Anda di halaman 1dari 25

BAB1.

PENDAHULUAN

Di beberapa negara maju menunjukkan data trauma kepala mencapai 26% dari jumlah

keseluruhan kecelakaan, yang menyebabkan seseorang tidak bisa bekerja. Kurang lebihnya

33% kecelakaan berakhir pada kematian menyangkut trauma kapitisnya

Di Indonesia, Depkes RI th 2007, cedera kepala menempati urutan ke 7 dari 10

penyakit penyebab kematian dari keseluruhan pasien rawat inap di rumah sakit, dan pada

2008 menjadi urutan ke 6.

Trauma kapitis merupakan kegawat daruratan sehingga perlu segera ditangani.

Trauma akibat adanya daya mekanik yang langsung menghantam kepala. Akibatnya biosa

terjadi fraktur tengkorak, kontusio serebri, laserasi serebri, dan perdarahan intyrakranial

seperti subdural hematom, epidural hematom, atau intracerebral hematom.

Perdarahan bisa berjalan dengan cepat atau lambat. Bertambahnya volume perdarahan

mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan nyeri kepala,papil

edem, dan muntah yang seringkali bersifat proyektil. Pada tahap selanjutnya hematoma yang

terbentuk lebih besar akan memicu terjadinya sindrom herniasi yang ditandai dengan

penurunan kesadaran, adanya pupil anisokor dan terjadinya hemiparesis kontralateral.


BAB2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

hematoma subdural adalah penimbunan darah didalam rongga subdural ( diantara

durameter dan arakhnoid ). Perdarahan ini sering terjadi akibat robekna vena jembatan yang

berada diantara kortek cerebri dan sinus venous.

Gambar 1. Subdural Hematoma

Perdarahan subdural disebabkan karena perdarahan vena, biasanya darah yang

terkumpul hanya 100 - 200 cc dan berhenti karena tamponade hematoma sendiri. setelah 5 - 7

hari hematom mengadakan reorganisasi sendiri dan selesai dalam 10 - 20 hari. Darah yang

diserap meninggalkan jaringan yang kaya dengan pembuluh darah sehingga memicu lagi

terjadinya perdarahan perdarahan kecil yang membentuk suatu kantong subdural yang penuh

dengan cairan dan sisa darah. Subdural hematom dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut, subakut,

dan kronik. Akut kurang dari 72 jam, subakut 3 - 7 hari setelah trauma, kronik bila 21 hari

atau lebih setelah trauma.


2.2 Anatomi

2.2.1 Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan "SCALP" yaitu Skin, Connective tissue,

Aponeurosis, Loose connective tissue, dan Pericranium.

Gambar 2. SCALP

2.2.2 Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak

terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal, dan oksipital. Rongga tengkorak

dasar dibagi menjadi 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat

temporalis, dan fosa posterior ruang bagian bawah otak dan serebelum.

Gambar 3. Calvaria
2.2.3 Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

1. Duramater

Duramater terdiri atas dua lapisan yaitu endosteal dan meningeal. Duramater

merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada

permukaan dalam dari kranium. karena tidak melekat pada selaput arachnoid dibawahnya,

terdapat suatu ruang potensial (subdural) yang terletak antara durameter dan arachnoid,

dimana sering dijumpai perdarahan subdural.pada cedera otak, pembuluh vena yang menuju

sinus sagitalis superior digaris tengah atau disebut Bridging veins, dapat mengalami robekan

dan menyebabkan perdarahan subdural.

2. Selaput Arachnoid

Selaput arachnoid merupakan selaput yang tipis tembus pandang. Selaput ini terletak

antara piamater sebelah dalam dan duramater sebelah luar yang meliputi otak.

3. Piamater

Piamater melekat erat pada permukaan korteks cerebri. Piamater adalah membrana

vaskuler yang membungkus otak dengan erat.

Gambar 4. Meningen
2.2.4 Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar

14kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan), mesensefalon (otak

tengah), dan rhombensefalon (otak belakang).

Gambar 5. Lobus otak

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus yaitu, frontal, parietal, temporal.

Mesensefalon dan pons bagian ataas berisi sistem aktifasi retikular yang berfungsi dalam

kesadaran. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertugas

dalam fungsi keseimbangan.

2.2.5 Cairan Serebrospinalis

Cairan Serebrospinalis (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan

produksi 20ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju

ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direarbsorbsi ke dalam

sirkulasi vena melalui granulatio arachnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.

Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arachnoid sehingga mengganggu

penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intracranial. Angka rata rata pada

dewasa volume CSS sekitar 150 ml.


Gambar 6. CSS

2.2.6 Tentorium

Tentorium serebli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri

dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii

posterior).

2.2.7 Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri

ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulasi Willisi. Vena vena

otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak

mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara kedalam sinus venosus

cranialis.

2.3 Epidemiologi

Subdural hematoma akut dilaporkan terjadi pada 5- 25% pasien dengan trauma kepala

berat. Sedangkan kronik subdural hematoma terjadi 1 - 3 kasus per 100.000 populasi. Laki -

laki lebih sering terkena dibanding perempuan 3:1. Di Indonesia belum ada catatan nasional

tentang morbiditas dan mortalitas perdarahan subdural. Mayoritas perdarahan subdural

berhubungan dengan faktor umum yang berhubungan dengan faktor resiko pada cedera

kepala. Lebih sering ditemukan pada pasien dengan umur 50 - 70 tahun. Pada orang tua

bridging veins mulai agak rapuh sehingga mudah pecah bila terkena trauma.
2.4 Klasifikasi

a. Perdarahan akut

Gejala yang timbul segera kurang dari 72 jam setelah trauma. biasanya terjadi pada

cedera kepala yang berat, pada pasien biasanya sudah terganggu kesadarannya dan tanda

vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran

CT-scan terdapat gambaran hyperdens.

b. Perdarahan subakut

Biasanya berkembang dalam beberapa hari sekitar 4 - 21 hari setelah trauma. Awal

pasien mengalami periode tidak sadar lalu mengalami perbaikan status neurologi yang

bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda tanda status

neurologis yang memburuk. Sejalan dengan meningkatnya tekanan intrakranial, pasien

menjadi sulit dibangunkan dan tidak berespon terhadap nyeri atau verbal. Pada tahap

selanjutnya dapat terjadi fase herniasi yang menekan batang otak. pada gambaran scaning

tomografinya didapatkan gambaran lesi isodens atau hypodens.lesi isodens didapatkan karena

adanya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

c. Perdarahan kronik

Biasanya terjadi setelah 21 hari setelah trauma atau lebih. Bahkan hanya terbentur

ringan pun bisa mengalami perdarahan subdural bila pasien juga mengalami gangguan

vaskuler atau gangguan pembekuan darah.pada subdural kronik kita harus berhati hati karena

hematoma ini bisa membesar dan mengakibatkan penekanan dan herniasi.

2.5 Etiologi

Keadaan ini timbul setelah cedera / trauma kepala hebat, seperti perdarahan yang

mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdura.

Perdarahan subdural terjadi pada:

Trauma
Trauma kapitis

Trauma ditempat lain pada badan yang berakibat terjadinya pergeseran atau putaran

otak terhadap durameter, misalnya pada orang jatuh terduduk.

Non trauma

Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdural.

Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang

spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial.

Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati, penggunaan antikoagulan.

2.6 Patofisiologi

Perdarahan terjadi antara durameter dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat

robeknya bridging veins yang menghubungkan vena dipermukaan otak dan sinus venosus di

dalam durameter atau karena robeknya arachnoidea. Karena otak yang dipenuhi cairan

cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir,

berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek vena - vena halus pada

tempat dimana mereka menembus duramater.

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan disekitarnya akan tumbuh

jaringan ikat nyang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik

cairan dari sekitarnya dan menggembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena

tekanan intrakranial yang berangsur meningkat.

gambar 7. Lapisan subdural.


Bridging vein dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil

sehingga walaupun trauma kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut.

Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering

menyebabkan hematoma yang besar sebelum klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang

kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya

menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus perdarahan subdural tersebut.

Perdarahan berulang dari pembuluh darah didalam membran ini memegang peranan penting,

karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam

penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan

perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi oleh efluks dari

cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. pada fase ini peningkatan

tekanan intrakranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intrakranial yang cukup

tinggi. Meskipun demikian pembesaran hematoma pada suatu titik tertentu akan melampaui

mekanisme kompensasi tersebut. Komplains kranial berkurang menyebabkan peningkatan

tekanan intra kranial yang sangat besar.

Terdapat dua teori yang menjelaskan terjadinya pendarahan subdural kronik, teori

Gardner mengatakan bahwa sebagian bekuan darah akan mencair dan akan meningkatkan

kandungan protein yang terdapat didalam kapsul dari subdural hematom.karena tekanan

onkotik yang meningkat tersebut mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi

ada kontoversional dari teori tersebut, yaitu ternyata dari penelitian bahwa tekanan onkotik

didalam didalam subdural kronik adalah normal mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori

yang kedua mengatakan bahwa, pendarahan berulang yang dapat mengakibatkan perdarahan

subndural kronik.
Penyembuhan pada dimulai dari pembekuan darah. Pembentukan skar dimulai dari

sisi dura dan secara perlahan meluas ke seluruh permukaan bekuan. Hasil akhir dari

penyembuhan tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis menempel

pada duramater. Sering kali pembuluh darah besar menetap pada skar sehingga rentan terjadi

perlukaan berikutnya yang dapat menimbulkan perdarahan kembali. Waktu untukm

penyembuhan tergantung imunitas per individu sendiri.

2.7 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang terjadi pada

saat benturan dan kecepatan pertambahan volume SDH.

Penderita - penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan parenkim otak

difus yang menyebabkan mereka tidak sadar dengan gejala gangguan batang otak. Penderita

dengan SDH yang lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai

berat nya benturan trauma pada saat kecelakaan. Keadaan selanjutnya akan dipengaruhi oleh

percepatan pertambahan hematoma dan penanggulangannya.

Gejala - gejala klinis terjadi akibat cedera otak primer dan tekanan oleh massa

hematoma. Pupil yang anisokor dan defisit motorik adalah gejala klinik yang paling sering.

Lesi pasca trauma baik hematoma atau lesi pada parenkim otak biasanya terletak ipsilateral

terhadap pupil yang melebar dan kontral;ateral terhadap defisit motorik. Tetapi gambaran

motorik dan gambaran pupil tidakmerupakan indikator mutlak untuk menentukan letak

hematoma. Gejala motorik mungkin tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak terletak

kontralateral terhadap SDH.Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada

saat trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma. Perubahan diameter

pupil lebih dipercaya sebagai indikator letak SDH.

a. Hematoma Subdural Akut


Menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan

berkaitan dengan cedera berat. Gangguan progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan

otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan

tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan

dan hilangnya kontrol atas denyut dan tekanan darah.

b. Hematoma subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan devisit neurologik dalam waktu lebih dari 48jam tapi

kurang dari 2 minggu setelah cedera. Anamnesis klinis dari penderita ini adalah adanya

trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status

neurologik yang perlahan - lahan. Namun pada jangka waktu tertentu penderita menunjukkan

tanda status neurologik yang memburuk.

c. Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun

setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan

subdural. Terjadinya perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Hematoma yang

bertambah besar secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut dan alkoholik karena

rapuhnya vena. Sehingga dalam beberapa minggu cedera tidak dihiraukan tapi pada CT-scan

menunjukkan adanya genangan darah.

2.8 Diagnosis

2.8.1 Anamnesis

Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik adanya jejas ataupun

tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan kesadaran. Jika pernah

ditanyakan pernah atau tidak penderita kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika

pernah tanyakan juga tetap sadar atau kembali menurun kesadarannya, dan perhatikan juga

periode lamanya sadar atau lucid interval. Untuk tambahan perlu juga ditanyakan pernah
muntah atau kejang pada saat setelah terjadinya trauma kepala. Hal ini untuk mengetahui

penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena sumbatan saluran nafas atas, atau karena

proses intra kranial yang masih berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya

sakit kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah yang tidak bisa

ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat - obatan yang sedang

dikonsumsi , dan apakah dalam pengaruh alkohol.

2.8.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup

jalan nafas, pernafasan dan tekanan darah atau nadi yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan

nafas harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi dan juga diberikan bantuan

nafas dengan pemberian oksigen. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan darah

untuk memantau terjadinya hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.

Jika terjadi hipotensi atau syok harus segera di terapi cairan.

Pemeriksaan kesadaran dengan menilai kemampuan membuka mata, respon verbal

dan respon motorik,dan juga verbal atau nyeri.

Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS,

lateralisasi dan reflek pupil untuk deteksi dini gangguan neurologis.


2.8.3 Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit,

profil hemostasis/ koagualsi.

b. Foto tengkorak

Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk melihat SDH. Sering dipakai

untuk meramalkan kemungkinan adanya perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan

konsistensi antara fraktur tengkorak dengan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan

kontralateral terhadap SDH.

c. CT-scan

Pemeriksaan CT-scan adalah modalitas pilihan utama bila didapat lesi pasca

trauma,karena proses yang cepat, mampu melihat keseluruhan jaringan otak dan secara akurat

membedakan sifat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-aksial.

d. MRI (Magnetic resonance imaging)

MRI sangat efektif mendeteksi perdarahan ekstracerebral. Akan tetapi CT-scan

mempunyai proses yang lebih cepat dan akurat mendiagnosa SDH sehingga lebih memilih

CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru digunakan pada masa setelah

trauma terutama untuk menentukan kerusakan parenkim otak yang berhubungan dengan

trauma yang tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan CT-scan. MRI lebihy sensitif mendeteksi

lesi otak non pendarahan.MRI dapat membantu mendiagnosis bilateral subdural hematoma

kronik karena pergeseran garis tengah yang kurang jelas pada CT-scan.
2.9 Diagnosis Banding

a. Stroke

b. Encephalitis

c. Abses otak

d. Adverse drugs reactions

e. Tumor otak

f. Perdarahan subarachnoid

g. Hydrocepalus

2.10 Penatalaksanaan

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH, tentu kita

harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Didalam masa

mempersiapkan tindakan pengobatan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan

tekanan intrakranial. Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid 10mg

intravena.

2.10.1 Tindakan Tanpa Operasi

Pada kasus perdarahan yang kecil (30cc atau kurang) dilakukan tindakan konservatif.

Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti

oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.

Pada penderita SDH akut yang ada dalam keadaan koma tetapi tidak menunjukkan

peningkatan tekanan intrakranial yang bermakna kemungkinan menderita suatu diffuse

axonal injury. Pada penderita ini, operasi tidak akan memperbaiki defisit neurologik

karenanya tidak diindikasikan untuk operasi.


2.10.2 Tindakan operasi

Kriteria pasien SDH dilakukan tindakan operasi adalah:

a. PAsien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10mm atau pergeseran midle shift >

5mm pada ct scan

b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK

c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan pendarahan <10mm dan pergeseran

midline shift . jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat kejadian sampai saat

masuk RS

d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan didapati pupil dilatasi asimetris

e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan TIK >20mmhg

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill

craniotomy, subdural drain. dan yang palingn banyak untuk perdarahan subdural kronik

adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukkan resiko minimal.

Craniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala bertujuan mencapai otak

untuk tindakan pembedahan definitif.

Pada psien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor

dengan reflek cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda adanya

penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar disebabkan oleh adanya

massa extra aksial. Indikasi operasi, :

Penurunan kesadaran tiba - tiba didepan mata

Adanya tanda herniasi

Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergency, dimana CT-scan

kepala tidak bisa dilakukan


Perawatan pasca bedah

Monitor kondisi umum dan neurologis dilakukan seperti biasa. Jahitan dibuka pada

hari ke 7 post op. TIndakan pemasangan fragmen tulang kranoplasti setelah 6 - 8 minggu

kemudian.

2.11 Komplikasi

Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang mengalami operasi drainase,

sebanyak 5,4 - 19% mengalami komplikasi medis atau operasi.komplikasi medis, sperti

kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain. Komplikasi operasi, seperti massa subdural,

hematom intraparenkim, atau tension pneumocephalus tejadi pada 2,3% kasus.

Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan ct-scan 4 hari pasca

operasi

2.12 Prognosis

Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis yang baik,

sekitar 90% kasus pada umumnya akan sembuh total.

Menurut jamieson dan yellan derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan opersi

adalah satu satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir penderita SDH akut. Penderita

sadar pada waktu dioperasi memiliki mortalitas 9% sedangkan SDH akut tidak sadar pada

waktu operasi memiliki mortalitas 40 - 65%. Tetapi Richards dan Holf tidak menemukan

hubungan yang signifiklan antara derajat kesadaran dan prognosa akhir. Abnormalitas pupil,

bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Seelig dkk melaporkan

pada penderita SDH akut dengan kombinasi reflek okulo - sefalik negatif, reflek pupil

bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai fungsional survival sebesar 10%.
BAB III. LAPORAN KASUS

Identitas pasien

nama : Tn. Sarli

Umur: 59 tahun

Jenis kelamin: Laki - laki

Pekerjaan: Tukang becak

Alamat: Semarang, Jawa tengah

Anamnesa

tanggal pemeriksaan 14 April 2014

Keluhan utama : sakit kepala

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Kota semarang dengan keluhan sakit kepala sejak 5 hari

SMRS. 10 hari SMRS pasien pernah terjatuh saat mengendarai sepeda dan kepala pasien

terbentur ke tanah.

Saat terjatuh pasien masih dalam keadaan sadar, muntah (-), 1 hari setelah terjatuh

pasien masih beraktifitas seperti biasa dan tidak mengeluh sakit kepala. Beberapa hari

kemudian pasien mulai mengeluh sakit kepala terus m,enerus, timbul tiba tiba saat akitfitas

maupun istirahat. Bagian yang sakit adalah kepala sebelah kiri, sakit kepala dirasakan seperti

berdenyut denyut selama 10 - 15 menit dan matanya terasa gelap, disertai mual. pasien juga

mengeluh meriang.

Riwayat penyakit dahulu

Keluhan serupa: disangkal

Riwayat darah tinggi : disangkal

Riwayat penyakit gula: disangkal

Riwayat maag: disangkal


Riwayat Alergi: disangkal

Riwayat penyakit hati: disangkal

Riwayat penyakit keluarga

tidak ada keluarga dengan penyakit serupa

Riwayat sosial ekonomi

Pasien bekerja sebagai Tukang becak tinggal bersama istrinya, berobat menggunakan

jamkesmas

Riwayat Kebiasaan

pasien merokok

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum: baik

Kesadaran: composmentis

BB / TB: 55kg/167cm

Vital sign:

Tekanan darah: 100/80 mmHg

Nadi: 80 kali/menit

Pernafasan: 16 kali/menit

Suhu: 36,5 C

Kulit: Sawo matang,tugor baik

Kepala: Normosefal

Rambut: hitam,tidak mudah dicabut

Mata: CA-/-, SI-/-

Telinga: normal, sekret-/-

Hidung: Simetris, sekret-/-, septumdeviasi-/-


Mulut: Sianosis -

Leher: Tidak ada pembesaran KGB

Paru:

Inspeksi: simetris

Palpasi: vocal fremitus normal

Perkusi: sonor kanan kiri

Auskultasi: vesikuler kanan kiri

Jantung:

Inspeksi: iktus kordis tidak terlihat

Palpasi: iktus kordis teraba 1jari medial sela iga5

Perkusi: batas batas jantung normal

Auskultasi: S1-S2 reguler, murmur(-)

Abdomen:

Inspeksi: datar

Palpasi: supel,nyeri tekan tidak ada

Perkusi: normal

Auskultasi: bissing usus 6 kali/menit

Ekstremitas

akral dingin: tidak ada

Edema: tidak ada

Capilarry refill: <2detik

Status Neurologis

Tanda rangsangan selaput otak

kaku kuduk (-)

Brudzinski I (-)
brudzinski II (-)

Tanda Krnig: (-)

Tanda peningkatan Intrakranial

Pupil: Isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak

langsung -/-

Pemeriksaan Nervus Kranialis:

Sulit dinilai

Pemeriksaan koordinasi

tidak ada kelainan

Pemeriksaan Sistem Refleks

Refleks Fisiologis:

biceps: +/+

Triceps: +/+

Patella: +/+

Refleks patologis:

Babisky: -/-

Chadok: -/-
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Hematologi

Hemoglobin 15,6 g/dl 14-18

Hematokrit 43,6 % 42-52

Leukosit 9,3 Ribu/uL 4,8-10,8

Trombosit 311 Ribu/uL 150-440

Kimia Klinik

GDS 103 Mg/dl 75-115

Globulin 2,7 g/dl 1,8-3,2

Ureum 41,6 Mg/dl 15,0-43,0

Creatinin 0,9 Mg/dl 0,7-1,1

Imunoserologi

Kualitatif HbsAg Negatif Negatif


Pemeriksaan Radiologi

CT-scan Kepala Tanpa Kontras:


Diagnosis

Diagnosis Klinis: chepalgia post trauma

Diagnosis Topis: Subdural Hematomn frontoparietal

Diagnosis etiologi: Subdural hematom subakut

Diagnosis Banding

Tumor otak

Penatalaksanaan

Umum

Infus RL 20tpm

Elevasi kepala 30derajat

Khusus

Antibiotik ceftriaxone 1gr/12jam

Manitol IV dalam larutan 20% dengan dosis 1-1,5g/kg

Betahistin 3x6 mg

Flunarizin 2x5mg

inj pirazetam 3x3 gr

inj citicholine 2x 500mg

Komplikasi

Hemiparesis

Disfasia/afasia

Epilepsi

Prognosis

Quo ad vitam: dubia ad bonam

Quo ad functionam: dubia ad bonam

Quo ad sanationam: dubia ad bonam


DAFTAR PUSTAKA

1. Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta - fakta pada Perdarahan Subdural

Akut. Majalah Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297 - 306. FK USU: Medan.

2. Heller, J. L., dkk, Subdural Hematoma, MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2012.

3. Tom, S., dkk, Subdural Hematoma in Emergency Medicine, Medscape Reference,

2011

4. Price, Sylvia dan Willson, Loraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses

Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC.

5. Sjamsuhidajat, R 2004. Subdural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi kedua hal

818, Jon W.D. jakarta : EGC

6. Charles, F. 2010. Schwart'z Principles of surgery, edition Ninth. United State Of

America: The McGraw-Hill

7. Gerard, M., 2003, Current Surgical Diagnosis & Treatment, edition eleven, Halaman

837-843

8. Engelhard, H. H., dkk, Subdural Hematoma Surgery, Medscape Reference, 2011.

9. Meagher, R. dkk. Subdural Hematoma, Medscape Reference, 2011

10. Sidharta, P. dan Mardjono, M. 2006. Neurologi Klinis Dasar, jakarta: Dian Rakyat

11. Ayu, IM. 2010. Chapter II. USU Respiratory: Universitas Sumatera Utara

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21258/.../Chapter%2011.pdf.

12. Dugdale, D., Chronic Subdural Hematoma, MedlinePlus, 2010.

13. Cowles, R. A., dkk. Craniotomy series. MedlinePlus Medical Encyclopedia, 2007.

Anda mungkin juga menyukai