Anda di halaman 1dari 107

KARYA TULIS ILMIAH

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA PADA


PRAKTEK MEDIS

Disusun oleh:
Rahayu Asmarani (0910015017)
Suryanti Suwardi (0808015033)
Syahidah Amaniyya R. (0910015043)
Adhaniar Purwanti M. (0910015044)
Desire B. Palada (0910015009)
Ayu Herwan M. (0910015020)

Pembimbing:
dr. Cort Darby Tombokan, SH, Sp.F

Dibawakan Dalam RangkaTugas Kepaniteraan Klinik


SMF/Lab Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD A.W.Sjahranie Samarinda
April, 2016
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya sempurnalah seluruh


kebaikan. Alhamdulillah atas segala rahmat dan karunia-Nya, penulisan Karya Tulis
Ilmiah yang berjudul Pelanggaran HAM dalam Praktik Kedokteran dapat
terselesaikan dengan baik.
Shalawat serta salam kami sampaikan kepada manusia paling mulia,
Muhammad saw yang senantiasa memperjuangkan dan menyebarkan risalah agama
Islam di muka bumi ini.
Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Dr. H. Masjaya M.Si selaku Rektor Universitas Mulawarman.
2. dr. Emil Bachtiar, Sp.P selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
3. dr. Sukartini, Sp.A selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Cort Darby Tombokan, Sp.F, SH selaku Kapala Laboratorium dan SMF
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman,
sekaligus sebagai pembimbing klinik selama menjalani kepaniteraan klinik di
Laboratorium Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
5. dr. Daniel Umar, Sp.F, SH selaku Kepala Instalasi Forensik dan Medikolegal
Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda yang telah memberikan
kesempatan kami menimba ilmu di kepaniteraan klinik ini.
6. Seluruh staff pada SMF Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda yang telah membimbing kami selama menjalani
kepaniteraan klinik di SMF Forensik dan Medikolegal Rumah Sakit Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda
7. Teman-teman Dokter Muda yang menjalani kepaniteraan klinik di Lab/SMF
Forensik dan Medikolegal di Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
8. Dan kepada semua pihak yang telah banyak membantu dan memberikan doa
serta semangat dalam penulisan skripsi.

ii
Akhir kata penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Besar
harapan penulis semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan serta bagi mereka yang membutuhkannya.

Samarinda, 12 April 2016

Penulis

ABSTRAK

iii
Kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia yang merupakan hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara hukum, pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Dalam menjalankan pekerjaannya sehari-
hari, dokter selalu berkaitan dengan dengan hukum. Apabila dokter tidak berhati-hati
dalam menjalankan profesinyadan ternyata perbuatan itu melanggar hukum, ia akan
menerima sanksi. Namun ada perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan
termasuk dokter bila ia mengerjakan pekerjaannya dengan baik dan sesuai dengan
standar profesi. Dalam praktik kedokteran terdapat beberapa kasus yang menyangkut
hak asasi manusia seperti abortus provokatus, euthanasia dan masalah informed
consent. Pada karya tulis ilmiah ini akan dibahas mengenai hukum yang mengatur
masalah pelanggaran hak asasi manusia dalam praktik kedokteran.

Kata kunci: hak asasi manusia, praktik kedokteran, perlindungan hukum

ABSTRACT

Health is a part of human right which is a right that stick on the actual and existence
of human as Almighty Gods creator, and as the gift from God that have to respected
and highly adored and protect by constitutional state,government and every people
for the sake of honor and the protection of dignity and prestigious. In daily practice,
the doctor always associated with the laws. It is the whole aspects involving the
doctor-patient relationship. If the doctor are doing their proffesion is not carefully
and factually its against the laws, he can get punishment. But there is a law
protection to health providers include doctor if they make the their work are based on
the professional standard. In the medical practice, there are some case about human
right like abortus provocatus, euthanasia and about informed consent. The law about
human right violation in the medical practice.

Keyword: human right, medical practice, law protection.

iv
DAFTAR ISI

hal
HALAMAN SAMPUL... i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
ABSTRAK.............................................................................................................iv
ABSTRACT...........................................................................................................iv
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
DAFTAR SINGKATAN.......................................................................................vi
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3
1.3 Tujuan........................................................................................................3
1.4 Manfaat......................................................................................................3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................4
2.1 Hak Asasi Manusia....................................................................................4
2.2 Praktik Kedokteran..................................................................................12
2.3 Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter dalam Praktik Kedokteran........15
2.3.1 Hak dan Kewajiban Pasien dalam Praktik Medis..........................15
2.3.2 Hak dan Kewajiban Dokter dalam Praktik Medis..........................17
BAB 3 PEMBAHASAN....................................................................................22
3.1 Malpraktik..................................................................................................22
3.2 Abortus Provokatus....................................................................................41
3.3 Euthanasia..................................................................................................48
3.4 Informed Consent.......................................................................................64
3.5 Pelanggaran Atas Hak untuk Mendapatkan Pelayanan Medis..................70
3.6 Pelanggaran Atas Hak Menentukan Nasib Sendiri dan Hak Atas
Informasi....................................................................................................89
3.7 Pelangggaran Hak Atas Rekam Medis......................................................91
BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................95
4.1 Kesimpulan..............................................................................................95
4.2 Saran........................................................................................................95
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................97

v
DAFTAR SINGKATAN

BLU Badan Layanan Umum


DUHAM Deklarasi Universal HAM
HAM Hak Asasi Manusia
ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights
ICESCR International Covenant on Economic, social and Culture Rights
KODEKI Kode Etik Kedokteran Indonesia
KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
UDHR Universal Declaration of Human Rights
UU Undang-Undang
UUD Undang-Undang Dasar
WHO World Health Organization

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang
menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut
dengan hak asasi manusia (HAM), yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya,
sebagai manusia yang merupakan karunia Sang Pencipta. Hak Asasi Manusia
merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi (Ginting, 2014).
Kesehatan adalah salah satu aspek penting dari HAM. Pada Deklarasi Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tanggal 10 November 1948,
dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya.
Pelanggaran HAM dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan
UU No.39 Tahun 1999 ayat 6, pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi,
dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin
oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku. Pelanggaran HAM juga dapat terjadi pada praktik kedokteran.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.29 Tahun 2004, praktik kedokteran
adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap
pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan, selanjutnya dijelaskan pada pasal 39,
upaya kesehatan yang dilakukan dokter meliputi pemeliharaan kesehatan,
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan
kesehatanError: Reference source not found.
Kesehatan merupakan suatu kebutuhan dasar manusia. Sehat adalah
Konstitusi WHO (1946) menyatakan bahwa kesehatan yang baik adalah suatu
keadaan sejahtera baik fisik yang lengkap, sosial dan mental, dan bukan hanya
terbebas dari penyakit atau kelemahan. Berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, kesehatan adalah keadaan
sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis. Seseorang yang tidak sehat secara otomatis
akan berkurang haknya atas hidup, tidak dapat memperoleh dan menjalani pekerjaan
yang layak, tidak bisa menikmati haknya untuk berkumpul dan berserikat serta untuk
mengeluarkan pendapat, dan tidak dapat memperoleh pendidikan yang baik untuk
masa depannya. Oleh karena itu kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia
sesuai dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), kesehatan adalah hak
asasi manusia yang mendasar (Error: Reference source not found.
Upaya kesehatan yang dilakukan dokter atau dokter gigi dilakukan
berdasarkan kesepakatan dengan pasiennya. Pasien adalah setiap orang yang
melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan
yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau
dokter gigi. Seorang pasien merupakan manusia yang memiliki hak asasi yang salah
satunya adalah hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan Error: Reference
source not found.
Kasus abortus provokatus dan euthanasia merupakan isu kesehatan yang
berkaitan dengan hak asasi manusia yang selalu dibicarakan dari waktu ke waktu
karena masih belum mencapai suatu titik temu. Masalah ini merupakan suatu
masalah klasik dalam bidang kedokteran. Selain kedua kasus tersebut masih banyak
kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi baik di Indonesia maupun di dunia
Internasional. Atas dasar latar belakang tersebut penulis akan membahas mengenai
pelanggaran hak asasi manusia dalam praktik medis Error: Reference source not
found.

1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada karya tulis ilmiah ini adalah :
1. Apa saja yang termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia dalam praktik
medis ditinjau dari sisi pasien?
2. Apa saja yang termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia dalam praktik
medis ditinjau dari sisi dokter?
3. Bagaimana hukum yang mengatur pelanggaran hak asasi manusia dalam
praktik medis?

1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan karya tulis ilmiah ini adalah:
1. Mengetahui jenis-jenis pelanggaran hak asasi manusia dalam praktik medis
ditinjau dari sisi pasien.
2. Mengetahui jenis-jenis pelanggaran hak asasi manusia dalam praktik medis
ditinjau dari sisi dokter.
3. Mengetahui hukum yang mengatur pelanggaran hak asasi manusia dalam
praktik medis.

1.4 Manfaat
1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis terkait hak dan kewajiban
dalam praktik medis serta hukum yang mengatur hak dan kewajiban pasien
dan dokter dalam praktik medis.
2. Meningkatkan kewaspadaan dokter dalam melaksanakan praktik medis dalam
kegiatan sehari-hari

BAB 2

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hak Asasi Manusia

Hak asasi (fundamental untuk memahami hakikat Hak Asasi Manusia,


terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang hak), secara definitif
merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi
kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga
harkat dan martabatnya. Hak sendiri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. Pemilik hak;
b. Ruang lingkup penerapan hak;
c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.
Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak. Dengan
demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang
dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan
yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi Error:
Reference source not found
John Locke mengatakan bahwa semua individu dikaruniai oleh Tuhan hak
yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan yang tidak dapat dicabut oleh
negara sekalipun.
Menurut Jefferson, setiap manusia sejak dilahirkan telah melekat kepadanya
suatu hak kodrat yang dimiliki manusia sebagai manusia yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah demi
kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Hak merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Dalam kaitannya dengan
pemerolehan hak ada dua teori yaitu teori McCloskey dan teori Joel Feinberg.
Menurut teori McCloskey dinyatakan bahwa pemberian hak adalah untuk dilakukan,
dimiliki, atau sudah dilakukan. Sedangkan dalam teori Joel Feinberg dinyatakan
bahwa pemberian hak penuh merupakan kesatuan dari klaim yang absah (keuntungan
yang didapat dari pelaksanaan hak yang disertai pelaksanaan kewajiban). Dengan
demikian keuntungan dapat diperoleh dari pelaksanaan hak bila disertai dengan

3
pelaksnaan kewajiban. Hal itu berarti anatara hak dan kewajiban merupakan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan dalam perwujudannya. Karena itu ketika seseorang
menuntut hak juga harus melakukan kewajiban Error: Reference source not found
Pendapat-pendapat seperti ini merupakan pondasi untuk membentuk hak
asasi manusia yang universal. Karel Vasak seorang sarjana berkebangsaan Perancis
mengemukakan suatu model perkembangan hak asasi manusia yang dibagi menjadi
beberapa kelompok:Error: Reference source not found
Generasi Pertama, mewakili hak-hak sipil dan politik yakni hak asasi
manusia yang klasik. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia
ini adalah pada persitiwa penandatanganan naskah Universal Declaration of Human
Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948. Dalam konsepsi generasi
pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip
integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Hak asasi manusia pada generasi pertama berkenaan dengan hak-hak sipil dan politik
yang mencakup antara lain:
1. Hak untuk menentukan nasib sendiri
2. Hak untuk hidup
3. Hak untuk tidak dihukum mati
4. Hak untuk tidak disiksa
5. Hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang
6. Hak untuk peradilan yang adil, independen, dan tidak berpihak
7. Hak untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat
8. Hak untuk berkumpul dan berserikat
9. Hak untuk mendapatkan persamaan perlakuan di depan hukum
10. Hak untuk memilih dan dipilih Error: Reference source not
foundError: Reference source not found

Pada perkembangan selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi


manusia Generasi Kedua, konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya
menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan

4
kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak
untuk menikmati ragam penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya.
Sementara itu, hak asasi generasi kedua berkenaan dengan hak-hak di bidang
ekonomi, sosial, dan budaya. Yang menyangkut hak-hak sosial dan ekonomi antara
lain:
1. Hak untuk bekerja
2. Hak untuk mendapatkan upah yang sama
3. Hak untuk tidak dipaksa bekerja
4. Hak untuk cuti
5. Hak atas makanan
6. Hak atas perumahan
7. Hak atas kesehatan
8. Hak atas pendidikan
9. Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan
10. Hak untuk menikmati kemajuan ilmu pengetahuan
11. Hak untuk memperoleh perlindungan atas hasil karya cipta (hak cipta)
Error: Reference source not foundError: Reference source not found
Kemudian pada tahun 1986, muncul pula Generasi Ketiga yaitu lahirnya
konsepsi baru hak asasi manusia mencakup hak untuk pembangunan. Hak-hak dalam
bidang pembangunan ini antara lain mencakup:
1. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang sehat
2. Hak untuk memperoleh perumahan yang layak
3. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai Error:
Reference source not foundError: Reference source not found
Sedangkan generasi keempat adalah mengenai tanggungjawab negara dan
kewajiban asasi manusia.
1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan

5
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan
keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan,
keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
3. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan,
dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
4. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak
memihak yang pembentukan, susunan, dan kedudukannya diatur
dengan undang-undang. Error: Reference source not foundError:
Reference source not found
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum,
pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia Error: Reference source not found.
Sedangkan John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak
yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak
ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan
merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia
Error: Reference source not found.
Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua
UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan
konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi
Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang
telah disahkan sebelumnya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan
kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang
Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:

6
1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup
dan kehidupannya1
2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah2.
3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi3.
4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif
atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu4.
5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali5.
6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya6.
7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat7.
8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi
untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak
untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia8.
9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya,

1
Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.
2
Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua.
3
Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.
4
Dari Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.
5
Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.
6
Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua.
7
Pasal 28E ayat (3) Perubahan Kedua.
8
Dari Pasal 28F Perubahan Kedua.

7
serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi9.
10. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari negara lain10.
11. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan11.
12. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan12.
13. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat13.

14. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun14.

15. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan


kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia15.

9
Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28G ayat (1) Perubahan Kedua.
10
Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua.
11
Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua.
12
Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.
13
Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.
14
Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua.
15
Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua.

8
16. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya16.

17. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan


kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum17.

18. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja18.

19. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan19.

20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap
orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut20.

21. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak


masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan
tingkat peradaban bangsa21.

22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan


yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya22.
16
Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.
17
Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua.
18
Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua.
19
Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua.
20
Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang perumusannya mengundang kontroversi di
kalangan banyak pihak. Disini perumusannya dibalik dengan subjek negara.
21
Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika perumusan keseluruhan pasal ini dengan
subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.
22
Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD
1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan
perumusan alternatif 1 butir c dan a. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: ...serta
melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama, sebaiknya dihapuskan
saja, karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata

9
23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah23.

24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi manusia


sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan24.

25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas,


dibentuk Error: Reference source not foundKomisi Nasional Hak
Asasi Manusia yang bersifat independen menurut ketentuan yang
diatur dengan undang-undang25.

26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

27. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan
atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis 26. Error:
Reference source not found

2.2 Praktik Kedokteran

sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak
selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama.
Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang
diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok
paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
23
Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua.
24
Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan perkataan ...memajukan.., sehingga menjadi
Untuk memajukan, menegakkan, dan melindungi....
25
Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan undang-undang. Akan tetapi, agar lebih kuat,
maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.
26
Berasal dari Pasal 28J Perubahan Kedua.

10
Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 1,
praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter
gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Upaya kesehatan yang
dimaksud meliputi pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan .
Pelaksana praktik kedokteran adalah dokter atau dokter gigi yang memiliki
surat izin praktik. Pelaksanaan praktik kedokteran itu diselenggarakan berdasarkan
pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien. Pasien adalah setiap
orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada dokter atau dokter gigi.
Primum non nocere, artinya yang terpenting adalah jangan merugikan. Ini
merupakan prinsip dasar menurut tradisi Hippocrates, apabila kita tidak bisa berbuat
baik kepada seseorang, seharusnya kita tidak merugikan orang itu. Non maleficence
atau tidak merugikan, ditujukan terhadap kerugian fisik maupun kepentingan orang
lain.
Dalam bidang medis sering didapati situasi dimana tindakan medis yang
dilakukan menimbulkan efek lain yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini, ada 4
syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan tindakan yang demikian itu, yaitu:
1. Yang baik tidak boleh dicapai dengan perantaraan yang buruk, jadi yang
akan dilakukan itu tidak boleh bersifat buruk dari segi moral.
2. Alasan untuk memungkinkan terjadinya akibat buruk harus cukup berat,
alasan tersebut harus proporsional dimana harus dipastikan bahwa akibat
baik yang akan terjadi lebih banyak atau lebih penting atau lebih bernilai
daripada efek samping yang buruk yang dapat terjadi.
3. Kerugian yang sedang dipertimbangkan, tidak boleh menjadi sarana untuk
mencapai efek yang baik, jadi tujuan yang baik tidak menghalalkan segala
cara.
4. Akibat yang buruk atau merugikan itu tidak sebagai maksud, jadi akibat
buruk-yang meskipun diketahui akan terjadi-itu tidak diinginkan.

11
Dalam praktik kedokteran juga terdapat prinsip bioetik yang harus
dilakukan, prinsip tersebut adalah:
1. Prinsip Autonomy
Otonomi adalah suatu bentuk kebebasan bertindak dimana seseorang
mengambil keputusan sesuai dengan rencana yang ditentukannya sendiri.
Otonomi dapat dikatakan merupakan hak atas perlindungan privacy.
Dalam hubungan dokter-pasien ada otonomi klinis atau kebebasan
profesional dari dokter dan kebebasan terapeutik serta kebebasan diagnostik
dari pasien. Kebebasan profesional adalah hak dokter untuk menyarankan
tindakan terbaik bagi pasien menyangkut penyakitnya, berdasarkan ilmu,
keterampilan dan pengalaman dokter tersebut.
Kebebasan terapeutik adalah hak pasien untuk memutuskan yang
terbaik bagi dirinya setelah mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya,
termasuk biaya dari sejumlah alternatif tindakan yang mungkin dilakukan.

2. Prinsip Beneficence
Prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang yang ditujukan
kepada kebaikan pasien. Disini ditekankan tindakan atau perbuatan yang
mempunyai sisi baik atau bermanfaat lebih besar dibanding dengan sisi buruk
atau mudharat (secara umum tindakan dokter dapat dilakukan dan berlaku
pada semua pasien normal).
Prinsip berbuat baik atau beneficence merupakan segi positif dari
prinsip tidak merugikan. Akan tetapi kewajiban berbuat baik ini bukan tanpa
batas. Ada 4 langkah sebagai proses untuk menilai resiko kerugian sehingga
dapat diperkirakan sejauh mana suatu kewajiban bersifat mengikat:
1. Orang yang perlu bantuan itu mengalami suatu bahaya besar atau risiko
kehilangan sesuatu yang penting,
2. Penolong sanggup untuk melakukan sesuatu untuk mencegah terjadinya
bahaya atau kehilangan itu,

12
3. Tindakan penolong agaknya dapat mencegah terjadinya kerugian itu,
4. Manfaat yang diterima orang tersebut, melampaui kerugian bagi penolong
dan membawa risiko minimal.

3. Prinsip Non-maleficence
Prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan
pasien (pasien dalam keadaan gawat, harus diperlukan tindakan medik untuk
penyelamatan jiwanya, pasien rentan, dsb).

4. Prinsip Justice
Keadilan adalah perlakuan yang sama untuk orang-orang yang sama
dalam situasi-situasi yang sama, artinya menekankan persamaan dan
kebutuhan, bukannya jasa, kekayaan, kedudukan sosial atau kemampuan
membayar.
Menurut filsuf Amerika John Rawls, ada 2 asas keadilan yang akan
disetujui secara bulat oleh anggota-anggota masyarakat, yaitu:
1. Setiap orang hendaknya memiliki suatu hak yang sama atas sistem
menyeluruh mengenai kebebasan-kebebasan dasar.
2. Perbedaan sosial ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga:
- Memberikan manfaat yang terbesar bagi mereka yang berkedudukan
paling tidak menguntungkan.
- Bertalian dengan jabatan dan kedudukan yang terbuka bagi semua
orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak.

2.3 Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter dalam Praktik Kedokteran
2.3.1 Hak dan Kewajiban Pasien dalam Praktik Medis
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan, hak pasien adalah:

13
1. Hak menerima atau menolak sebagian atau seluruh pertolongan
(kecuali tak sadar, penyakit menular berat, gangguan jiwa berat).
2. Hak atas rahasia pribadi (kecuali perintah UU, pengadilan, ijin yang
bersangkutan, kepentingan yang bersangkutan, kepentingan
masyarakat).
3. Hak tuntut ganti rugi akibat salah atau kelalaian (kecuali tindakan
penyelamatan nyawa atau cegah cacat).
Selain itu dibahas pula mengenai hak pasien pada Undang-Undang RI
Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 52:
1. Mendapat penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (3) yaitu:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. Tujuan dilakukan tindakan medis
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
2. Meminta pendapat dokter/dokter lain
3. Mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
4. Mendapat isi rekam medis

Hak pasien menurut Declaration of Lisbon (1981)


1. Hak memilih dokter
2. Hak menerima atau menolak pengobatan setelah menerima
informasi
3. Hak atas kerahasiaan
4. Hak mati secara bermartabat
5. Hak atas dukungan moral atau spritual
Hak pasien menurut Fred AmelnError: Reference source not found
1. Menolak pengobatan dan perawatan
2. Hak bantuan medis

14
3. Menerima pengobatan dan perawatan
4. Mendapat informasi tentang penyakitnya
5. Menghentikan pengobatan dan perawatan
6. Memilih dokter dan sarana pelayanan kesehatan
7. Atas rahasia kedokteran
8. Mendapat perawatan terbaik dan berlanjut
9. Menerima pelayanan / perhatian atas suatu pengobatan

Hak pasien menurut Veronica Komalawati Error: Reference source


not found
1. Hak atas informasi
2. Memberikan informed consent
3. Dirahasiakan penyakit
4. Hak atas itikat baik dari dokter
5. Hak mendapat pelayanan medis yang terbaik

Sedangkan kewajiban pasien menurut Undang-Undang Republik


Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 53:
1. Memberi informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya kepada dokter yang sedang merawatnya
2. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter/dokter gigi
3. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan baik
rumah sakit atau pun puskesmas atau tempat pelayanan kesehatan
lainnya
4. Memberi imbalan jasa atas pelayanan yang diterima. Berkewajiban
memenuhi hal-hal yang telah disepakati / perjanjian yang telah
dibuatnya

Kewajiban pasien menurut Fred AmelnError: Reference source not


found

15
1. Memberi informasi selengkapnya perihal penyakitnya
2. Mematuhi nasihat dokter
3. Menghormati privasi dokter yang merawat (menyimpan rahasia dokter)
4. Memberi imbalan jasa

2.3.2 Hak dan Kewajiban Dokter dalam Praktik Medis

Menurut UU No. 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, menyebutkan


bahwa profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran
atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi
yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat
melayani masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang dokter maupun
dokter gigi, terdapat hak maupun kewajiban yang telah diatur dalam undang-undang.
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak
antara lain : Error: Reference source not found

1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai


dengan standar profesi dan standar prosedur operasional.
2. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional.
3. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarga
4. Menerima imbalan jasa
Menurut UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, pada pasal 57
disebutkan bahwa tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak untuk :Error:
Reference source not found
1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur
Operasional.
2. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan
Kesehatan atau keluarganya.
3. Menerima imbalan jasa
4. Memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja,
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat, moral, kesusilaan,

16
serta nilai-nilai agama.
5. Mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya.
6. Menolak keinginan Penerima Pelayanan Kesehatan atau pihak lain yang
bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan,
Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-
undangan, dan
7. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
undangan.

Dalam melaksanakan profesinya, dokter atau dokter gigi memiliki kewajiban


yang harus dilakukan. Menurut Wiradharma dan Hartati (2010) kewajiban dokter
atau dokter gigi adalah:

1. Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar


prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
2. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan.
3. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia.
4. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
5. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atau kedokteran.

Kewajiban dokter menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia terbagi menjadi


beberapa poin antara lain Error: Reference source not found:
1. Kewajiban Umum
2. Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
3. Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
4. Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri

Pada poin Kewajiban Umum Dokter, tertuang dalam pasal 1 sampai pasal 9.

17
Pasal 1 Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter.
Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat
memuji diri.
Pasal 5 Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien,
setelah memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6 Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.
Pasal 7 Setiap dokter harus memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral
sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan
atas martabat manusia.
Pasal 7b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien
dan sejawatnya,dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia
ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang
melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien.
Pasal 7c Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya,
dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 7d Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani.

18
Pasal 8 Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif),baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi
pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9 Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang
kesehatan danbidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.

Kewajiban Dokter Terhadap Pasien.


Pasal 10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu
dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas
persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang
mempunyai keahlian dalam masalah lainnya.
Pasal 11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar
senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam
beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan
mampu memberikan.

Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat


Pasal 14 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.
Pasal 15 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat,
kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.

Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri

19
Pasal 16 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja
dengan baik.
Pasal 17 Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan.

Pada UU No. 36 Tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, pada pasal 59


menyebutkan bahwa : Error: Reference source not found
Ayat 1 Tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan
Kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama pada Penerima
Pelayanan Kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada
bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.
Ayat 2 Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang
menolak Penerima Pelayanan Kesehatan dan/atau dilarang meminta
uang muka terlebih dahulu.

BAB 3
PEMBAHASAN

Berdasarkan Undang-Undang nomor 39 tahun 1999, pelanggaran hak asasi


manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang, termasuk aparat
negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia
seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak
mendapatkan atau dikawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang
adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Pelanggaran HAM adalah suatu kegiatan, peristiwa, maupun aktivitas yang


terjadi atas seorang manusia dengan perlakuan yang tidak pantas atau

20
memperlakukan manusia layaknya bukan sebagai manusia. Berikut akan dibahas
mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM dalam praktik kedokteran

3.1. Malpraktik
Ada berbagai macam pendapat dari para sarjana mengenai pengertian
malpraktik. Masing-masing pendapat itu diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Veronica menyatakan bahwa istilah malparaktik berasal dari malpractice
yang pada hakikatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang
timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh
dokter (Rizaldi, 2009)27.
b. Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harfiah berarti bad practice,
atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan
teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri
khusus. Karena malpraktik berkaitan dengan how to practice the medical
science and technology, yang sangat erat hubungannya dengan sarana
kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan
praktek. Maka Hermien lebih cenderung untuk menggunakan istilah
maltreatment (Kedokteran Forensik, 1994).
c. Menurut J. Guwandi merumuskan pengertian malpraktik medik tersebut,
yakni (Budi S, Zulhasmar, 2005):
a. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh tenaga
kesehatan;
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
kewajiban (negligence).
c. Melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
d. Danny Wiradharma memandang malpraktik dari sudut tanggung jawab dokter
yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut
melakukan praktek buruk (Undip,2009).

27

21
e. Amri Amir menjelaskan malpraktik medis adalah tindakan yang salah oleh
dokter pada waktu menjalankan praktek, yang menyebabkan kerusakan atau
kerugian bagi kesehatan dan kehidupan pasien, serta menggunakan
keahliannya untuk kepentingan pribadi (Budianto, 1997).
Beberapa sarjana sepakat untuk merumuskan penggunaan istilah medical
malpractice (malpaktek medik) sebagaimana disebutkan dibawah ini :
1. John D. Blum memberikan rumusan tentang medical malpractice sebagai a
form of professional negligence in which measerable injury occurs to a
plaintiff patient as the direct result of an act or ommission by the defendant
practitioner (malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian profesi dalam
bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang
mengajukan gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan dokter) (Bawono,
2011).
2. Black Law Dictionary merumuskan malpraktik sebagai any professional
misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or judiacry
duties, evil practice, or illegal or immoral conduct (perbuatan jahat dari
seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang dibawah standar, atau
tidak cermatnya seorang ahli dalam menjalankan kewajibannya secara
hukum, praktek yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral)
(Wiradharma, 1999).
Dari beberapa pengertian tentang malpraktik medik diatas semua sarjana
sepakat untuk mengartikan malpraktik medik sebagai kesalahan tenaga kesehatan
yang karena tidak mempergunakan ilmu pengetahuan dan tingkat keterampilan
sesuai dengan standar profesinya yang akhirnya mengakibatkan pasien terluka
atau cacat atau bahkan meninggal dunia.
Akan tetapi menurut penulis, malpraktik medik tidak hanya dilakukan oleh
orang-orang dari kalangan profesi dokter saja. Tetapi juga dapat dilakukan oleh
orang-orang yang berprofesi di bidang pelayanan kesehatan atau biasa disebut
tenaga kesehatan.

22
Jenis-Jenis Malpraktik
Ngesti Lestari dan Soedjatmiko membedakan malpraktik medik menjadi dua
bentuk, yaitu malpraktik etik (ethical malpractice) dan malpraktik yuridis (yuridical
malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum (Isfanyarie,
2005;Agusti,2015).
-Malpraktik Etik
Yang dimaksud dengan malpraktik etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya
seorang bidan yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan.
-Malpraktik Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktik yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu
malpraktik perdata (civil malpractice), malpraktik pidana (criminal malpractice) dan
malpraktik administratif (administrative malpractice) ((Isfanyarie, 2005).
1). Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh tenaga
kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad),
sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Adapun isi daripada tidak
dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa(Isfanyarie, 2005):
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat
melaksanakannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak
sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
2) Malpraktik Pidana
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat
akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan
upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.

23
Malpraktik pidana ada tiga bentuk yaitu (Isfanyarie, 2005):
a. Malpraktik pidana karena kesengajaan(intensional), misalnya pada kasus
aborsi tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus
gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong,
serta memberikan surat keterangan yang tidak benar.
b. Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya
melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar
profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan
medis.
c. Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat
atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang
kurang hati-hati.
3) Malpraktik Administratif
Malpraktik administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan
pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya
menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek (Isfanyarie, 2005).

Teori-Teori Malpraktik
Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktik yaitu
(Bawono, 2011; Isfanyarie, 2005):
a. Teori Pelanggaran Kontrak Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber
perbuatan malpraktik adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini
berprinsip bahwa secara hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai
kewajiban merawat seseorang bila mana diantara keduanya tidak terdapat
suatu hubungan kontrak antara tenaga kesehatan dengan pasien.
b. Teori Perbuatan Yang Disengaja Teori kedua yang dapat digunakan oleh
pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan
malpraktik adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja (intentional tort),

24
yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera (asssult and
battery)
c. Teori Kelalaian Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan
malpraktik adalah kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan
sumber perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktik ini harus dapat
dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam
kategori kelalaian yang berat (culpa lata).
Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan pembelaan
apabila ia menghadapi tuntutan malpraktik. Teori-teori itu adalah (Wiradharma,
1999):
a. Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung dari
tuntutan malpraktik, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk
melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala
resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut.
b. Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh
pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c. Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan
malpraktik adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus
dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau
rumah sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktik.
d. Peraturan Good Samaritan
Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan
gawat darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat
dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktik kecuali jika terdapat indikasi
terjadi suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e. Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)

25
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari seluruh
tuntutan malpraktik, dan kedua belah pihak bersepakat untuk mengadakan
penyelesaian bersama.
f. Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktik hanya dapat dilakukan dalam jangka
waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan
hukum yang lain.
g. Workmens Compensation
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu kasus
malpraktik keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha yang
sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus
malpraktik yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut.Hal ini disebabkan
menurut peraturan workmens compensation, semua pegawai dan pekerja
menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak
menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera atau
luka. Akan tetapi walaupun dengan adanya teori-teori pembelaan tersebut,
tidak berarti seorang tenaga kesehatan boleh bertindak semaunya kepada
pasien.
Walaupun terdapat teori-teori pembelaan tersebut, juga harus dilihat apakah
tindakan tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi. Apabila tindakan
tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai dengan standar profesi, maka teori-teori
pembelaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembelaan baginya.

Pengaturan Malpraktik Dokter


Pada umumnya, apabila ada dugaan terjadi malpraktik yang dilakukan oleh
dokter atau rumah sakit terhadap seorang pasien, dasar dari gugatan pasien terhadap
dokter atau rumah sakit yaitu menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata. Di dalam
prakteknya untuk menjerat seseorang itu telah melakukan kesalahan dengan

26
menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata seperti tersebut di atas, maka biasanya
digunakan juga Pasal selanjutnya yaitu Pasal 1371 ayat 1 KUHP.
Banyaknya kasus malpraktik yang muncul ke permukaan biasanya hanya
diselesaikan dengan solusi damai pada tingkat Majelis Kehormatan Kode Etik
Kedokteran (MKEK). Padahal yang dipertaruhkan tidak sekedar kompensasi, tetapi
yang lebih penting lagi adalah kelangsungan hidup pasien.

Pengaturan Malpraktik Dokter dalam Bidang Hukum Perdata

Dokter yang melakukan praktik kedokteran adalah dalam rangka


melaksanakan hak dan kewajiban dalam suatu hubungan hukum dokter pasien. Yang
dimaksud dengan hubungan hukum (rechtsbetrekking) adalah hubungan antardua
subjek hukum atau lebih, atau antara subjek hukum dan objek hukum yang berlaku di
bawah kekuasaan hukum, atau diatur/ada dalam hukum dan mempunyai akibat
hukum. Jelasnya, hubungan hukum ada 3 kategori, yaitu Hanafian, 2008):
a) Hubungan hukum antar dua subjek hukum orang dengan subjek hukum
orang, misalnya hubungan hukum dokter-pasien
b) Hubungan hukum antara subjek hukum orang dengan subjek hukum badan,
misalnya antara pasien dengan rumah sakit; dan
c) Hubungan hukum antara subjek hukum orang maupun badan dengan objek
hukum benda berupa hak kebendaan.
Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak
dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) dalam transaksi terapeutik, baik oleh dokter
maupun tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum
(onreghmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien.
Ingkar janji atau wanprestasi ini diatur dalam Pasal 1234, Pasal 1239, Pasal
1243 dan Pasal 1320 KUH Perdata. Menurut Pasal 1234 KUH Perdata, disebutkan
bahwa: Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau
untuk tidak berbuat sesuatu.
Kemudian Pasal 1239 KUHPerdata mengatur pula mengenai akibat hukum

27
bagi pihak yang tidak melaksanakan isi dari perikatan yang terjadi. Hal ini
sebagaimana ditegaskan bahwa:

Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila
si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam
kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga.

Tanggungjawab Dokter Dalam Kasus MalpraktikMedis (Medical


Malpractice)
Banyak persoalan malpraktik atas kesadaran hukum msyarakat diangkat
menjadi masalah perdata. Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) dalam
perkembangannya diperluas menjadi 4 (empat) kriteria (Syaiful A., 2001):
- Pertama, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; atau
- kedua, melawan hukum hak subjektif orang lain; atau
- ketiga, melawan kaidah tata susila; atau
- keempat bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang
seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga
masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Masalah tanggungjawab dokter dalam kasus malpraktik medik, ada relevansi
dengan perbuatan melanggar hukum Pasal 1366 dan 1364 KUHP, yaitu (Syaiful A.,
2001):
- pertama pasien harus mengalami suatu kerugian
- kedua, ada kesalahan atau kelalaian (disamping perseorangan, rumah sakit
juga dapat bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian pegawainya)
- ketiga, ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan; dan
- keempat, perbuatan itu melanggar hukum.
Apabila seseorang pada waktu melakukan perbuatan melawan hukum itu tahu
betul perbuatannya akan berakibat suatu keadaan tertentu yang merugikan pihak lain
dapat dikatakan bahwa pada umumnya seseorang tersebut dapat
dipertanggungjawabkan. Syarat untuk dapat dikatakan bahwa seorang tahu betul hal

28
adanya keadaan-keadaan yang menyebabkan kemungkinan akibat itu akan terjadi
(Syaiful A., 2001).
Kesalahan bertindak ini terjadi karena kurangnya ketelitian dokter di dalam
melakukan observasi terhadap pasien sehingga terjadilah hal yang tidak diinginkan
bersama. Ketidaktelitian ini merupakan tindakan yang masuk di dalam kategori
tindakan melawan hukum hukum, sehingga menyebabkan kerugian yang harus
ditanggung oleh pasien.

Perlindungan Hukum Korban Malpraktik Dokter


Doktrin adalah pendapat para ahli hukum dan landasan penggunaan doktrin
yaitu asas hukum yang mengedepankan communis opinio doctorum atau seseorang
tidak boleh menyimpang dari pendapat umum para sarjana atau ahli hukum. Doktrin
yang berlaku di dalam ilmu kesehatan yaitu Res Ipsa Loquitur artinya doktrin yang
memihak pada korban. Pembuktian dalam hukum acara perdata yang menentukan
bahwa pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian
tidak perlu membuktikan adanya unsur kelalaian tersebut, cukup menunjukkan
faktanya. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan.

Contoh Kasus Malpraktek dan Analisisnya

1. Kasus 1
Liputan6.com, Jakarta : Mencuatnya kasus dipidanakannya dokter spesialis
kebidanan dan kandungan, Dewa Ayu Sasiary Prawani dalam kasus malapraktik
terhadap korban Julia Fransiska Makatey (25), masih belum menemukan titik terang.
Untuk mengetahui lebih jelas kronologi kasusnya, berikut ulasan yang diuraikan
Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Dr Nurdadi
Saleh, SpOG beberapa waktu lalu:
10 April 2010

29
Korban, Julia Fransiska Makatey (25) merupakan wanita yang sedang hamil
anak keduanya. Ia masuk ke RS Dr Kandau Manado atas rujukan puskesmas. Pada
waktu itu, ia didiagnosis sudah dalam tahap persalinan pembukaan dua. Namun
setelah delapan jam masuk tahap persalinan, tidak ada kemajuan dan justru malah
muncul tanda-tanda gawat janin, sehingga ketika itu diputuskan untuk dilakukan
operasi caesar darurat. "Saat itu terlihat tanda tanda gawat janin, terjadi mekonium
atau bayi mengeluarkan feses saat persalinan sehingga diputuskan melakukan bedah
sesar," ujarnya. Tapi yang terjadi menurut dr Nurdadi, pada waktu sayatan pertama
dimulai, pasien mengeluarkan darah yang berwarna kehitaman. Dokter menyatakan,
itu adalah tanda bahwa pasien kurang oksigen. "Tapi setelah itu bayi berhasil
dikeluarkan, namun pasca operasi kondisi pasien semakin memburuk dan sekitar 20
menit kemudian, ia dinyatakan meninggal dunia," ungkap Nurdadi, seperti ditulis
Senin (18/11/2013).
15 September 2011
Atas kasus ini, tim dokter yang terdiri atas dr Ayu, dr Hendi Siagian dan dr
Hendry Simanjuntak, dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) hukuman 10 bulan
penjara karena laporan malpraktik keluarga korban. Namun Pengadilan Negeri (PN)
Manado menyatakan ketiga terdakwa tidak bersalah dan bebas murni. "Dari hasil
otopsi ditemukan bahwa sebab kematiannya adalah karena adanya emboli udara,
sehingga mengganggu peredaran darah yang sebelumnya tidak diketahui oleh dokter.
Emboli udara atau gelembung udara ini ada pada bilik kanan jantung pasien. Dengan
bukti ini PN Manado memutuskan bebas murni," tutur dr Nurdadi. JPU menyatakan
ada beberapa hal yang perlu dikaji kembali terkait keputusan bebas murni yang
dikeluarkan oleh PN Manado. Di antaranya keberatan mengenai kelalaian yang
dilakukan terdakwa; tidak adanya informed consent; dan tidak dilakukannya
prosedur pemeriksaan jantung sebelum tindakan operasi. Tapi ternyata kasus ini
masih bergulir karena jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang kemudian
dikabulkan.
18 September 2012

30
Dr. Dewa Ayu dan dua dokter lainnya yakni dr Hendry Simanjuntak dan dr
Hendy Siagian akhirnya masuk daftar pencarian orang (DPO).
11 Februari 2013
Keberatan atas keputusan tersebut, PB POGI melayangkan surat ke
Mahkamah Agung dan dinyatakan akan diajukan upaya Peninjauan Kembali (PK).
Dalam surat keberatan tersebut, POGI menyatakan bahwa putusan PN Manado
menyebutkan ketiga terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan kalau ketiga
dokter tidak bersalah melakukan tindak pidana. Sementara itu, Majelis Kehormatan
dan Etika Profesi Kedokteran (MKEK) menyatakan tidak ditemukan adanya
kesalahan atau kelalaian para terdakwa dalam melakukan operasi pada pasien.
8 November 2013
Dr Dewa Ayu Sasiary Prawan (38), satu diantara terpidana kasus malapraktik
akhirnya diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung dengan putusan 10 bulan
penjara. Ia diciduk di tempat praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati,
Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim) oleh tim dari Kejaksaan Agung (Kejagung)
dan Kejari Manado sekitar pukul 11.04 Wita. Sementara kedua dokter lainnya yakni
dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian masih dicari. Menurut keterangan
Nurdadi, kedua dokter tersebut sedang melakukan pelatihan.
Analisis kasus
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 ayat (1)
dijelaskan bahwa Persetujuan tindakan medik kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapatkan penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan
mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes
No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa Dalam keadaan

31
darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak
diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.
Disahkannya Permenkes No. 290/MENKES/PER/III/2008 sekaligus
mengggugurkan Permenkes sebelumnya yaitu pada Permenkes No
585/Men.Kes/Per/IX/1989 masih terdapat beberapa kelemahan. Pada pasal 11 hanya
disebutkan bahwa yang mendapat pengecualian hanya pada pasien pingsan atau tidak
sadar.
Jika ditinjau dari hukum kedokteran yang dikaitkan dengan doktrin informed
consent, maka yang dimaksudkan dengan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan
dimana :
Tidak ada kesempatan lagi untuk memintakan informed consent, baik dari
pasien atau anggota keluarga terdekat (next of kin)
Tidak ada waktu lagi untuk menunda-nunda
Suatu tindakan harus segera diambil untuk menyelamatkan jiwa pasien atau
anggota tubuh.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008


pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan
gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib
memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat.
Berikut pasal 4 ayat (3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib
memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar
atau kepada keluarga terdekat. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan
tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter
berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau
kelurga terdekat.

32
Selain ketentuan yang telah diatur pada UU No. 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 209/Menkes/Per/III/2008,
apabila pasien dalam keadaan gawat darurat sehingga dokter tidak mungkin
mengajukan informed consent, maka KUHP Perdata Pasal 1354 juga mengatur
tentang pengurusan kepentingan orang lain. Tindakan ini dinamakan
zaakwaarneming atau perwalian sukarela yaitu Apabila seseorang secara sukarela
tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa
sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk
meneruskan mengurusi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu
mengurusinya sendiri.
Dalam keadaan yang demikian perikatan yang timbul tidak berdasarkan suatu
persetujuan pasien, tetapi berdasarkan suatu perbuatan menurut hukum yaitu dokter
berkewajiban untuk mengurus kepentingan pasien dengan sebaik-baiknya. Maka
dokter berkewajiban memberikan informasi mengenai tindakan medis yang telah
dilakukannya dan mengenai segala kemungkinan yang timbul dari tindakan itu.

Kesimpulan
Tindakan dalam kegawatdaruratan medik di perbolehkan tanpa melakukan
persetujuan atau informed consent terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran dan diperjelas oleh KUH Perdata pasal 1354.

2. Kasus 2
DETIKNEWS.COM Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi
jaksa atas kasus malpraktik dengan terdakwa dr Wida Parama Astiti. MA
memutuskan dr Wida telah melakukan malpraktik sehingga pasien berusia 3 tahun
meninggal dunia dan dijatuhi 10 bulan penjara.
Seperti dilansir dalam website Mahkamah Agung (MA), Jumat (22/3/2013), kasus
tersebut bermula saat dr Wida menerima pasien Deva Chayanata (3) pada 28 April
2010 pukul 19.00 WIB datang ke RS Krian Husada, Sidoarjo, Jatim. Deva datang

33
diantar orang tuanya karena mengalami diare dan kembung dan dr Deva langsung
memberikan tindakan medis berupa pemasangan infuse, suntikan, obat sirup dan
memberikan perawatan inap.
Keesokan harinya, dr Wida mengambil tindakan medis dengan meminta kepada
perawat untuk melakukan penyuntikan KCL 12,5 ml. Saat itu, dr Wida berada di
lantai 1 dan tidak melakukan pengawasan atas tindakan perawat tersebut dan Deva
kejang-kejang. Akibat hal ini, Deva pun meninggal dunia.
"Berdasarkan keterangan ahli, seharusnya penyuntikan KCL dapat dilakukan dengan
cara mencampurkan ke dalam infuse sehingga cairan KCL dapat masuk ke dalam
tubuh penderita dengan cara masuk secara pelan-pelan," demikian papar dakwaan
jaksa.
Lantas, dr Wida diproses secara hukum dan pada 1 Juni 2011 Kejaksaan Negeri
Sidoarjo menuntut dr Wida dijatuhkan hukuman 18 bulan penjara karena melanggar
Pasal 359 KUHP. Tuntutan ini dipenuhi majelis hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo
pada 19 Juli 2011. Namun terkait lamanya hukuman, majelis hakim memutuskan dr
Wida harus mendekam 10 bulan karena menyebabkan matinya orang yang dilakukan
dalam melakukan suatu jabatan atau pekerjannya.
Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya pada 7 November 2011. Namun
jaksa tidak puas dan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). "Putusan
Pengadilan Tinggi sangat ringan sehingga tidak memenuhi rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat dan tidak membuat jera pelaku atau orang lain yang akan
melakukan perbuatan yang sama," demikian alasan kasasi jaksa. Namun, MA berkata
lain.
"Menolak permohonan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri
Sidoarjo," demikian putus MA yang diketok olah majelis hakim Dr Artidjo Alkostar,
Dr Sofyan Sitompul dan Dr Dudu D Machmuddin pada 28 September 2012 lalu.

Analisis Kasus

34
Pasal 359 KUHP yang berbunyi : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun
Sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu layanan medik dikenal gugatan ganti
kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian medik. Suatu perbuatan atau tindakan
medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di bawah ini.
Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis
atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu
pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini
adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan
pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari
hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut.
Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi,
berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-
kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang
harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan
maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety
yang optimum.
Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan
melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk
memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban
dalam bentuk suatu standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih
dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada
situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan
umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau
disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan
apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen). Kedua uraian
standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar
umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang normal

35
sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi
dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden
Rule yang menyatakan What is right (or wrong) for one person in a given
situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation.
Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala
sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur
kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-
akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel.
Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan
kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah
real cost atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan / pengobatan
penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai
saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk
perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat
hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity).
Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai
akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.
Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban
dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.

Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya ke-
empat unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan
maka gugatan tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti.

3. Kasus 3
Kasus tersebut bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan kesehatannya di
RS Internasional Omni atas keluhan demam, sakit kepala, mual disertai muntah,

36
kesulitan BAB, sakit tenggorokan, hingga hilangnya nafsu makan. Oleh dokter
rumah sakit, dr.Hengky Gosal SpPD dan dr.Grace Herza Yarlen Nela, Prita
didiagnosis menderita demam berdarah, atau tifus. Setelah dirawat selama empat hari
disertai serangkaian pemeriksaan serta perawatan, gejala awal yang dikeluhkan
berkurang namun ditemukan sejenis virus yang menyebabkan pembengkakan pada
leher.Selama masa perawatan Prita mengeluhkan minimnya penjelasan yang
diberikan oleh dokter atas jenis-jenis terapi medis yang diberikan, disamping kondisi
kesehatan yang semakin memburuk yang diduga akibat kesalahan dalam
pemeriksaan hasil laboratorium awal menyebabkan kekeliruan diagnosis oleh dokter
pemeriksa. Disebabkan karena pengaduan serta permintaan tertulis untuk
mendapatkan rekam medis serta hasil laboratorium awal yang tidak dapat dipenuhi
oleh pihak rumah sakit Prita kemudian menulis email tentang tanggapan serta
keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah milis.Email tersebut kemudian
menyebar luas sehingga membuat pihak rumah sakit merasa harus membuat
bantahan atas tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke media cetak serta mengajukan
gugatan hukum baik secara perdata maupun pidana dengan tuduhan pencemaran
nama baik.
Saat dirawat Prita Mulyasari tidak mendapat kesembuhan, sebaliknya
penyakitnya menjadi lebih parah dengan beberapa keluhan tambahan yakni
pembengkakan di beberapa bagian tubuhnya. Lanjutnya Ibu Prita menemui
kejanggalan pada keterangan medisnya, dimana trombositnya yang semula 27.000
pada diagnosis pertama menderita demam berdarah, kemudian secara terpisah dokter
menginformasikan adanya revisi dimana trombosit Ibu Prita menjadi 181.000
dengan diagnosis virus udara dan gondongan.
Keterangan medis tersebut antara lain, penjelasan medis tentang diagnosis
Ibu Prita yang menderita demam berdarah hingga perubahan diagnosis menderita
gondongan dan virus udara menular, harus dirawat dan dinfus serta diresepkan obat
dengan dosis tinggi. Konsekuensinya, Ibu Prita mengalami pembengkakan di
beberapa bagian tubuhnya seperti lengan, leher, dan mata. Hal ini selaras seperti yang
dikeluhkan beliau:

37
Keluhan: laporan lab yang direvisi dengan trombosit 27.000 menjadi
181.000
Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin
pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit
saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi
181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan
instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya
tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien

Keluhan: pembengkakan beberapa bagian tubuh dan sesak napas


..Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya,
suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak
napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin
parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri

Analisis Kasus
Melihat kasus tersebut, dapat ditemukan sebuah contoh malpraktik administrasi
berupa pelanggaran dalam rekam medis. Dalam PERMENKES No.
749a/Menkes/XII/89 tentang RM disebutkan pengertian RM adalah berkas yang
berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan,
tindakan, dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Pasal 14 Permenkes no. 749a/1989 tentang tujuan dan fungsi rekam medis yaitu
sebagai dasar pelayanan kesehatan dan pengobatan, pembuktian hukum, penelitian
dan pendidikan, dasar pembiayaan pelayanan kesehatan, dan statistic kesehatan.
Maka rekam medis harus dibuat relevan, kronologis dan orisinil. Data yang diberikan
haruslah berupa data yang sebenarnya dan bukan karangan semata.

Dalam kasus di atas telah terjadi pemalsuan data tentang kondisi pasien sesuai
dengan pengakuan dari pasien atau si penderita yang menyebutkan bahwa Dalam
catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal

38
itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama
sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000
bukan 27.000. hal ini dinilai telah melanggar hukum adminitrasi, karena data yang
dilaporkan dalam rekam medis pasien adalah fiktif dan tidak sesuai dengan
kenyataannya, bersamaan dengan itu juga tenaga perawatan dinilai telah lalai dari
kewajibannya dalam menyediakan rekam medis pasien.

3.2. Abortus Provokatus

Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram. Sedangkan abortus menurut hukum ialah
tindakan menghentikan kehamilan atau mematikan janin sebelum waktu kelahiran,
tanpa melihat usia kandungannya dan tidak dipersoalkan apakah pengguguran
tersebut lahir bayi hidup atau mati (Prawirohardjo, 2008; Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1997).
Pengertian pengguguran kandungan menurut hukum tentu saja berbeda
dengan pengertian abortus menurut kedokteran, yaitu adanya faktor kesengajaan dan
tidak adanya faktor usia kehamilan. Secara ilmu kedokteran, abortus terbagi dalam
(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997) :
- Abortus Spontan
- Abortus provokatus, yang terbagi lagi ke dalam :
o Abortus provokatus terapeutikus

39
o Abortus provokatus kriminalis
Sehingga jika kita membandingkan pengertian antara pengertian hukum dan
pengertian kedokteran, maka termasuk pengguguran kandungan menurut hukum
adalah abortus provokatus kriminalis (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1997).

1) Abortus spontan
Adalah terminasi kehamilan sebelum periode viabilitas janin atau sebelum gestasi
minggu ke 20 atau berat badan 500 gram (Walsh, 2008; Varney, 2007).
Abortus spontan dibagi menjadi:
a. Abortus Imminens
Terjadi perdarahan bercak yang menunjukkan ancaman terhadap
kelangsungan suatu kehamilan. Dalam kondisi seperti ini, kehamilan
masih mungkin berlanjut atau dipertahankan (Saifuddin, 2008; Wals,
2008).
Ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus pada kehamilan sebelum
20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam uterus, dan tanpa adanya
dilatasi servik (Wiknjosastro, 2008).

b. Abortus Insipiens
Perdarahan ringan hingga sedang pada kehamilan muda dimana hasil
konsepsi masih berada dalam kavum uteri. Kondisi ini menunjukkan
proses abortus sedang berlangsung dan akan berlanjut menjadi abortus
inkomplit atau komplit (Saifuddin, 2008).
Ialah peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu
dengan adanya dilatasi servik uteri yang meningkat, tetapi hasil konsepsi
masih dalam uterus. Aborsi ini terjadi ketika ada pembukaan servik dan
atau pecah ketuban di sertai perdarahan dan nyeri pada abdomen bagian
bawah atau pada punggung (Wiknjosastro, 2008; Varney, 2007).

40
c. Abortus Inkomplit
Perdarahan pada kehamilan muda dimana sebagian dari hasil konsepsi
telah keluar dari kavum uteri melalui kanalis servikalis (Saifuddin, 2008).
Ialah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Terjadi ketika
plasenta tidak dikeluarkan bersama janin pada saat terjadi aborsi
(Wiknjosastro, 2008; Varney, 2007).
d. Abortus Komplit
Perdarahan pada kehamilan muda dimana seluruh hasil konsepsi telah dikeluarkan
dari kavum uteri (Saifuddin, 2008).

Abortus provocatus adalah istilah latin yang secara resmi dipakai dalam
kalangan kedokteran dan hukum, yang artinya adalah dengan sengaja mengakhiri
kehidupan kandungan dalam rahim seorang wanita hamil. Berbeda dengan abortus
spontaneous yaitu kandungan seorang wanita hamil yang gugur secara spontan.
Untuk itu perlu dibedakan antara pengguguran kandungan dan keguguran.
Pengguguran kandungan dilakukan dengan sengaja, sedangkan keguguran terjadi
tidak disengaja. Untuk menunjukkan pengguguran kandungan, istilah yang sering
digunakan sekarang adalah aborsi.(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1997).
Abortus provocatus meliputi Abortus provocatus medicalis, yaitu penghentian
kehamilan (terminasi) yang disengaja karena alasan medis. Praktek ini dapat
dipertimbangkan, dapat dipertanggung-jawabkan, dan dibenarkan oleh hukum dan
abortus provocatus criminalis, yaitu penghentian kehamilan atau pengguguran yang
melanggar kode etik kedokteran.(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997).
Angka kejadian keguguran secara nasional adalah 4%. Dari semua kejadian
keguguran, ada 6,54% di antaranya aborsi. Aborsi lebih besar dilakukan oleh ibu
berusia di atas 35 tahun, berpendidikan tamat SMA, tidak bekerja dan tinggal di
perkotaan. Cara yang dominan digunakan untuk menghentikan kehamilan adalah

41
kuret. Jamu, pil dan suntik merupakan tindakan alternatifnya. Terkait dengan
kejadian kehamilan yang tidak direncanakan, kasus yang ditemukan berkisar antara
1,6% dan 5,8%. Dari semua kejadian kehamilan tidak direncakan, 6,71% di
antaranya sengaja digugurkan. Berdasarkan karakteristik, aborsi banyak dilakukan
oleh ibu berusia di atas 35 tahun, berpendidikan SD, tidak bekerja, dari status sosial
ekonomi kuatil ke 2 dan tinggal di perkotaan. Aborsi. Dilakukan secara sendiri
dengan jamu dan pil.(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997).
Banyak pendapat mengenai abortus provocatus yang disampaikan oleh
berbagai ahli dalam berbagai macam bidang seperti agama, kedokteran, sosial,
hukum, eugenetika, dan sebagainya. Pada umumnya setiap negara mempunyai
undang-undang yang melarang abortus provocatus (pengguguran kandungan).
Abortus provocatus dapat dibenarkan sebagai pengobatan, apabila merupakan satu-
satunya jalan untuk menolong jiwa ibu dari bahaya maut (abortus
provocatustherapeuticus). (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997).
Keputusan untuk melakukan abortus provocatus therapeuticus harus dibuat
oleh sekurang-kurangnya dua dokter dengan persetujuan tertulis dari wanita hamil
yang bersangkutan, suaminya dan atau keluarhanya yang terdekat. Hendaknya
dilakukan dalam suatu rumah sakit yang mempunyai cukup sarana untuk
melakukannya.(Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997).
Menurut penyelidikan, abortus provocatus paling sering terjadi pada wanita
bersuami, yang telah sering melahirkan, keadaan sosial dan keadaan ekonomi rendah.
Ada harapan abortus provocatus di kalangan wanita bersuami ini akan berkurang
apabila keluarga berencana sudah dipraktekkan dengan tertib. Setiap dokter perlu
berperan serta untuk membantu suksesnya program keluarga berencana ini.(Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1997).
Sehingga jika kita membandingkan pengertian antara pengertian hukum dan
pengertian kedokteran, maka termasuk pengguguran kandungan menurut hukum
adalah abortus provokatus kriminalis (Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
1997).

42
Dasar Hukum yang Mengatur Tentang Abortus Provokatus
Berdasarkan KUHP, pelaku-pelaku aborsi adalah sebagai berikut :
1. Wanita yang sengaja menggugurkan kandungannya atau menyuruh orang lain
melakukannya (KUHP ps 346, hukuman maksimum 4 tahun)
2. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita tanpa seizinnya (KUHP ps
347, hukuman maksimum 12 tahun; dan bila wanita tersebut meninggal,
hukuman maksimum 15 tahun)
3. Seseorang yang menggugurkan kandungan wanita dengan seizin wanita
tersebut (KUHP ps 348, hukuman maksimum 5 tahun 6 bulan; dan bila
wanita tersebut meninggal, maksimum 7 tahun)
4. Dokter, bidan, atau juru obat yang melakukan kejahatan di atas (KUHP ps
349, hukuman ditambah dengan sepertiganya dan pencabutan hak
pekerjaannya)
5. Barangsiapa mempertunjukkan alat/cara menggugurkan kandungan kepada
anak dibawah usia 17 tahun/dibawah umur (KUHP ps 238, hukuman
maksimum 9 bulan)
6. Barangsiapa menganjurkan/merawat/memberi obat kepada seorang wanita
dengan memberi harapan agar gugur kandungannya (KUHP ps 299, hukuman
maksimum 4 tahun)
7. Barangsiapa mempertunjukkan secara terbuka alat/cara menggugurkan
kandungan (KUHP ps 535) hukuman maksimum 3 bulan.

Negara-negara di Eropa Barat umumnya mengancam perbuatan pengguguran


kandungan dengan hukuman, kecuali bila atas indikasi medis. Amerika melarang
pengguguran kandungan yang ilegal, yaitu selain yang dilakukan dokter di Rumah
Sakit dengan prosedur tertentu. Sedangkan Jepang membolehkan abortus tanpa
pembatasan tertentu. Bahkan di negara-negara Eropa Timur, abortus diperbolehkan
bila dilakukan oleh dokter di Rumah Sakit, tanpa keharusan membayar biaya. Di
Jerman Barat, pengguguran kandungan usia 14 hari hingga 3 bulan, dengan izin si
wanita, atas anjuran dokter dan dilakukan oleh dokter, tidak diancam hukuman.

43
Menurut Durwald (dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997),
mengatakan bahwa ternyata semakin liberal peraturan tentang abortus suatu
negara/daerah, maka semakin sedikit kasus abortus yang terjadi hanya sampai pada
suatu titik tertentu. Kasus di Indonesia jarang diajukan ke pengadilan, karena si pihak
ibu yang merupakan korban juga sebagai pelaku sehingga sukar diharapkan adanya
laporan abortus. Umumnya di Indonesia kasus yang diajukan ke pengadilan hanya
bila terjadi komplikasi atau bila ada pengaduan dari si ibu atau suaminya.

Larangan Aborsi Sebelum Janin Viable


Pada April 2010, Nebraska mengesahkan undang-undang yang melarang
semua aborsi setelah minggu ke-dua puluh kehamilan, kecuali untuk menyelamatkan
nyawa wanita atau melindungi nyawa wanita dari ancaman berat untuk kesehatan
fisiknya. Pada 2011, lima negara lainnya (Alabama, Idaho, Indiana, Kansas, dan
Oklahoma) mengikuti langkah tersebut. Hukum ini kadang-kadang dinilai
berdasarkan pandangan legislator bahwa janin dapat merasakan nyeri pada atau
sekitar minggu ke-dua puluh kehamilan pandangan yang ditolak oleh sebagian
besar literatur medis (Hill, 2012).
Terlepas dari bukti medis mengenai nyeri pada janin, Mahkamah Agung
Amerika Serikat menjelaskan bahwa negara tidak melarang aborsi sebelum janin
viable. Viabilitas harus ditentukan oleh dokter tetapi umumnya dipahami terjadi pada
usia kehamilan sekitar 24 minggu (Hill, 2012).
Di Ohio, legislator memberlakukan Heartbeat Bill yang akan melarang
semua aborsi (kecuali untuk menyelamatkan nyawa wanita atau mencegah gangguan
fisik yang parah) setelah denyut jantung terdeteksiyang dapat dideteksi sedini
mungkin pada usia kehamilan 6 minggu. Rencana Undang-Undang ini merupakan
hukum aborsi yang paling ketat di negara tersebut, yang melarang hampir semua
aborsi. Rencana Undang-Undang ini belum menjadi hukum, namun, jika rencana ini

44
lulus, beberapa grup hak-aborsi berniat untuk menantang segera mungkin di
pengadilan (Hill, 2012).

Informed Consent dan Periode Menunggu


Meskipun informed consent merupakan prosedur standar sebelum melakukan
segala jenis tindakan medis, beberapa negara memiliki informed consent spesifik
untuk aborsi yang dapat memberatkan atau tidak. Sebagai contoh, sebuah hukum
yang disahkan tahun ini di Dakota Selatan menciptakan suatu periode menunggu
selama 72 jam sebelum aborsi dilakukan dan membutuhkan wanita yang mencari
aborsi untuk mengunjungi pusat kehamilan, yang secara spesifik didefinisikan oleh
hukum sebagai sebuah entiti dengan misi utama untuk membantu ibu hamil menjaga
hubungan mereka dengan anak yang dikandung. Sebelum hukum tersebut berlaku,
beberapa hakim federal menghalangi hukum tersebut, dengan menemukan bahwa itu
melanggar hak-hak konstitusional wanita (Hill, 2012).
Negara lain selain Dakota Selatan telah mengesahkan hukum yang
membutuhkan penyediaan informasi medis yan irrelevang dan informasi yang tidak
akurat. Indiana mengamandemenkan hukum informed consent yang sudah ada untuk
mensyaratkan penyedia aborsi untuk menginformasikan wanita bahwa kehidupan
fisik manusia berasal ketika sel telur dibuahi oleh sel sperma manusia dan
informasi medis yang jelas menunjukkan bahwa janin dapat merasakan nyeri pada
atau sebelum usia kehamilan 20 minggu setelah pembuahan terjadi sebuah
tantangan hukum terhadap hukum Indiana yang belum berhasil sampai saat ini.
Dakota Utara mengesahkan hukum pada 2011 yang mensyaratkan wanita
untuk diberi informasi seperti kemungkinan untuk meningkatkan risiko kanker
payudara dan kemungkinan efek psikologis yang berkaitan dengan aborsi.
Namun, tidak satupun dari kanker payudara dan gangguan mentar memiliki korelasi
pada aborsi (Hill, 2012).

Larangan Pada Aborsi Medis

45
Beberapa negara bertindak pada 2011 untuk melarang aborsi yang dilakukan
secara medis daripada secara operasi dengan aborsi mifepristone (juga dikenal
sebagai dengan Mifeprex atau RU-486) Tiga negara bagian (Kansas, Dakota Utara,
dan Oklahoma) telah mengesahkan hukum dengan aborsi mifepristone menggunakan
protokol yang sama dengan uji klinis saat obat tersebut diterima oleh FDA pada
tahun 2000. Protokol secara evidence-based diadopsi oleh mayoritas dokter dengan
menggunakan dosis yang lebih sedikit dibandingkan dengan protokol FDA dan
memperbolehkan aborsi medis sampai dengan usia gestasi 63 hari daripada 49 hari.
Amerika Serikat tetap mengeluarkan Undang-Undang mencegah dokter dari
penerapan penilaian medis terbaik mereka terkait dengan dosis dan waktu obat
aborsi. Undang-Undang ini mirip dengan hukum Ohio, konstitusionalitas yang terus
dilitigasi, yang disahkan pada tahun 2004 tetapi baru-baru ini diizinkan (Hill, 2012).

Hukum Aborsi di Indonesia


Pada tahun 2014, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 tentang
kesehatan reproduksi. Pada pasal 31 dari PP tersebut dijelaskan bahwa tindakan
aborsi dilakukan berdasarkan (1) indikasi kedaruratan medis dan (2) kehamilan
akibat perkosaan. Dan jika kehamilan tersebut terjadi akibat perkosaan, maka dapat
dilakukan jika hanya umur kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung dari hari
pertama haid terakhir. Penandatanganan PP ini menimbulkan pro dan kontra,
sebagian kalangan menganggap jika penandatanganan PP ini dapat menjadi celah
seseorang untuk melakukan tindakan aborsi dengan alasan sebagai korban perkosaan
(Republik Indonesia, 2014).

3.3. Euthanasia
Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau good death / easy death sering
pula disebut mercy killing pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan
kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib

46
sendiri (the right self of determination) pada diri pasien (Haryadi,2011). Euthanasia
dikenal sebagai tindakan seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri lantaran
kehilangan peluang dan harapan. (Badu, 2013)
Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan
memiliki arti mati baik. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama
Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai mati cepat tanpa derita. Euthanasia
Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: Euthanasia
adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk
memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan
khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri. (Badu, 2013)

Euthanasia dalam perspektif HAM merupakan pelanggaran karena


menyangkut hak hidup dari pasien yang harus dilindungi. Dilihat dari segi
perundang-undangan dewasa ini, belum ada pengaturan yang baru dan lengkap
tentang euthanasia. Adapun Pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum guna
pembahasan selanjutnya adalah apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah
kejahatan yang menyangkut jiwa manusia. Pasal yang paling mendekati dengan
masalah tersebut peraturan hukum yang terdapat dalam buku ke-2, Bab IX Pasal 344
KUHP (Badu, 2013).
Hak hidup harus dilindungi oleh negara terutama negara hukum. Itulah
sebabnya negara hukum yang baik menjunjung tinggi hak asas manusia. Hak asasi
manusia dengan negara hukum tidak dapat dipisahkan. Pengakuan dan pengukuhan
negara hukum salah satu tujuannya yaitu melindungi hak asasi manusia, berarti hak
dan sekaligus kebebasan perseorangan diakui, dihormati dan dijunjung tinggi (Badu,
2013).
Berdasarkan sisi etika, boleh tidaknya euthanasia masih terus diperdebatkan
banyak kalangan bahkan tak semua negara mengizinkan praktik euthanasia. Dalam
memandang kasus seperti ini kita memandang dari dua sisi, yaitu pertama, pasien

47
memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan mempunyai hak untuk
menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar yang tercantum di dalam UU HAM
dan UU Kesehatan. Kedua, dokter mempunyai kewajiban bahwa di dalam
menjalankan hak dan kebebasanya sebagai seorang dokter hendaknya menghormati
hak dan kebebasan yang digunakan pasien untuk memenuhi tuntuntan yang adil
sesuai dengan pertimbangan etik-moral (Paulus, 2013).

Klasifikasi Euthanasia
1. Ditinjau dari orang yang membuat keputusan: (Goel,2008)

- Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit
dan,
- Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain
seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.

2. Ditinjau dari pelaksanaannya: (Dwi Permana,2015)

- Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau
tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien.
Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke
tubuh pasien.
- Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien.
Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada
penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan
ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis
melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya untuk
bertahan hidup.

48
- Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya.

3. Ditinjau dari cara pelaksanaannya:

- Euthanasia agresif, disebut juga euthanasia aktif, adalah suatu tindakan secara
sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk
mempersingkat atau mengakhiri hidup seorang pasien. Euthanasia agresif
dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa yang mematikan, baik
secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan
tersebut adalah tablet sianida.
- Euthanasia non agresif, kadang juga disebut euthanasia otomatis
(autoeuthanasia) digolongkan sebagai euthanasia negatif, yaitu kondisi
dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk
menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa penolakannya akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan
secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan).
Euthanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik euthanasia pasif
atas permintaan pasien yang bersangkutan.
- Euthanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan euthanasia negatif
yang tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk
mengakhiri kehidupan seorang pasien. Euthanasia pasif dilakukan dengan
memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup
pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan,
tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan
tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup
pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang
disadari justru akan mengakibatkan kematian.

49
Penyalahgunaan euthanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak
keluarga yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan
keluarga karena ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada
beberapa kasus keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan,
akan ada permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang
paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara alamiah
sebagai upaya defensif medis.28[3]

4. Ditinjau dari sudut pemberian izin:

- Euthanasia di luar kemauan pasien, yaitu suatu tindakan euthanasia yang


bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan
euthanasia semacam ini dapat disamakan dengan pembunuhan.
- Euthanasia secara tidak sukarela, euthanasia semacam ini adalah yang
seringkali menjadi bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan
yang keliru oleh siapapun juga. Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak
berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan misalnya
statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien (seperti pada kasus Terri
Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab beberapa orang wali
mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.
- Euthanasia secara sukarela, yaitu dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri,
namun hal ini juga masih merupakan hal controversial.

Euthanasia Dalam Praktik Kedokteran

Euthanasia dirumuskan dalam kode etik kedokteran Indonesia sebagai perbuatan


untuk mengakhiri hidup seorang pasien yang menurut ilmu kedokteran tidak akan
sembuh lagi, dikatakan selanjutnya, bahwa kata euthanasia dipergunakan dalam 3
arti: (Adji , 1991)

28

50
a. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan , buat
yang beriman dengan nama allah di bibir
b. Waktu hidup berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberikan
obat penenang
c. Mengakhiri penderitaan dan hidup orang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.
Menurut Kodeki itu sendiri, Indonesia adalah negara yang beragama dan
berpancasila kepada kekuasaan mutlak daripada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan
dokter harus mengarahkan segala kepandaiannya dan kemampuannyauntuk
meringankan pendertiaan dan memelihara hidup, tidak untuk mengakhirinya karena
tidak menginginkan eutahnsia dilakukan oleh seorang dokter, karena antara lain
dipandang bertentangan dengan etik kedokteran itu sendiri dan merupakan
pelanggaran terhadap perundang undangan. (Adji , 1991)
Perundang undangan dengan diadakan suatu pembagian oleh ilmu hokum
dalam euthanasia sukarela tidak sukarela (vrijwilige-onvrijwilige euthanasia)
kemudia dalam euthanasia yang aktif dan yang pasif maka akan berkaitan dengan
undang undang di samping pasal 338 (34) mengenai pembunuhan, pasal 359
KUHP yang memidana seseorang yang karena kealpaannya menyebabkan matinya
seseorang, patut mendapat perhatian pasal pasal 344 dan 345 KUHP, yang masing
masing menyatakan : (Adji , 1991)
a. Pasal 344 :
Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling
lama 12 tahun.
b. Pasal 345 :
Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu atau memberi saran kepadanyauntuk itu diancam dengan
pidana paling lama 4 tahun, kalau orang itu jadi bunuh diri.
Euthanasia sukarela adalah suatu penerapan euthanasia dengan persetujuan
secara sungguh sungguh dari yang bersangkutan, sedangkan eutahanasia tidak

51
sukarela dan diterapkan tanpa persetujuan yang jelas dan sah dari yang
bersangkutan.
Berdasarkan kedua kategori euthanasia tersebut kiranya euthanasia sukarela
dilakukan dengan persetujuan dari yang bersangkutan lebih dekat dengan pasal 344
yang mengandung salah satu unsur, bahwa ada suatu permintaan yang jelas
dinyatakan dengan sungguh sungguh dalam pengambilan nyawa dari yang
bersangkutan. Selain itu ada pula pembagian euthanasia pasif dan aktif. Euthanasia
aktif dimana seorang dokter mempergunakan obat ataupun melakukan perbuataan
untuk mempersingkat nyawa dan euthanasia pasif dimana dokter tersebut tidak
mempergunkan obat obat untuk memperpanjang nyawa (Adji , 1991).
Euthanasia atau permintaan atau persetujuan (instemming) hendak
dijauhkan oleh para dokter karena pertimbangan etis (seperti dikehendaki oleh
kodeki), yang pula dihadapi oleh ketentuan hukum seperti kenyataan oleh pasal 344
KUHP. Baik ketentuan hokum seperti dinyatakan oleh pasal 344 KUHP. Baik kode
etik maupun KUHP mensyaratkan adanya suatu permintaan ataupun persetujuan dari
yang bersangkutan dan unsur permintaan yang esensial bagi euthanasia apabila tidak
dipenuhi akan merupakan pembunuhan ataupun pembunuhan terencana (338,340
KUHP) (Adji , 1991).

Hubungan Euthanasia dengan HAM

Kaitan Euthanasia menurut sudut pandang HAM sudah lama menjadi topik
yang menimbulkan banyak pro dan kontra. Euthanasia dianggap telah melanggar dari
salah satu HAM yaitu yang berkaitan dengan hak hidup. Seperti sudah dibahas
sebelumnya, euthanasia erat kaitannya dengan suatu hak dari seorang
pasien/penderita yang ingin mengakhiri kehidupannya atau kemudian banyak pihak
yang mengatakan dengan hak mati. Dalam perdebatan eutanasia, definisi yang tidak
memadai telah menjadi penghalang nyata untuk menemukan suatu konsensus
komunitas yang jelas. Diskusi mengenai eutanasia sering memunculkan emosi yang
kuat, hal ini tidak mengherankan karena itu melibatkan masalah anatara hidup dan

52
mati..Pandangan dari pihak yang kontra atau menentang adanya euthanasia yang
didasarkan dari segi hak asasi manusia, mereka bertolak belakang dari Universal
Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal HAM (DUHAM) yang
didalamnya telah mencantumkan sejumlah hak-hak asasi manusia. Di dalam
DUHAM tersebut diantara sekian banyak hak-hak asasi manusia yang ada
didalamnya tidak terdapat mengenai hak untuk mati. Konsep mengenai hak untuk
mati inipun menjadi topik yang menimbulkan banyak pro dan kontra karena hak
untuk mati ini dipandang telah tercakup pengertiannya dalam hak untuk hidup yang
selama ini telah diketahui secara jelas. Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan
hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak
seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak
asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia, yang cenderung
menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak
untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya
hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak
nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat (Ashofa, 2001 ;
Ibid, 1982 ; Tilamuhu,2012).
Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada
diri pasien merupakan salah satu unsur utama dari hak asasi manusia dan karena
itulah selalu menarik untuk dibicarakan. Kemajuan-kemajuan cara berpikir
masyarakat telah menimbulkan kesadaran-kesadaran baru mengenai hak-hak
tersebut. Demikian pula dengan berbagai perkembangan ilmu dan teknologi
(khususnya dalam bidang kedokteran), telah mengakibatkan perubahan yang sangat
dramatis dan berarti atas pemahaman mengenai euthanasia. Hak untuk menentukan
nasib sendiri dalam praktek euthanasia menjadi suatu titik fokus sendiri apakah itu
melanggar hak asasi manusia atau tidak. Dalam dunia medis yang serba canggih,
ternyata masih memerlukan tuntutan etika, moral, dan hukum dalam pelaksanaannya.
Hal ini erat sekali kaitannya dengan penerapan hak asasi manusia (HAM) di
lapangan kedokteran. Sejauh mana hak-hak yang dimiliki oleh pasien (dan juga

53
dokter) dalam kaitan dengan euthanasia, agaknya sudah perlu dipikirkan sejak
sekarang (Paulus,2013).
Kriteria euthanasia yang seperti apa yang kemudian dikategorikan dalam
permintaan sendiri, biasanya dalam prakteknya pasien itu sendiri yang meminta,
dalam hal ini pasien sudah merasa sekarat dan juga didukung dengan keterangan
medis dari pihak dokter yang menyatakan bahwa pasien sudah tidak dapat sembuh,
dalam hal ini pasien yang mengajukan sendiri euthanasia , dalam kasus seperti ini
kaitannya dengan HAM adalah pasien tersebut mempunyai hak untuk menentukan
nasib sendiri. Masalah euthanasia yang kemudian dikaitkan dengan hak untuk
menentukan nasib sendiri kemudian juga menjadi problematika tersendiri dalam hal
penentuan konteks pelanggaran hak asasi manusia atau tidak. Hak untuk menentukan
nasib sendiri ( the right to self determination ) memang tidak disebutkan secara
terperinci dalam Universal Declaration of Human Rights, tetapi hak untuk
menentukan nasib sendiri ini diatur secara khusus dalam instrumen Hukum Hak
Asasi Manusia dalam ICCPR. (Haryadi, 2011)
Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan bagian dari Hak Asasi
Manusia, pada hakekatnya hak ini menjadi bagian bagi hak-hak dasar tertentu,
termasuk dalam hal ini hak dari pasien untuk menentukan pilihannya dalam hal
pelayanan kesehatannya. Hal ini kemudian dikaitkan dengan euthanasia. Sehingga
ketika seorang pasien pada akhirnya memutuskan untuk meminta mengakhiri
kehidupannya dengan cara euthanasia kemudian ini didasarkan pada hak dari pasien
tersebut untuk menentukan hidupnya sendiri (Paulus, 2013).
Hak untuk menentukan nasib sendiri dijadikan dasar dalam pengambilan
keputusan untuk euthanasia, hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan bagian
dari HAM, maka hubungan euthanasia dengan HAM dipandang dari hak untuk
menentukan nasib sendiri ini. Seotang pasien yang sekarat mempunyai hak untuk
menentukan nasibnya sendiri, ia juga mempunyai hak kebebasan dan rasa aman dan
nyaman terhadap dirinya. Euthanasia dipandang dari sudut HAM mungkin dianggap
telah melanggar akan hak hidup, namun seorang pasien juga manusia yang
mempunyai hak sendiri atas apa yang akan terjadi pada kehidupannya. Pasien

54
tersebut mempunyai hak untuk menentukan nasib hidupnya sendiri. Keputusan untuk
melakukan euthanasia merupakan hak dari pasien tersebut untuk meminta sesuatu
terhadapa keadaan dirinya dan terhadap kehidupannya (Paulus, 2013).
Hak untuk menentukan nasib sendiri berbicara mengenai kebebasan,
keamanan terhadap diri sendiri, namun dalam kaitannya ini seharusnya perlu juga
diatur batasan-batasan yang jelas mengenai kebebasan yang seperti apa, haruslah ada
aturan yang bisa mengatur dengan lebih jelas konsep hak untuk menentukan nasib
sendiri ini. Karena belum adanya batasan-batasan yang lebih jelas maka dalam kasus
euthanasia setiap orang atau pasien yang akan melakukan euthanasia menjadikan
dasar self determination ini menjadi dasar dari pengambilan keputusan untuk dirinya
di euthanasia (Paulus, 2013).

Hukum HAM Terhadap Perlindungan Hak Hidup dari Praktek Euthanasia

Hak atas pemeliharaan kesehatan dalam arti luas diakui umum sebagai hak
sosial, satu dan lain karena pemeliharaan kesehatan (termasuk pelayanan kesehatan)
sebagai sistem memberikan ruang dan peluang kepada setiap orang untuk
berpartisipasi dalam kesempatan-kesempatan yang diberikan, disediakan atau
ditawarkan oleh pergaulan hidup, Leenen menyebutkan hak-hak partisipasi
(participatie rechten), dan isi hak-hak ini sedang berkembang seiring dengan
kemajuan masyarakat. Jadi hak dasar sosial ini mengandung tanggung jawab
(bandingkan Pasal 29 Universal Deciaration of Human Rights, yang berbunyi:
"Everyone has duties to the community" dan seterusnya). Dan salah satu tanggung
jawab ialah ikhtiar untuk mempertahankan hak-hak dasar individu, antara lain hak
untuk menentukan nasib sendiri. Sesungguhnya hak atas pemeliharaan kesehatan
mempunyai jangkauan yang luas sekali jika dibandingkan dengan hak atas pelayanan
kesehatan, yang pada hakikatnya merupakan hak orang sakit, setidak-tidaknya hak
orang yang mencari pelayanan kesehatan (Badu, 2013).

55
Dalam Pasal 25 Universal Declaration Of Human Rights tercantum
ketentuan-ketentuan yang rnenyangkut hak-hak atas pemeliharaan kesehatan, yang
secara tidak langsung berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan, sebagai
berikut: Pertama, Setiap orang berhak atas suatu taraf hidup, yang layak bagi
kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk didalamnya pangan,
pakaian, dan pelayanan kesehatan serta pelayanan sosial lainnya yang diperlukan.
Hak-hak ini mencakup hak atas tunjangan dalam hal terjadi pengangguran, sakit,
cacat, usia lanjut atau kehilangan mata pencaharian, yang disebabkan oleh situasi dan
kondisi diluar kehendak yang bersangkutan. Kedua, Ibu dan anak mempunyai hak
atas pemeliharaan dan bantuan khusus. Semua anak, baik yang sah maupun diluar
kawin, menikmati perlindungan sosial yang sama (Badu, 2013).
Perlindungan terhadap kesehatan dirumuskan dalam Pasal 12 persetujuan
definitif Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai berikut: Pertama, Negara-negara yang
merupakan pihak dalam persetujuan ini mengakui hak setiap orang atas kesehatan
tubuh dan jiwa, yang diupayakan sebaik mungkin. Kedua, Langkah-langkah yang
diambil negara-negara yang merupakan pihak pada persetujuan ini, guna
merealisasikan hak ini selengkap mungkin (Badu, 2013).
Secara teoretis relasi dokter-pasien ini dapat kita bagi dalam tiga jenis
kontrak, yang dapat berakhir dengan suatu kontrak, sebagai berikut: (Badu, 2013)
a. Hubungan dokter-penderita. Seseorang menemui dokter karena ia merasakan
ada sesuatu yang mengancam kesehatannya. Nalurinya membisikkan bahwa
ada gejala-gejala sakit dan penyakit yang sedang menggerogotinya. Orang
lain pun dapat melihat bahwa seseorang tertentu dirundung sakit dan
penyakit, dan memanggil atau menyuruh memanggil dokter. Dalam hubungan
seperti ini dokter adalah dewa penyelamat.
b. Hubungan dokter-pasien. Seseorang pergi ke dokter berdasarkan gejala-gejala
yang sudah diantisipasi (self-Milling prophecy). Pasien telah mengetahui, atau
setidak-tidaknya mengira telah mengetahui gejala-gejala tersebut dan dokter
hanya menegaskan benar tidaknya asumsi tersebut.

56
c. Ketiga, Hubungan dokter-konsumen. Relasi jenis ini pada umumnya kita
temui pada pemeriksaan medik preventif. Misalnya, seseorang pergi ke
dokter atas kemauan pihak ketiga, yang mungkin saja negara, majikan, dan
sebagainya. Dokter memeriksa orang yang disuruh pihak ketiga tersebut dan
berikhtiar menemukan penyakit yang belum diketahui, menegakkan
diagnosis, dan jika dianggap perlu diikuti oleh terapi. Sekalipun tujuan
pertama adalah pemeriksaan preventif, namun tidak tertutup kemungkinan
diikuti oleh tindakan-tindakan kuratif.

Eutanasia Menurut Hukum di Berbagai Negara

Sejauh ini eutanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta


ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan dibeberapa
negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan Denmark.
(Joshua,2015)

1. Belanda

Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang


mengizinkan eutanasia. Undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal
1 April 2002, yang menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang
melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak
tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya.

Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara
formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan
kriminal.

Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam


majalah Human Life International Special Report Nomor 67, November 1998,
halaman 3 melaporkan bahwa sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda

57
dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan dituntut di pengadilan asalkan
mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur tersebut adalah
mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis) dan
membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.

2. Australia

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di dunia


dengan UU yang mengizinkan euthanasia dan bunuh diri berbantuan, meski reputasi
ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory menerima UU yang
disebut "Right of the terminally ill bill" (UU tentang hak pasien terminal). Undang-
undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi bulan Maret 1997 ditiadakan oleh
keputusan Senat Australia, sehingga harus ditarik kembali.

3. Belgia

Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September


2002. Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap
tahunnya telah dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia di negara ini,
namun mereka juga mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga
timbul suatu kesan adaya upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".

Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia (setelah Belanda dan
negara bagian Oregon di Amerika).

4. Amerika

Eutanasia agresif dinyatakan ilegal di banyak negara bagian di Amerika. Saat


ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit
mengizinkan pasien terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan)
mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada tahun 1997
melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia dengan memberlakukan UU

58
tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act). Tetapi undang-
undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-
syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas
boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal
dalam enam bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana
dua kali secara lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara
tertulis (dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan
keluarga dengan pasien). Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit
dan prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu tidak
berada dalam keadaan gangguan mental.

Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa


depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian
ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia.
Bulan Februari lalu sebuah studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun
1999.29[4]

5. Swiss

Di Swiss, obat yang mematikan dapat diberikan baik kepada warga negara
Swiss ataupun orang asing apabila yang bersangkutan memintanya sendiri. Secara
umum, pasal 115 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Swiss yang ditulis pada
tahun 1937 dan dipergunakan sejak tahun 1942, yang pada intinya menyatakan
bahwa "membantu suatu pelaksanaan bunuh diri adalah merupakan suatu perbuatan
melawan hukum apabila motivasinya semata untuk kepentingan diri sendiri."

6. Inggris

Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania


Raya (Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan

29

59
sebuah proposal kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics)
agar dipertimbangkannya izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang
lahir cacat (disabled newborns). Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk
melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan semata guna memohon
dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan hidup si bayi"
sebagai suatu legitimasi praktik kedokteran.

Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan
hukum di kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical
Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun
juga.30[7]

7. Jepang

Jepang tidak memiliki suatu aturan hukum yang mengatur tentang eutanasia
demikian pula Pengadilan Tertinggi Jepang (supreme court of Japan) tidak pernah
mengatur mengenai eutanasia tersebut.

Ada 2 kasus eutanasia yang pernah terjadi di Jepang yaitu di Nagoya pada
tahun 1962 yang dapat dikategorikan sebagai "eutanasia pasif" ( ,
shkyokuteki anrakushi). Kasus yang satunya lagi terjadi setelah peristiwa insiden di
Tokai university pada tahun 1995 yang dikategorikan sebagai "eutanasia aktif . [8]

Keputusan hakim dalam kedua kasus tersebut telah membentuk suatu


kerangka hukum dan suatu alasan pembenar dimana eutanasia secara aktif dan pasif
boleh dilakukan secara legal. Meskipun demikian eutanasia yang dilakukan selain
pada kedua kasus tersebut adalah tetap dinyatakan melawan hukum, dimana dokter
yang melakukannya akan dianggap bersalah oleh karena merampas kehidupan
pasiennya. Oleh karena keputusan pengadilan ini masih diajukan banding ke tingkat
federal maka keputusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum sebagai sebuah

30

60
yurisprudensi, namun meskipun demikian saat ini Jepang memiliki suatu kerangka
hukum sementara guna melaksanakan eutanasia.

8. Republik Ceko

Di Republik Ceko eutanisia dinyatakan sebagai suatu tindakan pembunuhan


berdasarkan peraturan setelah pasal mengenai eutanasia dikeluarkan dari rancangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebelumnya pada rancangan tersebut, Perdana
Menteri Jiri Pospil bermaksud untuk memasukkan eutanasia dalam rancangan
KUHP tersebut sebagai suatu kejahatan dengan ancaman pidana selama 6 tahun
penjara, namun Dewan Perwakilan Konstitusional dan komite hukum negara tersebut
merekomendasikan agar pasal kontroversial tersebut dihapus dari rancangan tersebut.

9. India

Di India eutanasia adalah suatu perbuatan melawan hukum. Aturan mengenai


larangan eutanasia terhadap dokter secara tegas dinyatakan dalam bab pertama pasal
300 dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana India (Indian penal code-IPC) tahun
1860. Namun berdasarkan aturan tersebut dokter yang melakukan euthanasia hanya
dinyatakan bersalah atas kelalaian yang mengakibatkan kematian dan bukannya
pembunuhan yang hukumannya didasarkan pada ketentuan pasal 304 IPC, namun ini
hanyalah diberlakukan terhadap kasus eutanasia sukarela dimana sipasien sendirilah
yang menginginkan kematian dimana si dokter hanyalah membantu pelaksanaan
eutanasia tersebut (bantuan eutanasia). Pada kasus eutanasia secara tidak sukarela
(atas keinginan orang lain) ataupun eutanasia di luar kemauan pasien akan dikenakan
hukuman berdasarkan pasal 92 IPC.

10. China

Di China, eutanasia saat ini tidak diperkenankan secara hukum. Eutansia


diketahui terjadi pertama kalinya pada tahun 1986, dimana seorang yang bernama
"Wang Mingcheng" meminta seorang dokter untuk melakukan eutanasia terhadap
ibunya yang sakit. Akhirnya polisi menangkapnya juga si dokter yang melaksanakan

61
permintaannya, namun 6 tahun kemudian Pengadilan tertinggi rakyat (Supreme
People's Court) menyatakan mereka tidak bersalah. Pada tahun 2003, Wang
Mingcheng menderita penyakit kanker perut yang tidak ada kemungkinan untuk
disembuhkan lagi dan ia meminta untuk dilakukannya eutanasia atas dirinya namun
ditolak oleh rumah sakit yang merawatnya. Akhirnya ia meninggal dunia dalam
kesakitan.31[9]

11. Indonesia

Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan


yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang
ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Demikian halnya
nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang juga dapat
dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan
demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak
mengizinkan tindakan eutanasia oleh siapa pun (Suwarto,2009).

Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal
Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5
Oktober 2004 menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan"
hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam
masyarakat Indonesia. "Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang
dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP
(Zainafree,2009).

3.4. Informed Consent


Informed Consent menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun

1989 merupakan persetujuan yang diberikan kepada pasien atau keluarganya atas

dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien

31

62
tersebut (Andika,2015).

Informed consent merupakan kesepakatan / persetujuan pasien atas upaya

medis yang dilakukan terhadap dirinya setelah memperoleh informasi mengenai

upaya medis yang akan dilakukan beserta segala risiko yang mungkin terjadi.

Pada hakikatnya informed consent adalah suatu proses komunikasi antara

dokter dan pasien tentang suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien

mengenai kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien

sehingga baik secara lisan ataupun tulisan. Penandatanganan formulir Informed

Consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati

sebelumnya. Keputusan yang diberikan kepada keluarga pasien merupakan second

opinionyang berhak meminta pendapat dokter lain, sehingga penolakan apabila tidak

setuju dapat dilakukan (Andika,2015).

Adanya pengaturan mengenai Informed Consent yang terdapat dalam :

a. Permenkes No.585 Tahun 1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-

Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada

Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang berbunyi:

Pasal 45 ayat (1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan

dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat

persetujuan.

Pasal 45 ayat (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

Pasal 45 ayat (3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-

kurangnya mencakup:

63
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Pasal 45 ayat (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf ayat (2) dapat

diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

Pasal 45 ayat (5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang

mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang

ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Pasal 45 ayat (6) : Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan

kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

b. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.kes/Per/IX/1989 tentang

Persetujuan Tindakan Medis. ( Pasal 2 ayat (1) Permenkes No.585 Tahun 1989,

yang berbunyi semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien

harus mendapat persetujuan.)

c. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang

penyelenggaraan Praktik Kedokteran. ( Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi: Dokter

atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran didasarkan pada

kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya

pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan,

pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. )

64
d. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/2008 Tentang Persetujuan Tindakan

Medik. ( Pasal 2 ayat (1) : Semua tindakan dokter yang akan dilakukan pada

pasien harus mendapat persetujuan. (2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat

(1) dapat dilaksanakan tertulis maupun lisan. (3) Persetujuan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan yang

diperlukan tentang perlunya tindakan dokter yang dilakukan).

e. UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan pasal 53 yaitu :

a. Tenaga kesehatan mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan

hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya

b. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya mempunyai hak untuk

mempunyai hak untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak

pasien

c. Tenaga kesehatan, dalam hal kepentingan pembuktian dapat melakukan

tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan

dan keselamatn pasien yang bersangkutan.

Dari Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

tersebut terutama pada Pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai

tata cara persetujuan tindakan kedokteran (informendconsent) diatur oleh peraturan

menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.

Persetujuan tindakan medis dalam Permenkes Nomor

1419/Menkes/Per/X/2005 belum menjelaskan aturan yang rinci tentang Persetujuan

Tindakan Medis. Secara tersirat, persetujuan disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1)

65
yang berbunyi: Dokter atau Dokter Gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran

didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam

upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan

pengobatan penyakit dan pemulihan. Sedangkan tentang Persetujuan Tindakan

Medik atau informed consent disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 17 sebagai

berikut: (1) Dokter atau Dokter Gigi dalam memberikan pelayanan tindakan

kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelesan

kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.(2) Tindakan

kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus dapat persetujuan pasien.(3)

Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2)

dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Menurut JH. Hubben, seorang dokter memiliki hak esepsis terapeutik yaitu

hak untuk tidak memberi informasi kepada keluarga pasien apabila merugikan

pasien. Hal tersebut diungkapkan pada Pasal 2 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 290/MENKES/PER/III/2008 (Prakosa, 2012)

Sanksi Hukum Terhadap Pelanggaran Inform Consent

Sanksi pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam tanpa persetujuan
pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat dijerat Pasal 351
KUHP.
Pasal 351
(1). Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun
delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500_

66
(2).Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun
(3).Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selama-
lamanya tujuh tahun
(4).Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja
(5).Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat di hokum

Sanksi perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian dapat
digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
Pasal 1365 KUH Perdata menyebutkan bahwa tiap perbuatan melawan hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut'.

Pasal 1367 KUH Perdata, seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas
kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya.
Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh
anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa
mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang yang
mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung
jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam
melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu.
Guru sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu orang-
orang itu berada di bawah pengawasannya.
Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orangtua, guru sekolah
atau kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka masing-masing tidak dapat
mencegah perbuatan itu atas mana meneka seharusnya bertanggung jawab.

67
Pasal 1370 KUH Perdata
Dalam hal pembunuhan dengan sengaja atau kematian seseorang karena
kurang hati-hatinya orang lain, suami atau isteri yang ditinggalkan, anak atau
orangtua korban yang lazimnya mendapat nafkah dan pekerjaan korban, berhak
menuntut ganti rugi yang harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua
belah pihak, serta menurut keadaan.

Pasal 1371 KUH Perdata


Menyebabkan luka atau cacat anggota badan seseorang dengan sengaja
atau karena kurang hati-hati, memberi hak kepada korban selain untuk
menuntut penggantian biaya pengobatan, juga untuk menuntut penggantian
kerugian yang disebabkan oleh luka atau cacat badan tersebut.Juga
penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua
belah pihak dan menurut keadaan.Ketentuan terakhir ini pada umumnya
berlaku dalam hal menilai kerugian yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan
terhadap pribadi seseorang.

Sanksi administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien atau
keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin
praktik.

3.5. Pelanggaran atas Hak untuk Mendapatkan Pelayanan Medis


Tuhan Yang Maha Esa menciptakan manusia dengan seperangkat hak yang
menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut
dengan hak asasi manusia yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya. Hak Asasi

68
Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi. Setiap manusia sejak dilahirkan telah
melekat suatu hak kodrat yang dimiliki manusia sebagai manusia yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah demi
kehormatan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (Ginting,
2014).
Salah satu tujuan negara Republik Indonesia adalah untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan
kesejahteraan umum. Usaha memajukan kesejahteraan rakyat berarti bahwa usaha
untuk mewujudkan suatu tingkat kehidupan masyarakat yang optimal yakni berupa
kesejahteraan lahir dan kebahagian batin dengan kualitas kehidupan yang dapat
memenuhi unsur-unsur kebutuhan dasar manusia yang diantaranya adalah kesehatan.
Bidang pelayanan kesehatan merupakan salah satu unsur perbekalan kesehatan
sebagai faktor yang paling dominan dalam memenuhi kebutuhan untuk mewujudkan
derajat kesehatan. Pencapaian Upaya kesehatan seperti tersebut di atas pada
hakikatnya sebagai salah satu perwujudan dari kesejahteraan umum seperti yang
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Ginting, 2014). Hal ini
sesuai dalam The Declaration of Human Rights (UDHR) Pasal 25 menyatakan
bahwa negara juga harus mengambil tindakan untuk memastikan bahwa semua
warga negara menikmati standar hidup yang layak. Ia mengakui makanan, pakaian,
perumahan, perawatan kesehatan dan pelayanan sosial sebagai komponen penting
dari standar kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan
(Minnesota,2003)
Kesehatan sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum harus diwujudkan
sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, kesehatan
merupakan isu HAM membawa konsekuensi setiap manusia berhak atas kesehatan
dan negara berkewajiban memenuhi hak itu, tentu bukan sesuatu yang tanpa dasar.

69
Kesehatan merupakan isu krusial yang harus dihadapi setiap negara karena
berkorelasi langsung dengan pengembangan integritas pribadi setiap individu supaya
dapat hidup bermartabat. Negara dengan kesehatan rakyatnya yang kurang terurus
dengan baik dapat berakibat pada sumber daya manusianya yang rendah. Hal ini
dapat menyebabkan sulitnya bersaing dengan negara-negara lain di tengah sengitnya
kompetisi global (Ginting, 2014).
Pemerintah memiliki peranan untuk melaksanakan fungsi pelayanan dan
pengaturan warga negara, termasuk didalamnya pelayanan kesehatan. Untuk
mengimplementasikan fungsi tersebut pemerintah melakukan aktivitas pelayanan,
pengaturan, pembinaan, koordinasi dan pembangunan dalam berbagai bidang.
Pelayanan disediakan pada berbagai lembaga institusi pemerintah dengan aparat
sebagai pemberi pelayanan secara langsung kepada masyarakat. Pelayanan yang
diselenggarakan oleh pemerintah semakin terasa dengan adanya kesadaran bernegara
dan bermasyarakat, maka pelayanan telah meningkat kedudukannya di mata
masyarakat menjadi suatu hak, yaitu hak atas pelayanan (Ginting, 2014).
Informasi yang ditemukan secara langsung dan melalui berbagai media
massa cetak maupun elektronik seringkali mengungkapkan berbagai kelemahan
pelayanan pemerintah yang mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap
pelayanan tersebut. Pelayanan yang mahal, kaku dan berbelit-belit, sikap dan
tindakan aparat, pelayanan yang suka menuntut imbalan, kurang ramah, arogan,
lambat dan fasilitas pelayanan yang kurang memuaskan dan sebagainya. Ini
merupakan fenomena-fenomena yang kerap kali mewarnai proses hubungan antara
pemerintah dan masyarakat berkaitan dengan proses pelayanan. Dalam hal ini, pasien
sebenarnya merupakan faktor penting. Pasien harus dipandang sebagai subjek yang
memiliki "pengaruh besar" atas hasil akhir layanan bukan sekedar objek. Hak-hak
pasien harus dipenuhi mengingat kepuasan pasien menjadi salah satu "barometer
mutu layanan" sedangkan ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan
hukum. Dalam pemberian pelayanan jasa kesehatan terkait beberapa komponen,
seperti tenaga medis, sarana kesehatan, dan pasien. Tenaga medis merupakan pihak

70
yang memberi pelayanan kesehatan untuk menyembuhkan penyakit tertentu,
sedangkan pasien merupakan pihak yang membutuhkan pelayanan kesehatan
(Ginting, 2014).
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen masyarakat khususnya pasien sebagai konsumen kesehatan
memiliki perlindungan diri dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak
bertanggung jawab. Sebagai konsumen kesehatan, masyarakat memiliki sejumlah
hak yang harus dihormati oleh pemberi jasa layanan kesehatan, hal ini terdapat pada
Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45.
Kesulitan masyarakat saat ini adalah pembiayaan kesehatan yang mahal. Tidak hanya
karena dokternya tetapi untuk menjangkau sarana dan prasarana kesehatan juga harus
dengan usaha yang tidak sedikit. Tengoklah misalnya daerah Entikong di perbatasan
Kalimantan, untuk mencapai puskesmas terdekat, masyarakat harus berjalan
berpuluh kilometer, menyeberang sungai dengan perahu (Republik Indonesia, 1999;
Ginting, 2014).
Kemudian yang menjadi prinsip-prinsip yang harus ditaati oleh pihak negara
dalam pemenuhan hak atas kesehatan mengandung empat unsur, yakni ketersediaan,
aksesibilitas, kualitas, dan kesetaraan. Ketersediaan dapat diartikan sebagai
ketersediaan sejumlah pelayanan kesehatan seperti fasilitas berupa sarana (rumah
sakit, puskesmas dan klinik) dan prasarana kesehatan (obat-obatan, tenaga kesehatan
dan pembiayaan kesehatan) yang mencukupi untuk penduduk secara keseluruhan.
Aksesibilitas mensyaratkan agar pelayanan kesehatan dapat terjangkau baik secara
ekonomi atau geografis bagi setiap orang, dan secara budaya, agar menghormati
tradisi budaya masyarakat. Kualitas mensyaratkan agar pelayanan kesehatan
memenuhi standar yang layak. Terakhir, kesetaraan mensyaratkan agar pelayanan
kesehatan dapat diakses secara setara oleh setiap orang, khususnya bagi kelompok
rentan di masyarakat (JKN).
Implementasi Hak Atas Kesehatan Dalam Konteks HAM Dalam upaya untuk
menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil) sebagai
kewajiban negara mengimplementasikan norma-norma HAM pada hak atas

71
kesehatan harus memenuhi prinsip-prinsip :
1. Ketersediaan pelayanan kesehatan, dimana negara diharuskan memiiki
sejumlah pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk;
2. Aksesibilitas. Fasilitas kesehatan, barang dan jasa, harus dapat diakses
oleh tiap orang tanpa diskriminasi dalam jurisdiksi negara. Aksesibilitas memiliki
empat dimensi yang saling terkait yaitu :tidak diskriminatif, terjangkau secara fisik,
terjangkau secara ekonomi dan akses informasi untuk mencari, menerima dan atau
menyebarkan informasi dan ide mengenai masalah-masalah kesehatan.
3. Penerimaan. Segala fasilitas kesehatan, barang dan pelayanan harus
diterima oleh etika medis dan sesuai secara budaya, misalnya menghormati
kebudayaan individu-individu, kearifan lokal, kaum minoritas, kelompok dan
masyarakat, sensitif terhadap jender dan persyaratan siklus hidup. Juga dirancang
untuk penghormatan kerahasiaan status kesehatan dan peningkatan status kesehatan
bagi mereka yang memerlukan.
4. Kualitas. Selain secara budaya diterima, fasilitas kesehatan, barang, dan
jasa harus secara ilmu dan secara medis sesuai serta dalam kualitas yang baik. Hal ini
mensyaratkan antara lain, personil yang secara medis berkemampuan, obat-obatan
dan perlengkapan rumah sakit yang secara ilmu diakui dan tidak kadaluarsa, air
minum aman dan dapat diminum, serta sanitasi memadai.

Sementara itu dalam kerangka 3 bentuk kewajiban negara untuk memenuhi


hak atas kesehatan dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Menghormati hak atas kesehatan
Dalam konteks ini hal yang menjadi perhatian utama bagi negara adalah
tindakan atau kebijakan apa yang tidak akan dilakukan atau apa yang akan
dihindari. Negara wajib untuk menahan diri serta tidak melakukan tindakan-
tindakan yang akan berdampak negatif pada kesehatan, antara lain : menghindari
kebijakan limitasi akses pelayanan kesehatan, menghindari diskriminasi, tidak
menyembunyikan atau misrepresentasikan informasi kesehatan yang penting, tidak
menerima komitmen internasional tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap

72
hak atas kesehatan, tidak menghalangi praktek pengobatan tradisional yang aman,
tidak mendistribusikan obat yang tidak aman.
b. Melindungi hak atas kesehatan
Kewajiban utama negara adalah melakukan langkah-langkah di bidang
legislasi ataupun tindakan lainnya yang menjamin persamaan akses terhadap jasa
kesehatan yang disediakan pihak ketiga. Membuat legislasi, standar, peraturan serta
panduan untuk melindungi : tenaga kerja, masyarakat serta lingkungan. Mengontrol
dan mengatur pemasaran, pendistribusian substansi yang berbahaya bagi kesehatan
seperti tembakau, alkohol dan lain-lain, mengontrol praktek pengobatan tradisional
yang diketahu berbahaya bagi kesehatan.
c. Memenuhi hak atas kesehatan
Dalam hal ini adalah yang harus dilakukan (should do) oleh pemerintah
seperti menyediakan fasilitas dan pelayanan kesehatan, makanan yang cukup,
informasi dan pendidikan yang berhubungan dengan kesehatan, pelayanan pra
kondisi kesehatan serta faktor sosial yang berpengaruh pada kesehatan seperti :
kesetaraan gender, kesetaraan akses untuk bekerja, hak anak untuk mendapatkan.
identitas, pendidikan, bebas dari kekerasan, eksploitasi, kejatahan seksual yang
berdampak pada kesehatan. Dalam rangka memenuhi hak atas kesehatan negara
harus mengambil langkah-langkah baik secara individual, bantuan dan kerja sama
internasional, khususnya di bidang ekonomi dan teknis sepanjang tersedia sumber
dayanya, untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak atas kesehatan
sebagaimana mandat dari pasal 2 ayat (1) International Covenant on Economic,
Social and Cultural Right (ICESCR) (WHO,2005; ICESCR,1966; Asher J,2004).
Salah satu hak pasien yang utama adalah hak untuk menentukan nasibnya
sendiri (the right to self determination), yang merupakan bagian dari hak asasi
manusia. Hak menentukan nasibnya sendiri berarti hak memilih dokter, perawat dan
sarana kesehatannya dan hak untuk menerima, menolak atau menghentikan
pengobatan atau perawatan atas dirinya, tentu saja setelah menerima informasi yang
lengkap mengenai keadaan kesehatan atau penyakitnya. Konsep-konsep seperti
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia sebenarnya

73
tidak jelas. Undang-undang sendiri tidak memberikan interpretasi apa yang dimaksud
oleh konsep-konsep tersebut. Seyogyanya konsep-konsep tersebut menjadi porsi
kekuasaan yudisial untuk melakukan interpretasi sehingga isu apakah pengertian
konsep-konsep tadi seyogyanya ditelusuri dalam putusan-putusan pengadilan (case
approach) (Ginting, 2014).
Kewajiban korelatif negara sebagai tanggapan terhadap klaim hak atas
kesehatan menugaskan pemerintah untuk mengatur, membina dan mengawasi
penyelenggaraan upaya kesehatan. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap
semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan dan
masyarakat dapat berperan serta. Dalam rangka pengawasan pemerintah berwenang
mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan/atau sarana
kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU No. 36 Tahun 2009.
Salah satu metode interpretasi untuk menjelaskan kewajiban-kewajiban pemerintah
yakni interpretasi sistematis yaitu interpretasi dengan jalan mengaitkan, kewajiban-
kewajiban tersebut dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai produk
aturan hukum positif atau peraturan perundang-undangan yang relevan sehingga
kemudian menjadi jelas apa sesungguhnya ruang lingkup kewajiban pemerintah
mengatur, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan. Dalam teori
hukum administrasi, kewajiban-kewajiban tersebut merupakan bagian interen dari
tugas mengatur pemerintah dalam rangka melindungi rakyat atau warga negara,
secara khusus di sini melindungi dari bahaya yang dapat merugikan/mengancam
kesehatannya (Republik Indonesia, 2009; Ginting, 2014).
Dalam UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 4 8 menyatakan
setiap orang berhak atas, kesehatan, akses atas sumber daya di bidang kesehatan,
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Juga berhak menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya, lingkungan yang sehat
bagi pencapaian derajat kesehatan, informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab. Juga berhak atas informasi tentang data kesehatan
dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya
dari tenaga kesehatan Saat ini pemerintah telah menerbitkan kebijakan terkait

74
pemenuhan hak masyarakat dalam kesehatan yaitu BPJS Kesehatan & BPJS
Ketenagakerjaan.
BPJS sebagai bentuk jaminan pembiayaan kesehatan warga negara Indonesia, tidak
boleh lagi ada masyarakat yang tidak memperoleh layanan kesehatan karena alasana
biaya. BPJS telah berlaku efektif tahun 2014. Namun faktanya, masih banyak kasus-
kasus yang mengabaikan hak-hak masyarakat dalam pelayanan kesehatan.
Seperti kasus di Sulawesi Selatan misalnya. Pernah terjadi kasus seperti Zahrah
(pasien hidrocepalus) yang ditolak oleh rumah sakit. Ada juga Revan Adiyaksa Andi
Amir, balita berumur 1 tahun 3 bulan yang meninggal pada 26 Juni 2013. Bayi
perempuan Naila Mustari, berusia 2 bulan sepuluh hari meninggal dunia setelah
gagal mendapat perawatan di Rumah Sakit Lasinrang. Naila meninggal dunia di
ruang tunggu loket jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) saat mengurus administrasi
asuransi kesehatan gratis. Lainnya menimpa Masra Nurhidaya (7 Tahun), warga
dusun Bontopannu, Desa Mattunrung Tellue, Kecamatan Sinjai Tengah, Kabupaten
Sinjai, karena orang tuanya tidak mampu membayar ambulans mayat Masra terpaksa
diangkut menggunakan sepeda motor dari Puskesmas Lappadata ke kampungnya.
Sungguh Ironi, peristiwa seperti ini masih saja terjadi. Ini adalah fakta yang
menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan secara adil belum tercapai maksimal.
Negara harus bertanggungjawab sepenuhnya dalam mewujudkan keadilan tersebut
dalam hal ini pemenuhan, perlindungan, dan penegakan HAM dalam pelayanan
kesehatan. Penyedia fasilitas kesehatan seperti puskesmas, klinik, dan rumah sakit
harus ditindak tegas jika melakukan pelanggaran. Untuk menjawab tantangan
tersebut adalah dengan mensinergiskan setiap kebijakan pemerintah pusat dan
daerah.
Kolaborasi lintas sektor sangat dibutuhkan, tentu saja dengan melibatkan masyarakat
di dalamnya. Seluruh stakeholder terkait. Pada akhirnya kita berharap masyarakat
akan memperoleh layanan kesehatan yang berkeadilan dengan menjunjung tinggi
asas-asas hak asasi manusia (Andi Surahman, 2016).
Dalam rangka perlindungan dan penghormatan HAM, Pasal 41 dan 42 UU

75
No. 39 Tahun 1999 memberikan pengaturan tentang perlakuan khusus bagi
kelompok-kelompok rentan antara lain: penyandang cacat, orang yang berusia lanjut,
wanita hamil dan anak-anak. Ketentuan ini disemangati oleh suatu pemikiran bahwa
pengaturan tentang perlakuan khusus adalah untuk memastikan bahwa kelompok-
kelompok rentan dalam masyarakat tidak didiskriminasikan dalam menikmati
haknya memperoleh layanan dan perlindungan kesehatan. Namun realitanya pada
saat ini masih ditemukan pelanggaran HAM terutama pada anak-anak. Misalnya
kasus bayi Dera. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Otto Nur Abdullah
mengatakan sikap rumah sakit terhadap bayi Dera Nur Anggraini merupakan
pelanggaran terhadap hak hidup. Seperti diberitakan sebelumnya, bayi Dera Nur
Anggraini mengembuskan napas terakhirnya karena memiliki kelainan pernafasan. Ia
ditolak delapan rumah sakit di Jakarta sehingga tidak mendapatkan perawatan
intensif di Newborn Intensive Care Unit (NICU)." Sikap rumah sakit terhadap bayi
Dera merupakan pelanggara HAM. Tepatnya terkena Pasal 62 UU no 39/1999
tentang HAM, yang menyatakan bahwa 'setiap anak berhak utk memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik
dan mental spiritualnya. Untuk itu, ia meminta agar Kementerian Kesehatan
membina dan mengawasi manajemen RS agar tidak ada lagi pembiaran terhadap hak
hidup pasien. Kementerian Kesehatan harus membina dan mengorientasikan, serta
mengawasi manajemen rumah sakit agar sejalan dengan amanat konstitusi 45, Pasal
28B, ayat 2 tentang setiap anak berhak atas kelangsung hidup ((Ginting, 2014;
Lampost,2013).
Pelayanan kesehatan yang bermutu tinggi dimulai dengan standar etika
manajerial yang tinggi pula. Manajer di rumah sakit memiliki dua fungsi, yaitu
fungsi klinis dan fungsi manajerial. Fungsi klinis adalah menjamin mutu (mutu
pelayanan) dengan baik. Produk pelayanan harus dapat memuaskan pasien dan juga
dokter yang meminta tindakan itu dilakukan pada pasiennya. Untuk itu diperlukan
adanya kualitas teknis pemeriksaan dan pengobatan yang baik. Kunci keberhasilan
suatu pelayanan yang baik adalah dengan melakukan secara baik, secara terus-

76
menerus dalam berbagai keadaan dan sedapat mungkin mencapai hasil seperti yang
diharapkan. Untuk itu diperlukan tenaga yang terampil, sarana dan prasarana yang
baik serta sistem monitor berskala yang memadai. Di bidang manajemen, manajer
unit terkait pada rumah sakit perlu memperhatikan upaya manajemen kebutuhan
(demand), yang ditandai dengan skala prioritas dan penyediaan pelayanan waktu
yang tepat. Secara umum, pengaturan ini dapat dibagi dalam pelayanan pasien dalam
keadaan darurat (emergency), pelayanan segera (urgent) dan pelayanan yang dapat
dijadwalkan/direncanakan (schedulable) (Ginting, 2014).
Hak-hak sosial sebagai induk dari hak atas kesehatan diatur secara khusus
dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan International Covenant
on Economic, social and Culture Rights (ICESCR). Sementara hak-hak yang
berkaitan dengan hak atas kesehatan tersebar dalam beberapa perjanjian internasional
maupun resolusi Majelis Umum PBB (misalnya tentang lingkungan, pangan,
penanggulangan wabah penyakit menular, dan lain-lain). Prinsip mendasar dalam
rangka sifat mengikat hukum internasional yakni konsensualisme. Sifat mengikat
perjanjian internasional dinyatakan oleh prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt.
Sistem dalam pelaksanaannya menuju terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan
pelayanan dan perbekalan kesehatan yang cukup, aman, bermutu, dan terjangkau
oleh seluruh lapisan masyarakat; melindungi masyarakat terhadap segala
kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan atau bahaya terhadap
kesehatan; memberikan kemudahan dalam rangka menunjang peningkatan upaya
kesehatan; serta meningkatkan mutu pengabdian profesi tenaga kesehatan. Landasan
hukum yang mendasari kebijakan pemerintah. Pemerintah memperoleh kewenangan
yang bersumber dari hukum untuk merumuskan suatu kebijakan dengan atribusi dari
UUD atau melalui delegasi. Hal ini sedasar dengan prinsip legalitas bahwa setiap
tindakan pemerintah harus berlandaskan hukum yang berlaku bahwa dalam hukum
administrasi berlaku prinsip tidak ada dasar hukum sehingga tidak ada kewenangan
(Ginting, 2014).

77
Pembangunan kesehatan terkait erat dengan hakikat pembangunan nasional
yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh
masyarakat Indonesia. Pengertian tersebut mengikuti pengertian dari WHO bahwa
kesejahteraan seluruh manusia tidak hanya kesehatan fisiknya tetapi juga kesehatan
mental dan hubungan sosialnya. Pengertian kesehatan dengan demikian meliputi
kesehatan jasmani, rohani serta, sosial dan bukan sekadar, keadaan bebas dari
penyakit, cacat dan kelemahan. Peran, tugas dan tanggung jawab pemerintah lebih
dititikberatkan pada pembinaan, pengaturan dan pengawasan untuk terciptanya
pemerataan pelayanan kesehatan dan tercapainya kondisi yang serasi dan seimbang
antara upaya kesehatan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat,
termasuk swasta (Ginting, 2014).
Dari hak-hak pasien yang juga penting adalah hak pasien untuk mendapatkan
ganti rugi, yang tertera pada UU Kesehatan. Bila memang kerugian pasien terjadi
(misalnya cacat, bertambah parah penyakitnya, ataupun meninggal) terbukti akibat
kesalahan dan kelalaian dokter, maka sudah seharusnya pasien mendapatkan ganti
rugi yang dapat disepakati bersama sesuai dengan kerugian yang diderita.
Masyarakat sebagai pasien berhak memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit
sesuai standar pelayanan yang ada, dimana rumah sakit adalah penyelenggara
pelayanan publik. Hak-hak masyarakat seperti yang tercantum dalam Undang-
Undang No.25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Rumah sakit mempunyai misi
untuk memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh
masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Tugasnya
adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna,
dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilaksanakan
secara serasi dan terpadu. Untuk memenuhi kebutuhan itu rumah sakit umum perlu
mempunyai fungsi pelayanan medis, penunjang medis, pelayanan dan asuhan
keperawatan, rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan serta
menyelenggarakan administrasi umum dan keuangan (Republik Indonesia 2009;
Ginting, 2014).

78
Jika kita menelusuri kasus yang lagi heboh saat ini yakni kasus Dokter Ayu
dan kawan-kawan yang terjadi di Rumah Sakit Prof. Kandow pada tahun 2010,
pendapat pribadi penulis bahwa walaupun memang mereka telah melakukan tahapan-
tahapan yang sesuai dengan prosedur, keilmuan dan kompetensi, dan penyebab
kematian pasien Julia Fransiska Makatey bukan karena kelalaian melakukan operasi
atau bukan malpraktik, namun seharusnya pihak rumah sakit atau dokter
memberitahukan hak pasien untuk mengetahui tindakan yang dilakukan oleh dokter,
serta memberitahukan ihkwal risiko operasi kepada pihak keluarga. Oleh karena
alasan tersebut pelayanan kesehatan pada rumah sakit Prof. Kandow maupun rumah-
rumah sakit pada umumnya, merupakan hal yang penting dan harus dijaga maupun
ditingkatkan kualitasnya sesuai standar pelayanan yang berlaku agar masyarakat
sebagai konsumen dapat merasakan pelayanan yang diberikan (Ginting, 2014).
Terdapat 3 (tiga) komponen yang terlibat dalam suatu proses pelayanan yaitu,
pelayanan sangat ditentukan oleh kualitas pelayanan yang diberikan, siapa yang
melakukan pelayanan, serta konsumen yang menilai sesuatu pelayanan melalui
harapan yang diinginkannya. Selama ini muncul kekhawatiran dimasyarakat terhadap
rumah sakit dengan status sebagai Badan Layanan Umum (BLU). Dikhawatirkan
biaya kesehatan di rumah sakit semakin tak terjangkau oleh masyarakat miskin.
Akibatnya masyarakat miskin makin jauh dari pelayanan kesehatan yang sangat
dibutuhkannya. Untuk itu maka rumah sakit haruslah senantiasa meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan bagi masyarakat demi terwujudnya pelayanan kesehatan yang
profesional, bermutu, tepat waktu, dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat
(Ginting, 2014).
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pada
Pasal 4 disebutkan terkait hak asasi manusia antara lain sebagai berikut (Republik
Indonesia, 2009):
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses sumber
daya di bidang kesehatan.
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau.

79
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan
sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik, disebutkan bahwa
ruang lingkup dari pelayanan publik termasuk di dalamnya adalah pelayanan
kesehatan (Republik Indonesia, 2009).
Pasal 5
(1) Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa
publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
(2) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendidikan,
pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi,
lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan,
perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.
(3) Pelayanan barang publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh instansi
pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran
pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja
daerah;
b. Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh suatu
badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya
bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah yang
dipisahkan; dan
c. Pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya tidak
bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang modal
pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara
dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya
menjadi misi negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan.
(4) Pelayanan atas jasa publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

80
a. Penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara
dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. Penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal pendiriannya
sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau
kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
c. Penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan
belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau
seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan daerah
yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya menjadi misi negara yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(5) Pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi skala
kegiatan yang didasarkan pada ukuran besaran biaya tertentu yang digunakan
dan jaringan yang dimiliki dalam kegiatan pelayanan publik untuk
dikategorikan sebagai penyelenggara pelayanan publik.
(6) Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah.
(7) Pelayanan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara dan
diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan
perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
warga negara.
b. Tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang diwajibkan oleh
negara dan diatur dalam peraturan perundang-undangan serta diterapkan
berdasarkan perjanjian dengan penerima pelayanan.

Hak dan Kewajiban bagi Penyelenggara Pelayanan Publik


Pasal 14
Penyelenggara memiliki hak :

81
a. Memberikan pelayanan tanpa dihambat pihak lain yang bukan tugasnya;
b. Melakukan kerja sama;
c. Mempunyai anggaran pembiayaan penyelenggara pelayanan publik;
d. Melakukan pembelaan terhadap pengaduan dan tuntutan yang tidak sesuai
dengan kenyataan dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
e. Menolak permintaan pelayanan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 15
Penyelenggara berkewajiban :
a. Menyusun dan menetapkan standar pelayanan;
b. Menyusun, menetapkan, dan memublikasikan maklumat pelayanan;
c. Menempatkan pelaksana yang kompeten;
d. Menyediakan sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan publik yang
mendukung tercipatanya iklim pelayanan yang memadai;
e. Memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan
pelayanan publik;
f. Melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan;
g. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
h. Memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diselenggarakan;
i. Membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya;
j. Bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara pelayanan
publik;
k. Memberikan pertanggungjawaban sesuai dengan hukum yang berlaku apabila
mengundurkan diri atau melepaskan tanggung jawab atas posisi atau jabatan;
dan
l. Memenuhi panggilan atau mewakili organisasi untuk hadir atau
melaksanakan perintah suatu tindakan hukum atas permintaan pejabat yang
berwenang dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang berhak,

82
berwenang, dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kewajiban dan Larangan bagi Pelaksana


Pasal 16
Pelaksana berkewajiban :
a. Melakukan kegiatan pelayanan sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh
penyelenggara;
b. Memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan;
c. Memenuhi panggilan untuk hadir atau melaksanakan perintah suatu tindakan
hukum atas permintaan pejabat yang berwenang dari lembaga negara atau
instansi pemerintah yang berhak, berwenang, dan sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
d. Memberikan pertanggungjawaban apabila mengundurkan diri atau
melepaskan tanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
dan
e. Melakukan evaluasi dan membuat laporan keuangan dan kinerja kepada
penyelenggara secara berkala.

Pasal 17
Pelaksana dilarang :
a. Merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana
yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara,
dan badan usaha milik daerah;
b. Meninggalkan tugas dan kewajiban, kecuali mempunyai alasan yang jelas,
rasional, dan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
c. Menambah pelaksana tanpa persetujuan penyelenggara;
d. Membuat perjanjian kerja sama dengan pihak lain tanpa persetujuan
penyelenggara; dan
e. Melanggar asas penyelenggaraan pelayanan publik.

83
Pasal 18
Masyarakat berhak :
a. Mengetahui kebenaran isi standar pelayanan;
b. Mengawasi pelaksanaan standar pelayanan;
c. Mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan;
d. Mendapat advokasi, perlindungan, dan/atau pemenuhan pelayanan;
e. Memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki
pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar
pelayanan;
f. Memberitahukan kepada pelaksana untuk memperbaiki pelayanan apabila
pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan;
g. Mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan
dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan
ombudsman; dan
h. Mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar
pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina
penyelenggara dan ombudsman; dan
i. Mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan
pelayanan.

Pasal 19
Masyarakat berkewajiban :
a. Mematuhi dan memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan dalam
standar pelayanan
b. Ikut menjaga terpeliharanya sarana, prasarana, dan/atau fasilitas pelayanan
publik
c. Berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan yang terkait dengan
penyelenggaraan publik.

84
BAB VIII
Ketentuan Sanksi
Pasal 54
(1) Penyelenggaraan atau pelaksana yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) dan ayat (3), pasal 15 huruf g dan pasal 17
huruf e dikenai sanksi teguran tertulis.
(2) Penyelenggaraanatau pelaksana yang melanggar ketentuansebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), pasal 13 ayat (1) huruf b dan
huruf e, pasal 15 huruf e dan huruf f, pasal 16 huruf a, pasal 17 huruf b dan
huruf c, pasal 25 ayat (2), pasal 29 ayat (2), pasal 44 ayat (1), pasal 47 ayat
(1), pasal 48 ayat (1) dan pasal 50 ayat (9) dikenai sanksi teguran tertulis dan
apabila dalam waktu 3 (tiga) bulan tidak melaksanakan ketentuan dimaksud
dikenai sanksi pembebasan dari jabatan.
(3) Penyelenggara atau pelaksana yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 33 ayat (2) dikenai sanksi teguran tertulis, dan apabila
dalam waktu 1 (satu) tahun tidak melaksanakan ketentuan dimaksud dikenai
sanksi pembebasan dari jabatan.
(4) Penyelenggara atau pelaksana yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pasal 36 ayat (1) dan ayat (4) dikenai sanksi teguran tertulis, dan
apabila dalam waktu 3 (tiga) bulan atau dalam masa pelaksanaan pekerjaan
tidak melaksanakan ketnetuan dimaksud dikenai sanksi pembebasan dari
jabatan.
(5) Penyelenggara atau pelaksana yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 15 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I, pasal 23 ayat (4)
dan ayat (5), pasal 25 ayat (1), pasal 28 ayat (1) dan ayat (2), pasal 29 ayat
(1), pasal 36ayat (2), pasal 37 ayat (1),pasal 43 ayat (2), pasal 44 ayat (3) dan
pasal 50 ayat (2) dikenai sanksi penurunan gai sebesar satu kali kenaikan gaji
berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun.
(6) Penyelenggara atau pelaksana yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) dikenai sanksi penurunan pangkat pada

85
pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun.
(7) Penyelenggara atau pelaksana yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 11 ayat (1), pasal 15 huruf b,huruf e, huruf j, huruf j,
dan huruf k, dan huruf l, pasal 16 huruf b, huruf c,huruf d, pasal 20 ayat (2)
dan ayat (3), pasal22, pasal 28 ayat (4),pasal 33 ayat (1),pasal 36 ayat (3),
pasal 48 ayat (2) serta pasal 50 ayat (1) dan ayat (4) dikenai sanksi
pembebasan jabatan.
(8) Penyelenggara atau pelaksana yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf a, Pasal 20 ayat (1), Pasal 2
(9) 6, dan Pasal 33 ayat (3) dikenai sanksi pemberhentian dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri.
(10) Penyelenggara atau pelaksana yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) dikenai sanksi
pemberhentian tidak dengan hormat.
(11) Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf c dan
ayat (4) huruf c yang melanggar ketentuan Pasal 15 huruf a, Pasal 26, Pasal
33 ayat (3), dan Pasal 36 ayat (3) dikenai sanksi pembekuan misi dan/atau
izin yang diterbitkan oleh instansi pemerintah.
(12) Penyelenggaran yang dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (10),
apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan tidak melakukan
perbaikan kinerja dikenai sanksi pencabutan izin yang diterbitkan oleh
instansi pemerintah.

Pasal 55
(1) Penyelenggara atau pelaksana yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 29
ayat (1) dan ayat (2) dan atas perbuatan tersebut mengakibatkan timbulnya
luka, cacat tetap, atau hilangnya nyawa baik bagi pihak lain dikenai sanksi
pidana sebagimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Pengenaan sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

86
membebaskan dirinya membayar ganti rugi bagi korban.
(3) Besaran ganti rugi bagi korban ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan.

Pasal 56
(1) Penyelenggara atau pelaksana yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Pasal 28 ayat (1) dan ayat (4), dan atas
perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian negara dikenai denda.
(2) Besaran denda ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan.

Pasal 57
(1) Sanksi bagi penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55,
dan Pasal 56 dikenakan kepada pimpinan penyelenggara.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh atasan
penyelenggara yang bertanggung jawab atas kegiatan pelayanan publik sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara sebagaimana diatur dalam
Pasal 40 ayat (3) yang menimbulkan kerugian wajib dibayar oleh
penyelenggara setelah dibuktikan nilai kerugiannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 58
Pimpinan penyelenggara dan/atau pelaksana yang dikenai sanksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 56 dapat dilanjutkan pemrosesan
perkara ke lembaga peradilan umum apabila penyelenggara melakukan perbuatan
melawan hukum dan/atau penyelenggara melakukan tindak pidana.

3.6. Pelanggaran atas Hak Menentukan Nasib Sendiri dan Hak atas Informasi
Hubungan trapeutik antara dokter pasien pada asasnya bertumpu pada hak
menentukan nasib sendiri (the right self-determination) dan hak informasi (the right

87
to information). Oleh karena itulah, dalam hubungan/transaksi terapeutik ini hak
pasien damping dilindungi oleh kedua hak tersebut.
Pasien bersama-sama dengan dokter menemukan terapi yang paling tepat
untuk kesehatannya, dan bila terapi yang paling tepat itu telah ditemukan oleh kedua
belah pihak, maka dokter dan pasien yang bertanggung jawab atas segala akibat yang
mungkin terjadi sebagai efek sampingan dari terapi tersebut.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa akibat transaksi terapeutik dokter
pasien ialah lahirlah hak dan kewajiban masing- masing pihak (dokter-pasien).
Dalam peran ini seorang dokter harus memberikan pengobatan kepada pasien sampai
tuntas sesuai dengan UU No. 29 tahun 2004 pasal 51, yaitu memberikan pelayanan
medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien. (Republik Indonesia, 2004)
Seorang pasien dapat meminta penjelasan secara lengkap tentang tindakan
medis yang akan dilakukan padanya, dapat meminta pendapat dari dokter lain
(second opinion), serta mendapatkan isi rekam medis seuai dengan UU No. 29 tahun
2004 pasal 52. Selain itu pasen juga dapat meminta kepada dokter untuk
menghentikan pengobatan sesuai dengan pasal UU No. 4 tahun 2009 tentang rumah
sakit pasal 45 ayat 1. (Republik Indonesia, 2009)
Sedangkan syarat lainnya agar transaksi terapeutik itu sah menurut hukum ,
harus memenuhi syarat sahnya perjanjian , sebagaimana dapat dilihat dalam pasal
1320 KUH Perdata (BW), yaitu antara lain : adanya kata sepakat para pihak, para
pihak mampu untuk bertindak , isi perjanjian jelas , dan apa yang diperjanjikan tidak
boleh bertentangan dengan undang undang maupun hukum yang berlaku pada saat
perjanjian itu dibuat (Periksa syarat umum perjanjian di dalam 1320 KUH Perdata
/BW). Disamping itu, isi dan pelaksanaan perjanjian pada hakekatnya berisikan hal-
hal :tidak bertentangan dengan kepatutan , berdasarkan etikad baik, dan mencakup
kepentingan para pihak. Kepatutan dan etikad baik itu dikaitkan dengan tolak ukur
yang berlaku dalam masyarakat setempat.
Pada saat ini hubungan dokter- pasien bukanlah merupakan hubungan inter-
personal, tetapi masing- masing pihak sebagai pihak yang terlibat transaksi terapeutik

88
mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik. Dalam transaksi tersebut, upaya
penyembuhan merupakan upaya yang hasilnya belum pasti dan apabila gagal maka
pihak Dokter/ Rumah Sakit dan pasien/keluarganya merekalah yang bertanggung
jawab karena upaya penyembuhan itu sudah berdasarkan informed consent.
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan : Tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Sedangkan
ketentuan pasal 1366 KUHPerdata menyatakan : setiap orang bertanggung-jawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya.
Ketentuan pasal 1365 tersebut di atas mengatur pertanggung-jawaban yang
diakibatkan oleh adanya perbuatan melawan hukum baik karena berbuat
(positip=culpa in commitendo) atau karena tidak berbuat (pasif=culpa in
ommitendo). Sedangkan pasal 1366 KUH Perdata lebih mengarah pada tuntutan
pertanggung-jawaban yang diakibatkan oleh kesalahan karena kelalaian
(onrechtmatigenalaten). (Indrawati, Sina, & Djamika, 2013)

3.7. Pelanggaran Hak atas Rekam Medis


Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 749s/Menkes/Per XII/1989 tentang
Rekam Medis/Medical Records, yang dimaksud rekam medis ialah berkas yang
berisikan catatan, dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan,
tindakan dan pelayaran lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan (Pasal 1
huruf a).

Menurut ketentuan pasal 187 huruf 1 KUHAP, rekam medis merupakan alat
bukti sah yang berupa surat lain (keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa)
dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwewenang yang
memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar atau dilihat sendiri,

89
disertai dengan alasan yang jelas dan tegas mengenai keterangan itu (Nasution,
2013).

Dalam bidang hukum, rekam medis tersebut mempunyai fungsi utama


sebagai(Nasution,2013):
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut
ambil bagian dalam memberi pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien.
Dengan membaca rekam medis, dokter atau tenaga kesehatan lainnya yang
terlibat dalam merawat pasien (misalnya pada pasien rawat bersama atau dalam
konsultasi) dapat mengetahui pernyakit, perkembangan penyakit, terapi yang
diberikan dan lain lain tanpa harus berjumpa satu sama lain. Ini tentu merupakan
sarana komunikasi yang efisien.
2. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan
pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di rumah sakit.
3. Sebagai dasar analisis, studi, evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan
kepada pasien. Baik buruknya pelayanan yang diberikan tercermin dari catatan

Sanksi pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan rekam medis menurut undang


undang no. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran :
Kewajiban setiap dokter atau dokter gigi dalam memenuhi kewajiban dalam Pasal 51
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e. Ketentuan Pasal 51 tersebut
merupakan ketentuan terhadap kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh
seorang dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran, manakala
kewajiban ini tidak ditaati maka berakibat sanksi pidana sebagaimana diatur dalam
Pasal 79 Undang undang Nomor 29 Tahun 2004 tersebut.
Kewajiban kewajiban antara lain:
Pasal 51:

(a) dokter atau dokter gigi untuk memberikan pelayanan kesehatan harus sesuai

90
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan
medis pasien.
(b) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan yang lebih
baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan dan pengobatan.
(c) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia. Kewajiban pada huruf d adalah
melakukan
(d) pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
(e) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran
atu kedokteran gigi.
Pelanggaran kerahasiaan rekam medis, antara lain :
1. Pasal 13 KODEKI :
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal
dunia.Pelanggaran etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya,
sehingga terhadap pelakunya hanya diberikan tuntutan oleh dewan pembina
yang bertugas memberikan arahan, pertimbangan, petunjuk, saran dan
nasehat.Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etik rekam medis
bergantung pada berat dan ringannya pelanggaran etik tersebut. Bentuk-
bentuk sanksi pelanggaran etik rekam medis dapat berupa :
a. Teguran atau tuntutan secara lisan atau tulisan
b. Penurunan pangkat atau jabatan
c. Penundaan kenaikan pangkat atau jabatan
d. Untuk kasus pelanggaran etikolegal, dapat diberikan hukuman sesuai
peraturan kepegawaian yang berlaku dan diproses ke pengadilan
e. Pencabutan izin

91
2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Pasal 4 Tentang Wajib Simpan

Rahasia Kedokteran:

Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai : wajib simpan rahasia kedokteran

yang tidak atau tidak dapat dipidana menurut Pasal 322 KUHP, maka Menteri

Kesehatan dapat melakukan tindakan administratif berdasarkan Pasal 11 Undang-

undang Tenaga Kesehatan.

3. Pasal 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana :


Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling
banyak sembilan ribu rupiah.
4. Pasal 79 butir c Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran :

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling

banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi

yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban dalam Pasal 51 huruf c yaitu

merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga

setelah pasien itu meinggal dunia.

92
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-
Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum,
pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia. Hukum-hukum yang mengatur HAM di Indonesia sudah tertulis
pada Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang, dan beberapa penjelasan
terperincinya tertulis dalam Peraturan Pemerintah.

Pelanggaran hak asasi manusia merupakan perbuatan seseorang atau


kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan
atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku. Pelanggaran hak asasi manusia dalam praktik kedokteran dapat berupa
malpraktik kedokteran, abortus provokatus, euthanasia, pelanggaran hak terhadap
informed consent, pelanggaran atas hak untuk mendapatkan pelayanan medis,
pelanggaran atas hak menentukan nasib sendiri dan hak atas informasi, dan
pelanggaran hak atas rekam medis.

4.2 Saran

93
Sebagai bagian dari masyarakat, tenaga medis khususnya dokter atau dokter
gigi sebaiknya memahami hak-hak pasien dan hak-hak dokter, yang mana hak-hak
tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia. Pemahaman dan pemenuhan akan
hak dokter dan pasien tersebut tentunya tidak lepas dari kewajiban-kewajiban yang
harus dipenuhi. Mengingat bahwa hukum yang mengatur tentang HAM sudah tertulis
dengan jelas, maka sudah sepatutnya hukum-hukum tersebut dijalankan dengan baik.

94
DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno. 1991.Euthansia dalam Etika Profesional dan hokum


pertanggungjawaban pidana Dokter. Hal.24-27. Jakarta : Erlangga

Agusti,Verina Pradita. 2015. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Korban Malpraktik


(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 287/PDT.G/2011).
Jakarta: Universitas Islam Syarif Hidayatullah

Andhika Muhammad, 2015. Hubungan etika profesi dokter dalam Informed


Consent. Jurnal Hukum : Universitas Negeri Semarang. Semarang
Asshiddiqie, J. (2008). Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia.

Badu Lisnawaty. 2013. Euthanasia dan Hak Asasi


Manusia.Http://download.portalgaruda.org/article.php%3Farticle
%3D40595%26val
%3D3585&ved=0CCAQFjAA&usg=AFQjCNGFLxJU7BAwHq0Vj-
NtsX3r_cvJGQ&sig2=E-TV6PnPWGsfYo5DbhWAeQ. Diakses tanggal 17
Juni 2015.
Bakry, M. R. (2010). IMPLEMENTASI HAK ASASI MANUSIA DALAM KONSEP.
Jakarta: Universitas Indonesia.

Burhan Ashofa. 2001. Metode Penelitian Hukum hal.61. Jakarta : Rineka Cipta.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (1997). Ilmu Kedokteran
Forensik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Cohen,Jonathan and Tamar Ezer. 2013. Human rights in patient care: A theoretical and practical framework |
Health and Human Rights Journal. England: Harvard University.

Declaration of Disbon.1981.Hak dan Kewajiban Pasien Menurut Undang-


Undang.https://www.academia.edu/5284366/Hak_dan_Kewajiban_Pasien_M
enurut_Undang-Undang.diakses tanggal 10 Mei 2016

Effendi, M. (1994). Dimensi da Dinamika Hak Asasi Anusia dalam Hukum Nasional
dan Internasional. : Ghalia Indonesia.

95
Ginting, G. (2014). HAK PATEN UNTUK MEMPEROLEH PELAYANAN
KESEHATAN DI RUMAH SAKIT DI TINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA.
Manado: Universitas Sam Ratulangi.

Goel,Vaibhav. 2008. Euthanasia-A Dignied End of Life..Ethiopia: Addis Ababa


University
Hanafiah, M. J., & Amir, A. (1999). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan.
Jakarta: EGC.

Haryadi. 2011. Masalah Euthanasia dalam Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia.
http://online-journal.unja.ac.id/index.php/jimih/article/view/540. diakses
tanggal 17 Juni 2015.
Hill, J. (2012). Legislative Restrictions on Abortion. American Medical Association
Journal of Ethics, 133-136.

Ibid. 1982. Pengantar Penelitian Hukum hal. 21. Jakarta: UI Press.

Ikatan Dokter Indonesia. (2002). Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman
Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indoesia. Jakarta: Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran Indonesia.

Indrawati, Sina, L., & Djamika. (2013). perlindungan hukum terhadap pasien
sebagai konsumen yang mengalami mallpraktik jasa pelayanan kesehatan
(Studi di Rumah Sakit Umum Daerah Sangatta Kabupaten Kutai Timur).
Malang: Universitas Brawijaya.

Isnoviana, M. (2008, Desember 30). Hak dan Kewajiban Pasien - Dokter. Retrieved
from https://fkunisba2010.files.wordpress.com/2010/12/hak-dan-kewajiban-
dokter-pasien.pdf

Irna Tilamuhu. 2012. Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum dan Hak Asasi
Manusia . http://irnatilamuhu.blogspot.com/2012/03/euthanasia-ditinjau-dari-
aspek-hukum.html. diakses tanggal 17 Juni 2015.

Joshua,Samson Ayobami. 2014. Euthanasia-Socio Medical and Legal Perspective.


Nigeria:Adekunle Ajasin University
Kitab Undang Undang Pidana
Kitab Undang Undang Perdata

96
Kusmiadi, E. (2011). Hak dan Kewajiban Pasien dan Tenaga
Kesehatan.http://www.edikusmiadi.com/2011/12/hak-kewajiban-pasien-dan-
tenaga.html.diakses tanggal 10 Mei 2016

Liana, S. G. (2010). Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Informed Consent


Antara Dokter dan Pasien di RSUD Sulthan Thaha Saifudin Tebo, Jambi.
Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.

Locke, J. (2008). Second Treatise of Government. Jonathan Bennet.

Lontoh, D. D. (2008). PELAKSANAAN PERJANJIAN TERAPEUTIK DALAM


PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS PADA KONDISI PASIEN DALAM
KEADAAN TIDAK MAMPU DI RUMAH SAKIT TELOGOREJO
SEMARANG. Semarang: Universitas Diponegoro.

Maliangga, J. (2013). HAK INFORMED CONSENT SEBAGAI HAK PASIEN


DALAM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA. Lex et Sociates, 5-14.

Nasution, 2013.Sanksi Pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan rekam medis.


Jurnal Hukum : Universitas Sumatera Utara. Medan

Paulus Pingkan K. 2013. Kajian euthanasia menurut HAM (Studi Banding Hukum
Nasional Belanda) Vol.XXI/No.3/April-Juni /2013. http
://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalhukumunsrat/article/view/1151&ved=
0CCcQFjAC&usg=AFQjCNEFX92L_6ZDEQS-
38n7zc_yWjxmNQ&sig2=u11_T_3TeUvnb6ApGbyYrQ. Diakses tanggal 17
Juni 2015.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang
Persetujuan Tindakan Medis.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/MENKES/Per X/2005 tentang
Penyelenggara Praktek Dokter dan Dokter Gigi
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/MENKES/Per III/2008 tentang Rekam
Medis
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medis.
Permana,I Made Fandi Dwi. 2015. Euthanasia Dikaji dari Perspektif Hukum
Kesehatan dan Hak Asasi Manusia. Mataram: Universitas Mataram

97
Prakosa, 2012. Fungsi dan peran informed consent pada perjanjian medis.Skripsi
hukum : universitas Indonesia. Jakarta

Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun


1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun


1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2004). Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun


2004 tentang Praktik Kedokteran. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 Tentang Rumah


Sakit. Jakarta: Sekretariat Negara .

Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 36 Tahun


2009 Tentang Kesehatan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2014). Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014. Jakarta:


Sekretariat Negara.

Republik Indonesia. (2014). Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun


2014 Tentang Tenaga Kesehatan. Retrieved Juni 22, 2015, from
www.hukumonline.com.

Sarjono, Anastasia. (2013). Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Undang-
Undang Nomor 39 Tahun1999 (Tentang Hak Asasi Manusia). Gorontalo:
Universitas Negeri Gorontalo.

Saifuddin, Abdul Bahri. 2008. Pelayanan Kesehatan Maternal


Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 145-148.

Soetomo,RS. (2010). Hak dan Kewajiban Pasien.


http://rsudrsoetomo.jatimprov.go.id/id/index.php/2014-11-19-04-48-40/2014-
11-20-16-42-46/hak-kewajiban-dokter-dokter-gigi/22-pelayanan-
kesehatan/hak-dan-kewajiban.diakses tanggal 10 Mei 2016.

Suwarto. 2009. Euthanasia dan Perkembangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum


Pidana.Medan: Universitas Sumatera Utara

98
Tim ICCE, U. (2003). Demokrasi, Hak Asasi Mausia dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Prenada Media.

Titisari, N. W. (2008). Pelaksanaan Persetujuan Tindakan Medis Dalam Melindungi


Pasien ASKESKIN dalam Melindungi Pasien Askeskin di RSU "RA Kartini"
Kabupaten Jepara. Semarang: Universitas Diponegoro.

Universal Declaration of Human Rights, G.A.res.217 A (III), U.N. Doc A/810 at 71 (1948).
Minnesota University. from www1.umn.edu/humanrts/instree/b1udhr.htm.diakses
tanggal 09 Mei 2016

Varney, Helen, dkk. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC, 604-605.

Walsh, Linda V. 2008. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta: EGC, 447-449

WHO. (2015). Retrieved 2015, from Health:


http://www.who.int/trade/glossary/story046/en/ \

WHO. (2016). Retrieved 2016, from Health HYPERLINK


"http://www.who.int/trade/glossary/story046/en/"
hhttp://www.who.int/trade/glossary/story046/en/#

Wikipedia. (2015). Informed Consent. Retrified June, 2015, from Informed Consent:
https://en.wikipedia.org/wiki/Informed_consent

Wiknjosastro, Hanifa. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo, 302-312

Wiradharma, D., & Hartati, D. S. (2010). Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran.


Jakarta: Sagung Seto.

Yuliati. (2005). Kajian Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Pasien dalam Undang-
Undang RI Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Berkaitan
dengan Malpraktik. Malang: Universitas Brawijaya.

Yuriza, Z. G. (2010). Penegakan Hukum Pidana di Bidang Kesehatan Melalui


Pelaksanaan Informed Consent di Rumah Sakit Umum Daerah Tanjung
Pinang Propinsi Kepulauan Riau. Riau: Universitas Islam Riau.

Zainafree,Intan. 2009. Euthanasia (Dalam Perspektik Etika dan Moralitas.


Semarang: Universitas Negeri Semarang

99
100

Anda mungkin juga menyukai