PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Yang paling dikenal sebagai tiga penyebab klasik kematian ibu di samping
infeksi dan preeklampsia adalah perdarahan. Perdarahan Pascapersalinan adalah
perdarahan yang masih berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan jalan lahir
dan jaringan sekitarnya merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping
perdarahan karena hamil ektopik dan abortus. Perdarahan Postpartum bila tidak
mendapat penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas ibu serta proses penyembuhan kembali. (Karkata, Made Kornia: 2010).
Seorang ibu dapat meninggal karena perdarahan pascapersalinan dalam
waktu kurang dari satu jam. Perdarahan Postpartum yang dapat menyebabkan
kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73% dalam
satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua minggu setelah bayi lahir.
(Karkata, Made Kornia: 2010). Atonia uteri menjadi penyebab lebih dari 90%
perdarahan pascapersalinan yang terjadi dalam 24 jam setelah kelahiran bayi.44.
Perdarahan bertanggung jawab atas 28 persen kematian ibu, salah satu penyebab
kematian ibu sebagian besar kasus perdarahan dalam masa nifas yang terjadi
karena retensio plasenta, sehingga perlu dilakukan upaya penanganan yang baik.
1.3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi dari perdarahan postpartum.
1.3.2 Mahasiswa dapat mengetahui faktor dari perdarahan postpartum
1.3.3 Mahasiswa dapat mengetahui epidemiologi dari perdarahan postpartum
1.3.4 Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinik dari perdarahan
postpartum.
1.3.5 Mahasiswa dapat mengetahui etiologi dari atonia uteri.
1.3.6 Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologis dari atonia uteri
1.3.7 Mahasiswa dapat mengetahui pencegahan dari atonia uteri
1.3.8 Mahasiswa dapat mengetahui manajaman dan penatalaksanaan dari
atonia uteri.
1.3.9 Mahasiswa dapat mengetahui etiologi dari retensio plasenta.
1.3.10 Mahasiswa dapat mengetahui fisiologis plasenta dan pelepasan
plasenta.
1.3.11 Mahasiswa dapat mengetahui patofisiologis dari retensio plasenta
1.3.12 Mahasiswa dapat mengetahui tanda dan gejala dari retensio plasenta
1.3.13 Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan dari retensio plasenta.
2.1.4 Epidemiologi
Perdarahan karena kontraksi rahim yang lemah setelah anak lahir
meningkat insidennya pada kehamilan dengan pembesaran rahim yang berlebihan
seperti pada kehamilan ganda, hidramnion, anak terlalu besar ataupun pada rahim
yang melemah daya kontraksinya seperti pada grandemultipara, interval
kehamilan yang pendek, atau pada kehamilan usia lanjut, induksi partus dengan
oksitosin, his yang terlalu kuat sehingga anak dilahirkan terlalu cepat dan
2.2.2 Etiologi
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor
predisposisi (penunjang) seperti :
- Yang menyebabkan uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan,
diantaranya :
o Jumlah air ketuban yang berlebihan (polihidramnion)
o Kehamilan gemeli
o Janin besar (makrosomia)
- Kala satu dan / kala dua yang memanjang
- Persalinan cepat (partus presipitatus)
- Persalinan yang di induksi atau dipercepat dengan oksitosin (augmentasi)
- Infeksi intrapartum
- Multiparitas tinggi
- Magnesium sulfat digunakan untuk mengendalikan kejang pada
preeklampsi/eklampsi
- Umur terlalu muda atau terlalu tua
- Malnutrisi
- Ibu dengan keadaan umum jelek, anemis atau menderita penyakit menahun
- Ada riwayat penuh atonia uteri sebelumnya
Pemantauan melekat kondisi ibu selama kala III dan IV serta selalu siap
untuk menatalaksana atonia uteri pascapersalinan merupakan tindakan
pencegaham yag sangat penting. Meskipun berbagai faktor diketahui dapat
meningkatkan resiko perdarahan pasca perdarahan, 2/3 dari semua kasus
perdarahan pascapersalinan terjadi pada ibu tanpa faktor resiko tersebut atau tidak
2.2.3 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan
fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu
diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri di diagnosis, maka pada saat itu juga
masih ada darah sebanyak 500-1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah,
tetapi mmasih terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam
kalkulasi pemberian darah pengganti.
Diagnosis dapat mudah ketika ada perdarahan hebat dan memburuknya
kondisi ibu. Namun, dalam banyak kasus onset adalah berbahaya, menetes lambat
darah selama beberapa jam yang dapat menimbulkan kehilangan darah yang
signifikan (Cunningham et al 1989). Rahim mungkin merasa membesar dan
lembut, dan mungkin ada sedikit kehilangan darah eksternal, atau tetesan terlihat.
Tekanan darahnya bisa menurun dan dia bisa terlihat pucat. Tekanan darah normal
tidak dapat digunakan sebagai indikasi bahwa volume darah yang beredar adalah
memuaskan (Cunningham et al 1989). Karena sifat berbahaya dari beberapa kasus
haemorrage, kondisi ibu sering diamati pada jam segera setelah melahirkan
(Cunningham et al 1989). Kondisi ini harus dikelola secara agresif sebelum
memburuk. Bidan harus memanggil assintence medis, mencoba untuk
menghentikan pendarahan dan kemudian, ketika bantuan telah tiba, kondisi ibu
dapat ditingkatkan.
2.3.2 Etiologi
1. Penyebab fungsional : His kurang kuat (penyebab terpenting) atau plasenta
sukar terlepas karena tempatnya (insersi di sudut tuba); bentuknya(
plasenta membranasea, plasenta anularis); dan ukurannya (plasenta sangat
kecil). Plasenta yang sukar lepas karena penyebab di atas disebut plasenta
adhesiva.
2.3.5 Patofisiologi
Pada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah di dalam uterus
masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum
spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.
Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan
menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga
perdarahan akan terhenti. Pada kondisi retensio plasenta, lepasnya plasenta tidak
terjadi secara bersamaan dengan janin, karena melekat pada tempat implantasinya.
Menyebabkan terganggunya retraksi dan kontraksi otot uterus sehingga sebagian
pembuluh darah tetap terbuka serta menimbulkan perdarahan.
(Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kebidanan. 2007)
2.3.7 Penatalaksanaan
a. Retensio plasenta dengan sparasi parsial
1) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan
yang akan diambil. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk
mengedan. Bila ekspulsi tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
2) Beri drips oksitosin 20 unit dalam 500 cc infuse NS/RL. Bila perlu
kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal. (sebaiknya tidak
menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat
menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
3) Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan
manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari
terjadinya perforasi dan perdarahan. Lakukan trasnfusi darah apabila
di perlukan.
4) Beri antibiotika profilaksis (ampisilin IV/ oral + metronidazol
supositoria/ oral)
5) Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi syok
neurogenik.
(Prawirohardjo, Sarwono, dkk. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
2009. Hal 178)
b. Plasenta inkaserata
1. Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan
pemeriksaan
2. Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk menghilangkan
kontriksi serviks dan melahirkan plasenta.
3. Pilih fluethane atau eter untuk kontriksi serviks yang kuat, siapkan
drips oksitosin 20 UI dalam 500 ml dalam cairan NS/RL dengan
3.1 Kesimpulan
Komplikasi persalinan kala III merupakan masalah yang terjadi setelah
janin lahir/berada di luar rahm. Komplikasi yang terjadi adalah perdarahan yang
sering menyebabkan kefatalan / kematian bila tidak ditangani sesegera mungkin.
Perdarahan post partum dibagi menjadi dua yaitu perdarah primer dan sekunder,
perdarah primer terjadi dalam 24 jam pertama dan sekunder sesudah itu. Hal hal
yang menyebabkan perdarahan post partum adalah Atonia uteri, retensio plasenta,
perlukaan jalan lahir, terlepasnya sebagian plasenta dari uterus, tertinggalnya
sebagian dari plasenta umpanmanya klotiledon atau plasenta suksenturiata.
Atonia uteri sendiri merupakan keadaan lemahnya tonus/kontraksi rahim
yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat
implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Atonia uteri dapat ditangani
dengan tindakan kompresi bimanual, pemasangan tampon uterovagina, ligasi
arteria hipogastrika, penjepitan parametrium menurut henkel.
Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah
jam setelah kelahiran bayi. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan
bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati. Plasenta tertahan jika tidak
dilahirkan dalam 30 menit setelah janin lahir, plasenta mungkin terlepas tetapi
terperangkap oleh serviks, terlepas sebagian, secara patologis melekat. Sewaktu
suatu bagian plasenta {satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat
berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan.Gejala
dan tanda yang bisa ditemui adalah perdarahan segera, uterus berkontraksi tetapi
tinggi fundus tidak berkurang.
3.2 Saran
Holmes, Debbie dan Phillip N. Baker. 2011. Buku Ajar Ilmu Kebidanan.Jakarta :
Penerbit buku kedokteran EGC.
Prof. Dr Firman, dkk. 2011. Obstetri Fisiologi Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi
2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC