Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma ginjal dapat
menjadi problem akut yang mengancam nyawa, namun sebagian besar trauma ginjal
bersifat ringan dan dapat dirawat secara konservatif. Perkembangan dalam pencitraan
dan derajat trauma selama 20 tahun terakhir telah mengurangi angka intervensi bedah
pada kasus-kasus trauma ginjal.

MEKANISME TRAUMA

Mekanisme trauma dapat berupa trauma tumpul atau trauma tembus(penetrating


injury). Pada daerah pedesaan persentase trauma tumpul mencapai 90%-95%.
Sementara di daerah perkotaan, trauma tembus meningkat hingga 18%.

Trauma tumpul biasanya terjadi pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari
ketinggian, cedera saat olahraga atau berkelahi. Sehingga informmasi yang penting
untuk diketahui yang berkenaan dengan riwayat trauma adalah besarnya prose
decelerasi yang terjadi. Decelerasi yang sangat cepat dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah vena, atau
avulsi pedicle ginjal.

Laserasi ginjal yang disertai dengan trauma pada vaskularisasi, hanya terjadi sekitar
10%-15% dari seluruh trauma tumpul ginjal. Luka tembak dan luka tusuk merupakan
penyebab utama trauma tembus ginjal. Pada luka tembak, hal terpenting adalah
mengetahui jenis senjata dan peluru. Trauma tembus sendiri dapat mengenai organ
retroperitoneal bahkan hingga mencapai peritoneum. Sehingga memungkinkan untuk
menciptakan kondisi yang tidak steril. Adanya perdarahan dan kebocoran urin pada
trauma tembus ginjal akan menciptakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan
bakteri. Sehingga trauma tembus ginjal cenderung lebih berat dan sukar untuk
diprediksi dibandingkan trauma tumpul ginjal.

KLASIFIKASI TRAUMA GINJAL

Klasifikasi trauma ginjal membantu dalam penyamaan persepsi (standarisasi) akan


berbagai jenis pasien, pilihan terapi dan hasil yang diharapkan. Total terdapat 26
klasifikasi trauma ginjal telah dipublikasikan selama 50 tahun terakhir. Namun
American Association for the Surgery of Trauma (AAST) telah mengembangkan
penklasifikasian trauma ginjal yang diterima luas hingga saar ini. Trauma ginjal
diklasifikasikan dari derajat I-V. Sebagian besar penelitian klinis dan penerapan
dilapangan telah mengadopsi pengklasifikasian ini.
DIAGNOSIS : INITIAL EMERGENCY ASSESSMENT

Penilaian awal pasien trauma harus meliputi jalan napas, mengontrol pendarahan yang
tampak, resusistasi syok jika diperlukan. Pada kasus multiple trauma resusistasi harus
segera dilakukan. Pada banyak kasus pemeriksaan fisik dilakukan secara simultan
dengan stabilisasi pasien. Dada, perut dan pinggang tidak boleh luput dari pemeriksaan.
Ketika trauma pada ginjal dicurigai maka diperluka evaluasi lebih lanjut.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Indikator yang memungkinkan untuk terjadinya trauma ginjal meliputi mekanisme


deselerasi yang cepat seperti pada; jatuh dari ketinggian atau kecelakaan bermotor
dengan kecepatan tinggi, serta trauma langsung pada regioflank. Pada kasus trauma
tembus, informasi yang diperlukan meliputi jenis benda tajam atau kaliber peluru pada
kasus luka tembak.

Riwayat penyakit sebelumnya juga perlu digali, adakah kemungkinan adanya disfungsi
organ sebelum terjadinya trauma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa adanya
riwayat penyakit ginjal sebelumnya dapat memperberat trauma minor. Hidronefrosis,
batu ginjal, kista maupun tumor telah dilaporkan dapat menimbulkan komplikasi yang
lebih berat.

Pemeriksaan fisik merupakan dasar pemeriksaan pada setiap pasien trauma. Stabilitas
hemodinamik merupakan kriteria utama dalam penatalaksanaan semua trauma ginjal.
Shok dapat diartikan sebagai tekanan sistole yang <90 mmHg pada saat pasien
dievaluasi. Vital sign harus dicatat untuk mengevaluasi pasien.

Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul atau tembus pada regioflank,
lower thorax dan upper abdomen. Pada luka tembus, panjangnya luka tidak secara kurat
mengambarkan dalamnya penetrasi. Penemuan berupa; hematuri, jejas dan nyeri pada
pinggang, patah tulang iga bawah, atau distensi abdomen dapat dicurigai adanya trauma
pada ginjal.

Pemeriksaan Laboratorium Urinalisa, darah rutin dan kreatinin merupakan


pemeriksaan laboratorium yang penting. Urinalisa merupakan pemeriksaan dasar
untuk mengetahui adanya cedera pada ginjal. Hematuria mikroskopis pada pasien
trauma dapat didefenisikan sebagai adanya >5 sel darah merah per-lapang pandang
besar, sementara pada gross hematuria telah dapat dilihat langsung pada urin.

Hematuria merupaka poin disgnostik penting untuk trauma ginjal. Namun tidak
cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah suatu trauma minor ataukah
mayor. Perlu diingat beratnya hematuria tidak berkorelasi lurus dengan beratnya
trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat, seperti; robeknya ureteropelvic
junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai
dengan hematuria.

Hematokrit serial merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi pasien


trauma. Penurunan hematokrit dan kebutuhan akan transfusi darah merupakan tanda
kehilangan darah yang banyak, dan respon terhadap resusistasi akan menjadi
pertimbangan dalam pengambillan keputusan. Peningkatan kreatinin dapat sebagai
tanda patologis pada ginjal.

Pencitraan : Kriteria Penilaian Radiologis


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan hematuria mikroskopis tanpa
disertai shok pasca trauma tumpul ginjal biasanya merupakan tanda tidak beratnya
trauma pada ginjal. Oleh karena itu pemeriksaan radiologis perlu dipertimbangkan
indikasinya, mengingat rasa tidak nyaman yang timbul pada pasien, reaksi alergi
terhadap kontras, paparan radiasi, dan pemeriksaan radiologis yang berlebihan.

Indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan radiologis pada trauma ginjal antara lain
adalah gross hematuri, hematuri mikroskopik yang disertai shok, atau adanya trauma
multi organ. Pada luka tembus, setiap kecurigaan adanya luka yang mengarah pada
ginjal maka perlu dilakukan pemeriksaan radiologis tanpa memandang derajat
hematuri.

Ultrasonografi Abdomen USG merupakan modalitas pencitraan yang populer untuk


penilaian awal suatu trauma abdomen. USG dapat dilakukan dengan cepat, tidak invasif,
biaya murah, dan dapat menilai adannya cairan bebas tanpa paparan radiasi atau zat
kontras. Namun penggunaan USG pada trauma ginjal cukup banyak dipertanyakan,
disamping pemakainaya sangat bergantung pada operator.
USG dapat mendeteksi adanya laserasi pada ginjal, namun tidak mampu secara tepat
memastikan seberapa dalam dan luas laserasi yang terjadi, dan tidak mampu
menampilkan data yang mendukung untuk menilai ekskresi ginjal dan ada tidaknya
kebocoran urin. USG doppler dapat digunakan untuk menilai aliran darah yang menuju
ke ginjal. Pada USG dengan kontras, pencitraan dengan baik dapat dilihat pada posisi
pasien supine atau dekubitus kontralateral.

Karena penggunaanya yang relatif cepat, USG dapat digunakan pada saat penilaian awal
trauma. Pada saat evaluasi, USG lebih sensitif dan spesifik dibandingkan IVP standar
untuk kasus trauma minor. Pada penelitian lain yang membandingkan USG dan IVP,
sensitifitas USG akan makin berkurang berbanding lurus dengan beratnya derajat
trauma, sementara sensitifitas IVP sama tingginya pada semua derajat trauma ginjal.

USG dapat digunakan untuk mengevaluasi resolusi urinoma dan hematom


retroperitoneal pada kasus pasien trauma ginjal yang stabil. USG juga dapat digunakan
pada pasien yang hamil dan berguna untuk follow-up rutin dalam menilai lesi parenkim
atau hematom pada pasien yang dirawat di ruang intensive care unit (ICU).
Kesimpulannya, USG berguna pada saat triase pasien dengan trauma tumpul abdomen,
dan membantu untuk menentukan modalitas diagnostik yang lebih agresif. USG
abdomen tidak memberikan data yang akurat untuk menilai derajat trauma ginjal.

One shot-Intraoperative Intraveous Pyelography Pasien yang tidak stabil


merupakan kriteria untuk tindakan operatif (kondisi tidak stabil sehingga tidak
dimukinkan dilakukan CT scan), pada pasien tersebut perlu dilakukan one shot-IVP di
ruang operasi. Tekniknya dengan melakukan injeksi kontras sebanyak 2 ml/KgBB dan
diikuti dengan satu kali pengambilan plain foto tunggal 10 menit setelah injeksi kontras.
Pemeriksaan akan memberikan informasi untuk tindakan laparotomi segera, dan data
mengenai normal atau tidaknya fungsi ginjal kontralateral.

Walaupun banyak ahli yang menganjurkan penggunaannya, namun tidak semua


penelitian menunjukkan manfaat dari one shot-IVP. Pada kasus trauma tembus, Patet et
al, menemukan positive predictive value yang hanya 20%, artinya 80% pasien dengan
one shot-IVP yang normal, tidak mampu mendeteksi adanya trauma ginjal pada pasien
tersebut. Sehingga disimpulkan bahwa one-shot IVP tidak memiliki manfaat yang
signifikan untuk menilai pasien dengan trauma tembus ginjal yang akan menjalani
operasi laparotomi.

Computed Tomography CT scan merupakan standar baku pemeriksaan radiologi pada


pasien trauma ginjal dengan hemodinamik stabil. Pada banyak penelitian CT scan lebih
unggul dibandingkan pencitraan lain seperti IVP, USG atau angiografi. CT scan lebih
akurat untuk menilai lokasi trauma, mendeteksi kontusio dengan jelas, memberikan
gambaran retroperitoneum dan hematom, dan secara simultan memberikan gambaran
abdomen dan pelvis. CT scan juga memberikan keunggulan dalam gambaran detail
anatomi, yang mencakup; laserasi ginjal, ada tidaknya trauma penyerta, dan gambaran
ginjal kontralateral. Luasnya hematom yang tampak pada CT scan dapat dijadikan dasar
evaluasi pada kasus trauma tumpul dan penentuan terapi lebih lanjut.

Kontras intravena dapat dilakukan untuk menilai ginjal. Adanya ekstravasasi kontras
pada trauma ginjal menandakan suatu trauma pedicle ginjal. Jika tanpa kontras, adanya
hematom sentral peri-hilum dapat dicurigai sebagai trauma pedicle. Hal ini harus
dipastikan pada kondisi dimana parenkim ginjal tampak normal. Trauma pada vena
renalis merupakan hal yang sulit untuk dideteksi dengan modalitas pencitraan apapun,
namun kita dapat mencurigainya jika didapati hematom yang luas pada sisi medial
ginjal.

Magnetic Resonance Imaging Walaupun MRI tidak banyak digunakan pada sebagian
besar kasus trauma ginjal, namun beberapa penelitian telah menunjukkan beberapa
manfaat MRI. MRI (1,0 tesla) dapat dengan akurat mangambarkan hematom perirenal,
viabilitas fragmen ginjal, dan mendeteksi kelainan ginjal sebelumnya, namun gagal
memvisualisasikan ekstravasasi urin pada pemeriksaan awal. Namun demikian MRI
bukan pilihan diagnostik pertama pada pasien trauma karena waktu pemeriksaannya
yang lama dan biayanya yang mahal.

Angiografi. CT scan telah menggantikan penggunaan angiografi dalam menilai derajat


trauma ginjal, hal ini dikarenakan angiografi kurang spesifik, waktu pemeriksaan yang
lama, dan lebih invasif. Namun demikian, angiografi lebih spesifik dalam menentukan
lokasi pasti dan derajat trauma vaskular. Angiografi dapat menentukan lacerasi ginjal,
ekstravasasi, dan trauma pedicle.

Indikasi utama angiografi pada trauma ginjal adalah ginjal yang nonvisual pada
pemeriksaan IVP setelah trauma yang berat dan tidak memiliki fasilitas CT scan.
Penyebab dari ginjal nonvisual biasanya adalah avulsi total pembuluh darah ginjal,
trambosis arteri renalis, kontusio berat yang menyebabkan spasme pembuluh darah.
Angiografi juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik stabil, untuk menilai
trauma pedicle yang tidak begitu jelas pada CT scan, atau pada pasien dengan hematuri
yang persisten.

PENATALAKSANAAN TRAUMA GINJAL

Satu jam pertama setelah trauma merupakan masa terpenting dan membutuhkan
penilaian yang cepat, melakukan resusistasi berdasarkan prioritas yang telah
ditetapkan oleh American College of Surgeons Acute Trauma Life Support
Programmeliputi; A, airway dengan proteksi servikal collar; B, Breathing; C, Circulation
dan mengontrol pendarahan; D, disability atau status neurologis; dan E, exposure and
environment.
Tujuan utama dari manajemen pasien trauma ginjal adalah meminimalisir morbiditas
dan mengamankan fungsi ginjal. Oleh karena itu eksplorasi ginjal harus dipastikan
dengan sangat selektif. Derajat trauma ginjal, kondisi pasien secara keseluruhan, dan
kebutuhan akan transfusi merupakan faktor prognosis untuk nefrektomi dan hasil akhir
secara keseluruhan.

Hemodinamik yang tidak stabil yang disebabkan oleh pendarahan ginjal merupakan
indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi ginjal, baik pada trauma tumpul maupun
trauma tembus. Indikasi lain untuk dilakukannya eksplorasi adalah hematom perirenal
yang pulsatile dan ekspanding (berdenyut dan meluas). Pada situasi ini one shot-IVP
dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Visualisasi yang tidak baik pada ginjal
yang mengalami trauma termasuk indikasi eksplorasi. Pasien trauma ginjal grade 5 juga
merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi.
MANAJEMEN- EKSPLORASI

Secara keseluruhan eksplorasi dilakukan pada <10% kasus trauma ginjal dan akan
makin berkurang pada masa yang akan datang karena semakin banyaknya pihak yang
menganut pendekatan konservatif pada kasus trauma ginjal. Tujuan utama eksplorasi
adalah untuk mengontrol pendarahan dan menyelamatkan ginjal. Mayoritas ahli
menganjurkan pendekatan transperitoneal (laporatomi). Akses pada pedikel ginjal lebih
baik dilakukan dengan pendekatan peritoneum parietal poterior, dengan insisi di atas
aorta, medial dari vasa mesenterica inferior.

Secara keseluruhan 13% pasien mengalami nefrektomi pada saat eksplorasi, umumnya
nefrektomi dilakukan pada pasien dengan riwayat shok dan score trauma yang berat.
Pada kasus luka tembak, rekonstruksi mungkin sulit dilakukan sehingga dibutuhkan
nefrektomi.

Renorafi merupakan teknik rekonstruksi yang umum dilakukan. Nefrektomi parsial


dapat dipertimbangkan jika ditemui jaringan yang non-viable. Penutupan defek
kolekting sistem dilakukan dengan penjahitan yang kedap-air, beberapa ahli
menganjurkan menutup defek kolekting sistem dengan parenkim ginjal untuk hasil
yang lebih baik. Jika kapsul ginjal tidak dapat dipreservasi maka dapat dilakukan
omental pedicle flap sebagai penutup defek. Pada semua kasus, direkomendasikan
penggunaan drainase retroperitoneal untuk mengalirkan kebocoran urin.

Semua trauma tembus harus dieksplorasi melalui pendekatan transabdominal, agar


dapat mengeksplorasi ginjal kontralateral dan mengontrol trauma abdomen lainnya.
Ginjal dieksplorasi dengan membuka fascia gerota dan dinilai ada tidaknya pendarahan
aktif, hamtom perirenal yang meluas, atau kebocoran urin. Lakukan penilaian pada
hillum dan ureter bagian proksimal. Trauma tusuk dengan derajat 3 akan mangalami
perjalanan penyakit yang sulit untuk diprediksi dan dapat mengalami komplikasi
lambat dan operasi yang tertunda. Banyaknya jaringan ginjal yang nonviable
merupakan indikasi relatif untuk dilakukan eksplorasi.
Trauma pada organ vaskular ginjal jarang terjadi, biasanya kasus ini berhubungan
dengan trauma penyerta yang luas dan meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas.
Pada kasus trauma ginjal bilateral dipertimbangkan untuk melakukan repair, pada
kasus soliter dapat dilakukan nefrektomi. Arteriografi dengan embolisasi untuk
mengontrol pendarahan merupakan alternatif untuk laparotomi. Banyak yang
melaporkan angka keberhasilan tindakan ini baik pada kasus trauma tumpul atau
trauma tembus.
MANAJEMEN NON-OPERATIF/KONSERVATIF
Manajemen non-operatif semakin banyak dipertimbangkan untuk pasien-pasien trauma
ginjal. Semua kasus trauma ginjal grade 1 dan 2 dapat dirawat secara konservatif baik
pada trauma tumpul atau trauma tembus. Terapi pada trauma ginjal grade 3 telah
menjadi kontroversi selama bertahun-tahun. Mayoritas pasien dengan trauma ginjal
grade 4 dan 5 datang dengan trauma penyerta dan akhirnya menjalani eksplorasi dan
tingginya angka nefrektomi.
Pasien trauma ginjal grade 4 dan 5 dapat dirawat konservatif dengan syarat kondisi
hemodinamik stabil. Ekstravasasi urin bukan indikasi mutlak untuk dilakukan
eksplorasi, dan umumnya dapat sembuh dengan sendirinya. Jika derajat ekstravasasi
makin berat dalam 48 jam dapat dipertimbangkan insersi JJ stent.
Pasien dengan hemodinamik stabil harus dilakukan penilaian derajat trauma dengan
lengkap untuk memastikan luasnya trauma. Kasus luka tembak dengan kecepatan
peluru yang rendah atau luka tusuk kecil dapat dirawat dengan hasil yang dapat
diterima. Pendekatan klinis yang sistematis berdasarkan pada temuan klinis,
laboratorium, dan penunjang radiologi dapat meminimalisir angka negatif eksplorasi.
PERAWATAN POST-OPERASI DAN FOLLOW-UP
Pasien yang berhasil dirawat secara konservatif memiliki beberapa resiko komplikasi.
Pencitraan dapat diulang 2-4 hari setelah trauma untuk meminimalisir resiko
komplikasi yang tidak terdeteksi sejak awal terutama pada trauma grade 3-5. CT scan
dapat dipertimbangkan pada kondisi pasien dengan demam, hematuri yang terus-
menerus, dan nyeri pinggang yang berat.
Follow-up harus mencakup pemeriksaan fisik, urinalisa, evaluasi radiologi, tekanan
darah, fungsi ginjal. Sedikit sekali literatur yang menilai efek trauma ginjal jangka
panjang. Pada pemeriksaan histopatologi, pada kasus-kasus pasien dengan perawatan
konservatif atau trauma minor ginjal akan menjadi distrofi.

KOMPLIKASI
Komplikasi awal yang dapat terjadi pada satu bulan pertama berupa; perdarahan,
fistula arteri-vena renalis, hipertensi, ekstravasasi urin, dan urinoma. Komlikasi lambat
yang terjadi hidronefrosis, pembentukan batu, pyelonefritis akut, hipertensi, fistula
arteri-vena, dan pseudoaneurisma.
Menurut literatur kejadian hipertensi post-trauma sebesar <5%. Hipertensi dapat
terjadi segera sebagai akibat kompresi eksternal oleh hematom perirenal, atau muncul
kemudian akibat kompresi dari terbentuknya scar. Hipertensi yang dimediasi oleh renin
dapat terjadi sebagai komplikasi jangka panjang, hal ini diakibatkan trombosis arteri
renalis, trombosis arteri segmental, stenosis arteri renalis, dan fistula arterivena.
Arteriografi akan memberikan informasi yang bermanfaat pada kasus hipertensi post-
trauma. Penatalaksanaan hipertensi berupa terapi medical, eksisi parenkim yang
iskemik, rekonstruksi vaskular, atau bahkan total nefrektomi.
Arterivena fistula biasanya muncul kemudian dengan gejala hematuri, hipertensi, gagal
jantung, dan gagal ginjal yang progresif dan banyak terjadi pada kasus trauma tembus
ginjal. Embolisasi perkutaneus atau stenting arteri renalis mungkin efektif untuk
menangani masalah ini, walaupun kebanyakan kasus dilakukan operasi terbuka.
Pseudoaneurisma merupakan komplikasi yang jarang. Beberapa penulis melaporkan
keberhasilan embolisasi transkateter untuk menangani pseudoaneurisma.

Anda mungkin juga menyukai