PENDAHULUAN
Di beberapa negara maju menunjukkan data trauma kepala mencapai 26% dari jumlah
keseluruhan kecelakaan, yang menyebabkan seseorang tidak bisa bekerja. Kurang lebihnya
penyakit penyebab kematian dari keseluruhan pasien rawat inap di rumah sakit, dan pada
Trauma akibat adanya daya mekanik yang langsung menghantam kepala. Akibatnya biosa
terjadi fraktur tengkorak, kontusio serebri, laserasi serebri, dan perdarahan intyrakranial
Perdarahan bisa berjalan dengan cepat atau lambat. Bertambahnya volume perdarahan
edem, dan muntah yang seringkali bersifat proyektil. Pada tahap selanjutnya hematoma yang
terbentuk lebih besar akan memicu terjadinya sindrom herniasi yang ditandai dengan
2.1 Definisi
durameter dan arakhnoid ). Perdarahan ini sering terjadi akibat robekna vena jembatan yang
terkumpul hanya 100 - 200 cc dan berhenti karena tamponade hematoma sendiri. setelah 5 - 7
hari hematom mengadakan reorganisasi sendiri dan selesai dalam 10 - 20 hari. Darah yang
diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah sehingga memicu lagi
terjadinya perdarahan perdarahan kecil yang membentuk suatu kantong subdural yang penuh
dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematom dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut,
dan kronik. Akut kurang dari 72 jam, subakut 3 - 7 hari setelah trauma, kronik bila 21 hari
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan "SCALP" yaitu Skin, Connective tissue,
Gambar 2. SCALP
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal, dan oksipital. Rongga tengkorak
dasar dibagi menjadi 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat
temporalis, dan fosa posterior ruang bagian bawah otak dan serebelum.
Gambar 3. Calvaria
2.2.3 Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater terdiri atas dua lapisan yaitu endosteal dan meningeal. Duramater
merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium. karena tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya,
terdapat suatu ruang potensial (subdural) yang terletak antara durameter dan arachnoid,
dimana sering dijumpai perdarahan subdural.pada cedera otak, pembuluh vena yang menuju
sinus sagitalis superior digaris tengah atau disebut Bridging veins, dapat mengalami robekan
2. Selaput Arachnoid
Selaput arachnoid merupakan selaput yang tipis tembus pandang. Selaput ini terletak
antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak.
3. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks cerebri. Piamater adalah membrana
Gambar 4. Meningen
2.2.4 Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar
14kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan), mesensefalon (otak
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus yaitu, frontal, parietal, temporal.
Mesensefalon dan pons bagian ataas berisi sistem aktifasi retikular yang berfungsi dalam
produksi 20ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju
ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direarbsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulatio arachnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arachnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intracranial. Angka rata rata pada
2.2.6 Tentorium
dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri
ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulasi Willisi. Vena vena
otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara kedalam sinus venosus
cranialis.
2.3 Epidemiologi
Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5- 25% pasien dengan trauma kepala
berat. Sedangkan kronik subdural hematoma terjadi 1 - 3 kasus per 100.000 populasi. Laki -
laki lebih sering terkena dibanding perempuan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan nasional
berhubungan dengan faktor umum yang berhubungan dengan faktor resiko pada cedera
kepala. Lebih sering ditemukan pada pasien dengan umur 50 - 70 tahun. Pada orang tua
bridging veins mulai agak rapuh sehingga mudah pecah bila terkena trauma.
2.4 Klasifikasi
a. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera kurang dari 72 jam setelah trauma. biasanya terjadi pada
cedera kepala yang berat, pada pasien biasanya sudah terganggu kesadarannya dan tanda
vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran
b. Perdarahan subakut
Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4 - 21 hari setelah trauma. Awal
pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami perbaikan status neurologi yang
bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda tanda status
menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon terhadap nyeri atau verbal. Pada tahap
selanjutnya dapat terjadi fase herniasi yang menekan batang otak. pada gambaran scaning
tomografinya didapatkan gambaran lesi isodens atau hypodens.lesi isodens didapatkan karena
adanya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
c. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 21 hari setelah trauma atau lebih. Bahkan hanya terbentur
ringan pun bisa mengalami perdarahan subdural bila pasien juga mengalami gangguan
vaskuler atau gangguan pembekuan darah.pada subdural kronik kita harus berhati hati karena
2.5 Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera / trauma kepala hebat, seperti perdarahan yang
Trauma
Trauma kapitis
Trauma ditempat lain pada badan yang berakibat terjadinya pergeseran atau putaran
Non trauma
2.6 Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat
robeknya bridging veins yang menghubungkan vena dipermukaan otak dan sinus venosus di
dalam durameter atau karena robeknya arachnoidea. Karena otak yang dipenuhi cairan
berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek vena - vena halus pada
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan disekitarnya akan tumbuh
jaringan ikat nyang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik
cairan dari sekitarnya dan menggembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena
sehingga walaupun trauma kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.
Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan hematoma yang besar sebelum klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang
kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya
Perdarahan berulang dari pembuluh darah didalam membran ini memegang peranan penting,
karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam
perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi oleh efluks dari
cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. pada fase ini peningkatan
tekanan intrakranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intrakranial yang cukup
tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma pada suatu titik tertentu akan melampaui
Terdapat dua teori yang menjelaskan terjadinya pendarahan subdural kronik, teori
Gardner mengatakan bahwa sebagian bekuan darah akan mencair dan akan meningkatkan
kandungan protein yang terdapat didalam kapsul dari subdural hematom.karena tekanan
onkotik yang meningkat tersebut mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi
ada kontoversional dari teori tersebut, yaitu ternyata dari penelitian bahwa tekanan onkotik
didalam didalam subdural kronik adalah normal mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori
yang kedua mengatakan bahwa, pendarahan berulang yang dapat mengakibatkan perdarahan
subndural kronik.
Penyembuhan pada dimulai dari pembekuan darah. Pembentukan skar dimulai dari
sisi dura dan secara perlahan meluas ke seluruh permukaan bekuan. Hasil akhir dari
penyembuhan tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis menempel
pada duramater. Sering kali pembuluh darah besar menetap pada skar sehingga rentan terjadi
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terjadi pada
Penderita - penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak
difus yang menyebabkan mereka tidak sadar dengan gejala gangguan batang otak. Penderita
dengan SDH yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai
berat nya benturan trauma pada saat kecelakaan. Keadaan selanjutnya akan dipengaruhi oleh
Gejala - gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh massa
hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik yang paling sering.
Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi pada parenkim otak biasanya terletak ipsilateral
terhadap pupil yang melebar dan kontral;ateral terhadap defisit motorik. Tetapi gambaran
motorik dan gambaran pupil tidakmerupakan indikator mutlak untuk menentukan letak
hematoma. Gejala motorik mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak
kontralateral terhadap SDH.Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada
saat trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diameter
berkaitan dengan cedera berat. Gangguan progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan
otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan
tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan
Hematoma ini menyebabkan devisit neurologik dalam waktu lebih dari 48jam tapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Anamnesis klinis dari penderita ini adalah adanya
neurologik yang perlahan - lahan. Namun pada jangka waktu tertentu penderita menunjukkan
Timbulnya gejala tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun
setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan
subdural. Terjadinya perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Hematoma yang
bertambah besar secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut dan alkoholik karena
rapuhnya vena. Sehingga dalam beberapa minggu cedera tidak dihiraukan tapi pada CT-scan
2.8 Diagnosis
2.8.1 Anamnesis
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik adanya jejas ataupun
tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran. Jika pernah
ditanyakan pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika
pernah tanyakan juga tetap sadar atau kembali menurun kesadarannya, dan perhatikan juga
periode lamanya sadar atau lucid interval. Untuk tambahan perlu juga ditanyakan pernah
muntah atau kejang pada saat setelah terjadinya trauma kepala. Hal ini untuk mengetahui
penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena sumbatan saluran nafas atas, atau karena
proses intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya
sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah yang tidak bisa
ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat - obatan yang sedang
jalan nafas, pernafasan dan tekanan darah atau nadi yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan
nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi dan juga diberikan bantuan
nafas dengan pemberian oksigen. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah
untuk memantau terjadinya hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.
a. Laboratorium
b. Foto tengkorak
Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk melihat SDH. Sering dipakai
untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan
konsistensi antara fraktur tengkorak dengan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan
c. CT-scan
Pemeriksaan CT-scan adalah modalitas pilihan utama bila didapat lesi pasca
trauma,karena proses yang cepat, mampu melihat keseluruhan jaringan otak dan secara akurat
membedakan sifat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.
mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat mendiagnosa SDH sehingga lebih memilih
CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru digunakan pada masa setelah
trauma terutama untuk menentukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan
trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebihy sensitif mendeteksi
lesi otak non pendarahan.MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematoma
kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
2.9 Diagnosis Banding
a. Stroke
b. Encephalitis
c. Abses otak
e. Tumor otak
f. Perdarahan subarachnoid
g. Hydrocepalus
2.10 Penatalaksanaan
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita
intravena.
Pada kasus perdarahan yang kecil (30cc atau kurang) dilakukan tindakan konservatif.
Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti
Pada penderita SDH akut yang ada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan
axonal injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik
a. PAsien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10mm atau pergeseran midle shift >
b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan pendarahan <10mm dan pergeseran
midline shift . jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat kejadian sampai saat
masuk RS
d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan didapati pupil dilatasi asimetris
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill
craniotomy, subdural drain. dan yang palingn banyak untuk perdarahan subdural kronik
adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukkan resiko minimal.
Craniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala bertujuan mencapai otak
Pada psien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor
dengan reflek cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya
penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya
Monitor kondisi umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Jahitan dibuka pada
hari ke 7 post op. TIndakan pemasangan fragmen tulang kranoplasti setelah 6 - 8 minggu
kemudian.
2.11 Komplikasi
Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang mengalami operasi drainase,
sebanyak 5,4 - 19% mengalami komplikasi medis atau operasi.komplikasi medis, sperti
kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain. Komplikasi operasi, seperti massa subdural,
Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan ct-scan 4 hari pasca
operasi
2.12 Prognosis
Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik,
Menurut jamieson dan yellan derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan opersi
adalah satu satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir penderita SDH akut. Penderita
sadar pada waktu dioperasi memiliki mortalitas 9% sedangkan SDH akut tidak sadar pada
waktu operasi memiliki mortalitas 40 - 65%. Tetapi Richards dan Holf tidak menemukan
hubungan yang signifiklan antara derajat kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas pupil,
bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Seelig dkk melaporkan
pada penderita SDH akut dengan kombinasi reflek okulo - sefalik negatif, reflek pupil
bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai fungsional survival sebesar 10%.
BAB III. LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Umur: 59 tahun
Anamnesa
Pasien datang ke IGD RSUD Kota semarang dengan keluhan sakit kepala sejak 5 hari
SMRS. 10 hari SMRS pasien pernah terjatuh saat mengendarai sepeda dan kepala pasien
terbentur ke tanah.
Saat terjatuh pasien masih dalam keadaan sadar, muntah (-), 1 hari setelah terjatuh
pasien masih beraktifitas seperti biasa dan tidak mengeluh sakit kepala. Beberapa hari
kemudian pasien mulai mengeluh sakit kepala terus m,enerus, timbul tiba tiba saat akitfitas
maupun istirahat. Bagian yang sakit adalah kepala sebelah kiri, sakit kepala dirasakan seperti
berdenyut denyut selama 10 - 15 menit dan matanya terasa gelap, disertai mual. pasien juga
mengeluh meriang.
Pasien bekerja sebagai Tukang becak tinggal bersama istrinya, berobat menggunakan
jamkesmas
Riwayat Kebiasaan
pasien merokok
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran: composmentis
BB / TB: 55kg/167cm
Vital sign:
Nadi: 80 kali/menit
Pernafasan: 16 kali/menit
Suhu: 36,5 C
Kepala: Normosefal
Paru:
Inspeksi: simetris
Jantung:
Abdomen:
Inspeksi: datar
Perkusi: normal
Ekstremitas
Status Neurologis
Brudzinski I (-)
brudzinski II (-)
Pupil: Isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
langsung -/-
Sulit dinilai
Pemeriksaan koordinasi
Refleks Fisiologis:
biceps: +/+
Triceps: +/+
Patella: +/+
Refleks patologis:
Babisky: -/-
Chadok: -/-
Pemeriksaan Penunjang
Hematologi
Kimia Klinik
Imunoserologi
Diagnosis Banding
Tumor otak
Penatalaksanaan
Umum
Infus RL 20tpm
Khusus
Betahistin 3x6 mg
Flunarizin 2x5mg
Komplikasi
Hemiparesis
Disfasia/afasia
Epilepsi
Prognosis
Akut. Majalah Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297 - 306. FK USU: Medan.
2011
4. Price, Sylvia dan Willson, Loraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses
5. Sjamsuhidajat, R 2004. Subdural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi kedua hal
7. Gerard, M., 2003, Current Surgical Diagnosis & Treatment, edition eleven, Halaman
837-843
10. Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar, jakarta: Dian Rakyat
11. Ayu, IM. 2010. Chapter II. USU Respiratory: Universitas Sumatera Utara
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21258/.../Chapter%2011.pdf.
13. Cowles, R. A., dkk. Craniotomy series. MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2007.