ABSTRAK
Kerugian serius yang ditimbulkan bagi areal pertanian akibat material vulkanik yang dikeluarkan saat
gunung berapi meletus terutama ditentukan oleh ketebalan lapisan abu, musim dan intensitas curah
hujan serta jenis dan fase pertumbuhan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral terhadap sifat fisiko-
kimia media tanam dengan indikator pertumbuhan tanaman jagung (Zea mays L.) Percobaan dilakukan
dalam rumah kasa dari bulan Februari - Juli 2011 di kebun percobaan Fakultas Pertanian Universitas
Padjadjaran dengan ketinggian tempat 740 m dpl. Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak
kelompok faktor tunggal dengan sembilan kombinasi perlakuan dan tiga kali ulangan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berbagai kombinasi media tanam yang terdiri dari abu vulkanik Merapi, pupuk
kandang sapi dan tanah mineral memberikan pengaruh yang sangat nyata ( .01) terhadap kandungan
C-organik, asam humat-fulvat, bobot isi dan bobot kering pupus tanaman jagung. Kandungan C-organik
dan asam humat-fulvat mempunyai korelasi positif dengan bobot kering pupus tanaman, tetapi bobot isi
media tanam berkorelasi negatif dengan bobot kering pupus tanaman.
Kata kunci: abu vulkanik Merapi, asam humat-fulvat, C-organik, pupuk kandang sapi
ABSTRACT
Volcanic ash fall can have serious detrimental effects on agricultural crops depending on ash thickness,
timing and intensity of subsequent rainfall, the type and growing condition of a crop. The purpose of this
research was to evaluate the effects of combination of Merapi volcanic ash, cow manure and mineral soil
on some physicochemical properties of growing media. The pot experiment in a screen house was carried
out from February - July 2011, in the experiment field of Agriculture Faculty, Padjadjaran University
Jatinangor at 740 m above sea level. The experiment used a randomized block design, which arranged
in one factor, nine combination treatments and three replications. Results of this research showed that
combination of Merapi volcanic ash, cow manure and mineral soil as growing media gave highly
significant effects ( .01) on organic-C, humic-fulvic acids, bulk density and dry weight of maize. There
was a positive correlation between dry weight of maize with organic-C and humic-fulvic acids content,
but it had a negative correlation with bulk density of its growing media.
Key words: cow manure, humic-fulvic acids, Merapi volcanic ash, organic-C
sebagai media tanam adalah sifat fisik, kimia fulvat dalam bahan organik berkorelasi
dan biologinya yang tidak mendukung dengan besarnya kandungan lignin dan
pertumbuhan tanaman secara optimal. polifenol (Fox et al., 1990). Melalui
Berdasarkan kadar silikanya, pembentukan khelat logam-organik, asam-
batuan hasil erupsi gunung berapi dapat asam organik akan melarutkan mineral-
dikelompokkan menjadi batu vulkanik mineral primer dan sekunder yang ada di
masam (kadar SiO2 > 65%), sedang (35- dalam media tanam dan selanjutnya akan
65%) dan basa (< 35%) (McGeary et al., menjadi tersedia bagi tanaman (Foy et al.,
2002). Tingginya kadar Si, Al dan Fe dalam 1978). Makin besar afinitas kation logam
material vulkanik Merapi akan memberikan terhadap asam humat-fulvat, maka semakin
dampak yang sangat merugikan bagi mudah terlepasnya kation dari permukaan
pertumbuhan tanaman dan kesehatan tanah. berbagai jenis mineral.
Diketahui bahwa material vulkanik belum Penelitian ini dilakukan untuk meng-
dapat menyumbangkan unsur hara bagi evaluasi perubahan sifat-sifat fisik dan kimia
tanaman, karena merupakan bahan baru yang terjadi dalam media tanam yang terdiri
(recent material) yang belum mengalami dari kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk
pelapukan sempurna dan juga dominasi kandang sapi dan tanah mineral Inceptisol
fraksi pasir menjadikan material vulkanik yang berasal dari lapisan subsoil. Parameter
ini tidak dapat menahan air. yang diamati ditujukan untuk mengetahui
Hardjowigeno (2003) menyatakan hubungan antara bobot kering pupus tanaman
bahwa bobot isi (bulk density) menunjukkan jagung (Zea mays L.) dengan kandungan
perbandingan antara berat tanah kering C-organik, asam humat-fulvat, dan bobot isi
dengan volume tanah, termasuk volume media tanam.
pori-pori tanah. Bobot isi tanah merupakan
petunjuk kepadatan tanah, dimana semakin BAHAN DAN METODE
tinggi bobot isi tanah semakin sulit untuk
meneruskan air atau ditembus akar tanaman. Penelitian ini menggunakan pot
Berbagai jenis bahan organik mampu plastik bervolume 10 kg yang dilaksanakan
memperbaiki sifat fisika, kimia dan biologi pada bulan Februari - Juli 2011 dalam rumah
suatu media tanam (Lengkong & Kawulusan, kasa (screen house) di kebun percobaan
2008). Fungsi utama bahan organik antara Fakultas Pertanian UNPAD Jatinangor,
lain memperbaiki struktur tanah dan daya Kabupaten Sumedang, Jawa Barat dengan
simpan air, memasok unsur hara dan asam- ketinggian tempat 740 m dpl. Material abu
asam organik untuk melepaskan ikatan- vulkanik Merapi diambil pada tanggal 18-
ikatan material secara kimia, meningkatkan 19 Desember 2010 dari Dusun Somoketro,
kapasitas tukar kation dan daya ikat hara, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang
serta sebagai sumber karbon, mineral dan ( 17 km arah Utara dari kaki G. Merapi),
energi bagi mikroba (Syukur & Harsono, pupuk kandang sapi berasal dari peternakan
2008). Ameliorasi dengan bahan organik sapi PEDCA Jatinangor (Tabel 2a) dan tanah
merupakan salah satu alternatif yang mineral ordo Inceptisols asal Jatinangor
mampu meminimalisasi dampak negatif diambil dari lapisan subsoil (Tabel 2b).
dari kandungan unsur kimia berlebih pada Tanaman indikator yang digunakan adalah
suatu media tanam. Melalui proses khelasi, jagung hibrida varietas Bisi-16 (Zea mays
kelebihan unsur-unsur kimia yang bersifat L.) dengan dosis pupuk dasar Urea (300 kg/
toksik bagi tanaman akan dikurangi atau ha), SP-18 (200 kg/ha), KCl (100 kg/ha)
dikhelat oleh adanya bahan-bahan pembenah (Departemen Pertanian, 2004).
tanah (Clemens et al., 1990). Penelitian dilaksanakan dengan
Asam humat-fulvat merupakan fraksi menggunakan metode eksperimen dalam
bahan organik yang mempunyai peranan Rancangan Acak Kelompok faktor tunggal
penting dalam reaksi kimia di dalam tanah. dengan sembilan kombinasi perlakuan.
Besarnya kandungan total asam humat- Kombinasi perlakuan terdiri atas (I) 0%
Pengaruh Kombinasi Abu Vulkanik Merapi, Pupuk Organik dan Tanah Mineral 188
abu vulkanik Merapi + 50% pupuk kandang Tabel 1. Komposisi kimia abu vulkanik
sapi + 50% tanah mineral, (II) 40% abu Merapi
vulkanik Merapi + 10% pupuk kandang
sapi + 50% tanah mineral (III) 30% abu No. Parameter Nilai
vulkanik Merapi + 20% pupuk kandang 1. SiO2 (%) 54,56
sapi + 50% tanah mineral, (IV) 20% abu 2. Al2O3 (%) 18,37
vulkanik Merapi + 30% pupuk kandang sapi 3. Fe2O3 (%) 18,59
+ 50% tanah mineral, (V) 10% abu vulkanik 5. MgO (%) 2,45
Merapi + 40% pupuk kandang sapi + 50% 6. Na2O (%) 3,62
tanah mineral, (VI) 40% abu vulkanik 7. K2O (%) 2,32
Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 10% 8. MnO (%) 0,17
tanah mineral, (VII) 30% abu vulkanik 9. TiO2 (%) 0,92
Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 20% 10. P2O5 (%) 0,32
tanah mineral, (VIII) 20% abu vulkanik 11. Kadar air (%) 0,11
Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 30% 12. pH H2O (1:2,5) 7,60
tanah mineral, (IX) 10% abu vulkanik 13 pH KCl 1 N (1:2,5) 7,31
Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 40% 14 SO4 (mg kg-1) 801
tanah mineral. Perlakuan tersebut diulang 15 Ca (mg kg-1) 442
tiga kali sehingga total kombinasi perlakuan 16 Mg (mg kg-1) 152
berjumlah 27 pot percobaan. 17 C-organik** (%) 0,63
Parameter pengamatan utama yang 18 N total **.(%) 0,14
diuji secara statistik meliputi kandungan
19 KTK** (cmol kg-1) 10,57
C-organik yang dianalisis dengan metode
20 Tekstur **:
Walkley & Black; kandungan asam humat-
Pasir (%) 70,2
fulvat dianalisis dengan pengekstrak 0,5 M
Debu (%) 10,0
NaOH/0,1 M Na2P2O7 (Stevenson, 1994);
bobot isi media tanam ditentukan dengan Liat (%) 19,8
menghitung massa tanah per volume total Keterangan: Hasil Analisis di Pusat PPTMB, 2010
tanah, dalam kondisi tanah basah maupun **)
Hasil Analisis di Lab.Kimia Tanah
kering (Wesley (1973) serta penimbangan Fakultas Pertanian Unpad, 2011
bobot kering pupus tanaman jagung hibrida
dilakukan pada fase pertumbuhan vegetatif HASIL DAN PEMBAHASAN
akhir. Parameter penunjang dalam penelitian
ini adalah sifat-sifat kimia pupuk kandang Hasil analisis menunjukkan bahwa
sapi, sifat fisika tanah mineral Inceptisol dan abu vulkanik Merapi yang digunakan
komponen pertumbuhan tanaman (tinggi dalam penelitian ini memiliki pH agak
tanaman, jumlah daun dan diameter batang). alkalis yaitu 7,60 dan didominasi oleh
Pengaruh kombinasi perlakuan ter- fraksi pasir sebanyak 70,2% (Tabel
hadap parameter yang diamati diuji secara 1). Material vulkanik yang merupakan
statistik menggunakan analisis sidik ragam bahan baru (recent material) dipastikan
pada taraf nyata sampai sangat nyata (.05 belum dapat menyumbangkan unsur hara
-.01%) sesuai rancangan percobaan yang bagi tanaman karena belum mengalami
digunakan. Perbedaan nilai rata-rata diantara pelapukan yang sempurna. Dominasi fraksi
kombinasi perlakuan diuji dengan Uji Jarak pasir juga menjadikan material vulkanik
Berganda Duncan (DMRT). Hubungan ini mempunyai kemampuan memegang air
antara bobot kering pupus tanaman jagung yang rendah yang ditunjukkan dari nilai
hibrida dengan kandungan C-organik, asam kadar airnya sebesar 0,11%.
humat-fulvat dan bobot isi media tanam diuji Pemberian amelioran pupuk kandang
dengan analisis regresi-korelasi (Gomez & sapi dan tanah mineral Inceptisol pada
Gomez, 1995).
Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R. 189
kandungan C organik tertinggi (4,64%), dengan mikroba indigen dari tanah mineral
sementara kandungan C organik terendah akan memberikan kontribusi dalam
(0,43%), dihasilkan oleh kombinasi 40% menguraikan bahan organik, mensintesis
abu vulkanik Merapi, 10% pupuk kandang asam-asam atau senyawa organik tertentu
sapi dan 50% tanah mineral (perlakuan II). serta memicu proses mineralisasi N (Conte et
Hal ini sejalan dengan pernyataan Syukur al., 2003; Winarso, 2005). Sebaliknya pada
(2005), bahwa penambahan bahan organik kombinasi perlakuan VI (40% abu vulkanik
berbanding lurus dengan peningkatan Merapi + 50% pupuk kandang sapi + 10%
C-organik tanah dan sebaliknya. Meskipun tanah mineral) menunjukkan konsentrasi
demikian sifat fisika media tanam seperti asam humat-fulvat yang terendah (0,08%).
tekstur, porositas, bobot isi dan kapasitas Kondisi lingkungan media tanam yang tidak
menahan air merupakan faktor yang juga optimal untuk mendukung pertumbuhan
harus diperhitungkan (Baldwin, 2006). dan aktivitas mikroba dekomposer diduga
Peningkatan persentase pupuk kan- merupakan akibat dari dominannya material
dang sapi secara nyata meningkatkan vulkanik yang masih baru.
kandungan asam humat-fulvat pada media Selain dapat meningkatkan kandung-
tanam (Tabel 4). Konsentrasi asam humat- an C-organik, kapasitas menahan air, daya
fulvat tertinggi dalam media tanam (0,21%) larut unsur hara P, K, Ca dan Mg, serta
disebabkan oleh tingginya persentase pupuk kapasitas tukar kation, pemberian pupuk
kandang sapi dan rendahnya persentase organik juga mampu menurunkan kejenuhan
abu vulkanik pada kombinasi perlakuan Al serta bobot isi tanah (Lund & Doss,
IX (10% abu vulkanik Merapi + 50% 1980; Aidi et al., 1996). Hasil uji statistik
pupuk kandang sapi + 40% tanah mineral). menunjukkan bahwa media tanam yang
Diduga selain media tanam mendapatkan mengandung 40-50% pupuk kandang sapi
sumbangan asam humat-fulvat dari pupuk secara nyata ( .01) memberikan bobot isi
kandang sapi (0,42%), aktivitas mikroba yang rendah (0,58-0,61 g/cm3) (Tabel 4),
yang mendekomposisi pupuk organik juga sementara media tanam dengan persentase
akan menghasilkan sejumlah asam organik pupuk kandang sapi 10-30% menunjukkan
dari metabolitnya. Diketahui bahwa bakteri nilai bobot isi yang lebih besar (1,09 g/
merupakan kelompok mikroba dekomposer cm3). Menurut Wesley (1973) bobot isi atau
yang jumlahnya paling banyak dan bersama kerapatan isi tanah merupakan indikator
Tabel 4. Pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral
terhadap terhadap C-organik, asam humat-fulvat, bobot isi media tanam dan bobot
kering pupus tanaman Jagung
Bobot kering
C-organik Asam humat- Bobot isi
Kombinasi perlakuan pupus
(%) fulvat (%) (g/cm3)
(g/tanaman)
I 0 % AVM + 50 % PKS + 50 % TM 3,34 cde 0,11 ab 0,61 a 263,49 d
II 40 % AVM + 10 % PKS + 50 % TM 0,43 a 0,09 a 1,09 b 63,89 a
III 30 % AVM + 20 % PKS + 50 % TM 0,87 ab 0,09 a 0,83 ab 119,43 ab
IV 20 % AVM + 30 % PKS + 50 % TM 1,86 abc 0,10 ab 0,75 ab 171,84 bc
V 10 % AVM + 40 % PKS + 50 % TM 2,71 cd 0,13 abc 0,65 a 209,77 cd
VI 40 % AVM + 50 % PKS + 10 % TM 2,28 bcd 0,08 a 0,63 a 222,29 cd
VII 30 % AVM + 50 % PKS + 20 % TM 4,64 e 0,15 abc 0,58 a 277,90 d
VIII 20 % AVM + 50 % PKS + 30 % TM 3,08 cde 0,19 bc 0,58 a 283,27 d
IX 10 % AVM + 50 % PKS + 40 % TM 3,90 de 0,21 c 0,60 a 227,48 cd
Keterangan: AVM = abu vulkanik Merapi; PKS = pupuk kandang sapi; TM = tanah mineral Angka yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata pada taraf uji DMRT 5%.
Nurlaeny, N., Saribun, D.S. dan Hudaya, R. 191
kepadatan suatu jenis tanah, dimana makin (3,20 cm). Sifat fisika media tanam yang
tinggi nilai kerapatan isi tanah, makin mempunyai nisbah antara fraksi liat dan pasir
sulit tanah tersebut untuk meneruskan air yang berimbang, didukung oleh tingginya
atau ditembus akar tanaman. Tingginya kandungan bahan organik pada perlakuan
pemberian pupuk kandang sapi (40-50%) VII, menyebabkan daya pegang air, reaksi
ke dalam media tanam ternyata mampu kimia dan proses penyerapan unsur hara
memperbaiki struktur tanah sehingga hal oleh tanaman dapat berjalan dengan baik.
ini mendukung pendapat Yunus (2004) yang Hal ini juga mendukung pernyataan Musfal
menyatakan bahwa semakin kecil angka (2010), bahwa banyaknya jumlah daun
kerapatan isi tanah, maka kegemburan tanah tanaman jagung berbanding lurus dengan
semakin meningkat. pertumbuhan tinggi tanaman.
Perbedaan perlakuan kombinasi media Peningkatan persentase abu vulkanik
tanam menghasilkan pertumbuhan tanaman Merapi dan penurunan persentase pupuk
jagung hibrida yang beragam (Tabel 5a-c). kandang sapi pada kombinasi perlakuan
Komponen pertumbuhan tanaman terbaik II-VI menghasilkan nilai komponen per-
dihasilkan dari kombinasi 30% abu vulkanik tumbuhan tanaman yang terendah. Diduga
Merapi, 50% pupuk kandang sapi dan 20% sifat fisik media tanam tidak optimal
tanah mineral (perlakuan VII) dengan tinggi dalam mendukung pertumbuhan tanaman.
tanaman (200,3 cm), jumlah daun terbanyak Ketidakseimbangan nisbah antara fraksi liat
(14 helai) dan diameter batang terbesar dan pasir dapat menyebabkan daya pegang
Tabel 5. Pengaruh kombinasi abu vulkanik Merapi, pupuk kandang sapi dan tanah mineral
terhadap nilai rata-rata tinggi tanaman (a), jumlah daun (b) dan diameter batang (c)
a. Tinggi Tanaman (cm)
Aidi, N., A. Jumberi & R.D. Ningsih. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Edisi
1996. Peranan Pupuk Organik dalam Pertama. PT Mediayatama Sarana
Meningkatkan Hasil Padi Gogo di Perkasa. Jakarta.
Lahan Kering. Prosiding Seminar
Teknologi Sistem Usahatani Lahan Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah.
Rawa dan Lahan Kering. Balittra Akademika Pressindo, Jakarta.
Banjarbaru. Hal.: 567-578
Hayes,M.H.B., & Clapp C.E., 2001.
Baldwin, K.R., 2006. Soil Quality Humic substances: considerations of
Consideration for Organic Farmers. compositions, aspects of structure, and
North Carolina Cooperative Extension environmental influences. Soil Science
Service Publ. NC State University. 166, 723-737. doi: 10.1097/00010694-
200111000-00002.
Clemens, D.F., Whitehurst, B.M. &
Whitehurst, G.B., 1990. Chelates Lengkong, J. E. & R. I. Kawulusan. 2008.
in Agriculture. Fertilizer Research Pengelolaan Bahan Organik Untuk
25:127-131. Meme-lihara Kesuburan Tanah. Soil
Environment Vol 6, No.2, Agustus
Conte, P. R. Spaccini, M. Chiarella, & A. 2008 Hal: 9197.
Piccolo, 2003. Chemical Properties
of Humic Substances in Soils of an Lund, F.Z. & B.D. Doss. 1980. Residual
Italian Volcanic System. Geoderma Effect of Dairy Cattle Manure on Plant
117: 243250 Growth and Soil Properties. Agron. J.
72: 123-130.
Departemen Pertanian, 2004. Sosialisasi
Jagung Hibrida. On line: http://deptan. McGeary, D., Plummer, C.C & D. H.
go.id/ (Diakses pada 15 Juni 2011) Carlson. 2002. Physcal Geology
Earth Reavealed. McGraw Hill Higher
Fiantis, D. 2000. Colloid-Surface Charac- Education. Boston. 574 p.
teristics and Amelioration Problems of
Some Volcanic Soils in West Sumatra, Musfal, 2010. Potensi Cendawan Mikoriza
Indonesia. Ph. D. Thesis. Universiti Arbuskila untuk Meningkatkan Hasil
Putra Malaysia, Serdang, Selangor, Tanaman Jagung. J. Penelitian dan
Malaysia. 315 p. Pengembangan Pertanian, 29(4).
Fox, R.H., Myers R.J.K. & Vallis I., 1990. Shoji S. & T. Takahashi, 2002. Environmental
The nitrogen mineralization rate of and Agricultural Significance of
legume residues in soils as influenced Volcanic Ash Soils. Jpn. J. Soil Sci.
by their polyphenol, lignin and nitrogen Plant Nutr. 73: 113-135
contents. Plant Soil, 129: 251-259.
Stevenson, F.J., 1994. Humus Chemistry:
Foy, C. D., Chaney, R. L. & White, M. C., Genesis, Composition, Reactions, 2nd
1978. The physiology of metal toxity Ed. Wiley, New York.
in plants. Ann. Rev. Plant Physiol.
29:511566 Syukur, A. 2005. Pengaruh Pemberian Bahan
Organik terhadap Sifat-sifat Tanah dan
Gomez, K.A., & Gomez, A.A., 1995. Pertumbuhan Caisim di Tanah Pasir
Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pantai. J. Ilmu Tanah dan Lingkungan
Pertanian (Terjemahan). Universitas Vol 5 (1) (2005) Hal.: 30-38.
Pengaruh Kombinasi Abu Vulkanik Merapi, Pupuk Organik dan Tanah Mineral 194
Tang, C., & Rengel, Z., 2003. Role of Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah. Dasar
plant cation/anion uptake ratio in soil Kesehatan dan Kualitas Tanah.
acidification. In: Handbook of Soil Penerbit Gava Media. Yogyakarta.
Acidity, Eds. Z Rengel), pp 57-81
Marcel Dekker, New York. Yunus Y. 2004. Tanah dan Pengolahan. CV.
Alfabeta, Bandung
Wesley, L. D. 1973. Mekanika Tanah.
Terjemahan Badan Penerbit Pekerjaan
Umum. Jakarta.
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No. 3, November 2012: 196 - 201
ISSN 1411 - 0903
ABSTRAK
Kendala utama produksi mutiara adalah tingginya mortalitas kerang ketika berlangsung proses implantasi.
Kerang yang akan diimplantasi untuk budidaya mutiara perlu dikondisikan dalam keadaan yang
memudahkan pembukaan cangkangnya. Berhubung hingga kini belum tersedia informasi penggunaan
anestesi dalam budidaya mutiara air tawar, prinsip-prinsip yang diaplikasikan adalah prinsip yang selama
ini berhasil diaplikasikan dalam budidaya mutiara laut. Penelitian untuk menentukan respons kerang
terbaik pada beberapa jenis dan dosis minyak bahan anestesi pada prakondisi kerang dilaksanakan di
Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Tatelu di Kecamatan Dimembe, Kabupaten Minahasa. Penelitian
dirancang menggunakan metode rangcangan acak lengkap dengan pola faktorial dengan 2 faktor yaitu
jenis dan dosis. Faktor jenis mempunyai 4 taraf yaitu minyak menthol, minyak cengkeh, minyak pala
dan minyak sereh dan faktor dosis dengan 3 taraf yaitu 1,5 ml, 2,5 ml dan 3,5 ml, dimana masing-masing
perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan bahan anestesi berupa
minyak pala dengan dosis 2,5 ml/l lebih efektif untuk prakondisi (respons, waktu relaksasi, waktu pulih
dan mortalitas) dibandingkan dengan dosisdosis 1,5 ml/l dan 3,5 ml/l dan dengan bahan-bahan anestesi
minyak cengkeh, minyak menthol dan minyak sereh.
Kata kunci: bahan dan dosis anestesi, kerang Anodonta woodiana, prakondisi
ABSTRACT
The main problem on oysters culture is the high mortality during implantation process.Oysters that
will be implanted for cultivation need to be conditioned in a state that facilitates the opening of its
shell.Because the information on the use of anesthesia in the cultivation of freshwater oyster is not
yet available, these principles that was used is the principle which has been successfully applied in the
cultivation of sea oyster. This study aims to determine the best responses to materials anesthetic and dose
in precondition of Anodontawoodiana which is done at Freshwater Aquaculture Center (BBAT) Tatelu
in District Dimembe, Minahasa Regency. The study was designed by using completely randomized
design factorial pattern with two factors: materials anesthetic anddose.Material anesthetic factorhas
4degree such asmenthol oil,cloveoil,nutmegoil andlemongrass oil. Dose has 3 degree such as
1,5ml,2,5mland 3,5ml. Each treatmentwas repeated3 times. The results showed that nutmegoil
dose of 2,5 ml/l more effective for precondition (respons, relaxation time, recovery and mortality rate)
than dose of 1,5 ml/l and 3,5 ml/l and than another materials anasthethic (menthol oil, cloveoil, and
lemongrass oil).
Key words: materials and dose of anasthethic, Anodonta woodiana oyster, precondition
Setiap wadah percobaan diisi air Uji coba anestesi pada kerang ini
sebanyak 30 liter, diberi bahan anestesi sesuai menggunakan empat jenis minyak yaitu
dengan kombinasi perlakuan yang akan diuji, minyak sereh, minyak cengkeh, minyak
dan kerang ditebarkan sebanyak sembilan menthol, dan minyak pala. Sesuai dengan
individu tiap wadah. Dalam percobaan tiga dosis bahan minyak yang dicobakan,
pertama ini pengamatan dilakukan terutama yaitu 1,5 ml/l, 2,5 ml/l, 3,5 ml/l, hasil
terhadap respons kerang (%), waktu relaksasi pengamatannya disajikan secara ringkas
dan waktu pemulihan atau recovery (menit), pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Hasil uji coba penggunaan bahan anestesi pada kerang A. woodiana dan pengaruhnya terhadap
respons, waktu relaksasi dan waktu pulih, dan mortalitas
ABSTRAK
Pigmen kurkumin dari kunyit bersifat tidak stabil terhadap cahaya, suhu dan perubahan pH, oleh karena
itu dilakukan penyalutan dengan polimer (mikroenkapsulasi) agar memiliki umur simpan yang lebih
lama. Pigmen kurkumin yang telah dimikroenkapsulasi dapat diaplikasikan pada produk pangan seperti
minuman ringan dan jelly. Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan kondisi penyimpanan yang
tepat terhadap pigmen kurkumin terenkapsulasi yang diaplikasikan pada produk minuman ringan
dan jelly dan menduga umur simpannya. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan
empat perlakuan dan tiga kali ulangan. Perlakuan yang diberikan pada minuman ringan dan jelly adalah
penyimpanan suhu ruang (250 C 20 C), suhu refrigerator (50 C 20 C), terekspos cahaya, dan tanpa
ekspos cahaya selama 30 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua produk (minuman ringan
dan jelly) yang disimpan pada suhu refrigerator dan tanpa ekspos cahaya memiliki stabilitas warna
yang paling baik. Berdasarkan intensitas warna kuning, umur simpan minuman ringan pada suhu ruang
dan terekspos cahaya secara berturut-turut adalah 38 hari dan 15 hari sedangkan umur simpan pada
suhu refrigerator dan tanpa ekspos cahaya tidak bisa diduga pada 30 hari penyimpanan karena hasil uji
statistik menunjukkan bahwa lama penyimpanan (variabel x) tidak memengaruhi penurunan intensitas
warna kurkumin (variabel y) selama penyimpanan 30 hari. Umur simpan jelly suhu refrigerator adalah
46 hari, tanpa terekpos cahaya: 25 hari , suhu ruang : 17 hari dan terekspos cahaya : 15 hari.
ABSTRACT
Curcumin pigment from turmeric is not stable on light, heat, and a change of pH, therefore
microencapsulation of curcumin was carried out in order to provide a longer shelf life. Microencapsulated
curcumin pigment can be applied to food products such as soft drinks and jelly. The purpose of this study
was to determine the appropriate storage conditions of microencapsulated curcumin pigment in soft
drinks and jelly products and also to forcast their shelf life. this is the experimental reseach with four
treatments and three replications. The four treatments tested in soft drinks and jelly included storage at
room temperature (250 C 20 C), cold storage (50 C 20 C), exposure to light, and without exposure to
light. The results of this study indicated that both products stored at refrigeration temperature without
exposure to light were the most stable color. The shelf life of soft drinks stored at room temperature
and exposed to light was 38 days and 15 days, respectively. Meanwhile the shelf life of the product in
refrigeration and exposed to light could not be calculated because, based on statistical analysis, it was
found that storage (x variable) did not influence the intensity of the color (y variable) during the 30
days. The shelf life of the jelly stored in refrigeration was 46 days, without exposure to light: 25 days,
room temperature: 17 days, and exposure to light: 15 days .
Gambar 1. Laju penurunan intensitas warna kuning dalam minuman ringan pada berbagai penyimpanan (a) orde
nol dan (b) orde satu
Keterangan: A (Penyimpanan suhu ruang); B (Penyimpanan suhu refrigerasi); C (Penyimpanan suhu ruang terekspos
cahaya); D (Penyimpanan suhu ruang tanpa ekspos cahaya)
Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. 204
Berdasarkan kurva orde nol dan orde dilakukan dalam waktu penyimpanan
satu (Gambar 1), diketahui persamaan yang lebih lama, ada kemungkinan kurva
regresi dari berbagai kondisi penyimpanan perubahan intensitas warna kurkumin untuk
pada Tabel 1. semua kondisi penyimpanan akan mengikuti
kurva orde satu. Menurut Vargas dan Lopez
Tabel 1. Persamaan Regresi dan Nilai R (2002), degradasi warna pigmen kurkumin
square (R2) Minuman Ringan akibat cahaya dan panas mengikuti kinetika
pada Orde 0 dan Orde 1 ordo satu. Jika laju degradasi kurkumin
Orde Kondisi mengikuti kinetika reaksi orde satu, berarti
Persamaan Regresi R2
Reaksi Penyimpanan laju kerusakannya bersifat eksponensial,
A y = -0,129x + 21,20 0,645
namun pada akhirnya kurkumin tidak akan
Orde B y = -0,009x + 21,13 0,008
Nol
pernah mencapai titik nol tetapi hanya
C y = -0,220x + 19,60 0,704
mendekati titik nol.
D y = -0,026x + 18,94 0,086
A y = -0,0069x + 3,056 0,644
Berdasarkan Gambar 1, grafik orde nol
Orde B y = -0,0004x + 3,0499 0,009 pada penyimpanan minuman ringan pada
Satu C y = -0,013x + 2,977 0,694 suhu ruang terekspos cahaya (peralakuan
D y = -0,0014x + 2,939 0,078 C) mengalami penurunan intensitas warna
yang paling besar jika dibandingkan
Nilai R2 yang semakin mendekati satu, dengan perlakuan penyimpanan lainnya.
menandakan korelasi antar data semakin Hal ini terjadi karena pada kondisi tersebut
tinggi. Persentase penurunan intensitas terdapat dua faktor yang menyebabkan
warna per hari pada persamaan linear (orde kerusakan kurkumin yaitu suhu dan cahaya
nol) bersifat konstan selama penyimpanan, sehingga mengalami penurunan intensitas
sedangkan pada reaksi orde satu terjadi secara warna kurkumin yang paling cepat.
eksponensial. Dapat dilihat pada Tabel 1, Menurut Hendry (1996), pigmen kurkumin
pada kondisi penyimpanan suhu ruang (A), sensitif terhadap cahaya. Stankovic (2004)
terekspos cahaya (C) dan tanpa terekspos menambahkan bahwa suhu dan lama
cahaya (D), orde nol memiliki koefisien pemananasan berpengaruh nyata terhadap
determinasi (R2) yang lebih besar daripada peningkatan degradasi kurkumin. Minuman
orde satu. Oleh karena itu dapat ditentukan ringan yang disimpan pada suhu refrigerator
bahwa laju kerusakan kurkumin pada mengalami penurunan kurkumin yang paling
minuman ringan tersebut mengikuti reaksi kecil karena tidak adanya kontribusi cahaya
orde nol. Artinya laju penurunan degradasi dan kecilnya pengaruh suhu dalam proses
kurkumin untuk setiap hari penyimpanan degradasi kurkumin. Berdasarkan fakta
bersifat konstan. Penyimpanan pada suhu tersebut, maka dapat dikatakan bahwa suhu
refrigerator (B) memiliki nilai R2 orde satu dan cahaya memberikan kontribusi masing-
yang lebih besar dari orde nol, sehingga masing terhadap degradasi kurkumin. Kedua
disimpulkan bahwa degradasi kurkumin faktor tersebut jika terdapat bersama-sama
pada penyimpanan suhu refrigerator meng- akan mempercepat laju degradasi kurkumin.
ikuti orde satu. Berdasarkan analisis regresi dapat
Penurunan kurkumin yang mengikuti ditulis kembali persamaan regresi dan kurva
kinetika reaksi orde nol menjelaskan bahwa hubungan lama penyimpanan terhadap
degradasi kurkumin selama penyimpanan intensitas warna kuning (b*) yang terpilih
30 hari, dipengaruhi faktor suhu dan cahaya yaitu orde nol untuk perlakuan A, C dan
dimana penurunan kurkumin akan konstan D , dan orde satu untuk perlakuan B yang
hingga pada akhirnya mencapai titik nol. disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 juga
Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa disajikan laju kinetik penurunan intensitas
selisih koefisien determinasi pada persamaan warna minuman ringan yang diperoleh dari
di atas cukup kecil. Apabila percobaan nilai slope persamaan regresi.
Kestabilan Warna Kurkumin Terenkapsulasi dari Kunyit 205
Tabel 2. Persamaan regresi dan laju kinetik sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
Konstan (K) antara nilai b* dengan yang tidak diamati seperti pH, oksigen,
lama penyimpanan pada minuman dan lain-lain. Jika dilihat dari nilai slope
ringan. (laju kinetik K) persamaan linier, minuman
ringan yang terekspos cahaya memiliki nilai
Persamaan Laju
Penyimpanan
Regresi
R2
Kinetik (K)
slope (-0,220) yang berarti bahwa setiap
A (suhu ruang) y = -0,129x 0,645 0,129 bertambah satu hari penyimpanan nilai
+ 21,20 intensitas warna kuning (b*) berkurang
B (suhu y = -0,0004x 0,009 0.0004 sebesar 0,220. Berbeda dengan minuman
refrigerator) + 3,05
ringan tidak terekspos cahaya yang memiliki
C (terekspos y = -0,220x 0,704 0.220
cahaya, suhu + 19,60 slope (-0,026) yang berarti penurunan
ruang) intensitas warna setiap harinya bernilai
D (tanpa terekspos y = -0,026x 0,086 0.026 0,026. Berdasarkan hal tersebut, dapat
cahaya, suhu + 18,94
ruang) dinyatakan bahwa cahaya berpengaruh
terhadap intensitas warna pigmen kurkumin
Berdasarkan Tabel 2, lama penyim- dan kunyit pada minuman ringan.
panan minuman ringan pada suhu ruang Berdasarkan pengujian hipotesis,
memiliki hubungan yang cukup erat diketahui bahwa perlakuan B (suhu
dengan penurunan intensitas warna kuning refrigerator) dan D (suhu ruang tanpa ekspos
(b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien cahaya) pada minuman ringan menunjukkan
determinasi (R2) yaitu 0.645 yang artinya hipotesis penerimaan H0 (H0 : b = 0). Hal ini
64,5% penurunan intensitas warna kuning menunjukkan variabel lama penyimpanan
dipengaruhi oleh penyimpanan suhu ruang, tidak memengaruhi penurunan intensitas
sedangkan 35,5% sisanya dipengaruhi oleh warna kurkumin selama penyimpanan 30
faktor-faktor lain yang tidak diamati seperti hari. Dengan demikian dapat dinyatakan,
cahaya, pH, dan lain-lain. Jika diilihat dari intensitas warna kurkumin pada minuman
nilai slope (laju kinetik K) persamaan linier, ringan yang disimpan pada suhu refrigerator
minuman ringan yang disimpan pada suhu dan suhu ruang tanpa terekspos cahaya, stabil
ruang memiliki nilai slope (-0,129) yang selama penyimpanan 30 hari. Stabilitas yang
berarti bahwa setiap bertambah satu hari baik pada minuman ringan ini terjadi karena
penyimpanan nilai intensitas warna kuning kecilnya pengaruh faktor-faktor yang dapat
(b*) berkurang sebesar 0,129. Berbeda merusak senyawa kurkumin, yaitu suhu dan
dengan penyimpanan suhu refrigerasi yang cahaya. Hal ini juga ditunjukkan dengan
memiliki slope (-0,0004) yang berarti warna minuman ringan yang relatif stabil
penurunan intensitas warna setiap harinya hingga penyimpanan hari ke-30 pada kedua
hanya 0,0004. Jika dilihat dari nilai keeratan perlakuan tersebut.
hubungan (R2) antara lama penyimpanan Pada hari ke-30 minuman ringan
terhadap intensitas warna kuning, maka perlakuan penyimpanan suhu ruang (A)
dapat dinyatakan bahwa lama penyimpanan dan terekspos cahaya pada suhu ruang
(30 hari) pada suhu refrigerator relatif tidak (C) terlihat mengalami perubahan warna
berpengaruh terhadap penurunan intensitas menjadi lebih gelap. Perubahan ini terjadi
warna pigmen kurkumin dari kunyit pada akibat pembentukan senyawa feruilmetan
minuman ringan. hasil degradasi kurkumin. Menurut Sidik
Berdasarkan Tabel 2, lama penyimpan- (1992), senyawa feruilmetan berwarna
an minuman ringan yang terekspos cahaya kuning kecoklatan.
memiliki hubungan yang cukup erat
dengan penurunan intensitas warna kuning Perubahan Intensitas Warna Jelly
(b*). Hal ini terlihat dari nilai koefisien Dalam menentukan laju penurunan
determinasi (R2) yaitu 0.704 yang artinya intensitas warna kuning pada jelly, juga
70,4% penurunan intensitas warna kuning dilakukan penentuan orde reaksi untuk
dipengaruhi oleh cahaya sedangkan 29,6% mengetahui nilai keeratan hubungan yang
Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. 206
paling besar antara lama penyimpanan kurkumin pada jelly selama penyimpanan
terhadap penurunan intensitas warna kuning. 30 hari mengikuti persamaan linear, yang
Apabila orde reaksi yang berlaku adalah artinya penurunan kurkumin akan konstan
orde nol maka laju reaksi yang terjadi hingga pada akhirnya mencapai titik 0.
bersifat konstan sedangkan apabila orde Apabila percobaan dilakukan dalam
reaksi yang berlaku adalah orde satu maka waktu penyimpanan yang lebih lama, dapat
laju reaksi yang terjadi bersifat logaritmik dimungkinkan kurva perubahan intensitas
atau eksponensial. Kurva regresi penurunan warna kurkumin pada semua kondisi
intensitas warna kuning jelly pada orde nol penyimpanan akan mengikuti kurva orde
dan orde satu disajikan pada Gambar 2. satu. Menurut Vargas dan Lopez (2003),
Persamaan linear dan nilai R square (R2) degradasi warna pigmen kurkumin akibat
pada orde 0 dan orde 1 disajikan pada Tabel cahaya dan panas mengikuti kinetika
3. ordo satu. Hal tersebut juga diperkuat
oleh penelitian yang dilakukan oleh Diani
Tabel 3. Persamaan inear dan nilai R2 jelly
(2011) yang menyatakan bahwa degradasi
pada orde 0 dan orde 1
kurkumin selama penyimpanan terjadi secara
Orde Kondisi
Persamaan Regresi R2
eksponensial. Persamaan regresi dan laju
Reaksi Penyimpanan
kinetik konstan (slope) produk jelly untuk
A y = -0,240x + 20,30 0,669
orde nol ditulis kembali pada Tabel 4.
Orde B y = -0,075x + 19,78 0,147
Nol C y = -0,263x + 20,16 0,614 Tabel 4. Persamaan regresi dan laju kinetik
D y = -0,157x + 20,19 0,470 Konstan (K) antara intensitas warna
A y = -0,015x + 3,029 0,632 (Nilai b* ) dengan lama penyimpanan
Orde B y = -0,004x + 2,982 0,141 pada jelly
Satu C y = -0,017x + 3,023 0,528
D y = -0,009x + 3,012 0,410 Persamaan Laju
Penyimpanan R2
Regresi Kinetik (K)
A (suhu ruang) y = -0,240x 0,669 0,240
+ 20,30
B (suhu refrigera- y = -0,075x 0,147 0.075
tor) + 19,78
C ( terekspos y = -0,263x 0,614 0.263
cahaya pada suhu + 20,16
ruang)
D ( tanpa ekspos y = -0,157x 0,470 0.157
cahaya pada suhu + 20,19
ruang)
sudah tidak dapat diterima lagi oleh konsumen Berdasarkan Tabel 5, dapat diketahui
yaitu 16,3. Nilai b* kritis ini didapatkan dari bahwa umur simpan minuman ringan pada
perlakuan suhu ruang terekspos cahaya pada penyimpanan suhu ruang (A) 1 bulan 8
minuman ringan selama penyimpanan 15 hari dan penyimpanan terekspos cahaya
hari. Pada nilai tersebut intensitas warna pada suhu ruang (C) adalah 15 hari.
kuning pigmen kurkumin pada produk Pendugaan umur simpan minuman ringan
mengalami kerusakan yang sudah tidak dapat pada penyimpanan suhu refrigerator (B)
diterima secara visual (warna kuning pucat). dan tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang
Berdasarkan data ini, umur simpan minuman (D) tidak dapat dilakukan karena pengujian
ringan yang diwarnai dengan kurkumin hipotesis terhadap kedua jenis perlakuan ini
dalam kemasan transparan, terekspos lampu menunjukkan hipotesis penerimaan H0 (H0 :
seperti pada pasar swalayan, pada suhu b = 0) sehingga variabel lama penyimpanan
ruang hanya sampai 15 hari. (variabel x) tidak memengaruhi penurunan
Pendugaan umur simpan untuk intensitas warna kurkumin (variabel y)
masing-masing perlakuan didapatkan selama penyimpanan 30 hari. Hal ini
dengan memasukkan nilai b* kritis yang menunjukkan bahwa minuman ringan yang
telah didapat ke dalam variabel y (intensitas disimpan pada suhu refrigetor (B) dan tanpa
warna kuning b*) pada persamaan ekpos cahaya pada suhu ruang (D) stabil
linear. Persamaan linear yang digunakan selama penyimpanan 30 hari.
merupakan persamaan yang memiliki orde Pada produk jelly diketahui umur
reaksi dengan R2 paling besar yaitu orde simpan yang paling lama ditemukan pada
nol. Pendugaan umur simpan produk dapat jelly yang disimpan pada suhu refrigerator,
dilihat pada Tabel 5. yaitu 1 bulan 16 hari (B). Setelah itu diikuti
oleh jelly yang disimpan tanpa ekspos
Tabel 5. Pendugaan umur simpan pada cahaya pada suhu ruang yaitu 25 hari (D),
minuman ringan dan Jelly pada penyimpanan pada suhu ruang yaitu 17 hari
beberapa kondisi penyimpanan. (A) dan penyimpanan terekspos cahaya pada
Parameter Umur suhu ruang yaitu 15 hari (C).
Kondisi Persamaan
Produk kritis b* Penyimpanan Linear
Simpan Penyimpanan pada suhu refrigerator
(y) (x)
y = 1 bulan 8
pada minuman ringan dan jelly memiliki
A - 0 , 1 2 9 x hari umur simpan yang paling lama dibandingkan
+ 21,20 produk pada kondisi penyimpanan lainnya.
y = Tidak
B -0,0004x dapat di-
Hal ini menunjukkan bahwa kurkumin
Minuman + 3,0499 tentukan paling lambat mengalami kerusakan karena
Ringan y = 15 hari suhu dan faktor cahaya berada pada tingkat
C -0,220x
+ 19,60 yang rendah. Produk minuman ringan dan
y = Tidak jelly yang disimpan pada suhu ruang dengan
D - 0 , 0 2 6 x dapat di- ekspos cahaya memiliki umur simpan yang
+ 18,94 tentukan
16,3 paling singkat dibandingkan perlakuan
y = 17 hari
A -0,240x lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa produk
+ 20,30 yang disimpan pada suhu ruang dengan
y = 1 bulan ekspos cahaya paling cepat mengalami
B - 0 , 0 7 5 x 16 hari
+ 19,78 kerusakan kurkumin akibat cahaya dan suhu.
Jelly
y = 15 hari Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
C -0,263x
+ 20,16
cahaya dan suhu sangat mempengaruhi
y = 25 hari
umur simpan kurkumin terenkapsulasi
D -0,157x yang diaplikasikan pada minuman ringan
+ 20,19
sedangkan faktor yang mempengaruhi
Keterangan : A = suhu ruang full gambar umur simpan jelly adalah cahaya, suhu dan
B = suhu refrigerator
kandungan gugus sulfat.
C = terekspos cahaya pada suhu ruang
D = tanpa ekspos cahaya pada suhu ruang
Kestabilan Warna Kurkumin Terenkapsulasi dari Kunyit 209
Terima kasih kepada Dirjen Dikti LP2M Jackman, R.L. & Smith, J.L. 1996.
untuk dukungan dana melalui Hibah Anthocyanins and Betalanins. Di dalam
Penelitian Strategis Nasional tahun 2010. G.A.F. Hendry dan J.D. Houghton
(ed). Natural Food Colorants. Second
DAFTAR PUSTAKA Edition. London: Blackie Academic
and Professionals, .
Ariarti, F. 1998. Pengaruh Penambahan
Bahan Penyalut dan Jumlah Fraksi MacDougall, D.B. 2002. Colour in
Minyak terhadap Mikroenkapsulasi Food Improving Quality. England:
Konsentrat Asam Lemak Omega-3 Woodhead Publishing Ltd.
dengan Metode Spray Dryer. Skripsi.
Fateta IPB, Bogor. Sidik. 1992. Temulawak: Curcuma xanthorriza
(Roxb). Yayasan Pengembangan Obat
Diani, M. 2011. Penentuan Umur Simpan Bahan Alami PHYTO MEDICA,
Bubuk Pigmen Kurkumin Teren- Jakarta.
kapsulasi dari Rimpang Kunyit
Tensiska., Nurhadi, B., dan Isfron, A.F. 210
Stankovic, I. 2004. Curcumin. Chemical and (Kajian Penggunaan Jenis Filler dan
Technical Assesment. FAO. Konsentrasi). Prosiding Seminar
PATPI 2007, Bandung.
Sukardi, E. Saati, A. & Wahyuni, S.
2007. Studi Pembuatan Bubuk Vargas, F. D. & Lopez, O.P. 2002. Natural
Pigmen Antosianin Ekstrak Mawar Colorants for Food and Nutraceutical
Merah (Rosa damascena Mill) Uses. New York: CRC Press.
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No. 3, November 2012: 211 - 218
ISSN 1411 - 0903
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk menapis aktivitas insektisida ekstrak tumbuhan terhadap Diaphorina citri
dan Toxoptera citricidus dan mengevaluasi pengaruhnya terhadap tanaman jeruk serta predator Halmus
chalibeus. Ekstrak yang diuji adalah ekstrak etanol dan ekstrak air yang diperoleh dengan menggunakan
metode maserasi. Bioassay dilakukan menggunakan metode residu pada daun (penyemprotan). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 19 ekstrak bahan tumbuhan yang ditapis ditemukan enam jenis
ekstrak yang aktif terhadap serangga hama uji. Keenam bahan tumbuhan dimaksud adalah biji Mimusops
elengi (Sapotaceae), biji Pometia pinnata (Sapindaceae), biji Barringtonia asiatica (Lecythidaceae), buah
Brucea javanica (Simaroubaceae), biji Jatropha curcas (Euphorbiaceae) dan Piper sp. (Piperaceae).
Ekstrak etanol tumbuhan tersebut pada konsentrasi 0,5% tidak menimbulkan gejala fitotoksit pada daun
tanaman jeruk. Ekstraks air tumbuhan tersebut pada konsentrasi 5% tidak menyebabkan kematian
larva predator H. chalibeus. Penelitian bioaktivitas ekstrak diperlukan untuk menentukan nilai (LC50),
selanjutnya juga diperlukan identifikasi senyawa aktif yang terkandung di dalam ekstrak.
Kata kunci: Diaphorina citri, ekstrak tumbuhan, Halmus chalibeus, insektisida botani, Toxoptera
citricidus
ABSTRACT
The objectives of this study were to screen the insecticidal activity of forest plants extracts against citrus
pest Diaphorinja citri and Toxoptera citricidus and their effects on citrus plants and predator Halmus
chalibeus. Extracts tested were ethanol extract and aquaeus extract, extraction used maceration method.
Bioassays performed using the leaf-residual method (spraying). The results showed that from the 19 plants
part extracts screened were found six active extracts against insect pests test. These active extracts were
Mimusops elengi seeds (Sapotaceae), Pometia pinnata seeds (Sapindaceae), Barringtonia asiatica seeds
(Lecythidaceae), Brucea javanica fruit (Simaroubaceae), Jatropha curcas seeds (Euphorbiaceae) and
Piper sp. Fruit (Piperaceae). Aquaeus extracts of plant material at a concentration of 5% could not cause
the death of the tested predator larvae. Ethanol extracts of these plants could not cause phytotoxicity
symptoms on the leaves of citrus. Study of extract toxicity are needed to determine the value of LC50,
the identification of active compounds are also required.
Key words: Diaphorina citri, botanical insecticides, plants extracts, Halmus chalibeus, Toxoptera
citricidus
larva predator H. chalibeus instar I dan tampaknya lebih disebabkan faktor jenis
II yang siap uji (umur 1 hari) dipindahkan serangga dan fase perkembangan serangga.
dengan menggunakan kuas lembut pada Fase serangga D. citri yang digunakan
daun tanaman jeruk hidup. Kemudian dalam penelitian ini adalah fase imago.
daun jeruk dan larva predator tersebut Tahapan perkembangan serangga yang lebih
disemprot dengan suspensi sediaan ekstrak tua umumnya relatif lebih tahan terhadap
menggunakan handsprayer hingga basah insektisida dibandingkan dengan tahapan
menetes. Untuk menjaga agar predator tetap yang lebih muda. Oleh karena itu diperlukan
di sekitar daun perlakuan, daun tersebut evaluasi aktivitas ekstrak etanol ini terhadap
diberi sangkar plastik berventilasi kasa pada serangga D. citri yang fasenya lebih muda.
salah satu ujungnya (diameter 8 cm, tinggi 20 Perbedaan aktivitas insektisida untuk
cm) yang telah disiapkan. Di dalam sangkar ekstrak tumbuhan yang sama terhadap kedua
diletakkan mangsa predator sebagai pakan jenis serangga hama ini salah satunya dapat
berupa kutu daun tanaman sehat. Perlakuan disebabkan perbedaan struktur morfologi
diulang tiga kali. Pada perlakuan kontrol eksternal dan internal diantara kedua serangga
daun dan larva predator hanya disemprot air hama tersebut. Perbedaan ini dapat menye-
yang mengandung etanol 1% dan pengemulsi babkan perbedaan proses-proses penetrasi
0,1%. Pengamatan mortalitas predator dan metabolisme insektisida tersebut di
dilakukan setiap hari dan dihentikan saat dalam setiap serangga hama. Perbedaan
kematian larva kontrol mencapai 20%. aktivitas antar bahan dapat disebabkan
perbedaan jenis dan atau kandungan bahan
HASIL DAN PEMBAHASAN aktif di dalam ekstrak. Faktor-faktor tersebut
merupakan fungsi toksisitas insektisida
Aktivitas Insektisida Ekstrak Etanol dalam menimbulkan kematian serangga
Mortalitas diantara serangga uji akibat hama. Beberapa contoh menunjukkan bahwa
kontak dengan 19 jenis ekstrak etanol sasaran insektisida botani bersifat spesifik
pada hasil penapisan ini beragam (Tabel sehingga insektisida botani hanya dapat
1). Tingkat mortalitas serangga hama yang membunuh serangga tertentu saja, meskipun
ditunjukkan setelah mendapat ekstrak terdapat juga contoh bahwa insektisida botani
perlakuan menunjukkan gambaran aktivitas dapat membunuh sejumlah sasaran. Untuk
setiap ekstrak yang diuji. Seluruh sediaan memastikan penyebab perbedaan diperlukan
ekstrak etanol yang diuji belum dapat kajian lanjutan.
menyebabkan mortalitas terhadap serangga
uji D.citri. Sebaliknya terhadap kutu daun Penapisan Aktivitas Ekstrak Air
T. citricidus, seluruh ekstrak etanol yang Tujuh biji/ buah tumbuhan yang dipilih
diuji menunjukkan aktivitas insektisida. untuk diuji ekstrak airnya menunjukkan
Hampir seluruh ekstrak etanol menunjukkan mortalitas serangga (Tabel 2). Namun
mortalitas 100% terhadap kutu daun T. keseluruhan ekstrak air tumbuhan tersebut
citricidus, kecuali ekstrak biji A. indica belum dapat menyebabkan mortalitas
yang menunjukkan mortalitas sebesar hingga 100%. Hanya satu jenis ekstrak
85%. Berbagai faktor dapat mempengaruhi yang mampu menunjukkan mortalitas di
keberhasilan suatu insektisida dalam atas 80%, yaitu ekstrak air biji M. elengi,
menyebabkan kematian serangga sasaran, sedangkan sisanya ekstrak air tersebut hanya
diantaranya jenis insektisida, konsentrasi mampu menunjukkan mortalitas di bawah
dan cara aplikasi insektisida, jenis serangga, 70%. Tingginya aktivitas yang ditunjukkan
fase perkembangan dan umur serangga oleh ekstrak air biji M. elengi terhadap T.
serta faktor lingkungan. Resultante faktor- citricidus ini menandakan bahwa senyawa
faktor tersebut merupakan fungsi toksisitas aktif yang terkandung pada biji tumbuhan
insektisida dalam menimbulkan kematian. tersebut pada konsentrasi yang diuji dengan
Tidak matinya imago D. ctri setelah kontak cara penyiapan yang dilakukan dapat
dengan ekstrak etanol dalam pengujian ini tersuspensi lebih baik dibandingkan dengan
Aktivitas Insektisida Ekstrak Tumbuhan terhadap Diaphorina citri 215
Tabel 1. Mortalitas Diaphorina citri dan Toxoptera citricidus hasil penapisan akarisida ekstrak tumbuhana
Mortalitas SB (%)b
Bagian
No Famili Tumbuhan Sesies Pelarut D.
tumbuhan T. citricidus
citri
1 Sapotaceae M. elengi B EtOH 0 100 0
2 Sapindaceae P. pinnata B EtOH 0 100 0
3 Nephelium cuspidatum Kb EtOH 0 100 0
4 Lecythidaceae B. asiatica B EtOH 0 100 0
5 D EtOH - 100 0
6 B. sarcostachys Kb EtOH 0 100 0
7 Meliaceaea A. indica B EtOH 0 85 11,8
8 Bg EtOH 0 100 0
9 Simaroubaceae Br. Javanica Bh EtOH 0 100 0
10 Piperaceae Piper sp. B EtOH 0 100 0
11 Clusiaceae C. soulattri Kb MeOH 0 100 0
12 Menispermaceae Tinospora crispa S EtOH 0 100 0
13 Caesalpiniaceae Casia tora D EtOH 0 100 0
14 Crassulaceae Kalanchoe pinnata D EtOH 0 100 0
15 Rutaceae Evodia swafiolens D EtOH - 100 0
16 Achantaceae Pseuderanthemum graciliflorum Kbh EtOH 0 100 0
17 D EtOH 0 100 0
Belum diidentifikasi
18 Buah tuba Bh EtOH 0 100 0
19 Emparu Bh EtOH 0 100 0
a
Ekstrak ditapis pada konsentrasi 0,5%; b Perhitungan mortalitas dilakukan pada 4 hari setelah perlakuan, persentase
mortalitas telah dikoreksi dengan Abbott (1925); - tidak dilakukan pengujian (ekstrak tidak tersedia). Jumlah
serangga yang digunakan untuk pengujian adalah 30 ekor.
B: Biji; Bh: Buah; Kb: Kulit batang; Kbh: Kulit buah; D: Daun; Bg: Bunga; R: Ranting; S: Stolon; U: Umbi
bahan biji lainnya. Dengan kata lain keadaan Tabel 2. Mortalitas Toxoptera citricidus hasil
ini menggambarkan bahwa senyawa aktif pengujian ekstrak air biji tumbuhana
yang tersuspensi pada ekstrak air lainnya
belum cukup kuat menyebabkan mortalitas No Spesies tumbuhan Mortalitas SB (%)b
larva uji. Sejumlah sediaan bahan tanaman 1 M. elengi 86 11,3
dapat disiapkan dengan ekstrak air yang 2 P. pinnata 44 22,6
mengandung metanol 0,75-1% dan diterjen 3 B. asiatica 68 0
0,1-0,2% dan pada konsentrasi 5% -10% 4 A. indica 42 11,3
aktif terhadap larva C. pavonana. Dengan 5 Br. javanica 10 67,9
aktifnya ekstrak air biji M. elengi terhadap 6 Piper sp. 56 0
T. citricidus maka aplikasi sediaan tersebut 7 J. curcas 54 11,3
di lapangan nantinya diharapkan dapat a
Ekstrak air diuji pada konsentrasi 5%
mengendalikan hama tersebut. b
Perhitungan mortalitas dilakukan pada 4 hari setelah
Secara umum dibandingkan dengan perlakuan, persentase mortalitas telah dikoreksi
ekstrak etanol pada konsentrasi ekstrak dengan Abbott (1925)
yang diuji, insektisida ekstrak air lebih
untuk aplikasinya di lapangan tampaknya
rendah aktivitas insektisidanya. Keadaan
penyiapan sediaan berbahan ekstrak
ini menggambarkan bahwa senyawa aktif
etanol lebih baik dibandingkan ekstrak air.
yang tersuspensi dalam air pada konsentrasi
Konsentrasi tertinggi dari suatu sediaan
yang diuji tidak cukup kuat menyebabkan
berbahan ekstrak organik untuk kelayakan
mortalitas serangga uji. Dengan demikian
penggunaan di lapangan sekitar 0,5%.
Syahputra, E., dan Endarto, O. 216
predator, kecuali sediaan berbahan serbuk sebagai fungisida dan bakterisida. Satish
biji M. elengi yang dapat menyebabkan et al. (2008) melaporkan ekstrak air biji M.
mortalitas larva predator sebesar tidak elengi menghambat pertumbuhan miselia
lebih 10%. Tingginya toksisitas pada instar cendawan Aspergillus niger. Hazra et al.
I terjadi karena tingginya kepekaan larva (2008) telah mengisolasi dua jenis senyawa
instar I predator tersebut terhadap ekstrak. pentahydroxy flavonoid dari biji M. elengi
Hal ini berimplikasi di lapangan bahwa yang berfungsi sebagai bakterisida. Lavaud
ekstrak-ekstrak aktif tersebut tidak dapat et al. (2008) melaporkan telah mengisolasi
diaplikasikan ke tanaman saat populasi larva enam jenis senyawa saponin dari kernel biji
predator instar I di lapangan sedang tinggi. M. elengi, M. hexandra, dan M. manilkara.
Pengaruh insektisida sintetik atau insektisida Ekstrak etanol biji P. pinnata (Sapindaceae)
botani terhadap serangga temasuk predator menunjukkan aktivitas insektisida terhadap
dapat beragam. Salah satunya tergantung C. pavonana dengan nilai LC50 0,16%.
pada fase perkembangan dan umur serangga Tanaman Sapindus rarak, Sapindaceae
(Reitz & Trumble, 1996). Senyawa sekunder lainnya telah diketahui aktivitas biologinya
tanaman atau insektisida botani tertentu sebagai insektisida.
relatif kurang toksik atau tidak berpengaruh Aktivitas biologi tanaman Simarou-
terhadap karakter biologi parasitoid baceae dari berbagai belahan dunia telah
(Schmutterer, 1997). dilaporkan, diantaranya sebagai obat kese-
hatan manusia dan aktivitasnya sebagai
Tabel 4. Toksisitas ekstrak air terhadap larva insektisida, amoebisida dan herbisida. Dari
Coccinellidae Halmus chalibeus tanaman Br. javanica, telah diisolasi brucein
instar I dan IIa yang merupakan salah satu contoh senyawa
aktif yang memiliki aktivitas antimalaria
Jenis Mortalitas SB (%)b (Kim et al., 2004). Genus lain dari famili
No tanaman Simaroubaceae yang telah lama
tumbuhan
Instar I Instar II dilaporkan aktif sebagai insektisida adalah
1 M. elengi 100 0 10 Quassia, salah satu spesiesnya adalah
2 P. pinnata 100 0 0 Q. amara. Senyawa aktif dari tanaman
3 B. asiatica 100 0 0 tersebut yang umum diketahui aktif terhadap
0 beberapa jenis serangga adalah quassin.
4 A.indica 100 0
Tanaman Q. amara, selain aktif sebagai obat
5 Br. javanica 100 0 0
dan insektisida, bersama dengan Q. undulata
6 Piper sp 100 0 0 ekstraknya juga aktif sebagai fungisida dan
7 J. curcas 100 0 0 bakterisida.
a
Sediaan sederhana berbahan serbuk diuji pada
konsentrasi 5%. SIMPULAN
b
Perhitungan mortalitas dilakukan pada 4 hari setelah
perlakuan, persentase mortalitas telah dikoreksi Penelitian ini berhasil mengungkapkan
dengan Abbott (1925) beberapa sumber insektisida botani
baru terhadap T. citricidus. Bahan-
Ekstrak tumbuhan aktif seperti temuan bahan tumbuhan yang dimaksud adalah
penelitian ini, beberapa diantaranya telah biji M. elengi (Sapotaceae), P. pinnata
dilaporkan aktivitas biologinya. Berbagai (Sapindaceae), B. asiatica (Lecythidaceae),
ekstrak biji dan daun tanaman J. curcas Br. javanica (Simaroubaceae), J. curcas
(Euphorbiaceae) menunjukkan sifat anti- (Euphorbiaceae) dan Piper sp. (Piperaceae).
moluska, anti-serangga dan anti-jamur. Ekstrak etanol tumbuhan tersebut pada
Sediaan biji tanaman Euphorbiaceae konsentrasi 0,5% tidak menimbulkan gejala
lainnya dilaporkan aktif terhadap beberapa fitotoksit pada daun tanaman jeruk. Ekstrak
jenis serangga dan tungau. Aktivitas M. air tumbuhan tersebut pada konsentrasi 5%
elengi (Sapotaceae) saat ini telah diketahui tidak menyebabkan kematian larva predator
Syahputra, E., dan Endarto, O. 218
H. chalibeus. Penelitian bioaktivitas ekstrak Loke, W.H., Heng, C.K., Basirun, N., &
diperlukan, selanjutnya juga diperlukan Rejab, A. 1990. Non-target effects of
identifikasi senyawa aktif yang terkandung neem (Azadirachta indica A. Juss) on
di dalam ekstrak. Apanatales plutellae Kurdj., cabbage,
sawi and padi. In: Proceedings 3rd
UCAPAN TERIMA KASIH International Conference on Plant
Protection in the Tropics. Malaysia,
Ucapan terima kasih disampaikan pada Badan March 20-23, 1990. pp. 108-110.
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pahang: Malaysian Plant Protection
Departemen Pertanian yang telah mendanai Society.
penelitian ini melalui Proyek KKP3T dengan
Surat Perintah Kerja Pelaksanaan Penelitian Reitz, S.R., & Trumble, J.T. 1996.
Nomor 763/LB.620/I.1/3/2008 Tritrophic interactions among linier
furanocoumarins the herbivore Trichop-
DAFTAR PUSTAKA lusia ni (Lepidoptera: Noctuidae), and the
polyembrionic parasitoid Copidosoma
Abbott, W.S. 1925. A method of computing floridanum (Hymenoptera: Encyrtidae).
the effectiveness of an insecticide. J. Environ. Entomol., 25: 1391-1397.
Econ. Entomol., 18:265-267.
Satish, S., Raghavendra, M.P., Mohana, D.C.,
Dono, D. 2004. Aktivitas insektisida & Raveesha, K.A. 2008. Antifungal
rokaglamida dan penghambatan respons activity of a known medicinal plant
imunitas larva Crocidolomia pavonana Mimusops elengi L. against grain
(Fabricus) terhadap parasitoid Eriborus moulds. J. Agric. Tech.
argenteopilosus (Cameron). Bogor:
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Schmutterer, H. 1997. Side-effects of neem
Bogor. (Azadirachta indica) products on
insect pathogens and natural enemies
Hazra, K.M., Roy, R.N., Sen, S.K., & Laskar of spider mites and insects. J. Appl.
S. 2007. Isolation of antibacterial Entomol., 121:121-128.
pentahydroxy flavones from the seeds
of Mimusops elengi Linn. http://www. Syahputra E. 2008. Bioaktivitas sediaan
academicjournals.org/AJB/PDF/ buah Brucea javanica sebagai
pdf2007/18Jun/Hazra%20et%20al. insektisida botani untuk serangga
pdf. Accessed on 28 Mei 2008. hama pertanian. Bul. Penelitian Tan.
Rempah & Obat, 19(1):57-67.
Kim, I.H., Takashima, Hirosuyanagi, Y.,
Hasuda, T., & Takeya, K. 2004. New Syahputra, E. 2007. Aktivitas insektisida
quassinoids, javanicolides C & D and ekstrak kulit batang Calophyllum
javanicoides B-F, from seed of Brucea soulattri terhadap ulat kubis
javanica. J. Nat. Prod., 67(5):863- Crocidolomia pavonana. Bionatura,
868. 9(3):294-305
ABSTRACT
The objective of this study was to investigate the reproductive aspect of Triciuroidea, including sex
ratio, GSI, fecundity, egg diameter, and spawning pattern. The study was conducted on July, September,
and November 2007 in Palabuhan Ratu, West Java. The fishes were caught using long line and hand line
number 6, 7, 8, and 9. Total samples were 194 individuals, consisted of 71 individuals Trichiurus lepturus
(44 males and 27 females), 101 individuals Lepturacanthus savala (57 males, 44 ekor females) and 22
individuals Gempylus serpens (14 males and 8 females). Sex ratio were un balanced and dominated by
the male fish. Presumably, the spawning period for T. lepturus and L. savala was started from July. The
fecundity of T. lepturus and L. savala were between 2877-16875 eggs and 4399-15261 eggs respectively.
The egg diameter of T. lepturus and L. savala were 0,3-1,37 and 0,3-1,5 mm.The spawning pattern of T.
lepturus and L. savala were partial spawner.
mengalami penurunan total produksi. Dan menggunakan alat tangkap pancing rawai
selebihnya memperlihatkan peningkatan dan pancing ulur berukuran 6-9 oleh para
total produksi (PPN Palabuhanratu, 2007). nelayan di sekitar perairan Palabuhanratu,
Hal ini disebab-kan terus meningkatnya Sukabumi, Jawa Barat yang kemudian
permintaan layur baik dari pasar domestik didaratkan di TPI Palabuhanratu. Ikan yang
maupun untuk keperluan ekspor. Jumlah ini tertangkap dimasukkan ke dalam wadah
merupakan angka cukup besar sebagai suatu cold box kemudian ikan contoh di bawa ke
komoditi perikanan untuk dikembangkan Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Fakultas
lebih lanjut. Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Per-
Permintaan pasar ikan layur cenderung tanian Bogor untuk diteliti lebih lanjut.
meningkat. Hal ini menyebabkan usaha Ikan contoh diukur panjang totalnya dan
penangkapan pun meningkat. Dengan ditimbang beratnya, kemudian ikan dibedah
semakin meningkatnya usaha penangkapan dan diambil gonadnya untuk ditimbang dan
maka penangkapan ikan layur di perairan ditentukan jenis kelaminnya. Pengamatan
Palabuhanratu cenderung tidak terkendali, tingkat kematangan gonad (TKG) dilihat
karena hasil tangkapan merupakan prioritas dari bentuk gonad, besar kecilnya gonad,
bagi nelayan. Tidak jarang ikan-ikan kecil warna gonad, dan lunak pejalnya gonad.
serta ikan matang gonad dan siap berpijah Penentuan TKG gonad ikan mengacu
juga ikut tertangkap. Dengan penangkapan kepada morfologi gonad modifikasi Cassie
ikan yang tidak terkendali dan berlangsung dalam Effendi (1997). Sedangkan karakter
terus menerus, dikhawatirkan akan terjadi mikroskopik gonad diamati berdasarkan
overfishing. Overfishing dapat menyebabkan preparat histologis gonad jantan dan gonad
perubahan struktur populasi. Oleh karena itu betina.
diperlukan usaha rekruitmen dan reproduksi Penentuan hubungan panjang-berat
untuk menghasilkan keturunan sebagai menggunakan rumus (Effendie, 1997)
upaya untuk melestarikan jenisnya. W = a Lb
Pengetahuan tentang biologi repro- Keterangan :
duksi merupakan salah satu alat yang dapat W = berat total ikan (g)
digunakan dalam rangka pemanfaatan ber- L = panjang total ikan (mm)
a dan b = konstanta hasil regresi
kelanjutan sumberdaya ikan layur. Dengan
mengetahui aspek reproduksi ikan layur Pada pertumbuhan ikan isometrik
maka penangkapan dapat dilakukan secara (b=3), maka faktor kondisi menggunakan
optimal dan lestari sehingga diharapkan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997):
kelestarian tetap terjaga dan menjadi dasar
dalam pengelolaan berkelanjutan. 10 5
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji K= 3 W
L
aspek biologi reproduksi diantara ketiga
spesies ikan layur (Trichiurus lepturus, Leptu- Pada pertumbuhan allometrik, faktor
racanthus savala dan Gempylus serpens) kondisi dihitung dengan menggunakan
seperti rasio kelamin, faktor kondisi, tingkat
W
kematangan gonad, fekunditas, diameter Rumus : K =
telur dan pola pemijahan. aL b
Keterangan :
BAHAN DAN METODE K = Faktor kondisi
W = Berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram)
L = Panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm)
Penelitian ini dilakukan pada bulan a dan b = Konstanta dari regresi
Juli-November 2007, yang mewakili musim
Timur (Juli dan September) dan mewakili Rasio kelamin dihitung dengan cara
musim peralihan (November). Pengambilan membandingkan jumlah ikan jantan dan
ikan contoh dilakukan pada bulan Juli, ikan betina. Penentuan seimbang atau
September dan November 2007 dengan tidaknya rasio kelamin jantan dan betina
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 221
J
Rasio Kelamin =
B
Keterangan :
J = Jumlah ikan jantan (ekor) (b)
B = Jumlah ikan betina (ekor)
B
g
IKG = x 100% (c)
B
t
Keterangan:
IKG = Indeks kematangan gonad
Bg = Berat gonad (gram)
Bt = Berat total (gram)
Fekunditas dihitung dengan meng- Selang kelas (mm)
gunakan metode gabungan. Dengan meng- Gambar 1. Sebaran panjang ikan layur
gunakan rumus sebagai berikut (Effendie, T.lepturus (a); L. savala (b);
1979): dan G. serpens (c)
Pada Gambar 1 terlihat bahwa kelas Tabel 1. Hubungan panjang bobot ikan layur
ukuran panjang ikan layur antara ketiga Ikan JK n a b r
spesies yang cukup beragam. Banyaknya T.
kelas ukuran panjang ikan ini memperlihatkan Lepturus Jantan 44 1x1-06 2,8857 0,97
keragaman ukuran ikan yang ditangkap. Betina 27 1x1 -05
2,531 0,93
Hal ini dikarenakan dalam penangkapan L.
ikan layur digunakan pancing (rawai atau Savala Jantan 57 2x1-07 3,2626 0,92
pancing ulur) dengan ukuran mata pancing Betina 44 2x1 2,8368 0,89
-06
ditemukan tidak seimbang pada penelitian Prabhu (1955) dalam Bal & Rao (1984)
Shih et al. (2011) yang diduga karena menyatakan bahwa pemijahan T. lepturus
terpengaruh distribusi spasial, pertumbuhan, hanya berlangsung sekali dalam setahun
dan laju kematian. yaitu pada bulan Juni, namun penelitian-
penelitian lain mengindikasikan pemijahan
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) terjadi pada Mei-Juni dan November-
Berdasarkan bulan pengamatan ikan Desember (Tampi et al. 1971; Narasimham
layur diantara ketiga spesies tersebut dapat 1976 dalam Bal dan Rao (1984). Berbeda
diketahui bahwa dari ketiga spesies ikan layur halnya dengan Parin (1986), menyatakan
tersebut baik ikan jantan atau ikan betina bahwa T. lepturus yang hidup di daerah
didominasi oleh ikan TKG I dan II (Gambar Mediterranean memijah pada bulan Juli-
2). Dari pengetahuan tahap perkembangan Agustus. Untuk jenis ikan layur L.savala,
gonad ini juga akan didapatkan keterangan musim pemijahan umumnya berlangsung
bilamana ikan tersebut akan memijah, antara bulan Maret-Mei. Sehubungan dengan
baru memijah atau sudah selesai memijah tujuan pemijahan dan lainnya, sejauh ini
(Effendie, 1997). Untuk ikan layur betina untuk mempertahankan agar ikan ini tetap
jenis T. lepturus dan L. savala komposisi bisa hidup (Setiawan, 2006).
terbanyak TKG III dan TKG IV ditemukan Berdasarkan hasil penelitian, ikan
pada bulan Juli. Sedangkan ikan layur jenis layur T. lepturus jantan dan betina pertama
G. serpens betina yang memiliki TKG III kali matang gonad pada ukuran 725 mm
dan IV tidak ditemukan pada setiap waktu dan 633 mm; L. savala jantan pada ukuran
pengamatan. Tidak ditemukannya ikan G. 552 mm dan betina pada ukuran 592 mm;
serpens betina yang matang gonad diduga sedangkan ikan G. serpens jantan matang
karena pola ruaya ikan G. Serpens ke perairan gonad pertama kali pada ukuran 668 mm
yang lebih dalam. Selain itu, ikan dewasa namun tidak ditemukannya ikan betina yang
hidup cenderung soliter, ikan ini menyebar memasuki fase matang gonad (TKG III dan
pada perairan yang relatif dalam (Nakamura TKG IV) sehingga tidak dapat diketahui
dan Parin, 1993). Persentase TKG tiap bulan ukuran ikan betina pertama kali matang
untuk ikan T. lepturus, L. savala dan G. gonad. Persentase ikan yang matang gonad
serpens disajikan pada Gambar 2. berdasarkan panjang tubuh disajikan pada
Gambar 3.
JANTAN BETINA
Tiap-tiap spesies ikan pertama kali
A
matang gonad pada ukuran yang tidak sama.
Ikan T. lepturus betina lebih cepat matang
gonad dibandingkan ikan jantan. Sebaliknya
untuk ikan layur L. savala, dimana ikan
tersebut ikan jantan lebih cepat matang
B gonad jika dibandingkan ikan betinanya.
Perbedaan ukuran matang gonad jantan dan
betina juga diperoleh Kwok (1999) pada ikan
TKG
Indeks Kematangan Gonad (IKG) Tabel. Indeks Kematangan Gonad (IKG) ikan layur
Indeks kematangan gonad ikan layur September November
Juli
bervariasi pada setiap waktu pengamatan.
Ikan JK
Ikan layur jantan spesies T. lepturus memiliki Re-
Sb
Re-
Sb
Re-
Sb
rata rata rata
kisaran IKG rata-rata berkisar antara
Jantan 0,73 1,33 0,71 0,73 0,50 0,22
0,4999%-0,7349% dan ikan betina memiliki T.
Lepturus Betina 1,20 1,00 0,99 1,12 0,49 0,00
kisaran IKG antara 0,4924%-1,2042%
(Gambar 16). Ikan layur jantan jenis L.savala Jantan 0,45 0,21 0,45 0,34 0,56 0,44
memiliki nilai indeks kematangan gonad L. Savala Betina 1,42 1,16 0,38 0,22 0,22 0,10
dan ikan betina antara 0,2235%-1,4206% Betina 0,23 0,18 0,33 0,10
(Gambar 17). Nilai indeks kematangan Keterangan: JK= Jenis kelamin; Sb= simpangan baku
gonad (IKG) Ikan jantan jenis G. Serpens
berkisar antara 0,4121%-0,4190%. Ikan Rata-rata IKG ikan betina lebih besar
betina memiliki kisaran rata-rata IKG antara dibandingkan ikan jantan. Diduga hal ini
0,2327%-0,3323% (Gambar 18). disebabkan pertumbuhan ikan betina lebih
Pada bulan Juli diduga ikan layur tertuju pada pertumbuhan gonad, akibatnya
jenis T. lepturus dan L. savala memasuki berat gonad ikan betina menjadi lebih besar
pemijahan, hal ini terlihat jelas dari dibandingkan berat gonad ikan jantan.
terdapatnya ikan jantan dan betina dengan Dengan kata lain pengaruh perkembangan
TKG III dan IV. Oleh karena itu, nilai indeks gonad lebih signifikan dibandingkan ikan
kematangan gonad pada bulan tersebut cukup jantan. Berbeda halnya dengan ikan G.
tinggi. Namun tingginya nilai rata-rata IKG serpens, dimana ikan jantan nilai IKG lebih
pada bulan November untuk ikan layur jenis tinggi dibandingkan ikan betina. Hal ini
G. serpens tidak dapat dijadikan nilai IKG diduga karena tidak ditemukannya ikan betina
tertinggi dikarenakan sedikitnya jumlah matang gonad, berbeda halnya dengan ikan
sampel dan pengamatan hanya dilakukan jantan yang memiliki fase matang gonad.
dua bulan.
Fekunditas
A Berdasarkan pengamatan secara
makroskopis dari tiga spesies ikan layur
didapatkan bahwa ikan layur betina yang
memiliki TKG III dan TKG IV adalah
ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala.
Ikan layur betina jenis G. serpens selama
B pengamatan hanya memiliki TKG I dan
TKG II.
Fekunditas ikan layur jenis T. lepturus
TKG
cm sampai 154.216 pada ikan contoh yang Tabel. Hubungan fekunditas dengan panjang dan
memiliki panjang total 141 cm namun jumlah fekunditas dengan bobot ikan layur
pemijahan pada tiap musim belum dapat Ikan Parameter a b r
ditentukan. Sedangkan menurut Ball dan
T. Panjang 14,336 0,9299 0,2706
Rao (1984), fekunditas ikan layur T. lepturus
Lepturus Berat 341,44 0,5384 0,4048
berkisar antara 4000 (panjang ikan 42 cm)
hingga 16.000 (panjang ikan 60 cm). L. Savala Panjang 0,0107 2,0864 0,6528
Berat 0,7443 1,6304 0,7443
Dari jumlah total ikan layur betina
jenis L. savala yang diamati, diperoleh Keterangan: a dan b= koefisien regresi; r= koefisien
korelasi
sebanyak 4 ekor ikan yang memiliki TKG
III dan 3 ekor ikan memiliki TKG IV. Nilai Diameter Telur
fekunditas ikan layur betina jenis L.savala Sebaran diameter telur dari ikan layur
berkisar antara 4399-15261 butir. Fekunditas jenis T. lepturus yang diamati pada gonad
maksimum didapatkan pada ikan betina TKG III dan TKG IV bervariasi antara 0,3-
dengan ukuran panjang total sebesar 927 mm 1,37 mm, terbagi dalam 12 kelas ukuran
dan berat tubuh sebesar 295,10 gram. Ikan L. diameter telur (Gambar 21). Pada TKG III,
savala nilai fekunditas berkisar antara 9.178 diameter telur terbanyak terdapat pada kisaran
untuk ikan yang memiliki panjang total 37 ukuran diameter antara 0,57-0,65 mm. Pada
cm sampai 17.347 pada ikan contoh yang TKG IV didapatkan diameter telur terbanyak
memiliki panjang total sebesar 54 cm (Ball berkisar antara 0,93-1,01 mm. Diameter telur
& Rao, 1984). ikan layur jenis L. Savala berkisar antara 0,3-
Berdasarkan analisa hubungan fekun- 1,5 mm (Gambar 22). Diameter telur TKG
ditas ikan layur jenis T. lepturus dengan III menyebar pada kisaran 0,3 mm-1,17 mm.
panjang total (mm) diperoleh nilai korelasi Sedangkan diameter telur TKG IV menyebar
(r) sebesar 0,27 sedangkan dengan berat pada kisaran 0,3 mm-1,50 mm. Terjadinya
tubuh total (gram) diperoleh nilai korelasi peningkatan ukuran diameter telur dari
(r) sebesar 0,40 (Gambar 19). Untuk ikan TKG III ke TKG IV seperti yang dikatakan
layur jenis L. savala, berdasarkan analisa Effendie (1979) yaitu umumnya sudah dapat
hubungan fekunditas dengan panjang total diduga bahwa semakin meningkat tingkat
(mm) diperoleh nilai korelasi (r) sebesar kematangan gonad maka diameter telur yang
0,65 sedangkan dengan berat tubuh total ada di dalam ovarium semakin besar pula.
(gram) didapatkan nilai korelasi sebesar Ikan laut memiliki karakteristik ukuran
0,74 (Gambar 20). Untuk ikan layur jenis telur lebih kecil dibandingkan dengan
T. lepturus dan L. Savala didapatkan ikan air tawar. Fekunditas ikan-ikan laut
hasil bahwa bobot tubuh lebih baik untuk komersial penting pada umumnya lebih besar
menduga nilai fekunditas dibandingkan (Chambers & Leggett, 1996). Berdasarkan
dengan panjang total tubuhnya. Hal ini dapat penelitian Martins & Haimovici (2000) yang
terlihat dari nilai korelasi yang cukup erat telah dilakukan pada perairan ekosistem
antara fekunditas dengan berat tubuh total. utama subtropis Brazil bagian selatan pada
Peningkatan fekunditas berhubungan dengan bulan September hingga Februari, ditemukan
peningkatan berat tubuh dan berat gonad bahwa diameter telur ikan layur T. lepturus
(Solihatin, 2007). Hubungan fekunditas yang diambil dari TKG III dan TKG IV
dengan panjang total dalam penelitian ini mencapai 0,8 mm dari 56 sampel gonad ikan
menunjukkan hubungan koefisien korelasi layur. Shiokawa (1988) dalam Nakamura
yang kecil. Hal ini diduga karena terdapatnya dan Parin (1993) menyatakan bahwa telur
fekunditas yang bervariasi pada ikan-ikan ikan layur T. lepturus adalah pelagis dengan
yang mempunyai ukuran panjang hampir ukuran diameter telur antara 1,59-1,88 mm.
sama.
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 227
Dari sebaran frekuensi diameter telur Ikan layur T. lepturus betina lebih cepat
TKG IV ikan T. lepturus dan L. savala matang gonad dibandingkan ikan jantan.
maka diperoleh modus penyebaran dua Sedangkan ikan L. savala jantan lebih cepat
puncak. Ini menandakan bahwa ikan T. matang gonad dibandingkan ikan betina. Pada
lepturus dan L. savala tergolong kelompok saat penelitian, komposisi TKG III dan TKG
ikan yang memijah dengan mengeluarkan IV tertinggi untuk spesies T. lepturus dan L.
telur sebagian-sebagian (partial spawner), Savala terdapat pada bulan Juli. Penelitian
dimana telur yang sudah matang dan berada dilakukan mewakili musim timur (Juli dan
dipuncak pertama akan dikeluarkan terlebih September) dan mewakili musim peralihan
dahulu menyusul dengan pengeluaran telur (November). Nilai fekunditas ikan betina T.
yang berada dipuncak berikutnya. Sama lepturus berkisar antara 2877-16875 butir.
halnya dengan penelitian Wojciechowski Sedangkan nilai fekunditas ikan L. savala
(1972) yang menyatakan bahwa ikan layur betina berkisar antara 4399-15261 butir.
T. lepturus L. (Trichiuroidae) di Teluk Mau- Berdasarkan pola penyebaran diameter telur
ritania mempunyai periode reproduksi secara diduga bahwa ikan T.lepturus dan L.savala
partial spawning pada lapisan permukaan memijah secara partial spawner.
dimana suhu dan salinitas berperan penting.
Menurut Wojciechowski (1972), spesies DAFTAR PUSTAKA
ikan layur melakukan proses pemijahan pada
bulan Mei hingga Oktober. Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine
Fisheries. Tata McGraw-Hill Publis-
hing Company Limited. New Delhi.
Frekuensi (%)
250 hal.
ABSTRACT
The objective of this study was to investigate the reproductive aspect of Triciuroidea, including sex
ratio, GSI, fecundity, egg diameter, and spawning pattern. The study was conducted on July, September,
and November 2007 in Palabuhan Ratu, West Java. The fishes were caught using long line and hand line
number 6, 7, 8, and 9. Total samples were 194 individuals, consisted of 71 individuals Trichiurus lepturus
(44 males and 27 females), 101 individuals Lepturacanthus savala (57 males, 44 ekor females) and 22
individuals Gempylus serpens (14 males and 8 females). Sex ratio were un balanced and dominated by
the male fish. Presumably, the spawning period for T. lepturus and L. savala was started from July. The
fecundity of T. lepturus and L. savala were between 2877-16875 eggs and 4399-15261 eggs respectively.
The egg diameter of T. lepturus and L. savala were 0,3-1,37 and 0,3-1,5 mm.The spawning pattern of T.
lepturus and L. savala were partial spawner.
mengalami penurunan total produksi. Dan menggunakan alat tangkap pancing rawai
selebihnya memperlihatkan peningkatan dan pancing ulur berukuran 6-9 oleh para
total produksi (PPN Palabuhanratu, 2007). nelayan di sekitar perairan Palabuhanratu,
Hal ini disebab-kan terus meningkatnya Sukabumi, Jawa Barat yang kemudian
permintaan layur baik dari pasar domestik didaratkan di TPI Palabuhanratu. Ikan yang
maupun untuk keperluan ekspor. Jumlah ini tertangkap dimasukkan ke dalam wadah
merupakan angka cukup besar sebagai suatu cold box kemudian ikan contoh di bawa ke
komoditi perikanan untuk dikembangkan Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Fakultas
lebih lanjut. Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Per-
Permintaan pasar ikan layur cenderung tanian Bogor untuk diteliti lebih lanjut.
meningkat. Hal ini menyebabkan usaha Ikan contoh diukur panjang totalnya dan
penangkapan pun meningkat. Dengan ditimbang beratnya, kemudian ikan dibedah
semakin meningkatnya usaha penangkapan dan diambil gonadnya untuk ditimbang dan
maka penangkapan ikan layur di perairan ditentukan jenis kelaminnya. Pengamatan
Palabuhanratu cenderung tidak terkendali, tingkat kematangan gonad (TKG) dilihat
karena hasil tangkapan merupakan prioritas dari bentuk gonad, besar kecilnya gonad,
bagi nelayan. Tidak jarang ikan-ikan kecil warna gonad, dan lunak pejalnya gonad.
serta ikan matang gonad dan siap berpijah Penentuan TKG gonad ikan mengacu
juga ikut tertangkap. Dengan penangkapan kepada morfologi gonad modifikasi Cassie
ikan yang tidak terkendali dan berlangsung dalam Effendi (1997). Sedangkan karakter
terus menerus, dikhawatirkan akan terjadi mikroskopik gonad diamati berdasarkan
overfishing. Overfishing dapat menyebabkan preparat histologis gonad jantan dan gonad
perubahan struktur populasi. Oleh karena itu betina.
diperlukan usaha rekruitmen dan reproduksi Penentuan hubungan panjang-berat
untuk menghasilkan keturunan sebagai menggunakan rumus (Effendie, 1997)
upaya untuk melestarikan jenisnya. W = a Lb
Pengetahuan tentang biologi repro- Keterangan :
duksi merupakan salah satu alat yang dapat W = berat total ikan (g)
digunakan dalam rangka pemanfaatan ber- L = panjang total ikan (mm)
a dan b = konstanta hasil regresi
kelanjutan sumberdaya ikan layur. Dengan
mengetahui aspek reproduksi ikan layur Pada pertumbuhan ikan isometrik
maka penangkapan dapat dilakukan secara (b=3), maka faktor kondisi menggunakan
optimal dan lestari sehingga diharapkan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997):
kelestarian tetap terjaga dan menjadi dasar
dalam pengelolaan berkelanjutan. 10 5
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji K= 3 W
L
aspek biologi reproduksi diantara ketiga
spesies ikan layur (Trichiurus lepturus, Leptu- Pada pertumbuhan allometrik, faktor
racanthus savala dan Gempylus serpens) kondisi dihitung dengan menggunakan
seperti rasio kelamin, faktor kondisi, tingkat
W
kematangan gonad, fekunditas, diameter Rumus : K =
telur dan pola pemijahan. aL b
Keterangan :
BAHAN DAN METODE K = Faktor kondisi
W = Berat rata-rata ikan dalam satu kelas (gram)
L = Panjang rata-rata ikan dalam satu kelas (mm)
Penelitian ini dilakukan pada bulan a dan b = Konstanta dari regresi
Juli-November 2007, yang mewakili musim
Timur (Juli dan September) dan mewakili Rasio kelamin dihitung dengan cara
musim peralihan (November). Pengambilan membandingkan jumlah ikan jantan dan
ikan contoh dilakukan pada bulan Juli, ikan betina. Penentuan seimbang atau
September dan November 2007 dengan tidaknya rasio kelamin jantan dan betina
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 221
J
Rasio Kelamin =
B
Keterangan :
J = Jumlah ikan jantan (ekor) (b)
B = Jumlah ikan betina (ekor)
B
g
IKG = x 100% (c)
B
t
Keterangan:
IKG = Indeks kematangan gonad
Bg = Berat gonad (gram)
Bt = Berat total (gram)
Fekunditas dihitung dengan meng- Selang kelas (mm)
gunakan metode gabungan. Dengan meng- Gambar 1. Sebaran panjang ikan layur
gunakan rumus sebagai berikut (Effendie, T.lepturus (a); L. savala (b);
1979): dan G. serpens (c)
Pada Gambar 1 terlihat bahwa kelas Tabel 1. Hubungan panjang bobot ikan layur
ukuran panjang ikan layur antara ketiga Ikan JK n a b r
spesies yang cukup beragam. Banyaknya T.
kelas ukuran panjang ikan ini memperlihatkan Lepturus Jantan 44 1x1-06 2,8857 0,97
keragaman ukuran ikan yang ditangkap. Betina 27 1x1 -05
2,531 0,93
Hal ini dikarenakan dalam penangkapan L.
ikan layur digunakan pancing (rawai atau Savala Jantan 57 2x1-07 3,2626 0,92
pancing ulur) dengan ukuran mata pancing Betina 44 2x1 2,8368 0,89
-06
ditemukan tidak seimbang pada penelitian Prabhu (1955) dalam Bal & Rao (1984)
Shih et al. (2011) yang diduga karena menyatakan bahwa pemijahan T. lepturus
terpengaruh distribusi spasial, pertumbuhan, hanya berlangsung sekali dalam setahun
dan laju kematian. yaitu pada bulan Juni, namun penelitian-
penelitian lain mengindikasikan pemijahan
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) terjadi pada Mei-Juni dan November-
Berdasarkan bulan pengamatan ikan Desember (Tampi et al. 1971; Narasimham
layur diantara ketiga spesies tersebut dapat 1976 dalam Bal dan Rao (1984). Berbeda
diketahui bahwa dari ketiga spesies ikan layur halnya dengan Parin (1986), menyatakan
tersebut baik ikan jantan atau ikan betina bahwa T. lepturus yang hidup di daerah
didominasi oleh ikan TKG I dan II (Gambar Mediterranean memijah pada bulan Juli-
2). Dari pengetahuan tahap perkembangan Agustus. Untuk jenis ikan layur L.savala,
gonad ini juga akan didapatkan keterangan musim pemijahan umumnya berlangsung
bilamana ikan tersebut akan memijah, antara bulan Maret-Mei. Sehubungan dengan
baru memijah atau sudah selesai memijah tujuan pemijahan dan lainnya, sejauh ini
(Effendie, 1997). Untuk ikan layur betina untuk mempertahankan agar ikan ini tetap
jenis T. lepturus dan L. savala komposisi bisa hidup (Setiawan, 2006).
terbanyak TKG III dan TKG IV ditemukan Berdasarkan hasil penelitian, ikan
pada bulan Juli. Sedangkan ikan layur jenis layur T. lepturus jantan dan betina pertama
G. serpens betina yang memiliki TKG III kali matang gonad pada ukuran 725 mm
dan IV tidak ditemukan pada setiap waktu dan 633 mm; L. savala jantan pada ukuran
pengamatan. Tidak ditemukannya ikan G. 552 mm dan betina pada ukuran 592 mm;
serpens betina yang matang gonad diduga sedangkan ikan G. serpens jantan matang
karena pola ruaya ikan G. Serpens ke perairan gonad pertama kali pada ukuran 668 mm
yang lebih dalam. Selain itu, ikan dewasa namun tidak ditemukannya ikan betina yang
hidup cenderung soliter, ikan ini menyebar memasuki fase matang gonad (TKG III dan
pada perairan yang relatif dalam (Nakamura TKG IV) sehingga tidak dapat diketahui
dan Parin, 1993). Persentase TKG tiap bulan ukuran ikan betina pertama kali matang
untuk ikan T. lepturus, L. savala dan G. gonad. Persentase ikan yang matang gonad
serpens disajikan pada Gambar 2. berdasarkan panjang tubuh disajikan pada
Gambar 3.
JANTAN BETINA
Tiap-tiap spesies ikan pertama kali
A
matang gonad pada ukuran yang tidak sama.
Ikan T. lepturus betina lebih cepat matang
gonad dibandingkan ikan jantan. Sebaliknya
untuk ikan layur L. savala, dimana ikan
tersebut ikan jantan lebih cepat matang
B gonad jika dibandingkan ikan betinanya.
Perbedaan ukuran matang gonad jantan dan
betina juga diperoleh Kwok (1999) pada ikan
TKG
Indeks Kematangan Gonad (IKG) Tabel. Indeks Kematangan Gonad (IKG) ikan layur
Indeks kematangan gonad ikan layur September November
Juli
bervariasi pada setiap waktu pengamatan.
Ikan JK
Ikan layur jantan spesies T. lepturus memiliki Re-
Sb
Re-
Sb
Re-
Sb
rata rata rata
kisaran IKG rata-rata berkisar antara
Jantan 0,73 1,33 0,71 0,73 0,50 0,22
0,4999%-0,7349% dan ikan betina memiliki T.
Lepturus Betina 1,20 1,00 0,99 1,12 0,49 0,00
kisaran IKG antara 0,4924%-1,2042%
(Gambar 16). Ikan layur jantan jenis L.savala Jantan 0,45 0,21 0,45 0,34 0,56 0,44
memiliki nilai indeks kematangan gonad L. Savala Betina 1,42 1,16 0,38 0,22 0,22 0,10
dan ikan betina antara 0,2235%-1,4206% Betina 0,23 0,18 0,33 0,10
(Gambar 17). Nilai indeks kematangan Keterangan: JK= Jenis kelamin; Sb= simpangan baku
gonad (IKG) Ikan jantan jenis G. Serpens
berkisar antara 0,4121%-0,4190%. Ikan Rata-rata IKG ikan betina lebih besar
betina memiliki kisaran rata-rata IKG antara dibandingkan ikan jantan. Diduga hal ini
0,2327%-0,3323% (Gambar 18). disebabkan pertumbuhan ikan betina lebih
Pada bulan Juli diduga ikan layur tertuju pada pertumbuhan gonad, akibatnya
jenis T. lepturus dan L. savala memasuki berat gonad ikan betina menjadi lebih besar
pemijahan, hal ini terlihat jelas dari dibandingkan berat gonad ikan jantan.
terdapatnya ikan jantan dan betina dengan Dengan kata lain pengaruh perkembangan
TKG III dan IV. Oleh karena itu, nilai indeks gonad lebih signifikan dibandingkan ikan
kematangan gonad pada bulan tersebut cukup jantan. Berbeda halnya dengan ikan G.
tinggi. Namun tingginya nilai rata-rata IKG serpens, dimana ikan jantan nilai IKG lebih
pada bulan November untuk ikan layur jenis tinggi dibandingkan ikan betina. Hal ini
G. serpens tidak dapat dijadikan nilai IKG diduga karena tidak ditemukannya ikan betina
tertinggi dikarenakan sedikitnya jumlah matang gonad, berbeda halnya dengan ikan
sampel dan pengamatan hanya dilakukan jantan yang memiliki fase matang gonad.
dua bulan.
Fekunditas
A Berdasarkan pengamatan secara
makroskopis dari tiga spesies ikan layur
didapatkan bahwa ikan layur betina yang
memiliki TKG III dan TKG IV adalah
ikan layur jenis T. lepturus dan L. savala.
Ikan layur betina jenis G. serpens selama
B pengamatan hanya memiliki TKG I dan
TKG II.
Fekunditas ikan layur jenis T. lepturus
TKG
cm sampai 154.216 pada ikan contoh yang Tabel. Hubungan fekunditas dengan panjang dan
memiliki panjang total 141 cm namun jumlah fekunditas dengan bobot ikan layur
pemijahan pada tiap musim belum dapat Ikan Parameter a b r
ditentukan. Sedangkan menurut Ball dan
T. Panjang 14,336 0,9299 0,2706
Rao (1984), fekunditas ikan layur T. lepturus
Lepturus Berat 341,44 0,5384 0,4048
berkisar antara 4000 (panjang ikan 42 cm)
hingga 16.000 (panjang ikan 60 cm). L. Savala Panjang 0,0107 2,0864 0,6528
Berat 0,7443 1,6304 0,7443
Dari jumlah total ikan layur betina
jenis L. savala yang diamati, diperoleh Keterangan: a dan b= koefisien regresi; r= koefisien
korelasi
sebanyak 4 ekor ikan yang memiliki TKG
III dan 3 ekor ikan memiliki TKG IV. Nilai Diameter Telur
fekunditas ikan layur betina jenis L.savala Sebaran diameter telur dari ikan layur
berkisar antara 4399-15261 butir. Fekunditas jenis T. lepturus yang diamati pada gonad
maksimum didapatkan pada ikan betina TKG III dan TKG IV bervariasi antara 0,3-
dengan ukuran panjang total sebesar 927 mm 1,37 mm, terbagi dalam 12 kelas ukuran
dan berat tubuh sebesar 295,10 gram. Ikan L. diameter telur (Gambar 21). Pada TKG III,
savala nilai fekunditas berkisar antara 9.178 diameter telur terbanyak terdapat pada kisaran
untuk ikan yang memiliki panjang total 37 ukuran diameter antara 0,57-0,65 mm. Pada
cm sampai 17.347 pada ikan contoh yang TKG IV didapatkan diameter telur terbanyak
memiliki panjang total sebesar 54 cm (Ball berkisar antara 0,93-1,01 mm. Diameter telur
& Rao, 1984). ikan layur jenis L. Savala berkisar antara 0,3-
Berdasarkan analisa hubungan fekun- 1,5 mm (Gambar 22). Diameter telur TKG
ditas ikan layur jenis T. lepturus dengan III menyebar pada kisaran 0,3 mm-1,17 mm.
panjang total (mm) diperoleh nilai korelasi Sedangkan diameter telur TKG IV menyebar
(r) sebesar 0,27 sedangkan dengan berat pada kisaran 0,3 mm-1,50 mm. Terjadinya
tubuh total (gram) diperoleh nilai korelasi peningkatan ukuran diameter telur dari
(r) sebesar 0,40 (Gambar 19). Untuk ikan TKG III ke TKG IV seperti yang dikatakan
layur jenis L. savala, berdasarkan analisa Effendie (1979) yaitu umumnya sudah dapat
hubungan fekunditas dengan panjang total diduga bahwa semakin meningkat tingkat
(mm) diperoleh nilai korelasi (r) sebesar kematangan gonad maka diameter telur yang
0,65 sedangkan dengan berat tubuh total ada di dalam ovarium semakin besar pula.
(gram) didapatkan nilai korelasi sebesar Ikan laut memiliki karakteristik ukuran
0,74 (Gambar 20). Untuk ikan layur jenis telur lebih kecil dibandingkan dengan
T. lepturus dan L. Savala didapatkan ikan air tawar. Fekunditas ikan-ikan laut
hasil bahwa bobot tubuh lebih baik untuk komersial penting pada umumnya lebih besar
menduga nilai fekunditas dibandingkan (Chambers & Leggett, 1996). Berdasarkan
dengan panjang total tubuhnya. Hal ini dapat penelitian Martins & Haimovici (2000) yang
terlihat dari nilai korelasi yang cukup erat telah dilakukan pada perairan ekosistem
antara fekunditas dengan berat tubuh total. utama subtropis Brazil bagian selatan pada
Peningkatan fekunditas berhubungan dengan bulan September hingga Februari, ditemukan
peningkatan berat tubuh dan berat gonad bahwa diameter telur ikan layur T. lepturus
(Solihatin, 2007). Hubungan fekunditas yang diambil dari TKG III dan TKG IV
dengan panjang total dalam penelitian ini mencapai 0,8 mm dari 56 sampel gonad ikan
menunjukkan hubungan koefisien korelasi layur. Shiokawa (1988) dalam Nakamura
yang kecil. Hal ini diduga karena terdapatnya dan Parin (1993) menyatakan bahwa telur
fekunditas yang bervariasi pada ikan-ikan ikan layur T. lepturus adalah pelagis dengan
yang mempunyai ukuran panjang hampir ukuran diameter telur antara 1,59-1,88 mm.
sama.
Studi Biologi Reproduksi Ikan Layur (Superfamili Trichiuroidea) 227
Dari sebaran frekuensi diameter telur Ikan layur T. lepturus betina lebih cepat
TKG IV ikan T. lepturus dan L. savala matang gonad dibandingkan ikan jantan.
maka diperoleh modus penyebaran dua Sedangkan ikan L. savala jantan lebih cepat
puncak. Ini menandakan bahwa ikan T. matang gonad dibandingkan ikan betina. Pada
lepturus dan L. savala tergolong kelompok saat penelitian, komposisi TKG III dan TKG
ikan yang memijah dengan mengeluarkan IV tertinggi untuk spesies T. lepturus dan L.
telur sebagian-sebagian (partial spawner), Savala terdapat pada bulan Juli. Penelitian
dimana telur yang sudah matang dan berada dilakukan mewakili musim timur (Juli dan
dipuncak pertama akan dikeluarkan terlebih September) dan mewakili musim peralihan
dahulu menyusul dengan pengeluaran telur (November). Nilai fekunditas ikan betina T.
yang berada dipuncak berikutnya. Sama lepturus berkisar antara 2877-16875 butir.
halnya dengan penelitian Wojciechowski Sedangkan nilai fekunditas ikan L. savala
(1972) yang menyatakan bahwa ikan layur betina berkisar antara 4399-15261 butir.
T. lepturus L. (Trichiuroidae) di Teluk Mau- Berdasarkan pola penyebaran diameter telur
ritania mempunyai periode reproduksi secara diduga bahwa ikan T.lepturus dan L.savala
partial spawning pada lapisan permukaan memijah secara partial spawner.
dimana suhu dan salinitas berperan penting.
Menurut Wojciechowski (1972), spesies DAFTAR PUSTAKA
ikan layur melakukan proses pemijahan pada
bulan Mei hingga Oktober. Bal, D.V. & K.V. Rao. 1984. Marine
Fisheries. Tata McGraw-Hill Publis-
hing Company Limited. New Delhi.
Frekuensi (%)
250 hal.
ONCOSPERMA TIGILLARIUM
MERUPAKAN BAGIAN PALINO KARAKTER DELTA PLAIN
DI DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN
3
Program Studi Teknik Geologi, Institut Teknologi Bandung
E-mail: Winantris@yahoo.com
ABSTRAK
Delta Mahakam adalah salah satu delta terkenal sebagai penghasil minyak bumi. Delta ini termasuk tipe
campuran yang dipengaruhi proses sungai dan pasang surut. Enam puluh sampel diambil dari delta plain
dan delta front telah dianalisis. Pemisahan polen dari sedimen menggunakan metode asetolisis. Pola
penyebaran polen Oncosperma tigillarium dianalisis dengan metode kluster. Uji beda Mann Whitney
digunakan untuk melihat perbedaan kelimpahan polen di delta plain dan delta front. Kelimpahan
polen di delta plain lebih tinggi daripada delta front. Seluruh sampel dari delta plain mengandung
polen Oncosperma tigillarium, tetapi tidak seluruh sampel dari delta front mengandung polen tersebut.
Rata-rata jumlah polen Oncosperma tigillarium di delta plain 15,23 dan di delta front 3,6. Temuan ini
menunjukkan bahwa delta plain mendapat pasokan polen Oncosperma tigillarium lebih banyak dan
merata daripada delta front. Polen tersebut dapat menjadi salah satu penciri dataran delta bersama polen
lain.
ONCOSPERMA TIGGILARIUM
IS A PART OF PALINO CHARACTER OF DELTA PLAIN
IN MAHAKAM DELTA, KALIMANTAN
ABSTRACT
Mahakam Delta is one of the famous deltas in the world because of its big size delta that produce
hydrocarbon. The delta included mixed fluvial-tide dominated deltas. Sixty samples from delta plain and
delta front were analyzed. Acetolyzed method was used to separate pollen from sediment. The patterns
of distribution of Oncosperma tigillarium pollen was analyzed by cluster method. Mann Whitney test
was used to know differences in pollen abundances between delta plain and delta front. All delta plain
samples contain Oncosperma tigillarium with average 15.32. There are two samples from delta front
which do not contain Oncosperma tigillarium. The average number of this species in delta front is only
3.6. This finding shows that all of delta plain surface get Oncosperma tigillarium pollen supply equally.
Based on those results, Oncosperma tigillarium can be used as pollen character of delta plain.
terdapat dua sampel yang tidak mengandung paling mungkin adalah tangkai bunga patah
polen tersebut, yaitu pada sampel nomor 3 atau pohonnya tumbang, sehingga terjadi
dan 20, table 1. Data ini menggambarkan akumulasi polen yang berlebihan. Dua
bahwa seluruh permukaan delta plain data tersebut selanjutnya di analisis untuk
mendapat pasokan polen Oncosperma mendapatkan kepastian apakah termasuk
tigillarium. Sebaliknya wilayah delta front dalam kategori outlier. Menurut Santoso
yang posisinya lebih mengarah ke laut tidak (2010), salah satu cara untuk mengetahui
mendapat pasokan polen secara menyeluruh. bahwa data tergolong outlier adalah dengan
Caratini dan Tissot (1998), mengidentifikasi melakukan standardisasi. Apabila data
keberadaan polen Oncosperma tigillarium mempunyai nilai Z diluar rentang -2,5
dari sampel sedimen delta plain berumur sampai + 2,5, maka data tersebut adalah
Pliosen-Holosen. Pada endapan berumur outlier. Berdasarkan perhitungan diperoleh
Pliosen Atas polen Oncosperma tigillarium nilai Z sebesar 5,28 untuk sampel nomor
ditemukan bersama-sama dengan Nypa 25 delta plain, 5,27 untuk sampel nomor 28
fruticans. delta front. Dari hasil penelusuran tersebut
Rata-rata polen Oncosperma tigil- menunjukkan bahwa kedua data tersebut
larium di delta plain 50,5 butir polen per termasuk dalam kategori outlier, dengan
sampel dengan median 11,5 sedangkan dari demikian keduanya harus dikeluarkan dari
delta front rata-ratanya 13,2 dengan median perhitungan.
2. Hasil uji beda rata-rata menunjukkan Setelah outlier data dikeluarkan dari
terdapat perbedaan yang sangat signifikan perhitungan, diperoleh rata-rata sebesar
dari kelimpahan polen Oncosperma tigil- 15,23 untuk delta plain dan 3,6 untuk
larium di delta plain dengan di delta front delta front (Tabel 3). Tampak angka rata-
( Tabel 2). rata tersebut medekati angka mediannya,
Kelimpahan ekstrim yang terjadi pada ini berarti bahwa sampel-sampel tersebut
sampel nomor 25 delta plain dan nomor dalam kondisi baik sehingga rata-rata yang
28 delta front dikarenakan adanya kondisi terakhir ini yang lebih representatif.
khusus. Setelah dilihat secara seksama Bedasarkan uji beda rata-rata Mann
ternyata butir-butir polen yang ditemukan whitney, kelimpahan polen di delta plain
pada sampel-sampel tersebut menunjukkan lebih tinggi dari pada di delta front (Tabel
tanda-tanda serupa, yaitu butir polen belum 2). Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa
terpisah secara sempurna antara satu polen posisi delta front lebih jauh dari sumber
dengan yang lainnya. Hal ini menunjukkan polen Oncosperma tigillarium yang berada
bahwa polen yang terjatuh adalah polen yang di upper delta plain. Transpor polen dari
belum matang untuk proses penyerbukan, wilayah upper delta plain kuantitasnya akan
tetapi dikarenakan faktor lain. Situasi yang berkurang setelah melalui proses sedimentasi
Tabel 2. Hasil Uji Mann Whitney terhadap rata-rata kelimpahan Oncosperma tiggilarium
Gambar 2. Arah transpor ( ) polen Oncosperma tiggilarium dari habitatnya upper delta plain
(proksimal delta) menuju lower delta distal
Oncosperma Tigillarium Bagian Palino Karakter Delta Plain 238
Gambar 3. Distribusi polen Oncosperma tiggilarium dari proksimal ke distal delta di wilayah
Delta Mahakam
Lerong. Lebih ke arah selatan hampir pada wilayah lebih distal sampai ke muara-muara
bagian tengah dari delta front, sampel nomor sungai yang berada disekitar wilayah delta
5 dan 19 berada di sekitar Muara Tambora. front (Gambar 3).
Lebih ke selatan lagi yaitu sampel nomor 17
berlokasi di depan P. Pemankaran berdekatan SIMPULAN
dengan Muara Pemankaran. Sampel 12
berada di ujung distributary channel yang Oncosperma tiggllarium merupakan
berada didepan P.Muara Ulu, berdekatan tumbuhan stenotopic, tumbuhan ini meng-
dengan Muara Ulu Kecil, dan sampel nomor hasilkan polen dalam jumlah banyak.
15 berada didepan P. Timbang berdekatan Polen Oncosperma tiggllarium menyebar
dengan Muara Bujit. Fakta tersebut mem- keseluruh lingkungan delta plain. Penyebaran
berikan penguatan terhadap peranan distri- polen dominan pada lingkungan yang
butary channel dalam penyebaran butir polen terkoneksi dengan distributary channel.
Oncosperma tigillarium dari habitatnya Morfologi polen Oncosperma tiggllarium
ditepian sungai di upper delta plain menuju sangat spesifik sehingga dengan cepat dapat
Winantris, Syafri, I.,, dan Rahardjo, AT. 239
Santoso, S, 2010. Statistik Nonparametrik Walker G. R. & James N.P. 1992., 1992,
Konsep dan Aplikasi dengan SPSS, Facies Models; Response to Sea
Elex Media Komputindo. Jakarta. Level Change. Canada, Geological
Kompas Gramedia. Association of Canada.
Sowumni, M.A., 1972. Pollen Morphology Witono, J.R. 2005. Keanekaragamaan Palm
of the Palmae and its bearing on (Palmae) di Gunung Lumut, Kalimantan
Taxonomy Amsterdam. Elsevier Tengah. Biodiversitas, vol 6, no.1 hal
Publishing Company. 22-30.
Storms, J. E..A., Hoogendoorn, R.M., Dam, Yacob, M., 1988. The Tropical Rain Forest
R.A.C., Hoitink, A.J.F. & Kroonenberg, A First Encounter. Berlin. Springer-
S.B., 2005. Late Holocene evolution Verlag.
of Mahakam Delta, East Kalimantan,
Indonesia. Journal Sedimentary Yulianto, E., Sukapti, W.S., Rahardjo,
Geology 18: 149-166 . T., Noeradi, D., Siregar, D.A.,
Suparan, P., & Hirakawa, K., 2004.
Sumawinata, B. 1998. Sediments of the Lower Mangrove Shoreline Responses To
Barito Basin in South Kalimantan: Holocene Environmental Change,
Fossil Pollen Composition. Journal Makasar Strait, Indonesia, Review
Southeast Asian Studies, Vol.36. No.3, of Paleobotany and Palynology 131
p: 293-316. p.251-268.
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik Vol. 14, No. 3, November 2012: 164 - 173
ISSN 1411 - 0903
ABSTRACT
Microalgae Nannochloropsis sp is autotrophic organism that can utilize atmospheric CO2 and sunlight
for growth via photosynthesis. It is potential sources for biodiesel due to its high lipid content. For
mass production, two basic designs of photo-bioreactor are available, i.e. open and enclosed systems.
Study was conducted to investigate the growth performance of Nannochloropsis sp in outdoor batch
culture system using Parallel Enclosed Glass-Tubular Photo-bioreactor (PBR) for 18 days with
modified f/2 medium. Nutrient N-P was calculated based on the empiric structure of microalgae cell
(C1O0.48H1.83N0.11P0.01) with target of biomass yield was 1g.L-1. Temperature, pH, Optical Density (OD),
Dry Cell Weight (DCW), population, lipid content, and fatty acid were observed. Data showed that
temperature fluctuated between 22oC and 35oC, pH is stable at 7.0-7.5, OD increased from 0.134 to
0.878, DCW increased 39 times higher than its initial value. At 18th day, the cell diameter varied in range
of 1-9 m, cell weight increased 5.3 times (3.5 to 18.4pg.cell-1), and lipid content is 35.71%. Fatty acid
was composed by saturated fatty acids (92.39%) that covered of Lauric (20.30%), Myristic (12.69%),
Palmitic (50.05%), and Stearic (9.35%) that suitable for biodiesel. Unsaturated fatty acid was performed
by Oleic acid (3.49%).
ABSTRAK
Mikroalga Nannochloropsis sp adalah organisme autotroph yang dapat memanfaatkan CO2 udara dan
sinar matahari untuk pertumbuhan melalui fotosintesis. Organisme tersebut potensial untuk biodisel
karena kadar lipidnya tinggi. Untuk produksi, dikenal dua model fotobioreaktor, yaitu system terbuka
dan tertutup. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pola pertumbuhan Nannochloropsis sp di dalam
outdoor batch culture system menggunakan Parallel Enclosed Glass-Tubular Photo-bioreactor (PBR)
selama 18 hari dengan media f/2 modifikasi. Nutrisi N-P dihitung sesuai rumus empiris sel mikroalga
(C1O0,48H1,83N0,11P0,01) dengan target produksi biomasa 1gL-1. Suhu, pH, OD, DCW, populasi, kadar lipid
dan komposisi asam lemak diamati selama penelitian. Data menunjukkan suhu berfluktuasi antara 22-
35oC. pH stabil di 7,0-7,5. OD meningkat dari 0,134 ke 0,878. DCW meningkat 39 kali. Pada hari ke
18, diameter sel bervariasi antara 1-9 m. Berat sel meningkat 5,3 kali (3,5 ke 18,4 pg.cell-1). Kadar
lipid 35,71%. Asam lemak disusun oleh asam lemak jenuh (92,39%), meliputi asam Laurat (20,30%),
Miristat (12,69%), Palmitat (50,05%), dan Stearit (9,35%) yang cocok untuk biodiesel. Asam lemak
tidak jenuh muncul dalam bentuk asam Oleat sebesar 3,49%.
Analytical Methods
Figure 2 The slope regulator of PBR panel Local temperature and pH of culture
(screw type). medium
These parameters were measured
completely (pH 7). PBR was adjusted due to observe the adaptability capacity
facing to north direction with slope of 30o of microalgae cell to local environment
to optimize solar energy absorption. Slope condition. pH was measured by using
could be changed by turning of screw pH meter. Meanwhile, temperature of the
regulator that equipped on panel as displayed atmospheric air and the growth media were
in Figure 2. checked with using thermometer.
Growth Medium and Culture Condition Optical Density (OD) and Dry Cell Weight
Modified f/2 medium (without N, P (DCW)
sources) was prepared, boiled and filled into
PBR 1; PBR 2; and PBR 3 under aseptic OD value of culture reflected of its
condition using peristaltic pump. Nutrient biomass concentration. It was measured
N and P was prepared in aqueous solution, turbidity-metrically at 680 nm according
sterilized, and injected into medium at room to Astuti et al (2008). At the initial
temperature via silicone tube connectors. The of experiment, several levels of cell
addition of N and P was calculated based on concentration of stock culture were prepared
both of the empiric structure of microalgae in series. Then was measured its OD (680
cell, i.e. C1O0.48H1.83N0.11P0.01 (Christi, 2007) nm) using spectrophotometer, and its DCW
and the target of biomass yield in study, i.e. was determined gravimetrically. Then, a
1 g. L-1. standard curve that displayed the correlation
In order to minimize variables of between OD with DCW was created. DCW
experiments, inoculation was carried out in this experiment was calculated based on
aseptically using stock culture (OD680nm = that standard curve as presented in Equation
0.96) in equal concentration (5% v/v), then 1 (R2 = 0.989), and expressed in g.L-1.
incubated in outdoor batch culture system as DCW = (0.969 x OD680)-0.111 .............. (1)
presented in Figure 3. Filtered atmospheric
air was supplied (flow rate 1 L.min-1) as
Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. 167
Cell population, size, and weight and detector were maintained at 250 and
Cell population was determined 300oC, respectively. Temperature was started
microscopically. As much as 2 L of culture at 80oC for 3 min, increased 10oC.min1 until
was spotted in object glass and covered with reached to 260oC, with final hold time for
20x20 mm of cover glass. Immersion oil was 10 min. The condition was set with flow
added and then observed the population of gas 1.1mL.min-1, linear velocity 37.5, and
cell by using Leitz Laborlux D microscope pressure 67.7 kpa. Then, 1 L of sample was
with reproduction ratio 100, and aperture of injected with splittless mode. Fatty acids
lens 1.25 mm. Cell population was calculated were identified by comparison its retention
with considering to the dilution factor times of the peaks in GC-Chromatogram to
and expressed in 1010 cells.L-1. Cell size NIST and Wiley Library. The concentration
was determined by using micrometer that of the fatty acid components was calculated
equipped in microscope system. The average relatively by comparing the peak area (height
of cell weight was calculated by divided of x wide) of individual of fatty acid to the total
DCW with cell population, expressed in peak areas, expressed as the percentage (%)
picogram per cell (pg.cell-1), which 1 pg is of total fatty acids (Astuti et al., 2008).
equivalent to 1x10-12 g.
RESULT AND DISCUSSION
Total lipid content
Total lipids content was extracted with
Temperature and pH of Culture Medium
chloroform-methanol according to method of
The growth of microalgae is affected
Bligh & Dyer (1959). The 15 ml glasses vial
by temperature of the environment, and in
that containing of dried algal biomass (M),
outdoor system, it would be depended on its
2 ml methanol, and 1 ml chloroform was
local climatic situation. In this study, there
kept for 24 hr at 25oC. The mixture was then
is no significant different of temperature
agitated in a vortex for 2 min, again added
in culture medium among the PBR system
1 ml of chloroform and mixed in a vortex
(PBR 1; PBR 2; PBR 3). During the light
for 1 min. Afterward, 2 ml of distilled water
day (08.00 to 16.00), temperature of culture
was added and the mixture was mixed in a
fluctuated in the range of 22-35oC with the
vortex for 2 min. Three layers were obtained
average of 29.6oC (Figure 4). This level is near
by centrifugation for 10 min at 2000 rpm,
with the previous study, i.e. 22.63-34.33oC
i.e. chloroform fraction (bottom), water
(Astuti et al., 2008), which was carried out
(middle), and methanol fraction (upper).
at the same place, but in different period
The chloroform fraction that contain of lipid
of time. In fact, these ranges are relatively
compound was sucked using pipette and
higher than the optimum temperature for
transferred it into a previously weighed of
growth of Nannochlorpsis sp, i.e. 22-27oC
dried and cleaned vial (W0). Then, it was
(Fabregas et al., 2004). Nevertheless, like
dried at oven 105oC for 8 hr, cooled down in
desiccator, and weighed at room temperature
(W1). Lipid was calculated by subtracting
W1 from W0, Lipid content was calculated
by divided (W1-W0) with M, and expressed
in % DCW.
cell population could be progressively This result is lower than the previous
became low light acclimated. study, which reached DCW in the range of
It was reported that microalgae could 1.6-2.5 g.L-1 (Gouveia & Oliveira, 2009). The
photo-acclimate to various light intensities, low biomass production of Nannochloropsis
both of the spectrum of High Light (HL) sp in study might be affected by the limited
or Low Light (LL). Following inoculation of carbon availability that could be captured
of an outdoor batch culture, because of its for biomass production. In this study, CO2
low density at initial phase, cells receive as sole carbon source was supplied only by
high average illumination and would blowing air into the photo-bioreactor. The
concentration of CO2 in the atmospheric air
is 0.04%. This condition caused the growth
was run un-properly. Microalgae need
concentration of carbon dioxide 2-5% in
medium (Santos et al., 2010).
As describes before, microalgae is an
autotrophic organism that produced organic
matter by capturing carbon dioxide and solar
CO2+H2O (CH2O)+ O2 .................. (5)
mately 6.9 times compared to its initial stage. meanwhile the cell weight was increased
Based on the microscopic observation, the significantly (5.3 times), i.e. from 3.5 to
cultures in the PBR could be kept in sterile 18.4pg.cell-1 as presented in Table 3.
condition due to absence of any contaminant
organisms in culture medium. The cell Total Lipid Content
diameter and weight of Nannochloropsis sp Data indicated that lipid content of
was not different among units of PBR. It was Nannochloropsis sp was similar among the
appeared Nannochloropsis sp have various PBR units, i.e. 34.42 (PBR 1); 37.16 (PBR
shape, spherical to slightly ovoid cells. 2); and 35.71% (PBR 3). High lipid content
The cell size was in the range of 1-9 in study might be as a response of cell to
m in diameter, with the average in PBR 1; environmental stresses, which was resulted
by the limited of carbon supply. As comparing
Table 3. Cell weight of Nannochloropsis sp
data, the previous studies investigated that
in PBR (pg.cell-1)
lipid content of Nannochloropsis sp was 62%
Cell weight (pg.cell-1)
(Hu & Gao, 2006); 36.19-46.67% (Astuti
Culture
Age et al., 2008); 28.7% (Gouveia & Oliveira,
(days) PBR 1 PBR 2 PBR 3 Average 2009); 44.5% (Su et al., 2010).
0 3.8 3.2 3.5 3.5 0.20
Fatty Acids Composition
4 15.4 15.1 15.0 15.2 0.15
Data analysis using GCMS showed
7 16.3 15.9 16.5 16.3 0.22 that lipid of Nannochloropsis sp was
11 17.4 17.4 16.7 17.2 0.30 composed 92.39% by saturated fatty acid,
14 17.9 18.0 17.9 17.9 0.03 3.49% unsaturated fatty acid, and 4.12% other
18 18.4 18.3 18.4 18.4 0.02 unidentified compounds. It was obtained, that
Average 14.9 14.7 14.7 14.7 0.02 the saturated fatty acid of Nannochloropsis
sp was dominated by Palmitic acid (50.05%),
PBR 2; and PBR 3 were 4.5; 4.3; and 4.8 m, Lauric acid (20.30%), Myristic acid (12.69%)
respectively. It is bigger than the previous and Stearic acid (9.35%) as presented in
study that has a range of 2-4 m in diameter Table 4. Similar data were obtained in the
(Hoek et al., 1995). The difference of that previous researchers, which reported that
cell size might be caused by the culture Palmitic acid was a major of fatty acid in
condition itself, such as nutrient availability, lipid of Nannochloropsis sp that covering of
temperature, pH, and the culture age. 47.93% (Astuti et al., 2008); 40.44% of total
The cell weight of Nannochloropsis sp fatty acids (Fabregas et al., 2004).
increased with the ages of the culture. There Saturated fatty acids are a long-
is no significant different of cell weight chain carboxylic that no double bonds,
among the PBR units. It was showed that such as Lauric acid (C12H24O2), Myristic
the cell population was increased 6.9 times, acid (C14H28O2), Palmitic acid (C16H32O2),
Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. 171
Table 4. Fatty acid (FA) composition of Nannochloropsis sp in outdoor batch culture system
using PBR
C atom:
Scientific Chemical Molecule Content (%
Common name Double
name Formula weight Total FA)
bond
n-Dodecanoic acid* Lauric acid C12H24O2 C12:0 200 20.30
REFERENCES
Hu, H. & Gao, K., 2006., Response of
Azov, Y. & Goldman, J.C., 1982., Free Growth and Fatty Acid Compositions
Ammonia Inhibition of Algal Photos- of Nannochloropsis sp. to Environ-
ynthesis in Intensive Cultures., Appl mental Factors Under Elevated CO2
Environ Microbiol, 43:755-739. Concentration. Biotechnol Lett,
28:987-992.
Bligh, E.G. & Dyer, W. J., 1959., A rapid Hu, Q., Milton, S.M., Jarvis, E. 2008.,
method for total lipid extraction and Microalgal Triacylglycerols as
purification. Can. J. Biochem. Physiol Feedstock for Biofuel Production:
37: 911-917. Perspectives and Advances. Plant J.,
54:621-639.
Borowitzka, M.A. & Moheimani, N.R.,
2010., Sustainable Biofuels from Algae. Huntley, M.E. & Redalje, D.G., 2007., CO2
Mitig Adapt Strateg Glob Change. DOI mitigation and renewable oil from
10.1007/s11027-010-9271-9. Springer photosynthetic microbes: a new
Science Business Media B.V. appraisal, Mitigation and Adaptation
Strategies for Global Change, Springer,
Brennan, L. & Owende P., 2010., Biofuels 12: 573608.
from Microalgae: A Review of Techno-
logies for Production, Processing, Li, Q., Du, W., & Liu, D., 2008., Perspective
and Extractions of Biofuels and Co- of Microbial Oils for Biodiesel
Products. Renew Sustain Energy Rev, Production. Appl Microbial Biotechnol,
14:557-577. 80:749-756.
Christi, Y. 2007. Biodiesel from Micro- Madigan M.T., Martinko J.M., & Parker J.
Algae, Biotechnol ADV, 25;294-306. 2000. Biology of Microorganisms. 9th
Ed. JHI, Inc. USA, pp: 675-677.
Fabregas, J., Maseda, A., Dominguez, A. &
Otero, A., 2004., The cell composition Merchuk, J.C., Gluz, M., & Mukmenev, I.,
of Nannochloropsis sp change under 2000., Comparason of Photo bioreactor
different irradiances in semi continuous for Cultivation of the Microalga
culture. World Journal of Microbiology Porphyridium sp. J. Chem Technol
& Biotechnology 20: 31-35. Biotechnol, 75:1119-1126.
Gouveia, L. Oliveira, A.C., 2009., Micro- Proctor, V.W., 1957., Prefential Assimilation
algae as Raw Material for Biofuels of Nitrate Ion by Haematococcus
Production. J. Ind Microbiol Biotechnol, pluvadis. American Journal of Botany.
36:269-274. 44: 2, pp: 141-143.
Grobbelaar, J.U. & Kurano, N., 2003., Use Pulz O., 2001., Photobioreactors: produc-
of photoacclimation in the design of a tion systems of phototrophic micro-
novel photo bioreactor to achieve high organisms. Appl Microbiol. Biotechnol.
yields in algal mass cultivation, Journal 57:287-293.
of Applied Phycology, 15: 121-126.
Santos, C.A., Ferreira, M.E., Gouveia L. 2011.
Hoek., C.V.D., Mann, D.G. & Jahns, H.M., A Symbiotic Gas Exchange Between
2002., Algae: An introduction to Bioreactor Enhances Microbial
phycology, Cambridge University Biomas and LIPID Productivities:
Press, 7-8: 131-133. Taking Advantage of Complementary
Nutritional Modes, J. ind Microbiol
Astuti, J.A., Sriwuryandari, L., Priantoro, E.A., dan Sembiring, T. 173