Penda Hulu An
Penda Hulu An
Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma. Trauma ginjal dapat
menjadi problem akut yang mengancam nyawa, namun sebagian besar trauma ginjal
bersifat ringan dan dapat dirawat secara konservatif. Perkembangan dalam pencitraan
dan derajat trauma selama 20 tahun terakhir telah mengurangi angka intervensi bedah
pada kasus-kasus trauma ginjal.
MEKANISME TRAUMA
Trauma tumpul biasanya terjadi pada kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari
ketinggian, cedera saat olahraga atau berkelahi. Sehingga informmasi yang penting
untuk diketahui yang berkenaan dengan riwayat trauma adalah besarnya prose
decelerasi yang terjadi. Decelerasi yang sangat cepat dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah vena, atau
avulsi pedicle ginjal.
Laserasi ginjal yang disertai dengan trauma pada vaskularisasi, hanya terjadi sekitar
10%-15% dari seluruh trauma tumpul ginjal. Luka tembak dan luka tusuk merupakan
penyebab utama trauma tembus ginjal. Pada luka tembak, hal terpenting adalah
mengetahui jenis senjata dan peluru. Trauma tembus sendiri dapat mengenai organ
retroperitoneal bahkan hingga mencapai peritoneum. Sehingga memungkinkan untuk
menciptakan kondisi yang tidak steril. Adanya perdarahan dan kebocoran urin pada
trauma tembus ginjal akan menciptakan lingkungan yang ideal bagi pertumbuhan
bakteri. Sehingga trauma tembus ginjal cenderung lebih berat dan sukar untuk
diprediksi dibandingkan trauma tumpul ginjal.
Penilaian awal pasien trauma harus meliputi jalan napas, mengontrol pendarahan yang
tampak, resusistasi syok jika diperlukan. Pada kasus multiple trauma resusistasi harus
segera dilakukan. Pada banyak kasus pemeriksaan fisik dilakukan secara simultan
dengan stabilisasi pasien. Dada, perut dan pinggang tidak boleh luput dari pemeriksaan.
Ketika trauma pada ginjal dicurigai maka diperluka evaluasi lebih lanjut.
Riwayat penyakit sebelumnya juga perlu digali, adakah kemungkinan adanya disfungsi
organ sebelum terjadinya trauma. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa adanya
riwayat penyakit ginjal sebelumnya dapat memperberat trauma minor. Hidronefrosis,
batu ginjal, kista maupun tumor telah dilaporkan dapat menimbulkan komplikasi yang
lebih berat.
Pemeriksaan fisik merupakan dasar pemeriksaan pada setiap pasien trauma. Stabilitas
hemodinamik merupakan kriteria utama dalam penatalaksanaan semua trauma ginjal.
Shok dapat diartikan sebagai tekanan sistole yang <90 mmHg pada saat pasien
dievaluasi. Vital sign harus dicatat untuk mengevaluasi pasien.
Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul atau tembus pada regioflank,
lower thorax dan upper abdomen. Pada luka tembus, panjangnya luka tidak secara kurat
mengambarkan dalamnya penetrasi. Penemuan berupa; hematuri, jejas dan nyeri pada
pinggang, patah tulang iga bawah, atau distensi abdomen dapat dicurigai adanya trauma
pada ginjal.
Hematuria merupaka poin disgnostik penting untuk trauma ginjal. Namun tidak
cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah suatu trauma minor ataukah
mayor. Perlu diingat beratnya hematuria tidak berkorelasi lurus dengan beratnya
trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang berat, seperti; robeknya ureteropelvic
junction, trauma pedikel ginjal, atau trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai
dengan hematuria.
Indikasi untuk dilakukannya pemeriksaan radiologis pada trauma ginjal antara lain
adalah gross hematuri, hematuri mikroskopik yang disertai shok, atau adanya trauma
multi organ. Pada luka tembus, setiap kecurigaan adanya luka yang mengarah pada
ginjal maka perlu dilakukan pemeriksaan radiologis tanpa memandang derajat
hematuri.
Karena penggunaanya yang relatif cepat, USG dapat digunakan pada saat penilaian awal
trauma. Pada saat evaluasi, USG lebih sensitif dan spesifik dibandingkan IVP standar
untuk kasus trauma minor. Pada penelitian lain yang membandingkan USG dan IVP,
sensitifitas USG akan makin berkurang berbanding lurus dengan beratnya derajat
trauma, sementara sensitifitas IVP sama tingginya pada semua derajat trauma ginjal.
Kontras intravena dapat dilakukan untuk menilai ginjal. Adanya ekstravasasi kontras
pada trauma ginjal menandakan suatu trauma pedicle ginjal. Jika tanpa kontras, adanya
hematom sentral peri-hilum dapat dicurigai sebagai trauma pedicle. Hal ini harus
dipastikan pada kondisi dimana parenkim ginjal tampak normal. Trauma pada vena
renalis merupakan hal yang sulit untuk dideteksi dengan modalitas pencitraan apapun,
namun kita dapat mencurigainya jika didapati hematom yang luas pada sisi medial
ginjal.
Magnetic Resonance Imaging Walaupun MRI tidak banyak digunakan pada sebagian
besar kasus trauma ginjal, namun beberapa penelitian telah menunjukkan beberapa
manfaat MRI. MRI (1,0 tesla) dapat dengan akurat mangambarkan hematom perirenal,
viabilitas fragmen ginjal, dan mendeteksi kelainan ginjal sebelumnya, namun gagal
memvisualisasikan ekstravasasi urin pada pemeriksaan awal. Namun demikian MRI
bukan pilihan diagnostik pertama pada pasien trauma karena waktu pemeriksaannya
yang lama dan biayanya yang mahal.
Indikasi utama angiografi pada trauma ginjal adalah ginjal yang nonvisual pada
pemeriksaan IVP setelah trauma yang berat dan tidak memiliki fasilitas CT scan.
Penyebab dari ginjal nonvisual biasanya adalah avulsi total pembuluh darah ginjal,
trambosis arteri renalis, kontusio berat yang menyebabkan spasme pembuluh darah.
Angiografi juga diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik stabil, untuk menilai
trauma pedicle yang tidak begitu jelas pada CT scan, atau pada pasien dengan hematuri
yang persisten.
Satu jam pertama setelah trauma merupakan masa terpenting dan membutuhkan
penilaian yang cepat, melakukan resusistasi berdasarkan prioritas yang telah
ditetapkan oleh American College of Surgeons Acute Trauma Life Support
Programmeliputi; A, airway dengan proteksi servikal collar; B, Breathing; C, Circulation
dan mengontrol pendarahan; D, disability atau status neurologis; dan E, exposure and
environment.
Tujuan utama dari manajemen pasien trauma ginjal adalah meminimalisir morbiditas
dan mengamankan fungsi ginjal. Oleh karena itu eksplorasi ginjal harus dipastikan
dengan sangat selektif. Derajat trauma ginjal, kondisi pasien secara keseluruhan, dan
kebutuhan akan transfusi merupakan faktor prognosis untuk nefrektomi dan hasil akhir
secara keseluruhan.
Hemodinamik yang tidak stabil yang disebabkan oleh pendarahan ginjal merupakan
indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi ginjal, baik pada trauma tumpul maupun
trauma tembus. Indikasi lain untuk dilakukannya eksplorasi adalah hematom perirenal
yang pulsatile dan ekspanding (berdenyut dan meluas). Pada situasi ini one shot-IVP
dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Visualisasi yang tidak baik pada ginjal
yang mengalami trauma termasuk indikasi eksplorasi. Pasien trauma ginjal grade 5 juga
merupakan indikasi mutlak untuk dilakukannya eksplorasi.
MANAJEMEN- EKSPLORASI
Secara keseluruhan eksplorasi dilakukan pada <10% kasus trauma ginjal dan akan
makin berkurang pada masa yang akan datang karena semakin banyaknya pihak yang
menganut pendekatan konservatif pada kasus trauma ginjal. Tujuan utama eksplorasi
adalah untuk mengontrol pendarahan dan menyelamatkan ginjal. Mayoritas ahli
menganjurkan pendekatan transperitoneal (laporatomi). Akses pada pedikel ginjal lebih
baik dilakukan dengan pendekatan peritoneum parietal poterior, dengan insisi di atas
aorta, medial dari vasa mesenterica inferior.
Secara keseluruhan 13% pasien mengalami nefrektomi pada saat eksplorasi, umumnya
nefrektomi dilakukan pada pasien dengan riwayat shok dan score trauma yang berat.
Pada kasus luka tembak, rekonstruksi mungkin sulit dilakukan sehingga dibutuhkan
nefrektomi.
KOMPLIKASI
Komplikasi awal yang dapat terjadi pada satu bulan pertama berupa; perdarahan,
fistula arteri-vena renalis, hipertensi, ekstravasasi urin, dan urinoma. Komlikasi lambat
yang terjadi hidronefrosis, pembentukan batu, pyelonefritis akut, hipertensi, fistula
arteri-vena, dan pseudoaneurisma.
Menurut literatur kejadian hipertensi post-trauma sebesar <5%. Hipertensi dapat
terjadi segera sebagai akibat kompresi eksternal oleh hematom perirenal, atau muncul
kemudian akibat kompresi dari terbentuknya scar. Hipertensi yang dimediasi oleh renin
dapat terjadi sebagai komplikasi jangka panjang, hal ini diakibatkan trombosis arteri
renalis, trombosis arteri segmental, stenosis arteri renalis, dan fistula arterivena.
Arteriografi akan memberikan informasi yang bermanfaat pada kasus hipertensi post-
trauma. Penatalaksanaan hipertensi berupa terapi medical, eksisi parenkim yang
iskemik, rekonstruksi vaskular, atau bahkan total nefrektomi.
Arterivena fistula biasanya muncul kemudian dengan gejala hematuri, hipertensi, gagal
jantung, dan gagal ginjal yang progresif dan banyak terjadi pada kasus trauma tembus
ginjal. Embolisasi perkutaneus atau stenting arteri renalis mungkin efektif untuk
menangani masalah ini, walaupun kebanyakan kasus dilakukan operasi terbuka.
Pseudoaneurisma merupakan komplikasi yang jarang. Beberapa penulis melaporkan
keberhasilan embolisasi transkateter untuk menangani pseudoaneurisma.