak. Yogyakarta :
Fakultas Farmasi UGM
Thyssen, Jacob Pontoppidan. 2009. The Prevalence and Risk Factors of Contact
Allergy in the Adult General Population. Denmark : National Allergy
Research Centre, Departement of Dermato-Allergology, Genofte Hospital,
University of Copenhagen .
Trihapsoro, Iwan. 2003. Dermatitis Kontak Alergik pada Pasien Rawat Jalan di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Universitas Sumatra Utara, Medan.
Tersedia dalam : http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/6372
diakses pada tanggal 11 November 2012.

27

Anda mungkin juga menyukai