Anda di halaman 1dari 24

BAB 2.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rectal di atas 38,50 celcius) yang disebabkan oleh proses
ekstrakranium. Nilai ambang kejang antara suhu (38,8 - 41,4)0C. Biasanya terjadi
pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5 tahun (Talsim, 1999).
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah
suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan sampai 5
tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi
intracranial atau penyebab tertentu. Definisi ini menyingkirkan kejang yang
disebabkan penyakit saraf seperti meningitis, ensefalitis atau ensefalopati. Kejang
pada keadaan tersebut mempunyai prognosis berbeda dengan kejang demam
karena keadaan yang mendasari mengenai sistem saraf pusat (Nelson,2000).
Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu kejang
demam sederhana (simple febrile convulsion) dan epilepsy yang diprovokasi oleh
demam (epilepsy triggered of by fever). Definisi ini tidak lagi digunakan karena
studi prospektif epidemiologi membuktikan bahwa resiko berkembangnya
epilepsy atau berulangnya kejang tanpa demam tidak sebanyak yang diperkirakan.
Akhir-akhir ini, kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu kejang
demam sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan umum, dan kejang
demam kompleks, yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal atau multiple
(lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam) (Emedicine, 2003).
Derajat tingginya demam yang dianggap cukup untuk diagnosis kejang
demam ialah 380C atau lebih, tetapi suhu sebenarnya pada waktu kejang sering
tidak diketahui.
Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang
demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai demam
pada bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam (ilia,
1993).
Bila anak berusia kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami
kejang didahului demam, perlu dipikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi
SSP, atau epilepsi yang kebetulan terjadi bersama demam (hirz, 1997).

2. Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2%-4% dari populasi anak yang berusia 6
bulan hingga 5 tahun. Kejang pertama terbanyak terjadi antara usia 17-23 bulan,
dimana anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam (Hirz, 1997).
Studi populasi di Eropa dan Amerika melaporkan insiden kejang demam
sebesar 2-5% dari anak. Insiden di bagian lain dunia bervariasi, antara 5-10 %
(India), 8,8% (Jepang). Data dari negara-negara berkembang sangat terbatas,
frekuensinya mungkin didapatkan lebih tinggi di Asia. Sebanyak 2-5% anak-anak
yang berumur kurang dari 5 tahun pernah mengalami kejang disertai demam.
Puncak umur mulainya adalah sekitar 14-6 bulan. Sekitar 9-35% dari seluruh
kejang demam awal merupakan kejang demam kompleks (Verity, 1999).

3. Faktor Resiko
Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Faktor
yang memegang peranan penting dalam perlangsungan kejang demam adalah
faktor genetik. Pewarisannya autosomal dominan dengan minimal 3 lokus
abnormal yaitu pada kromosam 8q13-q21 (FEB1), p (FEB2) dan 5q14-q15 (FEB4).
19

Kejang demam plus adalah kejang demam dengan riwayat epilepsi pada keluarga.
Pada bayi atau anak dengan kejang demam plus ini mempunyai resiko paling
besar untuk terjadinya kejang demam, kemudian diikuti kejang selanjutnya tanpa
demam (Sunartini, 2013).
Kejadian kejang demam pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak
perempuan dengan rasio 1,5 : 1. Jumlah episode serangan pada anak dengan
riwayat epilepsi pada keluarga 6 kali lebih tingi daripada tanpa riwayat epilepsi.
Dari penjelasan diatas, faktor resiko untuk terjadi kejang demam yaitu:
Umur (terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun)
Keterlambatan perkembangan ( contohnya cerebral palsy, retardasi mental
Riwayat kelainan kejang dalam keluarga
Sering demam(disebabkan infeksi virus atau bakteri)
Demam tinggi (diatas 102F)
Saat kehamilan, ibu pasien merokok dan pengguna alcohol
Meningitis (Inflamasi membrane yang mengelilingi otak dan spinal cord)
Riwayat kepribadian (misalnya ada riwayat kejang demam).

4. Etiologi
Hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan
infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan
infeksi saluran kemih (Waldo, 2000).
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi
di luar susunan saraf pusat, misalnya infeksi virus, tonsillitis, otitis media akut,
ISK, Gastrointeritis, ISPA, furunkulosis, meningitis, post imunisasi dan lain-lain
(Talsim, 1999).

5. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi
dimana oksigen disediakan melalui fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak
melalui sistem kardiovaskuler. Melalui proses oksidasi glukosa dipecah menjadi
CO2 dan air (Sunartini, 2003).
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan
dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal,
membran sel dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit
dilalui oleh ion (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion (Cl-). Akibatnya
konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah,
sedangkan di luar sel neuron terjadi sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang
disebut sebagai potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang
terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah
oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular, rangsangan yang
datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari
sekitarnya, dan perubahan pathofisiologi dari membran sendiri karena penyakit
atau keturunan (Carol, 2006).
Demam adalah meningkatnya suhu tubuh diatas nilai normal (35,8-37,2)0C
dalam rentang waktu tertentu. Demam merupakan salah satu keluhan dan gejala
yang paling sering terjadi pada anak dengan penyebab berupa infeksi dan non
infeksi. Paling sering penyebabnya adalah infeksi, dalam hal ini adalah infeksi
saluran nafas disusul dengan infeksi saluran cerna pada anak-anak. Pada keadaan
demam, kenaikan suhu 10 celsius akan mengakibatkan kenaikan metabolism basal
10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20% (Talsim, 1999).
Pada anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan pada orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion K+ maupun ion Na+ melalui
membran tersebut, dengan akibat akan terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan
listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke sel-
sel tetangganya melalui bantuan neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak
memiliki ambang kejang yang berbeda. Tergantung dari ambang kejang yang
dimilikinya, seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada
anak yang memiliki ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 380C
dan pada anak yang memiliki batas ambang kejang yang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu 400 C atau lebih. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa
terulangnya kejang demam lebih sering tejadi pada ambang kejang yang rendah
sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada suhu berapa
penderita kejang (Sunartini, 2013).
Sedangkan terjadinya demam berasal dari adanya bahan-bahan pirogen.
Eksogenous pirogen berasal dari luar tubuh, contohnya bakteri, virus, jamur dan
toksin. Eksogenous pirogen ini bila masuk ke dalam tubuh akan merangsang
pembentukkan leukosit maupun sel phagosit (monosit, neutrofil, limfosit, sel glial
endothelium, sel mesangium mesenchymal) untuk memproduksi bahan-bahan
endogenous pirogen seperti IL-1, TNF. Endogenous pirogen diproduksi diluar
CNS (sirkulasi sistemik) akan membentuk prostaglandin E 2, dimana prostaglandin
E2 ini akan menganggu fungsi thermoregulasi di hipothalamus. Akibatnya akan
terjadi peningkatan titik pusat suhu di hipothalamus dan bagian perifer tubuh ikut
merespon terjadinya peningkatan suhu tubuh (Rudolf, 2002).

Gambar 2.1. Patofisiologi Demam (Atlas of Pathofisiology)

6. Klasifikasi
Kejang demam menurut Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam
IDAI 2006 memiliki 2 bentuk yakni kejang demam kejang demam sederhana dan
kejang demam komplek. 80% dari kasus kejang demam merupakan kejang
demam sederhana sedangkan 20% kasus adalah kejang demam komplek.

6.1. Kejang Demam Sederhana


Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure) memiliki beberapa
kriteria, yakni:
1. Kejang berlangsung singkat < 15 menit.
2. Kejang berhenti sendiri tanpa pengobatan.
3. Kejang bersifat umum tonik atau klonik tanpa gerakan umum.
4. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.

6.2. Kejang Demam Komplek


Kejang Demam Komplek (Complex Febrile Seizure) memiliki ciri ciri
gejala klinis sebagai berikut:
1. Kejang berlangsung lama lebih dari 15 menit
2. Sifat kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului
oleh suatu kejang parsial
3. Kejang berulang atau terjadi lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Menurut Livingstone, kejang demam komplek digolongkan sebagai


epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Kejang tipe ini mempunyai suatu dasar
kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang, sedangkan demam hanya
merupakan factor pencetus saja (Masnsjoer, 1999).
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak
berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang
berlangsung lama, lebih dari 15 menit, biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang
pada akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolisme anaerobik, hipotensi arterial, disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh yang makin meningkat disebabkan oleh meningkatnya
aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Rangkaian peristiwa diatas adalah penyebab rusaknya neuron otak selama
berlangsung kejang yang lama. Faktor terpentiang adalah terjadinya gangguan
peredaran darah yang menyebabkan hipoksia sehingga meningkatkan
permeabilitas kapiler dan timbulnya edema otak yang mengakibatkan kerusakan
sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat
serangan kejang yang berlangsung lama, dapat menjadi matang sehingga dapat
terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama
dapat menyebabkan kelainan antomis di otak hingga terjadi epilepsy (Masnsjoer,
1999).

7. Manifestasi Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh proses
infeksi di luar susunan saraf pusat. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam
pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dan dengan sifat bangkitan dapat
berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya kejang
berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk
sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar
kembali tanpa adanya kelainan saraf (Masnsjoer, 1999).

8. Diagnosis
8.1. Anamnesis
Anamnesa adalah cara pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara
baik langsung pada pasien (autoanamnesis) atau kepada orang tua atau sumber
lain (aloanamnesis) misalnya wali atau pengantar. Dalam anamnesa khususnya
pada penyakit anak dapat digali data data yang berhubungan dengan kejang
demam meliputi:
a. Identitas.
Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua, alamat,
umur penndidikan dan pekerjaan orang tua, agama dan suku bangsa.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, epidemiologi kejang demam lebih banyak
terjadi pada anak laki-laki pada usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun.
b. Riwayat Penyakit.
Pada riwayat penyakit perlu ditanyakan keluhan utama dan riwayat
perjalanan penyakit. Keluhan utama adalah keluhan atau gejala yang
menyebabkan pasien dibawa berobat. Pada riwayat perjalanan penyakit disusun
cerita yang kronologis, terinci, dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak
sebelum ada keluhan sampai anak dibawa berobat. Bila pasien mendapat
pengobatan sebelumnya, perlu ditanyakan kapan berobat, kepada siapa, obat yang
sudah diberikan, hasil dari pengobatan tersebut, dan riwayat adanya reaksi alergi
terhadap obat.
Pada kasus kejang demam, perlu digali informasi mengenai demam dan
kejang itu sendiri. Pada setiap keluhan demam perlu ditanyakan berapa lama
demam berlangsung; karakteristik demam apakah timbul mendadak, remitten,
intermitten, kontinou, apakah terutama saat malam hari, dsb. Hal lain yang
menyertai demam juga perlu ditanyakan misalnya menggigil, kejang, kesadaran
menurun, merancau, mengigau, mencret, muntah, sesak nafas, adanya manifestasi
perdarahan, dsb. Demam didapatkan pada penyakit infeksi dan non infeksi. Dari
anamnesa diharapkan kita bisa mengarahkan kecurigaan terhadap penyebab
demam itu sendiri (Emedicine, 2003).
Pada anamnesa kejang perlu digali informasi mengenai kapan kejang
terjadi; apakah didahului adanya demam, berapa jarak antara demam dengan onset
kejang; apakah kejang ini baru pertama kalinya atau sudah pernah sebelumnya
(bila sudah pernah berapa kali (frekuensi per tahun), saat anak umur berapa mulai
muncul kejang pertama); apakah terjadi kejang ulangan dalam 24 jam, berapa
lama waktu sekali kejang. Tipe kejang harus ditanyakan secara teliti apakah
kejang bersifat klonik, tonik, umum, atau fokal.
Ditanyakan pula lamanya serangan kejang, interval antara dua serangan,
kesadaran pada saat kejang dan setelah kejang. Gejala lain yang menyertai juga
penting termasuk panas, muntah, adanya kelumpuhan, penurunan kesadaran, dan
apakah ada kemunduran kepandaian anak. Pada kejang demam juga perlu
dibedakan apakah termasuk kejang demam sederhana atau kejang suatu epilepsi
yang dibangkitkan serangannya oleh demam (berdasarkan kriteria Livingstone).
c. Riwayat Kehamilan Ibu.
Perlu ditanyakan kesehatan ibu selama hamil, ada atau tidaknya penyakit,
serta upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi penyakit. Riwayat
mengkonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, minuman keras, konsumsi
makanan ibu selama hamil.
d. Riwayat Persalinan.
Perlu ditanyakan kapan tanggal lahir pasien, tempat kelahiran, siapa yang
menolong, cara persalinan, keadaan bayi setelah lahir, berat badan dan panjang
badan bayi saat lahir, dan hari-hari pertama setelah lahir. Perlu juga ditanyakan
masa kehamilan apakah cukup bulan atau kurang bulan atau lewat bulan. Dengan
mengetahui informasi yang lengkap tentang keadaan ibu saat hamil dan riwayat
persalinan anak dapat disimpulkan beberapa hal penting termasuk terdapatnya
asfiksia, trauma lahir, infeksi intrapartum,dsb yang mungkin berhubungan dengan
riwayat penyakit sekarang, misalnya kejang demam.
e. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan.
Perlu digali bagaimana status pertumbuhan anak yang dapat ditelaah dari
kurva berat badan terhadap umur dan panjang badan terhadap umur. Data ini dapat
diperoleh dari KMS atau kartu pemeriksaan kesehatan lainnya. Status
perkembangan pasien perlu ditelaah secara rinci untuk mengetahui ada tidaknya
penyimpangan. Pada anak balita perlu ditanyakan perkembangan motorik kasar,
motorik halus, sosial-personal, dan bahasa.

f. Riwayat Imunisasi.
Apakah penderita mendapat imunisasi secara lengkap, rutin, sesuai jadwal
yang diberikan. Perlu juga ditanyakan adanya kejadian ikutan pasca imunisasi.
g. Riwayat Makanan.
Makanan dinilai dari segi kualitas dan kuantitasnya.
h. Riwayat Penyakit Yang Pernah Diderita
Pada kejang demam perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah
mengalami kejang dengan atau tanpa demam, apakah pernah mengalami penyakit
saraf sebelumnya.
i. Riwayat Keluarga
Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada keluarga lainnya (ayah,
ibu, atau saudara kandung), oleh sebab itu perlu ditanyakan riwayat familial
penderita (Emedicine, 2003).

8.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dibagi menjadi 2 yakni pemeriksaan umum dan
pemeriksaan sistematis. Penilaian keadaan umum pasien antara lain meliputi
kesan keadaan sakit pasien (tampak sakit ringan, sedang, atau berat); tanda
tanda vital pasien (kesadaran pasien, nadi, tekanan darah, pernafasan, dan suhu
tubuh); status gizi pasien; serta data antropometrik (panjang badan, berat badan,
lingkar kepala, lingkar dada).
Selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan sistematik organ dari ujung
rambut sampai ujung kuku untuk mengarahkan ke suatu diagnosis. Pada
pemerikasaan kasus kejang demam perlu diperiksa faktor faktor yang berkaitan
dengan terjadinya kejang dan demam itu sendiri. Demam merupakan salah satu
keluhan dan gejala yang paling sering terjadi pada anak dengan penyebab bias
infeksi maupun non infeksi, namun paling sering disebabkan oleh infeksi. Pada
pemeriksaan fisik, pasien diukur suhunya baik aksila maupun rektal. Perlu dicari
adanya sumber terjadinya demam, apakah ada kecurigaan yang mengarah pada
infeksi baik virus, bakteri maupun jamur; ada tidaknya fokus infeksi; atau adanya
proses non infeksi seperti misalnya kelainan darah yang biasanya ditandai dengan
dengan pucat, panas, atau perdarahan.
Pemeriksaaan kejang sendiri lebih diarahkan untuk membedakan apakah
kejang disebabkan oleh proses ekstra atau intrakranial. Jika kita mendapatkan
pasien dalam keadaan kejang, perlu diamati teliti apakah kejang bersifat klonik,
tonik, umum, atau fokal. Amati pula kesadaran pasien pada saat dan setelah
kejang. Perlu diperiksa keadaan pupil; adanya tanda-tanda lateralisasi; rangsangan
meningeal (kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski I, II); adanya paresis, paralisa;
adanya spastisitas; pemeriksaan reflek patologis dan fisiologis (Emedicine, 2003).

8.3. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang terdiri dari:
a. pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber
infeksi/ mencari penyebab (darah tepi, elektrolit, dan gula darah) (Wong, 2002).
b. pemeriksaan radiologi
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan CT scan atau MRI tidak rutin dan
hanya dikerjakan atas indikasi seperti:
1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)
2. Paresis nervus VI
3. Papiledema
c. pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)
Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk
menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis
meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal dikerjakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
- bayi < 12 bulan : diharuskan
- bayi antara 12-6 bulan : dianjurkan
- bayi > 6 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda meningitis
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan pada anak dengan kejang demam pertama
kali dengan umur dibawah 6 bulan karena tidak tampaknya tanda meningeal pada
umur dibawah 6 bulan, sehingga sulit mendeteksi adanya meningitis maupun
infeksi intrakranial lain tanpa dilakukannya lumbal pungsi. Namun, jika yakin
bukan meningitis secara klinis tidak perlu lumbal pungsi (aap, 1997).
d. pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak dapat memprediksi berulangnya kejang atau
memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam, oleh
sebab itu tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas
(misalnya pada kejang demam komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang
demam fokal).
Pemeriksaan EEG yang dibuat 8-10 hari setelah panas tidak menunjukkan
kelainan. Dan hanya sebanyak 5% dari anak normal memiliki gambaran EEG
yang abnormal. EEG abnormal juga tidak dapat digunakan untuk menduga
kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari.
9. Diagnosis Banding
Infeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis
dan cairan cerebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang
diikuti hemiperesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses
intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan
dengan kejang demam. Meningitis, ensefalitis, anak dengan demam tinggi dapat
mengalami delirium, menggigil, pucat dan sianosis sehingga menyerupai kejang
demam (Talsim, 1999).

10. Penatalaksaan
Penatalaksanaan kejang demam meliputi 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu
pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab, pengobatan profilaksis.
10.1 Pengobatan fase akut
Penanganan Kejang
Sering kali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang
semua pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan apabila muntah untuk
mencegah aspirasi. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Penghisapan
lendir dilakukan secara teratur, diberikan oksigen, kalau perlu intubasi. Awasi
keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah, pernafasan dan fungsi
jantung (Talsim, 1999).
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada saat datang ke
tempat pelayanan kesehatan, kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam
keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali
secara perlahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 2 menit dengan
dosis maksimal 20 mg (Sunartini, 2003).
Obat yang praktis dan dapat diberikan kepada orang tua atau di rumah
adalah diazepam rektal dengan dosis 0,5 - 0,75 mg/kgBB/kali atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak berat badan di bawah 10 kg dan 10 mg untuk anak dengan
berat badan diatas 10 kg. Atau diazepam rectal dengan dosis 5 mg untuk anak di
bawah 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak usia di atas 3 tahun.
Kejang yang tetap belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila 2 kali
dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan orang tua untuk segera ke
rumah sakit. Dan disini dapat dimulai pemberian diazepam intravena dengan dosis
0,3 0,5 mg/kgBB/kali. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenithoin
secara iv dengan loading dose 10-20 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1
mg/kgbb/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti, selanjutnya
diberikan dosis rumatan 4-8 mg/kgbb/hari (12 jam setelah pemberian loading
dose). Bila kejang belum berhenti, maka pasien harus dirawat di ruang intensif
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demamnya dan faktor resikonya apakah kejang demam sederhana atau
kejang demam kompleks (Warden, 2003).
Pemakaian antikonvulsan diazepam oral dosis 0,3 mg/kgbb setiap 8 jam
pada saat demam menurunkan resiko berulangnya kejang (1/3 s.d 2/3 kasus).
Begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgbb setiap 8 jam pada suhu >
38,5 0C. Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel, dan
sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, dan
fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
Diagram 1. Algoritme Penanganan Kejang Demam
Menurunkan Demam
Pada dasarnya demam tidak mengakibatkan kerusakan otak jika suhu
berada di bawah 41,70C. Untungnya, otak tetap menjaga keseimbangan suhu
didalamnya dari demam yang tidak teratasi sampai batas suhu 41,10C. Meskipun
setiap anak mempunyai kemungkinan untuk demam, namun hanya 4% yang
berkembang menjadi kejang demam.
Untuk anak dengan kejang demam, demam dengan delirium ataupun
peningkatan suhu diatas 41,10C, terindikasi untuk dilakukan kompres dengan air
biasa (lukewarm = hangat kuku), dan tidak dengan alkohol., ataupun air es.
Antipiretik pada saat kejang dianjurkan walaupun tidak ditemukan bukti
bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam.
Obat-obat penurun panas yang dapat digunakan adalah :
Asetaminophen / parasetamol
Asetaminofen diindikasikan untuk anak yang berumur diatas 2 bulan, jika
suhu tubuh diatas 390C atau jika anak terlihat tidak nyaman. Namun beberapa
referensi menyatakan bahwa seringkali suhu saat panas tidak diketahui secara
pasti, sehingga penggunaan obat antipiretik bisa digunakan dengan melihat
kondisi anak (merasakan suhu anak dengan perabaan). Dosis yang digunakan
adalah 10-15 mg/kgbb/kali. Dapat diberikan tiap 4-6 jam dan akan menurunkan
suhu 1-20C dalam waktu 2 jam. Pemberian asetaminofen sebaiknya dilakukan 30
menit sebelum dikompres, karena apabila kompres dilakukan sebelum munculnya
efek dari asetaminofen, akan berdampak terhadap peningkatan suhu tubuh yang
lebih tinggi lagi dan anak akan menggigil (Wong, 2002).
Ibuprofen Sirup
Ibuprofen sama halnya dengan asetaminofen, memiliki kesamaan dalam
keaamanan dan kemampuannya mengatasi demam. Ibuprofen dapat diberikan
dengan dosis 10 mg/kgbb/kali, diberikan tiap 6-8 jam sekali.
Metampiron (Novalgin, Xylomidon)
Keamanan obat golongan ini masih diragukan. Sebaiknya obat golongan
ini hanya diberikan bila dibutuhkan analgesik-antipiretik suntikan atau bila pasien
tidak tahan dengan antipiretik yang lebih aman. Novalgin terdapat dalam sediaan
berupa tablet (500 mg/tab), sirup (250 mg/5 ml), dan injeksi (500 mg/ml). Pada
dewasa dosis diberikan 0,3-1 gram sehari, sementara untuk dosis anak belum ada
referensi yang menyatakan mengenai dosis yang diperkenankan. Efek samping
obat ini adalah dapat terjadi agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia.
Sementara obat jenis lain seperti aspirin pernah menjadi antipiretik yang
populer di masyarakat, tetapi penggunaannya sebagai antipiretik untuk pediatri
saat ini dilarang, karena dapat mengakibatkan Reyes syndrome (Warden, 2003).

10.2 Mencari dan mengobati penyebab


Pemeriksaan rutin seperti elektrolit serum, glukosa, kalsium, dapat
dilakukan untuk menyingkirkan adanya gangguan elektrolit dan metabolisme.
Angka leukosit diatas 20.000/ul atau Shift to the left yang extreme menandakan
adanya bakteremia. Sodium serum terkadang menunjukkan angka di bawah
normal, tetapi tidak cukup rendah hingga membutuhkan terapi ataupun dapat
menyebabkan kejang. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam
yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal
hanya pada kasus yang dicurigai mengalami meningitis atau bila kejang demam
berlangsung lama. Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas,
sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan,
dan dianjurkan pada pasien yang berumur kurang dari 6 bulan. Untuk usia diatas 6
bulan, lumbal pungsi tidak dianjurkan lagi kecuali bila ditemukan gejala klinis
meningitis, infeksi intrakranial yang lain atau status konvulsivus. Pemeriksaan
laboratorium lain perlu dilakukan untuk mencari penyebab (Warden, 2003).

10.3 Pengobatan profilaksis


Pencegahan berulangnya kejang demam perlu dilakukan karena
menakutkan dan bila sering berulang menyebabkan kerusakan otak yang menetap.
Ada 2 cara profilaksis yaitu :
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam
2. Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari
1) Profilaksis intermittent
Pengobatan profilaksis intermittent disertai edukasi pada orangtua
penderita sangat bermanfaat untuk mencegah kejang demam
berulang.1Anti konvulsan hanya diberikan pada waktu pasien demam
dengan ketentuan orang tua pasien atau pengasuh mengetahui dengan
cepat adanya demam pada pasien. Obat yang diberikan harus cepat
diabsorbsi dan harus cepat masuk ke otak. Hal yang demikian sebenarnya
sukar dipenuhi. Peneliti-peneliti sekarang tidak mendapat hasil dengan
fenobarbital intermittent. Diazepam intermittent memberikan hasil lebih
baik karena penyerapannya lebih cepat. Dapat digunakan diazepam
intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg untuk pasien dengan berat badan
kurang dari 10 Kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari
10 Kg, setiap pasien menunjukkan suhu 38,5o C atau lebih. Diazepam
dapat juga diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg/KgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis pada waktu pasien demam (Talsim, 1999).
2) Profilaksis terus menerus (jangka panjang) dengan antikonvulsan tiap
hari
Pengobatan jangka panjang tidak dianjurkan pada kejang demam
sederhana, tetapi diberikan pada kejang demam yang dengan pengobatan
profilaksis intermittent masih sering terjadi kejang berulang. Obat-obat
yang dapat digunakan untuk profilaksis jangka panjang adalah :
a. Fenobarbital.
Fenobarbital merupakan senyawa organik pertama yang digunakan
dalam pengobatan antikonvulsi. Kerjanya membatasi penjalaran
aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital
masih merupakan obat antikonvulsi pilihan karena cukup efektif dan
murah. Dosis efektifnya relatif rendah dan kadar stabil tercapai dalam
14-21 hari. Pemberian fenobarbital 4-8 mg/KgBB/hari dengan kadar
darah sebesar 16 ug/ml dalam darah menunjukkan hasil yang
bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Namun
beberapa sumber mengatakan bahwa fenobarbital tidak lagi dianjurkan
sebagai pengobatan jangka panjang karena efek sampingnya yang
tidak menyenangkan (perubahan watak berupa iritabel, hiperaktif,
pemarah dan agresif). Efek samping tersebut ditemukan pada 30-50%
pasien. Efek samping dapat diturunkan dengan menurunkan dosis
fenobarbital (Talsim, 1999).

b. Asam Valproat
Obat lain yang dapat digunakan untuk profilaksis kejang demam
adalah asam valproat. Kadar stabil tercapai dalam 4-7 hari. Dosis yang
digunakan adalah 15-40 mg/kgbb/hari diberikan selama 1 tahun.
Valproat telah terbukti keefektifannya terhadap epilepsi umum, tetapi
bukan merupakan obat terpilih karena efek toksisitasnya terhadap hati.
Gangguan pada hati berupa peninggian aktivitas enzim-enzim hati, dan
sesekali terjadi nekrosis hati yang sering berakibat fatal. Kira-kira 60
kasus kematian telah dilaporkan akibat penggunaan obat ini.
Kerugiannya adalah bahwasanya obat ini lebih mahal dan lebih sulit
didapat bila dibandingkan dengan fenobarbital.
Fenitoin dan karbamazepin tidak dianjurkan karena tidak mempunyai
efek mencegah terjadinya kejang demam berulang. Profilaksis terus
menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak tetapi tidak dapat mencegah
terjadinya epilepsi di kemudian hari (Talsim, 1999).
Consensus Statement di Amerika Serikat mengemukakan kriteria yang
dapat dipakai untuk pemberian pengobatan profilaksis terus-menerus pada saat ini
adalah :
1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
kelainan perkembangan neurologi (Cerebral Palsy, retardasi mental,
mikrosefali).
2. Ada riwayat tanpa demam pada orang tua saudara kandung.
3. Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti oleh kelainan
neurologis sementara atau menetap.
4. Dapat dipertimbangkan pemberian profilaksis.
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang 12 bulan
Kejang demam 4 kali per tahun
Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang > 15 menit merupakan
indikasi pengobatan rumat. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya
keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi. Kejang fokal atau
fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organic.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1-2 tahun
setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
Selain ketiga hal tersebut diatas, dalam penatalaksaan kejang demam juga
diperlukan penanganan suportif, edukasi pada orang tua pasien, dan penggunaan
vaksinasi pada pasien kejang demam.

Penanganan Supportif lainnya


Meliputi bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, menjaga keseimbangan
air dan elektrolit, pertahankan keseimbangan tekanan darah.
Edukasi pada Orang Tua
Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua.
Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah
meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara:
1. Meyakinkan bahwa kejang demam umumnya benign
2. Memberikan cara penanganan kejang
3. Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4. Terapi memang efektif mencegah rekurensi tetapi memiliki efek samping
5. Tidak ada bukti bahwa terapi akan mengurangi kejadian epilepsy.
Beberapa hal yang harus dikerjakan orang tua di rumah bila anak kembali
kejang:
1. Tetap tenang dan tidak panik
2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher
3. Bila tidak sadar, posisikan anak telentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah
tergigit jangan memasukkan sesuatu ke dalam mulut
4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang
5. Tetap bersama pasien selama kejang
6. Berikan diazepam rektal selama kejang dan jangan diberikan jika kejang
telah berhenti
7. Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau
Lebih (Wong, 2002).
Vaksinasi
Sejauh ini tidak ada kontra indikasi untuk melakukan vaksinasi terhadap
anak yang mengalami kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi
sangat jarang. Angka kejadian pasca vaksinasi DPT adalah 6 9 kasus per
100.000 anak yang divaksinasi, sedangkan setelah vaksinasi MMR 25 34 per
100.000 anak. Dianjurkan untuk memberikan diazepam oral atau rektal bila anak
demam, terutama setelah vaksinasi DPT atau MMR. Beberapa dokter anak
merekomendasikan parasetamol pada saat vaksinasi hingga 3 hari kemudian.

11. Komplikasi
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
pengaruh kejang demam terhadap terjadinya kerusakan otak. Ada penelitian yang
membuktikan bahwa kejang demam tidak dapat berakibat buruk maupun
sebaliknya. Pada penelitian yang dilakukan oleh The National Collaborative
Perinatal Project di Amerika Serikat, dimana penelitian dilakukan terhadap 1706
anak paska kejang demam, dan diikuti perkembangannya sampai usia 7 tahun,
hasilnya tidak didapatkan kematian sebagai akibat dari kejang demam. Sementara
The National Child Development Study di Inggris, menyatakan bahwa anak yang
pernah mengalami kejang demam, kinerjanya tidak berbeda dengan populasi
umum waktu di tes pada usia 7 dan 11 tahun. Menurut Verity dkk, yang mengikuti
303 anak dengan kejang demam sampai usia 5 tahun, dengan hasil tidak ada
perbedaan dalam dalam bidang intelegensia, ukuran kepala maupun tingkah laku
pada anak dengan kejang demam maupun pada anak tanpa kejang demam.
Ada pula penelitian yang mendapatkan hasil akhir yakni kejang demam
dapat berakibat buruk, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Aicardi dan
Chevrie. Mereka meneliti 402 anak dengan kejang demam, sebanyak 131 anak
mendapatkan 1/lebih sekuele, yaitu 141 menderita epilepsi, 54 retardasi mental,
37 anak menderita kelainan neurologis lain (misal hemiplegia) (Wong, 2002).

12. Prognosis
Sampai saat ini belum tuntas masalah apakah kejang demam sendiri dapat
merusak otak atau tidak. Didapat kesan bahwa kejang demam yang singkat
umumnya benigna dan kejang demam yang lama mungkin dapat mengakibatkan
kerusakan pada otak. Mortalitas pada kejang demam sangat rendah yakni sebesar
0,64-0,74%.
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang
menjadi:
a. Kejang demam berulang
Kejang demam akan terjadi kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko
terjadinya kejang demam berulang adalah:
- riwayat kejang demam dalam keluarga
- usia kurang dari 15 bulan
- temperatur yang rendah saat kejang
- cepatnya kejang saat demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulang 80% sedangkan bila tidak
terdapat faktor tersebut hanya 10% - 15% kemungkinan berulang. Kemungkinan
berulang adalah pada tahun pertama.
b. Epilepsi
Faktor resiko lain adalah terjadinya epilepsi di kemudian hari. Faktor
resiko menjadi epilepsi adalah:
- kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama
- kejang demam kompleks
- riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
Masing-masing faktor resiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsy sampai 4-6%. Kombinasi dari faktor resiko tersebut meningkatkan
kemungkinan epilepsi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat
dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.
c. Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah
dilaporkan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Talsim. S. Soetomenggolo, Sofyan Ismail. 1999. Buku Ajar Neurologi Anak.


IDAI. Jakarta.
2. Pusponegoro, Hardiono. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi I.
IDAI. Jakarta.
3. Hirz, DG. Febrile Seizures. Ped in Rev 1997; 18:5-9
4. AAP, Provisional Committee on Quality Improvement. Pediatrics 1996; 97:769-
74
5. Waldo. E., Neelson, MD. 2000. Ilmu Kesehatan Anak (Neelson Textbook Of
Pediatri). Edisi 15. Jakarta. EGC.
6. http://www.emedicine.com/emerg/topic376.htm.
7. Masnsjoer, dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
8. ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia. 1993;34; 592-B
9. http://adc.bmjjournals.com/cgi/content/full/89/8/751. Febrile Seizures : An
Update. Cited February 28th 2004.
10. C M Verity. 1999. Risk of epilepsy after febrile convulsions: a national cohort
study. BMJ Volume 303: 1373 -1376
11. Sunartini. 2003. Simposium Ilmiah Manajemen Baru untuk Kejang Demam dan
Epilepsi pada Anak, di RS DR. Sardjito 27 Mei 2003. Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjahmada Yogyakarta.
12. Anonim. 2005. Kejang Demam. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
13. Rudolf. M. 2002. Rudolfs Pediatrics 21th Edition. USA. The McGraw-Hill
Companies, Inc
14. Carol S. Camfield. 2006. Febrile Seizure.
15. http://www.prodigy.nhs.uk/ProdigyKnowledge/PatientInformation/Content/pils/P
L63.htm. Febrile Convulsion. Cited November 2005.
16. Craig R. Warden. 2003. Evaluation and Management of Febrile Seizures in the
Out-of-Hospital and Emergency. [Ann Emerg Med. 2003;41:215-222
17. Tonia Jones. 2007. Childhood Febrile Seizures: Overview and Implications. Int.
J. Med. Sci. 2007, 4
18. Komite Medik RSUP DR. Sardjito. Standar Pelayanan Medis RSUP.DR.
Sardjito. 1999. Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjahmada Yogjakarta.
19. Lumbantobing. 1999. Kejang Demam (Febrile Convulsion). Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
20. Wong V dkk,. 2002. Clinical Guideline on Management of Febrile
Convulsion. HK J Paediatr (new series) 2002;7:143-151
21. Mark A. Klebanoff. 2009. The Collaborative Perinatal Project: A 50-Year
Retrospective. Epidemiology Branch, Eunice Kennedy Shriver National Institute
of Child Health and Human Development, National Institutes of Health,
Department of Health and Human Services
22. National Institutes of Health. Consensus Development Conference Statement
May 19-21, 1980
23. Talsim. S. Soetomenggolo,dkk. 2005. Konsesus Penanganan Kejang Demam.
IDAI . Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai