Anda di halaman 1dari 4

DISKUSI

Telah dirawat seorang pasien perempuan, usia 60 tahun, di bangsal penyakit dalam RSUP
Dr. M. Djamil Padang dengan diagnosis:
Sirosis bilier ec kolestasis ekstrahepatal ec tumor hepar dengan ensefalopati
hepatikum grade IV
Melena ec pecah varises esofagus es sirosis bilier
Syok sepsis ec bronkopneumonia (CAP)
DVT tungkai kiri
Anemia sedang normositik normokrom ec perdarahan akut

Diagnosis sirosis bilier pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan keluhan badan
kuning, rasa lemah letih, penurunan nafsu makan, buang air kecil seperti teh pekat dan
adanya keluhan perdarahan (BAB hitam). Pada pemeriksaan fisik, ditemukan ikterik,
splenomegali, dan palmar eritema. Sedangkan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
hipoalbuminemia, rasio albumin globulin yang terbalik, peningkatan bilirubin direk dan
indirek, peningkatan SGOT/SGPT. Dari pemeriksaan USG abdomen, didapatkan gambaran
kolestasis ekstrahepatal dan intrahepatal, asites, sirosis hati dan susp. tumor hati lobus kiri.
Penurunan kesadaran pada pasien ini didiagnosis dengan ensefalopati hepatikum ec
sirosis hati (bilier). Menurut literatur, pasien sirosis hati akan mengalami ensefalopati
hepatikum akibat faktor pencetus yang terbagi atas faktor nitrogenous seperti uremia,
perdarahan, dehidrasi, alkalosis metabolik, hipokalemia, konstipasi dan diet tinggi protein,
serta faktor non-nitrogenous yaitu sedatif, benzodiazepin, barbiturat, hipoksia, hipoglikemia,
hipotiroidism dan anemia. Pada pasien ini, faktor pencetus terjadinya ensefalopati hepatikum
dapat dipikirkan oleh karena infeksi paru, perdarahan, dehidrasi, dan anemia. Menurut
kriteria West-Haven, ensefalopati hepatikum pada pasien ini sudah berada pada grade III,
dimana pasien mengalami ngantuk berat, tetapi masih bisa dibangunkan, namun tidak dapat
berkomunikasi lagi dengan orang sekitarnya.
Berdasarkan Konsensus Baveno IV, sirosis hati (bilier) pada pasien ini termasuk
dalam kelompok sirosis dekompensata karena telah berada pada stadium 4 yang ditandai
dengan adanya perdarahan dan asites. Walaupun pada pasien telah dilakukan USG abdomen,
terdapat beberapa pemeriksaan lain yang perlu dilakukan untuk menentukan beratnya sirosis,
ada tidaknya komplikasi serta menentukan penyakit dasar yang menyebabkan sirosis. Pada
pasien ini dianjurkan untuk dilakukan CT Scan abdomen untuk diagnosis definitif dari tumor
hepar yang ditemukan pada USG abdomen sebelumnya. Karena sirosis hati, apapun
penyebabnya, dapat meningkatkan risiko kanker hati primer (hepatocelluler carcinoma).
Namun, karena kondisi pasien tidak stabil, CT scan abdomen belum dapat dilakukan.
Pasien juga didiagnosis dengan DVT tungkai kiri. Adanya keluhan bengkak pada
tungkai kiri yang eritem dengan perabaan hangat mengarahkan diagnosis pada DVT tungkai
kiri. Walaupun pemeriksaan d-dimer tidak bisa dilakukan pada pasien ini, namun dengan
adanya gambaran trombosis dari pemeriksaan USG doppler vascular, dapat memperkuat
diagnosis DVT pada pasien ini. Menurut studi yang dilakukan oleh Gulley (2008), terdapat
peningkatan risiko tromboemboli (1,8%) pada pasien sirosis. Bahkan menurut Rinaldi et
al.(2009), prevalensi DVT pada pasien sirosis sebesar 4,7% dan kejadian DVT pada pasien
sirosis dengan koagulopati bukanlah kejadian langka. Kejadian DVT pada pasien sirosis tidak
berhubungan dengan rendahnya nilai albumin yang umumnya terjadi pada pasien sirosis.
Namun, terdapat faktor lain, seperti peningkatan defisiensi antikoagulan alami, yaitu protein
C, protein S dan antitrombin III, yang berperan penting pada kejadian DVT pada pasien
sirosis. Selain itu, terdapat keadaan lain yang mendukung terjadinya DVT pada pasien ini
yaitu riwayat imobilisasi yang lama, infeksi paru dan ketidakseimbangan kaskade pembekuan
yang menyebabkan terjadinya koagulasi.4,5
Penatalaksanaan DVT pada pasien ini sesuai terapi standar DVT yaitu dengan
unfractioned heparin intravena. Heparin digunakan untuk membatasi pembentukan bekuan
darah dan meningkatkan proses fibrinolisis. Heparin lebih unggul dibandingkan dengan
antikoagulan oraltunggal sebagai terapi awal DVT karena antikoagulan oral dapat
meningkatkan risiko tromboemboli disebabkan karena inaktivasi protein C dan protein S
sebelum menghambat faktor pembekuan eksternal. Sasaran yang harus dicapai adalah
activated PTT 1,5 2,5 kali lipat untuk mengurangi risiko rekurensi DVT, biasanya dapat
dicapai dengan dosis heparin 30.000 U/hari. Metode yang dipakai adalah bolus intravena
inisial diikuti dengan infus heparin kontinu. Untuk sebagian besar pasien DVT, heparin harus
diberikan 5 hari.
Sepsis pada pasien ditegakkan karena ditemukan 3 kriteria SIRS dan disertai fokus
infeksi yaitu bronkopneumonia. Diagnosis ini juga ditegakkan berdasarkan kriteria quick
Sepsis-related Organ Failure Assesment (qSOFA) yang terdiri atas perubahan status mental,
tekanan darah sistolik < 100 mmHg dan frekuensi nafas > 22 kali/menit. Sedangkan menurut
kriteria SOFA, kriteria sepsis yang terpenuhi oleh pasien ini yaitu penurunan kesadaran,
tekanan PaO2 yang menurun, peningkatan kadar bilirubin, peningkatan kadar kreatinin, serta
penurunan tekanan darah (MAP < 70 mmHg). Semakin tingginya skor SOFA menunjukkan
semakin tingginya kemungkinan mortalitas pada pasien yang mengalami sepsis. Sedangkan
syok sepsis pada pasien ini ditegakkan karena adanya keadaan hipotensi yang menetap
sehingga membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan MAP > 65 mmHg serta adanya
peningkatan serum laktat > 2 mmol/L. Minimal 30 mL/kgBB larutan kristaloid (1,5-3 liter)
dalam 30-60 menit dianjurkan pada sebagian besar pasien, jika hipotensi tidak respon dengan
pemberian cairan kristaloid maka pemberian vasopresor harus dilakukan.5 Norepinefrin dan
dopamin merupakan terapi vasopresor lini pertama untuk mengatasi hipotensi pada syok
sepsis.9 Adanya keadaan syok sepsis pada pasien ini meningkatkan mortalitas hingga > 40%.6

Menurut Girleanu (2012), sepsis merupakan faktor risiko terjadinya DVT pada pasien
sirosis. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Garcia-Fuster
et al., dimana terdapat 6 dari 17 pasien yang didiagnosis DVT, disertai keadaan sepsis.
Menurut literatur, sepsis dapat meningkatkan efek sitokin proinflamatori, kerusakan vaskular
endotel, dan juga merangsang agregasi platelet. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan
koagulasi, seperti pemanjangan waktu protrombin dan INR, tidak dapat memprediksi risiko
perdarahan pada pasien sirosis serta tidak dapat menggambarkan status koagulasi yang
sebenarnya. Menurut studi ini, kadar albumin serum < 3 mg/dl dan skor MELD > 13 dapat
meningkatkan risiko terjadinya DVT pada pasien sirosis.7

Pasien juga didagnosis dengan AKI RIFLE F karena adanya hasil laboratorium yang
menunjukkan peningkatan kreatinin serum melebihi 1,5 mg/dl serta volume urin yang sudah
menurun. Awalnya kelainan ginjal ini didiagnosis banding dengan sindrom hepatorenal yang
umumnya terjadi akibat komplikasi dari sirosis hati yang terdapat pada pasien ini. Namun,
kriteria mayor untuk sindrom hepatorenal pada pasien ini tidak terpenuhi, seperti adanya
infeksi bakteri yang sedang berlangsung (bronkopneumonia) dan tidak terjadinya perbaikan
fungsi ginjal setelah pemberian plasma ekspander 1,5 liter (penurunan kreatinin serum
menjadi < 1,5 mg/dl). Bahkan, pada follow up laboratorium, terjadi peningkatan kreatinin
serum pada pasien (dari 3,0 mg/dl menjadi 4,7 mg/dl). Hal ini disebabkan karena terjadinya
sepsis pada pasien yang semakin memperberat penurunan volume efektif intravaskular dan
hipoperfusi ke ginjal. Selain itu, penyakit sirosis hati pada pasien ini menyebabkan
terganggunya mekanisme otoregulasi ginjal sehingga upaya ginjal dalam mempertahankan
perfusinya tidak berjalan dengan baik.8
Prognosis pasien ini buruk. Penilaian prognosis pasien dilakukan dengan penilaian skor
menurut Child Turcotte Pough, dimana pasien ini memenuhi ensefalopati hepatikum grade III
(3 poin), PT memanjang > 6 (3 poin), INR = 1,63 (1 poin), bilirubin total 23,1 (3 poin), asites
sedikit (1 poin) dan albumin 2,5 (3 poin) sehingga skor Child Puogh pasien ini adalah 14 dan
termasuk pada kategori C. Selain itu, sirosis pada berhubungan dengan infeksi berat yang
dialami pasien sehingga dapat meningkatkan risiko kematian pasien ini. Penyebab kematian
pada pasien ini adalah sindrom disfungsi organ multipel (MODS). Kegagalan organ multipel
umum terjadi pada pasien sirosis dan sepsis berat karena adanya peningkatan produksi sitokin
proinflamatori. Sepsis pada pasien ini menyebabkan disfungsi organ hati, ginjal, kegagalan
sistem sirkulasi dan sistem neurologi. Menurut the European Chronic Liver Failure
Consortium (CLIF) yang mengembangkan asesmen mengenai penilaian kegagalan organ,
pasien ini berada pada ACLF grade III dengan risiko 28-day mortality sebesar >75%.10

Anda mungkin juga menyukai