Anda di halaman 1dari 72

Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No.

3, November 2012: 186 - 194


ISSN 1411 - 0903

PENGARUH KOMBINASI ABU VULKANIK MERAPI, PUPUK ORGANIK DAN


TANAH MINERAL TERHADAP SIFAT FISIKO-KIMIA MEDIA TANAM SERTA
PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)

Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R.


Jurusan Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km 21 Jatinangor 45363
E-mail: nenny_nurlaeny@yahoo.de

ABSTRAK
Kerugian serius yang ditimbulkan bagi areal pertanian akibat material vulkanik yang dikeluarkan saat
gunung berapi meletus terutama ditentukan oleh ketebalan lapisan abu, musim dan intensitas curah
hujan serta jenis dan fase pertumbuhan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral terhadap sifat fisiko-
kimia media tanam dengan indikator pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.) Percobaan dilakukan
dalam rumah kasa dari bulan Februari - Juli 2011 di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran dengan ketinggian tempat 740 m dpl. Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak
kelompok faktor tunggal dengan sembilan kombinasi perlakuan dan tiga kali ulangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berbagai kombinasi media tanam yang terdiri dari abu vulkanik Merapi, pupuk
kandang sapi dan tanah mineral memberikan pengaruh yang sangat nyata ( .01) terhadap kandungan
C-organik, asam humat-fulvat, bobot isi dan bobot kering pupus tanaman jagung. Kandungan C-organik
dan asam humat-fulvat mempunyai korelasi positif dengan bobot kering pupus tanaman, tetapi bobot isi
media tanam berkorelasi negatif dengan bobot kering pupus tanaman.

Kata kunci: abu vulkanik Merapi, asam humat-fulvat, C-organik, pupuk kandang sapi

EFFECTS OF MERAPI VOLCANIC ASH, MANURE AND MINERAL SOIL ON


PHYSICOCHEMICAL PROPERTIES OF GROWING MEDIA
AND MAIZE (Zea mays L.) PLANT GROWTH

ABSTRACT
Volcanic ash fall can have serious detrimental effects on agricultural crops depending on ash thickness,
timing and intensity of subsequent rainfall, the type and growing condition of a crop. The purpose of this
research was to evaluate the effects of combination of Merapi volcanic ash, cow manure and mineral soil
on some physicochemical properties of growing media. The pot experiment in a screen house was carried
out from February - July 2011, in the experiment field of Agriculture Faculty, Padjadjaran University
Jatinangor at 740 m above sea level. The experiment used a randomized block design, which arranged
in one factor, nine combination treatments and three replications. Results of this research showed that
combination of Merapi volcanic ash, cow manure and mineral soil as growing media gave highly
significant effects ( .01) on organic-C, humic-fulvic acids, bulk density and dry weight of maize. There
was a positive correlation between dry weight of maize with organic-C and humic-fulvic acids content,
but it had a negative correlation with bulk density of its growing media.

Key words: cow manure, humic-fulvic acids, Merapi volcanic ash, organic-C

PENDAHULUAN unsur hara, sehingga dapat memerbaharui


sumberdaya lahan. Meskipun demikian,
Material vulkanik yang berasal dari timbunan material vulkanik dalam jumlah
letusan gunung Merapi pada tanggal 26 banyak juga dapat berdampak negatif bagi
Oktober 2010 berpotensi meningkatkan pertumbuhan tanaman terutama terhadap
kesuburan lahan pertanian di kemudian hari. tanah sebagai media tumbuhnya. Masalah
Menurut Shoji & Takahashi (2002) material yang ditimbulkan pada lahan yang baru
ini merupakan bahan yang kaya akan unsur- terdampak material vulkanik untuk dijadikan
Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R. 187

sebagai media tanam adalah sifat fisik, kimia fulvat dalam bahan organik berkorelasi
dan biologinya yang tidak mendukung dengan besarnya kandungan lignin dan
pertumbuhan tanaman secara optimal. polifenol (Fox et al., 1990). Melalui
Berdasarkan kadar silikanya, pembentukan khelat logam-organik, asam-
batuan hasil erupsi gunung berapi dapat asam organik akan melarutkan mineral-
dikelompokkan menjadi batu vulkanik mineral primer dan sekunder yang ada di
masam (kadar SiO2 > 65%), sedang (35- dalam media tanam dan selanjutnya akan
65%) dan basa (< 35%) (McGeary et al., menjadi tersedia bagi tanaman (Foy et al.,
2002). Tingginya kadar Si, Al dan Fe dalam 1978). Makin besar afinitas kation logam
material vulkanik Merapi akan memberikan terhadap asam humat-fulvat, maka semakin
dampak yang sangat merugikan bagi mudah terlepasnya kation dari permukaan
pertumbuhan tanaman dan kesehatan tanah. berbagai jenis mineral.
Diketahui bahwa material vulkanik belum Penelitian ini dilakukan untuk meng-
dapat menyumbangkan unsur hara bagi evaluasi perubahan sifat-sifat fisik dan kimia
tanaman, karena merupakan bahan baru yang terjadi dalam media tanam yang terdiri
(recent material) yang belum mengalami dari kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk
pelapukan sempurna dan juga dominasi kandang sapi dan tanah mineral Inceptisol
fraksi pasir menjadikan material vulkanik yang berasal dari lapisan subsoil. Parameter
ini tidak dapat menahan air. yang diamati ditujukan untuk mengetahui
Hardjowigeno (2003) menyatakan hubungan antara bobot kering pupus tanaman
bahwa bobot isi (bulk density) menunjukkan jagung (Zea mays L.) dengan kandungan
perbandingan antara berat tanah kering C-organik, asam humat-fulvat, dan bobot isi
dengan volume tanah, termasuk volume media tanam.
pori-pori tanah. Bobot isi tanah merupakan
petunjuk kepadatan tanah, dimana semakin BAHAN DAN METODE
tinggi bobot isi tanah semakin sulit untuk
meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Penelitian ini menggunakan pot
Berbagai jenis bahan organik mampu plastik bervolume 10 kg yang dilaksanakan
memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi pada bulan Februari - Juli 2011 dalam rumah
suatu media tanam (Lengkong & Kawulusan, kasa (screen house) di kebun percobaan
2008). Fungsi utama bahan organik antara Fakultas Pertanian UNPAD Jatinangor,
lain memperbaiki struktur tanah dan daya Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dengan
simpan air, memasok unsur hara dan asam- ketinggian tempat 740 m dpl. Material abu
asam organik untuk melepaskan ikatan- vulkanik Merapi diambil pada tanggal 18-
ikatan material secara kimia, meningkatkan 19 Desember 2010 dari Dusun Somoketro,
kapasitas tukar kation dan daya ikat hara, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang
serta sebagai sumber karbon, mineral dan ( 17 km arah Utara dari kaki G. Merapi),
energi bagi mikroba (Syukur & Harsono, pupuk kandang sapi berasal dari peternakan
2008). Ameliorasi dengan bahan organik sapi PEDCA Jatinangor (Tabel 2a) dan tanah
merupakan salah satu alternatif yang mineral ordo Inceptisols asal Jatinangor
mampu meminimalisasi dampak negatif diambil dari lapisan subsoil (Tabel 2b).
dari kandungan unsur kimia berlebih pada Tanaman indikator yang digunakan adalah
suatu media tanam. Melalui proses khelasi, jagung hibrida varietas Bisi-16 (Zea mays
kelebihan unsur-unsur kimia yang bersifat L.) dengan dosis pupuk dasar Urea (300 kg/
toksik bagi tanaman akan dikurangi atau ha), SP-18 (200 kg/ha), KCl (100 kg/ha)
dikhelat oleh adanya bahan-bahan pembenah (Departemen Pertanian, 2004).
tanah (Clemens et al., 1990). Penelitian dilaksanakan dengan
Asam humat-fulvat merupakan fraksi menggunakan metode eksperimen dalam
bahan organik yang mempunyai peranan Rancangan Acak Kelompok faktor tunggal
penting dalam reaksi kimia di dalam tanah. dengan sembilan kombinasi perlakuan.
Besarnya kandungan total asam humat- Kombinasi perlakuan terdiri atas (I) 0%
Pengaruh Kombinasi Abu Vulkanik Merapi, Pupuk Organik dan Tanah Mineral 188

abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang Tabel 1. Komposisi kimia abu vulkanik
sapi + 50% tanah mineral, (II) 40% abu Merapi
vulkanik Merapi + 10% pupuk kandang
sapi + 50% tanah mineral (III) 30% abu No. Parameter Nilai
vulkanik Merapi + 20% pupuk kandang 1. SiO2 (%) 54,56
sapi + 50% tanah mineral, (IV) 20% abu 2. Al2O3 (%) 18,37
vulkanik Merapi + 30% pupuk kandang sapi 3. Fe2O3 (%) 18,59
+ 50% tanah mineral, (V) 10% abu vulkanik 5. MgO (%) 2,45
Merapi + 40% pupuk kandang sapi + 50% 6. Na2O (%) 3,62
tanah mineral, (VI) 40% abu vulkanik 7. K2O (%) 2,32
Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 10% 8. MnO (%) 0,17
tanah mineral, (VII) 30% abu vulkanik 9. TiO2 (%) 0,92
Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 20% 10. P2O5 (%) 0,32
tanah mineral, (VIII) 20% abu vulkanik 11. Kadar air (%) 0,11
Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 30% 12. pH H2O (1:2,5) 7,60
tanah mineral, (IX) 10% abu vulkanik 13 pH KCl 1 N (1:2,5) 7,31
Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 40% 14 SO4 (mg kg-1) 801
tanah mineral. Perlakuan tersebut diulang 15 Ca (mg kg-1) 442
tiga kali sehingga total kombinasi perlakuan 16 Mg (mg kg-1) 152
berjumlah 27 pot percobaan. 17 C-organik** (%) 0,63
Parameter pengamatan utama yang 18 N total **.(%) 0,14
diuji secara statistik meliputi kandungan
19 KTK** (cmol kg-1) 10,57
C-organik yang dianalisis dengan metode
20 Tekstur **:
Walkley & Black; kandungan asam humat-
Pasir (%) 70,2
fulvat dianalisis dengan pengekstrak 0,5 M
Debu (%) 10,0
NaOH/0,1 M Na2P2O7 (Stevenson, 1994);
bobot isi media tanam ditentukan dengan Liat (%) 19,8
menghitung massa tanah per volume total Keterangan: Hasil Analisis di Pusat PPTMB, 2010
tanah, dalam kondisi tanah basah maupun **)
Hasil Analisis di Lab.Kimia Tanah
kering (Wesley (1973) serta penimbangan Fakultas Pertanian Unpad, 2011
bobot kering pupus tanaman jagung hibrida
dilakukan pada fase pertumbuhan vegetatif HASIL DAN PEMBAHASAN
akhir. Parameter penunjang dalam penelitian
ini adalah sifat-sifat kimia pupuk kandang Hasil analisis menunjukkan bahwa
sapi, sifat fisika tanah mineral Inceptisol dan abu vulkanik Merapi yang digunakan
komponen pertumbuhan tanaman (tinggi dalam penelitian ini memiliki pH agak
tanaman, jumlah daun dan diameter batang). alkalis yaitu 7,60 dan didominasi oleh
Pengaruh kombinasi perlakuan ter- fraksi pasir sebanyak 70,2% (Tabel
hadap parameter yang diamati diuji secara 1). Material vulkanik yang merupakan
statistik menggunakan analisis sidik ragam bahan baru (recent material) dipastikan
pada taraf nyata sampai sangat nyata (.05 belum dapat menyumbangkan unsur hara
-.01%) sesuai rancangan percobaan yang bagi tanaman karena belum mengalami
digunakan. Perbedaan nilai rata-rata diantara pelapukan yang sempurna. Dominasi fraksi
kombinasi perlakuan diuji dengan Uji Jarak pasir juga menjadikan material vulkanik
Berganda Duncan (DMRT). Hubungan ini mempunyai kemampuan memegang air
antara bobot kering pupus tanaman jagung yang rendah yang ditunjukkan dari nilai
hibrida dengan kandungan C-organik, asam kadar airnya sebesar 0,11%.
humat-fulvat dan bobot isi media tanam diuji Pemberian amelioran pupuk kandang
dengan analisis regresi-korelasi (Gomez & sapi dan tanah mineral Inceptisol pada
Gomez, 1995).
Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R. 189

berbagai kombinasi perlakuan (Tabel 2) Tingginya kandungan fraksi liat


menunjukkan adanya perbaikan sifat fisika pada tanah mineral yang digunakan dalam
dan kimia media tanam berbahan campuran penelitian ini (Tabel 3b) menunjukkan bahwa
abu vulkanik Merapi tersebut. pada berbagai kombinasi media tanam ini,
fraksi liat dengan muatan negatifnya berperan
Tabel 2. Kombinasi perlakuan sebagai tapak jerapan (cation exchanger)
Perlakuan bagi kation-kation hara yang berasal dari
Bobot proses penguraian pupuk kandang sapi.
AVM PKS TM % Tang & Rengel (2003) menyatakan bahwa
(kg/
(%) (%) (%) Berat
pot ) partikel mineral liat dan bahan organik tanah
I 0 50 50 100 10 merupakan sumber muatan negatif terbesar
II 40 10 50 100 10 di dalam tanah.
III 30 20 50 100 10
Tabel 3b. Komposisi kimia tanah mineral
IV 20 30 50 100 10
Inceptisol dari lapisan subsoil
V 10 40 50 100 10
VI 40 50 10 100 10 No Parameter Nilai
VII 30 50 20 100 10 1 pH H2O (1: 2,5) 7,06
VIII 20 50 30 100 10 2 pH KCl 1 N (1 : 2,5) 6,85
IX 10 50 40 100 10 3 C-Organik (%) 0,49
Keterangan: AVM = abu vulkanik Merapi; PKS = 4 N-total (%) 0,12
pupuk kandang sapi; TM = tanah mineral 5 C/N 4
Pupuk kandang sapi yang mempunyai 6 P2O5 Olsen (mg kg-1) 5,12
kandungan C-organik sebesar 38,38% 7 P2O5 HCl 25% (mg 100 g-1) 5,02
(Tabel 3a) mampu meningkatkan kandungan 8 K2O HCl 25% (mg 100 g-1) tt*)
bahan organik dalam media tanam. Menurut 9 Kation Dapat Tukar:
Hayes dan Clapp (2001) humus yang Ca (cmol kg-1) 3,4
merupakan fraksi bahan organik mempunyai Mg (cmol kg-1) 4,2
peranan penting bagi struktur dan porositas K (cmol kg-1) 0,1
tanah. Selain merupakan koloid dengan
Na (cmol kg-1) 0,1
luas permukaan spesifik yang tinggi, serta
10. KTK (cmol kg-1) 21,14
mampu mempertukarkan kation dan anion,
humus juga mampu memegang air sebanyak 11. Kejenuhan Basa (%) 36,90
4-6 kali lebih besar dari beratnya. 12. Al+3 dd (cmol/kg) 0,03
13. H+ dd (cmol/kg) 0,37
Tabel 3a. Komposisi kimia pupuk kandang 14. Tekstur:
sapi Pasir (%) 7,3
No Parameter Nilai Debu (%) 31,2
1. pH H2O 7,99 Liat (%) 61,5
2. KTK (cmol/kg) 18,50 Keterangan: tt*) = tidak terukur; Hasil Analisis di Lab.
3. C organik (%) 38,38 Kimia Tanah Fakultas Pertanian Unpad,
4. N total (%) 1,69 2011.

5. P total (%) 0,41 Hasil uji statistik ( .01) menunjukkan


6. K total (%) 0,55 bahwa persentase abu vulkanik Merapi,
7. Ca total (%) 3,27 pupuk kandang sapi dan tanah mineral dalam
8. Mg total (%) 0,36 berbagai kombinasi media tanam secara
9. C/N 23 nyata mempengaruhi kandungan C-organik
11. Kadar Air (%) 8,40 (Tabel 4). Kombinasi 30% abu vulkanik
12. Asam humat-fulvat (%) 0,42 Merapi, 50% pupuk kandang sapi dan 20%
Keterangan: Hasil Analisis di Lab. Kimia Tanah Fakultas
tanah mineral (perlakuan VII) memberikan
Pertanian Unpad, 2011
Pengaruh Kombinasi Abu Vulkanik Merapi, Pupuk Organik dan Tanah Mineral 190

kandungan C organik tertinggi (4,64%), dengan mikroba indigen dari tanah mineral
sementara kandungan C organik terendah akan memberikan kontribusi dalam
(0,43%), dihasilkan oleh kombinasi 40% menguraikan bahan organik, mensintesis
abu vulkanik Merapi, 10% pupuk kandang asam-asam atau senyawa organik tertentu
sapi dan 50% tanah mineral (perlakuan II). serta memicu proses mineralisasi N (Conte et
Hal ini sejalan dengan pernyataan Syukur al., 2003; Winarso, 2005). Sebaliknya pada
(2005), bahwa penambahan bahan organik kombinasi perlakuan VI (40% abu vulkanik
berbanding lurus dengan peningkatan Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 10%
C-organik tanah dan sebaliknya. Meskipun tanah mineral) menunjukkan konsentrasi
demikian sifat fisika media tanam seperti asam humat-fulvat yang terendah (0,08%).
tekstur, porositas, bobot isi dan kapasitas Kondisi lingkungan media tanam yang tidak
menahan air merupakan faktor yang juga optimal untuk mendukung pertumbuhan
harus diperhitungkan (Baldwin, 2006). dan aktivitas mikroba dekomposer diduga
Peningkatan persentase pupuk kan- merupakan akibat dari dominannya material
dang sapi secara nyata meningkatkan vulkanik yang masih baru.
kandungan asam humat-fulvat pada media Selain dapat meningkatkan kandung-
tanam (Tabel 4). Konsentrasi asam humat- an C-organik, kapasitas menahan air, daya
fulvat tertinggi dalam media tanam (0,21%) larut unsur hara P, K, Ca dan Mg, serta
disebabkan oleh tingginya persentase pupuk kapasitas tukar kation, pemberian pupuk
kandang sapi dan rendahnya persentase organik juga mampu menurunkan kejenuhan
abu vulkanik pada kombinasi perlakuan Al serta bobot isi tanah (Lund & Doss,
IX (10% abu vulkanik Merapi + 50% 1980; Aidi et al., 1996). Hasil uji statistik
pupuk kandang sapi + 40% tanah mineral). menunjukkan bahwa media tanam yang
Diduga selain media tanam mendapatkan mengandung 40-50% pupuk kandang sapi
sumbangan asam humat-fulvat dari pupuk secara nyata ( .01) memberikan bobot isi
kandang sapi (0,42%), aktivitas mikroba yang rendah (0,58-0,61 g/cm3) (Tabel 4),
yang mendekomposisi pupuk organik juga sementara media tanam dengan persentase
akan menghasilkan sejumlah asam organik pupuk kandang sapi 10-30% menunjukkan
dari metabolitnya. Diketahui bahwa bakteri nilai bobot isi yang lebih besar (1,09 g/
merupakan kelompok mikroba dekomposer cm3). Menurut Wesley (1973) bobot isi atau
yang jumlahnya paling banyak dan bersama kerapatan isi tanah merupakan indikator

Tabel 4. Pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral
terhadap terhadap C-organik, asam humat-fulvat, bobot isi media tanam dan bobot
kering pupus tanaman Jagung

Bobot kering
C-organik Asam humat- Bobot isi
Kombinasi perlakuan pupus
(%) fulvat (%) (g/cm3)
(g/tanaman)
I 0 % AVM + 50 % PKS + 50 % TM 3,34 cde 0,11 ab 0,61 a 263,49 d
II 40 % AVM + 10 % PKS + 50 % TM 0,43 a 0,09 a 1,09 b 63,89 a
III 30 % AVM + 20 % PKS + 50 % TM 0,87 ab 0,09 a 0,83 ab 119,43 ab
IV 20 % AVM + 30 % PKS + 50 % TM 1,86 abc 0,10 ab 0,75 ab 171,84 bc
V 10 % AVM + 40 % PKS + 50 % TM 2,71 cd 0,13 abc 0,65 a 209,77 cd
VI 40 % AVM + 50 % PKS + 10 % TM 2,28 bcd 0,08 a 0,63 a 222,29 cd
VII 30 % AVM + 50 % PKS + 20 % TM 4,64 e 0,15 abc 0,58 a 277,90 d
VIII 20 % AVM + 50 % PKS + 30 % TM 3,08 cde 0,19 bc 0,58 a 283,27 d
IX 10 % AVM + 50 % PKS + 40 % TM 3,90 de 0,21 c 0,60 a 227,48 cd

Keterangan: AVM = abu vulkanik Merapi; PKS = pupuk kandang sapi; TM = tanah mineral Angka yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R. 191

kepadatan suatu jenis tanah, dimana makin (3,20 cm). Sifat fisika media tanam yang
tinggi nilai kerapatan isi tanah, makin mempunyai nisbah antara fraksi liat dan pasir
sulit tanah tersebut untuk meneruskan air yang berimbang, didukung oleh tingginya
atau ditembus akar tanaman. Tingginya kandungan bahan organik pada perlakuan
pemberian pupuk kandang sapi (40-50%) VII, menyebabkan daya pegang air, reaksi
ke dalam media tanam ternyata mampu kimia dan proses penyerapan unsur hara
memperbaiki struktur tanah sehingga hal oleh tanaman dapat berjalan dengan baik.
ini mendukung pendapat Yunus (2004) yang Hal ini juga mendukung pernyataan Musfal
menyatakan bahwa semakin kecil angka (2010), bahwa banyaknya jumlah daun
kerapatan isi tanah, maka kegemburan tanah tanaman jagung berbanding lurus dengan
semakin meningkat. pertumbuhan tinggi tanaman.
Perbedaan perlakuan kombinasi media Peningkatan persentase abu vulkanik
tanam menghasilkan pertumbuhan tanaman Merapi dan penurunan persentase pupuk
jagung hibrida yang beragam (Tabel 5a-c). kandang sapi pada kombinasi perlakuan
Komponen pertumbuhan tanaman terbaik II-VI menghasilkan nilai komponen per-
dihasilkan dari kombinasi 30% abu vulkanik tumbuhan tanaman yang terendah. Diduga
Merapi, 50% pupuk kandang sapi dan 20% sifat fisik media tanam tidak optimal
tanah mineral (perlakuan VII) dengan tinggi dalam mendukung pertumbuhan tanaman.
tanaman (200,3 cm), jumlah daun terbanyak Ketidakseimbangan nisbah antara fraksi liat
(14 helai) dan diameter batang terbesar dan pasir dapat menyebabkan daya pegang

Tabel 5. Pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral
terhadap nilai rata-rata tinggi tanaman (a), jumlah daun (b) dan diameter batang (c)
a. Tinggi Tanaman (cm)

Umur Tanaman (MST)


Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7 8
I 7,4 29,9 59,3 90,7 121,9 149,3 163,5 177,6
II 7,8 28,8 61,7 72,2 88,3 103,9 113,0 117,0
III 6,0 29,3 58,1 84,1 108,1 126,5 134,9 141,2
IV 7,4 30,1 57,1 86,3 113,0 133,7 149,0 162,0
V 9,3 35,8 66,4 94,2 123,2 150,4 168,8 183,5
VI 7,1 30,8 60,2 89,6 118,1 139,9 156,0 172,1
VII 7,7 30,0 59,0 89,8 125,1 154,6 176,3 200,3
VIII 9,0 34,0 63,6 88,9 127,7 151,7 167,7 185,8
IX 5,7 25,0 51,9 82,2 125,7 145,8 165,0 182,5

b. Rata-rata Jumlah Daun (helai)

Umur Tanaman (MST)


Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7 8
I 3 5 8 9 11 13 13 13
II 2 5 8 8 8 10 10 11
III 2 5 8 9 10 11 11 12
IV 2 6 7 9 10 12 12 12
V 3 5 8 10 11 12 12 12
VI 2 5 8 9 10 11 12 12
VII 3 5 8 9 11 12 12 14
VIII 3 5 8 9 11 12 12 13
IX 2 5 8 9 11 12 12 12
Pengaruh Kombinasi Abu Vulkanik Merapi, Pupuk Organik dan Tanah Mineral 192

c. Rata-rata Diameter Batang (cm)

Umur tanaman (MST)


Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7 8
I 0,27 0,59 1,10 1,95 2,67 2,02 3,12 3,22
II 0,27 0,59 1,08 1,53 1,83 1,83 2,13 2,23
III 0,30 0,64 1,37 1,82 2,33 2,33 2,50 2,53
IV 0,27 0,70 1,25 1,90 2,20 2,43 2,53 2,63
V 0,27 0,71 1,43 1,73 2,17 2,43 2,58 2,82
VI 0,26 0,65 1,27 1,78 2,40 2,67 2,83 2,96
VII 0,25 0,61 1,33 2,02 2,53 2,83 3,10 3,20
VIII 0,28 0,6 1,42 2,10 2,88 2,90 3,13 3,20
IX 0,20 0,48 9,70 1,65 2,33 2,68 2,97 3,03

Keterangan: MST = minggu setelah tanam

air, reaksi kimia dan proses penyerapan unsur


hara oleh akar tanaman tidak berlangsung
dengan baik (Shoji & Takahashi, 2002).
Indikator tentang hubungan antara
sifat fisik dan sifat kimia dalam media
tanam dicerminkan oleh bobot kering pupus
tanaman jagung yang dihasilkan (Gambar
1a-c). (c). bobot isi media tanam
Hubungan antara bobot kering pupus
tanaman jagung (277,90 - 283,3 g tanaman-1) Gambar 1. Hubungan antara bobot kering pupus
(Tabel 4) dengan parameter C-organik tanaman jagung dengan C-organik
memperlihatkan suatu korelasi positif yang (a), asam humat-fulvat (b) dan bobot
ditunjukkan dengan persamaan regresi linier isi media tanam (c)
Y = 47,35X + 83,72 (r = 0,90); demikian antara bobot kering pupus tanaman jagung
juga dengan parameter asam humat-fulvat dengan bobot isi media tanam ditunjukkan
mempunyai persamaan regresi Y = 941,8X + oleh persamaan regresi Y= - 313,9x + 497,1
84,35 (r = 0,60). Sebaliknya, korelasi negatif (r = 0,95). Hal ini membuktikan bahwa
angka bobot isi media tanam yang rendah
akan meningkatkan kegemburan tanah yang
selanjutnya berdampak terhadap banyaknya
unsur hara yang terserap per satuan bobot
biomassa tanaman yang dihasilkan (Musfal,
2010).
SIMPULAN

(a). C-organik Kombinasi perlakuan abu vulkanik Merapi,


pupuk kandang sapi dan tanah mineral
Inceptisol berpengaruh nyata terhadap sifat
fisiko-kimia media tanam. Kandungan
C-organik, dan asam humat-fulvat pada
media tanam berkorelasi positif dengan bobot
kering pupus tanaman jagung, sedangkan
bobot isi media tanam berkorelasi negatif
(b). asam humat-fulvat dengan bobot kering pupus tanaman jagung.
Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R. 193

DAFTAR PUSTAKA Indonesia Press, Jakarta.

Aidi, N., A. Jumberi & R.D. Ningsih. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Edisi
1996. Peranan Pupuk Organik dalam Pertama. PT Mediayatama Sarana
Meningkatkan Hasil Padi Gogo di Perkasa. Jakarta.
Lahan Kering. Prosiding Seminar
Teknologi Sistem Usahatani Lahan Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah.
Rawa dan Lahan Kering. Balittra Akademika Pressindo, Jakarta.
Banjarbaru. Hal.: 567-578
Hayes,M.H.B., & Clapp C.E., 2001.
Baldwin, K.R., 2006. Soil Quality Humic substances: considerations of
Consideration for Organic Farmers. compositions, aspects of structure, and
North Carolina Cooperative Extension environmental influences. Soil Science
Service Publ. NC State University. 166, 723-737. doi: 10.1097/00010694-
200111000-00002.
Clemens, D.F., Whitehurst, B.M. &
Whitehurst, G.B., 1990. Chelates Lengkong, J. E. & R. I. Kawulusan. 2008.
in Agriculture. Fertilizer Research Pengelolaan Bahan Organik Untuk
25:127-131. Meme-lihara Kesuburan Tanah. Soil
Environment Vol 6, No.2, Agustus
Conte, P. R. Spaccini, M. Chiarella, & A. 2008 Hal: 9197.
Piccolo, 2003. Chemical Properties
of Humic Substances in Soils of an Lund, F.Z. & B.D. Doss. 1980. Residual
Italian Volcanic System. Geoderma Effect of Dairy Cattle Manure on Plant
117: 243250 Growth and Soil Properties. Agron. J.
72: 123-130.
Departemen Pertanian, 2004. Sosialisasi
Jagung Hibrida. On line: http://deptan. McGeary, D., Plummer, C.C & D. H.
go.id/ (Diakses pada 15 Juni 2011) Carlson. 2002. Physcal Geology
Earth Reavealed. McGraw Hill Higher
Fiantis, D. 2000. Colloid-Surface Charac- Education. Boston. 574 p.
teristics and Amelioration Problems of
Some Volcanic Soils in West Sumatra, Musfal, 2010. Potensi Cendawan Mikoriza
Indonesia. Ph. D. Thesis. Universiti Arbuskila untuk Meningkatkan Hasil
Putra Malaysia, Serdang, Selangor, Tanaman Jagung. J. Penelitian dan
Malaysia. 315 p. Pengembangan Pertanian, 29(4).

Fox, R.H., Myers R.J.K. & Vallis I., 1990. Shoji S. & T. Takahashi, 2002. Environmental
The nitrogen mineralization rate of and Agricultural Significance of
legume residues in soils as influenced Volcanic Ash Soils. Jpn. J. Soil Sci.
by their polyphenol, lignin and nitrogen Plant Nutr. 73: 113-135
contents. Plant Soil, 129: 251-259.
Stevenson, F.J., 1994. Humus Chemistry:
Foy, C. D., Chaney, R. L. & White, M. C., Genesis, Composition, Reactions, 2nd
1978. The physiology of metal toxity Ed. Wiley, New York.
in plants. Ann. Rev. Plant Physiol.
29:511566 Syukur, A. 2005. Pengaruh Pemberian Bahan
Organik terhadap Sifat-sifat Tanah dan
Gomez, K.A., & Gomez, A.A., 1995. Pertumbuhan Caisim di Tanah Pasir
Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pantai. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan
Pertanian (Terjemahan). Universitas Vol 5 (1) (2005) Hal.: 30-38.
Pengaruh Kombinasi Abu Vulkanik Merapi, Pupuk Organik dan Tanah Mineral 194

Tang, C., & Rengel, Z., 2003. Role of Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah. Dasar
plant cation/anion uptake ratio in soil Kesehatan dan Kualitas Tanah.
acidification. In: Handbook of Soil Penerbit Gava Media. Yogyakarta.
Acidity, Eds. Z Rengel), pp 57-81
Marcel Dekker, New York. Yunus Y. 2004. Tanah dan Pengolahan. CV.
Alfabeta, Bandung
Wesley, L. D. 1973. Mekanika Tanah.
Terjemahan Badan Penerbit Pekerjaan
Umum. Jakarta.
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No. 3, November 2012: 196 - 201
ISSN 1411 - 0903

EFEKTIVITAS PEMBERIAN BEBERAPA BAHAN DAN DOSIS ANESTESI


PADA PRAKONDISI KERANG Anodonta woodiana

Lumenta, C., dan Gybert, M.


Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi
E-mail: cyskaliu@gmail.com

ABSTRAK
Kendala utama produksi mutiara adalah tingginya mortalitas kerang ketika berlangsung proses implantasi.
Kerang yang akan diimplantasi untuk budidaya mutiara perlu dikondisikan dalam keadaan yang
memudahkan pembukaan cangkangnya. Berhubung hingga kini belum tersedia informasi penggunaan
anestesi dalam budidaya mutiara air tawar, prinsip-prinsip yang diaplikasikan adalah prinsip yang selama
ini berhasil diaplikasikan dalam budidaya mutiara laut. Penelitian untuk menentukan respons kerang
terbaik pada beberapa jenis dan dosis minyak bahan anestesi pada prakondisi kerang dilaksanakan di
Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Tatelu di Kecamatan Dimembe, Kabupaten Minahasa. Penelitian
dirancang menggunakan metode rangcangan acak lengkap dengan pola faktorial dengan 2 faktor yaitu
jenis dan dosis. Faktor jenis mempunyai 4 taraf yaitu minyak menthol, minyak cengkeh, minyak pala
dan minyak sereh dan faktor dosis dengan 3 taraf yaitu 1,5 ml, 2,5 ml dan 3,5 ml, dimana masing-masing
perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan bahan anestesi berupa
minyak pala dengan dosis 2,5 ml/l lebih efektif untuk prakondisi (respons, waktu relaksasi, waktu pulih
dan mortalitas) dibandingkan dengan dosisdosis 1,5 ml/l dan 3,5 ml/l dan dengan bahan-bahan anestesi
minyak cengkeh, minyak menthol dan minyak sereh.

Kata kunci: bahan dan dosis anestesi, kerang Anodonta woodiana, prakondisi

EFFECTIVENESS OFANESTHETICMATERIALS AND DOSE ON


PRECONDITIONOF Anodontawoodiana SHELLS

ABSTRACT
The main problem on oysters culture is the high mortality during implantation process.Oysters that
will be implanted for cultivation need to be conditioned in a state that facilitates the opening of its
shell.Because the information on the use of anesthesia in the cultivation of freshwater oyster is not
yet available, these principles that was used is the principle which has been successfully applied in the
cultivation of sea oyster. This study aims to determine the best responses to materials anesthetic and dose
in precondition of Anodontawoodiana which is done at Freshwater Aquaculture Center (BBAT) Tatelu
in District Dimembe, Minahasa Regency. The study was designed by using completely randomized
design factorial pattern with two factors: materials anesthetic anddose.Material anesthetic factorhas
4degree such asmenthol oil,cloveoil,nutmegoil andlemongrass oil. Dose has 3 degree such as
1,5ml,2,5mland 3,5ml. Each treatmentwas repeated3 times. The results showed that nutmegoil
dose of 2,5 ml/l more effective for precondition (respons, relaxation time, recovery and mortality rate)
than dose of 1,5 ml/l and 3,5 ml/l and than another materials anasthethic (menthol oil, cloveoil, and
lemongrass oil).

Key words: materials and dose of anasthethic, Anodonta woodiana oyster, precondition

PENDAHULUAN dihasilkan (Norton et al.,2000). Penggunaan


anestesi pada tiram dalam budidaya mutiara
Kendala utama produksi budidaya laut ternyata dapat mengurangi kendala
mutiara adalah tingginya mortalitas kerang tersebut. Sebagaimana halnya tiram, kerang
ketika berlangsung proses implantasi. yang akan diimplantasi untuk budidaya
Kegiatan dalam menggerakkan proses ini mutiara air tawar perlu dikondisikan dalam
ditandai mempengaruhi kualitas mutiara yang keadaan yang memudahkan pembukaan
cangkangnya.
Lumenta, C., dan Gybert, M. 197

Hingga kini belum tersedia informasi BAHAN DAN METODE


penggunaanan astesi dalam budidaya mutiara
air tawar, karena itu prinsip-prinsip yang dapat Hewan uji
diaplikasikan adalah prinsip yang selama Kerang yang digunakan sebagai
ini berhasil diaplikasikan dalam budidaya hewan uji, dikumpulkan dari kolam-kolam
mutiara laut. Dalam hal ini, Mamangkey. et al. BBAT Tatelu yang induknya semula berasal
(2009) mengaplikasikan pada tiram, bahan- dari Danau Tondano. Ukuran kerang untuk
bahan anestesi berupa 2-phenoxyethanol, penelitian ini berkisar di antara 108-138 mm
benzocaine, cairanmethol, minyak cengkeh, dan yang belum matang gonad. Seleksi kerang
dan phenoxytol. uji dilakukan dari stok yang terkumpul. Dalam
Menurut OConnor & Lawier (2002), hal ini, kerang diangkat dari air untuk melihat
penggunaan bahan kimia dapat dilakukan apakah masih hidup atau sudah mati, apakah
dengan mempertimbangkan resiko pada kerang masih segar dan tidak dalam keadaan
lemah dan apakah cangkangnya dalam keadaan
kerang itu sendiri. Dianjurkan untuk
utuh, tidak dalam keadaan retak atau pecah.
menggunakan bahan anestesi dengan daya
larut tinggi dalam air sehingga mempercepat BahanAnestesi
kemampuan rileks kerang. Pada kerang Bahan uji yang digunakan adalah
mutiara donor lebih banyak digunakan bahan alami dengan masing-masing empat
anestesi daripada si penerima ketika proses jenis bahan anestesi dan tiga dosis yaitu:
penyisipan inti berupa irisan mantel. minyak mentol, minyak cengkeh, minyak
Sebagaimana dilaporkan Mamangkey et pala, minyak sereh, minyak sereh. Bahan
al. (2009), bahan anestesi yang digunakan uji efektif digunakan untuk prakondisi.
pada tiram menyebabkan tiram rileks dan Secara khusus, pembukaan cangkang kerang
meningkatkan waktu di mana tiram dapat dapatdimudahkan ketika kerang dianestesi,
digunakan sebagai donor jaringan atau irisan sehingga memudahkan penanganan kerang
mantel. dalam proses implantasi.
Norton et al. (2000) mengungkapkan
bahwa anestesi dapat menurunkan stres dan Wadah Percobaan
mortalitas pada kerang ketika dilakukan Dalam percobaan untuk mengetahui
implantasi inti mutiara. Perkembangan respons dan memilih jenis serta dosis bahan
menunjukkan selain untuk implantasi, anestesi yang efektif dalam prakondisi,
anestesi memungkinkan pemindahan lapisan percobaan dilaksanakan dalam loyang
jaringan dari kerang donor kekerang resipien plastik berdiameter 50x40x25 cm, volume 30
tanpa membunuh mereka (Acosta-Salmon. liter air, sebanyak 12 buah yang dilengkapi
et al., 2004; AcostaSalmon dan Southgate, dengan blower sebagai aerasi.
2005; 2006). Lebih lanjut dinyatakan bahwa Percobaan anestesi pada Anodonta
secara potensial dengan cara ini mengizinkan woodiana berlangsung pada ruang
pendonor menghasilkan mutiara yang ber- laboratorium basah di BBAT Tateludan
kualitas tinggi dan donor mutiara yang dilaksanakan dalam loyang plastik sebanyak
telah mengalami proses anestesi untuk 12 buah. Dalam percobaan yang dirancang
memindahkan lapisan jaringan (Acosta- secara acak lengkap berpola faktorial ini
Salmon et al., 2004). Pendekatan ini diuji 2 faktor yaitu jenis bahan anestesi
sungguh-sungguh menguntungkan pada (dengan empat taraf) dan faktor dosis
industri budidaya mutiara, dan membenarkan (dengan tiga taraf) sehingga terdapat 12
penelitian dengan menggunakan anestesi kombinasi perlakuan jenis dan dosis yang
pada kerang mutiara. Penelitian ini bertujuan masing-masing diulang tiga kali. Keduabelas
untuk menentukan respons kerang terbaik kombinasi perlakuan tersebut adalah:
pada beberapa jenis dan dosis minyak bahan a. Minyak Sereh dengan dosis anestesi
anestesi pada prakondisi kerang. sebanyak 1,5 ml/l
Efektivitas Pemberian Beberapa Bahan Dan Dosis Anestesi 198

b. Minyak Sereh dengan dosis anestesi dan kematian (ekor).


sebanyak 2,5 ml/l Pengamatan respons dilakukan dengan
c. Minyak Sereh dengan dosis anestesi mencatat lama waktu kerang rileks dan waktu
sebanyak 3,5 ml/l pemulihan. Pengamatan ini berlangsung
d. Minyak Cengkeh dengan dosis anestesi kurang lebih selama satu jam. Setelah
sebanyak 1,5 ml/l pengamatan selesai kerang dipindahkan
e. Minyak Cengkeh dengan dosis anestesi pada air normal tanpa perlakuan selama
sebanyak 2,5 ml/l satu jam. Kemudian kerang dimasukkan
f. Minyak Cengkeh dengan dosis anestesi dengan menggunakan wadah keranjang,
sebanyak 3,5 ml/l sesuai masing-masing perlakuan yang sudah
g. Minyak Menthol dengan dosis anestesi diletakkan di saluran air untuk diamati
sebanyak 1,5 ml/l kelangsungan hidupnya selama satu bulan.
h. Minyak Menthol dengan dosis anestesi Kematian kerang pada masing-masing
sebanyak 2,5 ml/l perlakuan dicatat. Penentuan kombinasi
i. Minyak Menthol dengan dosis anestesi perlakuan yang efektif dalam prakondisi dari
sebanyak 3,5 ml/l Anodontawoodiana didasarkan atas besaran
j. Minyak Pala dengan dosis anestesi respons, panjangnya waktu relaksasi,
sebanyak 1,5 ml/l pendeknya waktu pemulihan, rendahnya
k. Minyak Pala dengan dosis anestesi kematian, dan berpenampilan normal selama
sebanyak 2,5 ml/ L satu bulan.
l. Minyak Pala dengan dosis anestesi
sebanyak 3,5 ml/l HASIL DAN PEMBAHASAN

Setiap wadah percobaan diisi air Uji coba anestesi pada kerang ini
sebanyak 30 liter, diberi bahan anestesi sesuai menggunakan empat jenis minyak yaitu
dengan kombinasi perlakuan yang akan diuji, minyak sereh, minyak cengkeh, minyak
dan kerang ditebarkan sebanyak sembilan menthol, dan minyak pala. Sesuai dengan
individu tiap wadah. Dalam percobaan tiga dosis bahan minyak yang dicobakan,
pertama ini pengamatan dilakukan terutama yaitu 1,5 ml/l, 2,5 ml/l, 3,5 ml/l, hasil
terhadap respons kerang (%), waktu relaksasi pengamatannya disajikan secara ringkas
dan waktu pemulihan atau recovery (menit), pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Hasil uji coba penggunaan bahan anestesi pada kerang A. woodiana dan pengaruhnya terhadap
respons, waktu relaksasi dan waktu pulih, dan mortalitas

Anestesi Dosis Rata-rata Lama Rata-rata Rata-rata


Rata-rata
Perlakuan Waktu Relaks Lama Waktu Mortalitas
(ml/l) Respons (%)
(Menit) Pemulihan (Menit) (%)
1,5 0 0,00 - 3,70
Minyak Sereh 2,5 55,56 10,33 10 3,70
3,5 44,44 14,67 15 14,81
1,5 0 0,00 - 7,41
Minyak
2,5 3,70 0,00 - 22,22
Cengkeh
3,5 0 0,00 - 11,11
1,5 11,11 10,33 10 3,70
Minyak
2,5 22,22 10,00 10 3,70
Menthol
3,5 18,52 10,33 10 11,11
1,5 44,44 15,33 15 11,11
Minyak Pala 2,5 81,48 15,00 5 7,41
3,5 48,15 15,00 10 14,81
Keterangan: Rata-rata tiga ulangan, sembilan ekor setiap ulangan
Lumenta, C., dan Gybert, M. 199

Dari Tabel 1 terlihat respons rata-rata Jumlah kerang yang memberikan


tertinggi kerang Anodonta woodiana terdapat repons, seperti terlihat dalam Gambar
pada pemberian anestesi minyak pala dengan 1, menunjukkan respons individu yang
dosis 2,5 ml/l, yaitu sebesar 81,5%. Kerang selama satu jam berada dalam wadah
sama sekali tidak memberikan respons pada percobaan, bereaksi terhadap bahan anes-
pemberian minyak sereh 1,5 ml/l, minyak tesi sebagaimana diperlihatkan dengan
cengkeh 1,5 ml/l dan 3,5 ml/l (Gambar 1). pembukaan cangkangnya. Ternyata, minyak
Pemberian bahan anestesi berupa minyak pala direspons secara merata oleh kerang
sereh dengan dosis 1,5 ml/l terhadap yang diuji, dibandingkan bahan anestesi
kerang, tidak terlihat adanya kerang yang lainnya. Sementara analisis yang dilakukan
mengalami rileks maupun pemulihan, karena menunjukkan adanya pengaruh yang nyata
kerang memang tidak memberikan respons. dari penggunaan bahan anestsi dan terdapat
Kejadian yang sama juga diperlihatkan pada interaksi antara jenis dan dosis bahan anestesi
pemberian bahan anestesi minyak cengkeh sebagaimana ditunjukkan oleh responsnya.
pada dosis 1,5, 2,5 dan 3, 5 ml/l. Kecuali Meskipun demikian, diantara semua
pemberian minyak cengkeh dengan dosis bahan dan dosis anestesi yang dicobakan,
2,5 ml/l. ternyata minyak pala dengan dosis 2,5 ml/
Pemberian bahan anestesi berupa lmemperoleh respons tertinggi (Tabel 1).
minyak menthol dan minyak pada pada Pengamatan lebih jauh mencatat
semua dosis menunjukkan waktu rileks respons kerang terhadap minyak pala
dan waktu pulih yang konsisten. Pemberian dengan dosis 2,5 ml/l, nampaknya terjadi
minyak menthol dengan dosis yang berbeda lebih lambat dibandingkan dengan respons
mengalami rileks dan waktu pulih yang dari minyak lainnya yang berbeda baik jenis
hampir sama, 10 menit. Pemberian minyak maupun dosisnya. Dalam hal ini, waktu
pala pada semua dosis menunjukkan waktu relaks kerang yang ditandai oleh bukaan
relaks yang relatif sama (15 menit) tetapi cangkangnya, berlangsung rata-rata 15 menit
beragam dalam waktu pulihnya. setelah dimasukkan ke wadah percobaan,
Tingkat mortalitas tertinggi selama yang kemudian diikuti dengan waktu tercepat
satu bulan pemeliharaan terdapat pada dalam pemulihannya ketika dipindahkan ke
pemberian bahan anestesi minyak cengkeh wadah yang tanpa bahan anestesi.
dengan dosis 2,5 ml/l sebanyak 22,22%., Sebagai rangkaian dalam uji coba
sedangkan tingkat mortalitas terendah ini, pengamatan umum dilakukan pula
terdapat pada pemberian bahan anestesi untuk mengetahui keadaan kerang setelah
minyak sereh dengan dosis 1,5 ml/l dan 2,5 menerima bahan anestesi. Selama sebulan,
ml/l dan minyak menthol dengan dosis 1,5 kerang yang telah pulih dan bertahan hidup
ml/l dan 2,5 ml/l dengan tingkat mortalitas dipelihara dalam penampungan stok kerang
rata-rata 11,11%. percobaan. Hasilnya, sebagian besar ditandai
hidup (Tabel 2). Dari kelompok kerang yang
Gambar 1. Respons Kerang Anodonta semula teranestesi dengan minyak pala
woodiana terhadap Bahan berdosis 2,5 ml/l, ditemukan hanya satu
Anestesi individu yang mengalami kematian, suatu
jumlah yang relatif terkecil dibandingkan
dengan kelompok kerang yang semula
teranestesi dan berespons dengan bahan
yang dicobakan lainnya.
Dalam budidaya kerang atau tiram
mutiara, bahan anestesi digunakan untuk
membius agar cangkangnya terbuka guna
memudahkan penempatan inti atau iritan.
Sejauh penelusuran pustaka yang dilakukan,
penggunaan bahan anestesi terhadap
Efektivitas Pemberian Beberapa Bahan Dan Dosis Anestesi 200

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Kerang yang mengalami mortalitas secara signifikan.


Memberikan Respons pada Selanjutnya Norton et al. (1996) dan
Setiap Kombinasi Jenis dan Dosis OConnor dan Lawier (2002) melaporkan
Bahan Anestesi keberhasilan menggunakan propylene
phenoxetol dengan konsentrasi 2-3 ml/ L pada
Jenis Bahan Dosis (ml/l) jenis tiram Pinctada albina, P. ambricata,
Anestesi 1,5 2,5 3,5 P. margatifera, dan P. maxima. Demikian
Minyak 0,028 a 55,56 c 44,44 b pula dengan menggunakan Benzocaine pada
Sereh A C C konsentrasi 1200mg/L yang diujicobakan
Minyak 0,028 a 3,70 a 0028 a pada P. albina, P. margarifera, P. facata, sama
Cengkeh A A A berhasilnya dalam menurunkan relaksaksi
Minyak 11,11 a 22,22 b 18,52 b pada periode pendek (AcostaSalmon et al.,
Menthol B B B 2005).
Minyak 44,44 a 81,48 b 48,15 a Minyak pala dikenal selama ini sebagai
Pala C D C salah satu minyak astiri yang dihasilkan dari
destilasi uap atas daging dan/atau biji buah
Keterangan: Nilai dengan huruf kecil yang sama (arah
baris) dan huruf besar yang sama (arah pala. Martins-Sousaet al. (2001) menyatakan
kolom) menunjukan tidak berbeda nyata pada komponen utama minyak pala adalah
taraf 5%. miristisin yang bersifat racun dan mempunyai
efek narkotika. Selengkapnya, aroma minyak
kerang A. woodiana ternyata belum pernah
pala mengandung d-camphene, d-pinene,
dilakukan dan disajikan publikasinya.
limonene, d-borneol, l-terpineol, geraniol,
Dalam hal ini, uji coba yang dilakukan
safrol, dan myristicin. Dengan demikian,
sesungguhnya mengacu pada aplikasi teknis
relaksasi dapat berlangsung pada kerang
yang dikerjakan pada tiram mutiara air laut,
yang ditelaah ini sebagai tanggapan atas sifat
terutama anjuran yang diajukan Norton et
dan efek minyak pala tersebut.
al. (2000) untuk menggunakan bahan alam
(minyak cengkeh dan menthol) dengan dosis
SIMPULAN
rendah.
Sebagaimana ditegaskan Martins-
Bahan ansetesi miyak pala dapat digunakan
Sousaet al. (2001) setelah menelaah sejumlah
untuk memudahkan penempatan iritan pada
sumber, beragam efek yang dialami moluska
kerang Anodonta woodiana. Minyak pala
atas pengaruh bahan anestesi, ditentukan
direspon secara merata oleh kerang yang
oleh jenis, konsentrasi, dan waktu eksposisi.
di uji dibandingkan dengan bahan anestesi
Demikian halnya dengan spesies moluska.
yang lain. Minyak pala dengan dosis 2,5
Jenis moluska dari genus Biompharia
ml/L memperoleh respon tertinggi oleh
mengalami pengaruh anestasi dari Cetamine
kerang Anodonta woodiana.
berkonsentrasi 0,25 mg/ml air. Seperti juga
Mamangkey et al. (2009), minyak cengkih
UCAPAN TERIMA KASIH
digunakan Bilbao et al (2010) sebagai bahan
anestesi pada abalone, meskipun keduanya
Kepala Balai Budidaya Air Tawar (BBAT)
menandai ketidakefetifan dari minyak ini.
Tatelu, Dr. Ir. Amin Setiawan, M.S., Prof.
Keberhasilan dan kegagalan ternyata
Dr. Sukaya Sastrawibawa, SU., Amrih Joko
dialami ketika menggunakan bahan anestesi.
W. M.P., Dr. Ir. Gybert Mamuaya, DAA, Ir.
Hal ini terungkap dari beberapa informasi
Jhonly Solang
terkait dengan upaya meningkatkan efisiensi
budidaya mutiara air laut. Kegagalan
DAFTAR PUSTAKA
dilaporkan pada tiram Pinctada margatifera,
ketika untuk memudahkan penyisipan inti,
Acosta-Salmon, H., E. Martinez-Fernandez,
digunakan 2 ml/ L phenoxetal propilena
& P.C. Southgate, 2004. A new
selama 15 menit yang setelah pemeliharaan
approach to pearl oyster broodstock
Lumenta, C., dan Gybert, M. 201

selection: can saibo donors be used oyster, Pinctada maxima (Jameson).


as future broodstock.Aquaculture Fish and Shellfish Immunology 27,
231(1-4), 205-214. 164-174.

Acosta-Salmon, H., & P.C. Southgate, Martins-Sousa, R.L., D. Negrao-Correa,


2005. Mantle regeneration in the F.S.M. Bezerra & P.M.Z Coelho.
pearl oysters Pinctada fucata and 2001. Anesthesia of Biomphalaria
Pinctada margaritifera. Aquaculture spp. (Mollusca, Gastropoda): Sodium
246(14):447-453. pentobarbital is the rrug of choice.
Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de
Acosta-Salmon, H., & P.C. Southgate, 2006. Janeiro 96(3):391-392
Wound healing after excision of
mantle tissue from the Akoya pearl Norton, J.H., J.S. Lucas, I. Turner, R.J. Mayer,
oyster, Pinctada fucata. Comp. & R. Newnham, 2000. Approaches to
Biochem. Physiol. 143:264268. improve cultured pearl formation in
Pinctada margaritifera through use
Bilbao, A., B. Sosa, H.P. Palacios & M.D.C. of relaxation, antiseptic application
Hernandez. 2010. Efficiency of and incision closure during bead
clove oil as anesthetic for Abalone insertion. Aquaculture 184, 117.
(HaliotisTuberculataCoccinea,
Revee). Journal of Shellfish Research OConnor, W.A., & N.F. Lawler, 2002.
29(3):679-682. Propylene phenoxetol as a relaxant for
the pearl oysters Pinctada imbricata
Mamangkey, N.G.F., & P.C. Southgate, and Pinctada albina. Asian Fish. Sci.
2009. Regeneration of excised 15, 5157
mantle tissue by the silverlip pearl
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No. 3, November 2012: 201 - 210
ISSN 1411 - 0903

KESTABILAN WARNA KURKUMIN TERENKAPSULASI DARI KUNYIT


(Curcuma domestica Val. ) DALAM MINUMAN RINGAN DAN JELLY PADA
BERBAGAI KONDISI PENYIMPANAN

Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F.


Jurusan Teknologi Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian,
Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
E-mail: tensiska_agam@yahoo.com

ABSTRAK
Pigmen kurkumin dari kunyit bersifat tidak stabil terhadap cahaya, suhu dan perubahan pH, oleh karena
itu dilakukan penyalutan dengan polimer (mikroenkapsulasi) agar memiliki umur simpan yang lebih
lama. Pigmen kurkumin yang telah dimikroenkapsulasi dapat diaplikasikan pada produk pangan seperti
minuman ringan dan jelly. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan kondisi penyimpanan yang
tepat terhadap pigmen kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada produk minuman ringan
dan jelly dan menduga umur simpannya. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan
empat perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang diberikan pada minuman ringan dan jelly adalah
penyimpanan suhu ruang (250 C 20 C), suhu refrigerator (50 C 20 C), terekspos cahaya, dan tanpa
ekspos cahaya selama 30 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua produk (minuman ringan
dan jelly) yang disimpan pada suhu refrigerator dan tanpa ekspos cahaya memiliki stabilitas warna
yang paling baik. Berdasarkan intensitas warna kuning, umur simpan minuman ringan pada suhu ruang
dan terekspos cahaya secara berturut-turut adalah 38 hari dan 15 hari sedangkan umur simpan pada
suhu refrigerator dan tanpa ekspos cahaya tidak bisa diduga pada 30 hari penyimpanan karena hasil uji
statistik menunjukkan bahwa lama penyimpanan (variabel x) tidak memengaruhi penurunan intensitas
warna kurkumin (variabel y) selama penyimpanan 30 hari. Umur simpan jelly suhu refrigerator adalah
46 hari, tanpa terekpos cahaya: 25 hari , suhu ruang : 17 hari dan terekspos cahaya : 15 hari.

Kata kunci: Kunyit, kurkumin, stabilitas, umur simpan

COLOR STABILITY OF ENCAPSULATED CURCUMIN PIGMENTS FROM


TURMERIC (Curcuma domestica Val.) IN SOFT DRINKS AND JELLY AT VARIOUS
STORAGE CONDITIONS

ABSTRACT
Curcumin pigment from turmeric is not stable on light, heat, and a change of pH, therefore
microencapsulation of curcumin was carried out in order to provide a longer shelf life. Microencapsulated
curcumin pigment can be applied to food products such as soft drinks and jelly. The purpose of this study
was to determine the appropriate storage conditions of microencapsulated curcumin pigment in soft
drinks and jelly products and also to forcast their shelf life. this is the experimental reseach with four
treatments and three replications. The four treatments tested in soft drinks and jelly included storage at
room temperature (250 C 20 C), cold storage (50 C 20 C), exposure to light, and without exposure to
light. The results of this study indicated that both products stored at refrigeration temperature without
exposure to light were the most stable color. The shelf life of soft drinks stored at room temperature
and exposed to light was 38 days and 15 days, respectively. Meanwhile the shelf life of the product in
refrigeration and exposed to light could not be calculated because, based on statistical analysis, it was
found that storage (x variable) did not influence the intensity of the color (y variable) during the 30
days. The shelf life of the jelly stored in refrigeration was 46 days, without exposure to light: 25 days,
room temperature: 17 days, and exposure to light: 15 days .

Key words: Turmeric, curcumin, stability, shelf life


Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. 202

PENDAHULUAN penanganan. Pigmen kurkumin yang telah


dimikroenkapsulasi ini dapat diaplikasikan
Dua puluh tahun terakhir di negara pada produk pangan, diantaranya adalah
maju, berkembang kesadaran masyarakat minuman ringan dan jelly.
akan pangan fungsional (functional food) Berdasarkan uraian di atas perlu
dan menghindari penggunaan bahan sintetik dilakukan penelitian untuk mengetahui
sebagai bahan tambahan pangan (food stabilitas bubuk pigmen kurkumin terenkap-
additif). Salah satu bahan tambahan pangan sulasi yang diaplikasikan pada minuman
adalah pewarna. Penggunaan pewarna ringan dan jelly dalam berbagai kondisi
sintetik pada pangan memberikan kesan penyimpanan. Tujuan penelitian ini untuk
toksik, sedangkan pewarna alami memberi menetapkan kondisi penyimpanan yang tepat
kesan menyehatkan. Selain itu, umumnya bagi pigmen kurkumin terenkapsulasi yang
pewarna sintetik dibuat dari ter batubara diaplikasikan pada produk minuman ringan
sehingga mengandung logam berat yang dan jelly serta menduga umur simpannya.
berdampak negatif bagi kesehatan seperti
penyebab kanker dan dapat menyebabkan BAHAN DAN METODE
gangguan tingkah laku serta merangsang
perilaku hiperaktif pada anak-anak (Mc Cann Bahan dan Alat
et al., 2007 dikutip He and Giusti, 2010). Bahan utama yang digunakan adalah
Penggunaan pewarna alami sebagai bahan kunyit berumur 8-12 bulan yang diperoleh dari
tambahan makanan yang aman menjadi salah perkebunan kunyit di Kecamatan Tanjungsari
satu alternatif penyelesaian permasalahan Kabupaten Sumedang, maltodekstrin, asam
tersebut. Salah satu zat pewarna alami yang asetat glasial dan akuades. Peralatan yang
sering digunakan adalah kurkumin dari digunakan rotary evaporator vakum, spray
kunyit. drier tipe B-290 dan kromameter tipe CR-
Rimpang kunyit dapat dimanfaatkan 300 Minolta dan peralatan gelas.
sebagai zat pewarna alami yaitu senyawa
kurkuminoid yang menampilkan warna Metode
kuning. Pigmen kurkumin bersifat larut Metode penelitian yang digunakan
dalam etanol dan asam asetat glasial dan adalah metode percobaan (Experimental
memiliki stabilitas yang baik terhadap Method) dengan empat perlakuan dan tiga
panas dan asam, tetapi sensitif terhadap kali ulangan yang dilanjutkan dengan
cahaya (MacDougall, 2002). Menurut Sidik metode regresi dan korelasi. Selanjutnya
(1992), bila kurkumin terkena cahaya, akan hasil percobaan dianalisis secara deksriptif.
terjadi dekomposisi struktur berupa siklisasi Penentuan stabilitas pigmen kurkumin terbaik
kurkumin atau terjadi degradasi struktur pada minuman ringan dan jelly berdasarkan
sehingga warna kurkumin berubah menjadi laju perubahan intensitas warna yang paling
lebih gelap. rendah. Perlakuan yang dicobakan adalah
Salah satu upaya untuk mempertahankan menambahkan bubuk pigmen kurkumin
kestabilan pigmen kurkumin ini adalah terenkapsulasi pada minuman ringan dan
dengan melakukan penyalutan menggunakan jelly yang disimpan selama 30 hari dengan
suatu bahan polimer sehingga memiliki daya berbagai kondisi penyimpanan yaitu :
tahan simpan yang lebih panjang. Menurut A = Minuman ringan dan jelly yang disimpan
Syamsiyah (1996) dikutip Ariarti (1998), pada suhu ruang (250 C 20 C)
proses penyalutan (enkapsulasi) ini bertujuan B = Minuman ringan dan jelly yang disimpan
untuk melindungi material inti dari pengaruh- pada suhu refrigerator (5 C 2 C)
pengaruh lingkungan yang merugikan selama C = Minuman ringan dan jelly yang disimpan
penyimpanan, dari kemungkinan terjadinya terekspos cahaya pada suhu ruang
oksidasi oleh cahaya, penguapan, kelembaban, D = Minuman ringan dan jelly yang
udara, serta mengubah bentuk cairan disimpan tanpa ekspos cahaya pada
menjadi padatan yang lebih mudah dalam suhu ruang
Kestabilan Warna Kurkumin Terenkapsulasi dari Kunyit 203

Pengamatan dilakukan terhadap inten- disimpan dalam ruangan terbuka bersuhu


sitas warna kuning selama penyimpanan ruang (25 C 2 C) dengan ekspos cahaya
dengan kromameter tipe CR-300 Minolta dari lampu Neon 18 Watt yang berjarak
secara periodik selama penyimpanan 30 hari 1 meter dari sampel. Penyimpanan tanpa
setiap 5 hari (Hutching, 1999) ekspos cahaya pada suhu ruang (25 C
2 C), minuman ringan disimpan dalam
Tahapan Penelitian ruangan tertutup tanpa cahaya. Jelly yang
Penelitian ini dimulai dengan meng- telah ditambahkan dengan bubuk pigmen
ekstrak pigmen kurkuminoid dari rimpang kurkumin terenkapsulasi disimpan dalam
kunyit mengacu pada modifikasi Vargas plastic cup transparan dan ditutup rapat
dan Lopez (2002) dengan pelarut akuades dengan bantuan plastic sealer. Jelly disimpan
yang diasamkan dengan asam asetat glasial. dengan kondisi penyimpanan yang sama
Selanjutnya dilakukan penyalutan atau seperti pada minuman ringan.
proses mikroenkapsulasi menggunakan Pengamatan dilakukan terhadap
alat spary drier dengan bahan penyalut intensitas warna kuning (nilai b*) diamati
maltodekstrin 6%. Mikroenkapsulasi ini setiap 5 hari sekali selama 30 hari dengan
menggunakan modifikasi metode Sukardi, menggunakan kromameter tipe CR -300
Saati dan Wahyuni (2007). Minolta (Hutching, 1999) .
Tahap berikutnya adalah menentukan
stabilitas pigmen pada produk aplikasi HASIL DAN PEMBAHASAN
yaitu minuman ringan dan produk jelly.
Minuman ringan dan jelly masing-masing Perubahan Intensitas Warna Minuman
ditambahkan pigmen kurkumin sebanyak Ringan
15.000 ppm. Penyimpanan produk aplikasi Kerusakan kurkumin digambarkan
dilakukan pada (1) suhu ruang (25 C 2 dengan penurunan intensitas warna kuning
C); (2) suhu refrigerator (5 C 2 C); (3) (nilai b*) selama penyimpanan. Namun
terekspos cahaya dari lampu Neon 18 Watt sebelum itu, perlu dilakukan penentuan orde
yang berjarak 1 meter dari sampel ; dan reaksi untuk mengetahui pola laju perubahan
(4) tanpa terekspos cahaya (sampel disimpan intensitas warna minuman ringan, apakah
pada ruangan tertutup tanpa cahaya). mengikuti reaksi orde nol (linear) atau orde
Minuman ringan yang telah ditambah- satu (eksponensial). Pemilihan orde nol
kan dengan bubuk pigmen kurkumin ter- atau orde satu adalah berdasarkan keeratan
enkapsulasi disimpan dalam vial kaca dan hubungan koefisien determinasi (R2) yang
ditutup rapat. Pada penyimpanan suhu lebih besar dari kurva hubungan antara lama
ruang minuman ringan disimpan dalam penyimpanan dengan nilai b* (orde nol) atau
ruangan terbuka (25 C 2 C) dengan dengan nilai ln b* (orde satu ).
tidak memperhatikan pengaruh cahaya. Berdasarkan hasil penurunan intensitas
Penyimpanan suhu refrigerator, minuman warna kurkumin pada minuman ringan dalam
ringan disimpan dalam refrigerator dengan beberapa kondisi penyimpanan, diperoleh
suhu 5 C 2 C. Penyimpanan terekspos kurva orde nol, dan orde satu seperti yang
cahaya pada suhu ruang, minuman ringan tertera pada Gambar 1.

Gambar 1. Laju penurunan intensitas warna kuning dalam minuman ringan pada berbagai penyimpanan (a) orde
nol dan (b) orde satu
Keterangan: A (Penyimpanan suhu ruang); B (Penyimpanan suhu refrigerasi); C (Penyimpanan suhu ruang terekspos
cahaya); D (Penyimpanan suhu ruang tanpa ekspos cahaya)
Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. 204

Berdasarkan kurva orde nol dan orde dilakukan dalam waktu penyimpanan
satu (Gambar 1), diketahui persamaan yang lebih lama, ada kemungkinan kurva
regresi dari berbagai kondisi penyimpanan perubahan intensitas warna kurkumin untuk
pada Tabel 1. semua kondisi penyimpanan akan mengikuti
kurva orde satu. Menurut Vargas dan Lopez
Tabel 1. Persamaan Regresi dan Nilai R (2002), degradasi warna pigmen kurkumin
square (R2) Minuman Ringan akibat cahaya dan panas mengikuti kinetika
pada Orde 0 dan Orde 1 ordo satu. Jika laju degradasi kurkumin
Orde Kondisi mengikuti kinetika reaksi orde satu, berarti
Persamaan Regresi R2
Reaksi Penyimpanan laju kerusakannya bersifat eksponensial,
A y = -0,129x + 21,20 0,645
namun pada akhirnya kurkumin tidak akan
Orde B y = -0,009x + 21,13 0,008
Nol
pernah mencapai titik nol tetapi hanya
C y = -0,220x + 19,60 0,704
mendekati titik nol.
D y = -0,026x + 18,94 0,086
A y = -0,0069x + 3,056 0,644
Berdasarkan Gambar 1, grafik orde nol
Orde B y = -0,0004x + 3,0499 0,009 pada penyimpanan minuman ringan pada
Satu C y = -0,013x + 2,977 0,694 suhu ruang terekspos cahaya (peralakuan
D y = -0,0014x + 2,939 0,078 C) mengalami penurunan intensitas warna
yang paling besar jika dibandingkan
Nilai R2 yang semakin mendekati satu, dengan perlakuan penyimpanan lainnya.
menandakan korelasi antar data semakin Hal ini terjadi karena pada kondisi tersebut
tinggi. Persentase penurunan intensitas terdapat dua faktor yang menyebabkan
warna per hari pada persamaan linear (orde kerusakan kurkumin yaitu suhu dan cahaya
nol) bersifat konstan selama penyimpanan, sehingga mengalami penurunan intensitas
sedangkan pada reaksi orde satu terjadi secara warna kurkumin yang paling cepat.
eksponensial. Dapat dilihat pada Tabel 1, Menurut Hendry (1996), pigmen kurkumin
pada kondisi penyimpanan suhu ruang (A), sensitif terhadap cahaya. Stankovic (2004)
terekspos cahaya (C) dan tanpa terekspos menambahkan bahwa suhu dan lama
cahaya (D), orde nol memiliki koefisien pemananasan berpengaruh nyata terhadap
determinasi (R2) yang lebih besar daripada peningkatan degradasi kurkumin. Minuman
orde satu. Oleh karena itu dapat ditentukan ringan yang disimpan pada suhu refrigerator
bahwa laju kerusakan kurkumin pada mengalami penurunan kurkumin yang paling
minuman ringan tersebut mengikuti reaksi kecil karena tidak adanya kontribusi cahaya
orde nol. Artinya laju penurunan degradasi dan kecilnya pengaruh suhu dalam proses
kurkumin untuk setiap hari penyimpanan degradasi kurkumin. Berdasarkan fakta
bersifat konstan. Penyimpanan pada suhu tersebut, maka dapat dikatakan bahwa suhu
refrigerator (B) memiliki nilai R2 orde satu dan cahaya memberikan kontribusi masing-
yang lebih besar dari orde nol, sehingga masing terhadap degradasi kurkumin. Kedua
disimpulkan bahwa degradasi kurkumin faktor tersebut jika terdapat bersama-sama
pada penyimpanan suhu refrigerator meng- akan mempercepat laju degradasi kurkumin.
ikuti orde satu. Berdasarkan analisis regresi dapat
Penurunan kurkumin yang mengikuti ditulis kembali persamaan regresi dan kurva
kinetika reaksi orde nol menjelaskan bahwa hubungan lama penyimpanan terhadap
degradasi kurkumin selama penyimpanan intensitas warna kuning (b*) yang terpilih
30 hari, dipengaruhi faktor suhu dan cahaya yaitu orde nol untuk perlakuan A, C dan
dimana penurunan kurkumin akan konstan D , dan orde satu untuk perlakuan B yang
hingga pada akhirnya mencapai titik nol. disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 juga
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa disajikan laju kinetik penurunan intensitas
selisih koefisien determinasi pada persamaan warna minuman ringan yang diperoleh dari
di atas cukup kecil. Apabila percobaan nilai slope persamaan regresi.
Kestabilan Warna Kurkumin Terenkapsulasi dari Kunyit 205

Tabel 2. Persamaan regresi dan laju kinetik sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
Konstan (K) antara nilai b* dengan yang tidak diamati seperti pH, oksigen,
lama penyimpanan pada minuman dan lain-lain. Jika dilihat dari nilai slope
ringan. (laju kinetik K) persamaan linier, minuman
ringan yang terekspos cahaya memiliki nilai
Persamaan Laju
Penyimpanan
Regresi
R2
Kinetik (K)
slope (-0,220) yang berarti bahwa setiap
A (suhu ruang) y = -0,129x 0,645 0,129 bertambah satu hari penyimpanan nilai
+ 21,20 intensitas warna kuning (b*) berkurang
B (suhu y = -0,0004x 0,009 0.0004 sebesar 0,220. Berbeda dengan minuman
refrigerator) + 3,05
ringan tidak terekspos cahaya yang memiliki
C (terekspos y = -0,220x 0,704 0.220
cahaya, suhu + 19,60 slope (-0,026) yang berarti penurunan
ruang) intensitas warna setiap harinya bernilai
D (tanpa terekspos y = -0,026x 0,086 0.026 0,026. Berdasarkan hal tersebut, dapat
cahaya, suhu + 18,94
ruang) dinyatakan bahwa cahaya berpengaruh
terhadap intensitas warna pigmen kurkumin
Berdasarkan Tabel 2, lama penyim- dan kunyit pada minuman ringan.
panan minuman ringan pada suhu ruang Berdasarkan pengujian hipotesis,
memiliki hubungan yang cukup erat diketahui bahwa perlakuan B (suhu
dengan penurunan intensitas warna kuning refrigerator) dan D (suhu ruang tanpa ekspos
(b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien cahaya) pada minuman ringan menunjukkan
determinasi (R2) yaitu 0.645 yang artinya hipotesis penerimaan H0 (H0 : b = 0). Hal ini
64,5% penurunan intensitas warna kuning menunjukkan variabel lama penyimpanan
dipengaruhi oleh penyimpanan suhu ruang, tidak memengaruhi penurunan intensitas
sedangkan 35,5% sisanya dipengaruhi oleh warna kurkumin selama penyimpanan 30
faktor-faktor lain yang tidak diamati seperti hari. Dengan demikian dapat dinyatakan,
cahaya, pH, dan lain-lain. Jika diilihat dari intensitas warna kurkumin pada minuman
nilai slope (laju kinetik K) persamaan linier, ringan yang disimpan pada suhu refrigerator
minuman ringan yang disimpan pada suhu dan suhu ruang tanpa terekspos cahaya, stabil
ruang memiliki nilai slope (-0,129) yang selama penyimpanan 30 hari. Stabilitas yang
berarti bahwa setiap bertambah satu hari baik pada minuman ringan ini terjadi karena
penyimpanan nilai intensitas warna kuning kecilnya pengaruh faktor-faktor yang dapat
(b*) berkurang sebesar 0,129. Berbeda merusak senyawa kurkumin, yaitu suhu dan
dengan penyimpanan suhu refrigerasi yang cahaya. Hal ini juga ditunjukkan dengan
memiliki slope (-0,0004) yang berarti warna minuman ringan yang relatif stabil
penurunan intensitas warna setiap harinya hingga penyimpanan hari ke-30 pada kedua
hanya 0,0004. Jika dilihat dari nilai keeratan perlakuan tersebut.
hubungan (R2) antara lama penyimpanan Pada hari ke-30 minuman ringan
terhadap intensitas warna kuning, maka perlakuan penyimpanan suhu ruang (A)
dapat dinyatakan bahwa lama penyimpanan dan terekspos cahaya pada suhu ruang
(30 hari) pada suhu refrigerator relatif tidak (C) terlihat mengalami perubahan warna
berpengaruh terhadap penurunan intensitas menjadi lebih gelap. Perubahan ini terjadi
warna pigmen kurkumin dari kunyit pada akibat pembentukan senyawa feruilmetan
minuman ringan. hasil degradasi kurkumin. Menurut Sidik
Berdasarkan Tabel 2, lama penyimpan- (1992), senyawa feruilmetan berwarna
an minuman ringan yang terekspos cahaya kuning kecoklatan.
memiliki hubungan yang cukup erat
dengan penurunan intensitas warna kuning Perubahan Intensitas Warna Jelly
(b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien Dalam menentukan laju penurunan
determinasi (R2) yaitu 0.704 yang artinya intensitas warna kuning pada jelly, juga
70,4% penurunan intensitas warna kuning dilakukan penentuan orde reaksi untuk
dipengaruhi oleh cahaya sedangkan 29,6% mengetahui nilai keeratan hubungan yang
Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. 206

paling besar antara lama penyimpanan kurkumin pada jelly selama penyimpanan
terhadap penurunan intensitas warna kuning. 30 hari mengikuti persamaan linear, yang
Apabila orde reaksi yang berlaku adalah artinya penurunan kurkumin akan konstan
orde nol maka laju reaksi yang terjadi hingga pada akhirnya mencapai titik 0.
bersifat konstan sedangkan apabila orde Apabila percobaan dilakukan dalam
reaksi yang berlaku adalah orde satu maka waktu penyimpanan yang lebih lama, dapat
laju reaksi yang terjadi bersifat logaritmik dimungkinkan kurva perubahan intensitas
atau eksponensial. Kurva regresi penurunan warna kurkumin pada semua kondisi
intensitas warna kuning jelly pada orde nol penyimpanan akan mengikuti kurva orde
dan orde satu disajikan pada Gambar 2. satu. Menurut Vargas dan Lopez (2003),
Persamaan linear dan nilai R square (R2) degradasi warna pigmen kurkumin akibat
pada orde 0 dan orde 1 disajikan pada Tabel cahaya dan panas mengikuti kinetika
3. ordo satu. Hal tersebut juga diperkuat
oleh penelitian yang dilakukan oleh Diani
Tabel 3. Persamaan inear dan nilai R2 jelly
(2011) yang menyatakan bahwa degradasi
pada orde 0 dan orde 1
kurkumin selama penyimpanan terjadi secara
Orde Kondisi
Persamaan Regresi R2
eksponensial. Persamaan regresi dan laju
Reaksi Penyimpanan
kinetik konstan (slope) produk jelly untuk
A y = -0,240x + 20,30 0,669
orde nol ditulis kembali pada Tabel 4.
Orde B y = -0,075x + 19,78 0,147
Nol C y = -0,263x + 20,16 0,614 Tabel 4. Persamaan regresi dan laju kinetik
D y = -0,157x + 20,19 0,470 Konstan (K) antara intensitas warna
A y = -0,015x + 3,029 0,632 (Nilai b* ) dengan lama penyimpanan
Orde B y = -0,004x + 2,982 0,141 pada jelly
Satu C y = -0,017x + 3,023 0,528
D y = -0,009x + 3,012 0,410 Persamaan Laju
Penyimpanan R2
Regresi Kinetik (K)
A (suhu ruang) y = -0,240x 0,669 0,240
+ 20,30
B (suhu refrigera- y = -0,075x 0,147 0.075
tor) + 19,78
C ( terekspos y = -0,263x 0,614 0.263
cahaya pada suhu + 20,16
ruang)
D ( tanpa ekspos y = -0,157x 0,470 0.157
cahaya pada suhu + 20,19
ruang)

Berdasarkan Tabel 4, lama penyimpanan


jelly pada suhu ruang memiliki hubungan
yang cukup erat dengan penurunan intensitas
warna kuning (b*). Hal ini terlihat dari nilai
koefisien determinasi (R2) yaitu 0,669 yang
artinya 66,9 % penurunan intensitas warna
kuning dipengaruhi oleh penyimpanan
Gambar 2. Laju penurunan ntensitas warna suhu ruang, sedangkan 33,1% sisanya
kuning pada jelly pada berbagai dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang
kondisi penyimpanan untuk tidak diamati seperti cahaya, pH, dan lain-
orde nol dan orde satu lain. Jika diilihat dari nilai slope (laju kinetik
Berdasarkan Tabel 3, semua persamaan K) persamaan linier, jelly yang disimpan
intensitas warna kuning orde reaksi nol pada suhu ruang memiliki nilai slope (-0,240)
pada jelly memiliki nilai R2 yang lebih yang berarti bahwa setiap bertambah satu
besar daripada persamaan orde satu. Hal ini hari penyimpanan nilai intensitas warna
berarti bahwa laju kerusakan warna kuning kuning (b*) berkurang sebesar 0,240,
Kestabilan Warna Kurkumin Terenkapsulasi dari Kunyit 207

sedangkan penyimpanan suhu refrigerator akan menurunkan intensitas warna pada


memiliki laju penurunan (-0,075) yang kurkumin yang terlarutkan, terutama ketika
berarti penurunan intensitas warna setiap sulfur dioksida terkandung lebih dari
harinya bernilai 0,075. Jika dilihat dari 100 ppm. Hal ini yang menyebabkan laju
nilai keeratan hubungan (R2) antara lama penurunan intensitas pigmen kurkumin
penyimpanan terhadap intensitas warna pada produk jelly lebih cepat dibandingkan
kuning, maka dapat dinyatakan bahwa lama kurkumin pada produk minuman ringan
penyimpanan pada suhu ruang berpengaruh dengan kondisi penyimpanan yang sama.
terhadap intensitas warna. Sementara Berdasarkan Tabel 4, penurunan
itu penyimpanan pada suhu refrigerator intensitas warna lebih besar pada perlakuan
memiliki nilai R2 yang sangat kecil ( 0,147), penyimpanan suhu ruang (A) dibandingkan
yang berarti lama penyimpanan pada suhu dengan perlakuan suhu refrigerator (B) yang
refrigerator relatif kurang berpengaruh ditunjukkan oleh nilai slope. Penurunan
terhadap intensitas warna jelly. intensitas warna kuning pada jelly terjadi
Berdasarkan Tabel 4, lama penyim- karena degradasi senyawa kurkumin
panan jelly yang terekspos cahaya memiliki menjadi asam ferulat dan feruloilmetan
hubungan yang cukup erat dengan penurunan yang diakibatkan oleh suhu seperti yang
intensitas warna kuning (b*). Hal ini terjadi pada minuman ringan. Intensitas
terlihat dari nilai koefisien determinasi (R2) warna kuning jelly pada suhu refrigerator
yaitu 0,614 yang artinya 61,4% penurunan relatif stabil selama penyimpanan hingga
intensitas warna kuning dipengaruhi oleh hari ke-30. Hal ini mungkin disebabkan
cahaya. Jika dilihat dari nilai slope (laju karena tidak adanya kontribusi cahaya dan
kinetik K) persamaan linier, jelly yang rendahnya suhu penyimpanan sehingga
terekspos cahaya memiliki nilai slope tingkat kerusakan kurkumin relatif kecil.
(-0,263) yang berarti bahwa setiap bertambah Berdasarkan Tabel 4, jelly yang
satu hari penyimpanan nilai intensitas disimpan terekspos cahaya ( C ) mengalami
warna kuning (b*) berkurang sebesar 0,263, penurunan nilai b* yang lebih besar
sedangkan jelly tidak terekspos cahaya dibandingkan dengan jelly tanpa ekspos
yang memiliki slope (-0,157) yang berarti cahaya (D). Hal ini disebabkan karena cahaya
penurunan intensitas warna setiap harinya sangat berpengaruh terhadap stabilitas
hanya 0,157. Hal ini berarti bahwa cahaya kurkumin.
berpengaruh terhadap kestabilan pigmen
kurkumin. Fakta ini juga didukung oleh Pendugaan Umur Simpan
nilai (R2) atau keeratan hubungan antara Umur simpan berkaitan dengan
lama penyimpanan terhadap intensitas kelayakan dan penerimaan produk oleh
warna kuning, pada jelly yang terekspos konsumen, oleh sebab itu dalam menentukan
cahaya nilai (R2) lebih besar dibandingkan waktu kadaluwarsa bahan pangan diperlukan
dengan yang tanpa ekspos cahaya. Oleh sebuah batasan mutu atau parameter
karena itu dapat disimpulkan bahwa cahaya kritis yang dapat mewakili ambang batas
berpengaruh terhadap penurunan intensitas penerimaan produk oleh konsumen.
warna pigmen kurkuin yang diaplikasikan Parameter kritis pigmen kurkumin
pada jelly. terenkapsulasi yang diaplikasikan pada
Selain faktor suhu dan cahaya, degradasi minuman ringan dan jelly, ditentukan
kurkumin pada jelly selama penyimpanan berdasarkan intensitas warna kuning yang
juga dipengaruhi oleh kandungan gugus sudah tidak dapat lagi diterima, yaitu
sulfat dari karagenan karena jelly powder pudarnya warna kuning pada produk.
yang digunakan berasal dari karagenan. Parameter yang diuji adalah intensitas warna
Menurut Glicksman (1983), pada umumnya kuning kurkumin pada minuman ringan dan
karagenan mengandung 25-39 % gugus jelly (nilai b*).
sulfat ester. Hendry dan Houghton (1996) Nilai b* kritis adalah intensitas warna
menegaskan bahwa senyawa sulfur dioksida kuning pigmen kurkumin pada produk yang
Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. 208

sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui
yaitu 16,3. Nilai b* kritis ini didapatkan dari bahwa umur simpan minuman ringan pada
perlakuan suhu ruang terekspos cahaya pada penyimpanan suhu ruang (A) 1 bulan 8
minuman ringan selama penyimpanan 15 hari dan penyimpanan terekspos cahaya
hari. Pada nilai tersebut intensitas warna pada suhu ruang (C) adalah 15 hari.
kuning pigmen kurkumin pada produk Pendugaan umur simpan minuman ringan
mengalami kerusakan yang sudah tidak dapat pada penyimpanan suhu refrigerator (B)
diterima secara visual (warna kuning pucat). dan tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang
Berdasarkan data ini, umur simpan minuman (D) tidak dapat dilakukan karena pengujian
ringan yang diwarnai dengan kurkumin hipotesis terhadap kedua jenis perlakuan ini
dalam kemasan transparan, terekspos lampu menunjukkan hipotesis penerimaan H0 (H0 :
seperti pada pasar swalayan, pada suhu b = 0) sehingga variabel lama penyimpanan
ruang hanya sampai 15 hari. (variabel x) tidak memengaruhi penurunan
Pendugaan umur simpan untuk intensitas warna kurkumin (variabel y)
masing-masing perlakuan didapatkan selama penyimpanan 30 hari. Hal ini
dengan memasukkan nilai b* kritis yang menunjukkan bahwa minuman ringan yang
telah didapat ke dalam variabel y (intensitas disimpan pada suhu refrigetor (B) dan tanpa
warna kuning b*) pada persamaan ekpos cahaya pada suhu ruang (D) stabil
linear. Persamaan linear yang digunakan selama penyimpanan 30 hari.
merupakan persamaan yang memiliki orde Pada produk jelly diketahui umur
reaksi dengan R2 paling besar yaitu orde simpan yang paling lama ditemukan pada
nol. Pendugaan umur simpan produk dapat jelly yang disimpan pada suhu refrigerator,
dilihat pada Tabel 5. yaitu 1 bulan 16 hari (B). Setelah itu diikuti
oleh jelly yang disimpan tanpa ekspos
Tabel 5. Pendugaan umur simpan pada cahaya pada suhu ruang yaitu 25 hari (D),
minuman ringan dan Jelly pada penyimpanan pada suhu ruang yaitu 17 hari
beberapa kondisi penyimpanan. (A) dan penyimpanan terekspos cahaya pada
Parameter Umur suhu ruang yaitu 15 hari (C).
Kondisi Persamaan
Produk kritis b* Penyimpanan Linear
Simpan Penyimpanan pada suhu refrigerator
(y) (x)
y = 1 bulan 8
pada minuman ringan dan jelly memiliki
A - 0 , 1 2 9 x hari umur simpan yang paling lama dibandingkan
+ 21,20 produk pada kondisi penyimpanan lainnya.
y = Tidak
B -0,0004x dapat di-
Hal ini menunjukkan bahwa kurkumin
Minuman + 3,0499 tentukan paling lambat mengalami kerusakan karena
Ringan y = 15 hari suhu dan faktor cahaya berada pada tingkat
C -0,220x
+ 19,60 yang rendah. Produk minuman ringan dan
y = Tidak jelly yang disimpan pada suhu ruang dengan
D - 0 , 0 2 6 x dapat di- ekspos cahaya memiliki umur simpan yang
+ 18,94 tentukan
16,3 paling singkat dibandingkan perlakuan
y = 17 hari
A -0,240x lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa produk
+ 20,30 yang disimpan pada suhu ruang dengan
y = 1 bulan ekspos cahaya paling cepat mengalami
B - 0 , 0 7 5 x 16 hari
+ 19,78 kerusakan kurkumin akibat cahaya dan suhu.
Jelly
y = 15 hari Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
C -0,263x
+ 20,16
cahaya dan suhu sangat mempengaruhi
y = 25 hari
umur simpan kurkumin terenkapsulasi
D -0,157x yang diaplikasikan pada minuman ringan
+ 20,19
sedangkan faktor yang mempengaruhi
Keterangan : A = suhu ruang full gambar umur simpan jelly adalah cahaya, suhu dan
B = suhu refrigerator
kandungan gugus sulfat.
C = terekspos cahaya pada suhu ruang
D = tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang
Kestabilan Warna Kurkumin Terenkapsulasi dari Kunyit 209

SIMPULAN (curcuma domestica val.) Dengan


Metode Accelerated Shelf Life Test
Pigmen kurkumin terenkapsulasi yang Model Arrhenius. Skripsi. Fakultas
diaplikasikan pada minuman ringan dan Teknologi Industri Pertanian Unpad,
jelly, memiliki stabilitas yang paling baik Jatinangor.
pada penyimpanan suhu refrigerator dan
tanpa terekspos cahaya pada suhu ruang . Glicksman, M. 1983. Food Hydrocoloid.
Minuman ringan yang disimpan pada suhu Boca Ratton, Florida: CRC Press.
refrigerator dan tanpa terekspos cahaya pada
suhu ruang, stabil selama penyimpanan He, J. & Giusti, M.M. 2010. Anthocyanins:
30 hari. Umur simpan minuman ringan Natural Colorants with Health-
pada suhu ruang adalah 1 bulan 8 hari dan Promoting Properties. Annu. Rev. Food
terekspos cahaya pada suhu ruang adalah 15 Sci. Technol., 1 : 162-187.
hari. Untuk produk jelly, umur simpan yang
paling lama ditemukan pada penyimpanan Hendry, G.A.F. 1996. Natural Food Colours.
suhu refrigerator, yaitu 1 bulan 16 hari. Jelly Dalam: Hendry, G.A.F. & Houghton,
dengan penyimpanan tanpa terekspos cahaya J.D. (eds.). Natural Food Colorants..
pada suhu ruang, memiliki umur simpan 2nd ed. London: Blackie Academic &
25 hari, penyimpanan suhu ruang 17 hari Proffesional.
dan penyimpanan terekspos cahaya pada
suhu ruang yaitu 15 hari. Perlu dilakukan Hendry, G.A.E. & Houghton, J.D. 1996.
penelitian tentang pigmen kurkumin teren- Natural Food Colorants. London;
kapsulasi yang diaplikasikan pada minuman Blackie Academic and Professional.
ringan dan jelly dengan waktu pengamatan
yang lebih dari 1 bulan. Hutching, J.B. 1999. Food Colour and
Appearance. 2nd ed. Maryland: Aspen
UCAPAN TERIMA KASIH Publishing Inc.

Terima kasih kepada Dirjen Dikti LP2M Jackman, R.L. & Smith, J.L. 1996.
untuk dukungan dana melalui Hibah Anthocyanins and Betalanins. Di dalam
Penelitian Strategis Nasional tahun 2010. G.A.F. Hendry dan J.D. Houghton
(ed). Natural Food Colorants. Second
DAFTAR PUSTAKA Edition. London: Blackie Academic
and Professionals, .
Ariarti, F. 1998. Pengaruh Penambahan
Bahan Penyalut dan Jumlah Fraksi MacDougall, D.B. 2002. Colour in
Minyak terhadap Mikroenkapsulasi Food Improving Quality. England:
Konsentrat Asam Lemak Omega-3 Woodhead Publishing Ltd.
dengan Metode Spray Dryer. Skripsi.
Fateta IPB, Bogor. Sidik. 1992. Temulawak: Curcuma xanthorriza
(Roxb). Yayasan Pengembangan Obat
Diani, M. 2011. Penentuan Umur Simpan Bahan Alami PHYTO MEDICA,
Bubuk Pigmen Kurkumin Teren- Jakarta.
kapsulasi dari Rimpang Kunyit
Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. 210

Stankovic, I. 2004. Curcumin. Chemical and (Kajian Penggunaan Jenis Filler dan
Technical Assesment. FAO. Konsentrasi). Prosiding Seminar
PATPI 2007, Bandung.
Sukardi, E. Saati, A. & Wahyuni, S.
2007. Studi Pembuatan Bubuk Vargas, F. D. & Lopez, O.P. 2002. Natural
Pigmen Antosianin Ekstrak Mawar Colorants for Food and Nutraceutical
Merah (Rosa damascena Mill) Uses. New York: CRC Press.
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No. 3, November 2012: 211 - 218
ISSN 1411 - 0903

AKTIVITAS INSEKTISIDA EKSTRAK TUMBUHAN TERHADAP Diaphorina citri


DAN Toxoptera citricidus SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TANAMAN DAN
PREDATOR

Syahputra, E.,1 dan Endarto, O.2


1
Bidang Minat Proteksi Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas
Tanjungpura, Jalan A. Yani, Pontianak, 78124
2
Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika, Tlekung-Batu, Jawa Timur
E-mail: e_sitorus_2000@yahoo.com

ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk menapis aktivitas insektisida ekstrak tumbuhan terhadap Diaphorina citri
dan Toxoptera citricidus dan mengevaluasi pengaruhnya terhadap tanaman jeruk serta predator Halmus
chalibeus. Ekstrak yang diuji adalah ekstrak etanol dan ekstrak air yang diperoleh dengan menggunakan
metode maserasi. Bioassay dilakukan menggunakan metode residu pada daun (penyemprotan). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 19 ekstrak bahan tumbuhan yang ditapis ditemukan enam jenis
ekstrak yang aktif terhadap serangga hama uji. Keenam bahan tumbuhan dimaksud adalah biji Mimusops
elengi (Sapotaceae), biji Pometia pinnata (Sapindaceae), biji Barringtonia asiatica (Lecythidaceae), buah
Brucea javanica (Simaroubaceae), biji Jatropha curcas (Euphorbiaceae) dan Piper sp. (Piperaceae).
Ekstrak etanol tumbuhan tersebut pada konsentrasi 0,5% tidak menimbulkan gejala fitotoksit pada daun
tanaman jeruk. Ekstraks air tumbuhan tersebut pada konsentrasi 5% tidak menyebabkan kematian
larva predator H. chalibeus. Penelitian bioaktivitas ekstrak diperlukan untuk menentukan nilai (LC50),
selanjutnya juga diperlukan identifikasi senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak.

Kata kunci: Diaphorina citri, ekstrak tumbuhan, Halmus chalibeus, insektisida botani, Toxoptera
citricidus

INSECTICIDAL ACTIVITY OF PLANTS EXTRACTS AGAINST CITRUS PESTS


Diaphorina citri and Toxoptera citricidus AND THEIR EFFECT ON CITRUS PLANT
AND PREDATOR

ABSTRACT
The objectives of this study were to screen the insecticidal activity of forest plants extracts against citrus
pest Diaphorinja citri and Toxoptera citricidus and their effects on citrus plants and predator Halmus
chalibeus. Extracts tested were ethanol extract and aquaeus extract, extraction used maceration method.
Bioassays performed using the leaf-residual method (spraying). The results showed that from the 19 plants
part extracts screened were found six active extracts against insect pests test. These active extracts were
Mimusops elengi seeds (Sapotaceae), Pometia pinnata seeds (Sapindaceae), Barringtonia asiatica seeds
(Lecythidaceae), Brucea javanica fruit (Simaroubaceae), Jatropha curcas seeds (Euphorbiaceae) and
Piper sp. Fruit (Piperaceae). Aquaeus extracts of plant material at a concentration of 5% could not cause
the death of the tested predator larvae. Ethanol extracts of these plants could not cause phytotoxicity
symptoms on the leaves of citrus. Study of extract toxicity are needed to determine the value of LC50,
the identification of active compounds are also required.

Key words: Diaphorina citri, botanical insecticides, plants extracts, Halmus chalibeus, Toxoptera
citricidus

PENDAHULUAN akibat tingginya biaya impor bahan aktif. Di


sisi lain, permasalahan klasik penggunaan
Jangkauan ekonomi kebanyakan petani insektisida sintetik terus mengancam kese-
di Indonesia terhadap daya beli insektisida lamatan pengguna maupun lingkungan.
sintetik kini semakin dirasakan. Keadaan ini Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk
disebabkan melambungnya harga insektisida mengurangi permasalahan-permasalahan
Syahputra, E., dan Endarto, O. 212

yang ada. Melalui sejumlah peraturan, BAHAN DAN METODE


pemerintah terus mengatur agar pembangunan
pertanian diutamakan pada pengembangan Serangga Uji
sumber daya hayati, pelestarian lingkungan, Serangga uji yang digunakan
dan kesehatan manusia. Terkait hal tersebut, adalah serangga hama kutu loncat D. citri
salah satu solusi yang dapat ditawarkan (Homoptera: Psyllidae) dan kutu daun T.
ialah pemanfaatan sediaan tumbuhan citricidus (Homoptera: Aphididae) serta
sebagai insektisida botani. Dari segi ekologi serangga predator Halmus chalibeus
insektisida ini memiliki beberapa kelebihan (Coleoptera: Coccinellidae). Pemeliharaan
yang umumnya tidak dimiliki insektisida dan perbanyakan serangga uji dilakukan di
sintetik. laboratorium.
Penggalian dan pemberdayaan
sumber insektisida botani asal tumbuhan Tumbuhan Sumber Ekstrak
lokal di Kalimantan Barat sedang berjalan. Tumbuhan dicari dari berbagai daerah
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan hutan di Kalimantan Barat yang diawali
ditemukan bahwa sejumlah jenis anggota dengan studi etnobotani pemanfaatan
famili tumbuhan Clusiaceae, Lecythidaceae, tumbuhan sebagai tanaman obat, sebagai
dan Sapotaceae asal Kalimantan Barat tanaman racun, pencarian secara acak serta
memiliki aktivitas insektisida. Salah satu pengembangan famili tumbuhan aktif.
jenis tumbuhan Clusiaceae yang memiliki Bagian tumbuhan yang diambil dari lapangan
sifat insektisida dan berpotensi untuk meliputi, daun, kulit batang, bunga dan
dikembangkan sebagai sumber insektisida buah (jika ada). Identifikasi jenis tumbuhan
botani adalah Calophyllum soulattri (musuk) dilakukan oleh staf Herbarium Bogoriense
(Syahputra et al., 2007). (LBN-LIPI), Bogor.
Aktivitas ekstrak-ekstrak tumbuhan
tersebut dilaporkan aktif terhadap hama kubis Ekstraksi dengan Etanol
Crocidolomia pavonana, namun terhadap Bahan tumbuhan yang diperoleh dari
serangga hama jeruk aktivitasnya belum lapangan dikeringudarakan, selanjutnya
dilaporkan. Berbagai jenis serangga dapat dipotong-potong menjadi bagian yang
menjadi hama pada tanaman jeruk. Di antara lebih kecil dan dibuat menjadi serbuk
jenis serangga hama pada tanaman jeruk menggunakan blender. Serbuk diayak meng-
ialah kutu loncat Diaphorina citri dan kutu gunakan pengayak kasa berjalinan 1 mm dan
daun Toxoptera citricidus. Selain menjadi serbuk hasil pengayakan ditimbang untuk
hama, kedua jenis serangga merupakan keperluan ekstraksi. Serbuk ayakan yang
vektor penyakit pada jeruk. Contoh penyakit telah ditimbang diekstrak dengan pelarut
penting yang dapat ditularkan oleh masing- etanol dengan perbandingan bobot bahan dan
masing vektor tersebut adalah penyakit CVPD pelarut 1:10 (w/v). Bahan diekstrak dengan
dan penyakit tristeza. Serangan penyakit metode maserasi dengan cara merendam
tersebut dapat menyebabkan tanaman jeruk bahan dalam pelarut 3 x 24 jam, selanjutnya
merana dan dengan demikian keberadaannya disaring menggunakan corong yang dialasi
pada pertanaman perlu dikendalikan. Kedua kertas saring. Ampas bahan yang tertinggal
serangga hama jeruk tersebut di lapangan dibilas tiga kali dan disaring kembali. Hasil
memiliki musuh alami berupa predator dari penyaringan disatukan dan diuapkan dengan
kelompok serangga famili Coccinelidae, satu rotary evaporator pada suhu 5560 C
diantaranya Halmus chalibeus. Penelitian dan penghampaan pada tekanan 580-600
ini bertujuan menapis aktivitas insektisida mmHg. Ekstrak yang diperoleh selanjutnya
ekstrak tumbuhan terhadap D. citri dan T. disebut ekstrak etanol yang digunakan untuk
citricidus dan mengevaluasi pengaruhnya penapisan awal aktivitas insektisida.
terhadap tanaman jeruk serta pengaruhnya
terhadap predator H. chalibeus.
Aktivitas Insektisida Ekstrak Tumbuhan terhadap Diaphorina citri 213

Ekstraksi dengan Air tunas di dalam sangkar perlakuan. Perlakuan


Tanpa mengabaikan ekstrak etanol diulang tiga kali. Pada perlakuan kontrol,
aktif lainnya, bahan tanaman yang diekstrak daun hanya dicelup air yang mengandung
menggunakan air adalah bahan yang eks- etanol 1% dan pengemulsi 0,1%. Mortalitas
traknya tersedia dan memiliki aktivitas serangga diamati setiap hari hingga tujuh
insektisida sangat kuat dan kuat berdasarkan hari setelah perlakuan. Mortalitas serangga
penapisan aktivitas ekstrak etanol. Ekstrak ditandai dengan tidak bergeraknya serangga
yang dipilih adalah ekstrak berbahan setelah disentuh dengan kuas. Cara
biji. Penyiapan ekstrak air ini merupakan pengujian aktivitas insektisida terhadap kutu
pendekatan praktis untuk kemudahan peng- loncat dilakukan seperti pengujian aktivitas
gunaan langsung di lapangan oleh petani- insektisida terhadap kutu daun. Namun
petani di negara berkembang umumnya dan pemindahan imago D. citri dari sangkar
Indonesia khususnya, karenanya pengujian pemeliharaan ke tunas-tunas perlakuan
selanjutnya difokuskan pada tujuh jenis dilakukan dengan menggunakan mouth
ekstrak. aspirator.
Sebagai bahan ekstrak air digunakan
serbuk tumbuhan. Ekstrak air disiapkan Pengujian Fitotoksisitas Ekstrak Etanol
sebanyak 100 ml dan diuji pada konsentrasi terhadap Tanaman Jeruk
5%. Ekstrak air disiapkan dengan cara Pengujian ini bertujuan untuk
mengocok campuran serbuk bahan dalam mengetahui sifat fitotoksisit ekstrak etanol
aquades yang mengandung etanol dan setelah disemprotkan pada tanaman jeruk.
pengemulsi Besmor (polioksietilen alkilaril Ekstrak etanol diuji pada konsentrasi 0,5%.
eter) dengan konsentrasi dalam pelarut Penyiapan ekstrak tersebut dilakukan seperti
masing-masing 1% dan 0,1% dengan blender. cara penyiapan ekstrak pada percobaan
Selanjutnya dibiarkan selama 15 menit sebelumnya. Metode pengujian dilakukan
hingga serbuk mengendap dengan sempurna. dengan cara penyemprotan menggunakan
Selanjutnya, dengan menggunakan corong handsprayer (kapasitas 1,5 l) dan dilakukan
berlapis saringan kain kasa hasil kocokan pada daun tanaman jeruk yang tua dan masih
disaring dan suspensinya ditampung dengan muda. Sebagai kontrol digunakan pelarut
gelas erlenmeyer. Suspensi yang tertampung dari masing-masing ekstrak. Ekstrak dan
merupakan hasil penyiapan ekstrak air yang kontrol disemprotkan secara terpisah pada
siap digunakan untuk pengujian. daun tanaman jeruk hingga basah menetes.
Percobaan diulang tiga kali. Pengamatan
Penapisan Aktivitas Ekstrak Etanol gejala fitotoksisitas dilakukan pada tiga
dan Ekstrak Air terhadap D. citri dan T. dan tujuh hari setelah penyemprotan.
citricidus Pengamatan fitotoksisitas dilakukan dengan
Penapisan aktivitas insektisida ter- mengamati bagian helai daun tanaman jeruk
hadap kutu daun dilakukan dengan cara yang mengalami nekrotik atau pengerutan,
menyiapkan beberapa tanaman jeruk yang selanjutnya dihitung luas relatif bercak.
sedang bertunas. Tunas yang sehat dipilih
dan diberi label perlakuan, kemudian tunas Luas relatif bercak nekrotik =
tersebut dicelupkan ke dalam masing-masing
sediaan ekstrak yang telah disiapkan secara Pengujian Aktivitas Ekstrak Air terhadap
terpisah dan selanjutnya dikeringanginkan. Larva Predator
Setelah kering, tunas-tunas tersebut diberi Pada pengujian ini dipilih ekstrak air
sangkar plastik berventilasi kasa pada yang nantinya sediaannya berpeluang lebih
salah satu ujungnya (diameter 8 cm, tinggi besar untuk digunakan sebagai insektisida
20 cm) yang telah disiapkan. Sebanyak botani. Konsentrasi sediaan yang digunakan
30 ekor kutu daun yang siap uji (umur 2-3 dalam pengujian ialah 5%. Ekstrak diuji
hari) dipindahkan dengan menggunakan dengan metode semprot pada tubuh larva
kuas lembut dari sangkar pemeliharaan ke menggunakan sprayer. Sebanyak 10 ekor
Syahputra, E., dan Endarto, O. 214

larva predator H. chalibeus instar I dan tampaknya lebih disebabkan faktor jenis
II yang siap uji (umur 1 hari) dipindahkan serangga dan fase perkembangan serangga.
dengan menggunakan kuas lembut pada Fase serangga D. citri yang digunakan
daun tanaman jeruk hidup. Kemudian dalam penelitian ini adalah fase imago.
daun jeruk dan larva predator tersebut Tahapan perkembangan serangga yang lebih
disemprot dengan suspensi sediaan ekstrak tua umumnya relatif lebih tahan terhadap
menggunakan handsprayer hingga basah insektisida dibandingkan dengan tahapan
menetes. Untuk menjaga agar predator tetap yang lebih muda. Oleh karena itu diperlukan
di sekitar daun perlakuan, daun tersebut evaluasi aktivitas ekstrak etanol ini terhadap
diberi sangkar plastik berventilasi kasa pada serangga D. citri yang fasenya lebih muda.
salah satu ujungnya (diameter 8 cm, tinggi 20 Perbedaan aktivitas insektisida untuk
cm) yang telah disiapkan. Di dalam sangkar ekstrak tumbuhan yang sama terhadap kedua
diletakkan mangsa predator sebagai pakan jenis serangga hama ini salah satunya dapat
berupa kutu daun tanaman sehat. Perlakuan disebabkan perbedaan struktur morfologi
diulang tiga kali. Pada perlakuan kontrol eksternal dan internal diantara kedua serangga
daun dan larva predator hanya disemprot air hama tersebut. Perbedaan ini dapat menye-
yang mengandung etanol 1% dan pengemulsi babkan perbedaan proses-proses penetrasi
0,1%. Pengamatan mortalitas predator dan metabolisme insektisida tersebut di
dilakukan setiap hari dan dihentikan saat dalam setiap serangga hama. Perbedaan
kematian larva kontrol mencapai 20%. aktivitas antar bahan dapat disebabkan
perbedaan jenis dan atau kandungan bahan
HASIL DAN PEMBAHASAN aktif di dalam ekstrak. Faktor-faktor tersebut
merupakan fungsi toksisitas insektisida
Aktivitas Insektisida Ekstrak Etanol dalam menimbulkan kematian serangga
Mortalitas diantara serangga uji akibat hama. Beberapa contoh menunjukkan bahwa
kontak dengan 19 jenis ekstrak etanol sasaran insektisida botani bersifat spesifik
pada hasil penapisan ini beragam (Tabel sehingga insektisida botani hanya dapat
1). Tingkat mortalitas serangga hama yang membunuh serangga tertentu saja, meskipun
ditunjukkan setelah mendapat ekstrak terdapat juga contoh bahwa insektisida botani
perlakuan menunjukkan gambaran aktivitas dapat membunuh sejumlah sasaran. Untuk
setiap ekstrak yang diuji. Seluruh sediaan memastikan penyebab perbedaan diperlukan
ekstrak etanol yang diuji belum dapat kajian lanjutan.
menyebabkan mortalitas terhadap serangga
uji D.citri. Sebaliknya terhadap kutu daun Penapisan Aktivitas Ekstrak Air
T. citricidus, seluruh ekstrak etanol yang Tujuh biji/ buah tumbuhan yang dipilih
diuji menunjukkan aktivitas insektisida. untuk diuji ekstrak airnya menunjukkan
Hampir seluruh ekstrak etanol menunjukkan mortalitas serangga (Tabel 2). Namun
mortalitas 100% terhadap kutu daun T. keseluruhan ekstrak air tumbuhan tersebut
citricidus, kecuali ekstrak biji A. indica belum dapat menyebabkan mortalitas
yang menunjukkan mortalitas sebesar hingga 100%. Hanya satu jenis ekstrak
85%. Berbagai faktor dapat mempengaruhi yang mampu menunjukkan mortalitas di
keberhasilan suatu insektisida dalam atas 80%, yaitu ekstrak air biji M. elengi,
menyebabkan kematian serangga sasaran, sedangkan sisanya ekstrak air tersebut hanya
diantaranya jenis insektisida, konsentrasi mampu menunjukkan mortalitas di bawah
dan cara aplikasi insektisida, jenis serangga, 70%. Tingginya aktivitas yang ditunjukkan
fase perkembangan dan umur serangga oleh ekstrak air biji M. elengi terhadap T.
serta faktor lingkungan. Resultante faktor- citricidus ini menandakan bahwa senyawa
faktor tersebut merupakan fungsi toksisitas aktif yang terkandung pada biji tumbuhan
insektisida dalam menimbulkan kematian. tersebut pada konsentrasi yang diuji dengan
Tidak matinya imago D. ctri setelah kontak cara penyiapan yang dilakukan dapat
dengan ekstrak etanol dalam pengujian ini tersuspensi lebih baik dibandingkan dengan
Aktivitas Insektisida Ekstrak Tumbuhan terhadap Diaphorina citri 215

Tabel 1. Mortalitas Diaphorina citri dan Toxoptera citricidus hasil penapisan akarisida ekstrak tumbuhana

Mortalitas SB (%)b
Bagian
No Famili Tumbuhan Sesies Pelarut D.
tumbuhan T. citricidus
citri
1 Sapotaceae M. elengi B EtOH 0 100 0
2 Sapindaceae P. pinnata B EtOH 0 100 0
3 Nephelium cuspidatum Kb EtOH 0 100 0
4 Lecythidaceae B. asiatica B EtOH 0 100 0
5 D EtOH - 100 0
6 B. sarcostachys Kb EtOH 0 100 0
7 Meliaceaea A. indica B EtOH 0 85 11,8
8 Bg EtOH 0 100 0
9 Simaroubaceae Br. Javanica Bh EtOH 0 100 0
10 Piperaceae Piper sp. B EtOH 0 100 0
11 Clusiaceae C. soulattri Kb MeOH 0 100 0
12 Menispermaceae Tinospora crispa S EtOH 0 100 0
13 Caesalpiniaceae Casia tora D EtOH 0 100 0
14 Crassulaceae Kalanchoe pinnata D EtOH 0 100 0
15 Rutaceae Evodia swafiolens D EtOH - 100 0
16 Achantaceae Pseuderanthemum graciliflorum Kbh EtOH 0 100 0
17 D EtOH 0 100 0
Belum diidentifikasi
18 Buah tuba Bh EtOH 0 100 0
19 Emparu Bh EtOH 0 100 0

a
Ekstrak ditapis pada konsentrasi 0,5%; b Perhitungan mortalitas dilakukan pada 4 hari setelah perlakuan, persentase
mortalitas telah dikoreksi dengan Abbott (1925); - tidak dilakukan pengujian (ekstrak tidak tersedia). Jumlah
serangga yang digunakan untuk pengujian adalah 30 ekor.
B: Biji; Bh: Buah; Kb: Kulit batang; Kbh: Kulit buah; D: Daun; Bg: Bunga; R: Ranting; S: Stolon; U: Umbi

bahan biji lainnya. Dengan kata lain keadaan Tabel 2. Mortalitas Toxoptera citricidus hasil
ini menggambarkan bahwa senyawa aktif pengujian ekstrak air biji tumbuhana
yang tersuspensi pada ekstrak air lainnya
belum cukup kuat menyebabkan mortalitas No Spesies tumbuhan Mortalitas SB (%)b
larva uji. Sejumlah sediaan bahan tanaman 1 M. elengi 86 11,3
dapat disiapkan dengan ekstrak air yang 2 P. pinnata 44 22,6
mengandung metanol 0,75-1% dan diterjen 3 B. asiatica 68 0
0,1-0,2% dan pada konsentrasi 5% -10% 4 A. indica 42 11,3
aktif terhadap larva C. pavonana. Dengan 5 Br. javanica 10 67,9
aktifnya ekstrak air biji M. elengi terhadap 6 Piper sp. 56 0
T. citricidus maka aplikasi sediaan tersebut 7 J. curcas 54 11,3
di lapangan nantinya diharapkan dapat a
Ekstrak air diuji pada konsentrasi 5%
mengendalikan hama tersebut. b
Perhitungan mortalitas dilakukan pada 4 hari setelah
Secara umum dibandingkan dengan perlakuan, persentase mortalitas telah dikoreksi
ekstrak etanol pada konsentrasi ekstrak dengan Abbott (1925)
yang diuji, insektisida ekstrak air lebih
untuk aplikasinya di lapangan tampaknya
rendah aktivitas insektisidanya. Keadaan
penyiapan sediaan berbahan ekstrak
ini menggambarkan bahwa senyawa aktif
etanol lebih baik dibandingkan ekstrak air.
yang tersuspensi dalam air pada konsentrasi
Konsentrasi tertinggi dari suatu sediaan
yang diuji tidak cukup kuat menyebabkan
berbahan ekstrak organik untuk kelayakan
mortalitas serangga uji. Dengan demikian
penggunaan di lapangan sekitar 0,5%.
Syahputra, E., dan Endarto, O. 216

Pengujian Fitotoksisitas Ekstrak Etanol Gejala fitotoksit cenderung terjadi


pada Tanaman Jeruk pada tanaman yang diberi perlakuan
Daun tua tanaman jeruk setelah sediaan ekstrak/fraksi insektisida botani,
disemprot dengan tujuh jenis ekstrak etanol bukan senyawa murni. Azadirakhtin dan
pada konsentrasi diuji tidak menunjukkan rokaglamida yang masing-masing merupakan
gejala fitotoksit. Sama halnya dengan senyawa murni yang diisolasi dari tumbuhan
daun muda, hasil penyemprotan tujuh jenis Meliaceae, A. indica dan Aglaia spp, pada
ekstrak etanol pada daun muda pada tiga konsentrasi yang aktif terhadap hama sasaran
dan tujuh hari setelah penyemprotan (HSP) tidak menyebabkan fitotoksik pada beberapa
juga tidak menunjukkan gejala fitotoksisitas, tanaman. Loke et al. (1990) melaporkan
kecuali ekstrak etanol buah Br. javanica bahwa penyemprotan ekstrak biji tanaman
(Tabel 3). Ekstrak buah Br. javanica A. indica pada konsentrasi 0,5% hingga
menunjukkan gejala fitotoksit pada daun 4,0% menimbulkan gejala fitotoksik pada
jeruk muda sebesar 11,7% pada 3 HSP dan tanaman kubis, sawi dan padi berumur empat
berkembang menjadi 27,5% pada 7 HSP. minggu. Rokaglamida pada konsentrasi 300
Gejala fitotoksitas ini tampaknya tidak ppm yang disemprotkan pada daun tanaman
berkembang lagi setelah tujuh HSP. Hasil brokoli dan kedelai tidak menimbulkan
penelitian yang sama juga telah dilaporkan gejala fitotoksik (Dono, 2004).
bahwa ekstrak etanol buah Br. javanica Mengingat tingginya aktivitas insek-
menyebabkan fitotoksisitas pada sejumlah tisida ekstrak Br. javanica diperlukan
tanaman budidaya (Syahputra, 2008). Bila kajian untuk menghilangkan pengaruh
suatu ekstrak tumbuhan tidak menyebabkan fitotoksitnya. Pemanfaatan sifat antagonisme
gejala fitotoksit atau menyebabkan gejala dari suatu pencampuran dua jenis senyawa
fitotoksit namun dalam batas yang dapat yang berbeda merupakan salah satu upaya
ditolerir tanaman (tanaman dapat tumbuh untuk mengurangi sifat fitotoksisitas. Sifat
kembali secara normal), sediaan tumbuhan pencampuran yang diharapkan adalah dapat
tersebut dapat langsung digunakan setelah mengubah sifat sitotoksik senyawa campuran
disiapkan. Namun bila ekstrak tersebut tanpa menurunkan aktivitas insektisidanya
menunjukkan gejala fitotoksik yang parah, (antagonisme) atau sebaliknya diharapkan
perlu dilakukan pemisahan komponen dapat menunjukkan sifat sinergisme. Sifat-
penyebab fitotoksik dari penyusun ekstrak. sifat sumber insektisida botani yang perlu
dicari dan dikembangkan adalah sumber
Tabel 3. Gejala fitotoksisitas pada daun muda insektisida yang selain efektif terhadap
tanaman jeruk setelah disemprot hama sasaran, juga memiliki rendemen
dengan ekstrak etanol tinggi, relatif aman terhadap organisme non-
Gejala
target, dan tidak meracuni tanaman melalui
fitotoksisitas sifat fitotoksitnya. Hal ini merupakan
Spesies Bagian (%) pada hari ke pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam
No
tumbuhan tumbuhan (HSP)a pengembangan sumber insektisida botani
3 7 alternatif.
1 M. elengi Biji 0 0
2 P. pinnata Biji 0 0 Pengujian Toksisitas Ekstrak air terhadap
3 B. asiatica Biji 0 0 Predator
4 A. indica Biji 0 0 Semua ekstrak air yang diuji menun-
5 11,7 27,5 jukkan toksisitas yang kuat terhadap larva
Br.
Buah 11,6 18,6 predator H. chalibeus instar I (Tabel 4).
javanica
namun berbeda halnya terhadap larva
6 Piper sp. Buah 0 0 predator instar II. Tampaknya larva predator
7 J. curcas Biji 0 0 instar II lebih tahan terhadap ekstrak air.
Hampir semua sediaan yang diuji tidak
a
Ekstrak diuji pada konsentrasi 0,5%
menyebabkan toksisitas terhadap larva
Aktivitas Insektisida Ekstrak Tumbuhan terhadap Diaphorina citri 217

predator, kecuali sediaan berbahan serbuk sebagai fungisida dan bakterisida. Satish
biji M. elengi yang dapat menyebabkan et al. (2008) melaporkan ekstrak air biji M.
mortalitas larva predator sebesar tidak elengi menghambat pertumbuhan miselia
lebih 10%. Tingginya toksisitas pada instar cendawan Aspergillus niger. Hazra et al.
I terjadi karena tingginya kepekaan larva (2008) telah mengisolasi dua jenis senyawa
instar I predator tersebut terhadap ekstrak. pentahydroxy flavonoid dari biji M. elengi
Hal ini berimplikasi di lapangan bahwa yang berfungsi sebagai bakterisida. Lavaud
ekstrak-ekstrak aktif tersebut tidak dapat et al. (2008) melaporkan telah mengisolasi
diaplikasikan ke tanaman saat populasi larva enam jenis senyawa saponin dari kernel biji
predator instar I di lapangan sedang tinggi. M. elengi, M. hexandra, dan M. manilkara.
Pengaruh insektisida sintetik atau insektisida Ekstrak etanol biji P. pinnata (Sapindaceae)
botani terhadap serangga temasuk predator menunjukkan aktivitas insektisida terhadap
dapat beragam. Salah satunya tergantung C. pavonana dengan nilai LC50 0,16%.
pada fase perkembangan dan umur serangga Tanaman Sapindus rarak, Sapindaceae
(Reitz & Trumble, 1996). Senyawa sekunder lainnya telah diketahui aktivitas biologinya
tanaman atau insektisida botani tertentu sebagai insektisida.
relatif kurang toksik atau tidak berpengaruh Aktivitas biologi tanaman Simarou-
terhadap karakter biologi parasitoid baceae dari berbagai belahan dunia telah
(Schmutterer, 1997). dilaporkan, diantaranya sebagai obat kese-
hatan manusia dan aktivitasnya sebagai
Tabel 4. Toksisitas ekstrak air terhadap larva insektisida, amoebisida dan herbisida. Dari
Coccinellidae Halmus chalibeus tanaman Br. javanica, telah diisolasi brucein
instar I dan IIa yang merupakan salah satu contoh senyawa
aktif yang memiliki aktivitas antimalaria
Jenis Mortalitas SB (%)b (Kim et al., 2004). Genus lain dari famili
No tanaman Simaroubaceae yang telah lama
tumbuhan
Instar I Instar II dilaporkan aktif sebagai insektisida adalah
1 M. elengi 100 0 10 Quassia, salah satu spesiesnya adalah
2 P. pinnata 100 0 0 Q. amara. Senyawa aktif dari tanaman
3 B. asiatica 100 0 0 tersebut yang umum diketahui aktif terhadap
0 beberapa jenis serangga adalah quassin.
4 A.indica 100 0
Tanaman Q. amara, selain aktif sebagai obat
5 Br. javanica 100 0 0
dan insektisida, bersama dengan Q. undulata
6 Piper sp 100 0 0 ekstraknya juga aktif sebagai fungisida dan
7 J. curcas 100 0 0 bakterisida.
a
Sediaan sederhana berbahan serbuk diuji pada
konsentrasi 5%. SIMPULAN
b
Perhitungan mortalitas dilakukan pada 4 hari setelah
perlakuan, persentase mortalitas telah dikoreksi Penelitian ini berhasil mengungkapkan
dengan Abbott (1925) beberapa sumber insektisida botani
baru terhadap T. citricidus. Bahan-
Ekstrak tumbuhan aktif seperti temuan bahan tumbuhan yang dimaksud adalah
penelitian ini, beberapa diantaranya telah biji M. elengi (Sapotaceae), P. pinnata
dilaporkan aktivitas biologinya. Berbagai (Sapindaceae), B. asiatica (Lecythidaceae),
ekstrak biji dan daun tanaman J. curcas Br. javanica (Simaroubaceae), J. curcas
(Euphorbiaceae) menunjukkan sifat anti- (Euphorbiaceae) dan Piper sp. (Piperaceae).
moluska, anti-serangga dan anti-jamur. Ekstrak etanol tumbuhan tersebut pada
Sediaan biji tanaman Euphorbiaceae konsentrasi 0,5% tidak menimbulkan gejala
lainnya dilaporkan aktif terhadap beberapa fitotoksit pada daun tanaman jeruk. Ekstrak
jenis serangga dan tungau. Aktivitas M. air tumbuhan tersebut pada konsentrasi 5%
elengi (Sapotaceae) saat ini telah diketahui tidak menyebabkan kematian larva predator
Syahputra, E., dan Endarto, O. 218

H. chalibeus. Penelitian bioaktivitas ekstrak Loke, W.H., Heng, C.K., Basirun, N., &
diperlukan, selanjutnya juga diperlukan Rejab, A. 1990. Non-target effects of
identifikasi senyawa aktif yang terkandung neem (Azadirachta indica A. Juss) on
di dalam ekstrak. Apanatales plutellae Kurdj., cabbage,
sawi and padi. In: Proceedings 3rd
UCAPAN TERIMA KASIH International Conference on Plant
Protection in the Tropics. Malaysia,
Ucapan terima kasih disampaikan pada Badan March 20-23, 1990. pp. 108-110.
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pahang: Malaysian Plant Protection
Departemen Pertanian yang telah mendanai Society.
penelitian ini melalui Proyek KKP3T dengan
Surat Perintah Kerja Pelaksanaan Penelitian Reitz, S.R., & Trumble, J.T. 1996.
Nomor 763/LB.620/I.1/3/2008 Tritrophic interactions among linier
furanocoumarins the herbivore Trichop-
DAFTAR PUSTAKA lusia ni (Lepidoptera: Noctuidae), and the
polyembrionic parasitoid Copidosoma
Abbott, W.S. 1925. A method of computing floridanum (Hymenoptera: Encyrtidae).
the effectiveness of an insecticide. J. Environ. Entomol., 25: 1391-1397.
Econ. Entomol., 18:265-267.
Satish, S., Raghavendra, M.P., Mohana, D.C.,
Dono, D. 2004. Aktivitas insektisida & Raveesha, K.A. 2008. Antifungal
rokaglamida dan penghambatan respons activity of a known medicinal plant
imunitas larva Crocidolomia pavonana Mimusops elengi L. against grain
(Fabricus) terhadap parasitoid Eriborus moulds. J. Agric. Tech.
argenteopilosus (Cameron). Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Schmutterer, H. 1997. Side-effects of neem
Bogor. (Azadirachta indica) products on
insect pathogens and natural enemies
Hazra, K.M., Roy, R.N., Sen, S.K., & Laskar of spider mites and insects. J. Appl.
S. 2007. Isolation of antibacterial Entomol., 121:121-128.
pentahydroxy flavones from the seeds
of Mimusops elengi Linn. http://www. Syahputra E. 2008. Bioaktivitas sediaan
academicjournals.org/AJB/PDF/ buah Brucea javanica sebagai
pdf2007/18Jun/Hazra%20et%20al. insektisida botani untuk serangga
pdf. Accessed on 28 Mei 2008. hama pertanian. Bul. Penelitian Tan.
Rempah & Obat, 19(1):57-67.
Kim, I.H., Takashima, Hirosuyanagi, Y.,
Hasuda, T., & Takeya, K. 2004. New Syahputra, E. 2007. Aktivitas insektisida
quassinoids, javanicolides C & D and ekstrak kulit batang Calophyllum
javanicoides B-F, from seed of Brucea soulattri terhadap ulat kubis
javanica. J. Nat. Prod., 67(5):863- Crocidolomia pavonana. Bionatura,
868. 9(3):294-305

Lavaud, C., Massiot, G., Becchi, M., Misra,


G., & Nigam, S.K. 1996. Saponins
from three species of Mimusops.
Phytochemistry, 41(3): 93-887.
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No. 3, November 2012: 211 - 218
ISSN 1411 - 0903

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (SUPERFAMILI TRICHIUROIDEA)


DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI,
JAWA BARAT

Ernawati, Y., dan Butet, N.A.


Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-Institut Pertanian Bogor, Jln Lingkar
Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680; Telp/Fax. 02518624360
E-mail: ibuerna@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan aspek biologi reproduksi ikan layur Superfamili trichiuroidea
yang meliputi rasio kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan pola pemijahan.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli, September dan November 2007 di Perairan Palabuhanratu
dengan menggunakan alat tangkap pancing rawai dan pancing ulur nomor 6, 7, 8 dan 9. Dari 194 ikan
layur terdiri atas tiga spesies yaitu Spesies Trichiurus lepturus berjumlah 71 ekor (44 ekor jantan, 27
ekor betina), Lepturacanthus savala berjumlah 101 ekor (57 ekor jantan, 44 ekor betina) dan Gempylus
serpens berjumlah 22 ekor (14 ekor jantan dan 8 ekor betina). Rasio kelamin tidak seimbang dan
didominasi oleh ikan jantan. Ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala diduga memasuki masa pemijahan
pada bulan Juli. Fekunditas ikan betina T. lepturus berkisar antara 2877-16875 butir. Sedangkan nilai
fekunditas ikan L. savala betina berkisar antara 4399-15261 butir. Diameter telur T. lepturus dan L.
savala adalah 0,3-1,37 dan 0,3-1,5 mm. Pola pemijahan ikan T.lepturus dan L.savala adalah partial
spawner.

Kata kunci: Ikan layur, reproduksi, fekunditas.

STUDY ON REPRODUCTIVE BIOLOGY OF LAYUR FISH (SUPERFAMILI


TRICHIUROIDEA) IN PALABUHANRATU WATERS, SUKABUMI REGENCY,
WEST JAVA

ABSTRACT
The objective of this study was to investigate the reproductive aspect of Triciuroidea, including sex
ratio, GSI, fecundity, egg diameter, and spawning pattern. The study was conducted on July, September,
and November 2007 in Palabuhan Ratu, West Java. The fishes were caught using long line and hand line
number 6, 7, 8, and 9. Total samples were 194 individuals, consisted of 71 individuals Trichiurus lepturus
(44 males and 27 females), 101 individuals Lepturacanthus savala (57 males, 44 ekor females) and 22
individuals Gempylus serpens (14 males and 8 females). Sex ratio were un balanced and dominated by
the male fish. Presumably, the spawning period for T. lepturus and L. savala was started from July. The
fecundity of T. lepturus and L. savala were between 2877-16875 eggs and 4399-15261 eggs respectively.
The egg diameter of T. lepturus and L. savala were 0,3-1,37 and 0,3-1,5 mm.The spawning pattern of T.
lepturus and L. savala were partial spawner.

Key word: Trichiuroidea, reproduction, fecundity

PENDAHULUAN dan prospek ekonomi tinggi serta mulai


sebagai komoditi ekspor (El-Haweet &
Perairan Palabuhanratu berada di Ozawa, 1995).
Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat Produksi layur di PPN Palabuhanratu
merupakan salah satu daerah perikanan yang terus meningkat dari tahun ketahun.
potensial dengan sumberdaya ikan melimpah. Berdasarkan data tahun 2002-2007 dari PPN
Posisi geografis perairan Palabuhanratu Palabuhanratu, setiap tahunnya Palabuhan
terletak pada koordinat 06o57-07o07 LS ratu menghasilkan 185,47 ton ikan layur
dan 106o49-1070 00 BT. Ikan layur dikenal dengan nilai produksi rata-rata mencapai Rp.
dengan nama ribbon fishes merupakan salah 1.153.400.038 per tahun. Selama kurun waktu
satu ikan komersial penting, yang potensial 6 tahun ini, tercatat hanya di tahun 2003 yang
Ernawati, Y., dan Butet, N.A. 220

mengalami penurunan total produksi. Dan menggunakan alat tangkap pancing rawai
selebihnya memperlihatkan peningkatan dan pancing ulur berukuran 6-9 oleh para
total produksi (PPN Palabuhanratu, 2007). nelayan di sekitar perairan Palabuhanratu,
Hal ini disebab-kan terus meningkatnya Sukabumi, Jawa Barat yang kemudian
permintaan layur baik dari pasar domestik didaratkan di TPI Palabuhanratu. Ikan yang
maupun untuk keperluan ekspor. Jumlah ini tertangkap dimasukkan ke dalam wadah
merupakan angka cukup besar sebagai suatu cold box kemudian ikan contoh di bawa ke
komoditi perikanan untuk dikembangkan Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Fakultas
lebih lanjut. Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Per-
Permintaan pasar ikan layur cenderung tanian Bogor untuk diteliti lebih lanjut.
meningkat. Hal ini menyebabkan usaha Ikan contoh diukur panjang totalnya dan
penangkapan pun meningkat. Dengan ditimbang beratnya, kemudian ikan dibedah
semakin meningkatnya usaha penangkapan dan diambil gonadnya untuk ditimbang dan
maka penangkapan ikan layur di perairan ditentukan jenis kelaminnya. Pengamatan
Palabuhanratu cenderung tidak terkendali, tingkat kematangan gonad (TKG) dilihat
karena hasil tangkapan merupakan prioritas dari bentuk gonad, besar kecilnya gonad,
bagi nelayan. Tidak jarang ikan-ikan kecil warna gonad, dan lunak pejalnya gonad.
serta ikan matang gonad dan siap berpijah Penentuan TKG gonad ikan mengacu
juga ikut tertangkap. Dengan penangkapan kepada morfologi gonad modifikasi Cassie
ikan yang tidak terkendali dan berlangsung dalam Effendi (1997). Sedangkan karakter
terus menerus, dikhawatirkan akan terjadi mikroskopik gonad diamati berdasarkan
overfishing. Overfishing dapat menyebabkan preparat histologis gonad jantan dan gonad
perubahan struktur populasi. Oleh karena itu betina.
diperlukan usaha rekruitmen dan reproduksi Penentuan hubungan panjang-berat
untuk menghasilkan keturunan sebagai menggunakan rumus (Effendie, 1997)
upaya untuk melestarikan jenisnya. W = a Lb
Pengetahuan tentang biologi repro- Keterangan :
duksi merupakan salah satu alat yang dapat W = berat total ikan (g)
digunakan dalam rangka pemanfaatan ber- L = panjang total ikan (mm)
a dan b = konstanta hasil regresi
kelanjutan sumberdaya ikan layur. Dengan
mengetahui aspek reproduksi ikan layur Pada pertumbuhan ikan isometrik
maka penangkapan dapat dilakukan secara (b=3), maka faktor kondisi menggunakan
optimal dan lestari sehingga diharapkan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997):
kelestarian tetap terjaga dan menjadi dasar
dalam pengelolaan berkelanjutan. 10 5
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji K= 3 W
L
aspek biologi reproduksi diantara ketiga
spesies ikan layur (Trichiurus lepturus, Leptu- Pada pertumbuhan allometrik, faktor
racanthus savala dan Gempylus serpens) kondisi dihitung dengan menggunakan
seperti rasio kelamin, faktor kondisi, tingkat
W
kematangan gonad, fekunditas, diameter Rumus : K =
telur dan pola pemijahan. aL b
Keterangan :
BAHAN DAN METODE K = Faktor kondisi
W = Berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram)
L = Panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm)
Penelitian ini dilakukan pada bulan a dan b = Konstanta dari regresi
Juli-November 2007, yang mewakili musim
Timur (Juli dan September) dan mewakili Rasio kelamin dihitung dengan cara
musim peralihan (November). Pengambilan membandingkan jumlah ikan jantan dan
ikan contoh dilakukan pada bulan Juli, ikan betina. Penentuan seimbang atau
September dan November 2007 dengan tidaknya rasio kelamin jantan dan betina
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 221

dilakukan dengan uji Chi-Square (Steel & (a)


Torie, 1980).

J
Rasio Kelamin =
B
Keterangan :
J = Jumlah ikan jantan (ekor) (b)
B = Jumlah ikan betina (ekor)

Indeks Kematangan gonad (IKG)


dengan menggunakan rumus (Effendie, 1997):

B
g
IKG = x 100% (c)
B
t
Keterangan:
IKG = Indeks kematangan gonad
Bg = Berat gonad (gram)
Bt = Berat total (gram)

Fekunditas dihitung dengan meng- Selang kelas (mm)
gunakan metode gabungan. Dengan meng- Gambar 1. Sebaran panjang ikan layur
gunakan rumus sebagai berikut (Effendie, T.lepturus (a); L. savala (b);
1979): dan G. serpens (c)

GxVxX 452-997 mm untuk ikan betina. Ikan jantan


F= tertangkap mulai selang kelas 251-375 mm;
Q
sedangkan ikan betina mulai ditemukan pada
Keterangan : selang ukuran 501-625 mm. Ikan T. lepturus
F = Fekunditas (butir) paling banyak tertangkap pada selang kelas
G = Berat gonad total (gram)
V = Volume pengenceran (ml)
751-875 (24 ekor). Nakamura & Parin
X = Jumlah telur dalam 1 cc (butir) (1993) menyatakan bahwa ikan layur jenis T.
Q = Berat telur contoh (gram) lepturus memiliki panjang total maksimum
sebesar 1200 mm, dan ikan yang dominan
HASIL DAN PEMBAHASAN tertangkap berukuran 500-1000 mm.
Ukuran panjang total L. savala yang
Sebaran Frekuensi Panjang tertangkap bervariasi antara 314-953 mm.
Ikan layur (Superfamili Trichiuroidea) Kisaran panjang ikan jantan dan betina
yang diamati selama penelitian berjumlah tertinggi terdapat pada selang ukuran 626-
194 ekor ikan yang terdiri atas tiga spesies 750 mm dengan jumlah ikan jantan sebanyak
yaitu Trichiurus lepturus, Lepturacanthus 25 ekor dan jumlah ikan betina 24 ekor. Ikan
savala dan Gempylus serpens. Ikan layur betina ditemukan pada selang kelas yang
T. lepturus berjumlah 71 ekor (44 ekor lebih panjang daripada ikan jantan.
jantan, 27 ekor betina), ikan layur L. savala Ukuran panjang total ikan G. serpens
berjumlah 101 ekor (57 ekor jantan, 44 ekor yang tertangkap berkisar antara 624-905
betina) dan ikan layur G. serpens berjumlah mm. Ikan jantan tersebar pada panjang total
22 ekor (14 ekor jantan dan 8 ekor betina). 624 mm-905 mm. Kuantitas tangkapan ikan
Hasil tangkapan ikan layur kemudian dibagi jantan dan betina terbesar terdapat pada
menjadi 6 kelas ukuran panjang total (mm) selang panjang 626-750 mm yaitu sebanyak
dengan interval 125 mm (Gambar 1). 9 ekor ikan jantan dan 5 ekor ikan betina.
Kisaran panjang total T. lepturus Ikan jantan ditemukan pada selang kelas
antara 270-997 mm untuk ikan jantan dan yang lebih panjang daripada ikan betina.
Ernawati, Y., dan Butet, N.A. 222

Pada Gambar 1 terlihat bahwa kelas Tabel 1. Hubungan panjang bobot ikan layur
ukuran panjang ikan layur antara ketiga Ikan JK n a b r
spesies yang cukup beragam. Banyaknya T.
kelas ukuran panjang ikan ini memperlihatkan Lepturus Jantan 44 1x1-06 2,8857 0,97
keragaman ukuran ikan yang ditangkap. Betina 27 1x1 -05
2,531 0,93
Hal ini dikarenakan dalam penangkapan L.
ikan layur digunakan pancing (rawai atau Savala Jantan 57 2x1-07 3,2626 0,92

pancing ulur) dengan ukuran mata pancing Betina 44 2x1 2,8368 0,89
-06

yang berbeda sehingga didapatkan hasil dan G.


Serpens Jantan 14 1x1-07 3,3538 0,95
ukuran yang beragam. Berdasarkan sebaran
Betina 8 8x1 -05
2,3749 0,84
kelompok panjang dari ketiga spesies dapat
diketahui bahwa untuk semua spesies menge- Keterangan: JK= Jenis kelamin; n= jumlah data; a dan b=
koefisien regresi; r= koefisien korelasi
lompok pada ukuran 626-875 mm.
Rendahnya frekuensi hasil tangkapan Pola pertumbuhan ikan layur jenis G.
ikan layur yang berukuran kecil (dibawah 500 serpens jantan mengikuti persamaan W = 1
mm) disebabkan oleh dua faktor. Pertama, x 10-7 L3,3538 , dengan koefisien korelasi (r)
selektifitas alat, yang mana alat tangkap yang sebesar 0,95. Persamaan hubungan panjang-
digunakan adalalah pancing ulur dan rawai berat untuk ikan betina adalah W = 8 x 10-5
dengan mata pancing ukuran 9 yang selektif L2,3749, dengan koefisien korelasi (r) sebesar
untuk tangkapan ikan-ikan berukuran besar. 0,84. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola
Kedua, pada waktu penelitian ini dilakukan pertumbuhan ikan layur G. serpens jantan
bertepatan dengan musim pertumbuhan dari adalah allometrik positif (b>3) sedangkan
ikan-ikan yang sebelumnya berukuran kecil ikan betina adalah allometrik negatif.
menjadi berukuran besar.
Faktor Kondisi
Hubungan Panjang-Berat Faktor kondisi ketiga jenis ikan layur
Hubungan panjang-berat ketiga disajikan pada Tabel 2. Nilai faktor kondisi
jenis ikan layur disajikan pada Tabel 1. Ber- ikan T. lepturus jantan dan betina secara
dasarkan hubungan panjang-berat ikan layur keseluruhan masing-masing berkisar antara
T. lepturus jantan dan betina diperoleh pola 1,34-1,56 dan 1,33-3,29. Nilai faktor kondisi
pertumbuhan ikan layur T. lepturus dengan tertinggi baik ikan jantan atau betina terdapat
model pertumbuhan yaitu W= 1 x 10-6 L2,8857 pada bulan November. Nilai kisaran rata-rata
untuk ikan jantan, dengan koefisien korelasi (r) faktor kondisi ikan L. savala jantan berkisar
sebesar 0,97. Sedangkan, model pertumbuhan antara 0,65-0,91 dengan rata-rata nilai faktor
ikan betina mengikuti persamaan W = 1 x kondisi tertinggi pada bulan September
10-5 L2,5310, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,91, sedangkan kisaran rata-rata
sebesar 0,93. Dari hasil nilai b untuk ikan faktor kondisi ikan betina adalah 1,05-1,20
jantan dan betina didapatkan hasil bahwa dengan rata-rata nilai faktor kondisi tertinggi
pola pertumbuhan T. Lepturus jantan dan pada bulan November sebesar 1,20. Nilai
betina adalah allometrik negatif (b<3). faktor kondisi ikan layur G. Serpens jantan
Persamaan hubungan panjang-berat berkisar antara 1,16-1,21. Sedangkan faktor
ikan layur jenis L. savala yaitu W = 2 x 10-7 kondisi ikan betina berkisar antara 0,95-1,03.
L3,2626untuk ikan jantan, nilai koefisien korelasi Kisaran faktor kondisi rata-rata untuk ikan
(r) sebesar 0,92, sedangkan persamaan jantan dan betina G. Serpens tertinggi berada
hubungan panjang berat ikan betina adalah pada bulan September. Pada bulan tersebut,
W = 2 x 10-6 L2,8368, nilai koefisien korelasi diketahui bahwa kondisi perairan cukup baik
(r) sebesar 0,89. Pola pertumbuhan L. savala dan merupakan musim banyak ikan. Diduga
jantan adalah allometrik positif (b>3), pada saat ini, ikan layur memanfaatkan
sedangkan ikan betina adalah allometrik kesempatan untuk mengkonsumsi makanan
negatif (b<3). sebanyak-sebanyaknya sehingga meningkat-
kan nilai faktor kondisinya. Jumlah dan
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 223

Tabel 2. Faktor kondisi ikan layur berdasarkan bulan pengamatan

Juli September November


Ikan JK
Rerata Sb Rerata Sb Rerata Sb
Jantan 1,38 0,19 1,34 0,37 1,56 0,23
T. Lepturus
Betina 1,34 0,23 1,54 0,17 3,29 0,00
Jantan 0,65 0,07 0,91 0,43 0,84 0,09
L. Savala
Betina 1,05 0,18 1,13 0,24 1,20 0,09
Jantan 1,21 0,14 1,16 0,08
G. Serpens
Betina 1,03 0,06 0,95 0,13
Keterangan: JK= Jenis kelamin; Sb= simpangan baku
ukuran makanan yang tersedia di dalam Berdasarkan hasil uji Chi-Square
lingkungan perairan merupakan faktor dalam pada setiap bulan pengambilan ikan contoh
yang mempengaruhi pertumbuhan ikan dan secara keseluruhan dengan selang
(nilai faktor kondisi) ikan tersebut (Effendie, kepercayaan 95% (=0,05) menunjukkan
1997). bahwa rasio kelamin ikan layur T. lepturus
Nilai faktor kondisi ikan T. lepturus dalam kondisi tidak seimbang dimana
dan L. savala relatif meningkat dari bulan didominasi oleh ikan jantan. Uji Chi-
Juli hingga November. Hal ini diduga dengan Square rasio kelamin berdasarkan waktu
seiring meningkatnya perkembangan tingkat pengambilan ikan contoh menunjukkan
kematangan gonad maka akan meningkatkan bahwa rasio kelamin ikan layur L. savala
nilai faktor kondisi. Selain itu, asupan tidak seimbang namun secara keseluruhan
makanan yang cukup dari lingkungan menunjukkan hasil sebaliknya yaitu
perairan membuat nilai faktor kondisi relatif rasio kelamin ikan layur L. savala adalah
meningkat. Nilai faktor kondisi ikan betina seimbang, dimana nilai Xhitung kurang dari
lebih besar daripada ikan jantan. Hal ini nilai X tabel. Uji Chi-Square rasio kelamin
menunjukkan bahwa ikan betina memiliki secara keseluruhan dan berdasarkan waktu
kondisi yang lebih baik untuk bertahan hidup pengambilan ikan contoh didapatkan hasil
dan proses reproduksinya dibandingkan ikan bahwa rasio kelamin ikan layur G. serpens
jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan adalah seimbang.
Effendie (1997) bahwa ikan betina memiliki Berdasarkan penelitian Martin dan
kondisi yang lebih baik dengan mengisi sell Haimovici (2000), menyatakan bahwa rasio
sex untuk proses reproduksinya dibandingkan kelamin ikan layur T. lepturus di ekosistem
ikan jantan. Nilai faktor kondisi yang tinggi utama Subtropis Brazil Bagian Selatan
pada bulan November diduga karena bulan tidak berbeda nyata dari 1:1. Berdasarkan
November merupakan musim peralihan penelitian Ball & Rao (1984) bahwa per-
antara musim timur ke musim barat, suhu bandingan rasio kelamin antara jantan dan
perairan meningkat sehingga ikan ini aktif betina dari L. savala berkisar antara 1:1,4.
mencari makan. Aktifitas makan yang aktif Namun perbedaan dari hasil penelitian
dapat mempengaruhi kondisi tubuh ikan. tersebut dapat dikaitkan dengan pernyataan
dari Ball dan Rao (1984) yang menyatakan
Rasio Kelamin bahwa penyimpangan dari kondisi ideal
Perbandingan rasio kelamin T. lepturus tersebut disebabkan oleh faktor tingkah laku
ikan jantan dan betina adalah 1,63:1 atau ikan itu sendiri, perbedaan laju mortalitas
61,97 % ikan jantan dan 38,03 % ikan betina. dan pertumbuhannya.
Rasio kelamin ikan layur jenis L. savala Pada bulan Juli jumlah ikan betina T.
selama penelitian adalah 1,30:1. Sedangkan, lepturus dan L. savala yang matang gonad
rasio kelamin ikan layur G. serpens adalah lebih banyak daripada jumlah ikan jantan,
sebesar 1,75:1. sebaliknya terjadi pada bulan September dan
Nopember. Rasio kelamin ikan layur juga
Ernawati, Y., dan Butet, N.A. 224

ditemukan tidak seimbang pada penelitian Prabhu (1955) dalam Bal & Rao (1984)
Shih et al. (2011) yang diduga karena menyatakan bahwa pemijahan T. lepturus
terpengaruh distribusi spasial, pertumbuhan, hanya berlangsung sekali dalam setahun
dan laju kematian. yaitu pada bulan Juni, namun penelitian-
penelitian lain mengindikasikan pemijahan
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) terjadi pada Mei-Juni dan November-
Berdasarkan bulan pengamatan ikan Desember (Tampi et al. 1971; Narasimham
layur diantara ketiga spesies tersebut dapat 1976 dalam Bal dan Rao (1984). Berbeda
diketahui bahwa dari ketiga spesies ikan layur halnya dengan Parin (1986), menyatakan
tersebut baik ikan jantan atau ikan betina bahwa T. lepturus yang hidup di daerah
didominasi oleh ikan TKG I dan II (Gambar Mediterranean memijah pada bulan Juli-
2). Dari pengetahuan tahap perkembangan Agustus. Untuk jenis ikan layur L.savala,
gonad ini juga akan didapatkan keterangan musim pemijahan umumnya berlangsung
bilamana ikan tersebut akan memijah, antara bulan Maret-Mei. Sehubungan dengan
baru memijah atau sudah selesai memijah tujuan pemijahan dan lainnya, sejauh ini
(Effendie, 1997). Untuk ikan layur betina untuk mempertahankan agar ikan ini tetap
jenis T. lepturus dan L. savala komposisi bisa hidup (Setiawan, 2006).
terbanyak TKG III dan TKG IV ditemukan Berdasarkan hasil penelitian, ikan
pada bulan Juli. Sedangkan ikan layur jenis layur T. lepturus jantan dan betina pertama
G. serpens betina yang memiliki TKG III kali matang gonad pada ukuran 725 mm
dan IV tidak ditemukan pada setiap waktu dan 633 mm; L. savala jantan pada ukuran
pengamatan. Tidak ditemukannya ikan G. 552 mm dan betina pada ukuran 592 mm;
serpens betina yang matang gonad diduga sedangkan ikan G. serpens jantan matang
karena pola ruaya ikan G. Serpens ke perairan gonad pertama kali pada ukuran 668 mm
yang lebih dalam. Selain itu, ikan dewasa namun tidak ditemukannya ikan betina yang
hidup cenderung soliter, ikan ini menyebar memasuki fase matang gonad (TKG III dan
pada perairan yang relatif dalam (Nakamura TKG IV) sehingga tidak dapat diketahui
dan Parin, 1993). Persentase TKG tiap bulan ukuran ikan betina pertama kali matang
untuk ikan T. lepturus, L. savala dan G. gonad. Persentase ikan yang matang gonad
serpens disajikan pada Gambar 2. berdasarkan panjang tubuh disajikan pada
Gambar 3.
JANTAN BETINA
Tiap-tiap spesies ikan pertama kali
A
matang gonad pada ukuran yang tidak sama.
Ikan T. lepturus betina lebih cepat matang
gonad dibandingkan ikan jantan. Sebaliknya
untuk ikan layur L. savala, dimana ikan
tersebut ikan jantan lebih cepat matang
B gonad jika dibandingkan ikan betinanya.
Perbedaan ukuran matang gonad jantan dan
betina juga diperoleh Kwok (1999) pada ikan
TKG

T. Lepturus di Laut China Selatan. Kwok


(1999) diperoleh informasi bahwa ikan layur
C T. lepturus jantan di Perairan Laut Cina
Selatan memiliki koefisien pertumbuhan
yang lambat daripada ikan betinanya dan
ikan betina ditemukan lebih cepat matang
gonad dibandingkan ikan jantan. Hal ini
Selang kelas (mm) sejalan dengan pendapat Effedie (1997)
Gambar 2. TKG ikan layur T.lepturus (a), L.savala bahwa ukuran matang gonad untuk tiap
(b) dan G.serpens (c) berdasarkan bulan
spesies ikan berbeda-beda.
pengamatan
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 225

Indeks Kematangan Gonad (IKG) Tabel. Indeks Kematangan Gonad (IKG) ikan layur
Indeks kematangan gonad ikan layur September November
Juli
bervariasi pada setiap waktu pengamatan.
Ikan JK
Ikan layur jantan spesies T. lepturus memiliki Re-
Sb
Re-
Sb
Re-
Sb
rata rata rata
kisaran IKG rata-rata berkisar antara
Jantan 0,73 1,33 0,71 0,73 0,50 0,22
0,4999%-0,7349% dan ikan betina memiliki T.
Lepturus Betina 1,20 1,00 0,99 1,12 0,49 0,00
kisaran IKG antara 0,4924%-1,2042%
(Gambar 16). Ikan layur jantan jenis L.savala Jantan 0,45 0,21 0,45 0,34 0,56 0,44

memiliki nilai indeks kematangan gonad L. Savala Betina 1,42 1,16 0,38 0,22 0,22 0,10

(IKG) berkisar antara 0,4483%-0,5580% G.


Serpens
Jantan 0,41 0,32 0,42 0,26

dan ikan betina antara 0,2235%-1,4206% Betina 0,23 0,18 0,33 0,10
(Gambar 17). Nilai indeks kematangan Keterangan: JK= Jenis kelamin; Sb= simpangan baku
gonad (IKG) Ikan jantan jenis G. Serpens
berkisar antara 0,4121%-0,4190%. Ikan Rata-rata IKG ikan betina lebih besar
betina memiliki kisaran rata-rata IKG antara dibandingkan ikan jantan. Diduga hal ini
0,2327%-0,3323% (Gambar 18). disebabkan pertumbuhan ikan betina lebih
Pada bulan Juli diduga ikan layur tertuju pada pertumbuhan gonad, akibatnya
jenis T. lepturus dan L. savala memasuki berat gonad ikan betina menjadi lebih besar
pemijahan, hal ini terlihat jelas dari dibandingkan berat gonad ikan jantan.
terdapatnya ikan jantan dan betina dengan Dengan kata lain pengaruh perkembangan
TKG III dan IV. Oleh karena itu, nilai indeks gonad lebih signifikan dibandingkan ikan
kematangan gonad pada bulan tersebut cukup jantan. Berbeda halnya dengan ikan G.
tinggi. Namun tingginya nilai rata-rata IKG serpens, dimana ikan jantan nilai IKG lebih
pada bulan November untuk ikan layur jenis tinggi dibandingkan ikan betina. Hal ini
G. serpens tidak dapat dijadikan nilai IKG diduga karena tidak ditemukannya ikan betina
tertinggi dikarenakan sedikitnya jumlah matang gonad, berbeda halnya dengan ikan
sampel dan pengamatan hanya dilakukan jantan yang memiliki fase matang gonad.
dua bulan.
Fekunditas
A Berdasarkan pengamatan secara
makroskopis dari tiga spesies ikan layur
didapatkan bahwa ikan layur betina yang
memiliki TKG III dan TKG IV adalah
ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala.
Ikan layur betina jenis G. serpens selama
B pengamatan hanya memiliki TKG I dan
TKG II.
Fekunditas ikan layur jenis T. lepturus
TKG

diperoleh dari 13 ekor ikan betina dengan


ukuran panjang total berkisar antara 630-991
C
mm dan berat antara 188,46-554,30 gram,
ikan yang telah memasuki fase matang gonad
yaitu 9 ekor ikan berada pada fase TKG III
dan 4 ekor ikan pada fase TKG IV. Nilai
fekunditas ikan betina T. lepturus berkisar
Selang kelas (mm)
antara 2877-16875 butir.
Gambar 3. TKG ikan layur T.lepturus (a), L.savala (b)
dan G.serpens (c) berdasarkan panjang Berdasarkan penelitian Martins &
tubuh Haimovici, (2000) bahwa fekunditas telur
Keterangan: a= 251-375; b= 376-500; c= 501-625; d= 626- T. lepturus di ekosistem utama subtropis
750; e= 751-875; f= 876-1000 Brazil bagian selatan berkisar dari 3.917
untuk ikan yang memiliki panjang total 70
Ernawati, Y., dan Butet, N.A. 226

cm sampai 154.216 pada ikan contoh yang Tabel. Hubungan fekunditas dengan panjang dan
memiliki panjang total 141 cm namun jumlah fekunditas dengan bobot ikan layur
pemijahan pada tiap musim belum dapat Ikan Parameter a b r
ditentukan. Sedangkan menurut Ball dan
T. Panjang 14,336 0,9299 0,2706
Rao (1984), fekunditas ikan layur T. lepturus
Lepturus Berat 341,44 0,5384 0,4048
berkisar antara 4000 (panjang ikan 42 cm)
hingga 16.000 (panjang ikan 60 cm). L. Savala Panjang 0,0107 2,0864 0,6528
Berat 0,7443 1,6304 0,7443
Dari jumlah total ikan layur betina
jenis L. savala yang diamati, diperoleh Keterangan: a dan b= koefisien regresi; r= koefisien
korelasi
sebanyak 4 ekor ikan yang memiliki TKG
III dan 3 ekor ikan memiliki TKG IV. Nilai Diameter Telur
fekunditas ikan layur betina jenis L.savala Sebaran diameter telur dari ikan layur
berkisar antara 4399-15261 butir. Fekunditas jenis T. lepturus yang diamati pada gonad
maksimum didapatkan pada ikan betina TKG III dan TKG IV bervariasi antara 0,3-
dengan ukuran panjang total sebesar 927 mm 1,37 mm, terbagi dalam 12 kelas ukuran
dan berat tubuh sebesar 295,10 gram. Ikan L. diameter telur (Gambar 21). Pada TKG III,
savala nilai fekunditas berkisar antara 9.178 diameter telur terbanyak terdapat pada kisaran
untuk ikan yang memiliki panjang total 37 ukuran diameter antara 0,57-0,65 mm. Pada
cm sampai 17.347 pada ikan contoh yang TKG IV didapatkan diameter telur terbanyak
memiliki panjang total sebesar 54 cm (Ball berkisar antara 0,93-1,01 mm. Diameter telur
& Rao, 1984). ikan layur jenis L. Savala berkisar antara 0,3-
Berdasarkan analisa hubungan fekun- 1,5 mm (Gambar 22). Diameter telur TKG
ditas ikan layur jenis T. lepturus dengan III menyebar pada kisaran 0,3 mm-1,17 mm.
panjang total (mm) diperoleh nilai korelasi Sedangkan diameter telur TKG IV menyebar
(r) sebesar 0,27 sedangkan dengan berat pada kisaran 0,3 mm-1,50 mm. Terjadinya
tubuh total (gram) diperoleh nilai korelasi peningkatan ukuran diameter telur dari
(r) sebesar 0,40 (Gambar 19). Untuk ikan TKG III ke TKG IV seperti yang dikatakan
layur jenis L. savala, berdasarkan analisa Effendie (1979) yaitu umumnya sudah dapat
hubungan fekunditas dengan panjang total diduga bahwa semakin meningkat tingkat
(mm) diperoleh nilai korelasi (r) sebesar kematangan gonad maka diameter telur yang
0,65 sedangkan dengan berat tubuh total ada di dalam ovarium semakin besar pula.
(gram) didapatkan nilai korelasi sebesar Ikan laut memiliki karakteristik ukuran
0,74 (Gambar 20). Untuk ikan layur jenis telur lebih kecil dibandingkan dengan
T. lepturus dan L. Savala didapatkan ikan air tawar. Fekunditas ikan-ikan laut
hasil bahwa bobot tubuh lebih baik untuk komersial penting pada umumnya lebih besar
menduga nilai fekunditas dibandingkan (Chambers & Leggett, 1996). Berdasarkan
dengan panjang total tubuhnya. Hal ini dapat penelitian Martins & Haimovici (2000) yang
terlihat dari nilai korelasi yang cukup erat telah dilakukan pada perairan ekosistem
antara fekunditas dengan berat tubuh total. utama subtropis Brazil bagian selatan pada
Peningkatan fekunditas berhubungan dengan bulan September hingga Februari, ditemukan
peningkatan berat tubuh dan berat gonad bahwa diameter telur ikan layur T. lepturus
(Solihatin, 2007). Hubungan fekunditas yang diambil dari TKG III dan TKG IV
dengan panjang total dalam penelitian ini mencapai 0,8 mm dari 56 sampel gonad ikan
menunjukkan hubungan koefisien korelasi layur. Shiokawa (1988) dalam Nakamura
yang kecil. Hal ini diduga karena terdapatnya dan Parin (1993) menyatakan bahwa telur
fekunditas yang bervariasi pada ikan-ikan ikan layur T. lepturus adalah pelagis dengan
yang mempunyai ukuran panjang hampir ukuran diameter telur antara 1,59-1,88 mm.
sama.
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 227

Dari sebaran frekuensi diameter telur Ikan layur T. lepturus betina lebih cepat
TKG IV ikan T. lepturus dan L. savala matang gonad dibandingkan ikan jantan.
maka diperoleh modus penyebaran dua Sedangkan ikan L. savala jantan lebih cepat
puncak. Ini menandakan bahwa ikan T. matang gonad dibandingkan ikan betina. Pada
lepturus dan L. savala tergolong kelompok saat penelitian, komposisi TKG III dan TKG
ikan yang memijah dengan mengeluarkan IV tertinggi untuk spesies T. lepturus dan L.
telur sebagian-sebagian (partial spawner), Savala terdapat pada bulan Juli. Penelitian
dimana telur yang sudah matang dan berada dilakukan mewakili musim timur (Juli dan
dipuncak pertama akan dikeluarkan terlebih September) dan mewakili musim peralihan
dahulu menyusul dengan pengeluaran telur (November). Nilai fekunditas ikan betina T.
yang berada dipuncak berikutnya. Sama lepturus berkisar antara 2877-16875 butir.
halnya dengan penelitian Wojciechowski Sedangkan nilai fekunditas ikan L. savala
(1972) yang menyatakan bahwa ikan layur betina berkisar antara 4399-15261 butir.
T. lepturus L. (Trichiuroidae) di Teluk Mau- Berdasarkan pola penyebaran diameter telur
ritania mempunyai periode reproduksi secara diduga bahwa ikan T.lepturus dan L.savala
partial spawning pada lapisan permukaan memijah secara partial spawner.
dimana suhu dan salinitas berperan penting.
Menurut Wojciechowski (1972), spesies DAFTAR PUSTAKA
ikan layur melakukan proses pemijahan pada
bulan Mei hingga Oktober. Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine
Fisheries. Tata McGraw-Hill Publis-
hing Company Limited. New Delhi.
Frekuensi (%)

250 hal.

Chambers, R.C. & W.C. Leggett. 1996.


A B Maternal Influences on Variation in
Selang kelas diameter telur (mm) Temperate Marine Fishes. Journal
Keterangan: a= 0,30-0,38; b= 0,39-0,47; c= 0,48-0,56; America Zoology, 36 : 180-196.
d= 0,57-0,65; e= 0,66-0,74; f= 0,75-0,83;
g= 0,84-0,92; h= 0,93-1,01; i= 1,02-1,10; j= Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Per-
1,11-1,19; k= 1,20-1,28; l= 1,29-1,37
m=0,30-0,40 ; n=0,41-0,51 ; o=0,52-0,62 ikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112
; p=0,63-0,73 ; q=0,74-0,84 ; r=0,85-0,95 hal.
; s=0,96-1,06 ; t=1,07-1,17 ; u=1,18-1,28 ;
v=1,29-1,39 ; w= 1,40-1,50.
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan.
Gambar 4. Sebaran diameter telur ikan layur T.
Yayasan Pustaka Nusantara. Yogya-
lepturus (a) dan L. savala (b)
karta. 163 hal.
SIMPULAN
El-Haweet, A. & T. Ozawa. 1995. Age and
Pola pertumbuhan ikan layur T.lepturus Growth of Ribbon Fish Trichiurus
jantan dan betina di Perairan Palabuhanratu japonicus in Kagoshima Bay, Japan.
adalah allometrik negatif. Pola pertumbuhan Journal Fisheries Science Formerly
ikan jantan spesies L. savala dan G. serpens Nippon Suisan Gakkaishi, Vol 62 (4),
adalah allometrik positif, sedangkan ikan 529-533.
betina spesies L. savala dan G. serpens
adalah allometrik negatif. Rasio kelamin Kwok, K.Y. 1999. Reproduction of
ikan layur ketiga spesies didominasi oleh Cutlassfishes Trichiurus spp. From
ikan jantan. Kisaran rata-rata faktor kondisi The South China Sea. Marine Ecology
ikan T. lepturus dan L. savala betina lebih Progress Series. Vol 176 : 39-47.
besar jika dibandingkan dengan faktor
kondisi ikan jantan. Lagler KF, JE. Bardach, RR Miller & D.
Passino. 1977. Ichtyology. New York,
Ernawati, Y., dan Butet, N.A. 228

USA: John Wiley and Sons inc. di Teluk Palabuhanratu Sukabumi


Jawa Barat. Skripsi. Departemen
Martins, A.S. & M. Haimovici. 2000. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Reproduction of The Cutlassfish Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Trichiurus lepturus In The Southern Institut Pertanian Bogor. Tidak
Brazil Subtropical Convergence Eco- dipublikasikan.
system. Journal Scientia Marina, 64
(1): 97-105. Shih, N.-T. Hsu, K.-C. & Ni, I.-H. Age,
Growth and Reproduction of cutlas-
Nakamura, I. & N.V. Parin. 1993. FAO sshes Trichiurus spp. in the southern
Species Catalogue. Vol 15. Snake East China Sea. 2011 Blackwell
Mackerels and Cutlassfishes of Verlag, Berlin Accepted: November
The World (Families Gempylidae 18, 2010 ISSN Appl. Ichthyol. 27
and Trichiuridae). An Annotated (2011), 13071315.
and Illustrated Catalugue of The
Snake Mackerels, Snoeks, Escolars, Solihatin, A. 2007. Biologi Reproduksi
Gemfishes, Sackfishes, Domine, dan Studi Kebiasaan Makanan Ikan
Oilfish, Cutlassfishes, Hairtails, and Sebarau (Hampala macrolepidota)
Frostfishes Known To Date. FAO Fish di Sungai Musi. Skripsi. Departemen
Synop. Rome. Manajemen Sumberdaya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Parin, N.V. 1986. Trichiuridae. Fishes of Institut Pertanian Bogor. Tidak dipubli-
the North-eastern Atlantic and the kasikan.
Mediterranean Vol. II: 976-980.
UNESCO. United Kingdom. Steel, R. G. D. & J.H. Torie. 1980. Principle
and Procedure of Statistic. Second
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhan- Edition. Mc Graw-Hill. Book Com-
ratu. 2007. Data Statistika Perikanan pany, Inc. New York. 748 p.
Tahun 2007. PPN Palabuhanratu.
Sukabumi. Wojciechowski, J. 1972. Observation On
Biology of Cutlassfish Trichiurus
Setiawan, D.R. 2006. Ketajaman Penglihat- lepturus L. (Trichiuroidae) of Mauri-
an Ikan Layur (Trichiurus spp.) tania Shelf. Journal Acta Ichthyologica
Hasil Tangkapan Pancing Rawai Et Fiscatoria, Vol.II, Fasc 2.
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No. 3, November 2012: 211 - 218
ISSN 1411 - 0903

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (SUPERFAMILI TRICHIUROIDEA)


DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI,
JAWA BARAT

Ernawati, Y., dan Butet, N.A.


Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK-Institut Pertanian Bogor, Jln Lingkar
Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680; Telp/Fax. 02518624360
E-mail: ibuerna@yahoo.com
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan aspek biologi reproduksi ikan layur Superfamili trichiuroidea
yang meliputi rasio kelamin, tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur dan pola pemijahan.
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli, September dan November 2007 di Perairan Palabuhanratu
dengan menggunakan alat tangkap pancing rawai dan pancing ulur nomor 6, 7, 8 dan 9. Dari 194 ikan
layur terdiri atas tiga spesies yaitu Spesies Trichiurus lepturus berjumlah 71 ekor (44 ekor jantan, 27
ekor betina), Lepturacanthus savala berjumlah 101 ekor (57 ekor jantan, 44 ekor betina) dan Gempylus
serpens berjumlah 22 ekor (14 ekor jantan dan 8 ekor betina). Rasio kelamin tidak seimbang dan
didominasi oleh ikan jantan. Ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala diduga memasuki masa pemijahan
pada bulan Juli. Fekunditas ikan betina T. lepturus berkisar antara 2877-16875 butir. Sedangkan nilai
fekunditas ikan L. savala betina berkisar antara 4399-15261 butir. Diameter telur T. lepturus dan L.
savala adalah 0,3-1,37 dan 0,3-1,5 mm. Pola pemijahan ikan T.lepturus dan L.savala adalah partial
spawner.

Kata kunci: Ikan layur, reproduksi, fekunditas.

STUDY ON REPRODUCTIVE BIOLOGY OF LAYUR FISH (SUPERFAMILI


TRICHIUROIDEA) IN PALABUHANRATU WATERS, SUKABUMI REGENCY,
WEST JAVA

ABSTRACT
The objective of this study was to investigate the reproductive aspect of Triciuroidea, including sex
ratio, GSI, fecundity, egg diameter, and spawning pattern. The study was conducted on July, September,
and November 2007 in Palabuhan Ratu, West Java. The fishes were caught using long line and hand line
number 6, 7, 8, and 9. Total samples were 194 individuals, consisted of 71 individuals Trichiurus lepturus
(44 males and 27 females), 101 individuals Lepturacanthus savala (57 males, 44 ekor females) and 22
individuals Gempylus serpens (14 males and 8 females). Sex ratio were un balanced and dominated by
the male fish. Presumably, the spawning period for T. lepturus and L. savala was started from July. The
fecundity of T. lepturus and L. savala were between 2877-16875 eggs and 4399-15261 eggs respectively.
The egg diameter of T. lepturus and L. savala were 0,3-1,37 and 0,3-1,5 mm.The spawning pattern of T.
lepturus and L. savala were partial spawner.

Key word: Trichiuroidea, reproduction, fecundity

PENDAHULUAN dan prospek ekonomi tinggi serta mulai


sebagai komoditi ekspor (El-Haweet &
Perairan Palabuhanratu berada di Ozawa, 1995).
Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat Produksi layur di PPN Palabuhanratu
merupakan salah satu daerah perikanan yang terus meningkat dari tahun ketahun.
potensial dengan sumberdaya ikan melimpah. Berdasarkan data tahun 2002-2007 dari PPN
Posisi geografis perairan Palabuhanratu Palabuhanratu, setiap tahunnya Palabuhan
terletak pada koordinat 06o57-07o07 LS ratu menghasilkan 185,47 ton ikan layur
dan 106o49-1070 00 BT. Ikan layur dikenal dengan nilai produksi rata-rata mencapai Rp.
dengan nama ribbon fishes merupakan salah 1.153.400.038 per tahun. Selama kurun waktu
satu ikan komersial penting, yang potensial 6 tahun ini, tercatat hanya di tahun 2003 yang
Ernawati, Y., dan Butet, N.A. 220

mengalami penurunan total produksi. Dan menggunakan alat tangkap pancing rawai
selebihnya memperlihatkan peningkatan dan pancing ulur berukuran 6-9 oleh para
total produksi (PPN Palabuhanratu, 2007). nelayan di sekitar perairan Palabuhanratu,
Hal ini disebab-kan terus meningkatnya Sukabumi, Jawa Barat yang kemudian
permintaan layur baik dari pasar domestik didaratkan di TPI Palabuhanratu. Ikan yang
maupun untuk keperluan ekspor. Jumlah ini tertangkap dimasukkan ke dalam wadah
merupakan angka cukup besar sebagai suatu cold box kemudian ikan contoh di bawa ke
komoditi perikanan untuk dikembangkan Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Fakultas
lebih lanjut. Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Per-
Permintaan pasar ikan layur cenderung tanian Bogor untuk diteliti lebih lanjut.
meningkat. Hal ini menyebabkan usaha Ikan contoh diukur panjang totalnya dan
penangkapan pun meningkat. Dengan ditimbang beratnya, kemudian ikan dibedah
semakin meningkatnya usaha penangkapan dan diambil gonadnya untuk ditimbang dan
maka penangkapan ikan layur di perairan ditentukan jenis kelaminnya. Pengamatan
Palabuhanratu cenderung tidak terkendali, tingkat kematangan gonad (TKG) dilihat
karena hasil tangkapan merupakan prioritas dari bentuk gonad, besar kecilnya gonad,
bagi nelayan. Tidak jarang ikan-ikan kecil warna gonad, dan lunak pejalnya gonad.
serta ikan matang gonad dan siap berpijah Penentuan TKG gonad ikan mengacu
juga ikut tertangkap. Dengan penangkapan kepada morfologi gonad modifikasi Cassie
ikan yang tidak terkendali dan berlangsung dalam Effendi (1997). Sedangkan karakter
terus menerus, dikhawatirkan akan terjadi mikroskopik gonad diamati berdasarkan
overfishing. Overfishing dapat menyebabkan preparat histologis gonad jantan dan gonad
perubahan struktur populasi. Oleh karena itu betina.
diperlukan usaha rekruitmen dan reproduksi Penentuan hubungan panjang-berat
untuk menghasilkan keturunan sebagai menggunakan rumus (Effendie, 1997)
upaya untuk melestarikan jenisnya. W = a Lb
Pengetahuan tentang biologi repro- Keterangan :
duksi merupakan salah satu alat yang dapat W = berat total ikan (g)
digunakan dalam rangka pemanfaatan ber- L = panjang total ikan (mm)
a dan b = konstanta hasil regresi
kelanjutan sumberdaya ikan layur. Dengan
mengetahui aspek reproduksi ikan layur Pada pertumbuhan ikan isometrik
maka penangkapan dapat dilakukan secara (b=3), maka faktor kondisi menggunakan
optimal dan lestari sehingga diharapkan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997):
kelestarian tetap terjaga dan menjadi dasar
dalam pengelolaan berkelanjutan. 10 5
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji K= 3 W
L
aspek biologi reproduksi diantara ketiga
spesies ikan layur (Trichiurus lepturus, Leptu- Pada pertumbuhan allometrik, faktor
racanthus savala dan Gempylus serpens) kondisi dihitung dengan menggunakan
seperti rasio kelamin, faktor kondisi, tingkat
W
kematangan gonad, fekunditas, diameter Rumus : K =
telur dan pola pemijahan. aL b
Keterangan :
BAHAN DAN METODE K = Faktor kondisi
W = Berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram)
L = Panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm)
Penelitian ini dilakukan pada bulan a dan b = Konstanta dari regresi
Juli-November 2007, yang mewakili musim
Timur (Juli dan September) dan mewakili Rasio kelamin dihitung dengan cara
musim peralihan (November). Pengambilan membandingkan jumlah ikan jantan dan
ikan contoh dilakukan pada bulan Juli, ikan betina. Penentuan seimbang atau
September dan November 2007 dengan tidaknya rasio kelamin jantan dan betina
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 221

dilakukan dengan uji Chi-Square (Steel & (a)


Torie, 1980).

J
Rasio Kelamin =
B
Keterangan :
J = Jumlah ikan jantan (ekor) (b)
B = Jumlah ikan betina (ekor)

Indeks Kematangan gonad (IKG)


dengan menggunakan rumus (Effendie, 1997):

B
g
IKG = x 100% (c)
B
t
Keterangan:
IKG = Indeks kematangan gonad
Bg = Berat gonad (gram)
Bt = Berat total (gram)

Fekunditas dihitung dengan meng- Selang kelas (mm)
gunakan metode gabungan. Dengan meng- Gambar 1. Sebaran panjang ikan layur
gunakan rumus sebagai berikut (Effendie, T.lepturus (a); L. savala (b);
1979): dan G. serpens (c)

GxVxX 452-997 mm untuk ikan betina. Ikan jantan


F= tertangkap mulai selang kelas 251-375 mm;
Q
sedangkan ikan betina mulai ditemukan pada
Keterangan : selang ukuran 501-625 mm. Ikan T. lepturus
F = Fekunditas (butir) paling banyak tertangkap pada selang kelas
G = Berat gonad total (gram)
V = Volume pengenceran (ml)
751-875 (24 ekor). Nakamura & Parin
X = Jumlah telur dalam 1 cc (butir) (1993) menyatakan bahwa ikan layur jenis T.
Q = Berat telur contoh (gram) lepturus memiliki panjang total maksimum
sebesar 1200 mm, dan ikan yang dominan
HASIL DAN PEMBAHASAN tertangkap berukuran 500-1000 mm.
Ukuran panjang total L. savala yang
Sebaran Frekuensi Panjang tertangkap bervariasi antara 314-953 mm.
Ikan layur (Superfamili Trichiuroidea) Kisaran panjang ikan jantan dan betina
yang diamati selama penelitian berjumlah tertinggi terdapat pada selang ukuran 626-
194 ekor ikan yang terdiri atas tiga spesies 750 mm dengan jumlah ikan jantan sebanyak
yaitu Trichiurus lepturus, Lepturacanthus 25 ekor dan jumlah ikan betina 24 ekor. Ikan
savala dan Gempylus serpens. Ikan layur betina ditemukan pada selang kelas yang
T. lepturus berjumlah 71 ekor (44 ekor lebih panjang daripada ikan jantan.
jantan, 27 ekor betina), ikan layur L. savala Ukuran panjang total ikan G. serpens
berjumlah 101 ekor (57 ekor jantan, 44 ekor yang tertangkap berkisar antara 624-905
betina) dan ikan layur G. serpens berjumlah mm. Ikan jantan tersebar pada panjang total
22 ekor (14 ekor jantan dan 8 ekor betina). 624 mm-905 mm. Kuantitas tangkapan ikan
Hasil tangkapan ikan layur kemudian dibagi jantan dan betina terbesar terdapat pada
menjadi 6 kelas ukuran panjang total (mm) selang panjang 626-750 mm yaitu sebanyak
dengan interval 125 mm (Gambar 1). 9 ekor ikan jantan dan 5 ekor ikan betina.
Kisaran panjang total T. lepturus Ikan jantan ditemukan pada selang kelas
antara 270-997 mm untuk ikan jantan dan yang lebih panjang daripada ikan betina.
Ernawati, Y., dan Butet, N.A. 222

Pada Gambar 1 terlihat bahwa kelas Tabel 1. Hubungan panjang bobot ikan layur
ukuran panjang ikan layur antara ketiga Ikan JK n a b r
spesies yang cukup beragam. Banyaknya T.
kelas ukuran panjang ikan ini memperlihatkan Lepturus Jantan 44 1x1-06 2,8857 0,97
keragaman ukuran ikan yang ditangkap. Betina 27 1x1 -05
2,531 0,93
Hal ini dikarenakan dalam penangkapan L.
ikan layur digunakan pancing (rawai atau Savala Jantan 57 2x1-07 3,2626 0,92

pancing ulur) dengan ukuran mata pancing Betina 44 2x1 2,8368 0,89
-06

yang berbeda sehingga didapatkan hasil dan G.


Serpens Jantan 14 1x1-07 3,3538 0,95
ukuran yang beragam. Berdasarkan sebaran
Betina 8 8x1 -05
2,3749 0,84
kelompok panjang dari ketiga spesies dapat
diketahui bahwa untuk semua spesies menge- Keterangan: JK= Jenis kelamin; n= jumlah data; a dan b=
koefisien regresi; r= koefisien korelasi
lompok pada ukuran 626-875 mm.
Rendahnya frekuensi hasil tangkapan Pola pertumbuhan ikan layur jenis G.
ikan layur yang berukuran kecil (dibawah 500 serpens jantan mengikuti persamaan W = 1
mm) disebabkan oleh dua faktor. Pertama, x 10-7 L3,3538 , dengan koefisien korelasi (r)
selektifitas alat, yang mana alat tangkap yang sebesar 0,95. Persamaan hubungan panjang-
digunakan adalalah pancing ulur dan rawai berat untuk ikan betina adalah W = 8 x 10-5
dengan mata pancing ukuran 9 yang selektif L2,3749, dengan koefisien korelasi (r) sebesar
untuk tangkapan ikan-ikan berukuran besar. 0,84. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola
Kedua, pada waktu penelitian ini dilakukan pertumbuhan ikan layur G. serpens jantan
bertepatan dengan musim pertumbuhan dari adalah allometrik positif (b>3) sedangkan
ikan-ikan yang sebelumnya berukuran kecil ikan betina adalah allometrik negatif.
menjadi berukuran besar.
Faktor Kondisi
Hubungan Panjang-Berat Faktor kondisi ketiga jenis ikan layur
Hubungan panjang-berat ketiga disajikan pada Tabel 2. Nilai faktor kondisi
jenis ikan layur disajikan pada Tabel 1. Ber- ikan T. lepturus jantan dan betina secara
dasarkan hubungan panjang-berat ikan layur keseluruhan masing-masing berkisar antara
T. lepturus jantan dan betina diperoleh pola 1,34-1,56 dan 1,33-3,29. Nilai faktor kondisi
pertumbuhan ikan layur T. lepturus dengan tertinggi baik ikan jantan atau betina terdapat
model pertumbuhan yaitu W= 1 x 10-6 L2,8857 pada bulan November. Nilai kisaran rata-rata
untuk ikan jantan, dengan koefisien korelasi (r) faktor kondisi ikan L. savala jantan berkisar
sebesar 0,97. Sedangkan, model pertumbuhan antara 0,65-0,91 dengan rata-rata nilai faktor
ikan betina mengikuti persamaan W = 1 x kondisi tertinggi pada bulan September
10-5 L2,5310, dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,91, sedangkan kisaran rata-rata
sebesar 0,93. Dari hasil nilai b untuk ikan faktor kondisi ikan betina adalah 1,05-1,20
jantan dan betina didapatkan hasil bahwa dengan rata-rata nilai faktor kondisi tertinggi
pola pertumbuhan T. Lepturus jantan dan pada bulan November sebesar 1,20. Nilai
betina adalah allometrik negatif (b<3). faktor kondisi ikan layur G. Serpens jantan
Persamaan hubungan panjang-berat berkisar antara 1,16-1,21. Sedangkan faktor
ikan layur jenis L. savala yaitu W = 2 x 10-7 kondisi ikan betina berkisar antara 0,95-1,03.
L3,2626untuk ikan jantan, nilai koefisien korelasi Kisaran faktor kondisi rata-rata untuk ikan
(r) sebesar 0,92, sedangkan persamaan jantan dan betina G. Serpens tertinggi berada
hubungan panjang berat ikan betina adalah pada bulan September. Pada bulan tersebut,
W = 2 x 10-6 L2,8368, nilai koefisien korelasi diketahui bahwa kondisi perairan cukup baik
(r) sebesar 0,89. Pola pertumbuhan L. savala dan merupakan musim banyak ikan. Diduga
jantan adalah allometrik positif (b>3), pada saat ini, ikan layur memanfaatkan
sedangkan ikan betina adalah allometrik kesempatan untuk mengkonsumsi makanan
negatif (b<3). sebanyak-sebanyaknya sehingga meningkat-
kan nilai faktor kondisinya. Jumlah dan
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 223

Tabel 2. Faktor kondisi ikan layur berdasarkan bulan pengamatan

Juli September November


Ikan JK
Rerata Sb Rerata Sb Rerata Sb
Jantan 1,38 0,19 1,34 0,37 1,56 0,23
T. Lepturus
Betina 1,34 0,23 1,54 0,17 3,29 0,00
Jantan 0,65 0,07 0,91 0,43 0,84 0,09
L. Savala
Betina 1,05 0,18 1,13 0,24 1,20 0,09
Jantan 1,21 0,14 1,16 0,08
G. Serpens
Betina 1,03 0,06 0,95 0,13
Keterangan: JK= Jenis kelamin; Sb= simpangan baku
ukuran makanan yang tersedia di dalam Berdasarkan hasil uji Chi-Square
lingkungan perairan merupakan faktor dalam pada setiap bulan pengambilan ikan contoh
yang mempengaruhi pertumbuhan ikan dan secara keseluruhan dengan selang
(nilai faktor kondisi) ikan tersebut (Effendie, kepercayaan 95% (=0,05) menunjukkan
1997). bahwa rasio kelamin ikan layur T. lepturus
Nilai faktor kondisi ikan T. lepturus dalam kondisi tidak seimbang dimana
dan L. savala relatif meningkat dari bulan didominasi oleh ikan jantan. Uji Chi-
Juli hingga November. Hal ini diduga dengan Square rasio kelamin berdasarkan waktu
seiring meningkatnya perkembangan tingkat pengambilan ikan contoh menunjukkan
kematangan gonad maka akan meningkatkan bahwa rasio kelamin ikan layur L. savala
nilai faktor kondisi. Selain itu, asupan tidak seimbang namun secara keseluruhan
makanan yang cukup dari lingkungan menunjukkan hasil sebaliknya yaitu
perairan membuat nilai faktor kondisi relatif rasio kelamin ikan layur L. savala adalah
meningkat. Nilai faktor kondisi ikan betina seimbang, dimana nilai Xhitung kurang dari
lebih besar daripada ikan jantan. Hal ini nilai X tabel. Uji Chi-Square rasio kelamin
menunjukkan bahwa ikan betina memiliki secara keseluruhan dan berdasarkan waktu
kondisi yang lebih baik untuk bertahan hidup pengambilan ikan contoh didapatkan hasil
dan proses reproduksinya dibandingkan ikan bahwa rasio kelamin ikan layur G. serpens
jantan. Hal ini sesuai dengan pernyataan adalah seimbang.
Effendie (1997) bahwa ikan betina memiliki Berdasarkan penelitian Martin dan
kondisi yang lebih baik dengan mengisi sell Haimovici (2000), menyatakan bahwa rasio
sex untuk proses reproduksinya dibandingkan kelamin ikan layur T. lepturus di ekosistem
ikan jantan. Nilai faktor kondisi yang tinggi utama Subtropis Brazil Bagian Selatan
pada bulan November diduga karena bulan tidak berbeda nyata dari 1:1. Berdasarkan
November merupakan musim peralihan penelitian Ball & Rao (1984) bahwa per-
antara musim timur ke musim barat, suhu bandingan rasio kelamin antara jantan dan
perairan meningkat sehingga ikan ini aktif betina dari L. savala berkisar antara 1:1,4.
mencari makan. Aktifitas makan yang aktif Namun perbedaan dari hasil penelitian
dapat mempengaruhi kondisi tubuh ikan. tersebut dapat dikaitkan dengan pernyataan
dari Ball dan Rao (1984) yang menyatakan
Rasio Kelamin bahwa penyimpangan dari kondisi ideal
Perbandingan rasio kelamin T. lepturus tersebut disebabkan oleh faktor tingkah laku
ikan jantan dan betina adalah 1,63:1 atau ikan itu sendiri, perbedaan laju mortalitas
61,97 % ikan jantan dan 38,03 % ikan betina. dan pertumbuhannya.
Rasio kelamin ikan layur jenis L. savala Pada bulan Juli jumlah ikan betina T.
selama penelitian adalah 1,30:1. Sedangkan, lepturus dan L. savala yang matang gonad
rasio kelamin ikan layur G. serpens adalah lebih banyak daripada jumlah ikan jantan,
sebesar 1,75:1. sebaliknya terjadi pada bulan September dan
Nopember. Rasio kelamin ikan layur juga
Ernawati, Y., dan Butet, N.A. 224

ditemukan tidak seimbang pada penelitian Prabhu (1955) dalam Bal & Rao (1984)
Shih et al. (2011) yang diduga karena menyatakan bahwa pemijahan T. lepturus
terpengaruh distribusi spasial, pertumbuhan, hanya berlangsung sekali dalam setahun
dan laju kematian. yaitu pada bulan Juni, namun penelitian-
penelitian lain mengindikasikan pemijahan
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) terjadi pada Mei-Juni dan November-
Berdasarkan bulan pengamatan ikan Desember (Tampi et al. 1971; Narasimham
layur diantara ketiga spesies tersebut dapat 1976 dalam Bal dan Rao (1984). Berbeda
diketahui bahwa dari ketiga spesies ikan layur halnya dengan Parin (1986), menyatakan
tersebut baik ikan jantan atau ikan betina bahwa T. lepturus yang hidup di daerah
didominasi oleh ikan TKG I dan II (Gambar Mediterranean memijah pada bulan Juli-
2). Dari pengetahuan tahap perkembangan Agustus. Untuk jenis ikan layur L.savala,
gonad ini juga akan didapatkan keterangan musim pemijahan umumnya berlangsung
bilamana ikan tersebut akan memijah, antara bulan Maret-Mei. Sehubungan dengan
baru memijah atau sudah selesai memijah tujuan pemijahan dan lainnya, sejauh ini
(Effendie, 1997). Untuk ikan layur betina untuk mempertahankan agar ikan ini tetap
jenis T. lepturus dan L. savala komposisi bisa hidup (Setiawan, 2006).
terbanyak TKG III dan TKG IV ditemukan Berdasarkan hasil penelitian, ikan
pada bulan Juli. Sedangkan ikan layur jenis layur T. lepturus jantan dan betina pertama
G. serpens betina yang memiliki TKG III kali matang gonad pada ukuran 725 mm
dan IV tidak ditemukan pada setiap waktu dan 633 mm; L. savala jantan pada ukuran
pengamatan. Tidak ditemukannya ikan G. 552 mm dan betina pada ukuran 592 mm;
serpens betina yang matang gonad diduga sedangkan ikan G. serpens jantan matang
karena pola ruaya ikan G. Serpens ke perairan gonad pertama kali pada ukuran 668 mm
yang lebih dalam. Selain itu, ikan dewasa namun tidak ditemukannya ikan betina yang
hidup cenderung soliter, ikan ini menyebar memasuki fase matang gonad (TKG III dan
pada perairan yang relatif dalam (Nakamura TKG IV) sehingga tidak dapat diketahui
dan Parin, 1993). Persentase TKG tiap bulan ukuran ikan betina pertama kali matang
untuk ikan T. lepturus, L. savala dan G. gonad. Persentase ikan yang matang gonad
serpens disajikan pada Gambar 2. berdasarkan panjang tubuh disajikan pada
Gambar 3.
JANTAN BETINA
Tiap-tiap spesies ikan pertama kali
A
matang gonad pada ukuran yang tidak sama.
Ikan T. lepturus betina lebih cepat matang
gonad dibandingkan ikan jantan. Sebaliknya
untuk ikan layur L. savala, dimana ikan
tersebut ikan jantan lebih cepat matang
B gonad jika dibandingkan ikan betinanya.
Perbedaan ukuran matang gonad jantan dan
betina juga diperoleh Kwok (1999) pada ikan
TKG

T. Lepturus di Laut China Selatan. Kwok


(1999) diperoleh informasi bahwa ikan layur
C T. lepturus jantan di Perairan Laut Cina
Selatan memiliki koefisien pertumbuhan
yang lambat daripada ikan betinanya dan
ikan betina ditemukan lebih cepat matang
gonad dibandingkan ikan jantan. Hal ini
Selang kelas (mm) sejalan dengan pendapat Effedie (1997)
Gambar 2. TKG ikan layur T.lepturus (a), L.savala bahwa ukuran matang gonad untuk tiap
(b) dan G.serpens (c) berdasarkan bulan
spesies ikan berbeda-beda.
pengamatan
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 225

Indeks Kematangan Gonad (IKG) Tabel. Indeks Kematangan Gonad (IKG) ikan layur
Indeks kematangan gonad ikan layur September November
Juli
bervariasi pada setiap waktu pengamatan.
Ikan JK
Ikan layur jantan spesies T. lepturus memiliki Re-
Sb
Re-
Sb
Re-
Sb
rata rata rata
kisaran IKG rata-rata berkisar antara
Jantan 0,73 1,33 0,71 0,73 0,50 0,22
0,4999%-0,7349% dan ikan betina memiliki T.
Lepturus Betina 1,20 1,00 0,99 1,12 0,49 0,00
kisaran IKG antara 0,4924%-1,2042%
(Gambar 16). Ikan layur jantan jenis L.savala Jantan 0,45 0,21 0,45 0,34 0,56 0,44

memiliki nilai indeks kematangan gonad L. Savala Betina 1,42 1,16 0,38 0,22 0,22 0,10

(IKG) berkisar antara 0,4483%-0,5580% G.


Serpens
Jantan 0,41 0,32 0,42 0,26

dan ikan betina antara 0,2235%-1,4206% Betina 0,23 0,18 0,33 0,10
(Gambar 17). Nilai indeks kematangan Keterangan: JK= Jenis kelamin; Sb= simpangan baku
gonad (IKG) Ikan jantan jenis G. Serpens
berkisar antara 0,4121%-0,4190%. Ikan Rata-rata IKG ikan betina lebih besar
betina memiliki kisaran rata-rata IKG antara dibandingkan ikan jantan. Diduga hal ini
0,2327%-0,3323% (Gambar 18). disebabkan pertumbuhan ikan betina lebih
Pada bulan Juli diduga ikan layur tertuju pada pertumbuhan gonad, akibatnya
jenis T. lepturus dan L. savala memasuki berat gonad ikan betina menjadi lebih besar
pemijahan, hal ini terlihat jelas dari dibandingkan berat gonad ikan jantan.
terdapatnya ikan jantan dan betina dengan Dengan kata lain pengaruh perkembangan
TKG III dan IV. Oleh karena itu, nilai indeks gonad lebih signifikan dibandingkan ikan
kematangan gonad pada bulan tersebut cukup jantan. Berbeda halnya dengan ikan G.
tinggi. Namun tingginya nilai rata-rata IKG serpens, dimana ikan jantan nilai IKG lebih
pada bulan November untuk ikan layur jenis tinggi dibandingkan ikan betina. Hal ini
G. serpens tidak dapat dijadikan nilai IKG diduga karena tidak ditemukannya ikan betina
tertinggi dikarenakan sedikitnya jumlah matang gonad, berbeda halnya dengan ikan
sampel dan pengamatan hanya dilakukan jantan yang memiliki fase matang gonad.
dua bulan.
Fekunditas
A Berdasarkan pengamatan secara
makroskopis dari tiga spesies ikan layur
didapatkan bahwa ikan layur betina yang
memiliki TKG III dan TKG IV adalah
ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala.
Ikan layur betina jenis G. serpens selama
B pengamatan hanya memiliki TKG I dan
TKG II.
Fekunditas ikan layur jenis T. lepturus
TKG

diperoleh dari 13 ekor ikan betina dengan


ukuran panjang total berkisar antara 630-991
C
mm dan berat antara 188,46-554,30 gram,
ikan yang telah memasuki fase matang gonad
yaitu 9 ekor ikan berada pada fase TKG III
dan 4 ekor ikan pada fase TKG IV. Nilai
fekunditas ikan betina T. lepturus berkisar
Selang kelas (mm)
antara 2877-16875 butir.
Gambar 3. TKG ikan layur T.lepturus (a), L.savala (b)
dan G.serpens (c) berdasarkan panjang Berdasarkan penelitian Martins &
tubuh Haimovici, (2000) bahwa fekunditas telur
Keterangan: a= 251-375; b= 376-500; c= 501-625; d= 626- T. lepturus di ekosistem utama subtropis
750; e= 751-875; f= 876-1000 Brazil bagian selatan berkisar dari 3.917
untuk ikan yang memiliki panjang total 70
Ernawati, Y., dan Butet, N.A. 226

cm sampai 154.216 pada ikan contoh yang Tabel. Hubungan fekunditas dengan panjang dan
memiliki panjang total 141 cm namun jumlah fekunditas dengan bobot ikan layur
pemijahan pada tiap musim belum dapat Ikan Parameter a b r
ditentukan. Sedangkan menurut Ball dan
T. Panjang 14,336 0,9299 0,2706
Rao (1984), fekunditas ikan layur T. lepturus
Lepturus Berat 341,44 0,5384 0,4048
berkisar antara 4000 (panjang ikan 42 cm)
hingga 16.000 (panjang ikan 60 cm). L. Savala Panjang 0,0107 2,0864 0,6528
Berat 0,7443 1,6304 0,7443
Dari jumlah total ikan layur betina
jenis L. savala yang diamati, diperoleh Keterangan: a dan b= koefisien regresi; r= koefisien
korelasi
sebanyak 4 ekor ikan yang memiliki TKG
III dan 3 ekor ikan memiliki TKG IV. Nilai Diameter Telur
fekunditas ikan layur betina jenis L.savala Sebaran diameter telur dari ikan layur
berkisar antara 4399-15261 butir. Fekunditas jenis T. lepturus yang diamati pada gonad
maksimum didapatkan pada ikan betina TKG III dan TKG IV bervariasi antara 0,3-
dengan ukuran panjang total sebesar 927 mm 1,37 mm, terbagi dalam 12 kelas ukuran
dan berat tubuh sebesar 295,10 gram. Ikan L. diameter telur (Gambar 21). Pada TKG III,
savala nilai fekunditas berkisar antara 9.178 diameter telur terbanyak terdapat pada kisaran
untuk ikan yang memiliki panjang total 37 ukuran diameter antara 0,57-0,65 mm. Pada
cm sampai 17.347 pada ikan contoh yang TKG IV didapatkan diameter telur terbanyak
memiliki panjang total sebesar 54 cm (Ball berkisar antara 0,93-1,01 mm. Diameter telur
& Rao, 1984). ikan layur jenis L. Savala berkisar antara 0,3-
Berdasarkan analisa hubungan fekun- 1,5 mm (Gambar 22). Diameter telur TKG
ditas ikan layur jenis T. lepturus dengan III menyebar pada kisaran 0,3 mm-1,17 mm.
panjang total (mm) diperoleh nilai korelasi Sedangkan diameter telur TKG IV menyebar
(r) sebesar 0,27 sedangkan dengan berat pada kisaran 0,3 mm-1,50 mm. Terjadinya
tubuh total (gram) diperoleh nilai korelasi peningkatan ukuran diameter telur dari
(r) sebesar 0,40 (Gambar 19). Untuk ikan TKG III ke TKG IV seperti yang dikatakan
layur jenis L. savala, berdasarkan analisa Effendie (1979) yaitu umumnya sudah dapat
hubungan fekunditas dengan panjang total diduga bahwa semakin meningkat tingkat
(mm) diperoleh nilai korelasi (r) sebesar kematangan gonad maka diameter telur yang
0,65 sedangkan dengan berat tubuh total ada di dalam ovarium semakin besar pula.
(gram) didapatkan nilai korelasi sebesar Ikan laut memiliki karakteristik ukuran
0,74 (Gambar 20). Untuk ikan layur jenis telur lebih kecil dibandingkan dengan
T. lepturus dan L. Savala didapatkan ikan air tawar. Fekunditas ikan-ikan laut
hasil bahwa bobot tubuh lebih baik untuk komersial penting pada umumnya lebih besar
menduga nilai fekunditas dibandingkan (Chambers & Leggett, 1996). Berdasarkan
dengan panjang total tubuhnya. Hal ini dapat penelitian Martins & Haimovici (2000) yang
terlihat dari nilai korelasi yang cukup erat telah dilakukan pada perairan ekosistem
antara fekunditas dengan berat tubuh total. utama subtropis Brazil bagian selatan pada
Peningkatan fekunditas berhubungan dengan bulan September hingga Februari, ditemukan
peningkatan berat tubuh dan berat gonad bahwa diameter telur ikan layur T. lepturus
(Solihatin, 2007). Hubungan fekunditas yang diambil dari TKG III dan TKG IV
dengan panjang total dalam penelitian ini mencapai 0,8 mm dari 56 sampel gonad ikan
menunjukkan hubungan koefisien korelasi layur. Shiokawa (1988) dalam Nakamura
yang kecil. Hal ini diduga karena terdapatnya dan Parin (1993) menyatakan bahwa telur
fekunditas yang bervariasi pada ikan-ikan ikan layur T. lepturus adalah pelagis dengan
yang mempunyai ukuran panjang hampir ukuran diameter telur antara 1,59-1,88 mm.
sama.
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 227

Dari sebaran frekuensi diameter telur Ikan layur T. lepturus betina lebih cepat
TKG IV ikan T. lepturus dan L. savala matang gonad dibandingkan ikan jantan.
maka diperoleh modus penyebaran dua Sedangkan ikan L. savala jantan lebih cepat
puncak. Ini menandakan bahwa ikan T. matang gonad dibandingkan ikan betina. Pada
lepturus dan L. savala tergolong kelompok saat penelitian, komposisi TKG III dan TKG
ikan yang memijah dengan mengeluarkan IV tertinggi untuk spesies T. lepturus dan L.
telur sebagian-sebagian (partial spawner), Savala terdapat pada bulan Juli. Penelitian
dimana telur yang sudah matang dan berada dilakukan mewakili musim timur (Juli dan
dipuncak pertama akan dikeluarkan terlebih September) dan mewakili musim peralihan
dahulu menyusul dengan pengeluaran telur (November). Nilai fekunditas ikan betina T.
yang berada dipuncak berikutnya. Sama lepturus berkisar antara 2877-16875 butir.
halnya dengan penelitian Wojciechowski Sedangkan nilai fekunditas ikan L. savala
(1972) yang menyatakan bahwa ikan layur betina berkisar antara 4399-15261 butir.
T. lepturus L. (Trichiuroidae) di Teluk Mau- Berdasarkan pola penyebaran diameter telur
ritania mempunyai periode reproduksi secara diduga bahwa ikan T.lepturus dan L.savala
partial spawning pada lapisan permukaan memijah secara partial spawner.
dimana suhu dan salinitas berperan penting.
Menurut Wojciechowski (1972), spesies DAFTAR PUSTAKA
ikan layur melakukan proses pemijahan pada
bulan Mei hingga Oktober. Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine
Fisheries. Tata McGraw-Hill Publis-
hing Company Limited. New Delhi.
Frekuensi (%)

250 hal.

Chambers, R.C. & W.C. Leggett. 1996.


A B Maternal Influences on Variation in
Selang kelas diameter telur (mm) Temperate Marine Fishes. Journal
Keterangan: a= 0,30-0,38; b= 0,39-0,47; c= 0,48-0,56; America Zoology, 36 : 180-196.
d= 0,57-0,65; e= 0,66-0,74; f= 0,75-0,83;
g= 0,84-0,92; h= 0,93-1,01; i= 1,02-1,10; j= Effendie, M.I. 1979. Metoda Biologi Per-
1,11-1,19; k= 1,20-1,28; l= 1,29-1,37
m=0,30-0,40 ; n=0,41-0,51 ; o=0,52-0,62 ikanan. Yayasan Dewi Sri. Bogor. 112
; p=0,63-0,73 ; q=0,74-0,84 ; r=0,85-0,95 hal.
; s=0,96-1,06 ; t=1,07-1,17 ; u=1,18-1,28 ;
v=1,29-1,39 ; w= 1,40-1,50.
Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan.
Gambar 4. Sebaran diameter telur ikan layur T.
Yayasan Pustaka Nusantara. Yogya-
lepturus (a) dan L. savala (b)
karta. 163 hal.
SIMPULAN
El-Haweet, A. & T. Ozawa. 1995. Age and
Pola pertumbuhan ikan layur T.lepturus Growth of Ribbon Fish Trichiurus
jantan dan betina di Perairan Palabuhanratu japonicus in Kagoshima Bay, Japan.
adalah allometrik negatif. Pola pertumbuhan Journal Fisheries Science Formerly
ikan jantan spesies L. savala dan G. serpens Nippon Suisan Gakkaishi, Vol 62 (4),
adalah allometrik positif, sedangkan ikan 529-533.
betina spesies L. savala dan G. serpens
adalah allometrik negatif. Rasio kelamin Kwok, K.Y. 1999. Reproduction of
ikan layur ketiga spesies didominasi oleh Cutlassfishes Trichiurus spp. From
ikan jantan. Kisaran rata-rata faktor kondisi The South China Sea. Marine Ecology
ikan T. lepturus dan L. savala betina lebih Progress Series. Vol 176 : 39-47.
besar jika dibandingkan dengan faktor
kondisi ikan jantan. Lagler KF, JE. Bardach, RR Miller & D.
Passino. 1977. Ichtyology. New York,
Ernawati, Y., dan Butet, N.A. 228

USA: John Wiley and Sons inc. di Teluk Palabuhanratu Sukabumi


Jawa Barat. Skripsi. Departemen
Martins, A.S. & M. Haimovici. 2000. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan.
Reproduction of The Cutlassfish Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Trichiurus lepturus In The Southern Institut Pertanian Bogor. Tidak
Brazil Subtropical Convergence Eco- dipublikasikan.
system. Journal Scientia Marina, 64
(1): 97-105. Shih, N.-T. Hsu, K.-C. & Ni, I.-H. Age,
Growth and Reproduction of cutlas-
Nakamura, I. & N.V. Parin. 1993. FAO sshes Trichiurus spp. in the southern
Species Catalogue. Vol 15. Snake East China Sea. 2011 Blackwell
Mackerels and Cutlassfishes of Verlag, Berlin Accepted: November
The World (Families Gempylidae 18, 2010 ISSN Appl. Ichthyol. 27
and Trichiuridae). An Annotated (2011), 13071315.
and Illustrated Catalugue of The
Snake Mackerels, Snoeks, Escolars, Solihatin, A. 2007. Biologi Reproduksi
Gemfishes, Sackfishes, Domine, dan Studi Kebiasaan Makanan Ikan
Oilfish, Cutlassfishes, Hairtails, and Sebarau (Hampala macrolepidota)
Frostfishes Known To Date. FAO Fish di Sungai Musi. Skripsi. Departemen
Synop. Rome. Manajemen Sumberdaya Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Parin, N.V. 1986. Trichiuridae. Fishes of Institut Pertanian Bogor. Tidak dipubli-
the North-eastern Atlantic and the kasikan.
Mediterranean Vol. II: 976-980.
UNESCO. United Kingdom. Steel, R. G. D. & J.H. Torie. 1980. Principle
and Procedure of Statistic. Second
Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhan- Edition. Mc Graw-Hill. Book Com-
ratu. 2007. Data Statistika Perikanan pany, Inc. New York. 748 p.
Tahun 2007. PPN Palabuhanratu.
Sukabumi. Wojciechowski, J. 1972. Observation On
Biology of Cutlassfish Trichiurus
Setiawan, D.R. 2006. Ketajaman Penglihat- lepturus L. (Trichiuroidae) of Mauri-
an Ikan Layur (Trichiurus spp.) tania Shelf. Journal Acta Ichthyologica
Hasil Tangkapan Pancing Rawai Et Fiscatoria, Vol.II, Fasc 2.
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No. 3, November 2012: 232 - 240
ISSN 1411 - 0903

ONCOSPERMA TIGILLARIUM
MERUPAKAN BAGIAN PALINO KARAKTER DELTA PLAIN
DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN

Winantris1., Syafri, I2., dan Rahardjo, AT.3


Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran Bandung
1,2,

3
Program Studi Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung
E-mail: Winantris@yahoo.com

ABSTRAK
Delta Mahakam adalah salah satu delta terkenal sebagai penghasil minyak bumi. Delta ini termasuk tipe
campuran yang dipengaruhi proses sungai dan pasang surut. Enam puluh sampel diambil dari delta plain
dan delta front telah dianalisis. Pemisahan polen dari sedimen menggunakan metode asetolisis. Pola
penyebaran polen Oncosperma tigillarium dianalisis dengan metode kluster. Uji beda Mann Whitney
digunakan untuk melihat perbedaan kelimpahan polen di delta plain dan delta front. Kelimpahan
polen di delta plain lebih tinggi daripada delta front. Seluruh sampel dari delta plain mengandung
polen Oncosperma tigillarium, tetapi tidak seluruh sampel dari delta front mengandung polen tersebut.
Rata-rata jumlah polen Oncosperma tigillarium di delta plain 15,23 dan di delta front 3,6. Temuan ini
menunjukkan bahwa delta plain mendapat pasokan polen Oncosperma tigillarium lebih banyak dan
merata daripada delta front. Polen tersebut dapat menjadi salah satu penciri dataran delta bersama polen
lain.

Kata kunci: Delta plain, polen Oncosperma tigillarium, palino karakter

ONCOSPERMA TIGGILARIUM
IS A PART OF PALINO CHARACTER OF DELTA PLAIN
IN MAHAKAM DELTA, KALIMANTAN

ABSTRACT
Mahakam Delta is one of the famous deltas in the world because of its big size delta that produce
hydrocarbon. The delta included mixed fluvial-tide dominated deltas. Sixty samples from delta plain and
delta front were analyzed. Acetolyzed method was used to separate pollen from sediment. The patterns
of distribution of Oncosperma tigillarium pollen was analyzed by cluster method. Mann Whitney test
was used to know differences in pollen abundances between delta plain and delta front. All delta plain
samples contain Oncosperma tigillarium with average 15.32. There are two samples from delta front
which do not contain Oncosperma tigillarium. The average number of this species in delta front is only
3.6. This finding shows that all of delta plain surface get Oncosperma tigillarium pollen supply equally.
Based on those results, Oncosperma tigillarium can be used as pollen character of delta plain.

Key word: Delta plain, Oncosperma tigillarium, pollen character

PENDAHULUAN Mahakam mencerminkan ciri-ciri fisik hasil


pengendapan arus sungai dan arus pasang
Pulau Kalimantan adalah wilayah surut (Allen & Chamber, 1998). Delta
dengan iklim tropik basah. Karakter vegetasi Mahakam diklasifikasikan kedalam tipe
hutan tropik basah memiliki keragaman mixed fluvial-tide deltas (Storm dkk, 2005),
jenis sangat tinggi (Yacobs,1988) Topografi tetapi Fisher dkk (1969) menyebutnya
wilayah Kalimantan meliputi dataran rendah sebagai tipe fluvial dominated deltas.
sampai dataran tinggi, sehingga memung- Morfologi delta tediri dari delta
kinkan ditemui berbagai tipe vegetasi. plain, delta front dan prodelta. (Walker dan
Delta Mahakam adalah salah satu Bhattacharya, 1992). Wilayah delta plain
delta popular di dunia yang berada di berdasarkan tipe vegetasinya dibagi lagi
wilayah Kalimantan Timur. Sedimen Delta menjadi upper delta plain dan lower delta
Winantris, Syafri, I.,, dan Rahardjo, AT. 233

plain (Allen dan Chamber, 1998).


Luas Delta Mahakam keseluruhan
mencapai 15.000 ha, berada pada posisi
geografis 021-110 LS dan 11715-
11740BT. Permukaan delta ditumbuhi
oleh berbagai jenis tumbuhan penghasil
polen dan spora. Distribusi vegetasi Delta
Mahakam dibagi menjadi empat zona terkait
dengan morfologi delta (Allen dan Chamber,
1988; Salahudin, 2006). Zona vegetasi Delta
Mahakam dari arah proximal menuju ke
bagian distal delta adalah sebagai berikut:
1. Zona hutan tropik dataran rendah
menempati bagian paling proksimal
Gambar 1. Polen Oncosperma tiggilarium
delta, zona ini berada di bagian upper (Perbesaran mikroskop 1000x)
delta plain
2. Zona hutan campuran dan palmae, pohon nibung. Fosil polen Oncosperma
posisi zona ini dimulai dari batas akhir telah dilaporkan oleh beberapa peneliti,
zona hutan tropik dataran rendah hingga antara lain dari batuan sedimen berumur
bagian tengah lower delta plain, Oligosen dari Kalimantan (Uhl & Dransfield,
3. Zona hutan rawa Nypa, menempati 1987; Thanikaimoni, 1987), batuan sedimen
hampir separuh dari lower delta plain, Delta Mahakam berumur Pliosen (Cartini
dari batas hutan campuran sampai & Tissot, 1998) batuan sedimen berumur
perbatasan mud flat. Holosen dari Baratdaya Pulau Kalimantan
4. Zona hutan mangrove, zona ini (Thanikaimoni, 1987).
menempati bagian distal dari lower Polen Oncosperma dikelompokan ke
delta plain tepatnya di wilayah mud flat. dalam sub lingkungan mangrove belakang.
Polen tersebut sering ditemukan bersamaan
Pembentukan delta dikendalikan oleh dengan polen dari lingkungan mangrove
pasokan sedimen yang diangkut melalui (Haseldonckx, 1974). Hasil riset terdahulu masih
distributary channel dan tidal channel terbatas pada tingkat genus, belum teridentifkasi
(Allen & Chamber, 1988). Polen palmae di sampai spesies. Berkaitan dengan hal tersebut
wilayah Delta Mahakam berasal dari wilayah perlu dilakukan diferensiasi lebih lanjut sampai
hulu. Polen palmae tersebut terangkut dan tingkat spesies agar terhindar dari kekeliruan
terdistribusikan melalui distributary channel dalam memahami data lingkungan pengendapan
dari hulu menuju hilir delta. Seberapa maupun sebagai indikator sumber sedimen.
besar peran arus sungai mendistribusikan Masalahnya di Indonesia sedikitnya terdapat
polen palmae tersebut akan tercermin dari dua jenis Oncosperma, yaitu Oncosperma
kelimpahan polen Oncosperma tigillarium tigillarium dan Oncosperma horridum. Kedua
yang diendapkan di wilayah delta. Oncosperma tersebut tumbuh pada habitat yang
Penelitian ini bertujuan untuk menge- berbeda. Oncosperma horridum tumbuh di
tahui penyebaran polen Oncosperma tigil- dataran tinggi yang menempati tebing-tebing,
larium dari tempat tumbuhnya yaitu wilayah sedangkan Oncosperma tigillarium tumbuh di
upper delta plain menuju ke lower delta tepi sungai pada zona hutan mangrove belakang
plain dan delta front (Gambar 1). Dengan mendekati daratan (Witono, 2005).
diketahui pola penyebaran polen tersebut Onc ospe rma tigillarium da la m
dapat digunakan sebagai salah satu penciri klasifikasi adalah anggota familia Palmae,
lingkungan pengendapan delta. subfamili Arecoidae (Sowumni, 1972, Uhl &
Oncosperma tigillarium mempunyai Dransfield, 1987). Tumbuhan Oncosperma
sinonim Oncosperma filamentosa. Masya- tigillarium dapat dikenali dengan ciri-ciri sbb:
rakat lokal menyebutnya sebagai
Oncosperma Tigillarium Bagian Palino Karakter Delta Plain 234

a. Tumbuhan tegak, tinggi 9-25 m, terminologi colpi tidak ada perbedaan


membentuk rumpun. yang signifikan. Hesse dkk (2009), lebih
b. Batang berwarna abu-abu, berduri tajam sederhana dalam mendeskripsikan sulci,
dengan panjang 2,5-6,5 cm, warna duri mereka hanya menitikberatkan pada posisi
hitam, duri di bagian bawah rontok pada distal dari bentuk aperture yang memanjang,
saat batang tumbuh dewasa sedangkan Erdtmant (1966), mensyaratkan
c. Garis tengah batang antara 10-25 cm, adanya perbandingan panjang dengan lebar
tangkai daun coklat dan bersisik lebih dari dua pada posisi distal. Faktanya
d. Panjang tandan 2,5-6,6 cm, bunga bisek- Oncosperma tigillarium memunyai aperture
sual dan berada di bawah mahkota, memanjang dengan perbandingan antara
panjang daun 30-60 cm. panjang dan lebar >2, terletak pada posisi
distal, dengan demikian penamaan sulci
Ciri utama polen Oncosperma tigil- untuk aperture Oncosperma tigillarium
larium adalah ornamentasi bertipe clavae. memenuhi terminologi Erdtman (1966)
(Gambar 1). Pada tampak ekuatorial polen maupun Hesse dkk (2009). Penamaan
berbentuk eliptik, aperture monocolpate. sulci inilah yang lebih popular digunakan
Colpus sama panjang dengan sumbu dibandingkan dengan colpi.
ekuator, P 19.0 1.9 , E1 31 2.3, E2 25
1.4 (Sowumni, 1972). Uhl & Dransfield BAHAN DAN METODE
(1987), menyatakan bentuk polen lonjong
sampai bundar dengan aperture berjenis Sebanyak 60 sampel acak diambil dari
sulci berjumlah satu. sedimen permukaan delta plain dan delta
Oncosperma tigillarium yang merupa- front dengan menggunakan grab sampler.
kan anggota dari subtribe Oncospermatinae Untuk mengetahui pola penyebaran polen
dikelompokan ke dalam sub tipe 1A, yaitu Oncosperma tigillarium secara kuantitatif,
kelompok polen dengan aperture symmetric dilakukan pengelompokan menggunakan
monosulcate. Ciri utama aperture sub metoda kluster dengan bantuan program
tipe 1A adalah panjang sulci sama dengan SPSS. Fungsi dari analisis kluster adalah
sumbunya dan mencapai ujung (Harley untuk mengelompokan data yang mempunyai
dan Baker, 2001). Dalam hal ini terdapat kemiripan karakter di antara anggotanya
perbedaan pemberian nama aperture antara (Santoso, 2010). Dalam penelitian ini yang
Sowumni (1972), dengan Harley &Baker dikelompokan adalah anggota sampel yang
(2001). Sowumni (1972), menyebut memiliki kemiripan dalam kuantitas. Oleh
aperture sebagai bentuk colpi sedangkan karena itu, melalui analisis kluster akan
Harley & Baker (2001) menyebutnya dikelompokan titik-titik sampel yang memiliki
sebagai sulci, namun demikian mereka kuantitas polen Oncosperma tigillarium ter-
memberikan penjelasan yang sama untuk tentu, sehingga dapat diketahui tingkatan
panjang aperture. Perbedaan penentuan jenis kelimpahan Oncosperma tigillarium wilayah
aperture tersebut berlatar belakang pada delta.
persepsi dari posisi distal dan ekuatorial. Uji statistik untuk melihat perbeda-
Menurut Erdtmant (1966), colpi adalah an rata-rata kelimpahan polen yang ter-
aperture yang mempunyai perbandingan endapkan di delta plain dan delta front
antara panjang dengan lebar >2, membujur menggunakan Mann whitney test pada taraf
pada posisi ekuatorial. Sementara Hesse 5%. Pemilihan ini berdasarkan kepada
dkk (2009), menyatakan bahwa colpi fungsi dari uji Mann whitney, yaitu untuk
merupakan aperture yang memanjang membandingkan rata-rata dua kelompok
dengan rasio panjang dan lebar lebih dari sampel independen ( Nasoetion & Barizi,
dua, berada pada bagian ekuatorial. Sulci 1985; Santoso, 2010). Sehingga dengan uji
merupakan aperture yang memanjang terletak Mann whitney dapat diketahui signifikansi
di bagian distal. Apabila membandingkan perbedaan kelimpahan polen Oncosperma
kedua pendapat tersebut, ternyata untuk tigillarium di lingkungan delta plain dan
Winantris, Syafri, I.,, dan Rahardjo, AT. 235

delta front. menyatakan suatu takson dapat digunakan


Preparasi sampel bertujuan untuk penunjuk zona, yaitu takson tersebut harus
memisahkan polen dari sedimen dengan mudah dikenali, penyebarannya merata di
menggunakan metode asetolisis. Proses suatu wilayah dengan jumlah yang cukup.
tersebut dilaksanakan di laboratorium Palino- Habitat Oncosperma tigillarium terbatas
logi Institut Teknologi Bandung. Asetolisis di wilayah upper delta plain, persisnya
merupakan reaksi kimia untuk menurunkan di belakang mangrove, namun demikian
polimer selulosa dan bahan organik melalui penyebaran polennya merata di lingkungan
pergantian grup hidroksil dengan grup asetil. delta plain dengan jumlah yang cukup
Penurunan polimer selulosa ini membentuk banyak. Morfologi polen tersebut dapat
triasetat selulosa yang dapat larut dalam asam dengan jelas dibedakan dari jenis lain
asetat. Keuntungan dari metode ini adalah sehingga dapat dikenali dengan mudah.
menghasilkan polen lebih bersih sehingga
Tabel 1. Distribusi polen Oncosperma
morfologi polen dapat terlihat lebih jelas di
tiggilarium
bawah mikroskop cahaya ( Hesse dkk, 2009,
Jones & Rowe,1999). Kode Jumlah Polen
Deskripsi dan identifikasi polen dila- sampel Delta plain (DP) Delta front (DF)
kukan dengan menggunakan mikroskop 1 48 1
transmisi Olympus tipe CX 21, pada per-
2 10 8
besaran okuler 10x, perbesaran objektif 10x,
3 3 0
40x dan 100x.
4 8 5
5 8 9
HASIL DAN PEMBAHASAN
6 36 1
7 8 1
Polen Oncosperma tigillarium adalah
8 14 2
jenis palmae yang paling sering dan paling
banyak ditemui dalam endapan Delta 9 9 2

Mahakam, sehingga penting untuk dikaji 10 12 2


lebih lanjut untuk dijadikan palino karakter 11 22 1
melengkapi temuan-temuan sebelumnya. 12 22 8
Penulis terdahulu (Haseldonckx, 1974, & 13 11 4
Morley, 1991), menjadikan polen mangrove 14 7 4
sebagai kunci untuk mengidentifikasi ling- 15 9 7
kungan pengendapan delta. Hal tersebut 16 10 1
dikarenakan vegetasi mangrove tumbuh 17 17 17
di perbatasan lingkungan darat dengan 18 5 2
lingkungan laut. Caratini dan Tissot (1998), 19 10 10
menyatakan habitat dari vegetasi mangrove 20 22 0
berada di garis pantai. Analisis polen dari 21 10 5
endapan Delta Mahakam mendapati polen 22 15 1
palmae mencapai 15,53% di delta plain dan 23 11 1
14% di delta front. Fakta ini memberikan ciri 24 30 3
tersendiri terhadap endapan delta, sehingga 25 1072 1
berpotensi untuk dijadikan penunjuk ling-
27 14 4
kungan pengendapan delta.
28 3 259
Suatu biota dapat digunakan untuk
29 36 1
penunjuk lingkungan, jika biota tersebut
30 12 3
hidup dalam lingkungan yang terbatas dengan
kondisi khas. Jenis biota demikian disebut Polen Oncosperma tigillarium, ditemu-
sebagai biota stenotopic (Allaby, 1999; kan pada seluruh sampel yang berasal dari
Cheetam, dkk 2001). Rahardjo dkk (1994), delta plain, sedangkan dari delta front
Oncosperma Tigillarium Bagian Palino Karakter Delta Plain 236

terdapat dua sampel yang tidak mengandung paling mungkin adalah tangkai bunga patah
polen tersebut, yaitu pada sampel nomor 3 atau pohonnya tumbang, sehingga terjadi
dan 20, table 1. Data ini menggambarkan akumulasi polen yang berlebihan. Dua
bahwa seluruh permukaan delta plain data tersebut selanjutnya di analisis untuk
mendapat pasokan polen Oncosperma mendapatkan kepastian apakah termasuk
tigillarium. Sebaliknya wilayah delta front dalam kategori outlier. Menurut Santoso
yang posisinya lebih mengarah ke laut tidak (2010), salah satu cara untuk mengetahui
mendapat pasokan polen secara menyeluruh. bahwa data tergolong outlier adalah dengan
Caratini dan Tissot (1998), mengidentifikasi melakukan standardisasi. Apabila data
keberadaan polen Oncosperma tigillarium mempunyai nilai Z diluar rentang -2,5
dari sampel sedimen delta plain berumur sampai + 2,5, maka data tersebut adalah
Pliosen-Holosen. Pada endapan berumur outlier. Berdasarkan perhitungan diperoleh
Pliosen Atas polen Oncosperma tigillarium nilai Z sebesar 5,28 untuk sampel nomor
ditemukan bersama-sama dengan Nypa 25 delta plain, 5,27 untuk sampel nomor 28
fruticans. delta front. Dari hasil penelusuran tersebut
Rata-rata polen Oncosperma tigil- menunjukkan bahwa kedua data tersebut
larium di delta plain 50,5 butir polen per termasuk dalam kategori outlier, dengan
sampel dengan median 11,5 sedangkan dari demikian keduanya harus dikeluarkan dari
delta front rata-ratanya 13,2 dengan median perhitungan.
2. Hasil uji beda rata-rata menunjukkan Setelah outlier data dikeluarkan dari
terdapat perbedaan yang sangat signifikan perhitungan, diperoleh rata-rata sebesar
dari kelimpahan polen Oncosperma tigil- 15,23 untuk delta plain dan 3,6 untuk
larium di delta plain dengan di delta front delta front (Tabel 3). Tampak angka rata-
( Tabel 2). rata tersebut medekati angka mediannya,
Kelimpahan ekstrim yang terjadi pada ini berarti bahwa sampel-sampel tersebut
sampel nomor 25 delta plain dan nomor dalam kondisi baik sehingga rata-rata yang
28 delta front dikarenakan adanya kondisi terakhir ini yang lebih representatif.
khusus. Setelah dilihat secara seksama Bedasarkan uji beda rata-rata Mann
ternyata butir-butir polen yang ditemukan whitney, kelimpahan polen di delta plain
pada sampel-sampel tersebut menunjukkan lebih tinggi dari pada di delta front (Tabel
tanda-tanda serupa, yaitu butir polen belum 2). Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa
terpisah secara sempurna antara satu polen posisi delta front lebih jauh dari sumber
dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan polen Oncosperma tigillarium yang berada
bahwa polen yang terjatuh adalah polen yang di upper delta plain. Transpor polen dari
belum matang untuk proses penyerbukan, wilayah upper delta plain kuantitasnya akan
tetapi dikarenakan faktor lain. Situasi yang berkurang setelah melalui proses sedimentasi
Tabel 2. Hasil Uji Mann Whitney terhadap rata-rata kelimpahan Oncosperma tiggilarium

Pengamatan Lokasi Rata-rata Median Z p-value


O. tiggilarium Delta plain 50,5 11,5 -5,252** 0
Delta front 13,2 2

**Uji signifikan pada 1%, * Signifikan pada 5%

Tabel 3. Hasil standardisasi data


Pengamatan Lokasi Minimum Maximum Rata-rata
O. tiggilarium Delta plain 3 48 15,2758621
Delta front 0 17 3,62068966
Winantris, Syafri, I.,, dan Rahardjo, AT. 237

di wilayah yang lebih proximal. Posisi Berdasarkan analisis kluster di delta


upper delta plain berada paling proximal plain diperolah dua kelas (Gambar 3).
dan wilayah delta front lebih distal dengan Masing-masing klaster digambarkan dengan
sudut kemiringan landai. Kondisi tersebut garis yang berbeda. Anggota kluster dua (--
sangat memungkinan aliran sungai maupun x--) dengan rata-rata kelimpahan lebih besar
aliran permukaan mentranspor sebagian dari 22 butir dan anggota kluster satu (
polen Oncosperma tigillarium yang jatuh di ) dengan rata-rata kurang dari 22. Kluster
upper delta plain ke arah lower delta plain satu meliputi wilayah tepi delta plain yang
dan selebihnya terangkut menuju wilayah berhubungan dengan distributary channel.
yang lebih distal yaitu menuju delta front. Kluster dua berada di wilayah tengah lower
Sabiham & Hisao (1986), menyatakan bahwa delta plain yang terhubung oleh sungai
penyebaran Oncosperma di Cekungan yang lebih kecil. Wilayah ini menjadi
Sungai Batang Hari berada pada wilayah tempat pengendapan polen Oncosperma
peralihan pada endapan Sungai dan pantai. tigillarium paling tinggi. Fakta tersebut
Sumawinata (1998), mengklasifikasikan memperlihatkan bahwa transpor polen
penyebaran polen Oncosperma filamentosa Oncosperma tigillarium mengikuti pola
sebagai inudated by exeptional tides di channel (Gambar 2).
Cekungan Barito bawah. Penyebaran polen Analisis kluster yang dilakukan ter-
Oncosperma filamentosa yang merupakan hadap sampel delta front menghasilkan dua
sinonim Oncosperma tigillarium berada pada kelas berdasarkan jumlah keterdapatannya.
wilayah yang mengalami penggenangan Kluster satu ( - ) menggambarkan
arus pasang laut dalam kondisi-kondisi kelompok sampel dengan kandungan polen
tertentu saja. Hasil penelitian tersebut juga lebih sedikit, yaitu kurang dari tujuh butir.
menjelsakan bahwa penyebaran polen ter- Anggota dari kluster dua () ini adalah
sebut berada pada lingkungan yang sangat sampel yang memiliki jumlah polen paling
terbatas. sedikit 7. Posisi titik-titik sampel tersebut
Untuk melihat pola distribusi polen seluruhnya bertepatan atau berdekatan
Oncosperma tigillarium berdasarkan kelim- dengan muara atau ujung dari distributary
pahannya di lingkungan delta plain dan delta channel. Jika dilihat dari sisi utara delta
front masing-masing dibuat analisis kluster. sampel nomor 2 tepat berada di depan Muara

Gambar 2. Arah transpor ( ) polen Oncosperma tiggilarium dari habitatnya upper delta plain
(proksimal delta) menuju lower delta distal
Oncosperma Tigillarium Bagian Palino Karakter Delta Plain 238

Gambar 3. Distribusi polen Oncosperma tiggilarium dari proksimal ke distal delta di wilayah
Delta Mahakam
Lerong. Lebih ke arah selatan hampir pada wilayah lebih distal sampai ke muara-muara
bagian tengah dari delta front, sampel nomor sungai yang berada disekitar wilayah delta
5 dan 19 berada di sekitar Muara Tambora. front (Gambar 3).
Lebih ke selatan lagi yaitu sampel nomor 17
berlokasi di depan P. Pemankaran berdekatan SIMPULAN
dengan Muara Pemankaran. Sampel 12
berada di ujung distributary channel yang Oncosperma tiggllarium merupakan
berada didepan P.Muara Ulu, berdekatan tumbuhan stenotopic, tumbuhan ini meng-
dengan Muara Ulu Kecil, dan sampel nomor hasilkan polen dalam jumlah banyak.
15 berada didepan P. Timbang berdekatan Polen Oncosperma tiggllarium menyebar
dengan Muara Bujit. Fakta tersebut mem- keseluruh lingkungan delta plain. Penyebaran
berikan penguatan terhadap peranan distri- polen dominan pada lingkungan yang
butary channel dalam penyebaran butir polen terkoneksi dengan distributary channel.
Oncosperma tigillarium dari habitatnya Morfologi polen Oncosperma tiggllarium
ditepian sungai di upper delta plain menuju sangat spesifik sehingga dengan cepat dapat
Winantris, Syafri, I.,, dan Rahardjo, AT. 239

dikenali. Polen Oncosperma tigillarium of Allan Cheetham. Illinois.University


menjadi salah satu karakter sedimen dari of Chicago Press, Chicago
lingkungan delta plain. Oncosperma tigilla-
rium sangat sensitif terhadap perubahan Fisher, W. L. Brown, A.J. Scott. &
lingkungan yang mengakibatkan perubahan J.H.McGowen., 1969. Delta System
bentang alam. Dengan demikian perubahan In the Exploration for Oil and Gas: A
kuantitas polen Oncosperma tigillarium Reseach Colloquium. Texas Bureau of
dalam sedimen dapat dijadikan indikator Economic Geology. Austin. University
perubahan lingkungan pengendapan. of Texas at Austin.

UCAPAN TERIMA KASIH Giesen, W., S. Wulffraat, M. Zieren & L.


Scholten, 2007. Mangrove guidebook
Kami menyampaikan terima kasih dan for Southeast Asia. Bangkok, Thailand
penghargaan kepada: BP MIGAS dan Food and Agricultural Organisation &
TOTAL Indonesie atas pemberian izin untuk Wetlands.
melakukan penelitian. Kepala Laboratorium
Palinologi, Program Studi Geologi, ITB, Harley, M.M & Baker, W.J., 2001. Pollen
yang telah memberikan kesempatan untuk aperture morphology in Arecaceae:
melakukan preparasi polen. Teman sejawat application whithin Phylogenetic
di Laboratorium Paleontologi Fakultas analyses, and a summary of the fossil
Teknik Geologi Universitas Padjadjaran record of palm-like pollen. Grana, 40:
Bandung atas berbagai dukungannya. 45-77

Hesse, M., Halbitter, H., Zetter, R., Weber,


DAFTAR PUSTAKA M., Buchner, R., Froch-Radivo, A &
Ulrich, S., 2009. Pollen Terminology
Allaby, M. 1999. A Dictionary of Zoology, An Ilustrated handbook, New York,
Encyclopedia.com, diunduh 17 April Springer.
2011, melalui http://www.encyclopedia.
com/doc/1O8-stenotopic.html Haseldonckx, P., A palynological interpretation
of palaeoenvironment in S.E. Asia. Sains
Allen, G.P. & J.L.C. Chambers (1998)- Malays., 1974, 3, 119127.
Sedimentation in the modern and
Miocene Mahakam Delta. Jakarta. Jones, T.P & Rowe., 1999. Fossil Plant and
Indonesian Petrol. Assoc. Spores: Modern Techniques. London
The Geological Society
Boggs, S., 2006. Principles of Sedimentology
and Stratigraphy (4th edition). New Nasoetion, A.H. & Barizi, 1985. Metode
Yersey. Pearson Prentice Hall. Statistika Untuk Penarikan Kesimpulan,
Gramedia, Jakarta.
Caratini, C.,Tissot.C., 1998. Paleogeographycal
Evolution of The Mahakam Delta in Rahardjo, A.T., Polhaupessy, A.A., Wiyono,
Kalimantan, Indonesia During The S., Nugrahaningsih, L. & Lelono,
Quarternary and Late Pliocene, Riview E.B., 1994. Zonasi Polen Tersier Pulau
of Paleobotanty and Palynology, 55: Jawa. Makalah PIT IAGI XXIII, 77-8.
217-228
Sabiham,S & Hisao, F., 1086. The Problem
Cheetham, A. H., J. B. C. Jackson, S. In South Asia, Study of Floral
Lidgard, & F. K. McKinney. 2001. Composition of Peat Soil in the Lower
Evolutionary patterns: Growth, form, Batang Hari River Basin of Jambi,
and tempo in the fossil record in honor Sumatera. Journal Southeast Asian
Oncosperma Tigillarium Bagian Palino Karakter Delta Plain 240

Studies, Vol. 24. No. 2. p:113-132. Thanikaimoni, G. 1987. Mangrove Palynology,


Institute Francais De Pondichery,
Salahudin, Husein,, 2006. Memahami Proses Travaux de la Section Scientifique et
Alamiah Degradasi Lingkungan Delta Technique 24:1-100.
Mahakam. http://io.ppi-jepang.org,
diunduh 13-8-2008. Uhl, N.W. & Dransfield, J. 1987. Genera
Palmarum, a classification of the palms
Santoso,S., 2004. Statistik Multivariat, Konsep based on the work of Harold E. Moore
dan Aplikasi dengan SPSS. Elex Jr. Liberty Hyde Bailey Hortorium
Media Komputindo.Jakarta. Kompas and the International Palm Society,
Gramedia. Kansas. Lawrence.

Santoso, S, 2010. Statistik Nonparametrik Walker G. R. & James N.P. 1992., 1992,
Konsep dan Aplikasi dengan SPSS, Facies Models; Response to Sea
Elex Media Komputindo. Jakarta. Level Change. Canada, Geological
Kompas Gramedia. Association of Canada.

Sowumni, M.A., 1972. Pollen Morphology Witono, J.R. 2005. Keanekaragamaan Palm
of the Palmae and its bearing on (Palmae) di Gunung Lumut, Kalimantan
Taxonomy Amsterdam. Elsevier Tengah. Biodiversitas, vol 6, no.1 hal
Publishing Company. 22-30.

Storms, J. E..A., Hoogendoorn, R.M., Dam, Yacob, M., 1988. The Tropical Rain Forest
R.A.C., Hoitink, A.J.F. & Kroonenberg, A First Encounter. Berlin. Springer-
S.B., 2005. Late Holocene evolution Verlag.
of Mahakam Delta, East Kalimantan,
Indonesia. Journal Sedimentary Yulianto, E., Sukapti, W.S., Rahardjo,
Geology 18: 149-166 . T., Noeradi, D., Siregar, D.A.,
Suparan, P., & Hirakawa, K., 2004.
Sumawinata, B. 1998. Sediments of the Lower Mangrove Shoreline Responses To
Barito Basin in South Kalimantan: Holocene Environmental Change,
Fossil Pollen Composition. Journal Makasar Strait, Indonesia, Review
Southeast Asian Studies, Vol.36. No.3, of Paleobotany and Palynology 131
p: 293-316. p.251-268.
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No. 3, November 2012: 164 - 173
ISSN 1411 - 0903

OUTDOORS BATCH CULTIVATION OF MARINE MICROALGAE


Nannochloropsis sp USING PARALLEL GLASS TUBULAR PHOTOBIOREACTOR

Astuti, J.T., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T.


Environmental Working Group, Research Centre for Physics, Indonesian Institute of Sciences (LIPI)
Jl.Sangkuriang Bandung 40135
E-mail: jtri001@lipi.go.id; jtriastuti@yahoo.co.id

ABSTRACT
Microalgae Nannochloropsis sp is autotrophic organism that can utilize atmospheric CO2 and sunlight
for growth via photosynthesis. It is potential sources for biodiesel due to its high lipid content. For
mass production, two basic designs of photo-bioreactor are available, i.e. open and enclosed systems.
Study was conducted to investigate the growth performance of Nannochloropsis sp in outdoor batch
culture system using Parallel Enclosed Glass-Tubular Photo-bioreactor (PBR) for 18 days with
modified f/2 medium. Nutrient N-P was calculated based on the empiric structure of microalgae cell
(C1O0.48H1.83N0.11P0.01) with target of biomass yield was 1g.L-1. Temperature, pH, Optical Density (OD),
Dry Cell Weight (DCW), population, lipid content, and fatty acid were observed. Data showed that
temperature fluctuated between 22oC and 35oC, pH is stable at 7.0-7.5, OD increased from 0.134 to
0.878, DCW increased 39 times higher than its initial value. At 18th day, the cell diameter varied in range
of 1-9 m, cell weight increased 5.3 times (3.5 to 18.4pg.cell-1), and lipid content is 35.71%. Fatty acid
was composed by saturated fatty acids (92.39%) that covered of Lauric (20.30%), Myristic (12.69%),
Palmitic (50.05%), and Stearic (9.35%) that suitable for biodiesel. Unsaturated fatty acid was performed
by Oleic acid (3.49%).

Key words: CO2 mitigation, biodiesel, Nannochloropsis sp, photo bioreactor.

KULTIVASI MIKROALGA NANNOCHLOROPSIS sp SECARA BATCH MENGGUNAKAN


PARALLEL GLASS TUBULAR PHOTOBIOREACTOR PADA KONDISI ALAMI

ABSTRAK
Mikroalga Nannochloropsis sp adalah organisme autotroph yang dapat memanfaatkan CO2 udara dan
sinar matahari untuk pertumbuhan melalui fotosintesis. Organisme tersebut potensial untuk biodisel
karena kadar lipidnya tinggi. Untuk produksi, dikenal dua model fotobioreaktor, yaitu system terbuka
dan tertutup. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan Nannochloropsis sp di dalam
outdoor batch culture system menggunakan Parallel Enclosed Glass-Tubular Photo-bioreactor (PBR)
selama 18 hari dengan media f/2 modifikasi. Nutrisi N-P dihitung sesuai rumus empiris sel mikroalga
(C1O0,48H1,83N0,11P0,01) dengan target produksi biomasa 1gL-1. Suhu, pH, OD, DCW, populasi, kadar lipid
dan komposisi asam lemak diamati selama penelitian. Data menunjukkan suhu berfluktuasi antara 22-
35oC. pH stabil di 7,0-7,5. OD meningkat dari 0,134 ke 0,878. DCW meningkat 39 kali. Pada hari ke
18, diameter sel bervariasi antara 1-9 m. Berat sel meningkat 5,3 kali (3,5 ke 18,4 pg.cell-1). Kadar
lipid 35,71%. Asam lemak disusun oleh asam lemak jenuh (92,39%), meliputi asam Laurat (20,30%),
Miristat (12,69%), Palmitat (50,05%), dan Stearit (9,35%) yang cocok untuk biodiesel. Asam lemak
tidak jenuh muncul dalam bentuk asam Oleat sebesar 3,49%.

Kata kunci: Mitigasi CO2, biodiesel, Nannochloropsis sp, fotobioreaktor.

INTRODUCTION its high photosynthetic efficiency, biomass


production, and lipid content (Borowitzka
The optimal scenario of atmospheric & Moheimani, 2010). It was reported that
carbon dioxide (CO2) mitigation that involves the most of algal lipids have similar profile
its transition to renewable fuel (biodiesel) by to vegetable oil that suitable for biodiesel
using photosynthetic organisms (microalgae) (Xu et al., 2006). Biodiesel itself is alkyl
should be promoted (Christi, 2007). ester of long-chain fatty acids (triglycerides)
Microalgae are suitable for biodiesel due to that derived of fatty acids by esterification
Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. 165

with methanol or ethanol. It is renewable, MATERIAL AND METHOD


biodegradable and nontoxic (Li et al., 2008).
Some researchers reported biodiesel is Microalgae Standard Culture
composed by fatty acids with carbon atoms The Research Centre for Biotechnology,
of 12-24 (Xu et al., 2006); 16-20 (Christi, Indonesian Institute of as Sciences provided
2007); 10-24 (Hu et al., 2008). standard cultures of Nannochloropsis sp.
The growth and lipid characteristic Cultures were maintained in a modified
of microalgae is determined by the species f/2 medium that used ammonium nitrate
and cultivation parameters. It is important (NH4NO3) as sole nitrogen sources. Medium
to note that high lipid productivity is a key was prepared by using sea water (Ancol
desirable characteristic in the choice of Jakarta), enriched with 8.83x10-4M NH4NO3;
species to use for biodiesel. Selection of fast 3.63 x 10-5M NaH2PO4.1H2O; 1.07 x 10-4M
growing, productive strains, and adaptable Na2SiO3.9H2O; 1x10-5M FeCl3.6H2O; 1x10-
to local climate conditions is a fundamental 5
M Na2EDTA.2H2O; 4x10-8M CuSO4.5H2O;
importance in algal mass culture (Huntley & 3x10-8M Na2MoO4.2 H2O; 8x10-8M
Redalje, 2007). ZnSO4.7H2O; 5x10-8M CoCl2.6H2O; 9x10-7
Microalgae Nannochloropsis sp M MnCl2. 4H2O; 1x10-10M Vitamin B12;
(Eustigmatophyceae) have been considered 3x10-7M Thiamine; and 2x10-9M of Biotin.
as potential sources of renewable energy Cultures were cultivated in outdoor to adapt
due to its high lipid content, i.e. 62% (Hu the local condition, bubbled with filtered
& Gao, 2006); 36.19-46.67% (Astuti et al., atmospheric air (0.47 m). Then, cultures
2008); 28.7% (Gouveia & Oliveira, 2009); with Optical Density (OD) 1 (680 nm) was
44.5% (Su et al., 2010). Nevertheless, the used as inoculums in study.
proper method of cultivation is required
to obtain the high yield, both of biomass Parallel Glass Tubular Photo-bioreactor
and lipid. For mass production, two basic (PBR)
designs are available, i.e. open and enclosed Triplicates of Parallel Glass-Tubular
systems. It was reported that in open ponds, Photo-bioreactor (PBR), i.e. PBR 1; PBR 2;
Nannochloropsis sp collapses after a few and PBR 3 were used for study. The main
weeks due to contamination by bacteria body of PBR is a clear glass tubular with
and competition by other algal species. diameter 4 cm and length 140 cm. Each
The adoption of closed photo-bioreactor is PBR were consisted of eight glass tubular,
required, since open ponds do not ensure a constructed horizontally in series on panel,
long-term reliable cultivation (Pulz, 2001). placed side by side with position at 847 m
Enclosed photo-bioreactors have above sea level, latitude 06o5257.5 SL
received much attention because of its high and longitude 107o3639.8 EL. Silicone
biomass productivity, low contamination, tubes was used for connecting between
and minimal evaporation, able to reduce of glass tubular to transfer and distribute cell
CO2 losses, and easier to control (Grobbelaar and nutrients. Total volume of PBR is 15 L
& Kurano, 2003; Merchuk et al., 2000). The approximately, including spaces of silicone
utilization of various designs of enclosed tubes. PBR system was designed as presented
photo bioreactors could prevent the culture schematically in Figure 1.
to collapse (Vasudevan & Briggs, 2008). Sterilization of glass tubular of PBR
This study was aimed to investigate the was conducted by soaking with sodium
growth characters of Nannochloropsis sp at hydroxide (NaOH) 2% for 24 hours, and
outdoor batch cultivation system in parallel then flashed-out with boiled water until the
glass tubular photo-bioreactors residual of chemicals has been removed
Outdoors Batch Cultivation of marine Microalgae Nannochloropsis Sp using Parallel Glass 166

Figure 1. Schematically design of PBR


system.
Figure 3 Outdoors batch culture systems of
Nannochloropsis sp in PBR.
sole carbon sources, from the bottom part
and circulated continuously with peristaltic
pump to optimize distribution of nutrients
and cells. The cell biomass was harvested at
18th days and then analyzed.

Analytical Methods

Figure 2 The slope regulator of PBR panel Local temperature and pH of culture
(screw type). medium
These parameters were measured
completely (pH 7). PBR was adjusted due to observe the adaptability capacity
facing to north direction with slope of 30o of microalgae cell to local environment
to optimize solar energy absorption. Slope condition. pH was measured by using
could be changed by turning of screw pH meter. Meanwhile, temperature of the
regulator that equipped on panel as displayed atmospheric air and the growth media were
in Figure 2. checked with using thermometer.
Growth Medium and Culture Condition Optical Density (OD) and Dry Cell Weight
Modified f/2 medium (without N, P (DCW)
sources) was prepared, boiled and filled into
PBR 1; PBR 2; and PBR 3 under aseptic OD value of culture reflected of its
condition using peristaltic pump. Nutrient biomass concentration. It was measured
N and P was prepared in aqueous solution, turbidity-metrically at 680 nm according
sterilized, and injected into medium at room to Astuti et al (2008). At the initial
temperature via silicone tube connectors. The of experiment, several levels of cell
addition of N and P was calculated based on concentration of stock culture were prepared
both of the empiric structure of microalgae in series. Then was measured its OD (680
cell, i.e. C1O0.48H1.83N0.11P0.01 (Christi, 2007) nm) using spectrophotometer, and its DCW
and the target of biomass yield in study, i.e. was determined gravimetrically. Then, a
1 g. L-1. standard curve that displayed the correlation
In order to minimize variables of between OD with DCW was created. DCW
experiments, inoculation was carried out in this experiment was calculated based on
aseptically using stock culture (OD680nm = that standard curve as presented in Equation
0.96) in equal concentration (5% v/v), then 1 (R2 = 0.989), and expressed in g.L-1.
incubated in outdoor batch culture system as DCW = (0.969 x OD680)-0.111 .............. (1)
presented in Figure 3. Filtered atmospheric
air was supplied (flow rate 1 L.min-1) as
Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. 167

Cell population, size, and weight and detector were maintained at 250 and
Cell population was determined 300oC, respectively. Temperature was started
microscopically. As much as 2 L of culture at 80oC for 3 min, increased 10oC.min1 until
was spotted in object glass and covered with reached to 260oC, with final hold time for
20x20 mm of cover glass. Immersion oil was 10 min. The condition was set with flow
added and then observed the population of gas 1.1mL.min-1, linear velocity 37.5, and
cell by using Leitz Laborlux D microscope pressure 67.7 kpa. Then, 1 L of sample was
with reproduction ratio 100, and aperture of injected with splittless mode. Fatty acids
lens 1.25 mm. Cell population was calculated were identified by comparison its retention
with considering to the dilution factor times of the peaks in GC-Chromatogram to
and expressed in 1010 cells.L-1. Cell size NIST and Wiley Library. The concentration
was determined by using micrometer that of the fatty acid components was calculated
equipped in microscope system. The average relatively by comparing the peak area (height
of cell weight was calculated by divided of x wide) of individual of fatty acid to the total
DCW with cell population, expressed in peak areas, expressed as the percentage (%)
picogram per cell (pg.cell-1), which 1 pg is of total fatty acids (Astuti et al., 2008).
equivalent to 1x10-12 g.
RESULT AND DISCUSSION
Total lipid content
Total lipids content was extracted with
Temperature and pH of Culture Medium
chloroform-methanol according to method of
The growth of microalgae is affected
Bligh & Dyer (1959). The 15 ml glasses vial
by temperature of the environment, and in
that containing of dried algal biomass (M),
outdoor system, it would be depended on its
2 ml methanol, and 1 ml chloroform was
local climatic situation. In this study, there
kept for 24 hr at 25oC. The mixture was then
is no significant different of temperature
agitated in a vortex for 2 min, again added
in culture medium among the PBR system
1 ml of chloroform and mixed in a vortex
(PBR 1; PBR 2; PBR 3). During the light
for 1 min. Afterward, 2 ml of distilled water
day (08.00 to 16.00), temperature of culture
was added and the mixture was mixed in a
fluctuated in the range of 22-35oC with the
vortex for 2 min. Three layers were obtained
average of 29.6oC (Figure 4). This level is near
by centrifugation for 10 min at 2000 rpm,
with the previous study, i.e. 22.63-34.33oC
i.e. chloroform fraction (bottom), water
(Astuti et al., 2008), which was carried out
(middle), and methanol fraction (upper).
at the same place, but in different period
The chloroform fraction that contain of lipid
of time. In fact, these ranges are relatively
compound was sucked using pipette and
higher than the optimum temperature for
transferred it into a previously weighed of
growth of Nannochlorpsis sp, i.e. 22-27oC
dried and cleaned vial (W0). Then, it was
(Fabregas et al., 2004). Nevertheless, like
dried at oven 105oC for 8 hr, cooled down in
desiccator, and weighed at room temperature
(W1). Lipid was calculated by subtracting
W1 from W0, Lipid content was calculated
by divided (W1-W0) with M, and expressed
in % DCW.

Characterisation of fatty acids


Lipid extract ( 0.60 g) was trans-
methyl-esterification with BF3, and then
analyzed using Gas Chromatography- Figure 4. The average temperature of culture
Mass Spectroscopy (GCMS) QP5000 that medium of Nannochloropsis sp in
equipped with DB-17 Capillary Column (L PBR.
30 m, 0.25 mm). Temperature of injector
Outdoors Batch Cultivation of marine Microalgae Nannochloropsis Sp using Parallel Glass 168

other microalgae, Nannochloropsis sp has been exhausted (Proctor, 1957).


a capability to adapt the local environment, Figure 5 showed that pH of Nanno-
including of the temperature. chloropsis sp was not different among the
Borowitzka & Moheimani (2010) units of PBR. It was stable at 7.5 until of
reported the optimum climatic condition 14th days of cultivation. Afterward, pH was
for high productivity of algae is the area decreased to 7.0 at all of PBR tested. The
with high annual average sunshine and previous study indicated that Chlorella sp
high temperatures. Based on the local and Scenedesmus sp has the same pattern,
climate condition, it would be expected that the pH at the initial growth was 7.0-7.1 and
Indonesia is suitable for mass production of at the 5th day of cultivation decreased to 5.2-
microalgae. In Indonesia, sunlight could be 5.6 (Proctor, 1957). The biochemical process
emerged almost at the whole of year with of algae metabolism itself might cause
the average of sunlight is 6.1-9.7 hr.day-1. the decreasing of pH. It was investigated
Minimum temperature is in the range of 23- that during the dark hours, algae produce
24oC, maximum is 30-33oC, or the average rather than consume of carbon dioxide.
is 27-29oC. The respiratory processes in the darkness
Microalgae can grow autotrophically
or heterotrophically, with a wide range of
tolerance to different temperature, salinity,
pH and nutrient availabilities (Hu et al., 2008;
Brennan & Owende, 2010). Nevertheless,
most algae species are sensitive to free
NH3 (Azov & Goldman, 1982). The use of
ammonia requires much more careful control

NH4NO3 NH4NO3 + NO3- .................. (2)


of algae culture than when nitrate is used as Figure 5. Change of pH level of culture
N source, especially at higher temperatures. medium of Nannochloropsis sp.
In medium, ammonium nitrate (NH4NO3)
would be dissociated to ammonium (NH4+) would be exceeding than the photosynthesis
and nitrate ion (NO3-) as presented in processes. Consequently, the concentration
Equation 2 (Sawyer et al., 1994). of carbon dioxide in the PBR system become
As photosynthesis organisms, micro- higher than the normal process and tends to
algae can utilize both of NH4+ and NO3- as reduce the pH value of the culture (Sawyer
sources of nitrogen for cell synthesis by et al., 1994).
using CO2 and solar energy via biochemical Optical Density (OD) and Dry Cell Weight
reaction (Equation 3, 4). NH4+ ion is the (DCW)
chemical form of nitrogen that most readily
The OD value of culture, which
Solar energy represented its biomass concentration
NH3- +NO2 Cell .................. (3) were not significantly different among the
Chlorophyll PBR units (Figure 6). In average, OD680nm
value of Nannochloropsis sp was increased
Solar energy
NH4- +NO2 Cell .................. (4) linearly with time, i.e. from 0.134 0.002
Chlorophyll at the initial to 0.878 0.012 at the 18th day.
taken up and assimilated by micro-algae. The increasing of this biomass concentration
The previous studies indicated that when indicated that microalgae adapted to the
NH4NO3 is employed in the medium, NH4+ average light intensity present in the culture.
ions are preferentially assimilated and NO3- It was reported (Grobbelaar & Kurano, 2003)
ions are utilized only after the former have that in enclosed PBR batch culture systems,
Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. 169

cell population could be progressively This result is lower than the previous
became low light acclimated. study, which reached DCW in the range of
It was reported that microalgae could 1.6-2.5 g.L-1 (Gouveia & Oliveira, 2009). The
photo-acclimate to various light intensities, low biomass production of Nannochloropsis
both of the spectrum of High Light (HL) sp in study might be affected by the limited
or Low Light (LL). Following inoculation of carbon availability that could be captured
of an outdoor batch culture, because of its for biomass production. In this study, CO2
low density at initial phase, cells receive as sole carbon source was supplied only by
high average illumination and would blowing air into the photo-bioreactor. The
concentration of CO2 in the atmospheric air
is 0.04%. This condition caused the growth
was run un-properly. Microalgae need
concentration of carbon dioxide 2-5% in
medium (Santos et al., 2010).
As describes before, microalgae is an
autotrophic organism that produced organic
matter by capturing carbon dioxide and solar
CO2+H2O (CH2O)+ O2 .................. (5)

(CH2O)+O2 CO2+ H2O .................. (6)


Figure 6. Correlation of OD (680 nm) and age
of Nannochloropsis sp culture.
energy in oxygenic photosynthesis process
(Equation 5). In the other side, microalgae
characteristically have HL acclimated also carry out respiration, both in light and
properties. After a certain time, when dark environment. The overall equation of
culture density increases due to the growth, respiration is the reverse of photosynthesis
the average light per cells progressively as presented in Equation 6 (Madigan et al.,
would become LL acclimated (Grobbelaar 2000).
& Kurano, 2003). The bottleneck of photosynthetic
DCW of Nannochloropsis sp was growth of microalgae in outdoor system
Table 1. DCW in outdoor batch cultivation might be not in the capturing of light energy,
of Nannochloropsis sp using PBR but in the converting step in fixed carbon
(g.L-1) into the structural biomass (Christi, 2007).
In this study, the oxygen gas that is resulting
Culture DCW (g.L-1)
Age in photosynthesis might be trapped and
(days) PBR 1 PBR 2 PBR 3 Average accumulated in PBR system. In this high
0 0.021 0.017 0.019 0.019 C 0.001 concentration of oxygen, photosynthesis
4 0.271 0.252 0.246 0.256 0.010
would be blocked and respiration would
be stimulated greater than photosynthesis,
7 0.348 0.311 0.371 0.343 0.021
resulting the decreasing of biomass
11 0.499 0.493 0.395 0.462 0.045
productivity.
14 0.603 0.617 0.601 0.607 0.006
18 0.740 0.728 0.750 0.739 0.008 Cell Population, Size, and Weight
The growth of microorganisms,
increased by the culture ages. The average included of microalgae is related with the
of DCW at the 18th was 0.739 0.008 g.L-1. increasing of cell, both in population and
Although DCW reached 39 times higher size. The average of cell population was
compared to its initial concentration (0.019 increased linearly with the ages of cultures,
0.001 g.L-1), the production of dry cell was i.e. from 0.54 to 3.729 (x1010 cells. L-1) as in
only achieved 73.9% of the target (1g.L-1) Table 2.
as presented in Table 1. Cell population increased approxi-
Outdoors Batch Cultivation of marine Microalgae Nannochloropsis Sp using Parallel Glass 170

Table 2. Cell population in outdoor batch cultivation of Nannochloropsis sp using PBR.

Culture Age Population (x 1010 cell.L-1)


(days) PBR 1 PBR 2 PBR 3 Average
0 0.55 0.53 0.54 0.540 0.0062
4 1.76 1.67 1.64 1.688 0.0469
7 2.13 1.96 2.24 2.110 0.1031
11 2.86 2.83 2.36 2.685 0.2177
14 3.37 3.43 3.36 3.385 0.0312
18 4.03 3.97 4.08 3.729 0.0365

mately 6.9 times compared to its initial stage. meanwhile the cell weight was increased
Based on the microscopic observation, the significantly (5.3 times), i.e. from 3.5 to
cultures in the PBR could be kept in sterile 18.4pg.cell-1 as presented in Table 3.
condition due to absence of any contaminant
organisms in culture medium. The cell Total Lipid Content
diameter and weight of Nannochloropsis sp Data indicated that lipid content of
was not different among units of PBR. It was Nannochloropsis sp was similar among the
appeared Nannochloropsis sp have various PBR units, i.e. 34.42 (PBR 1); 37.16 (PBR
shape, spherical to slightly ovoid cells. 2); and 35.71% (PBR 3). High lipid content
The cell size was in the range of 1-9 in study might be as a response of cell to
m in diameter, with the average in PBR 1; environmental stresses, which was resulted
by the limited of carbon supply. As comparing
Table 3. Cell weight of Nannochloropsis sp
data, the previous studies investigated that
in PBR (pg.cell-1)
lipid content of Nannochloropsis sp was 62%
Cell weight (pg.cell-1)
(Hu & Gao, 2006); 36.19-46.67% (Astuti
Culture
Age et al., 2008); 28.7% (Gouveia & Oliveira,
(days) PBR 1 PBR 2 PBR 3 Average 2009); 44.5% (Su et al., 2010).
0 3.8 3.2 3.5 3.5 0.20
Fatty Acids Composition
4 15.4 15.1 15.0 15.2 0.15
Data analysis using GCMS showed
7 16.3 15.9 16.5 16.3 0.22 that lipid of Nannochloropsis sp was
11 17.4 17.4 16.7 17.2 0.30 composed 92.39% by saturated fatty acid,
14 17.9 18.0 17.9 17.9 0.03 3.49% unsaturated fatty acid, and 4.12% other
18 18.4 18.3 18.4 18.4 0.02 unidentified compounds. It was obtained, that
Average 14.9 14.7 14.7 14.7 0.02 the saturated fatty acid of Nannochloropsis
sp was dominated by Palmitic acid (50.05%),
PBR 2; and PBR 3 were 4.5; 4.3; and 4.8 m, Lauric acid (20.30%), Myristic acid (12.69%)
respectively. It is bigger than the previous and Stearic acid (9.35%) as presented in
study that has a range of 2-4 m in diameter Table 4. Similar data were obtained in the
(Hoek et al., 1995). The difference of that previous researchers, which reported that
cell size might be caused by the culture Palmitic acid was a major of fatty acid in
condition itself, such as nutrient availability, lipid of Nannochloropsis sp that covering of
temperature, pH, and the culture age. 47.93% (Astuti et al., 2008); 40.44% of total
The cell weight of Nannochloropsis sp fatty acids (Fabregas et al., 2004).
increased with the ages of the culture. There Saturated fatty acids are a long-
is no significant different of cell weight chain carboxylic that no double bonds,
among the PBR units. It was showed that such as Lauric acid (C12H24O2), Myristic
the cell population was increased 6.9 times, acid (C14H28O2), Palmitic acid (C16H32O2),
Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. 171

Table 4. Fatty acid (FA) composition of Nannochloropsis sp in outdoor batch culture system
using PBR
C atom:
Scientific Chemical Molecule Content (%
Common name Double
name Formula weight Total FA)
bond
n-Dodecanoic acid* Lauric acid C12H24O2 C12:0 200 20.30

Tetradecanoic acid* Myristic acid C14H28O2 C14:0 228 12.69

Hexadecanoic acid* Palmitic acid C16H32O2 C16:0 256 50.05

Octadecanoic acid* Stearic acid C18H36O2 C18:0 284 9.35


9-Octadecanoic acid** Oleic acid C18H34O2 C18:1n9 282 3.49
Saturated FA* 92.39
Unsaturated FA** 3.49
Other compounds 4.12

Stearic acid (C18H36O2), and Arachidic acid Redalje, 2007).


(C20H40O2). Saturated fatty acids are saturated
with hydrogen, since double bonds reduce CONCLUSION
the number of hydrogen on each carbon.
Unsaturated fatty acid of Nannochloropsis Nannochloropsis sp could be cultivated
sp in this study was only covered of Oleic in outdoor batch system using Parallel
acid (3.49% of total fatty acids). Oleic acid Enclosed Glass-Tubular Photo-bioreactor.
(C18:1n9) is a mono-unsaturated fatty acid Performances of three units PBR as growth
with one of double bond with position at provider of algal cell are similar, both
atom C-9. in biomass production and lipid content.
Xu et al (2006) reported the utilization Nannochloropsis sp has a thermo tolerant
of lipid materials is depending of its characteristic to local climate condition (22-
composition and characteristic, such as chain- 35oC). DCW and cell population increased
length, degree of saturation, and proportion 39 and 6.9 times, respectively, higher than
of fatty acids. The required characteristics initial. Lipid content was 35.71%, averagely.
of fatty acid for biodiesel are long-chain, Fatty acids were composed by saturated
un-branched, no double bond, with carbon fatty acids (92.39%) that covering of Lauric
atoms 12-24 (Xu et al. 2006); 16-20 (Christi, (20.30%), Myristic (12.69%), Palmitic
2007); 10-24 (Hu et al., 2008). Based on (50.05%), and Stearic (9.35%) that suitable
this result, it was suggested that lipid of for biodiesel. Cultivation method in outdoor
Nannochloropsis sp can be used for biodiesel batch system using PBR should be improved
due to its fatty acid profile. Nevertheless, a to obtain high biomass productivity, high
better method should be found to optimize lipid content, and appropriate of fatty acid
its biomass productivity, combined with high composition for biodiesel.
lipid content and appropriate composition
for biodiesel. ACKNOWLEDGEMENTS
The conceptual solution that consists
of two processes should be applied to The study was funded by The Competitive
maximizing production of biomass and lipid. Research Program of Indonesia Institute of
The first stage is maintaining of constant Sciences in the field on New and Renewable
conditions that favour continuous cell Energy. Thanks to Dwi Susiloningsih
division and prevent contamination. The (Research Centre for Biotechnology-LIPI)
second stage is exposing cells to nutrient for providing culture and T. Sembiring for
deprivation and other environmental stresses valuable disccusions.
that lead to synthesis lipid (Huntley &
Outdoors Batch Cultivation of marine Microalgae Nannochloropsis Sp using Parallel Glass 172

REFERENCES
Hu, H. & Gao, K., 2006., Response of
Azov, Y. & Goldman, J.C., 1982., Free Growth and Fatty Acid Compositions
Ammonia Inhibition of Algal Photos- of Nannochloropsis sp. to Environ-
ynthesis in Intensive Cultures., Appl mental Factors Under Elevated CO2
Environ Microbiol, 43:755-739. Concentration. Biotechnol Lett,
28:987-992.
Bligh, E.G. & Dyer, W. J., 1959., A rapid Hu, Q., Milton, S.M., Jarvis, E. 2008.,
method for total lipid extraction and Microalgal Triacylglycerols as
purification. Can. J. Biochem. Physiol Feedstock for Biofuel Production:
37: 911-917. Perspectives and Advances. Plant J.,
54:621-639.
Borowitzka, M.A. & Moheimani, N.R.,
2010., Sustainable Biofuels from Algae. Huntley, M.E. & Redalje, D.G., 2007., CO2
Mitig Adapt Strateg Glob Change. DOI mitigation and renewable oil from
10.1007/s11027-010-9271-9. Springer photosynthetic microbes: a new
Science Business Media B.V. appraisal, Mitigation and Adaptation
Strategies for Global Change, Springer,
Brennan, L. & Owende P., 2010., Biofuels 12: 573608.
from Microalgae: A Review of Techno-
logies for Production, Processing, Li, Q., Du, W., & Liu, D., 2008., Perspective
and Extractions of Biofuels and Co- of Microbial Oils for Biodiesel
Products. Renew Sustain Energy Rev, Production. Appl Microbial Biotechnol,
14:557-577. 80:749-756.

Christi, Y. 2007. Biodiesel from Micro- Madigan M.T., Martinko J.M., & Parker J.
Algae, Biotechnol ADV, 25;294-306. 2000. Biology of Microorganisms. 9th
Ed. JHI, Inc. USA, pp: 675-677.
Fabregas, J., Maseda, A., Dominguez, A. &
Otero, A., 2004., The cell composition Merchuk, J.C., Gluz, M., & Mukmenev, I.,
of Nannochloropsis sp change under 2000., Comparason of Photo bioreactor
different irradiances in semi continuous for Cultivation of the Microalga
culture. World Journal of Microbiology Porphyridium sp. J. Chem Technol
& Biotechnology 20: 31-35. Biotechnol, 75:1119-1126.

Gouveia, L. Oliveira, A.C., 2009., Micro- Proctor, V.W., 1957., Prefential Assimilation
algae as Raw Material for Biofuels of Nitrate Ion by Haematococcus
Production. J. Ind Microbiol Biotechnol, pluvadis. American Journal of Botany.
36:269-274. 44: 2, pp: 141-143.

Grobbelaar, J.U. & Kurano, N., 2003., Use Pulz O., 2001., Photobioreactors: produc-
of photoacclimation in the design of a tion systems of phototrophic micro-
novel photo bioreactor to achieve high organisms. Appl Microbiol. Biotechnol.
yields in algal mass cultivation, Journal 57:287-293.
of Applied Phycology, 15: 121-126.
Santos, C.A., Ferreira, M.E., Gouveia L. 2011.
Hoek., C.V.D., Mann, D.G. & Jahns, H.M., A Symbiotic Gas Exchange Between
2002., Algae: An introduction to Bioreactor Enhances Microbial
phycology, Cambridge University Biomas and LIPID Productivities:
Press, 7-8: 131-133. Taking Advantage of Complementary
Nutritional Modes, J. ind Microbiol
Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. 173

Biotechnol, doi 10.1007/S10295-010- Yusiasih & Sembiring, T. (2008).


0860-0 Growth And Lipid Content of Micro
Algae Nannochloropsis with Different
Sawyer, C.N., McCarty, P.L., & Parkin, G.F., Source of Nitrogen in Natural
1994., Chemistry for Environmental Environment, Teknologi Indonesia, 31
Engineering. 4th. Ed. MGH International (2): 121-127.
Edition. Singapore. pp: 552-566.
Su, C.H., Chien, L.J., & Gomes, J. 2010., Vasudevan, P.T. & Briggs, M., 2008.,
Factor Affecting Lipid Accumulation Biodiesel Production-Current State of
by Nannochloropsis oculata in a Two- the Art and Challenges. J. Ind Micro
Stage Cultivation Process. J. Appl Biotechnol, 35:421-430.
Phycol, DOI 10.1007/s10811-010-
9609-4. Xu, H., Miao, X.L., & Wu, Q.Y., 2006., High
Quality Biodiesel Production from a
Tri Astuti, J., Lies Sriwuryandari, Retno Microalga Chlorella protothecoides by
Heterotrophic Growth in Fermenters.
J. Biotechnol, 126:499-507.

Anda mungkin juga menyukai